BAB II NOTA KESEPAHAMAN (MoU HELSINKI) ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN GERAKAN ACEH MERDEKA
A. Dinamika Peraturan Perundang-undangan tentang Aceh Indonesia
melalui
Peraturan
Perundang-undangan
mengakui
dan
menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 18B UndangUndang
Dasar
ketatanegaraan
Negara Republik
Republik
Indonesia
Indonesia
Tahun
menempatkan
1945.132
Aceh
Perjalanan
sebagai
satuan
Pemerintahan Daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan rakyat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Peraturan Perundang-undangan mengenai Aceh turut mengalami dinamika sesuai dengan Konstitusi yang berlaku di Indonesia, khususnya mengenai substantif terkait kewenangan Aceh. Adapun dinamika Peraturan Perundangundangan tersebut dapat digambarkan melalui skema 2.1 berikut ini:
132
Pasal 18B (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa “negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang”. 79
80
Skema 2.1133 Konstitusi dan dinamika peraturan perundang-undangan tentang Aceh
X
X
X
X
X
X
X
X
133
xxx
81
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah Pada tanggal 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) telah menetapkan terkait wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas 8 (delapan) Provinsi, yaitu:134 a. b. c. d. e. f. g. h.
Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Tengah Provinsi Jawa Timur Provinsi Sumatera Provinsi Borneo Provinsi Sulawesi Provinsi Maluku Provinsi Sunda Kecil
Menelaah Ketetapan yang ditetapkan PPKI, dan berdasarkan demografi Aceh secara otomatis berada dalam lingkup Provinsi Sumatera yang berkedudukan di Medan. Selanjutnya Mr T. M. Hasan diangkat sebagai Gubernur Provinsi Sumatera. Pada periode ini Aceh hanya sebagai salah satu keresidenan yang ada dalam Provinsi Sumatera, dengan residennya yang pertama yakni T. Nyak Arif dan Wakil Residennya T. M. Ali Panglima Polim.135
134
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Depdikbud, Jakarta, 1977, hal. 180. Lihat juga dalam C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 22. 135
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Loc.Cit.
82
Pada perkembangannya kegiatan Pemerintahan di daerah Aceh baru berjalan pada awal bulan Oktober 1945, setelah keluarnya penetapan dari Gubernur Negara Republik Indonesia Provinsi Sumatera, tepatnya pada tanggal 3 Oktober 1945, tentang pengangkatan pejabat Pemerintah Negara Republik Indonesia di seluruh Sumatera. Dalam melaksanakan Pemerintahan di daerah Aceh, T. Nyak Arif dibantu oleh Komite Nasional Daerah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, yang ditetapkan pada tanggal 23 November 1945.136 Perkembangan Residen Aceh, sejak pertengahan bulan Januari 1946, diangkat T. Daud Syah, yang juga merangkap sebagai Ketua Komite Nasional Daerah. Selanjutnya pada 26 Agustus 1947 ditetapkan daerah-daerah Keresidenan Aceh, Kabupaten Langkat, dan Kabupaten Tanah Karo menjadi suatu Daerah Militer Istimewa, serta mengangkat Tgk M. Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer di daerah tersebut dengan pangkat Jenderal Mayor Tituler.137
136
Ibid.
137
Perubahan bentuk di Aceh ini adalah sejalan dengan usaha untuk menyusun pertahanan yang kokoh dalam usaha mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia dari Agresi Belanda I dan II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 182. Adapun latar belakang lahirnya posisi Gubernur Militer diantaranya pada masa Agresi Militer Belanda, terjadi pergolakan pada sistem Pemerintahan di Indonesia, yang selanjutnya dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dengan adanya PDRI, Belanda tidak dapat berkata lagi bahwa Republik Indonesia sudah hancur lebur berhubung Presiden dan Wakil Presiden berada
83
2. Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pembagian Sumatera Dalam Tiga Provinsi Lahirnya Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pembagian Sumatera Dalam Tiga Provinsi, yang pada intinya menetapkan bahwa daerah Sumatera dibagi menjadi 3 (tiga) Provinsi, yaitu:138 a. Provinsi Sumatera Utara, yang meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera timur, dan Tapanuli. b. Provinsi Sumatera Tengah, yang meliputi Keresidenan Sumatera Barat, Riau, dan Jambi. dalam tahanan mereka. Untuk perjuangan selanjutnya Sumatera dijadikan Daerah Militer yang dipimpin oleh Gubernur Militer, hal ini ditujukan untuk memperlancar roda Pemerintahan baik sipil maupun militer. Oleh karena keadaan di Sumatera berlainan dengan di Jawa dan residen-residen Sumatera berpendidikan cukup dan berpengalaman selama 3 (tiga) tahun berevolusi serta cukup berwibawa menghadapi rakyat dan tentara, maka diangkatlah Gubernur Militer yang semuanya adalah terdiri dari orang-orang sipil, sehingga susunan Gubernur Militernya adalah: a. Gubernur Militer untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo adalah Tgk M. Daud Beureueh. b. Gubernur Militer untuk daerah Sumatera timur dan Tapanuli adalah Dr. Ferdinand Lumban Tobing. c. Gubernur Militer untuk daerah Sumatera Barat adalah Mr. St Moh. Rasyid. d. Gubernur Militer untuk daerah Riau adalah R.M. Oetoyo. e. Gubernur Militer untuk daerah Sumatera Selatan dan Jambi adalah Dr. Adnan Kapau Gani. Teuku Moehammad Hasan, Gubernur Sumatera Dari Aceh Ke Pemersatu Bangsa, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 1999, hal. 490-491. Lihat juga dalam Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hal. 400. Patut juga untuk ditelaah bahwa paska terjadinya konflik horizontal di Aceh (periode tahun 1946) yakni peristiwa Cumbok. Gubernur Sumatera mengeluarkan Ketetapan No. 204 bertanggal 11 Agustus 1946, bahwa kondisi Pemerintahan di Aceh pada waktu itu dipimpin oleh 2 (dua) Pemerintahan, yaitu sipil dan militer. Adapun Pemerintahan sipil dipimpin oleh Mr. S. M. Amin yang menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara yang berkedudukan di Banda Aceh. Sedangkan Pemerintahan militer dipimpin oleh Tgk M. Daud Beureueh yang menjabat Gubernur militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Abdullah Sani Usman, Krisis Legitimasi Politik Dalam Sejarah Pemerintahan di Aceh, Puslitbang Lektur Keagamaan, Jakarta, hal. 181. 138
Pasal 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pembagian Sumatera Dalam Tiga Provinsi. Provinsi Sumatera Utara dengan Gubernurnya Mr S. M. Amin, Provinsi Sumatera Tengah dengan Gubernurnya Mr M. Nasrun, Provinsi Sumatera Selatan dengan Gubernurnya Dr. Isa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 184.
84
c. Provinsi Sumatera Selatan, yang meliputi Keresidenan Bengkulen, Palembang, Lampung, dan Bangka Belitong.
Provinsi Sumatera Utara meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli. Akan tetapi karena suasana/keadaan yang masih belum terjamin keamanannya,
berbagai
ketetapan-ketetapan
tersebut
tidak
dapat
berjalan/dilaksanakan sehingga Daerah Militer Istimewa bagi Aceh – Kabupaten Langkat – Kabupaten Tanah Karo masih tetap berjalan. Adapun segala pertanggung jawaban Pemerintah Sipil dan Militer tetap dibebankan kepada Gubernur Militer, yakni Tgk M. Daud Beureueh. Posisi Gubernur Sumatera hanya merupakan Komisaris Daerah yang bertugas untuk mengadakan pengawasan dan memberikan tuntutan terhadap jalannya Pemerintahan. Kekuasaan yang diberikan kepada Gubernur Militer ini diperkuat lagi berdasarkan Keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) No. 21/Pem/PDRI tanggal 16 Mei 1949, serta Keputusan No. 22/Pem/PDRI tanggal 17 Mei 1949, yang melimpahkan kekuasaan sipil dan militer berada pada tangan Gubernur Militer, yakni Tgk M. Daud Beureueh.139 Pada periode Tahun 1948, dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, turut dilahirkan juga Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, kehadiran Undang-Undang tersebut juga 139
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 184. Lihat juga dalam Keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) No. 21/Pem/PDRI tanggal 16 Mei 1949, serta Keputusan No. 22/Pem/PDRI tanggal 17 Mei 1949.
85
berimplikasi terkait Pemerintahan Daerah di Sumatera yang sebelumnya telah lebih dahulu dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pembagian Sumatera Dalam Tiga Provinsi. Kehadiran Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, pada dasarnya membawa implikasi yang positif dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Hal tersebut sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1140 bahwa daerah-daerah yang dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis, yaitu: a. Daerah Otonom (biasa). b. Daerah Istimewa.141 Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, substansi lainnya juga membagi daerah Indonesia menjadi 3 (tiga) daerah otonom yang selanjutnya menjadi cikal bakal sampai dengan dewasa ini, yaitu Provinsi, Kabupaten, Desa. Sedangkan Keresidenan meskipun mempunyai lembaga DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) tidak ditetapkan sebagai daerah otonom. Hal ini tentunya berbeda dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-Undang No. 1 140 141
Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
Adapun yang dimaksud dengan daerah istimewa adalah daerah yang mempunyai hal asalusul dan di zaman Republik Indonesia mempunyai Pemerintahan yang bersifat istimewa (zelfbesturende landschappen). Keistimewaan daerah adalah bahwa Kepala/Wakil Kepala Daerah istimewa diangkat oleh Presiden Republik Indonesia dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 25.
86
Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional, yang telah menetapkan Keresidenan sebagai daerah otonom.142
3. Peraturan
Wakil-Wakil
Perdana
Menteri
Pengganti
Peraturan
Pemerintah No. 8/Des/WKPM Tahun 1949 tentang Pembentukan Provinsi Aceh Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1949 tentang Kedudukan dan Kekuasaan Wakil Perdana Menteri di Sumatera,143 yakni pada tanggal 30 September 1949 diangkat Mr Syafruddin Prawiranegara sebagai Wakil Perdana Menteri yang berkedudukan di Sumatera, untuk melancarkan jalannya roda Pemerintahan. Adapun pusat Pemerintahan di Sumatera ini dipindahkan ke Kutaraja, sejak Bukit Tinggi jatuh ke tangan Belanda pada masa Agresi Belanda II.144
142
Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah, Laksbang Mediatama, Surabaya, 2008, hal. 37. 143
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 1949 tentang Kedudukan dan Kekuasaan Wakil Perdana Menteri di Sumatera, disebutkan bahwa “di daerah Sumatera dapat ditempatkan seorang Wakil Perdana Menteri”. Selanjutnya pada Pasal 2 disebutkan bahwa “Kepada Wakil Perdana Menteri tersebut dalam Pasal 1 diberi kekuasaan, dalam keadaan yang memaksa, untuk daerah Sumatera atau sebagian dari daerah Sumatera, atas nama Presiden menetapkan peraturan:” a. Yang masalahnya seharusnya diatur dengan Undang-Undang, Peraturan ini dinamakan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Undang-Undang. b. Yang masalahnya seharusnya diatur dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan ini dinamakan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah. 144
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 184. Lihat juga dalam Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 285.
87
Pada masa Pemerintahan Wakil Perdana Menteri Mr Syafruddin Prawiranegara, bentuk Pemerintahan di Sumatera Utara dan Aceh mengalami perubahan lagi. Dalam hal ini berdasarkan Peraturan Wakil-Wakil Perdana Menteri pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM Tahun 1949, yang selanjutnya Provinsi Sumatera Utara dipecah menjadi 2 (dua) Provinsi, yaitu:145 a. Provinsi Aceh, untuk Gubernurnya diangkat Tgk M. Daud Beureueh. b. Provinsi Tapanuli Sumatera Timur, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1950. Perkembangan yang terjadi paska pembagian Provinsi Sumatera Utara, atas Provinsi Aceh, dan Provinsi Tapanuli Sumatera Timur telah menimbulkan friksi dari berbagai pihak, baik dari masyarakat, maupun dari Pemerintah Republik Indonesia. Bagi yang kontra akan hal ini, menilai pembentukan Provinsi Aceh ini jelas sangat bertentangan dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, sekaligus mempersulit Pemerintah Republik Indonesia dalam usaha untuk merealisasikan semua hasil yang dicapai dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Di sisi lain, bagi pihak yang pro akan hal ini tetap berusaha untuk mempertahankan agar status otonom
145
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 184. Lihat juga dalam Peraturan Wakil-Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM Tahun 1949 tentang Pembentukan Provinsi Aceh.
88
bagi Aceh tetap berjalan, sekaligus menyatakan bahwa pembentukan Provinsi Aceh adalah merupakan keinginan dari rakyat Aceh.146
4. Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Provinsi Pada periode ini, Pemerintah Republik Indonesia telah menghadapi suatu masalah yang rumit, yang mana pada tanggal 19 Agustus 1950 adanya persetujuan RIS (Republik Indonesia Serikat) – RI (Republik Indonesia), serta berdasarkan Ketetapan Sidang Dewan Menteri tanggal 8 Agustus 1950 melahirkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Provinsi, yang menetapkan pembagian wilayah Republik Indonesia atas 10 Provinsi, yaitu:147
146
Adanya perbedaan pendapat terkait status Provinsi Aceh, yang terjadi dalam rakyat Aceh, maka Pemerintah Republik Indonesia pada bulan Maret 1950, mengirimkan suatu panitia penyelidik mengenai pembentukan Provinsi Aceh yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri (Mr Susanto Tirtoprojo). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 185. 147
Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Provinsi.
Patut untuk ditelaah, bahwa pada periode ini telah lahirnya Konferensi Meja Bundar (KMB). Oleh karenanya, beberapa hari sebelum tercapainya persetujuan antara Negara Bagian Republik Indonesia dengan Pemerintah Republik Indonesia Serikat (yang bertindak atas nama Negara Indonesia Timur) untuk membentuk Negara Kesatuan, dan untuk menyesuaikan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dengan keadaan yang akan datang pada tanggal 15 Mei 1950 ditetapkan Undang-Undang Negara Indonesia Timur No. 44 Tahun 1950 yang disebut dengan nama Undang-Undang Pemerintahan Daerah-Daerah Indonesia Timur. Hal ini menurut Bagir Manan, Undang-Undang Negara Indonesia Timur No. 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah sengaja dipersiapkan dan ditetapkan untuk menyongsong pembentukan atau reintegrasi Negara Kesatuan, terutama penyesuaian bentuk ketatanegaraan wilayah Negara Indonesia Timur terhadap bentuk Negara Kesatuan. Juanda, Op.Cit, hal. 157.
89
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sumatera Utara Sumatera Tengah Sumatera Selatan Kalimantan Sulawesi Maluku Sunda Kecil
Dalam rangka meleburkan status Provinsi Aceh yang kembali bergabung dengan Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi di Sumatera, tertanggal 14 Agustus 1950. Selanjutnya diamandemen menjadi UndangUndang Darurat Republik Indonesia No. 16 Tahun 1955 tentang Pengubahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi di Sumatera, yang pada intinya memutuskan “mencabut Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM tahun 1949 tentang Pembentukan Provinsi
Patut untuk ditelaah pandangan Fachry Ali yang menyatakan bahwa ketika struktur negara mulai mapan pasca KMB, sebagai organisasi kekuasaan yang absah, negara mulai meretas landasan obyektif untuk mempertahankan eksistensi dan otoritasnya atas daerah yang menjadi konstitutennya. Karena itu betapapun Aceh telah telah berfungsi sebagai “benteng terakhir Indonesia” pada periode 1949 dan mendapat gelar “daerah modal”, demi tertib administrasi dan kalkulasi ekonomi, status Provinsi Aceh yang pernah diberikan Wakil Perdana Menteri (Syafruddin Prawiranegara) tersebut tetap harus ditanggalkan, demi efisiensi dalam kebijakan fiskal. Fachry Ali, Kalla dan Perdamaian Aceh, LSPEU Indonesia, Jakarta, 2008, hal. 9.
90
Aceh”, dan sekaligus menetapkan pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang meliputi Keresidenan Aceh, Tapanuli dan Sumatera Timur.148
5. Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara Paska dileburnya Aceh kedalam Provinsi Sumatera Utara melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tertanggal 14 Agustus 1950 jo UndangUndang Darurat Republik Indonesia No. 16 Tahun 1955 tentang Pengubahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi di Sumatera. Dalam perkembangannya berbagai konflik telah tercipta di Aceh, khususnya konflik secara vertikal antara rakyat Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia. Untuk mengatasi berbagai konflik vertikal yang terjadi di Aceh, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) melalui sidangnya mengeluarkan usul mosi supaya Pemerintah Republik Indonesia menunjuk Aceh sebagai daerah otonom. Usulan tersebut direspon Pemerintah Republik Indonesia tepatnya pada tanggal 29 Desember 1956, dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1956
148
Pasal 1 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia No. 16 Tahun 1955 tentang Pengubahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi di Sumatera. Lihat juga dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 185.
91
tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara,149 yang menetapkan Aceh sebagai Provinsi otonom. Hal ini merupakan salah satu upaya dari Pemerintah Republik Indonesia untuk meredam berbagai macam konflik vertikal yang sedang berlangsung di Aceh. Berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk meminimalisir konflik yang terjadi di Aceh, diantaranya Pemerintah Republik Indonesia juga mengangkat Ali Hasymi sebagai Gubernur Aceh, berdasarkan Ketetapan Presiden No 615/M/1957, tanggal 5 Januari 1957. Adapun pelantikan Ali Hasymi sebagai Gubernur Aceh dilaksanakan pada tanggal 27 Januari 1957.150 Menyikapi dinamika yang terjadi di Aceh, khususnya mengenai penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh. Sekaligus dalam rangka untuk menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950,
tidak
lama
berselang
lahir
Undang-Undang
tentang
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang berlaku secara nasional, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. 149
Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara. 150
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 188. Lihat juga dalam Ketetapan Presiden No 615/M/1957.
92
Adapun
karakteristik
penyelenggaraan
Pemerintahan
Daerah
berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yaitu:151 a. Otonomi yang diberikan bersifat otonomi riil. Artinya, banyak sedikitnya fungsi atau urusan yang diserahkan kepada daerah otonom didasarkan pada kepentingan dan kemampuan daerah bersangkutan. b. Pembagian daerah otonom yaitu Daerah Tingkat I setingkat Provinsi termasuk Kotapraja Jakarta Raya, Daerah Tingkat II setingkat Kabupaten termasuk Kotapraja, dan Daerah Tingkat III. c. Negara dapat melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan oleh Pemerintahan Daerah baik secara preventif maupun represif.
Berdasarkan
uraian
mengenai
karakteristik
penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah yang termaktub di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dapat ditelaah bahwa adanya tindakan hukum agar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahannya dapat menciptakan kondisi yang harmonis, sekaligus mereduksi berbagai konflik yang terjadi di Indonesia, khususnya di Aceh.
6. Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 tentang Penetapan Daerah Swatantra Tingkat I Aceh Sebagai Daerah Istimewa Aceh. 151
Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 41-43. Lihat juga dalam C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Op.Cit, hal. 30-33.
93
Pemerintah Republik Indonesia kembali mengakomodir aspirasi dari rakyat Aceh untuk mencapai kata sepakat mengenai pemulihan keamanan, dengan mengutus suatu missi di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri I (Mr Hardi). Missi ini dikenal dengan “Missi Hardi”, pada tanggal 26 Mei 1959 menghasilkan suatu Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 tentang Penetapan Daerah Swatantra Tingkat I Aceh Sebagai Daerah Istimewa Aceh, dengan otonomi yang seluas-luasnya terutama dalam bidang:152 Keagamaan, Peradatan, Pendidikan. Lahirnya “Misi Hardi” tersebut merupakan aspirasi-aspirasi yang selama ini telah dikemukakan oleh rakyat Aceh, khususnya terkait dalam bidang keagamaan, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Tgk M. Daud Beureueh kepada
Soekarno
(Selaku
Presiden
Republik
Indonesia),
pada
saat
kunjungannya di Aceh. Realitanya Pemerintah Republik Indonesia masih terlihat setengah hati dalam mengakomodir aspirasi dari rakyat Aceh. Hal ini dapat ditelaah, bahwa paska lahirnya “Misi Hardi” Pemerintah Republik Indonesia tidak serta merta merevisi Peraturan Perundang-undangan mengenai Aceh, dan juga tidak melahirkan Undang-Undang baru yang bersifat mengakomodir “Misi Hardi”
152
Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 tentang Penetapan Daerah Swatantra Tingkat I Aceh Sebagai Daerah Istimewa Aceh, pada Point “a”. Lihat juga dalam Hardi, Op.Cit, hal. 137-139. Lihat juga dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 189. Lihat juga dalam M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 175.
94
tersebut. Sehingga dalam perkembangan di Aceh, konflik vertikal masih laten terjadi di Aceh.
7. Undang-Undang
No.
44
Tahun
1999
tentang
Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dalam konteks penyelenggaraan Pemerintahan Daerah secara nasional, telah mengalami berbagai dinamika, khususnya dalam bentuk peraturan Perundang-undangan, diantaranya: a. Undang-Undang
No.
18
Tahun
1965
tentang
Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah.153 b. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.154
153
Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, masih menganut unsur-unsur yang terkandung di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang PokokPokok Pemerintahan Daerah. Oleh karenanya Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang PokokPokok Pemerintahan Daerah masih menganut asas otonomi seluas-luasnya, menganut sistem rumah tangga riil/nyata, dan susunan daerah otonomi terdiri atas 3 (tiga) tingkatan yaitu Dati I, Dati II, Dati III. Dengan catatan daerah swapraja sudah tidak dianut lagi. Juanda, Op.Cit, hal. 175. Lihat juga dalam C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Op.Cit, hal. 39-41. Sudono Syueb mencatat bahwa pada Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, telah direduksinya kekuasaan DPRD karena kekuasan DPRD diatur sangat minim. Kekuasaan DPRD hanya sebatas pada pembuatan Peraturan Daerah dan mencalonkan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 49-50. 154
Patut untuk ditelaah bahwa lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang PokokPokok Pemerintahan Daerah, dilatar belakangi karena adanya gejolak politik yang terjadi di tanah air.
95
c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.155
Bahwa pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terkenal dengan peristiwa G.30.S.PKI, yang berujung pada runtuhnya kekuasaan rezim Orde Lama setelah dilengserkan oleh MPRS akibat Pidato Pertanggungjawaban Presiden Soekarno ditolak MPRS. Selanjutnya lahirlah rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Pada awal masa kekuasaan (Presiden Soeharto), salah satu kebijakan yang diterbitkan adalah mencabut Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang didasari atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 50. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, tidak lagi menggunakan prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya, tetapi diubah menjadi prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah, yang dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi bukan sekedar pelengkap terhadap asas desentralisasi, tetapi sama pentingnya dalam peneyelenggaraan Pemerintahan di daerah. Juanda, Op.Cit, hal. 180. 155
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, tidak dapat dipisahkan dari gejolak politik yang terjadi di tanah air. Diantaranya pada tanggal 21 Mei 1998 mengambil keputusan untuk mundur dari jabatan Presiden, hal ini dilandasi dengan keadaan politik di Indonesia yang sedemikian genting, dikarenakan ada beberapa menteri membuat pernyataan tidak bersedia bergabung dengan kabinet reformasi yang dirancang oleh Presiden Soeharto. Serta adanya peningkatan instabilitas keamanan dalam negeri, yang dipicu oleh maraknya aksi demo yang menuntut reformasi. Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 64. Keberlakuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan upaya terus menerus untuk menata sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia yang sebelumnya masih mengalami kekurangan, kelemahan, dan menghambat demokratisasi di Daerah. Oleh sebab itu, di dalam Undang-Undang ini terdapat beberapa perbaikan, antara lain: menguatnya peran dan fungsi DPRD, termasuk adanya pertanggung jawaban Kepala Daerah terhadap DPRD dan dihilangkannya beberapa ketentuan-ketentuan yang memandulkan prinsip demokrasi di Daerah. Sehingga, dengan semangat proporsionalitas yang dilandasi dengan semangat keseimbangan, kesetaraan dan kemitraan setidaknya secara teoretik akan membuka peluang terwujudnya otonomi daerah sekaligus memperkuat pelaksanaan desentralisasi, demokrasi dan pembagian kekuasaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sejahtera, adil, dan teratur. Juanda, Op.Cit, hal. 192 dan 196. Patut juga untuk ditelaah bahwa Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, juga didasari pada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat politik hukum, diantaranya: a. TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. b. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. c. TAP MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pemgaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
96
Patut untuk ditelaah bahwa dinamika peraturan Perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah tersebut lahir dalam periode kembalinya UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia. Hal ini tentunya tidak dapat dipisahkan dari berbagai gejolak politik yang terjadi di tanah air, sehingga di dalam penyelenggaraan Pemerintahannya turut mempengaruhi penyelenggaraan Pemerintahan di daerah. Dalam konteks penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, pada tanggal 4 Oktober
1999
lahir
Undang-Undang
No.
44
Tahun
1999
tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Lahirnya Undang-Undang ini, pada dasarnya untuk mengakomodir hal-hal yang telah disepakati pada “Misi Hardi”, baik mengenai keagamaan, peradatan dan pendidikan. Pada periode ini Pemerintah Republik Indonesia mulai menyadari bahwa untuk menghentikan konflik vertikal yang masih terus berlangsung di Aceh, yakni dengan cara mengakomodir aspirasi-aspirasi yang berkembang luas dalam rakyat Aceh. Oleh karenannya, Undang-Undang ini diharapkan dapat diterima oleh segenap lapisan rakyat Aceh. Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, lebih menekankan mengenai
97
keistimewaan156 Aceh. Adapun keitimewaan Aceh berdasarkan UndangUndang ini yaitu:157 a. Penyelenggaraan kehidupan beragama. b. Penyelenggaraan kehidupan adat. c. Penyelenggaraan pendidikan. d. Peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Patut untuk ditelaah bahwa kewenangan Aceh yang bersifat istimewa, pada prinsipnya telah disepakati oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui “Missi Hardi”, akan tetapi baru dapat direalisasikan sekitar 40 (empat puluh) tahun kemudian melalui
Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Hal ini sebenarnya dapat menentukan perkembangan politik hukum di Aceh, dan akan berbeda hasilnya jika dapat direalisasikan lebih awal. Pada sisi lain, adanya metamorfosa Peraturan Perundang-undangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Aceh, tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Pemerintahan Daerah dalam konteks nasional, yang mana
156
Keistimewaan merupakan pengakuan dari bangsa Indonesia yang diberikan kepada Daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan. Pasal 3 (1) Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. 157
Pasal 3 (2) Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
98
hal ini merupakan output dari gejolak politik dalam melahirkan tuntutan reformasi yang berlangsung pada periode Tahun 1998.
8. Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Perjalanan penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dipandang masih kurang memberikan kehidupan di dalam keadilan, atau keadilan di dalam kehidupan. Dalam perkembangannya kondisi tersebut masih belum dapat mengakhiri konflik vertikal di Aceh sehingga pada tanggal 9 Agustus 2001 lahir Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, hal ini berarti Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 lahir setelah adanya amandemen ke-II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan demikian Undang-Undang ini merupakan peraturan organik (Organieke Verordening) untuk Pasal 18B (1)158 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
158
Pasal 18B (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang”. Menarik untuk ditelaah, bahwa jauh sebelum adanya amandemen ke-II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya mengenai rumusan Pasal 18B yang berkaitan dengan suatu Pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Telah lebih dahulu lahir daerah-daerah otonom yang bersifat istimewa dan khusus. Sebagaimana daerah otonom Yogyakarta, yang bersifat istimewa melalui
99
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada umumnya untuk menguatkan perihal keistimewaan bagi Provinsi Aceh yang ada pada Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, tapi disisi lain, pada UndangUndang No. 18 Tahun 2001 menambahkan beberapa kewenangan yang dimiliki Aceh, diantaranya: a.
Pengaturan dana perimbangan, pada prinsipnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Daerah, kecuali ketentuan mengenai “Bagi Hasil” antara Pusat dan Aceh. Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Pasal 4 (3). Seperti Pajak penghasilan orang pribadi = 20% (Daerah lain = 0), Hasil Pertambangan Minyak Bumi = 70% (Daerah lain = 15%) selama 8 tahun, sesudahnya 50%, Hasil Pertambangan Gas Alam = 70% (Daerah lain = 30%) selama 8 tahun, sesudahnya 50%.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, jo UndangUndang No. 9 Tahun 1955 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya di Aceh telah lebih dulu lahir Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-Undang ini lahir pada tanggal 4 Oktober 1999.
100
b.
Pembentukan
Wali
Nanggroe
dan
Tuha
Nanggroe
sebagai
penyelenggara adat, budaya dan pemersatu masyarakat (hanya sebagai simbol, bukan lembaga politik dan Pemerintahan).159 c.
Penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang terdiri atas anggota KPU dan anggota masyarakat.160
d.
Pengangkatan Kepala Kepolisian Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan persetujuan Gubernur.161
e.
Peradilan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai bagian dari sistem peradilan nasional oleh Mahkamah Syar‟iyah, diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.162 Menarik
untuk
ditelaah
bahwa
dalam
rangka
penyelenggaran
Pemerintahan Daerah pada konteks nasional, lahir Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan hak yang sangat besar kepada daerah untuk mengurus rumah tangga dan Pemerintahan Daerah sesuai prakarsa 159
Pasal 10 Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. 160
Pasal 13 (2) Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. 161
Pasal 26 (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. 162
Pasal 25 Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
101
sendiri guna mewujudkan kesejahteraan rakyat daerah bersangkutan. Adapun prinsip otonomi daerahnya yaitu otonomi daerah secara luas dan nyata, dengan demikian diharapkan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dapat berlangsung sesuai prinsip demokrasi, baik dalam pemilihan Kepala Daerah dan wakil rakyat di daerah.163
9. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk meminimalisir konflik vertikal yang berkesinambungan, baik melalui pendekatan militer, maupun pendekatan Peraturan Perundang-undangan, serta pada era Reformasi tidak luput juga dilakukannya perundingan-perundingan diantara para pihak. Puncaknya pada tanggal 15 Agustus 2005 kedua belah pihak menyepakati lahirnya Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) antara Pemerintah 163
Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 94.
Adapun perihal yang paling esensi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, diantaranya pelaksanaan proses demokrasi, yang mengamanatkan bahwa Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyatnya (pilkada langsung). Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 25 (e) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Patut untuk ditelaah bahwa esensinya mengenai pelaksanaan pilkada langsung telah lebih dahulu diatur dan diamanatkan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Khususnya pada Pasal 14 (3) point a, yang berbunyi “pemilihan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat pemilih serentak pada hari yang sama di seluruh wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Hal ini dapat ditelaah bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Aceh telah menjadi lokomotif dalam perkembangan politik hukum, khususnya bagi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam konteks nasional.
102
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Penandatanganan MoU Helsinki dalam perkembangannya menjadi kilas baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh, serta kehidupan masyarakat menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Dalam hal ini para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga Pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) tersebut, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, menyepakati hal-hal yang diantaranya “Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006”.164 Adanya amanat dari Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) untuk melahirkan Undang-Undang yang baru tentang Aceh, hal ini direspon Pemerintah Republik Indonesia dengan lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada tanggal 1 Agustus 2006. Aspirasi yang dinamis dari rakyat Aceh bukan saja dalam kehidupan adat, budaya, sosial, dan politik mengadopsi keistimewaan Aceh, melainkan juga memberikan jaminan
164
Point 1.1.1 Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Amanat tersebut semestinya sudah direalisasikan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006, tetapi amanat tersebut baru dapat direalisasikan pada tanggal 1 Agustus 2006, dengan lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
103
kepastian hukum dalam segala urusan karena dasar kehidupan rakyat Aceh yang religius telah membentuk sikap, daya juang yang tinggi, dan budaya Islam yang kuat.165 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada prinsipnya mengatur kewenangan yang bersifat khusus kepada Pemerintah Aceh. Adapun kewenangan daerah dalam melaksanakan otonomi khusus yaitu menyelenggarakan
wewenang
yang
masih
menjadi
kewenangan
dari
Pemerintah Republik Indonesia.166 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, telah menjadi esensi dalam menyelenggarakan Pemerintahan Aceh yang lebih baru,
165
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada Penjelasan Umum.
166
Husni Jalil dalam M. Solly Lubis, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi, PT. Sofmedia, Jakarta, 2010, hal. 120. Adapun kewenangan yang berifat khusus dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sesuai dengan Pasal 7, yaitu: (1) Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah. (2) kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan Pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. (3) dalam menyelenggarakan kewenangan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat: a. Melaksanakan sendiri. b. Menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota. c. Melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dan/atau instansi Pemerintah. d. Menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan gampong berdasarkan tugas pembantuan.
104
sebagaimana diutarakan Ahmad Farhan Hamid167 bahwa Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah jembatan emas menuju Aceh baru, yang bukan saja damai, tapi juga berkeadilan dan makmur sejahtera, selanjutnya
adalah
keikhlasan
dan
komitmen
para
pihak
untuk
mengimplementasikannya. Lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, ternyata juga berimplikasi bagi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam konteks nasional. Hal ini dapat ditelaah bahwa tidak lama berselang lahir juga Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah pada
Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan, Pemerintah Aceh memiliki beberapa kewenangan yang bersifat istimewa dan khusus, diantaranya: a. Penyelenggara pemilihan, sesuai dengan amanat Pasal 56 (1), yang berbunyi “KIP Aceh menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA, DPRK, dan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota”. b. Partai politik lokal, sesuai dengan amanat Pasal 75 (1), yang berbunyi “Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal”. c. Lembaga wali nanggroe, sesuai dengan amanat Pasal 96 (1), yang berbunyi “Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembagalembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya”. d. Syariat Islam, sesuai dengan amanat Pasal 126 (1), yang berbunyi “setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam”. e. Bendera dan lambang Aceh, sesuai dengan amanat Pasal 246 (2), yang berbunyi “selain Bendera Merah Putih, Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan”. 167
Ahmad Farhan Hamid, Op.Cit, hal. 476.
105
dasarnya untuk menyempurnakan regulasi pemilukada168 secara langsung.169 Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, pada awalnya dipersiapkan untuk merespons putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007 tanggal 23 Juli 2007.170
168
Terminologi pemilukada, pada awalnya adalah pilkada. Pemilukada dimaksudkan sebagai suatu bentuk rezim dari pemilu, yang mana hal ini ditegaskan oleh Undang-undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum jo Undang-undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, yang tertera pada Pasal 1 (4), yang berbunyi “pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. 169
Adapun pertimbangan dilahirkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, diantaranya: a. Bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah terjadi perubahan, terutama setelah Putusan Mahkamah Konstitusi tentang calon perseorangan (independen). b. Bahwa dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum diatur mengenai kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya. c. Bahwa dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum diatur mengenai pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang meninggal dunia, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya. Pada huruf (c), (d), (e) pada konsiderans Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. 170
Putusan MK No. 5/PUU-V/2007 menyatakan adanya pertentangan hukum antara Pasal 56, Pasal 59, dan Pasal 60 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dengan Pasal 18 (4), Pasal 27 (1), Pasal 28D (1 dan 3), serta Pasal 28I (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, proses pencalonan Kepala Daerah lewat jalur perseorangan (independen) sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dimana Pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin hak-hak konstitusional politik setiap warga negara dalam berpolitik. Patut untuk ditelah bahwa mengenai calon independen, pada dasarnya telah lebih dahulu diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sebagaimana yang ditegaskan pada Pasal 67 (1), yang berbunyi “pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, dapat diajukan oleh: (a) partai politik atau gabungan partai politik, (b) partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal, (c) gabungan partai politik dan partai politik lokal, serta (d) perseorangan/independen”. Berdasarkan ketentuan tersebut, secara normatif dalam pemilukada Aceh mengenal adanya calon Kepala Daerah yang maju dari calon independen. Artinya
106
B. Interaksi Antara Republik Indonesia dan Aceh Pasca Proklamasi, Belanda melancarkan 2 (dua) kali Agresi Militer terhadap Republik Indonesia.171 Agresi Militer Belanda I dilakukan pada tanggal 21 Juli 1947, diiringi dengan pembentukan negara boneka oleh Van Mook di wilayah Indonesia Timur. Agresi Militer Belanda II terjadi pada tanggal 19 Desember 1948, diiringi pembentukan negara boneka oleh Van Mook dikawasan Pulau Jawa dan Sumatera sebagai basis terakhir Republik Indonesia. Selama revolusi fisik, Aceh merupakan satu-satunya wilayah yang tidak dapat diduduki oleh Belanda sehingga Aceh disebut sebagai Daerah Modal bagi perjuangan bangsa Indonesia. Dalam era mempertahankan kemerdekaan ini peran para ulama sangat menentukan karena melalui fatwa dan bimbingan para ulama ini rakyat rela
bahwa setiap rakyat Aceh dapat mengikuti proses pesta demokrasi lokal atau pemilukada, walaupun tanpa adanya dukungan legal-formal dari partai politik, baik dari partai politik nasional, maupun dari partai politik lokal. Sekali lagi, hal ini dapat ditelaah bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Aceh telah menjadi lokomotif dalam perkembangan politik hukum, khususnya bagi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam konteks nasional. 171
Belanda memakai taktik perang kolonial yang licik dengan cara lama mempertentangkan satu suku dengan suku lain, sekaligus memecah belah persatuan dengan mendirikan negara-negara “boneka” yang menjamur. Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 285. Dalam konsolidasi politiknya setelah Pemerintahan Republik Indonesia dan TNI (Tentara Nasional Indonesia) hijrah meninggalkan kantong-kantong gerilya, mulailah Van Mook menggerayangi daerah tersebut dengan mengadakan kegiatan politik berupa lahirnya konferensikonferensi di daerah yang dikosongkan TNI itu. Sasaran antaranya untuk membentuk Negara “boneka” ala Van Mook dan pada gilirannya bermuara kepada pembentukan suatu Negara Indonesia Serikat (NIS). Sasaran akhirnya jelas mengeliminir Republik Indonesia dari muka bumi. Guna merealisir citacita NIS ala Van Mook, mereka mengadakan konferensi antara negara “boneka”, yang kemudian dikenal bernama BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg). BFO inilah nantinya menjelma jadi suatu Negara Federal (selanjutnya dikenal sebagai Republik Indonesia Serikat) untuk menyaingi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tgk A.K. Jakobi, Aceh Daerah…, Op.Cit, hal. 216.
107
berjuang dan berkorban mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.172
172
Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, pada Penjelasan Umum. Sebagaimana yang diutarakan oleh Paul Van „T Veer, bahwa Aceh adalah satu-satunya bagian dari hindia belanda yang pada bulan-bulan sebelum Jepang mendarat, telah melakukan pemberontakan teratur terhadap kekuasaan Belanda. Perang Aceh tidaklah berakhir pada Tahun 1913 atau Tahun 1914, dari Tahun 1914 terentang benang merah sampai Tahun 1942, alur pembunuhan dan pembantaian, perlawanan di bawah tanah dan yang terbuka, yang sejak Tahun 1925 sampai Tahun 1927 dan pada Tahun 1933 mengakibatkan pemberontakan-pemberontakan yang luas. Dengan demikian menganggap jangka waktu dari Tahun 1873 sampai Tahun 1942 sebagai satu perang besar Aceh, atau sebagai kesinambungan empat atau lima perang Aceh yang berbeda-beda sifatnya. Paul Van „T Veer, Perang Aceh Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Grafiti Press, Jakarta, 1985, hal. 246. Ada berbagai pandangan mengenai perang Aceh melawan Belanda, yang pada intinya menyatakan bahwa Aceh tidak pernah mengaku dan menyerah kepada Belanda, argumentasi tersebut diantaranya: a. Perang Aceh melawan Belanda berlangsung selama 30 (tiga puluh) Tahun, dari Tahun 1873Tahun 1903 (dengan menyerahnya sultan Aceh). b. Perang Aceh melawan Belanda berlangsung selama 40 (empat puluh) Tahun, dari Tahun 1873-Tahun 1913 (dengan tertangkapnya dan tewasnya keturunan Tgk Tjik di Tiro), bahwa sebelum sultan Aceh menyerah untuk menebus keluarganya yang ditangkap Belanda, terlebih dahulu mengirim surat kepada Panglima Polim dan Ulama di Tiro, dengan menyerahkan pimpinan perjuangan tertinggi. c. Perang Aceh melawan Belanda tidak pernah habis dan Aceh belum pernah menyerah kepada Belanda, sampai Belanda keluar dari bumi Aceh pada Tahun 1942. Hal ini dibuktikan, bahwa selalu saja ada perlawanan dan pertempuran di Aceh dengan Belanda terus menerus sesudah Tahun 1913 itu, dengan peristiwa Cut Ali di Aceh Selatan, kemudian menyusul peristiwa Lhong, Raja Tampok dan seterusnya. Ismail Suny, Bungai Rampai Tentang Aceh, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1980, hal. 9. Lihat juga pandangan Teuku Ibrahim Alfian mengenai perang Aceh melawan Belanda, bahwa perang melawan Belanda itu dapat berlangsung sedemikian lama, oleh karena perang itu dijiwai oleh ideologi perang sabil. Dalam ideologi perang sabil, mereka yang gugur dalam melawan kaphe adalah syahid dan akan masuk surga, serta diampunkan segala dosanya, dan di dalam surga dia akan memperoleh segala kenikmatan yang tiada taranya. Oleh karenanya, perang Aceh melawan Belanda adalah perang yang terlama dan terdahsyat dalam sejarah kolonial. Dalam hal ini tidak kurang dari 37.000 orang terbunuh di pihak Belanda, dan tidak kurang dari 70.000 orang korban tewas di pihak Aceh. Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Banda Aceh, 1999, hal. 235.
108
Lebih lanjut Paul Van „T Veer173 juga mengungkapkan bahwa Agresi Belanda I dan II tidak dapat menembus Aceh. Sebagaimana yang diutarakan bahwa : “… sesudah Tahun 1945 Pemerintah Belanda tidak kembali lagi di Aceh. pada ketika aksi-aksi militer Tahun 1946 dan Tahun 1947, ketika bagian-bagian besar Sumatera diduduki, tidak dilakukan upaya untuk menembus sampai ke Aceh. Di bagian satu-satunya dari Indonesia inilah antara Tahun 1945 sampai Tahun 1950 merdeka sudah menjadi kenyataan.”
Bertitik tolak dari rangkaian peristiwa sejarah tersebut, sampai dengan terjadinya Agresi Belanda I dan II, hal ini menjadi landasan hubungan Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia. Pada perkembangannya Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia memiliki hubungan yang harmonis dan disharmonis, untuk mencermati interaksi antara Aceh dan Republik Indonesia dapat digambarkan berdasarkan skema 2.2 berikut ini:
173
Paul Van „T Veer, Op.Cit, hal. 254.
109
Skema 2.2174 Interaksi Aceh dan Republik Indonesia
A C E H vs INDONESIA
Harmonis: Aceh sebagai modal RI
Disharmonis Cumbok (1945-1946) DI/TII (1953-1959)
Republik Islam Aceh (19611963)
GAM (1976-2005)
Berdasarkan Skema 2.2 tersebut dapat ditelaah bahwa antara Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia, sama-sama saling berinteraksi baik dari sudut
174
referensi.
Skema 2.2 merupakan hasil pengolahan data oleh penulis dari berbagai sumber dan
110
pandang hubungan yang harmonis maupun disharmonis, juga terkait latar belakang dan aktor-aktor yang mempengaruhinya.
1. Aceh Sebagai Modal Republik Indonesia Daratan Aceh adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang masih utuh, tidak diduduki oleh Belanda. Karena itu Aceh disebut sebagai “Daerah Modal”, yang berarti “daerah untuk meneruskan cita perjuangan kemerdekaan yang sedang dalam ancaman penjajah”. Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia (Soekarno), pada tanggal 16 Juni 1948 dalam rapat raksasa di Blang Padang, Banda Aceh. Berikut pernyataan Soekarno:175 “...Rakyat Aceh dalam sejarah dikenal sebagai pejuang yang paling gigih menentang penjajahan Belanda. Berpuluh-puluh tahun rakyat Aceh menentang kolonialisme Belanda. Sekarang saatnya mengusir penjajah Belanda dari bumi persada tercinta ini. Dimana-mana Belanda sudah mendirikan negara boneka untuk mengepung Republik Indonesia. Sudah waktunya sekarang pemuda-pemuda Aceh yang berdarah pahlawan siap melakukan perang sabil untuk mengusir kaum penjajah dari persada ibu pertiwi tercinta. Aceh adalah daerah modal. Modal dalam meneruskan cita proklamasi 17 Agustus 1945 dan modal dalam perjuangan mengusir kaum penjajah dari halaman rumah kita...”. Pada hari yang sama Soekarno menuju Sigli, tepatnya dilapangan Kota Asan Sigli, Soekarno juga mengatakan bahwa:176 “…biar Republik Indonesia selebar payung, tetap harus berjuang terus dengan Aceh sebagai daerah
175
Tgk A.K. Jakobi, Aceh Daerah…, Op.Cit, hal. 217-218.
176
Ibid., hal. 219.
111
modal. Dalam meneruskan cita proklamasi 17 Agustus 1945 dan meneruskan perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara…”. Soekarno kembali melanjutkan perjalanan menuju Bireuen pada tanggal 17 Juni 1948, dan kembali menegaskan:177 “…Saya ingin bertemu muka dengan rakyat Aceh yang selalu menjadi kenanganku. Bagi seluruh rakyat Indonesia, rakyat Aceh cukup dikenal, bahkan oleh seluruh dunia, sebagai rakyat yang tidak mau dijajah Belanda. Rakyat Aceh yang telah mengalahkan beberapa bagian tentara Belanda, Rakyat Aceh yang telah mengadakan perjuangan mati-matian, bertempur, menolak, dan menahan imperialisme Belanda masuk kedaerah Aceh, sehingga karenanya Aceh menjadi Daerah Modal Republik Indonesia, Rakyat Aceh menjadi Inspirasi mengobarkan semangat Bangsa indonesia…”.
Bertempat di kota Bireuen tersebut, untuk pertama kalinya Soekarno melakukan dialog dengan Gubernur Militer Aceh – Langkat – Tanah Karo, yakni Jenderal Mayor Tgk M. Daud Beureueh.178 Adapun dialog antara Soekarno dan Tgk M. Daud Beureueh yang bagian terakhirnya berbunyi sebagai berikut:179 “Soekarno
: saya minta bantuan kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Daud Beureueh : Sdr. Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja 177
Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. Pada pembukaan.
178
Tgk A.K. Jakobi, Aceh Daerah…, Op.Cit, hal. 224.
179
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 67-68. Lihat juga dalam Neta S. Pane, Op.Cit, hal. 59.
112
Soekarno
:
Daud Beureueh :
Soekarno
:
Daud Beureueh :
Soekarno
:
Daud Beureueh :
Soekarno
:
Daud Beureueh :
Soekarno
180
:
perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil (fisabilillah), perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada diantara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid. kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Tgk. Tjik Di Tiro dan lainlain yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau mati syahid. kalau begitu kedua pendapat ini telah bertemu Sdr Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Sdr Presiden bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan syariat Islam di dalam daerahnya.180 mengenai hal itu kakak tak usah khawatir, sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam. maafkan saya Sdr Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan, bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Sdr Presiden. kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan kakak itu. Alhamdulillah, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Sdr Presiden. Kami mohon, (sambil menyodorkan secarik kertas kepada Presiden) sudi kiranya Sdr Presiden menulis sedikit diatas kertas ini. (menangis), kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi Presiden. Apa gunanya menjadi Presiden kalau tidak dipercaya. bukan kami tidak percaya Sdr Presiden, akan tetapi hanya sekedar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang. Wallah Billah, kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syariat Islam. Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-
Penulis menggaris bawahi hal tersebut, sebagai bentuk memperjelas substansi dari dialog Tgk M. Daud Beure‟euh dan Presiden Soekarno.
113
benar nanti dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya.181 Nah, apakah kakak masih ragu juga ? Daud Beureueh : saya tidak ragu lagi Sdr Presiden. Sekali lagi atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Sdr Presiden”.
Pada masanya, Banda Aceh (dikenal juga dengan sebutan Kutaraja saat ini adalah ibukota Provinsi Aceh) juga pernah menjadi ibukota darurat Republik Indonesia, yakni ketika Kabinet Presidentil Kedelapan dibentuk pada tanggal 7 Agustus 1949 dan mantan Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI),182 Mr Sjafruddin Prawiranegara, diangkat menjadi Wakil Perdana
181
Penulis menggaris bawahi hal tersebut, sebagai bentuk memperjelas substansi dari dialog Tgk M. Daud Beure‟euh dan Presiden Soekarno. 182
PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) merupakan upaya mengantisipasi situasi politik dan militer yang semakin genting menghadapi Belanda paska Agresi Militer Belanda I dan II, tindakan ini diambil bilamana serdadu Belanda menyerang dan menduduki ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta, dan ramalan itu menjadi kenyataan ketika Ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta diserbu secara tiba-tiba dan terus dikuasai serdadu Belanda. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta serta Haji Agus Salim ditahan dan diasingkan ke pulau Bangka, Jenderal Sudirman yang sedang sakit memutuskan hijrah kepedalaman bersama rakyat untuk memimpin perang gerilya. Sebelum Soekarno – Hatta ditawan Belanda, masih sempat mengirimkan instruksi kepada Menteri Kemakmuran Republik Indonesia Mr. Sjafruddin Prawiranegara, yang sedang berada di Bukit tinggi, isi instruksi tersebut berbunyi sebagai berikut: “Kami, Presiden Republik Indonesia memberitahukan, bahwa pada hari minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 pagi, Belanda telah memulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah Republik Indonesia tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera”. Pada kesempatan yang sama, Soekarno – Hatta juga memberi mandat kepada trio (Dr. Soedarsono – Palar – Maramis) dengan alamat New Delhi, India. Yang berbunyi sebagai berikut: “Pro: Dr. Soedarsono – Palar – Maramis, New Delhi, India. Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan, bahwa pada hari minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 pagi, Belanda telah mulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika ikhtiar Mr Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera tidak berhasil, kepada saudarasaudara dikuasakan untuk membentuk (Exile Government of Republik Indonesia) di India. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Mr Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya”. Tgk A.K. Jakobi, Aceh Daerah…, Op.Cit, hal. 203-204. Lihat juga dalam Syafruddin Prawiranegara, Pemimpin Bangsa Dalam Pusaran Sejarah,
114
Menteri dengan kedudukan di Banda Aceh. Dengan demikian Banda Aceh dipersiapkan menjadi ibukota Republik Indonesia kedua, atau “ibukota darurat” bagi Republik Indonesia.183 Adapun tugas Wakil Perdana Menteri (Sjafruddin Prawiranegara) di Aceh akan selesai bila Konferensi Meja Bundar (KMB)184 yang berlangsung di Den Haag berhasil dengan baik. Jika KMB mengalami kegagalan dan kembali Harian Republika, Jakarta, 2011, hal. xvi. Lihat juga dalam Mohammad Hatta, Menuju Gerbang Kemerdekaan, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2011, hal. 198-199. Lihat juga pandangan Jimly Asshiddieqie mengenai Syafruddin prawiranegara, bahwa Syafruddin Prawiranegara selaku Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) antara tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan tanggal 13 Juli 1949 adalah kepala negara dan kepala Pemerintahan Republik Indonesia yang sah. Hal ini karena dalam Sistem Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kepala negara dan kepala Pemerintahan Republik Indonesia itu tiada lain adalah Presiden Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Syafruddin Prawiranegara, Op.Cit, hal. 500. 183
Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 285.
Pada mulanya, pada tanggal 19 Desember 1948 Ibukota Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, ketika itu Soekarno-Hatta menunjuk Syafruddin Prawiranegara mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Ferry Mursyidan Baldan, Pondasi Menuju Perdamaian Abadi, Suara Bebas, Jakarta, 2007, hal. 42. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukit Tinggi tidak tinggal tetap disuatu tempat, akan tetapi bergerak mobil sekitar Keresidenan Sumatera Barat. Satu kelompok meninjau sampai ke Jambi, dan kelompok lainnya sampai ke Aceh. Adapun kelompok yang sampai ke Aceh dipimpin oleh Kol. Hidayat. Teuku Moehammad Hasan, Op.Cit, hal. 494-495. Pada awalnya Kol. Hidayat memindahkan Markas Tentara Komando Sumatera ke sebuah rumah di pinggiran kota Bukittinggi. Dari rumah itulah dikeluarkan Perintah Harian Panglima yang menyerukan agar para prajurit meneruskan perlawanan terhadap Belanda dengan perang gerilya. Untuk melaksanakan perang gerilya itu, Kol. Hidayat terlebih dahulu akan berangkat ke Aceh, melalui jalan darat bersama ajudannya Kapt. Islam Salim, berikut beberapa orang pengawal, para perwira staf diperintahkan untuk tetap berada di Sumatera Barat dengan basis Bonjol. Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 391. 184
KMB (Konferensi Meja Bundar) adalah sebuah pertemuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari tanggal 23 Agustus 1949 – 2 November 1949. Hasil dari KMB diantaranya: “… serah terima kedaulatan dari Pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat”. Wikipedia, “Konferensi Meja Bundar”, http://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_Meja_Bundar, diakses pada tanggal 19 Februari 2014. Lihat juga dalam Mohammad Hatta, Menuju…, Op.Cit, hal. 216-217.
115
terjadi perang lagi, Wakil Perdana Menteri (Sjafruddin Prawiranegara) telah membentuk Kabinet Perang yang berkedudukan di Banda Aceh sebagai Ibukota kedua Republik Indonesia, selama keadaan perang tersebut.185 Menindaklanjuti posisi Banda Aceh (Kutaraja) sebagai ibukota darurat Republik Indonesia, Presiden Soekarno menginstruksikan sejumlah pimpinan TNI (Tentara Nasional Indonesia),186 untuk meninggalkan Yogyakarta menuju Banda Aceh (Kutaraja), selain karena kota Yogyakarta dirasakan sudah tidak
185
Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 286.
Pada saat itu, Syafruddin Prawiranegara yang bertindak sebagai Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia, pindah dari Jawa ke Aceh. beliau berada di Aceh sebagai wilayah de facto mengatur peningkatan gerakan dan perjuangan didalam negeri dan mengembangkan usaha-usaha diplomatik diluar negeri, sehingga dapat membuktikan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih ada dan mampu meneruskan revolusi. Akhirnya, usaha-usaha revolusi yang dilancarkan dari daerah de facto Aceh telah berhasil menarik perhatian dunia internasional dan memaksa Belanda untuk mengadakan perundingan di bawah pengawasan Persatuan Bangsa-Bangsa. Disaat pengakuan kedaulatan Indonesia pada tanggal 29 Desember 1949 pada Konferesnsi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Wilayah Aceh adalah satu-satunya daerah yang tidak berhasil ditaklukkan oleh Belanda. Abdullah Sani Usman, Op.Cit, hal. 186. 186
TNI (Tentara Nasional Indonesia) pada awalnya merupakan organisasi yang bernama BKR (Badan Keamanan Rakyat). Selanjutnya BKR mengalami metamorfosa, diantaranya: a. Pada 5 Oktober 1945, BKR berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dan selanjutnya diubah kembali menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia). b. Pada 3 Juni 1947, TRI berubah menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia). c. Pada Desember 1949, TNI berubah menjadi APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Hal ini merupakan gabungan antara TNI dan KNIL, KNIL adalah het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda. d. Pada 17 Agustus 1950, APRIS berubah menjadi APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). e. Pada tahun 1962, APRI berubah menjadi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Hal ini merupakan gabungan antara APRI dan Kepolisian Negara. f. Pada 1 April 1999, ABRI berubah menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia). TNI, “Sejarah TNI”, http://tni.mil.id/pages-10-sejarah-tni.html, diakses pada tanggal 19 Februari 2014. Lihat juga dalam Wikipedia, “Sejarah TNI”, http://id.m.wikipedia. org/wiki/Sejarah_Tentara_Nasional_Indonesia, diakses pada tanggal 19 Februari 2014. Lihat juga dalam Wikipedia, “KNIL”, http://id.m.wikipedia.org/wiki/KNIL, diakses pada tanggal 19 Februari 2014.
116
aman, dengan hijrah ke Aceh dimungkinkan untuk mempersiapkan gerakan rakyat dalam bentuk perlawanan rakyat semesta.187 Rentang waktu Agresi Militer II Belanda, Belanda terus melakukan manuver politik adu domba, tepatnya 3 (tiga) bulan paska pendudukan Yogyakarta sejumlah pihak mencoba menggunting dalam lipatan, untuk melepaskan diri dari Republik Indonesia yang baru seumur jagung. Pada 17 Maret 1949, Wali Negara Sumatera Timur (Tengku Dr. Mansyur) berkirim surat kepada Tgk M. Daud Beureueh, yang intinya agar bersedia menghadiri Mukhtamar Sumatera yang akan diadakan di Medan pada 28 Maret 1949. Mukhtamar tersebut bertujuan membentuk Negara Sumatera Merdeka, yang terpisah dari Republik Indonesia. Khusus untuk Aceh diberi 3 (tiga) pilihan:188 a. Aceh dapat meninggalkan Republik Indonesia dan bergabung dengan Negara Sumatera Merdeka yang akan dibentuk. b. Aceh berpeluang menyatakan diri sebagai negara yang merdeka. c. Aceh tetap berada dalam pangkuan Republik Indonesia.
187
Sejumlah perwira senior dan pimpinan teras turut tinggal di Aceh, diantaranya: Angkatan Darat (Kol. Hidayat, Kol. Askari, LetKol. A. Kartawirana, Mayor. Ibrahim Adjie, LetKol. Alex Kawilarang, Mayor. Akil Prawireja), Angkatan Laut (KSAL Kol. Subiyakto, Kapt. Martadinata, Letnan. Sudomo, Mayor Laut. John Lie), Angkatan Udara (KSAU Kol. H. Sudjono). Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 279. 188
Neta S. Pane, Op.Cit, hal. 62.
Surat tersebut berbingkis kuning, yang dijatuhkan dari sebuah pesawat udara di Kutaraja (kini Banda Aceh) dan sebuah surat yang sama juga dijatuhkan di Takengon. Lihat juga dalam M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 42.
117
Tgk M. Daud Beureueh, dengan tegas menjawab ajakan dari Tengku Dr. Mansur, yang dimuat lengkap dalam surat kabar Semangat Merdeka yang terbit di Banda Aceh pada 23 Maret 1949. Tepatnya 5 (lima) hari menjelang berlangsungnya Mukhtamar Sumatera di Medan, berikut pernyataan Tgk M. Daud Beureueh:189 “Perasaan kedaerahan di Aceh tidak ada. Sebab itu, kami tidak bermaksud untuk membentuk suatu Aceh Raya dan lain-lain karena kami disini adalah semangat Republiken. Sebab itu juga undangan Wali Negara Sumatera Timur itu kami pandang sebagai tidak ada saja, dari karena itulah tidak dibalas. Kesetiaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Republik Indonesia bukan dibuat-buat serta diada-adakan. Tetapi, kesetiaan yang tulus dan ikhlas yang keluar dari hati nurani dengan perhitungan dan perkiraan yang pasti. Rakyat Aceh tahu persis bahwa kemerdekaan secara terpisah-pisah negara per-negara tidak akan menguntungkan dan tidak akan membawa kepada kemerdekaan yang abadi”.
Pernyataan tegas Tgk M. Daud Beureueh ini membuat semangat Tengku Dr. Mansur untuk mendirikan Negara Sumatera Merdeka menjadi rontok. Muhktamar Sumatera pun menjadi tidak populer lagi dan sikap tegas Tgk M. Daud Beureueh ini membuat Soekarno menjadi kagum. Ketika Soekarno bebas dari tawanan Belanda, tepatnya pada 4 September 1949, kembali datang ke Aceh dan menemui Tgk M. Daud Beureueh. Saat berkunjung ke Meulaboh
189
Neta S. Pane, Op.Cit, hal. 63.
Adanya pernyataan tersebut, Tgk M. Daud Beureueh berhasil memberi argumentasi dihadapan ulama lainnya. Bagi Aceh, katanya hanya ada satu negara, yakni Negara Republik Indonesia, sekaligus hanya ada satu perang, yakni perang sabil untuk membela Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lihat juga dalam Al Chaidar, Aceh Bersimbah Darah, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 1998, hal. 80.
118
bersama Tgk M. Daud Beureueh dihadapan ribuan rakyat Aceh, Soekarno menyatakan bahwa Aceh adalah modal bagi Republik Indonesia.190 Aceh sebagai daerah modal, juga dapat ditelusuri dari beberapa faktor, diantaranya:191 a. Rakyat Aceh secara antusias membeli obligasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, untuk menyumbat kebocoran kas Pemerintah Republik Indonesia. b. Tatkala Yogyakarta, pusat Pemerintahan Republik Indonesia diduduki oleh Belanda, dan Presiden serta Wakil Presiden ditawan oleh Belanda, secara otomatis suara RRI Yogyakarta menjadi bungkam, dan hal ini dilanjutkan oleh RRI Aceh untuk mengumandangkan suara Pemerintah dan rakyat Indonesia yang sedang berjuang keluar negeri. c. Rakyat Aceh mengeluarkan dana berjumlah M$ 20.000.000,- untuk perbelanjaan, baik bagi PDRI maupun bagi staf angkatan laut dan udara, bahkan untuk perjuangan Dr. Sudarsono di India, dan L.N Palar di PBB New York, demikian juga untuk perwakilan Indonesia di Penang dan Singapura. d. Rakyat Aceh juga memberikan sumbangan bagi perjuangan Republik Indonesia, yaitu pembelian 2 (dua) buah pesawat terbang (pesawat itu diberi nomor registrasi RI-001 dan diberi nama “Seulawah”). Konon pembelian pesawat ini karena 2 (dua) patah kata yang keluar dari mulut 190
Neta S. Pane, Op.Cit, hal. 63.
191
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 43-47. Lihat juga dalam Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik Kasus Darul Islam Aceh, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hal. xi. Lihat juga dalam Hasan Saleh, Op.Cit, hal. 114-116. Lihat juga dalam Teuku Mohammad Ali Panglima Polim, Sumbangsih Aceh Bagi Republik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 57-68. Lihat juga dalam Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 275-288. Lihat juga dalam Ferry Mursydan Baldan, Op.Cit, hal. 43. Lihat juga dalam Tempo, Daud Beureueh Pejuang Kemerdekaan Yang Berontak, Gramedia, Jakarta, 2011, hal. 60-63. Lihat juga dalam Darmansjah Djumala, Soft Power Untuk Aceh Resolusi Konflik dan Poitik Desentralisasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2013, hal. 20-24. Patut juga ditelaah bahwa mengenai pembelian pesawat ini ada yang menarik diantaranya rakyat Aceh menyumbang dana untuk pembelian 2 (dua) pesawat, namun pesawat yang dibeli hanya 1 (satu) buah. Oleh Teuku Mohammad Ali Panglima Polim, hal ini dinyatakan sebagai suatu tindakan korupsi oleh oknum. Disisi lain, bahwa hanya rakyat Aceh yang menyumbang dana untuk pembelian pesawat terbang tersebut, yang selanjutnya menjadi cikal bakal Garuda Indonesia. Teuku Mohammad Ali Panglima Polim, Op.Cit, hal. 60-68.
119
Kepala Negara (Soekarno), ketika dalam suatu pertemuan di Aceh Hotel pada tanggal 16 Juni 1948, yang berbunyi: “...Alangkah baiknya jika Indonesia mempunyai kapal udara untuk memperkuat pertahanan negara dan mempererat hubungan antar pulau dan pulau...” e. Rakyat Aceh dalam riwayatnya juga telah menyumbangkan 5 (lima) Kg emas batangan untuk Pemerintah Republik Indonesia di waktu itu.
Berbagai peristiwa tersebut telah mengindikasikan Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia juga memiliki hubungan yang harmonis, khususnya di masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Akan tetapi berbagai hubungan yang harmonis tersebut dapat berubah menjadi disharmonis, hal ini salah satunya disebabkan karena inkonsistensinya Pemerintah Republik Indonesia dalam menetapkan kebijakan untuk Aceh.
2. Konflik di Aceh Paska Proklamasi
120
Konflik secara etimologi dapat diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, pertentangan.192 Pengertian konflik juga dapat ditelaah dari beberapa sudut pandang, diantaranya: a. Dalam konteks politik, konflik seringkali dikaitkan dengan kekerasan, seperti kerusuhan, kudeta, terorisme, dan revolusi. Konflik mengandung pengertian “benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan kelompok, individu dan kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah.193 b. Dalam konteks sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara 2 (dua) orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu
192
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012, hal. 723. Berikut ini ada beberapa pandangan para ahli dalam mendefinisikan konflik, diantaranya: a. Menurut Newstorm dan Davis, konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan diantara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. b. Menurut Gibson, konflik merupakan suatu hubungan, dan hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama antara satu dengan yang lain. c. Menurut Robbin, keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa didalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan. Wikipedia, “Konflik”, http://id.m.wikipedia.org/wiki/konflik, diakses pada tanggal 1 Agustus 2014. 193
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1992, hal. 149-150.
121
pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.194 Mengenai konflik yang pernah terjadi di Aceh, penting melakukan flashback berdasarkan periode dan sejarah masa lalu. Hal ini turut ditegaskan oleh M. Junus Melalatoa,195 yakni sebagai berikut: “… untuk memahami Aceh pada hari-hari ini tampaknya harus menoleh pada jejak-jejak masa lalu. Alasannya, setiap kali mau memahami Aceh dari sumber referensi selalu saja bersentuhan atau terkait dengan pengalaman indah atau suka-duka di masa lalu. Disisi lain, sejarah panjang kehidupan rakyat Aceh ditandai oleh berbagai peristiwa, terbebani oleh berbagai masalah sosial politik, yang diantaranya berimplikasi nasional dan bahkan internasional.” Berdasarkan pandangan tersebut, akan bijaksana kiranya untuk melakukan flashback mengenai berbagai peristiwa yang memicu lahirnya konflik di Aceh. Pada bahagian selanjutnya dalam rangka flashback mengenai konflik yang pernah terjadi di Aceh, akan dideskripsikan melalui beberapa periode, baik mengenai peristiwa cumbok, peristiwa Tgk M. Daud Beure‟euh, maupun pada peristiwa Hasan Tiro.
194
Wikipedia, “Konflik”, http://id.m.wikipedia.org/wiki/konflik, diakses pada tanggal 1 Agustus 2014. 195
M. Junus Melalatoa dalam Sardono W. Kusumo, Aceh Kembali Ke Masa Depan, IKJ Press, Jakarta, 2005, hal. 2. Jejak-jejak masa lalu di Aceh juga tidak dapat dipisahkan dari Tgk M. Daud Beure‟euh, karena Tgk M. Daud Beure‟euh merupakan satu kesatuan dengan berbagai tulisan tentang tanah rencong yang selalu bergolak. Tempo, Op.Cit, hal. ix.
122
a. Persitiwa Cumbok (Periode 1945 - 1946)196 Berbagi nama sebutan diberikan kepada peristiwa berdarah di Lam Meulo. Ada yang menamakan sebagai perang Cumbok, ada yang menyebutnya sebagai Revolusi Sosial, dan ada yang menyebutnya sebagai Revolusi Politik, berikut argumentasinya:197 a) Istilah Perang Cumbok, hanya menunjukkan telah terjadinya perang antara golongan Cumbok dengan golongan lainnya. Nama Cumbok dipilih karena T. Daud Cumbok yang ditunjuk sebagai pemimpin pasukan pengkhianat di Lam Meulo, satu-satunya pasukan yang bersenjata lengkap. b) Istilah Revolusi Sosial, merujuk pada pengertian bahwa peristiwa berdarah itu akibat perbedaan sosial, tingkat kehidupan. Walaupun berdasarkan hak-hak istimewa yang diperoleh dari Belanda, kaum Uleebalang memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi. 196
Cumbok adalah nama suatu Kecamatan (landschap) yang termasuk dalam kewedanan (onderafdeeling) Lam Meulo yang tergabung dalam Kabupaten (afdeeling) Aceh Utara (Noordkust Van Aceh). Kecamatan Cumbok ini pada zaman Hindia Belanda disebut Landschap van Cumbok. Adapun Kepala Daerahnya disebut Zelfbestuurder van Cumbok. Dalam bahasa daerah disebut Uleebalang Cumbok. Ia memakai gelar Teuku Seri Muda Pahlawan Bintara Cumbok. Sebelum proklamasi kemerdekaan, Uleebalang Cumbok adalah Teuku Muhammad Daud yang terkenal dengan Teuku Cumbok. Serta menjadi controuler Lam Meulo pada waktu itu adalah Scholten. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 92. Selanjutnya, Lam Meulo paska terjadinya peristiwa Cumbok berganti nama menjadi Kota Bakti. Hasan Saleh, Op.Cit, hal. 59. Mengenai pergantian nama daerah Lam Meulo menjadi Kota Bakti, Pemerintah Republik Indonesia menguraikan argumentasi, bahwa hal ini didasarkan pada Revolusi Desember 1945 atau pembasmian pengkhianat ini baru selesai pada tanggal 13 Januari 1946 yaitu dengan jatuhnya Kota Lam Meulo, selanjutnya diganti menjadi Kota Bakti karena disinilah rakyat Aceh telah memperlihatkan baktinya yang pertama sekali kepada Pemerintah Republik Indonesia, yang menjadi pusat dari segala kegiatan politik dan militer pengkhianat itu. Pemerintah Republik Indonesia Daerah Atjeh, Revolusi Desember ’45 di Atjeh Atau Pembasmian Pengkhianat Tanah Air, Ttt, hal. 7. 197
Hasan Saleh, Op.Cit, hal. 59.
Patut ditelaah pandangan Paul Van „T Veer, bahwa peristiwa berdarah tersebut lebih tepat disebut sebagai Revolusi Sosial, dengan argumentasi dari bulan Desember 1945 sampai Februari 1946 berkecamuk di Aceh perang saudara, terjadinya pembunuhan secara besar-besaran kepada kelompok kaum Uleebalang. Paul Van „T Veer, Op.Cit, hal. 253-254.
123
c) Istilah Revolusi Politik, mungkin adalah sebutan yang cocok untuk peristiwa ini, karena perang tersebut dimaksudkan untuk menjatuhkan kekuasaan politik kaum Uleebalang feodal yang menggunakan kekuasaannya dengan semena-mena selama ini. Istilah tersebut juga cocok dengan pandangan kelompok kaum Uleebalang yang menentang berdirinya Republik Indonesia, akibat Proklamasi Kemerdekaan. Periode Tahun 1945, rakyat Aceh secara bersama-sama berhasil mengusir penjajahan Jepang serta mematahkan rencana Belanda untuk dapat masuk kembali ke Aceh dan menganggu Pemerintahan Republik Indonesia. Dalam rakyat Aceh pada masa itu terdapat 3 (tiga) kelompok yang perannya diperhitungkan, kelompok masyarakat tersebut adalah Uleebalang,198 PUSA
198
Uleebalang sudah dikenal sejak masa Kerajaan Aceh. Mereka diangkat oleh Sultan untuk mengepalai “Nanggroe” atau negeri. Istilah Uleebalang mengacu pada pengertian Kepala Pemerintahan Daerah Sendiri Otonom dan Pemangku Hukum Adat di daerahnya. Pegangkatan Uleebalang ditandai dengan surat berstempel kerajaan yang dikenal dengan nama Cap Sikureung. Pada masa tersebut kekuasaan Uleebalang sangat besar dan memiliki otonomi yang luas. Uleebalang yang disebut juga kalangan bangsawan ini karena kekuasaannya yang sangat besar sering bertindak sebagai penguasa tunggal, sedangkan kekuasaan Sultan tinggal formalitas belaka. Kedudukan Uleebalang diwariskan secara turun temurun dan ditandai dengan pemberian gelar kebangsawanan. Untuk pria gelar kebangsawanan disebut “Teuku” dan bagi wanita disebut “Cut” atau “Cut Nyak” atau “Po Cut”. Menurut catatan Dr. A.J. Piekaar, Belanda mempertahankan tatanan Pemerintahan adat di Aceh, dengan tetap menyebut Uleebalang sebagai Kepala Pemerintahan atau Pemangku Adat di daerahnya. Para Uleebalang yang pada masa Sultan Aceh merupakan pemegang Sarakata, diberi kedaulatan oleh Belanda sebagai Zelfbestuurder (Kepala Pemerintahan Daerah Sendiri Otonom) yang sering juga disebut Uleebalang. Dalam menjalankan Pemerintahannya Belanda menambah Uleebalang untuk menempati daerah-daerah yang masih kosong, tetapi tidak dalam kedudukan sebagai Zelfbestuurder atau Kepala Pemerintahan Sendiri Otonom. Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 296-298. Di Aceh, kecuali daerah Aceh Besar, sebelum pecah perang pasifik terdapat 102 Uleebalang (Zelfbestuurder) yang merupakan “raja-raja” kecil yang absolut. Di daerah yang kadang-kadang mempunyai beberapa ratus penduduk, Uleebalang memegang kekuasaan turun temurun atas nama Sultan. Akan tetapi lambat laun ikatan antara Uleebalang dan Sultan semakin lemah. Hingga pada akhirnya mereka memisahkan diri dari Sultan dan menjadi merdeka. Mereka menjadi “raja-raja” kecil di daerahnya. Dengan demikian, dengan gampang mereka memihak kepada musuh dan mengadakan perjanjian setia kepada Belanda secara sendiri-sendiri. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 84. Menurut Insider, Uleebalang merupakan golongan yang terdiri dari mereka yang sangat bergembira dan sangat bersukaria atas kapitulasi Jepang. Golongan ini bercita-cita pengembalian
124
(Persatuan Ulama Seluruh Aceh),199 dan barisan Fujiwara Kikan yang sering disingkat (F).200
kekuasaan Belanda ke tanah air kita. Dalam golongan ini terdapat sejumlah besar dari mereka yang masih menyimpan peringatan, nikmat penghidupan yang serasi selama Pemerintahan Belanda dan sebelum Jepang menguasai daerah ini, mereka yang semasa Belanda dulu mempunyai kedudukan tinggi yang memberikan mereka kesempatan hidup dalam kemewahan. Kapitulasi Jepang bagi golongan ini berarti pengembalian kekuasaan Belanda dan pengembalian kekuasaan Belanda berarti pengembalian kehidupan yang diliputi oleh kesenangan, kemegahan, dan kemewahan. Insider, Aceh Sepintas Lalu, Archapada, Jakarta, 1950 hal. 6-7. Lihat juga dalam S.M. Amin, Memahami Sejarah Konflik Aceh, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2014, hal. 4-5. Menurut pandangan Nazaruddin Syamsuddin, bahwa kaum Uleebalang tidak seluruhnya mendukung Belanda, melainkan ada juga yang menentang Belanda, diantaranya: T. Nyak Arif, T, M. Ali Panglima Polim, T. Ahmad Djeunib, dan lain-lain. Nazaruddin Syamsuddin, Revolusi di Serambi Mekkah, UI-Press, Jakarta, 1998, hal. 77-78. 199
PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), diprakarsai pendiriannya oleh Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap, seorang Ulama besar yang berasal dari Matang Geulumpang Dua (Peusangan, Aceh). Ulama ini sangat dekat, bahkan mendapat perlindungan penuh dari T. Chik Peusangan Johan Alamsyah, atau yang biasa dikenal dengan sebutan Uleebalang Peusangan. Teungku adalah sebutan untuk Ulama besar di Aceh, gelar yang diberikan ini tidak berlaku secara turun temurun, Ulama besar disuatu daerah seing juga mendapat sebutan “Teungku Chik”. Menjelang Perang Dunia II meletus, diadakan musyawarah besar antara para Ulama pada tanggal 15 Mei 1939 di Matang Geulumpang Dua (Peusangan, Aceh) yang menjadi cikal bakal berdirinya PUSA. Dalam musyawarah tersebut Tgk M. Daud Beureueh terpilih sebagai ketua PUSA. Walaupun PUSA lahir, namun tidak dengan sendirinya berarti bahwa seluruh Ulama Aceh tergabung kedalam PUSA, dan sebaliknya bahwa tidak semua anggota PUSA adalah Ulama. Kehadiran PUSA tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari Ulama, adapun Ulama yang tidak setuju dengan organisasi PUSA, diantaranya: Teungku Hasan Krueng Kale, Teungku Syekh Ibrahim Lam Nga, Teungku Hasby Ash Shiddiqie, Teungku H. Makam, Teungku Abdul Salam Meuraxa, Teungku H. Muda Wali, Teungku Abdul Jalil, Teungku Amin Jumphoh, dan lain-lain. Tersirat kabar bahwa pendirian PUSA dimaksudkan untuk menghidupkan kembali lembaga Kesultanan Aceh yang telah dihapus Belanda. PUSA akan berjuang untuk mengangkat seorang Sultan. Dan tentunya isu ini membuat gusar sebagian besar Uleebalang yang ingin mempertahankan status quo nya. Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 298-300. Di antara ulama-ulama Aceh, 2 (dua) unsur kuat tetap terpisah dari PUSA, yaitu: Pertama, beberapa pengajar dayah yang konservatif, khususnya di Aceh Besar dan Aceh Barat. Kedua, ahli teologi Islam ternama Aceh dari kalangan Muhammadiyah, yakni Tgk. M. Hasby Ash Shiddiqie. Meskipun demikian, pada Tahun 1941 PUSA dapat disebut sebagai organisasi yang mewakili suara rakyat Aceh. Anthony Reid, Sumatera Revolusi dan Elite Tradisional, Komunitas Bambu, Jakarta, 2012, hal. 38. 200
Fujiwara Kikan (atau barisan F) terbentuk diawali dengan hadirnya Jepang untuk menginjakkan kakinya di Aceh, tepatnya pada bulan Maret 1942. (sebelum memasuki Aceh, Jepang mengatur misi kerjasama dengan Aceh melalui beberapa putera Aceh yang berada di Malaya untuk mengadakan kontak dengan pimpinan rakyat Aceh, diantaranya Said Abu Bakar). Barisan ini untuk
125
Pada awalnya tidak tampak sesuatu hal yang akan menjadi pokok perselisihan antara kedua golongan (Uleebalang - PUSA), dan saling hidup menggerakkan pemberontakan terhadap Belanda. Selanjutnya Said Abu Bakar mulai mendekati tokohtokoh Aceh yang sangat membenci Belanda, baik itu dari kelompok Uleebalang, maupun dari kelompok PUSA. Adapun dari kelompok Uleebalang yaitu: Teuku Nyak Arief, Teuku Moh Ali Panglima Polim, dan Teuku Ahmad Jeunib. Adapun dari kelompok PUSA yaitu: Tgk M. Daud Beureueh, Teungku A. Wahab Seulimeum, Teungku Syekh Abdul Hamid Samalanga, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap, Ayah Gani, dan Teungku Amir Husein Al Mujahid. Munculnya barisan F sangat mendukung moril rakyat Aceh yang memang sedang mempersiapkan pemberontakan melawan Belanda. Gerakan perlawanan terhadap Belanda ini berhasil dilakukan di Ujong Batee dan di Kuala Beugak. Kekuasaan Belanda diruntuhkan oleh rakyat Aceh ketika Jepang baru akan mendarat, tentunya pembersihan ini dilakukan atas petunjuk dari anggota barisan F. sebagai balas jasa Jepang mengangkat anggota barisan F menjadi Wedana (Gun Cho) atau Camat (Son Cho) yang menggantikan kedudukan Uleebalang, dan pegawai-pegawai dikantor-kantor serta jawatan-jawatan Pemerintah yang lain, saat itu kedudukan Uleebalang mulai tergeser. Dikemudian hari Jepang mengalami kesulitan karena anggota barisan F atau PUSA tidak berpengalaman dibidang Pemerintahan, administrasi dan keuangan. Oleh karena itu, Jepang meminta golongan Uleebalang untuk membantu Pemerintah Jepang. Perubahan sikap Jepang yang sebenarnya didasari oleh kebutuhan profesional untuk mendukung Pemerintah yang sedang dibentuknya ternyata menimbulkan kesalah-pahaman yang memperuncing hubungan antara Uleebalang dan PUSA. Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 300-301. Lihat juga dalam Paul Van „T Veer, Op.Cit, hal. 252-253. Pada periode meletusnya perang pasifik dengan penyerangan atas Pearl Harbour (pelabuhan mutiara) oleh tentara laut Jepang, disaat yang sama telah kembali ke Aceh beberapa pemuda dari Penang sebagai anggota (F) di bawah pimpinan Said Abubakar, mereka dikirim oleh Jepang yang waktu itu telah menduduki malaya. Tujuannya adalah menggerakkan rakyat agar memberontak melawan kekuasaan Pemerintahan Belanda, untuk mencapai kemerdekaan. Teuku Mohammad Ali Panglima Polim, Op.Cit, hal. 17. Jepang memasuki Sumatera melalui Aceh, setelah menjalin komunikasi lebih jauh dengan Abu Bakar. Dalam hal ini Abu Bakar menerangkan bahwa rakyat Aceh membenci Belanda dan Uleebalang karena memihak pada Belanda, sekaligus menindas rakyat Aceh. Selanjutnya Abu Bakar membuat komitmen dengan tentara Jepang untuk: a. Menyebarkan informasi kepada rakyat tentang kemenangan pihak militer Jepang di Malaya serta kerja sama yang bersahabat dari orang India dan Malaya dengan pihak militer Jepang. Juga sebarkan propaganda yang merongrong semangat juang Belanda. b. Menggugah hati rakyat Aceh sedemikian rupa guna membujuk kerja sama mereka dengan angkatan perang Jepang dan bantuan mereka bagi operasi pendaratan Jepang. c. Mencegah agar instalasi dan fasilitas umum maupun pribadi, jembatan, lapangan udara, sumur minyak, pengilangan, pabrik, kereta api, telekomunikasi, pelabuhan dan kapal, jangan sampai dihancurkan oleh Belanda. d. Menyediakan makanan, buah, dan air begitu pasukan Jepang mendarat dan bekerja sama dengan mereka dalam membimbing pasukan, menyediakan intelijen, mengumpulkan senjata, dan kendaraan yang terbuang (termasuk sepeda). Fujiwara Iwaichi, F. Kikan Operasi Intelijen Tentara Jepang di Asia Tenggara Selama Perang Dunia ke II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hal. 173-175.
126
dalam alam pikiran masing-masing, tidak berhubungan satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, lambat laun terlihat hal-hal yang menyebabkan timbulnya pertentangan diantara satu dengan yang lain. Bagi golongan yang mengingini
pengembalian
kekuasaan
kepada
Belanda
(kelompok
Uleebalang), mulai berusaha mengumpulkan bahan-bahan mengenai tingkah laku dan perbuatan-perbuatan dari kelompok PUSA, selama masa pendudukan Jepang. Uleebalang mulai menjalankan siasat guna mengetahui dan mencatat nama-nama setiap orang yang pernah bekerja sama dengan Jepang.201 Pada 27 Agustus 1945 di Aceh lahir organisasi API (Angkatan Pemuda Indonesia), yang selanjutnya berganti nama menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), organisasi ini dipimpin oleh T. Nyak Arif. Selanjutnya pada 12 Oktober 1945 lahir BPI (Barisan Pemuda Indonesia) yang juga berganti nama menjadi PESINDO dipimpin oleh Teungku Aly Hasjmy dan Tuanku Hasyim. Kedua organisasi/barisan ini lahir dengan tujuan untuk membela dan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, serta bermaksud merampas dan menguasai senjata yang masih berada ditangan pasukan Jepang.202
201
Insider, Op.Cit, hal. 6-7. Lihat juga dalam M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 85. Lihat juga dalam S.M. Amin, Op.Cit, hal. 6. 202
Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 304-305.
127
Sementara
itu,
dipihak
Uleebalang
menganggap
gerakan
kemerdekaan yang saat itu hangat dibicarakan tidak akan bertahan lama. Demikian halnya mengenai berita tentang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, uleebalang tidak meyakini hal itu, serta Uleebalang Cumbok tidak bersedia menerima tugas dan jabatan dari TKR (Tentara Keamanan Rakyat) sebagai wujud ketidakpercayaannya pada berita Proklamasi tersebut.203 Periode Oktober 1945, pertentangan antara Uleebalang dan PUSA telah memasuki tahap ketegangan, hal ini berhubungan dengan tindakantindakan T. Daud Cumbok yang melewati batas terhadap pemimpinpemimpin PUSA, dimana PUSA pada waktu itu sedang giat-giatnya menggelorakan semangat perjuangan kemerdekaan di daerah Pidie.204 Dilain pihak, pada 22 Oktober 1945 Uleebalang mengadakan rapat di rumah Uleebalang keumangan, tepatnya di rumah T. Keumangan Umar di Beureuneun. Diantaranya menyerukan sebagai berikut:205 203
Ibid.
Dalam suasana tersebut, berita tentang Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah sampai ke Aceh pada bulan September dengan perantaraan kawat yang dikirim oleh A.K. Gani (Komisaris Pemerintah Republik Indonesia untuk Sumatera di Palembang). Seluruh rakyat, terutama pemuda menyambutnya dengan kegembiraan yang meluap-luap, kecuali sebagian dari golongan Uleebalang yang masih ragu-ragu dan mencemoohkan Proklamasi kemerdekaan Indonesia serta melakukan tindakan-tindakan yang menghambat usaha-usaha menegakkan kemerdekaan. Lihat juga dalam M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 86. 204
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 92.
205
Hasan Saleh, Op.Cit, hal. 37-38. Lihat juga dalam M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 92.
128
“…untuk bersatu bahu-membahu membela kepentingan Uleebalang, agar tidak jatuh ketangan kaum PUSA, yang tidak lebih dari (anjinganjing Soekarno itu). Proklamasi Soekarno-Hatta bagi kami tidak berarti apa-apa. Soekarno-Hatta dan kawan-kawannya di Jawa adalah orang gila, yang bermimpi mengalahkan Belanda, sedangkan Ulama PUSA dari dulu memang ingin menyingkirkan kami. Negeri ini adalah kepunyaan Belanda. Tidak lama lagi Belanda akan kembali menguasainya. Bersiaplah untuk mempertahankan Cap Sikureung, beslit yang diterima nenek moyang kami dulu, untuk diwariskan kepada anak cucu kami. Dan si Tgk M. Daud Beureueh serta para pengikutnya adalah pengkhianat Belanda dan musuh…” Hasil rapat ini juga telah mengambil beberapa keputusan penting, yaitu:206 a) Membentuk suatu organisasi yang tugasnya mempertahankan kedudukan Uleebalang, bernama markas besar Uleebalang, berpusat di Lam Meulo. b) Untuk dapat bertindak secara efektif dibentuk suatu barisan dengan persenjataan lengkap yang dinamakan Barisan Penjaga Keamanan (BPK).207 November 1945, suhu politik di daerah Aceh mulai memanas. Faktor utama dalam hal ini adalah T. Daud Cumbok (Uleebalang), yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan situasi baru yang ditimbulkan oleh Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Uleebalang menghendaki agar senjata Jepang yang masih berada di Sigli jatuh ke dalam tangan uleebalang. Sedangkan yang di Lam Meulo sudah lebih dahulu dikuasainya. Sebaliknya PRI (Pemuda Republik Indonesia) yang didominasi oleh PUSA mengharapkan agar
206 207
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 92.
Menurut A. Reid bahwa BPK (Barisan Penjaga Keamanan) itu adalah suatu kesatuan yang bersifat anti Republiken. A Reid dalam M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 94.
129
Jepang menyerahkan senjata itu kepada PRI dengan pertimbangan sebagai berikut:208 a) Karena Jepang adalah sahabat PUSA. b) Karena Jepang beberapa waktu sebelum menyerah kalah, pernah menjanjikan
akan
memberikan
kemerdekaan
kepada
rakyat
Indonesia. Muramoto (Pembesar Jepang yang masih berada di Sigli) menjanjikan secara terpisah, kepada masing-masing pihak bahwa pada tanggal 4 Desember 1945 senjata-senjata Jepang baru dapat diserahkan.209 Sebagaimana disebutkan T. Panglima Polim Mohd Ali210 (mantan Wakil Residen Aceh) yang mendapat informasi bahwa tentara Jepang di Sigli mau menyerahkan senjata, beberapa oknum Uleebalang pada tanggal 1 Desember
208
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 95.
209
Muramoto pada dasarnya tidak mau menyerahkan dalam waktu dekat senjata-senjata Jepang itu kepada siapapun juga. Oleh karena ada instruksi dari Lino, bekas gubernur Pemerintah Balatentara Jepang di Aceh, bahwa pertentangan antara kaum Ulama (PUSA) dan Uleebalang harus lebih dipertajam, sebagai suatu usaha untuk mengalihkan perhatian dan tekanan orang-orang Aceh atas tentara-tentara Jepang yang dikonsentrasikan di Banda Aceh menunggu pemberangkatannya ke Jepang. Atas dasar instruksi Lino ini Muramoto membuat kalkulasi bahwa pertimbangan kekuatan (balance of power) antara 2 (dua) golongan yang bersaing itu harus dipelihara. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 96. Bandingkan juga dengan pandangan S.M.Amin, bahwa tentara Jepang mengumumkan bersedia menyerahkan sebagian dari persenjataannya, akan tetapi tidak kepada Tentara Keamanan Rakyat, melainkan hanya kepada rakyat. Dalam hal ini ada 3 (tiga) golongan manusia yaitu: Tentara Keamanan Rakyat, golongan Uleebalang, dan golongan PUSA, yang berhadapan satu sama lain sebagai musuh dalam usaha memperebut alat-alat yang menyerupai syarat mutlak bagi terjaminnya pemeliharaan kepentingan masing-masing, sedangkan sebagai pemegang peranan dibalik layar, yang memperbesar pokok perselisihan adalah tentara Jepang. S.M. Amin, Op.Cit, hal. 9-10. 210
T. Panglima Polim Mohd Ali, dalam M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 96.
130
1945 terus menduduki Sigli dan pada tiap pintu masuk ke Sigli dibuat pertahanan dan dijaga dengan ketat. Tujuan Uleebalang untuk menguasai Kota Sigli adalah untuk mendahului kaum Ulama (PUSA) dan PRI (Pemuda Republik Indonesia) menguasai senjata yang akan diserahkan oleh Jepang pada tanggal 4 Desember 1945.211 Melihat keadaan yang seperti itu, pemimpin-pemimpin PRI (Pemuda Republik Indonesia), seperti Hasan Aly dan Husin Sab mengerahkan pengikutnya dari Garot dan Gigieng untuk mengepung Kota Sigli, beribu-ribu rakyat berada disekitar Kota Sigli dalam keadaan siap siaga sehingga pasukan Uleebalang yang berada di dalam Kota Sigli benarbenar telah terkepung.212 Suasana kritis tersebut ditindaklanjuti oleh T. Nyak Arief (Residen Aceh) dengan mengirimkan Sjamaun Gaharu berikut 1 (satu) pasukan kecil dari TKR (Tentara Keamanan Rakyat) untuk mencoba menyelesaikan konflik yang terjadi di Sigli. Selanjutnya disusul juga oleh T. Panglima Polim Mohd Ali (Wakil Residen Aceh, sebagai perwakilan Pemerintah
211 212
Ibid., hal. 97.
Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 305. Lihat juga dalam M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 97.
131
Aceh). Selanjutnya T. Djohan Meuraxa (Wakil Gubernur Sumatera) juga tiba di Sigli.213 Untuk meredam suasana yang terjadi di Sigli diadakannya perundingan antara pihak-pihak yang bersangkutan,214 dan akhirnya didapat kesepakatan bahwa Jepang akan menyerahkan semua senjata yang ada ditangannya pada tanggal 4 Desember 1945 kepada TKR (Tentara Keamanan Rakyat) atau Pemerintah Republik Indonesia. Adapun isi perjanjian tersebut diantaranya berbunyi sebagai berikut:215 a) 5 (lima) hari lamanya tentara telah dikepung oleh berpuluh-puluh ribu orang barisan Indonesia. Menilik keadaan ini terpaksa kami menyerahkan senjata kepada TKR. Karena itu senjata-senjata kami seperti tertera di bawah ini, kami serahkan dalam tangan orang Indonesia yang berwajib. b) Mulai pada saat penyerahan senjata-senjata tersebut dan seterusnya pihak-pihak Indonesia menjamin tentang keselamatan dan harta-harta orang Nippon yang berkedudukan di daerah ini. Begitupun bila tentara kami dan orang-orang Nippon berkedudukan di daerah ini perlu dipindahkan ke lain daerah, juga menjamin keselamatan sampai tiba tujuan c) Senjata-senjata tersebut kemudian juga tidak akan dipakai selain dari tujuan menjaga keamanan umum. Selanjutnya pihak Indonesia menanggung jawab untuk menyimpan senjata-senjata tersebut d) Mulai pada saat terikat perjanjian ini pihak Indonesia mewakili tentara kami tentang hal menjaga gudang-gudang, bangunan213
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 97.
214
Adapun pihak yang bersangkutan diantaranya: Pemerintah Republik Indonesia (T. Panglima Polim Mohd Ali, T. Djohan Meuraxa, dan Abu Bakar), Uleebalang (Teuku Pakeh Sulaiman), PUSA (Hasan Aly), Pemerintah Jepang (Bunshu Cho – M. Mituaka, Keibitai Cho – M. Sokata). Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 307. 215
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 97-98. Lihat juga dalam Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 307-308.
132
bangunan dan lain-lain yang tertulis dalam daftar terlampir bersama ini, yang mana mestinya turut menjaganya e) Mulai saat perjanjian ini pihak Indonesia membubarkan barisan rakyat.
Menarik ditelaah bahwa ketika sesaat setelah dilaksanakan perjanjian tersebut, terjadi “tembak menembak” atau “kontak senjata” antara Uleebalang dengan PRI (Pemuda Republik Indonesia) juga terdiri dari anggota PUSA, dan keadaan ini terus berlangsung sampai 2 (dua) hari 2 (dua) malam. Melihat kejadian ini T. Nyak Arief (Residen Aceh)216 mengirimkan 1 (satu) detasemen TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dari Kutaraja (Banda Aceh) untuk mengusahakan perdamaian, akan tetapi sebelum tiba di Sigli pasukan ini dilucuti rakyat di daerah Seulimeum. Setelah itu T. Nyak Arif mengirimkan pasukan Polisi Istimewa ke Sigli bersama dengan T. Hamid Azwar sebagai Kepala Staf TKR di Kutaraja. Akhirnya
setelah
diadakan
perembukan
dengan
pihak-pihak
yang
216
Menurut pandangan Nazaruddin Syamsuddin, bahwa dipilihnya T. Nyak Arif oleh T. Moh Hasan sebagai Residen Aceh, disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: a. T. Moh Hasan menganggap T. Nyak Arif (Uleebalang dari Aceh Besar) ini mampu menjalankan tugas tersebut, karena telah melibatkan diri dalam Pemerintahan daerah semenjak ia menyelesaikan pendidikan. b. Bahwa T. Nyak Arif lebih dikenal diluar Aceh dari Tgk M. Daud Beureueh. Faktanya bahwa T. Nyak Arif telah dihubungi oleh pemimpin-pemimpin Republik yang ada di Sumatera Barat pada hari-hari pertama kemerdekaan. Atas keputusan tersebut, Tgk M. Daud Beureueh tidak pernah mengritik, apalagi memprotes atas dasar bahwa T. Nyak Arif mempunyai latar belakang Uleebalang yang selanjutnya menjadi lawan PUSA. Hal ini tentunya disebabkan kesadaran Tgk M. Daud Beureueh, bahwa ia dan T. Nyak Arif sedang menghadapi nasib yang sama karena keterlibatan mereka dalam pemberontakan menentang Belanda pada awal 1942. Nazaruddin Syamsuddin, Revolusi…, Op.Cit, hal. 85-87.
133
bersangkutan pada tanggal 6 Desember 1945, dicapai keputusan untuk mengadakan gencatan senjata.217 Peristiwa di Kota Sigli telah memperuncing suasana antara Uleebalang dan PUSA, dimana bagi kedua kelompok sama-sama menimbulkan banyak korban, sehingga peristiwa ini akan menjadi awal konflik antara Uleebalang dan PUSA. Menyikapi rentetan peristiwa yang telah terjadi, Uleebalang tidak tinggal diam, pada 10 Desember 1945 Uleebalang mengadakan rapat di rumah T. Laksamana Umar di daerah Lueng Putu, di dalam rapat tersebut diambil beberapa keputusan, diantaranya menerima tawaran T. Daud Cumbok yaitu “bahwa dalam menghadapi lawan, kaum ulama atau PUSA, Uleebalang harus menggunakan palu godam dan dengan tangan besi pula”. Sebagai realisasi keputusan rapat di Lueng Putu, T. Daud Cumbok mengambil inisiatif untuk menghukum tokoh-tokoh PRI (Pemuda Republik Indonesia) dan PUSA, diantaranya dengan berbagai macam tindakan sebagai berikut:218 a) Pada 10 Desember 1945, menyerang 4 (empat) buah rumah tokohtokoh PRI.
217
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 98-99. Lihat juga dalam Hasan Saleh, Op.Cit, hal. 66-72. Lihat juga dalam Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 308-309. 218
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 100-103.
134
b) Pada 11 Desember 1945, T. Ma‟ali (Uleebalang Samaindra), melancarkan serangan terhadap kampung Garot yang menjadi markas gerakan rakyat melawan Cumbok. c) Pada 16 Desember 1945, T. Daud Cumbok menembaki Meutareum dengan mortir. d) Pada 20 Desember 1945, tentara Cumbok mengadakan aksi pembakaran rumah sekolah agama di Titeu dan kantor Kehakiman di beberapa tempat. e) Pada 31 Desember 1945, T. Daud Cumbok kembali menyerang Meutareum dan kampung-kampung disekitarnya, yaitu: Ilot, Lagang, Lala, dan Pulo Kameng.
Menyikapi situasi yang terjadi Tgk M. Daud Beureueh (Ketua PUSA) tidak tinggal diam, beliau membawa persoalan ini ke forum KNI (Komite Nasional Indonesia),219 perihal ini pada mulanya tidak mendapat respon.220 Akan tetapi, dengan melihat keadaan di Sigli yang semakin tidak kondusif, akhirnya KNI (Komite Nasional Indonesia) daerah Aceh mengadakan rapat untuk membicarakan persoalan yang terjadi. Atas inisiatif Sjamaun Gaharu persoalan yang terjadi di Sigli diambil alih oleh Markas Umum Daerah Aceh.221
219
KNI merupakan Komite Nasional Indonesia, dan Tgk M. Daud Beureueh selain Ketua PUSA, juga menjadi anggota Komite Nasional Indonesia daerah Aceh yang berlokasi di Kutaraja (Banda Aceh). Lihat juga dalam M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 103. 220
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 102.
221
Ibid., hal. 103.
135
Pada tanggal 6 Januari 1946, Markas Umum Daerah Aceh mengadakan rapat terkait peristiwa yang terjadi di Sigli, dan mengeluarkan resolusi sebagai berikut:222 “Menetapkan bahwa segala perusuh, yang bertindak di Luhak Pidie, yang berpusat di Cumbok adalah pengkhianat tanah air (musuh Negara Republik Indonesia). Memutuskan, menyampaikan resolusi ini kepada Wakil Pemerintah Daerah Aceh dan Pusat Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh, menganjurkan kepada segenap lapisan rakyat Indonesia untuk menentang barisan pengkhianat tanah air itu”.
Pada tanggal
8 Januari 1946, Komite Nasional
Indonesia
mengadakan rapat kembali terkait peristiwa Cumbok di Sigli, menyatakan bahwa kekacauan di Luhak Pidie, secara nyata dilakukan oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration)223 dan
kaki tangannya, dan
menimbang bahwa Markas Umum Daerah Aceh menerima dengan suara bulat untuk mengambil tindakan terus untuk memusnahkan pengkhianatpengkhianat di Cumbok dan sekitarnya untuk mengembalikan keamanan rakyat di Luhak Pidie.224
222
Hasan Saleh, Op.Cit, hal. 82. Lihat juga dalam M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 103-104.
223
NICA adalah singkatan dari Netherlands Indies Civil Administration atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 104. Lihat juga dalam Nazaruddin Syamsuddin, Revolusi…, Op.Cit, hal. 76. 224
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 104.
136
Markas Umum Daerah Aceh merespon hal tersebut dengan mengeluarkan maklumat, diantaranya:225 “… Bahwa golongan yang berpusat di Cumbok Lam Meulo dan tempattempat lain, yang memegang senjata dan mengadakan perlawanannya kepada rakyat umum, adalah pengkhianat dan musuh Negara Republik Indonesia. Maka oleh sebab itu diperingatkan kepada orang-orang yang terpengaruh, terperosok, dan terperdaya oleh golongan pengkhianat itu supaya dengan segera menghindari diri dari golongan pengkhianat itu…”
Markas Umum Daerah Aceh sekaligus mengeluarkan ultimatum, diantaranya:226 “… dengan ini diberitahukan kepada golongan yang berpusat di Cumbok Lam Meulo dan tempat-tempat lain yang memegang senjata dan mengadakan perlawanan kepada rakyat umum supaya menyerah dan menghentikan perlawanannya mulai pukul 12.00 siang hari Kamis tanggal 10 Januari 1946. Kalau tidak mau menyerah dan menghentikan perlawanannya maka Uleebalang itu akan ditundukkan dengan kekerasan …”
Sesuai dengan ultimatum tersebut, yakni 10 Januari 1946, golongan Cumbok masih juga belum mau menyerah, selanjutnya pusat markas rakyat, TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan Polisi istimewa mulai mempersiapkan barisan untuk menyerbu golongan Cumbok tersebut.
225
Ibid., hal. 106. Lihat juga dalam Hasan Saleh, Op.Cit, hal. 83. Lihat juga dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 181. 226
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 106. Lihat juga dalam Hasan Saleh, Op.Cit, hal. 84.
137
Sementara itu, di tempat terpisah barisan-barisan rakyat dari daerah, khususnya dari Bireuen telah bergerak menuju Sigli, berikut ini rentetan peristiwa dari aksi barisan-barisan rakyat menentang golongan Cumbok, diantaranya:227 a) Pada 7 Januari 1946 Lueng Putu telah diserang, serangan dilancarkan dari 3 (tiga) arah, arah Selatan (dipimpin oleh Nyak Hasan, Tgk Ahmad Abdullah, T.H. Husin, T.H. Zainul Abidin. Peutua Ma‟ Ali, dan lain-lain), arah Timur (dipimpin oleh Raja Uma, Mohd Tahir, Said Umar, dan lain-lain), arah Utara (dipimpin oleh A. Gani Mutiara, Nyak Ishak). Dalam tempo hampir tengah hari Lueng Putu dapat ditaklukkan. T. Laksamana Umar (Uleebalang Lueng Putu) tewas pada saat pertempuran tersebut. b) Pada 10 Januari 1946 setelah Lueng Putu ditaklukkan, datang ikut bergabung barisan-barisan dari Matang Geulumpang Dua, untuk menyerbu kelompok Cumbok di Sigli. c) Pada 11 Januari 1946 seluruh barisan bergerak menuju Sigli, dan berhasil menaklukkan Beureunuen. d) Pada 12 Januari 1946 dilakukan serangan umum terhadap kota Lam Meulo (benteng Cumbok yang terkuat), serangan dilancarkan dari berbagai arah, arah Barat dari Glee Gapui (dipimpin oleh Hasan Ali, Hasan Saleh, Hasballah Daud, dan T. Ubit), arah Selatan dari Titeu (dipimpin oleh Ayah Daud Tangse, dan Mohd Juned Affandi), arah Timur dari Pulo Drien (Nyak Hasan, T. H. Zainul Abidin, H. Tahir, Mohd. Tahir Geurugo‟, Said Umar, dan Tgk Hasan Matang Geulumpang Dua), arah Utara dari Mali (dipimpin oleh Raja Uma, Nyak Ishak). Juga didukung dari pasukan Polisi istimewa dan dari TKR (Tentara Keamanan Rakyat). e) Pada 13 Januari 1946, Lam Meulo berhasil ditaklukkan, benteng Cumbok telah diduduki rakyat. f) Pada 16 Januari 1946, T. Daud Cumbok dan pengawalnya berhasil dibekuk di atas Gunung Seulawah Agam (hendak menyeberang ke Sabang).
227
86.
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 108-111. Lihat juga dalam Hasan Saleh, Op.Cit, hal. 84-
138
Setelah peristiwa Cumbok selesai, Pusat Markas Barisan Rakyat mengeluarkan maklumat, diantaranya sebagai berikut:228 “… pengkhianat-pengkhianat tanah air sudah disapu bersih. Perlawanan Partij Uleebalang sudah dapat dipatahkan oleh Partij Rakyat. Perjuangan ini dilaksanakan untuk membasmi sekalian pengkhianat tanah air, Partij Uleebalang dan kaki tangannya serta pengikutnya. Famili-famili pengkhianat dan orang kampung yang tiada berdosa, tiada akan diganggu, rakyat yang baik mesti tinggal di tempatnya masingmasing…”
Pemerintah Daerah Aceh juga mengeluarkan maklumat, diantaranya sebagai berikut:229 “… Uleebalang-Uleebalang yang ada di Kabupaten-Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Besar, Aceh Tengah, dan Aceh Barat dengan diam-diam masih meneruskan gerakan tersebut. Dan pada bulan Februari 1946, Uleebalang di Aceh Utara dengan berpusat di Lhokseumawe dan di Aceh Timur dengan berpusat di langsa mulai bertindak melakukan tindakan-tindakan pembalasan terhadap gerakan kemerdekaan atas nama mengambil bela dari kawan-kawannya yang sudah dibasmi rakyat di Kabupaten Pidie. Tindakan Repressaile dari Uleebalang ini telah menyebabkan terjadinya insiden-insiden di Aceh Utara dan di Aceh Timur. Perbuatan-perbuatan ini telah menyebabkan rakyat bergerak menangkapi hampir seluruh Uleebalang ini diseluruh Aceh. Sedangkan sebagian dari Uleebalang diinternir ke Takengon dan yang tiada bersalah dibebaskan. Dengan demikian Ancien Regiem sudah ditumbangkan seluruhnya dari daerah Aceh dan dibangunkanlah suatu Pemerintahan baru oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat…”
Sejalan runtuhnya Uleebalang dengan pimpinan T. Daud Cumbok, berakhir juga Pemerintahan feodal yang telah berurat berakar dalam rakyat 228
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 112.
229
Ibid., hal. 113.
139
Aceh, dimana sebagai tulang punggung Pemerintahan Hindia Belanda di tanah Aceh. Runtuhnya sistem Pemerintahan yang feodal tersebut, selanjutnya didirikanlah sistem demokrasi oleh rakyat, dari rakyat untuk rakyat, yang kini dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat dari berbagai golongan dan lapisan.230
b. Peristiwa Tgk M. Daud Beureueh (Periode 1953 – 1962) Paska terjadinya peristiwa Cumbok, serta paska Agresi Militer Belanda I dan II, Aceh masih memiliki hubungan yang harmonis dengan Pemerintah Republik Indonesia. Hal ini dapat ditelaah ketika pada bulan Mei 1953, Tgk M. Daud Beureueh (Ketua PUSA) masih memimpin Kongres Ulama di Medan, yang diantaranya mengambil keputusan sebagai berikut:231 “… mengadakan kerjasama yang erat dengan instansi-instansi Pemerintah dan organisasi-organisasi untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar…”
230
Ibid., hal. 111-112.
Setelah Uleebalang diseluruh Aceh ditumbangkan, landschap-landschap yang tadinya diperintah oleh Uleebalang atas dasar sistem absolut monarki tipe kecil di bawah lindungan Belanda, dirombak menjadi Kecamatan-Kecamatan yang diperintah oleh Camat atas dasar sistem demokrasi yang bersumber kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Nama-nama landschap dan kotanya juga ditukar (contoh: Landschap Cumbok diubah menjadi Kecamatan Sakti, dan Kota Lam Meulo diubah menjadi Kota Bakti). Lihat juga dalam M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 113-114. 231
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 20.
140
Tidak lama berselang, tepatnya pada 21 September 1953 di Aceh meletus suatu peristiwa berdarah yang merupakan suatu tragedi bagi rakyat Tanah Rencong.232 Ketika itu Tgk M. Daud Beureueh, seorang ulama besar, seorang pemimpin rakyat, mantan Gubernur Militer Aceh – Langkat – Tanah Karo, sekaligus mantan Gubernur Aceh yang pertama, mengangkat senjata terhadap Pemerintah Republik Indonesia dan memproklamasikan Aceh sebagai Negara Islam. Proklamasi itu berbunyi: “…berdasarkan pernyataan negara Republik Islam Indonesia pada tanggal 21 Sjawal 1368 / 7 Agustus 1949 oleh Imam Kartosuwirjo atas nama umat Islam Indonesia, maka dengan ini kami nyatakan daerah Atjeh dan sekitarnya menjadi bagian dari pada negara Islam Indonesia”.233 Mengenai latar belakang yang mendorong lahirnya Negara Islam di Aceh. Antara lain disebutkan bahwa rakyat Aceh merasa kecewa dengan 232
Oleh Pemerintah Republik Indonesia yang pada waktu itu dipimpin oleh Ali Sastroadmijojo, peristiwa ini dinamakan peristiwa Tgk M. Daud Beureueh atau pemberontakan Tgk M. Daud Beureueh. Sedangkan rakyat Aceh menyebut peristiwa itu sebagai peristiwa berdarah. Sebenarnya, gagasan untuk melancarkan pemberontakan terhadap regime Soekarno timbul dari Tgk Abdul Wahab Seulimeum. Akan tetapi, nyatanya beliau sendiri tidak dapat turut dalam pemberontakan itu. Niat beliau yang sejak semula telah beliau bulatkan untuk menunaikan rukun Islam yang ke 5 (lima) pada Tahun 1953 memaksa beliau meninggalkan tanah air dan berangkat ketanah suci. Waktu beliau kemudian tiba di tanah air, beliau tidak dapat lagi masuk ke Aceh, karena pemberontakan sudah lama meletus. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 1-2. 233
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 1.
Menurut pandangan dari Tgk Ibrahim Bardan, bahwa peristiwa DI/TII adalah contoh lain keaktifan ulama dalam menyikapi persoalan bangsa. Ketidakpuasan politis yang muncul dari kebijakan-kebijakan Pemerintah Republik Indonesia mendorong kelompok ulama yang tergabung dalam organisasi PUSA untuk melakukan perlawanan, dan tentunya Ulama tersebut mempunyai justifikasi tersendiri untuk melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Tgk Ibrahim Bardan, Resolusi Konflik Dalam Islam, Aceh Istitute Press, Banda Aceh, 2008, hal. 146.
141
sikap Pemerintah Republik Indonesia, dimana ketika Republik Indonesia hampir hancur, Aceh disebut-sebut sebagai “Daerah Modal”, dan faktanya Aceh memang menjadi modal bagi perjuangan Republik Indonesia. Akan tetapi, setelah Republik Indonesia tegak kembali, Aceh dilupakan dan dibiarkan terlantar. Adapun hal-hal yang menyebabkan kekecewaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Republik Indonesia, diantaranya:234 a) Kehancuran yang terjadi selama penjajahan Jepang tetap tidak dijamah oleh perbaikan yang selayaknya, sehingga hampir tidak ada kesempatan bagi putra-putri Aceh untuk belajar, serta rakyat umumnya tidak mendapat penghidupan yang layak. b) Pemerintah Republik Indonesia tidak memenuhi tuntutan rakyat Aceh untuk menjadikan Aceh sebagai daerah otonom, sehingga rakyat Aceh dapat mengurus dirinya sendiri. c) Kecewa atas sikap Soekarno dan pemimpin-pemimpin lain yang seakan-akan dengan sengaja menyempitkan jalan bagi jihad umat Islam untuk memperjuangkan terlaksananya ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat dan negara. Sebagaimana yang diutarakan M. Nur El Ibrahimy,235 bahwa “sisasisa feodal”236 memberikan pandangan terkait rangkaian-rangkaian peristiwa yang menyebabkan peristiwa Tgk M. Daud Beureueh terjadi, diantaranya:
234
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 3.
Tgk M. Daud Beureueh mengemukakan kekecewaan rakyat Aceh dengan menyatakan: “… rakyat Aceh merasa tidak puas dengan sikap Pemerintah. Ketika Republik Indonesia berada dalam keadaan yang hampir hancur, Pemerintah Republik Indonesia menyanjung-nyanjung Aceh sebagai daerah modal, akan tetapi, setelah Republik Indonesia tegak kembali, Aceh dilupakan serta dibiarkan terlantar …”. Hardi, Op.Cit, hal. 121. 235 236
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 22.
M. Nur El Ibrahimy menerangkan bahwa penggunaan kata-kata “sisa-sisa feodal”, tidak bermaksud sama sekali untuk menghina atau merendahkan sesuatu golongan. Kata tersebut digunakan
142
a) Pembubaran Provinsi Aceh.237
karena kata itu populer dikalangan rakyat pada jaman yang silam, yaitu pada periode Tahun 1946 sampai Tahun 1950, jadi kata tersebut sudah menjadi produk sejarah. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 7. 237
Sebelumnya, berdasarkan Peraturan Wakil-wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM/1949, Provinsi di Sumatera Utara dipecah menjadi 2 (dua) Provinsi, yaitu: Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli di Sumatera Timur, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1950. Sebagai Gubernur Aceh diangkat Tgk. M. Daud Beureueh. Pemerintah Republik Indonesia menghadapi masalah yang rumit, terlebih-lebih didalam pelaksanaan pembagian wilayah RI yang baru berdasarkan hasil persetujuan RIS-RI pada tanggal 19 Mei 1950 dan Ketetapan sidang Dewan Menteri tanggal 8 Agustus 1950 yang melahirkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950 tertanggal 14 Agustus 1950, yang menetapkan wilayah Republik Indonesia atas 10 (sepuluh) Provinsi. Untuk mengatasi konflik di Aceh, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 5 Tahun 1950 tertanggal 14 Agustus 1950 yang memutuskan mencabut Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM Tahun 1949, tentang Pembentukan Provinsi Aceh sebagaimana tersebut diatas dan menetapkan pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang diliputi Keresidenan Aceh, Tapanuli, dan Sumatera Timur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 181. Lihat juga dalam M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 53. M. Nur El-Ibrahimy menerangkan bahwa suasana menjadi bertambah panas oleh karena “sisasisa feodal” pada bulan Agustus mulai mengkampanyekan menentang Provinsi Aceh, baik melalui surat kabar, maupun dengan penyebaran pamflet-pamflet. Di Jakarta kampanye ini dipimpin oleh T.T. Hanafiah dan di Medan dipimpin oleh Subkomite Menuntut Keadilan dan Pembangunan Daerah Aceh, di bawah pimpinan Ibrahim Heron. Ada beberapa alasan yang mereka kampanyekan, diantaranya: a. Alasan politis (alasan utama) yang mereka kemukakan dalam kampanye menentang pembentukan Provinsi Aceh, ialah bahwa maksud kaum PUSA yang sebenarnya dalam pembentukan Provinsi Aceh ialah mengkonsolidasikan kekuatan dalam suatu bentuk Pemerintahan, supaya mereka dapat mempertahankan diri andaikata pada suatu ketika Pemerintah Republik Indonesia ingin mengambil tindakan terhadap mereka atas kejahatankejahatan yang telah mereka perbuat yaitu: pembunuhan Uleebalang serta keluarga mereka dan perampasan harta kekayaan mereka. b. Alasan teknis yang mereka kemukakan adalah Aceh tidak mempunyai tenaga-tenaga ahli seperti sarjana hukum, insinyur, ataupun dokter, baik tenaga pemimpin, maupun tenaga pelaksana. Aceh tidak mempunyai sumber-sumber keuangan yang cukup untuk membiayai suatu Provinsi. Jika kepada Aceh diberikan Provinsi bagaimana dengan daerah-daerah lain di Sumatera dan di seluruh Indonesia. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 57-58. Menurut pandangan Nazaruddin Syamsuddin, bahwa penghapusan status Provinsi dipandang rakyat Aceh sebagai suatu kemunduran dan bahkan penghinaan. Oleh sebab itu, seperti halnya dengan pemimpin-pemimpin mereka, rakyat memandang langkah Pemerintah Republik Indonesia untuk menghapuskan Provinsi mereka sebagai kegagalan Pemerintah menghargai sumbangan yang telah mereka berikan pada saat revolusi. Berdasarkan perasaan ini, seruan ulama mudah sekali membangkitkan tanggapan rakyat untuk menentang Pemerintah Republik Indonesia. Nazaruddin Syamsuddin, Revolusi…, Op.Cit, hal. 120.
143
b) Pada permulaan Tahun 1951 dibentuk Provinsi Sumatera Utara.238 c) Efek pembubaran Provinsi Aceh, terjadinya mutasi besar-besaran dikalangan Kepolisian Daerah Aceh.239 d) Efek pembubaran Provinsi Aceh, terjadinya mutasi dilingkungan militer.240
Wakil Perdana Menteri (Hardi) memberi tanggapan terkait pembubaran Provinsi Aceh, bahwa kehadiran Provinsi Aceh secara yuridis, memang bertentangan dengan Piagam Persetujuan Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Republik Indonesia Serikat pada tanggal 20 Juli 1950, yang menyatakan bahwa Indonesia dibagi dalam 10 (sepuluh) provinsi, dan Sumatera dibagi dalam 3 (tiga) Provinsi, yaitu: Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara. Hardi, Op.Cit, hal. 122. Pada tanggal 23 Desember 1950 kongres PUSA yang ke 2 (dua) dilangsungkan di Kutaraja, dalam acara kongres tersebut terdapat acara yang penting, yaitu: a. Memperjuangkan otonomi Aceh dan menentukan sikap terakhir kalau sekiranya Pemerintah Republik Indonesia tidak mengabulkan tuntutan rakyat Aceh mengenai soal otonomi tersebut. b. Mengambil sikap yang tegas dan positif terhadap kaum kontra revolusi kemerdekaan di Aceh. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 61. Pada tanggal 22 Januari 1951, Perdana Menteri (Mohd Natsir) dan M. Nur El-Ibrahimy mengunjungi Aceh untuk meredam situasi di Aceh, akibat pembubaran Provinsi Aceh, setelah bertemu dengan pemimpin-pemimpin Aceh, akhirnya Pemimpin-pemimpin Aceh dapat menyetujui bahwa otonomi untuk Aceh akan diperjuangkan “secara integral dan menurut saluran perundang-undangan”. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 63. 238
Pada Tahun 1951 dibentuk Provinsi Sumatera Utara, yang terdiri dari Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli. Dengan Gubernurnya yang berkedudukan di Medan. Sejak saat itu dimulailah tindakan-tindakan Pemerintah Republik Indonesia yang dianggap tidak bijaksana terhadap Aceh, sehingga menyebabkan kegelisahan orang-orang PUSA. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 25. 239
Kepala Polisi Daerah Aceh, Mohd Insja dan Komisaris Muda Yusuf Effendi, merupakan 2 (dua) tokoh yang dianggap pengikut politik Tgk M. Daud Beureueh dipindahkan ke Medan. Sekaligus Pasukan Mobrig yang cukup tangguh yang terdiri dari putera-putera Aceh di pindahkan ke Sumatera Utara. Lebih jauh M. Nur El Ibrahimy mengatakan yang membuat hati rakyat terluka ialah bahwa tindakan-tindakan ini semua kelihatannya dilakukan untuk menggencet golongan yang telah berjuang mati-matian mempertahankan dan menegakkan Republik Indonesia. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 65-66. 240
Pada Tahun 1951 dihapusnya Divisi X, yang mana anggotanya terdiri dari putra-putra Aceh, selanjutnya di Aceh paska penghapusan Divisi X, hanya tinggal 1 (satu) resimen militer saja, yang dipimpin oleh Mayor Nazir. Pada akhirnya, Mayor Nazir tersebut pada Tahun 1965 melakukan pemberontakan di Medan dalam rangka G30S/PKI. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 66.
144
e) Razia di Aceh, pada Agustus 1951.241 f) Pada pertengahan Tahun 1951, adanya gerakan BKR (Badan Keinsyafan Rakyat).242 Berdasarkan sudut pandang yang berbeda, M. Nur El Ibrahimy243 menerangkan terkait faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa Tgk M. Daud Beureueh, yaitu:
241
Razia di Aceh pada bulan Agustus 1951, sebenarnya diperintahkan oleh Menteri Dalam Negeri (Dr Sukiman – Partai Masyumi), untuk mencari dan menyita senjata-senjata gelap yang diduga disembunyikan oleh sementara orang dan organisasi. Tujuan sebenarnya yang dikehendaki oleh Menteri Dalam Negeri adalah untuk orang-orang Komunis, hanya saja di Aceh ditujukan terhadap pejuang-pejuang Islam (diantaranya terdiri dari PUSA), tidak ada satupun rumah dari pejuang Islam yang luput dari penggeledahan, bahkan banyak pemimpin Islam dan pamongpraja yang dijebloskan ke dalam penjara tanpa diketahui alasannya. Kesimpulan dalam razia ini ialah bahwa razia ditujukan untuk menyita barang-barang senjata (rampasan Jepang) yang atas dugaan umum masih banyak disimpan oleh orang-orang PUSA. Bahkan rumah/kediaman Tgk M. Daud Beureueh tidak luput dari razia dan penggeledahan, serta dilakukan dengan cara yang tidak wajar. Menyikapi hal ini, pada 8 Oktober 1951, Tgk M. Daud Beureueh mengirimkan surat kepada Soekarno, yang diantaranya berbunyi sebagai berikut: “… dalam menghadapi tindakan sewenang-wenang pihak tentara, rakyat akan melalui 3 (tiga) tahap, yakni tahap sabar, tahap benci, tahap melawan, dan Tgk Mohd Daud Beureueh menegaskan bahwa sampai saat ini, rakyat sudah pada tahap benci…”. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 72-74. Pemerintah Republik Indonesia melakukan penggeledahan di rumah para anggota PUSA, termasuk rumah Tgk M. Daud Beureueh. Sasaran pertama dari razia yang dilancarkan atas perintah Kabinet Sukiman (Masyumi) ialah untuk mencari senjata-senjata yang mungkin disimpan oleh orangorang PKI. Akan tetapi, karena adanya sinyalemen bahwa Tgk M. Daud Beureueh akan memberontak, maka penggeledahan juga ditujukan kepada Tgk M. Daud Beureueh dan anak buahnya. Hardi, Op.Cit, hal. 122. 242
BKR merupakan Badan Keinsyafan Rakyat, yang berdiri pada tanggal 8 April 1951 di Lam Temen (Aceh Besar), yang dipimpin oleh T. Ali Lam Lagang. Selanjutnya badan ini menyampaikan suatu resolusi kepada Pemerintah Republik Indonesia yang menuntut antara lain: a. Supaya Majelis Penimbang yang mengurus harta peninggalan golongan Cumbok diganti dengan badan lain yang netral. b. Pamongpraja supaya diganti dengan yang lain, karena selain mereka orang-orang PUSA, juga tidak memiliki kredibilitas, demikian juga pegawai-pegawai Kehakiman dan Kepolisian. c. Supaya dilakukan Pemilihan Umum. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 25. 243
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 21. Lihat juga dalam Hardi, Op.Cit, hal. 121.
145
a) Manuver atau latihan besar-besaran Mobrig di Aceh.244 b) Tertangkapnya “Mustafa” di Jakarta.245 c) Bocornya rahasia “Les Hitam” di Medan.246 Menurut pandangan Nazaruddin Syamsuddin,247 bahwa pembubaran Provinsi Aceh merupakan masalah pokok yang membentuk frustasi kaum zuama, sementara para ulama tergerak untuk memberontak karena tidak puas akan perkembangan keagamaan. Dalam hal ini otonomi atau status Provinsi bukan hanya merupakan sumber kekuasaan pemimpin-pemimpin politik
244
Latihan Mobrig secara besar-besaran yang dilakukan di Aceh, yang jelas sekali merupakan pameran kekuatan, oleh pemimpin-pemimpin di Aceh dianggap sebagai suatu tantangan terhadap tuntutan-tuntutan rakyat Aceh. Mobrig secara demonstratif telah melakukan perang-perangan yang sangat mengejutkan dan mencolok. Suasana dirasakan semakin panas karena adanya latihan yang dilakukan oleh Pandu Islam yang berjumlah hampir 4000 (empat ribu) orang di seluruh Aceh yang mungkin merupakan tantangan terhadap manuver Mobrig itu. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 21. Lihat juga dalam Hardi, Op.Cit, hal. 122. 245
Mustafa menamakan dirinya sebagai “utusan istimewa” dari Kartosuwiryo. Mustafa datang ke Aceh untuk membawa amanat dari Kartosuwiryo. Disisi lain, (ketika itu) suasana di Aceh selain sedang diliputi perasaan kecewa terhadap Pemerintah Republik Indonesia, juga sedang dilanda keresahan akibat kampanye-kampanye “sisa feodal” yang terus menerus mendesak Pemerintah Republik Indonesia supaya mengambil tindakan tegas terhadap kaum PUSA. Tertangkapnya Mustafa telah membuka rahasia perhubungan Tgk M. Daud Beureueh dengan Kartosuwiryo, dan turut menyerahkan kepada Kejaksaan di Jakarta terkait “surat pengangkatan” Tgk M. Daud Beureueh oleh Kartosuwiryo sebagai Gubernur Militer di Aceh. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 21. 246
Les Hitam merupakan nama-nama yang tertera sekitar 300 (tiga ratus) orang pemimpin Aceh yang akan ditangkap, yang didasarkan atas keterangan “Mustafa”, yang dibawa oleh Jaksa Tinggi Sunarjo dari Jakarta. Menurut M. Nur El Ibrahimy Les Hitam sengaja dibocorkan oleh pihak tertentu dan sengaja disampaikan kepada Tgk M. Daud Beureueh yang namanya beserta kawan-kawan seperjuangan tercatat sebagai orang-orang yang terkemuka di dalam daftar Les Hitam tersebut. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 22. Lihat juga dalam Tempo, Op.Cit, hal. 2-4. 247
Lebih lanjut diungkapkan bahwa penyebab pemberontakan adalah frustasi yang meluas terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Pengabaian atas perkembangan sosial, politik, dan ekonomi, serta program rasionalisasi militer pada kenyataannya merupakan akibat dari penghapusan otonomi Aceh. Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan…, Op.Cit, hal. 123.
146
tertentu, akan tetapi juga merupakan sumber proteksi bagi nilai-nilai agama rakyat Aceh. Hardi248
juga
memberi
pandangan
terkait
latar
belakang
pemberontakan Tgk M. Daud Beureueh, bahwa faktor pendorong utama bagi Tgk M. Daud Beureueh untuk mencetuskan pemberontakan ialah gagasannya untuk merombak Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi negara Islam. Merespon sikap Tgk M. Daud Beureueh, Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini melalui Perdana Menteri (Ali Sastroadmijojo) memberi keterangan dalam rapat pleno terbuka DPR-RI, diantaranya: 249 a) Pada tanggal 28 Oktober 1953 bahwa Pemerintah Republik Indonesia menganggap apa yang telah terjadi di Aceh adalah pemberontakan Tgk M. Daud Beureueh dengan segelintir kawan-kawan dan para pengikut-pengikutnya, bukan sebagai pemberontakan rakyat Aceh secara luas. 248
Hardi, Op.Cit, hal. 123.
249
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 7-9.
Pemerintah Republik Indonesia mengetengahkan bahwa para pemimpin PUSA lah yang menyebabkan berkembangnya konflik dengan Pemerintah Republik Indonesia karena mereka sedang terdesak dalam pertarungan yang berkepanjangan dengan kaum Uleebalang, dan berputus asa pada penyelesaiannya. Alasan ini sangat didukung oleh tuntutan kaum Uleebalang bahwa para pemimpin PUSA lah yang memperjuangkan otonomi Aceh demi melindungi diri mereka sendiri dari tuduhan pihak pertama sehubungan dengan perbuatan mereka selama revolusi. Sementara bagi para pemimpin DI/TII, adalah sebaliknya, bahwa pemberontakan itu merupakan konflik yang realistis, mereka menolak setiap alasan yang melihat perlawanan itu sebagai sesuatu transformasi sengketa antara mereka dan unsur-unsur Uleebalang, mereka mengemukakan bahwa konflik tersebut merupakan masalah antara rakyat Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia. Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan…, Op.Cit, hal. 106.
147
b) Pada tanggal 2 November 1953 memberikan pandangan umum para anggota, terkait yang telah disampaikan pada pertemuan sebelumnya. c) Pada tanggal 13 April 1954, Pemerintah Republik Indonesia memberikan keterangan terkait peristiwa di Cot Jeumpa, yang menewaskan 64 orang penduduk.
Paska deklarasi yang diProklamirkan oleh Tgk M. Daud Beureueh, setahun berikutnya (sekitar September 1954) muncul Hasan Tiro sebagai “Duta Besar Republik Islam Indonesia” di Amerika Serikat sekaligus di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Melalui surat yang ditujukan kepada Ali Sastroadmijojo (Perdana Menteri Indonesia), Hasan Tiro menuduh Pemerintah Republik Indonesia telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah keruntuhan ekonomi dan politik, perpecahan dan perang saudara, selain itu Pemerintahan Ali Sastroadmijojo juga telah melakukan kejahatan “genosida” terhadap rakyat Aceh, berikut ini petikan isi dari surat Hasan Tiro yang ditujukan kepada Ali Sastroadmijojo:250 “… dalam pada itu alangkah sayangnya, kenyataan-kenyatan sudah membuktikan, bahwa tuan bukan saja telah tidak mempergunakan kekuasaan yang telah diletakkan di tangan tuan itu untuk membawa kemakmuran, ketertiban, keadilan, dan persatuan dikalangan bangsa Indonesia, tetapi sebaliknya tuan telah dan sedang terus menyeret bangsa Indonesia ke lembah keruntuhan ekonomi dan politik, kemelaratan, perpecahan, dan perang saudara. Belum pernah selama 250
Sejak Tahun 1950 Hasan Tiro berdiam di New York, Amerika Serikat. Sebagai mahasiswa Fakultas Hukum di Colombia University, dan sebagai seorang staf Perwakilan Indonesia di New York. Pada masa tersebut, Hasan Tiro bertempat tinggal di 454 Riverside Drive, New York, dan mempunyai kantor di 489 Fifth Avenue, New York. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 13-15. Lihat juga dalam M. Isa Sulaiman, Aceh Merdeka – Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2000, hal. 12. Lihat juga dalam Abu Jihad, Op.Cit, hal. 25.
148
dunia terkembang, tidak walaupun di masa penjajahan, rakyat Indonesia dipaksa bunuh-membunuh antara sesama saudaranya secara yang begitu meluas sekali bagaimana sekarang sedang tuan paksakan di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi tengah, dan Kalimantan. Ataukah zaman penjajahan baru sudah datang ke Indonesia dimana hanya kaum Komunis yang mengecap kemerdekaan, sedang yang lainlain harus dibunuh mati ? lebih dari itu lagi, tuan pun tidak segan-segan memakai politik „pecah dan jajah‟ terhadap suku-suku bangsa di luar Jawa. Bahkan untuk menghancurkan persatuan dikalangan suku bangsa Aceh, tuan pun tidak malu-malu memakai „politik Aceh‟ penjajah Belanda yang tuan mengaku begitu membencinya. Tetapi ketahuilah, politik kotor tuan ini bukan saja sudah gagal, bahkan karenanya, kami rakyat Aceh semakin bersatu padu menentang tiap penindasan dari regime Komunist-fasis tuan. Sampai hari ini, 9 (sembilan) Tahun sesudah tercapainya kemerdekaan bangsa, sebagian besar bumi Indonesia masih terus digenangi darah dan air mata putera-puterinya yang malang, seperti di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan, yang kesemuanya terjadi karena tuan ingin melakukan pembunuhan terhadap lawan-lawan politik tuan. Seluruh rakyat Indonesia menghendaki penghentian pertumpahan darah yang maha kejam ini sekarang juga, dengan jalan musyawarah antara anda bersama kami. Tetapi tuan dan kaum Komunis lainnya, sedang terus mencoba mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari kesengsaraan rakyat ini, dan hanya tuan sendirilah yang terus berusaha memperpanjang agresinya terhadap rakyat Indonesia ini. Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat Indonesia, saya menganjurkan tuan mengambil tindakan berikut ini: - Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan - Lepaskan semua tawanan-tawanan politik dari Aceh, Sumatera Selatan, Jawa barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan, dan Maluku. - Berunding dengan Tgk M. Daud Beureueh, S.M. Kartosuwirjo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar.
149
Jika sampai 20 September 1954 anjuran-anjuran ini tidak mendapat perhatian tuan, maka untuk menolong jiwa rakyat yang tidak berdosa, saya dan putera-putera Indonesia yang setia, akan mengambil tindakantindakan sebagai berikut: - Kami akan membuka dengan resmi perwakilan diplomatik bagi (Republik Islam Indonesia) diseluruh dunia, termasuk PBB, benua Amerika, Eropa, Asia dan seluruh negara Islam. - Kami akan mengajukan kepada General Assembly PBB yang akan datang terkait segala kekejaman, pembunuhan, penganiayaan, serta pelanggaran Human Right yang telah regime Komunis Fasis tuan terhadap rakyat Aceh. - Kami akan menuntut regime tuan di muka PBB atas kejahatan Genosida yang sedang tuan lakukan terhadap suku bangsa Aceh. - Kami akan membawa kehadapan mata seluruh dunia Islam, terkait perbuatan yang telah tuan lakukan terhadap para alim Ulama. - Kami akan mengusahakan pengakuan dari dunia Internasional terhadap (Republik Islam Indonesia) yang sekarang de facto menguasai Aceh, dan daerah lainnya. - Kami akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi Internasional terhadap regime tuan dan penghentian bantuan teknik dan ekonomi dari PBB, Amerika Serikat, Colombo Plan. - Kami akan mengusahakan bantuan moral dan material untuk (Republik Islam Indonesia) …”
Tindakan Hasan Tiro tersebut segera mendapat reaksi, baik dari dalam negeri, maupun dari luar negeri. Khusus dari dalam negeri yaitu dengan mencabut Paspor diplomatik Hasan Tiro.251 Adapun reaksi dari luar
251
Tindakan ini menyebabkan Hasan Tiro sejak 27 September 1954 ditahan oleh Jawatan Imigrasi New York. Akan tetapi setelah membayar uang jaminan sebesar $500 Hasan Tiro dibebaskan kembali. Oleh bantuan beberapa orang Senator Amerika Serikat, Hasan Tiro diterima sebagai penduduk tetap di Amerika Serikat. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 15-16. Lihat juga dalam Abu Jihad, Op.Cit, hal. 25-26.
150
negeri, yakni melalui Delegasi Republik Indonesia untuk PBB, diantaranya berbunyi sebagai berikut:252 “… bahwa apa yang dinamakan Republik Islam Indonesia itu sejak 1949 telah menjalankan aksi-aksi subversif dan teror terhadap Pemerintah Republik Indonesia yang sah. Bahwa Partai Islam Masyumi telah menjatuhkan hukuman atas golongan Darul Islam seperti dikemukakan beberapa waktu yang lalu. Bahwa wujud sebenarnya gerakan Darul Islam itu adalah sukar ditentukan, karena sudah diinfiltrasi oleh anasir asing dan petualangan. Bahwa gerakan Darul Islam telah mendapat kekuatan baru di dalam pemberontakan di Aceh, tempat Hasan Tiro tinggal. Bahwa tampaknya Hasan Tiro mendapat sokongan dari golongan bukan Indonesia. Bahwa PBB akan menolak surat Hasan Tiro, karena Republik Islam Indonesia tidak mempunyai status di dalam organisasi PBB. Bahwa Pemerintah Republik Indonesia mampu mengendalikan pemberontakan di dalam wilayahnya dan berniat teguh mempertahankan dan menjamin hak, termasuk juga hak-hak asasi manusia…”
Hari-hari berikutnya paska pernyataan yang dilontarkan oleh Tgk M. Daud Beureueh dan Hasan Tiro, konflik secara vertikal telah berlangsung di Aceh. Hal ini terus berlanjut, bahkan pada 21 September 1955 dilaksanakannya kongres di daerah Bireuen (sekitar 25 kilometer di Selatan Blang Blahdeh), yang dihadiri sekitar 100 (seratus) tokoh besar, serta melibatkan sekitar 500 (lima ratus) orang yang turut berpartisipasi. Kongres yang berlangsung dalam beberapa hari tersebut, melahirkan status Negara
252
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 16.
151
Bagian Aceh (NBA), merupakan sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII), yang selanjutnya dikenal sebagai Kongres Batee krueng.253 Berdasarkan naskah Proklamasi yang dikeluarkan oleh DI/TII, tertanggal 21 September 1953 serta berdasarkan piagam pernyataan Batee Krueng, jelas terlihat adanya hubungan yang erat antara pemberontak DI/TII di Aceh yang dipimpin oleh Tgk M. Daud Beureueh dengan gerakan DI/TII di Jawa Barat yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwirjo. Dimana Aceh dinyatakan sebagai suatu Negara Bagian dari Negara Islam Indonesia.254 Peristiwa pemberontakan DI/TII di Aceh ini, telah menimbulkan bencana yang sangat besar bagi rakyat Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia. Dalam penyelesaian peristiwa Tgk M. Daud Beureueh, Pemerintah Republik Indonesia telah menggunakan “tangan besi”, yaitu dengan mengambil tindakan kekerasan senjata untuk membasmi para pemberontak.255
253
Hasan Saleh, Op.Cit, hal. 271-276.
254
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 187.
255
Pada awalnya Pemerintah Republik Indonesia membantah dengan keras adanya tindakan alat-alat negara yang melampaui batas itu. Akan tetapi ketika terjadi pemberontakan di tempat lainnya (PRRI dan Simbolon), Menteri Penerangan (Sudibjo) mengutuk serta mencaci maki Simbolon dengan membongkar perbuatannya yang telah melakukan kekejaman dan pembantaian terhadap rakyat Aceh, ketika Simbolon bertugas memulihkan keamanan di daerah Aceh, dalam rangkaian peristiwa Tgk M. Daud Beureueh. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 9-10. Untuk menggempur pemberontak sampai hancur, Pemerintah Republik Indonesia telah menyatakan seluruh Aceh menjadi daerah “militaire bystand” sesuai dengan Keputusan Presiden No. 175 Tahun 1952. Dan untuk menghancurkan pemberontak, Pemerintah Republik Indonesia telah mengirim sebanyak 4 batalyon tentara dan 13 batalyon Mobrig ke dalam kancah peperangan di Aceh.
152
Selain menggunakan “tangan besi” Pemerintah Republik Indonesia juga menerapkan “Soft Power”256 untuk merespon pemberontakan yang terjadi, khususnya di Aceh. Untuk mengatasi peristiwa DI/TII ini, DPR melalui sidangnya mengeluarkan usul mosi supaya Pemerintah Republik Indonesia menunjuk daerah Aceh sebagai daerah otonom. Pemerintah setelah mendengarkan pendapat dari berbagai pihak bagi penyelesaian peristiwa DI/TII tersebut, mengeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh yang terpisah dari Provinsi Sumatera Utara. Sekaligus sebagai gubernur Aceh, berdasarkan Ketetapan Presiden No. 615/M/1957 tertanggal 5 Januari 1957 diangkat Ali Hasymi. Untuk pelantikan Gubernur Aceh tersebut dilaksanakan pada tanggal 27 Januari 1957.257 Setelah Aceh menjadi Provinsi otonom, konflik vertikal antara Tgk M. Daud Beureueh
dan Pemerintah Republik Indonesia masih terus
Dalam usaha menjalankan politik kekerasan senjata ini, Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa tugas tentara dalam penyelesaian Peristiwa Tgk M. Daud Beureueh ialah untuk memungkinkan Pemerintah Republik Indonesia mengadakan usaha kebijaksanaan bagi kepentingan rakyat Aceh khususnya dan rakyat Indonesia umumnya. Konsepsi Pemerintah ini didukung oleh partai-partai, seperti PNI, PKI, dan lain-lain partai Pemerintah. Serta disokong oleh golongan-golongan seperti BKR dan Perti. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 163-166. 256
Joseph Nye Jr, mendefinisikan soft Power sebagai suatu kekuatan immaterial yang lebih menekankan pada citra non-kekerasan, dibandingkan dengan hard power yang lebih mengedepankan tindakan militer dan sanksi. Darmansjah Djumala, Op.Cit, hal. 3. 257
Sejalan dengan itu, dalam bidang kemiliteran di Aceh, sejak tanggal 22 Desember 1956, bahwa daerah Aceh ditetapkan sebagai daerah militer yang berdiri sendiri, yaitu sebagai Komando Daerah Militer Aceh (KDMA), dengan Panglimanya yang pertama yaitu Letnan Kolonel Syamaun Gaharu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 188.
153
berlanjut. Sampai akhirnya pada 7 April 1957, terlaksananya kesepakatan diantara para pihak258 untuk mengakhiri konflik tersebut, yang selanjutnya kesepakatan itu dikenal dengan “Ikrar Lam Teh”,259 adapun bunyi Ikrar Lam Teh, yaitu:260 “… Kami putera-putera Aceh, dipihak manapun kami berada, akan berjuang sungguh-sungguh untuk: menjunjung tinggi kehormatan agama Islam, menjunjung tinggi kehormatan dan kepentingan rakyat Aceh, menjunjung tinggi kehormatan dan kepentingan daerah Aceh”. Atas dasar Ikrar Lam Teh, tercapai juga suatu persetujuan antara pihak pemberontak dan KDMA (Komando Daerah Militer Aceh), untuk menghentikan tembak menembak atau gencatan senjata yang pada waktu itu lebih dikenal dengan sebutan “cease fire”, dimana para pihak juga saling menyepakati gencatan senjata dilaksanakan sampai Tahun 1959.261 Menarik untuk ditelaah bahwa paska terciptanya Ikrar Lam Teh, terjadi kemelut politik didalam kalangan pemberontak, dalam hal ini 258
Adapun para pihak yang terlibat dalam Ikrar Lam Teh, diantaranya: di pihak DI/TII (Tgk Hasan Aly – Perdana Menteri, Hasan Saleh, Ishak Amin), di pihak Pemerintah Republik Indonesia (Sjamaun Gaharu – Panglima Militer di Aceh, Kombespol M. Isa – Kepala Polisi Aceh, Kapten Abdullah Sani, Kapten Usman Nyak Gade). Hasan Saleh, Op.Cit, hal. 308. 259
Ikrar Lam Teh dilaksanakan di rumah Ayah Kade, disebut juga Ayah Pawang Leman, Wedana DI ditempat tersebut. Hasan Saleh, Op.Cit, hal. 308. Terciptanya Ikrar Lam Teh, mempunyai arti yang sangat penting dalam usaha-usaha pemulihan kemanan selanjutnya dan penyelematan daerah Aceh dari kehancuran. Lihat juga dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 189. 260
Hasan Saleh, Op.Cit, hal. 309. Lihat juga dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 189. Lihat juga dalam Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan…, Op.Cit, hal. 275. 261
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 171. Lihat juga dalam Hasan Saleh, Op.Cit, hal. 310.
154
mencapai puncaknya pada 15 Maret 1959. Ketika Hasan Saleh (Menteri Urusan Perang) telah mengambil alih pimpinan NBA (Negara Bagian Aceh) sipil dan militer dari tangan Wali negara (Tgk M. Daud Beureueh). Dinyatakan juga dalam seruan tersebut, bahwa Tgk M. Daud Beureueh telah dibebaskan dari jabatannya sebagai Wali negara dan panglima TII (Tentara Islam Indonesia). Serta untuk menggantikan Wali negara dan Kabinet telah dibentuk sebuah Dewan Revolusi yang diketuai oleh A. Gani Usman (mantan Wakil Perdana Menteri), dan Tgk Amir Husin Al Mujahid (Ketua Dewan Perwakilan Rakyat NBA), serta Hasan Saleh.262
262
Menurut pandangan M. Nur El ibrahimy, bahwa pernyataan Hasan Saleh telah mengambil alih pimpinan NBA dari Tgk M. Daud Beureueh sebenarnya tidak dapat dikatakan suatu pengambilalihan yang biasa disebut sebagai “coup d’tat”, akan tetapi lebih tepat kalau dikatakan Hasan Saleh – A. Gani Usman – Tgk Amir Husin Al Mujahid telah memisahkan diri dari Tgk M. Daud Beureueh. Artinya bahwa NBA/NII telah terpecah menjadi 2 (dua), yang satu di bawah pimpinan Tgk M. Daud Beureueh dan kelompok yang lain di bawah pimpinan Hasan Saleh. Adapun argumentasi dari M. Nur El Ibrahimy, yakni Tgk M. Daud Beureueh dan anggota Kabinetnya beserta segala alat kekuasaannya masih berada di tempatnya dalam keadaan segar bugar dan masih memegang kekuasaan seperti biasa. Sedangkan Hasan Saleh dkk mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi jauh dari tempat Pemerintahan Tgk M. Daud Beureueh yaitu berlokasi di daerah Aceh Timur. Dengan keluarnya pernyataan-pernyataan dari kedua belah pihak, maka menjadi nyatalah bahwa di Aceh telah terdapat 2 (dua) NBA (Negara Bagian Aceh), yang pertama di bawah pimpinan Tgk M. Daud Beureueh, dan yang satu lagi di bawah pimpinan Hasan Saleh. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 172-175. M. Nur El Ibrahimy menguatkan pandangannya bahwa Tgk M. Daud Beureueh dan kelompoknya tetap eksis, hal ini dibuktikan bahwa di Aceh tetap saja ada pergolakan setelah Tahun 1959, terutama di sejumlah daerah yang masih setia pada Tgk M. Daud Beureueh seperti di Aceh Timur, Aceh Tengah, Tanah Alas, Aceh Utara dan Aceh Barat. M. Nur El Ibrahimy dalam Tempo, Op.Cit, hal 17-20. Hardi menyebutkan gerakan DI/TII di Aceh pada perkembangannya terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu: a. Kelompok yang berpaham ekstrim dan keras, seperti Tgk M. Daud Beureueh, Hasan Ali, Ilyas Leube. Kelompok ini tidak bersedia melakukan perundingan dengan Pemerintah Republik Indonesia, mereka bertekad untuk melanjutkan pergolakan mencapai cita-citanya hanya dengan darah dan besi.
155
Pada sisi lainnya, paska lahirnya Ikrar Lam Teh, untuk mempercepat terlaksananya pemulihan keamanan, Pemerintah Republik Indonesia mengirimkan suatu misi di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri I (Mr. Hardi) untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan semua pihak, untuk mencapai kata sepakat mengenai pemulihan keamanan. Missi ini selanjutnya dikenal sebagai “Missi Hardi” yang menghasilkan suatu Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959, tertanggal 26 Mei 1959, berikut isi persetujuan antara Dewan Revolusi dan Pemerintah Republik Indonesia:263 b. Kelompok yang moderat, seperti Ayah Gani Usman, Hasan Saleh, Husin Al Mujahid. Kelompk ini membentuk Dewan Revolusi, dan Dewan Revolusi ini yang melakukan perundingan dengan Pemerintah Republik Indonesia, sehingga lahirnya “Missi Hardi”. Hardi, Op.Cit, hal. 128. Terjadinya pengambilalihan kekuasaan pada tanggal 15 Maret 1959, bertempat di Metareum. Ketika itu, Hasan Saleh menyatakan “ … saya umumkan kepada seluruh rakyat Aceh bahwa seluruh kekuasaan sipil-militer yang sampai waktu itu berada di tangan Tgk M. Daud Beureueh, sejak hari itu beralih ke tangan saya selaku Penguasa Perang NBA-NII … ”. Segera setelah itu kekuasaan tersebut dilimpahkan Hasan Saleh kepada Dewan Revolusi, dengan tugas pokok untuk menyelesaikan pemberontakan di Aceh. Adapun komposisi Dewan Revolusi, yaitu: Ayah Gani (Ketua), Tgk Amir Husin Al Mujahid (Wali Negara), Hasan Saleh (Wakil Ketua dan Panglima Militer), AG Mutiara (Sekretaris Jenderal), Husin Yusuf (Penasihat militer), T Amin (Penasihat sipil), T A. Hasan (Penata Keuangan), Ishak Amin (Penghubung Dewan Revolusi dan Republik Indonesia). Hasan Saleh, Op.Cit, hal. 356-357. 263
Hardi, Op.Cit, hal. 137-139.
Pada dasarnya tim dari Pemerintah Republik Indonesia, yang lebih dikenal dengan sebutan “Misi Hardi” hanya melakukan perundingan dengan Dewan Revolusi (kelompok yang mengkudeta Tgk M. Daud Beureueh), yakni Trio (A. Gani Usman – Tgk Amir Husin Al Mujahid – Hasan Saleh), tanpa melibatkan dari kelompok Tgk M. Daud Beureueh. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 175. Lihat juga dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 189. Lihat juga dalam Hasan Saleh, Op.Cit, hal. 355-370. Selanjutnya berdasarkan hasil pemilihan DPRD dan Keputusan Presiden Republik Indonesia, tanggal 24 Desember 1959, dengan No.469/M/1959, mengangkat kembali Ali Hasymi sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa Aceh. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 189.
156
Dewan Revolusi menyatakan bahwa: a) DI dan TII menyatukan diri kedalam Republik Indonesia untuk melanjutkan revolusi nasional 1945 di atas landasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mencapai kebahagiaan, kemakmuran dan ketinggian agama, nusa dan bangsa. b) Organisasi Negara Bagian Aceh, baik sipil maupun militer dilebur dalam tubuh Pemerintah Republik Indonesia. Selanjutnya dari pihak Misi Pemerintah Republik Indonesia, menyatakan bahwa: a) Dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia tanggal 26 Mei 1959, No. 1/Missi/1959 ditentukan bahwa daerah Swatantra Tingkat I Aceh disebut sebagai “Daerah Istimewa Aceh”. Penggunaan sebutan itu tidak mengurangi keharusan bahwa kepada daerah itu tetap berlaku ketentuan-ketentuan mengenai Daerah Swatantra Tingakt I seperti termuat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Peraturan Perundang-undangan yang berlaku untuk Daerah Swatantra Tingkat I mengenai otonomi yang seluas-luasnya akan mengatur penyerahan urusan-urusan, khususnya dalam bidang keagamaan, peradatan dan pendidikan kepada “Daerah Isimewa Aceh”. b) Segala aparat Negara Bagian Aceh dan Negara Islam Indonesia yang berstatus militer diterima kedalam pasukan yang bernama Pasukan Tgk Tjik di Tiro, sebagai bagian dari Komando Daerah Militer Aceh/Iskandar Muda. Adapun yang berstatus sipil akan dipekerjakan dalam administrasi Pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan pendidikan dan kecakapan masing-masing serta sesuai dengan formasi yang tersedia. c) Dalam batas-batas kemampuan negara, Pemerintah Republik Indonesia akan membantu pembangunan di Aceh, terutama dalam bidang-bidang yang langsung menyentuh kepentingan rakyat, jasmani, dan rohani. Sebagai langkah pertama untuk merealisir maksud Pemerintah tersebut, Misi Pemerintah Republik Indonesia telah membawa otorisasi sejumlah 90.000.000,- (Sembilan Puluh Juta Rupiah). Paska lahirnya “Misi Hardi”, yakni suatu kesepakatan antara Dewan Revolusi dan Misi Hardi, leburlah Negara Bagian Aceh dari Negara Islam
157
Indonesia yang berada di bawah pimpinan A. Gani Usman, Tgk Amir Husin Al Mujahid, Hasan Saleh, sekaligus para pengikutnya baik sipil maupun militer, yang berada pada daerah-daerah yang dikuasai oleh Dewan Revolusi, dan bergabung kembali kedalam TNI, khususnya pada pasukan Tgk Tjik Di Tiro (Iskandar Muda).264 Menelaah lahirnya Misi Hardi, Tgk M. Daud Beureueh tidak serta merta kembali pada pangkuan ibu pertiwi (Republik Indonesia), melainkan khusus untuk Tgk M. Daud Beureueh Permerintah Republik Indonesia menempuh berbagai jalan terjal yang berliku,265 karena hal ini terlihat bahwa
264
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 176. Lihat juga dalam Hardi, Op.Cit, hal. 139.
Ditempat terpisah, pada periode 1958, tepatnya pada 15 Februari 1958, lahirnya PRRI/PERMESTA di daerah Sumut, Sumbar, dan lain-lain. Sejak berdirinya PRRI telah mengadakan kerjasama yang erat dengan Negara Bagian Aceh/Negara Islam Indonesia terutama dalam bidang militer. Pasukan NBA/NII (TII) telah mengadakan operasi bersama dengan pasukan PRRI yang tergabung dalam apa yang dinamakan Operasi Sabang Merauke di daerah-daerah perbatasan AcehSumatera Timur. Pada Desember 1958, di Genewa – Swiss, tercapainya pertemuan diantara pemimpinpemimpin PRRI/PERMESTA dengan pemimpin pasukan NBA/NII Aceh, diantaranya Hasan Ali dan Hasan Tiro. Maka diputuskanlah untuk mendirikan suatu negara yang berbentuk federal, yang dinamakan Republik Persatuan Indonesia (RPI), untuk mengefektifkan perjuangan menghancurkan regime Soekarno. Akhirnya RPI diproklamasikan pada tanggal 8 Februari 1960 dengan PRRI dan NBA/NII sebagai intinya. Sejak saat itu, NBA/NII berubah namanya menjadi Republik Islam Aceh sebagai satu negara bagian dari Republik Persatuan Indonesia (RPI). Alkisah, Syafruddin Prawiranegara selaku Presiden Republik Persatuan Indonesia (RPI) pada tanggal 25 Agustus 1961 menyerah/kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Akan tetapi Tgk M. Daud Beureueh tidak mengikuti jejak langkah Syafruddin Prawiranegara, melainkan kembali memproklamasikan berdirinya negara Republik Islam Aceh. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 209-216. Lihat juga dalam Neta S. Pane, Op.Cit, hal. 20, 25-26, 27-28. Lihat juga dalam Tempo, Op.Cit, hal. 20-21. 265
Mengenai kisah kembalinya Tgk M. Daud Beureueh pada pangkuan ibu pertiwi dapat ditelaah melalui komunikasi yang dilakukan oleh Kol. M. Jasin (sebagai Panglima KODAM, menggantikan Sjamaun Gaharu) kepada Tgk M. Daud Beureueh. M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 184-222. Lihat juga dalam Hasanuddin Yusuf Adan, Aceh dan Inisiatif NKRI, Adnin Foundation Publisher, Banda Aceh, 2010, hal. 203.
158
Tgk M. Daud Beureuh dan para pengikut setianya baru kembali pada pangkuan ibu pertiwi, tepatnya pada tanggal 9 Mei 1962.266 Menindaklanjuti hal tersebut, pada tanggal 21 Mei 1962 di Banda Aceh diadakanlah kenduri besar sebagai tanda bersyukur kepada Tuhan dan sebagai manifestasi kegembiraan atas pulihnya keamanan diseluruh Aceh dan terciptanya perdamaian yang sudah sekian lama dinanti-nantikan baik oleh Pemerintah Republik Indonesia maupun oleh rakyat Aceh.267 Suasana damai ini diikuti dengan mengadakan suatu musyawarah yang dilaksanakan pada tanggal 22 Desember 1962 di Blang Padang, Banda Aceh. Selanjutnya dikenal dengan MKRA (Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh), yang berjuang untuk menciptakan kerukunan dan persaudaraan sesama rakyat Aceh. Dengan adanya musyawarah tersebut, diharapkan pertentangan dan perpecahan yang terjadi di masa lalu, dapat dihilangkan dan tidak akan terulang kembali. Adapun akhir dari pelaksanaan MKRA tersebut telah melahirkan suatu pernyataan yang tercantum di dalam Piagam
Tgk M. Daud Beureueh terpaksa menerima suatu rumusan yang disodorkan oleh Kol M. Yasin selaku Panglima Daerah Istimewa Aceh. Rumusan itu dituangkan dalam Keputusan No.Kpts/Peperda061/3/1962, tertanggal 7 April 1962, yang berbunyi sebagai berikut: “… terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur syariat agama Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dengan mengindahkan peraturan perundang-undangan negara …”. Hardi, Op.Cit, hal. 142. 266
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 222.
Mengenai tanggal kembalinya Tgk M. Daud Beureueh ke pangkuan ibu pertiwi, ada juga yang menyatakan hal ini berlangsung pada tanggal 8 Mei 1962. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 190. 267
M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 223.
159
Blang Padang, yang menyatakan: “…bahwa rakyat Aceh dengan penuh hikmat dan dengan hati nurani yang putih bersih serta ikhlas telah bulat mufakat untuk memelihara dan memupuk kerukunan yang bersinarkan persatuan dan silaturahmi yang kekal dan abadi”.268
c. Peristiwa Hasan Tiro (Periode 1976 - 2005)269 Memasuki Era “Orde Baru” (masa Pemerintahan Presiden Soeharto), di Aceh kembali lahir gerakan-gerakan yang menentang Pemerintah. Hal ini merupakan dampak negatif dari lambannya perwujudan syariah dan peningkatan kesejahteraan telah memberikan lahan bagi munculnya gerakan separatis baru (seperti Papua Merdeka dan Fretelin). Awal mulanya Hasan Tiro mantan duta DI/TII, yang pulang ziarah ke Aceh pada awal Tahun 1970 telah berhasil melakukan kontak dengan rekan seperjuangannya dulu baik di Medan maupun di Aceh seperti Tgk M. Daud Beureueh, Hasballah Haji, Hasan Ali, Hasan Saleh, dan A. Wahab Ibrahim untuk bangkit berjuang kembali.270 268
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 190.
269
Peristiwa ini menitikberatkan pada peranan Hasan Tiro, dan dalam perkembangan selanjutnya peristiwa ini dikenal dengan berbagai sebutan, diantaranya: ASNLF (Atjeh Sumatera National Liberation Front), Aceh Merdeka, GPLHT (Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro), GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), juga GAM (Gerakan Aceh Merdeka). 270
M. Isa Sulaiman, Sejarah…, Op.Cit, hal. 478.
Menurut pandangan Al Chaidar bahwa adanya beberapa rangkaian peristiwa menjelang pendeklarasian Aceh Merdeka, diantaranya:
160
Setelah terjalinnya komunikasi dengan para pihak yang terlibat DI/TII, selanjutnya Hasan Tiro mengambil sikap yakni pada tanggal 4 Desember 1976 memproklamirkan Aceh Merdeka.271 Beberapa rekan lama
a. Pada Tahun 1972, Tgk M. Daud Beureueh mengutus H. Zainal Abidin (Kakak Hasan Tiro), untuk menemui Hasan Tiro di Amerika Serikat. Ketika itu Hasan Tiro menjawab “barang senjata sudah lengkap dari mulai senjata ringan dan berat. Oleh karena itu, segeralah abang (Zainal Abidin) pulang dan menemui abu (Tgk M. Daud Beureueh) dan berilah kabar untuk mempersiapkan pendaratan helikopter”. Mendengar kalimat tersebut, Tgk M. Daud Beureueh memamggil Tgk Hasbi dan anaknya untuk menyiapkan tempat bagi pendaratan helikopter. Maka disiapkanlah tempat seluas 2 Ha di desa Nisam, Krueng Geukeuh. Namun setelah ditunggu 2 Tahun senjata yang dijanjikan tersebut tidak kunjung tiba. b. Pada Tahun 1974, Tgk M. Daud Beureueh kembali mengutus Tgk Hasbi Geudong untuk menemui Hasan Tiro di Singapura dan Malaysia. Pada pertemuan itu, Hasan Tiro menjawab “Abu (Tgk M. Daud Beureueh) senjata sudah siap. Namun tidak bisa memasukkan senjata tersebut lewat udara. Oleh karena itu, untuk lebih amannya pasokan senjata, harus mempergunakan kapal selam”. Selanjutnya Tgk M. Daud Beureueh memerintahkan Tgk Hasbi Geudong dan Tgk Jamil Syamsuddin Panton Labu untuk membersihkan alur sungai di simpang ulim. Faktanya selama 6 (enam) bulan, 280 (dua ratus delapan puluh) orang menunggu dengan setianya kedatangan kapal selam tersebut. Namun yang ditunggu-tunggu juga tidak kunjung tiba. c. Pada Tahun 1975, Tgk M. Daud Beureueh memerintahkan kepada dr Muchtar Hasbi, untuk menjumpai kembali Hasan Tiro di Bangkok, Thailand, terkait menanyakan perihal senjata. Kemudian Hasan Tiro membawa dr Muchtar Hasbi ke pangkalan Subic (Filipina), sambil berkata “dengan senjata inilah bangsa Aceh akan memerdekakan Aceh dari Republik Indonesia”. Sekembalinya dr Muchtar Hasbi ke Aceh dan melaporkan pada Tgk M. Daud Beureueh, hal ini sudah tidak dapat dipercaya lagi oleh sebagian besar pengikut Tgk M. Daud Beureueh. Al Chaidar, Gerakan..., Op.Cit, hal. 142-143. Lihat juga dalam Abu Jihad, Op.Cit, hal. 39-40. 271
Ada perbedaan pendapat mengenai tanggal deklarasi Gerakan Aceh Merdeka, ada yang menyatakan GAM lahir pada Mei 1977, mereka beralasan bahwa hendaknya proklamasi bersamaan saja waktunya dengan pelantikan para menteri/pimpinan militer, bahkan diantara mereka ada yang mengusulkan bahwa sebaiknya tanggal proklamasi itu dikembalikan kepada proklamasi Republik Islam Aceh pada tanggal 15 Agustus 1961. Mendengar usulan-usulan itu Hasan Tiro tetap bersikukuh bahwa proklamasi itu harus ditetapkan pada tanggal 4 Desember 1976, dengan dasar untuk memperingati kematian kakeknya yakni Tgk Ma‟at di Tiro yang syahid pada tanggal 4 Desember 1911. Al Chaidar, Gerakan..., Op.Cit, hal. 143. Sebelum diproklamirkannya Aceh Merdeka, awalnya Tgk M. Daud Beureuh tidak sependapat jika Aceh harus merdeka, karena yang dibutuhkan Aceh bukanlah kemerdekaan, melainkan hak-hak menyelenggarakan keislaman di Aceh. Akan tetapi, Hasan Tiro menegaskan bahwa untuk kesejahteraan rakyat Aceh, hanya dapat diwujudkan jika Aceh berdiri sendiri. Setelah melalui diskusi
161
masih mempunyai semangat berjuang, seperti Ilyas Leube, Daud Paneuk, dan Pawang Rasyid yang secara nyata ikut memanggul senjata.272 ASNLF (Atjeh Sumatera National Liberation Front), yang oleh rakyat Aceh lebih dikenal dengan sebutan Atjeh Meurdeuka kemudian dicap oleh Pemerintah sebagai GPLHT (Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro) atau
yang panjang akhirnya Tgk M. Daud Beureuh memberi restu untuk perjuangan Hasan Tiro. Tempo, Op.Cit, hal. 55-56. Patut ditelaah pandangan Nazaruddin Sjamsuddin mengenai diproklamirkannya GAM, bahwa para pendirinya terpaksa untuk memproklamirkan gerakan mereka, karena ada bocornya rahasia gerakan mereka kepada Pemerintah Republik Indonesia. Paska mengetahui bahwa rencana mereka telah dibocorkan, maka teks proklamasi berdirinya “Negara Aceh Sumatera” pun disebarkan, seiring dengan itu, seluruh pemimpin gerakan yang ada di Sumatera Utara kembali ke Aceh dan masuk ke hutan pada pertengahan Tahun 1977, hal ini yang menandai awal dari meletusnya pemberontakan yang sesungguhnya. Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1989, hal. 72. Paska diproklamirkannya Aceh Merdeka, maka disusun Kabinet pertama, dengan susunan sebagai berikut: Mufti Empat (Tgk M. Daud Beureueh), Dewan Syura (Tgk H. Ilyas Leube – Tgk H. Ilyas Cot Plieng – Tgk Hasbi Geudong – Tgk Ayah Sabi), Wali Negara (Dr. Hasan Muhammad di Tiro), Wakil Wali Negara (dr Muchtar Yahya Hasbi Geudong), Menteri Dalam Negeri (dr Muchtar Yahya Hasbi Geudong), Menteri Luar Negeri (Dr. Hasan Muhammad di Tiro), Menteri Pertahanan (Dr. Hasan Muhammad di Tiro), Wakil Menteri Pertahanan (dr Muchtar Yahya Hasbi geudong), Menteri Kehakiman (Tgk H. Ilyas Leube), Menteri Sosial (dr Zubir Mahmud), Menteri Kesehatan (dr Zaini Abdullah), Menteri Pendidikan (dr Husaini Hasan), Menteri Penerangan (Tgk Muhammad Taher Husen), Menteri Perhubungan (Tgk Amir Ishak, SH), Menteri Perdagangan (Tgk Amir Mahmud – Singapura), Menteri Pekerjaan Umum (Ir. Asnawi Ali), Menteri Keuangan (Tgk M. Usman Lampoh Awe), Menteri Sekretaris Negara (Tgk Darul Kamal), Ka Staf Angkatan Bersenjata (Tgk Fauzi Hasbi Geudong), Ka Pengawasan Keuangan Negara (Tgk Uzir Jailani), Duta Kuasa Penuh (Malik Mahmud – Singapura), Panglima Pengawal Wali Negara (Tgk Daud Husen), Gubernur Pase (Tgk Hasbi Geudong), Gubernur Pidie (Tgk Ilyas Cot Plieng), Gubernur Batee Iliek (Tgk Abdul Azis), Gubernur Perlak (dr Zubir Mahmud), Gubernur Temieng (Tgk Ali Daud), Gubernur Linge (Tgk Ilyas Leube). Al Chaidar, Gerakan..., Op.Cit, hal. 150-152. Lihat juga dalam Abu Jihad, Op.Cit, hal. 82-83. 272
M. Isa Sulaiman, Sejarah…, Op.Cit, hal. 478.
162
GPK (Gerakan Pengacau Keamanan).273 Adapun dalam perkembangan selanjutnya dikenal dengan adagium “GAM” (Gerakan Aceh Merdeka).274 Lahirnya GAM tidak diterima secara serta merta oleh kelompok senior DI/TII, karena adanya perbedaan konsep terkait dengan perjuangan, diantaranya:275
273
Al Chaidar, Gerakan..., Op.Cit, hal. 154.
274
Untuk menyeragamkan keseluruhan sebutan atas peristiwa Hasan Tiro, penulis menggunakan adagium “GAM” (Gerakan Aceh Merdeka), dengan pertimbangan diantaranya bahwa kesepakatan yang tertuang didalam Nota Kesepahaman (MoU Helsinki), disebutkan para pihaknya adalah Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). 275
Abu Jihad, Op.Cit, hal. 83-85.
Neta S. Pane mengungkapkan adanya perbedaan konsep perjuangan antara DI/TII dan GAM, diantaranya: a. DI/TII bukan untuk memisahkan Aceh dari Republik Indonesia, hanya meminta otonomi seluas-luasnya. Sedangkan GAM sebagai separatis yang ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia. b. DI/TII kalaupun muncul keinginan untuk berpisah dari Republik Indonesia, tetap menggunakan konsep Republik Islam Aceh (1961) dan ketatanegaraannya tetap mengacu kepada Republik yang demokratis. Sedangkan GAM menerapkan konsep ketatanegaraan Kerajaan Monarki, berdasar silsilah Tgk Tjik di Tiro (sebagai pewaris terakhir kerajaan Aceh). c. DI/TII dalam peranannya lebih ditangani oleh Ulama dan petani. Sedangkan GAM ditangani oleh kaum terpelajar. d. DI /TII dalam konsep perjuangannya berlandaskan syariat Islam. Sedangkan GAM lebih berorientasi pada pola pikir barat, sehingga orientasi GAM menuju sekulerisme. Neta S, Pane, Op.Cit, hal. 47-48. Lihat juga pandangan Nazaruddin Sjamsuddin mengenai hal-hal yang membedakan antara DI/TII dan GAM , diantaranya: a. Pemimpin-pemimpin Darul Islam di Aceh melancarkan pemberontakan mereka secara masal dan secara langsung menyerang pemusatan kekuatan-kekuatan militer Pemerintah di daerah perkotaan. b. Darul Islam berhasil menguasai hampir semua kota di Aceh dalam minggu-minggu pertama pemberontakannya, bahkan mereka menguasai kota-kota tersebut sampai lebih dari satu bulan. Dan pada daerah pedesaan dicengkam dengan kuat melalui suatu jaringan Pemerintahan gerilya yang berfungsi secara sangat efektif. c. para pemimpin Darul Islam di Aceh adalah tokoh-tokoh yang akrab sekali dengan rakyat. Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi…, Op.Cit, hal. 73-74.
163
a) Tentang tanggal proklamasi. Menurut tokoh senior DI/TII adalah 20 Mei 1977 atau sesuai dengan Republik Islam Aceh tanggal 15 Agustus 1961. Sedangkan menurut Hasan Tiro adalah 4 Desember 1976, agar sesuai dengan syahidnya Tgk Maat di Tiro pada 4 Desember 1911. b) Isi dari proklamasi. Menurut tokoh senior DI/TII, sebaiknya beriburibu moyang bangsa Aceh telah syahid. Sedangkan menurut Hasan Tiro , 10 (sepuluh) orang telah mati syahid. c) Wilayah negara. Menurut tokoh senior DI/TII, hanya sebatas Aceh. Sedangkan menurut Hasan Tiro seluruh Sumatera. d) Bentuk negara. Menurut tokoh senior DI/TII adalah Republik. Sedangkan menurut Hasan Tiro adalah kerajaan (berdasarkan keturunan Tgk Tjik di Tiro). e) Bendera negara. Menurut tokoh senior DI/TII adalah bendera Alam Peudeng (bendera pada masa kesultanan). Sedangkan menurut Hasan Tiro adalah bendera GAM saat ini. f) Bahasa persatuan. Menurut tokoh senior DI/TII adalah bahasa Aceh dan melayu pase. Sedangkan menurut Hasan Tiro adalah bahasa Aceh. g) Landasan sejarah perjuangan. Menurut tokoh senior DI/TII dimulai dari Sultan Ali Mughayat Syah, Ali Riayat Syah, dan Sultan Iskandar Muda. Sedangkan menurut Hasan Tiro dimulai dari Tgk Tjik di Tiro.
Hasan Tiro selaku deklarator GAM (Gerakan Aceh Merdeka) merumuskan gagasan dan pemikirannya tentang bentuk ketatanegaraan yang
Patut juga ditelaah pandangan Lamkaruna Putra, yang menyatakan bahwa pada dasarnya sama dengan yang diutarakan oleh Abu Jihad, Neta S. Pane, dan Nazaruddin Sjamsuddin, akan tetapi ada perbedaan lainnya, yaitu: a. Hasan Tiro menginginkan negara berbentuk kerajaan dan sekaligus dia (Hasan Tiro) yang akan menjadi Raja. Sedangkan kelompok DI / TII menginginkan perjuangan berlandaskan Islam, atau kembali kedalam Republik Islam Aceh. b. Hasan Tiro mengecam orang “Jawa”, sedangkan kelompok DI / TII menyatakan orang Jawa wajib diberi perlindungan apabila telah tinggal laam di Aceh sesuai yang dituntun oleh AlQur‟an dan Sunnah dimana kita diwajibkan untuk menciptakan Ukhuwah islamiyah. Lamkaruna Putra, Perjalanan Panjang Aceh Menuju Islam Kaffah, Titian Ilmu Insani, Bekasi, 2001, hal. 81 – 83.
164
ideal bagi kepulauan Indonesia terutama dari Aceh. Adapun konsepsi atau gagasan dari Hasan Tiro, diantaranya: a) Menurut Hasan Tiro, Pancasila bukan filsafat atau suatu ideologi yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Hasan Tiro menyatakan bahwa Islam yang semestinya dijadikan filsafat atau ideologi negara karena Islam hidup dan berakar dalam masyarakat Indonesia.276 Sebenarnya Pancasila itu bukan suatu falsafah, bukan suatu ideologi, tetapi hanya suatu kumpulan slogan. Walaupun sebagai kumpulan slogan, Pancasila masih merupakan kumpulan slogan yang buruk, tidak tegas, tidak jelas, dan saling bertentangan.
276
Hasan Tiro menegaskan bahwa Islam dijadikan Ideologi merupakan suatu pengakuan terhadap kenyataan yang ada dan bukan hanya didasarkan atas angka terbanyak, pengakuan terhadap kenyataan ini tidak berarti suatu tekanan atau hambatan terhadap hak hidup agama-agama lain di Indonesia. Hasan Tiro menyatakan bahwa falsafah atau ideologi negara memiliki korelasi dengan tegak atau runtuhnya suatu negara, karena negara dan Pemerintahan adalah suatu kekuasaan moral, suatu kekuasaan yang bersandarkan pada akhlak dan kebaikan-kebaikan masyarakat yang mempunyai negara dan Pemerintah. Oleh karena itu, dalam negara demokrasi, falsafah atau ideologi negara mesti mengikuti falsafah atau ideologi masyarakat yang melahirkan dan mendukung negara itu. Jika tidak demikian maka, (pertama) negara itu sudah menyimpang dari dasar demokrasi, (kedua) negara dan Pemerintahan itu tidak akan mendapat penghargaan, kesetiaan dan ketaatan dari anggota-anggota masyarakat yang telah melahirkan dan mendukungnya, yang pada akhirnya akan membawa kepada keruntuhan negara itu sendiri. Hasan Muhammad Tiro, Demokrasi Untuk Indonesia, Teplok Press, Jakarta, 1999, hal. 34-36. Lihat juga dalam M. Isa Sulaiman, Aceh…, Op.Cit, hal. 14. Patut ditelaah pandangan Nazaruddin Sjamsuddin mengenai Islam sebagai falsafah, bahwasanya didalam gerakannya Hasan Tiro menolak memberikan warna Islam kepada gerakannya, karena dia percaya bahwa dengan demikian dia akan gagal mendapat dukungan dari luar negeri. Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi…, Op.Cit, hal. 86. Tentunya penulis menelaah hal ini menjadi 2 (hal) yang saling bertolak belakang, disatu sisi Islam tidak menjadi paradigma dalam perjuangan, namun disisi yang lain Pemerintah Indonesia dianggap telah keliru karena tidak menempatkan Islam sebagai falsafah bangsa.
165
Jadi
Pancasila
itu
hanya
pantas
menjadi
falsafah
hidup
(weltanschauung) bagi orang-orang yang bingung.277 b) Menurut Hasan Tiro, kebangsaan Indonesia tidak mengenal kesatuan. Dalam hal ini, Indonesia sebelum dijajah Belanda tidak pernah mempunyai kesatuan sejarah, demikian halnya selama dalam penjajahan Belanda. Pada hakikatnya bangsa Aceh tidak mempunyai kesatuan sejarah. Ada daerah yang dijajah Belanda selama ratusan tahun, dan ada yang hanya puluhan tahun.278
277
Hasan Muhammad Tiro, Demokrasi…, Op.Cit, hal. 80-81.
278
Bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang tunggal, tetapi bangsa bersuku, yang masingmasing mempunyai bahasa sendiri, seperti Minang – Bugis – Batak – Aceh – Sunda dan lain-lain. Memang benar, bahasa-bahasa ini mempunyai satu rumpun dengan bahasa Melayu, tetapi bahasabahasa ini sudah merupakan cabang yang berdiri sendiri, lengkap dengan tata bahasa dan seni bahasanya. Hasan Muhammad Tiro, Demokrasi…, Op.Cit, hal. 42 dan 46-47. Mengenai perihal bahwa Aceh tidak mempunyai kesatuan sejarah dengan daerah lain yang ada di Indonesia, dalam konteks tataran ilmiah tidak ada salahnya menelaah pandangan M. Yamin ketika berlangsungnya rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tertanggal 31 Mei 1945, yang menyatakan bahwa ada pedoman dalam rangka menentukan batasan daerah negara Indonesia, yaitu suatu pendirian bahwa yang akan dijadikan daerah negara Indonesia adalah negara tumpah-darah Indonesia. Dalam pedoman ini terletak beberapa haluan, selain dari pada mempersatukan bangsa di atas tanah air kita, juga hendak mempersatukan segala daerah tanah air di bawah kekuasaan negara Indonesia, dengan tidak mengenal enclaves (tanah kepungan). Maka tanah yang akan diperhubungkan dengan negara Indonesia dapat dibagi atas 5 (lima) bagian, diantaranya: a. Daerah bekas jajahan Hindia Belanda, yang terbagi atas Pulau Sumatera, sebagian Borneo, Jawa, Celebes, Sunda Kecil, Maluku bersama-sama dengan pulau-pulau yang sekelilingnya. Adapun daerah pertama ini ialah pusat tumpah-darah Indonesia didiami oleh bangsa Indonesia, dan di daerah ini semenjak 40 (empat puluh) tahun bernyala api kemerdekaan.semenjak hari pertama orang Belanda datang kemari telah ada perjuangan melawan mereka. Saudagar Belanda bernama Cornelis Houtman yang pertama sekali datang mendarat, dibunuh di Pantai Aceh (1599). Sesudah itu di daerah tersebut berjangkit berpuluhpuluh kali peperangan kemerdekaan dalam waktu 350 (tiga ratus lima puluh) tahun. Sejak dari berdirinya Kompeni Belanda sampai bubarnya serikat dagang itu (1602 – 1800), bangsa Indonesia di pulau Sumatera, Jawa, Borneo, Celebes, Maluku, dan Sunda Kecil selalu siap mempertahankan negerinya dengan keinginan hendak membersihkan tanah air dari pengaruh kaum dagang itu. setelah Pemerintah Hindia Belanda berdiri, juga sampai kepada abad ke-20
166
c) Menurut Hasan
Tiro,
Indonesia tidak perlu
mengagungkan
“nasionalisme”.279
b. c. d. e.
ini (1800 – 1940), bangsa Indonesia melakukan peperangan kemerdekaan: Perang Paderi (1800 – 1940), Perang Diponegoro (1825 – 1830), Perang Aceh (1873 – 1900), dan api pemberontakan hendak melawan Belanda dengan senjata tak pernah padam dalam waktu 350 tahun itu. Daerah peperangan istimewa, yaitu Tarakan, Morotai, Papua, dan Halmahera. Daerah Timur Portugis, dan Borneo Utara. Semenanjung Malaya (Malaka) dengan pulau-pulau sekelilingnya, selain dari pada daerah yang empat. Daerah Malaya yang empat, Terangganau, Kelantan, Kedah, dan Perlis. Floriberta Aning, Lahirnya Pancasila Kumpulan Pidato BPUPKI, Media Pressindo, Yogyakarta, 2006, hal. 84 – 100.
Mengenai kesatuan sejarah Aceh dan daerah lainnya, juga dapat ditelaah berdasarkan kitab Negarakertagama menurut karangan Prapanca, pada syair 13, dituliskan “Mandahiling i Tumihang Parllak mwang I Barat”. Terlebih lagi mengenai Aceh tumpah-darah Indonesia lebih dispesifik, yaitu: Tamiang, Perlak, Barat Aceh, Lawas (Padang Lawas, Gayo Luas), Samudera, Lamuri (Aceh Tiga Sagi). Floriberta Aning, Op.Cit, hal. 107 – 111. Pada kesempatan yang sama, patut juga ditelaah mengenai kesatuan sejarah Aceh dan daerah lainnya, bahwa pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 24 Mei 1937 salah satu tokoh pemuda Aceh (Dr. A.K Gani) dan Mr. Amir Syarifudin dengan yang lainnya mendirikan GERINDO (Gerakan Rakyat Indonesia), yang pada intinya GERINDO memperjuangkan kemerdekaan Indonesia 100%. Soejitno Hardjosoediro, Kronologi Pergerakan Kemerdekaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979, hal. 57. Sebelumnya, A.K Gani dan yang lainnya juga telah berperan serta dalam mendirikan Indonesia Muda, yang kongresnya dilaksanakan 28 Desember 1930 – 2 Januari 1931. Adapun tujuan Indonesia Muda adalah membangunkan dan mempertahankan keinsyafan anak bangsa yang bertanah air satu agar tercapai Indonesia Raya. Hal ini dilakukan sekaligus dalam rangka meleburkan seluruh organisasi pemuda kedalam Kongres Pemoeda-Pemoedi Indonesia, yang dewasa ini dikenal dengan adagium KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia). Restu Gunawan, Indonesia Dalam Arus Sejarah Masa Pergerakan Kebangsaan, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2012, hal. 362 – 365. 279
Indonesia adalah satu negara besar yang terdiri dari keluarga bangsa-bangsa Indonesia yang masing-masing tidak dapat melupakan dirinya. Dalam keadaan demikian, kalau suku bangsa itu menghidupkan “nasionalismenya”, maka yang lain akan memberikan reaksi yang demikian. Misalnya ketika suku Jawa membesar-besarkan Gajah Mada sebagai orang Indonesia, maka suku-suku bangsa yang lain yang memang tidak merasakan kebesaran Gajah Mada akan memberi reaksi dengan merayakan hari-hari ulang tahun orang-orang besar mereka sendiri yang selama ini sudah dilupakan atau tidak begitu dihiraukan lagi. Hasan Muhammad Tiro, Demokrasi…, Op.Cit, hal. 67.
167
d) Menurut Hasan Tiro, Indonesia melakukan pemaksaan suatu “negara kesatuan” atas suatu suku bangsa bersuku yang mendiami suatu benua kepulauan.280 e) Menurut Hasan Tiro, bahwa Kerajaan Aceh tidak pernah menyerah kalah kepada Belanda. Hal ini yang mendasari untuk mengecam penjajah Belanda yang tidak mengembalikan kemerdekaan Hindia Belanda kepada penduduknya masing-masing, tetapi dipeliharanya bulat-bulat dan diberikan kedaulatannya kepada bangsa “Jawa”. Khusus mengenai perjanjian singkat (Korte Verklaring) yang ditanda tangani oleh para hulubalang dengan Belanda, termasuk kapitulasi Sultan Muhammad Daudsyah, menurut Hasan Tiro tidak sah menurut Hukum Internasional, karena para hulubalang itu bukanlah penguasa kerajaan yang nyata.281
280
Berarti bahwa suku-suku bangsa Indonesia yang lain (yang bukan suku bangsa Jawa), bukan saja telah tidak turut lagi menentukan politik negara dan Pemerintah Republik Indonesia, tetapi malah hak mereka untuk memerintah diri sendiri sudah hilang sama sekali, karena campur tangan Pemerintah Republik Indonesia dalam segala urusan Pemerintah Daerah. Dengan demikian, suku-suku bangsa yang lain pada hakikatnya sudah menjadi warganegara kelas 2 (dua) yang kedudukannya tidak lebih dari rakyat jajahan. Hasan Muhammad Tiro, Demokrasi…, Op.Cit, hal. 81 dan 88. Lihat juga dalam M. Isa Sulaiman, Aceh…, Op.Cit, hal. 14. 281
Hasan Tiro menyatakan bahwa perkembangan Aceh dewasa ini, tidak dapat dipisahkan dari perang Aceh melawan Belanda, perang Aceh melawan Belanda telah menghabisi pemimpin-pemimpin Aceh dan memutuskan tongkat estafet antara generasi baru dengan generasi dulu yang selalu merdeka, adapun dari akibat perang Aceh melawan Belanda, diantaranya: a. Aceh tetap dalam penjajahan (Belanda: 1911-1942, Jepang: 1942-1945, Jawa: 1945-1968). b. Gugurnya para endatu dan rakyat Aceh. c. Tidak adanya Pemerintahan negara Aceh. Hasan Tiro, Aceh Dimata Dunia, Bandar Publishing, Banda Aceh, 2013, hal. 86-87.
168
Hasan Tiro menafikan kekuasaan Sultan Muhammad Daudsyah 1878-1903 yang turun berdamai dengan Gubernur Militer Van Heutz pada tanggal 20 Januari 1903. Dalam hal ini, Hasan Tiro menerangkan bahwa di periode tersebut yang memimpin Aceh adalah Tgk Tjik di Tiro sebagai pemimpin perlawanan Tahun 1885-1891, selanjutnya setelah Tgk Tjik di Tiro wafat pada 1891, kekuasaan beralih secara estafet kepada anak cucunya yaitu dari tangan Tgk M. Amin hingga yang terakhir Tgk Maat di Tiro yang wafat pada 3 Desember 1911. M. Isa Sulaiman, Aceh…, Op.Cit, hal. 16-17. Munawar A. Djalil berpandangan bahwa Hasan Tiro mendeklarasikan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) untuk mengembalikan kedaulatan Aceh sebagai negara yang berdaulat, dalam perihal ini Munawar A. Djalil menyebutkan bahwa “… Menurut pemikiran Hasan Tiro bahwa dalam UndangUndang Kerajaan Aceh (Qanun Meukuta Alam Al-Arsy) disebutkan kekuasaan Sultan sederajat dengan Malikul Adil dan Ketua Reusam. Kekuasaan tertinggi ada pada Majelis Parlemen. Majelis inilah yang memberikan hak dan kewajiban serta berkuasa penuh atas adat dan Undang-Undang. Oleh karena itu, tatkala pada tanggal 25 Januari 1874 wafat Sultan Mahmud Syah, maka yang tinggal adalah Maliku Adil Tgk Imum Lueng Bata dan Ketua adat Tgk Tjik di Tiro Muhammad Saman. Karena pada waktu itu perang sedang berkecamuk di Banda Aceh, maka seluruh anggota parlemen, ketua adat, Sultan sementara (karena ketika itu Sultan Muhammad Daud Syah baru berumur 11 Tahun), Malikul Adil hijrah ke Pidie, sebagai bagian dari strategi perang. Selama tiga hari perjalanan, tanggal 28 Januari 1874 sampailah di Keumala Pidie, dan parlemen langsung menarik semua kekuasaan adat, Undang-Undang kehadapan parlemen. Anggota parlemen ada saat itu adalah Tuanku Raja keumala, Tuanku Banta Hasyem, dan Tgk panglima Polim, serta Tgk tjik di Tanoh Abee Syeh Abdul Wahab. Dalam pada itu Tuanku Raja Keumala dihadapan para majelis bertitah untuk memberikan kekuasaan kerajaan Aceh kepada Tgk Tjik di Tiro pada tanggal 28 Januari 1874, sahlah Tgk Tjik di Tiro selaku penanggung jawab dan berkuasa penuh dalam negara Aceh sebagai Muzabbirul Muluk atau Wali Negara Aceh yang sah. Tgk Tjik di Tiro memimpin Aceh selama 17 Tahun dan beliau wafat pada tanggal 25 Januari 1891, dan perjuangan dilanjutkan berkesinambungan oleh anak lelakinya yang sulung Tgk M. Amin (wafat 1896), Tgk Zainal Abidin (wafat 1898), Tgk di Buket (wafat 1903), Tgk Sulaiman (wafat 1904), Tgk Mahyuddin (wafat 1910), Tgk Muaz (wafat 3 Desember 1911), perjuangan Aceh berlanjut sampai dengan Belanda terusir dari bumi Aceh tanpa berhasil menakluki Aceh. Menurut Hasan Tiro selepas 65 Tahun (terhitung dari syahid Tgk Muaz pada 1911) perjuangan bangsa Aceh mengalami kevakuman, maka tepat pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro mengumumkan kembali kemerdekaan Aceh sebagai perjuangan lanjutan kerajaan Aceh dahulu”. Munawar A. Djalil, Op.Cit, hal. 59-60. Perang Aceh dan Belanda itu terjadi secara terus menerus dari 1823 sampai 1942. Belanda pernah masuk ke Aceh tetapi secara de facto dan de jure, Belanda tidak pernah menguasai Aceh. Sehingga hukum-hukum Islam tetap berjalan di daerah rencong itu. Paling-paling, saat itu orang Aceh diharuskan bayar pajak pada Belanda. Abu Jihad, Op.Cit, hal. 209. Pada kesempatan yang sama, meskipun Hasan Tiro dan beberapa pemerhati sejarah Aceh lainnya telah menafikkan Aceh takluk di tangan Belanda, dalam tataran ilmiah patut pula dikomparasikan dengan pandangan Anthony Reid, yang menyatakan bahwa “… pada 1913, setelah 40 Tahun berperang, akhirnya Belanda dapat dikatakan telah menaklukkan Aceh. Meskipun pembunuhan-pembunuhan terus terjadi, tetapi sekarang ditujukan khusus kepada gerilyawan yang terinspirasi dan seringkali dipimpin oleh ulama-ulama terkenal. Di mata Belanda kaum gerilyawan ini adalah orang-orang jahat, tetapi bagi orang Aceh mereka ini hanya dipandang sebagai kaum muslim. Indikasi Belanda menaklukkan Aceh yakni dengan adanya pembayaran pajak berbentuk uang juga dijalankan sampai sekitar (f1 pertahun) per orang pada 1917, tetapi yang paling dibenci rakyat Aceh
169
Munawar A. Djalil menyatakan bahwa ada 3 (tiga) paradigma Hasan Tiro dalam memproklamirkan kedaulatan Aceh, yaitu: a) Aceh sampai kini masih berdaulat sebagai negara yang merdeka. Pengintegrasian Aceh ke dalam negara Indonesia tidak sah berdasarkan hukum internasional (International Laws). Bahwa ketika Hindia Belanda berubah menjadi Indonesia, Aceh tidak secara otomatis menjadi wilayah yang diserahkan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).282
adalah kewajiban untuk bekerja selama 24 hari dalam setahun di proyek pembuatan jalan-jalan dan jembatan-jembatan bagi kepentingan serdadu kompeuni Belanda yang mereka benci. Akibat psikologis penaklukkan Aceh terhadap masyarakatnya tidak terhitung, seorang cendekiawan Aceh dengan tepat menunjukkan “kehancuran, depresi, dan sakit mental” sebagai akibat dari penaklukkan Aceh, sehingga pada 1920, orang-orang Belanda memberi perhatian khusus terhadap masalah-masalah ini dengan mendirikan rumah sakit jiwa di Sabang. Meskipun perlawanan secara gerilya masih dilakukan oleh rakyat Aceh, akan tetapi serangan tersebut semakin menurun, dari 75 serangan pada 1910 – 1919, turun menjadi 52 serangan pada 1920 – 1929, dan 35 serangan pada 1930 – 1938. Meskipun demikian, perlawanan bersenjata rakyat Aceh terhadap Belanda sebenarnya lenyap pada 5 (lima) Tahun terakhir kekuasaannya…”. Anthony Reid, Op.Cit, hal. 11 – 18. Hal senada juga dapat ditelaah bahwa pada akhir Tahun 1885, diseluruh Hindia Belanda terdapat para pejabat yang berkedudukan sebagai kepala pemerintahan setempat (hoofden voor gewestlijk bestuur). Di pulau Sumatera terbagi atas Sumatera’s Weskust (Sumatera Bagian Barat), yang dipimpin seorang Gubernur, dengan 8 (delapan) Karesidenan, yaitu: a. b. c. d. e.
Karesidenan Bengkulen, dengan 8 afdeling. Karesidenan Lampung, dengan 6 afedling. Karesidenan Palembang, dengan 8 afdeling. Karesidenan Sumatera Timur (Ootkust van Sumatera), dengan 6 afdeling. Karesidenan Aceh dan sekitarnya, terdiri dari Aceh Besar (Groot Atjeh) dan daerah sekitarnya (Onder-hoorigheden) yang terbagi atas Aceh Barat, Aceh Utara, dan bagian selatan dari Aceh Besar. f. Karesidenan Riau, dengan 5 afdeling. g. Karesidenan Bangka dan sekitarnya. h. Karesidenan Biliton. Restu Gunawan, Op.Cit, hal. 53 -54. 282
Bahwa Aceh tidak pernah disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) 14 Desember 1949. Yang mana dalam Pasal 2 Undang-Undang Dasar RIS tidak menyebutkan Aceh sebagai bagian dari RIS ataupun negara bagian Indonesia. Dan menurut Pasal 65
170
b) Aceh pada dasarnya berhak untuk menentukan nasib sendiri. Hal ini berdasarkan konvensi PBB, pada artikel 1, bagian 2 dan 55. Piagam Hak Bangsa-Bangsa, pada Pasal 5, 6, dan 11. Piagam Hak-hak Azasi Manusia. Piagam Hak Ekonomi, Kemasyarakatan dan Kebudayaan. Serta Piagam Hak Umum dan Politik. Yang pada dasarnya menyebutkan bahwa “… semua bangsa di dunia mempunyai hak menentukan nasib diri sendiri dan hak kemerdekaan …”.283
Undang-Undang Dasar RIS, suatu wilayah dianggap sebagai bagian daripada suatu negara mesti ada kontrak antara keduanya, dan Aceh tidak pernah ada kontrak yang sah dengan negara bagian Indonesia. Menurut Hasan Tiro hal ini berbeda dengan Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alam, yang mana pada tanggal 19 Agustus 1945 mengadakan sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ketika itu bernama “Yogyakarta Kooti Kokootai”. Permasalahan tersebut menurut Hasan Tiro telah bertentangan dengan resolusi PBB 2625-XXV yang menyebutkan: a. Kewajiban negara-negara merdeka adalah menghapuskan penjajahan dan melarang menggunakan kekerasan terhadap bangsa-bangsa yang sedang menuntut kemerdekaan. b. Tiap-tiap wilayah jajahan mempunyai kedudukan (status) hukum yang terpisah-pisah dari wilayah jajahan yang lain, dan masing-masing mempunyai hak merdeka, dan hak-hak tersebut tidak dapat dihalangi bagi wilayah-wilayah yang sebelumnya disatukan oleh si penjajah. Menurut Hasan Tiro berdasarkan resolusi PBB tersebut, bangsa Aceh berhak mengambil kembali tanah yang telah dirampas oleh Indonesia. Berdasarkan ketetapan diatas, kebanyakan dari tanah jajahan diseluruh dunia telah dapat dibebaskan oleh Komisi Kemerdekaan (Decolonization Commision) PBB, kecuali di Hindia Belanda atau Indonesia. Munawar A. Djalil, Op.Cit, hal. 41-44. 283
Bahwa Aceh sudah sepantasnya diakui kembali sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Hal ini berdasarkan resolusi PBB No: 1514-XV yang dihasilkan pada 14 Desember 1960 mengenai: “Declaration of the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples” pada resolusi ini terdapat 3 (tiga) point penting, yaitu: a. Kedaulatan atas tanah jajahan tidak berada ditangan penjajah, melainkan berada di tangan bangsa asli dari jajahannya. b. Kedaulatan suatu negara tidak dapat dipindah/diserahkan oleh penjajah kepada penjajah yang lain. c. Semua kekuasaan wajib dikembalikan oleh penjajah kepada bangsa asli dari tanah jajahannya. Menurut Hasan Tiro, jika konsep dekolonisasi cara Indonesia dijalankan dibagian dunia lain, maka di Afrika hanya ada 7 (tujuh) negara baru saja yang berasal dari Inggris – Perancis – Jerman – Belgium – Portugal – Spanyol – Italia. Maka di Asia hanya ada 2 (dua) negara baru saja yang berasal
171
c) Aceh sebagai negara Islam berdaulat. GAM (Gerakan Aceh Merdeka) merupakan perjuangan bersambung dari perjuangan bangsa Aceh tempo dulu dalam usaha mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan Belanda yang bermula sejak Tahun 1873.284 Selanjutnya Al-Chaidar menerangkan latar belakang lahirnya GAM (Gerakan Aceh Merdeka), diantaranya:285 dari Inggris – Perancis. Maka di Amerika Latin hanya ada 3 (tiga) negara baru saja yang berasal dari Spanyol – Portugis – Perancis. Munawar A. Djalil, Op.Cit, hal. 44-47. 284
Bahwa Hasan Tiro pada fase awal pendeklarasian GAM mempunyai cita bahwa negara Aceh nantinya berbentuk kerajaan monarki yang kepala negaranya di beri gelar “Wali Negara”. Dasar negara Aceh adalah Al-Qur‟an dan Sunnah. Oleh karenanya perjuangan GAM dalam mendirikan negara Aceh berdaulat adalah untuk mencapai kebahagiaan bangsa Aceh dan Sumatera di dunia dan akhirat sebagai satu bangsa merdeka dan berdaulat di bawah daulat Allah SWT. Munawar A. Djalil, Op.Cit, hal. 47-51. Patut untuk ditelaah bahwa dalam perjalanan GAM juga telah mengubah ideologi pejuangan, sebagaimana yang diutarakan oleh Jusuf Kalla bahwa GAM mengubah ideologi perjuangan dan orientasi front pembebasan menjadi HAM (Hak Asasi Manusia) dan demokrasi pada awal Tahun 1990-an. Hal ini sejalan dengan perubahan politik global, tatkala negara-negara Eropa Timur kolaps. Saat itu, sistem bipolar runtuh. Konsekwensinya, agenda HAM dan demokrasi tiba-tiba menjadi tuntutan dan menu global. Ideologi dan orientasi perjuangan GAM juga hanyut dalam arus global tersebut. Mengenai hal ini juga turut ditegaskan oleh M. Nur Djuli (juru runding GAM pada MoU Helsinki) yang menyatakan bahwa Undang-Undang yang ada sekarang ini sama sekali tidak mewakili aspirasi rakyat Aceh, hukum Syariah bukan aspirasi kami. Fenty Effendy, Ombak Perdamaian Inisiatif dan Peran JK Mendamaikan Aceh, Kompas, Jakarta, 2015, hal. 45 dan 80. 285
Al Chaidar, Gerakan..., Op.Cit, hal. 139-141.
Abu jihad mengutarakan bahwa faktor esensi terbentuknya GAM adalah adanya ketimpangan sosial dimasyarakat terkait ekonomi. Abu Jihad, Op.Cit, hal. 35-37. Patut juga ditelaah dari paradigma yang berbeda mengenai latar belakang lahirnya GAM (Gerakan Aceh Merdeka), yaitu karena Hasan Tiro tidak diberi kesempatan menjadi kontraktor Pertamina. M. Isa Sulaiman, Aceh…, Op.Cit, hal. 19. Lihat juga dalam Munawar A. Djalil, Op.Cit, hal. xix dan 80. Fachry Ali dkk, memandang faktor kalkulasi material dianggap sebagai salah satu dasar pemikiran Hasan Tiro melahirkan GAM, karena Aceh ketika itu cukup kaya dengan berbagai sumber daya alam. Fachry Ali, Op.Cit, hal. 117-118. Mengenai hal ini Murizal Hamzah menyatakan terlalu menyederhanakan persoalan bahwa perlawanan selama 3 (tiga) dekade ini dikarenakan Hasan Tiro gagal dalam tender pembangunan
172
a) Terjadinya pergeseran nilai yang dipicu agresifnya politisasi khususnya kepada Ulama untuk terjun dalam arena politik praktis, sampai muncul suatu hikayat dalam bahasa Aceh “Ulama jameun pijuet-pijuet seubab geu kaluet bak bulen puasa, Ulama jinoe teumbon-teumbon gadoeh eik treeun bak istana (Ulama dulu kuruskurus, sibuk dzikir dalam goa seperti bulan puasa, Ulama sekarang buncit-buncit naik turun pendopo raja)”. b) Terjadinya pergeseran nilai dalam konteks orientasi politik demokrasi. Timbulnya proses yang berlawanan arah dengan prinsip demokrasi dalam budaya politik di Aceh tidak terlepas dari diberikannya peranan ekonomi yang lebih besar dalam Pemerintahan di Aceh, sehingga seolah-olah Pemerintahan itu dikelola dengan sistem manajemen perusahaan. c) Sudut pandang ekonomi, gejolak sosial yang kemudian terjadi di Aceh lebih banyak disebabkan oleh Pemerintah Republik Indonesia cenderung menerapkan sistem sentralistik. Sehingga ada sebuah aneukdot “di Jakarta jembatan banyak, tapi sungainya tidak ada. Di Aceh sungainya banyak, tapi jembatan tidak ada”. d) Adanya eksploitasi SDA (sumber daya alam). Dalam waktu yang singkat daerah sekitar penemuan SDA – gas alam, telah berubah menjadi pembangunan besar-besaran. Hingga berdiri pabrik pencairan gas alam (LNG) terbesar di dunia yang disusul kemudian berdirinya berbagai industri besar seperti PT PIM (Pupuk Iskandar Muda), PT AAF (Asean Aceh Fertilizer), PT Kraft Aceh, serta sejumlah industri hilir lainnya. Berdasarkan sudut pandang otonomi daerah dan fungsi sosiologisnya, industri-industri strategis tersebut oleh rakyat Aceh belum dianggap sebagai milik sendiri, karena belum memberikan pengaruh yang signifikan bagi rakyat Aceh setempat. Patut juga ditelaah pandangan Murizal Hamzah,286 mengenai faktorfaktor Hasan Tiro mencetuskan lahirnya GAM, yaitu:
kilang PT. Arun NGL sebagai alasan utama, karena nyatanya Hasan Tiro tidak mengikuti tender tersebut, sehingga tidak bisa disebut kalah. Murizal Hamzah, Hasan Tiro Jalan Panjang Menuju Damai Aceh, Bandar Publishing, Banda Aceh, 2014, hal. 481. 286
Murizal Hamzah, Op.Cit, hal. 461-476.
173
a) Faktor internal, diantaranya: - Adanya gagasan untuk mengubah sistem Pemerintahan, dari sistem sentralistik menjadi federasi. - Adanya kewajiban untuk melaksanakan nazar (nazar tersebut berkaitan dengan insiden pesawat). - Adanya panggilan dari mantan DI/TII untuk kembali melanjutkan perjuangan di Aceh. - Adanya motivasi setelah membaca buku Thus Spoke Zarathustra karya Friedrich Nietzsche287. b) Faktor eksternal, diantaranya: - Faktor Hukum Internaisonal, yaitu merujuk pada konvensi PBB khususnya Artikel 1 bagian 2 dan 55, Piagam Hak Bangsa-Bangsa khususnya Pasal 5,6, dan 11, Piagam Hak Asasi Manusia, Piagam Hak Ekonomi Kemasyarakatan dan Kebudayaan, serta Piagam Hak Umum dan Politik, yang pada intinya menyatakan bahwa “semua bangsa di dunia mempunyai hak untuk menentukan nasib diri sendiri dan hak kemerdekaan”. Artinya, Hasan Tiro berdalil bahwa pergerakan yang dimotorinya yakni untuk menghidupkan kembali gagasan negara tua (old state) atau negara sambung yang sudah ada. - Faktor lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dengan lahirnya UndangUndang tersebut menegaskan bahwa sebutan Daerah Istimewa Aceh hanya sekedar nama, tanpa ada kewenangan yang signifikan. - Faktor ekonomi adalah salah satu faktor pemicu untuk mempercepat proses deklarasi Aceh Merdeka.
Terjadinya
pendeklarasian
GAM
(Gerakan
Aceh
Merdeka)
merupakan sebuah pernyataan telah lahirnya sebuah gerakan pembebasan yang ingin membebaskan rakyat Aceh dari belenggu penjajahan Republik Indonesia. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, pernyataan perlawanan
287
Mengenai buku yang berjudul Thus Spoke Zarathustra, karya Friedrich Nietzsche. Dapat ditelaah lebih lanjut melalui versi terjemahan Bahasa Indonesia, khususnya pada sub Bab Sabda Zarathustra Sang Pengembara, yang dipublikasi melalui Friedrich Nietzsche, Sabda Zarathustra, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, hal. 252 – 256.
174
untuk mengakhiri belenggu penjajahan “kaphe Indonesia Jawa”, selanjutnya Hasan Tiro ingin mendirikan kerajaan Aceh versi Tiro seperti halnya negara Yordania atau Saudi Arabia, yang banyak menggunakan simbol dan hukum Islam untuk rakyat.288 Menelaah berbagai latar belakang lahirnya GAM, baik yang diutarakan oleh Hasan Tiro, Munawar A. Djalil,
Al-Chaidar, maupun
Murizal Hamzah. Keseluruhan pandangan tersebut bermuara pada output yang sama, yaitu adanya suatu ekspresi dari sekelompok rakyat Aceh yang menginginkan perihal kebebasan, dalam mendirikan negara Aceh yang berdaulat dan mandiri. Hal ini dapat diselaraskan dengan pandangan John Stuart Mill,289 bahwa kebebasan adalah membatasi kekuasaan yang harus dipatuhi oleh penguasa, membatasi tersebut diantaranya jika penguasa melanggar, dibenarkan adanya perlawanan khusus atau pemberontakan umum yang dilakukan oleh warga masyarakat.
288
Al Chaidar, Gerakan..., Op.Cit, hal. 152.
Negara Aceh yang dicitakan Hasan Tiro adalah negara kerajaan (monarchy) dimana presidennya disebut sebagai Wali Nanggroe. Dan Hasan Tiro mengklaim dirinya sebagai pewaris kerajaan Aceh yang ke 41 (empat puluh satu). Al Chaidar, Gerakan..., Op.Cit, hal. 189. 289
John Stuart Mill, On Liberty-Perihal Kebebasan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1996,
hal. 2-3. Dapat ditelaah juga pandangan Franz Magnis Suseno mengenai perihal kebebasan, bahwa yang menjadi inti universal dari kebebasan itu adalah hak setiap orang dan kelompok untuk mengurus diri sendiri lepas dari paksaan. Bukan, bahwa setiap orang berhak untuk hidup melulu menurut kemauannya sendiri. Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hal. 117.
175
Adapun pola perjuangan yang ditetapkan dalam GAM (Gerakan Aceh Merdeka) adalah pola perjuangan gerilya, yakni gerilya desa dan gerilya kota.290 Oleh karena itu, aparat keamanan menjadi lebih sulit dalam menumpas perjuangan GAM. Hal ini karena ciri dari gerakan gerilya adalah menjadikan rakyat sebagai pelindung, dan tidak segan-segan melakukan terror.291 Paska lahirnya GAM, Hasan Tiro mencoba menarik perhatian dunia internasional untuk konflik di Aceh, diantaranya melalui:292 a) Menginstruksikan kepada Tgk Fauzi Hasbi Geudong untuk membunuh 2 (dua) orang asing PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang berasal dari Amerika Serikat. Namun setelah terbunuhnya 2 (dua) orang Amerika Serikat tersebut, justru Pemerintah Republik Indonesia merespon dengan menempatkan pasukan RPKAD di Aceh. b) Hasan Tiro pernah mendeklarasikan kerjasama dalam ikatan pertemanan, persaudaraan, dan solidaritas dengan Pemerintahan RMS (Republik Maluku Selatan) yang ketika itu dipimpin oleh Presiden Dr. Johannes Alvarez Manusama. Menurut pandangan Al Chaidar, bahwa apa yang termahsyur dari pribadi Hasan Tiro adalah jiwa sekulerismenya, dimana dia berkeyakinan tentang sebuah 290
Gerilya desa yakni bagaimana membangun image kepada masyarakat desa bahwa Aceh Merdeka merupakan wadah yang tepat bagi rakyat Aceh dalam menjalankan aktifitas keislamannya, dan mengajak kepada rakyat desa untuk bersama-sama memperjuangkan segala sesuatu yang menjadi cita. Sedangkan gerilya kota yakni membangun opini yang bernada provokatif dan agitatif diluar dan didalam negeri untuk menjelaskan bahwa perjuangan yang mereka citakan adalah sah dimata hukum. Al Chaidar, Gerakan..., Op.Cit, hal. 191-192. 291
Al Chaidar, Gerakan..., Op.Cit, hal. 191-192.
292
Ibid., hal. 152-153. Lihat juga dalam Abu Jihad, Op.Cit, hal. 81 dan 235. Lihat juga dalam Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi…, Op.Cit, hal. 80. Dalam pemikiran Hasan Tiro, justru semakin banyak rakyat Aceh yang dipenjara atau dibunuh, maka semakin menunjukkan kepada dunia internasional bahwa di Aceh telah terjadi pergolakan dan seharusnya permasalahan tersebut menjadi perhatian mereka. Al Chaidar, Gerakan..., Op.Cit, hal. 154155.
176
kebenaran dalam perjuangan suci tersebut harus mendapat dukungan internasional.
Menarik untuk ditelaah, bahwa paska pendeklarasian GAM, tepatnya pada Tahun 1979 (ketika Pemerintah Republik Indonesia sedang menggempur para anggota GAM), Hasan Tiro meminta izin kepada dr Muchtar Hasbi untuk berangkat keluar negeri, dengan maksud menjemput senjata dan akan mengadakan hubungan luar negeri untuk mencari dukungan, sekaligus Hasan Tiro berjanji pada dr Muchtar Hasbi akan kembali ke Aceh dalam tempo 3 (tiga) bulan. Akan tetapi, hingga 20 (dua puluh) Tahun berselang, Hasan Tiro tidak kunjung kembali ke Aceh, sementara para anggota GAM terus berjuang hingga syahid menjemput ajalnya.293 Keberadaan Hasan Tiro di luar negeri berupaya untuk melakukan usaha-usaha diplomatik, berikut ini beberapa usaha diplomatik yang telah dilakukan GAM, yaitu:294
293
Abu Jihad, Op.Cit, hal. 106-107.
Adapun para pemimpin dan anggota Aceh Merdeka yang mati syahid diantaranya: Tgk M. Daud Beureueh, dr Zubir Mahmud, dr Muchtar Hasbi, Tgk Ilyas Leubee, Ayah Syamaun, Tgk Taib, Geusjhik Umar, Panglima Hamzah, Tgk Ismail Ben, dll. Lihat juga dalam Al Chaidar, Gerakan..., Op.Cit, hal. 154. 294
Al Chaidar, Gerakan..., Op.Cit, hal. 198.
Berdasarkan surat yang dialamatkan kepada PBB dan sambutan-sambutan Hasan Tiro di forum PBB, dalam upaya mendapat dukungan internasional. Akhirnya, pada 17 Agustus 1993 untuk pertama kalinya kasus Aceh telah dipertimbangkan dalam agenda tahunan Sub Perwakilan Tentang Mencegah
177
a) Pada 12 Juni 1990, Hasan Tiro membawa permasalahan GAM ke PBB. b) Pada 18 Juni 1990, secara resmi Hasan Tiro meminta Majelis Kemerdekaan PBB untuk menyampaikan pidato di Persidangan Umum PBB berkaitan dengan ketidak absahan pengintegrasian Aceh ke dalam Indonesia, yang berkaitan dengan perjanjian tanggal 27 Desember 1949. c) Pada 23 Agustus 1991, Hasan Tiro menyampaikan konflik di Aceh tersebut di depan Majelis Ekonomi dan Sosial PBB. d) Pada 29 Januari 1992, Hasan Tiro secara resmi meminta kepada PBB perlunya mengadakan referendum di Aceh.
Periode Tahun 1990, GAM akhirnya mengalami perpecahan, khususnya terbagi atas 2 (dua) kelompok besar, yaitu:295 a) Kelompok Hasan Tiro (disebut GAM), yang dalam pergerakannya menggunakan bentuk propaganda. Aksi propaganda itu dilakukan
Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas, pada Majelis Ekosos (Ekonomi dan Sosial) PBB. Majelis Ekosos PBB mengeluarkan resolusi, diantaranya: a. Menyuarakan perasaan khawatir terhadap laporan pembunuhan di Aceh. b. Kesal atas larangan yang dikenakan oleh pihak Indonesia terhadap Komisi Khusus HAM PBB untuk mengunjungi Aceh. c. Mengharapkan pihak Pemerintah Republik Indonesia mengundang Komisi Khusus HAM PBB untuk mengunjungi Aceh dan juga wilayah lain di Indonesia untuk melakukan investigasi pelanggaran HAM yang terjadi. d. Meminta kepada Komisi Khusus HAM PBB untuk memberi laporan kepada sekretariat HAM tersebut tentang pembunuhan Aceh untuk dibicarakan dalam agenda yang akan datang. e. Memutuskan untuk memberi pertimbangan dalam semua hal yang berkaitan dengan penyiksaan dan pembunuhan serta perkara pelanggaran HAM di Indonesia pada umumnya dan Aceh khususnya untuk dibicarakan pada agenda ke-46. Munawar A. Djalil, Op.Cit, hal. 54-57. 295
Al Chaidar, Gerakan..., Op.Cit, hal. 210-211. Lihat juga dalam Abu Jihad, Op.Cit, hal. 86. Lihat juga dalam M. Isa Sulaiman, Aceh…, Op.Cit, hal. 123. Perbedaan yang paling substansial antara GAM dan MP-GAM (Majelis Pemerintahan-GAM) berkaitan dengan strategi perjuangan Aceh. yakni, GAM berfokus pada aksi-aksi militer di Aceh dan pada lobi-lobi internasional, sementara MP-GAM cenderung berinisiatif mengadakan perundingan dengan Pemerintah Republik Indonesia. Hal ini dapat ditelaah bahwa dalam periode kepemimpinan Abdurrahman Wahid, MP-GAM yang mencetuskan ide perundingan untuk penyelesaian konflik di Aceh. Antje Missbach, Op.Cit, hal. 195-196.
178
dalam upayanya mencari dukungan moril dan finansial dengan jalan menakut-nakuti dan mencoba memeras harta rakyat Aceh.296 b) Kelompok dr. Husaini Hasan (disebut MP-GAM), yang merupakan kelompok murni yang memperjuangkan nasib rakyat Aceh dengan bendera Islam, selanjutnya kelompok ini dinamakan kelompok 8 (delapan), dan kelompok ini kemudian menjalin hubungan dengan sejumlah pengusaha Aceh diberbagai daerah, terutama yang berada di Malaysia.297
296
Di Aceh, kelompok Hasan Tiro dipresentasikan lewat gerilyawan Ahmad Kandang cs, yang mana telah membawa pengaruh negatif bagi perjuangan GAM. Karena segala tindakannya yang tidak lagi berdasarkan pedoman agama telah banyak merugikan rakyat Aceh secara umum, baik itu pengrusakan sarana pendidikan, pengusiran para transmigran, perampokan, pembunuhan, menyerang dan merampas persenjataan militer, serta penyebaran video porno. Al Chaidar, Gerakan..., Op.Cit, hal. 212. Lihat juga dalam Abu Jihad, Op.Cit, hal. 87. 297
Kelompok dr Husaini Hasan memiliki landasan perjuangan Islam, tidak ada dalam program mereka aksi pembunuhan dan pemerasan harta rakyat Aceh serta membakar sarana pendidikan. Bahwa dalam kebijakan kelompok dr Husaini Hasan tidak pernah memerintahkan anggotanya di Aceh memerangi pihak militer atau polisi. Al Chaidar, Gerakan..., Op.Cit, hal. 212. Patut ditelaah bahwa Husaini Hasan bukanlah pendiri MP-GAM, menurut catatannya bahwa pada periode 1998, adanya pertemuan antara Tengku Jalil – Daud Paneuk – Yusuf Daud – Husaini Hasan, dll. Pada pertemuan tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan membentuk organisasi baru sebagai bagian dari GAM, dengan nama Markas Besar GAM Eropa (MB-GAM Eropa), yang selanjutnya Husaini Hasan didaulat sebagai Ketua dan Yusuf Daud sebagai Sekjennya. Pada sisi yang lain, di Kuala Lumpur terbentuk sebuah Majelis Pemerintahan GAM (MP GAM) atas inisiatif petinggi-petinggi GAM di Malaysia yang sebagian besar adalah Panglima GAM di Malaysia, yang menolak pengangkatan Malik Mahmud sebagai Perdana Menteri GAM, yang menggantikan kedudukan Wali Negara karena mulai sakit-sakitan. MP GAM dipimpin oleh Teuku Don Zulfachri atau Habib Adam sebagai Sekjen. Husaini Hasan, Dari Rimba Aceh Ke Stockholm, Batavia Publishing, Jakarta, 2015, hal. 360 – 362. Namun demikian, paska terjadinya peristiwa pembunuhan Teuku Don Zulfachri, MP GAM kelhilangan pemimpin, sehingga para petinggi GAM di Malaysia meminta Husaini Hasan untuk melanjutkan kepemimpinan di dalam tubuh MP GAM. Husaini Hasan, Op.Cit, hal. 408. Adapun yang menarik ditelaah bahwa salah satu petinggi GAM yang membentuk MP GAM di Malaysia adalah Robert Surya Darma (Panglima Bandar Aceh). Husaini Hasan, Op.Cit, hal. 362. Dalam konteks munculnya nama “Robert” sebagai salah satu pendiri MP GAM, patut ditelaah lebih lanjut, apakah “Robert” yang dimaksud tersebut merupakan “Robert” yang sama sebagaimana dimaksud oleh Neta S. Pane terkait dengan latar belakang dilahirkannya DOM di Aceh periode 1989 ? bahwa sebagaimana yang diuraikan oleh Neta S. Pane terkait latar belakang lahirnya DOM, karena adanya perampasan senjata ketika ABRI melakukan program AMD, dan hal ini dipelopori oleh “Robert”. Adapun latar belakang dan ideologi lahirnya MP-GAM, diantaranya: a. Pada Tahun 1986, Husaini Hasan disingkirkan dari GAM.
179
Terjadinya perpecahan di tubuh GAM, tentunya memiliki beberapa faktor, diantaranya:298 b. Pada Tahun 1990, para senior GAM lainnya (seperti Daud Paneuk, Abdullah Krueng Samideun, Idris Mahmud peunareun, Muhammad Mahmud Peureulak, Jalil Krueng Sabe, dan Sulaiman Samalanga) turut menjauh dari Hasan Tiro. c. Pada Tahun 1992, orang-orang yang menjauh dari Hasan Tiro, baik Husaini Hasan maupun yang lainnya mendirikan Svenska Acheh Forening (Asosiasi Aceh Swedia-SAF). d. Pada Tahun 1998, Svenska Acheh Forening dikenal dengan sebutan “Free Acheh Movement Europe (FAME)”. e. Kelompok ini menyediakan kendaraan (menampung) orang-orang yang tidak sependapat dengan Hasan Tiro. f. Kelompok ini secara resmi juga setia kepada agenda GAM untuk memerdekakan Aceh. g. Tujuan kelompok ini adalah menyelematkan semangat asli gerakan kemerdekaan. Husaini Hasan mengatakan “… perjuangan kemerdekaan Aceh bukanlah hanya milik Hasan Tiro seorang, bukan milik Malik Mahmud atau Zaini Abdullah, tetapi perjuangan kemerdekaan Aceh adalah milik semua bangsa Aceh …”. h. Kelompok ini mengkritisi kepemimpinan sementara oleh Zaini Abdullah dan Malik Mahmud, ketika Hasan Tiro sedang sakit. Kelompok ini menyatakan bahwa Zaini Abdullah dipandang tidak cocok untuk mengisi jabatan wali. Begitu juga dengan Malik Mahmud tidak cocok untuk menjadi pemimpin, karena aslinya dia bukan anggota kabinet GAM pada Tahun 1976. i. Sementara di Malaysia, Teuko Don Zulfachri menjadi salah satu orang yang paling vokal mengkritik Malik Mahmud. j. Pada Tahun 1998, Teuko Don Zulfachri mendekati orang-orang penting Aceh di Malaysia untuk membahas mengenai politik. Pertemuan ini kembali berulang pada Tahun 1999. k. Pada Tahun 1999, Teuku Don Zulfachri mengumumkan pendirian MP-GAM, dan mengangkat dirinya sendiri sebagai Sekjen. l. MP-GAM sebagai langkah untuk mengkoreksi GAM yang sudah ada dan melenceng dari tujuan-tujuannya. m. Selanjutnya MP-GAM mulai mengekspresikan ideologi, bahwa jika Aceh merdeka maka akan berbentuk Republik Islam, hingga mulai melakukan pendekatan perundingan/dialog kepada Pemerintah Republik Indonesia, dalam rangka menyelesaikan konflik di Aceh. Antje Missbach, Op.Cit, hal. 189-195. 298
Al Chaidar, Gerakan..., Op.Cit, hal. 211. Lihat juga dalam Lihat juga dalam Abu Jihad, Op.Cit, hal. 86-87. Menurut Gerry van Klinken, konflik yang mengakibatkan perpecahan di struktur GAM muncul pada awal tahun 1999 ketika Hasan Tiro sakit yang menimbulkan keresahan mengenai penggantinya. Hasan Tiro menghendaki anaknya sebagai pengganti (Karim Tiro). Sedang rekannya, Daud Paneuk (M. Daud Husein) juga menghendaki putranya yang mengganti Hasan Tiro dalam memimpin GAM. Selanjutnya Daud Paneuk dan Husaini Hasan yang kemudian membentuk MP-GAM di Malaysia. Maulida (sebagai panglima pegatur strategi angkatan perang untuk pase), dan Ahmad Kandang tergabung dalam MP-GAM. Sedangkan Abdullah Syafiie tergabung dalam GAM Hasan Tiro, kelompok MP-GAM mengklaim bahwa mereka lebih Islami daripada kelompok GAM Hasan Tiro. Gerry van Klinken, “Apakah Yang Dimaksud Dengan Gerakan Aceh Merdeka”, Digest 89, 25 November 1999. Lihat juga dalam Ahmad Farhan Hamid, Op.Cit, hal. 38.
180
a) Akibat adanya “suksesi” dari Hasan Tiro, bahwa telah menetapkan sepeninggalnya Hasan Tiro, maka puteranya (Karim Tiro) sebagai orang yang berhak melanjutkan tahta GAM. b) Menurut pandangan Lamkaruna Putera, bahwa perpecahan terjadi dikarenakan Hasan Tiro berkehendak bahwa jika Aceh merdeka nanti, dia akan menjadikan Aceh sebagai sebuah negara yang berbentuk kerajaan sekuler, sekaligus dirinya ditempatkan sebagai raja Aceh yang ke 41. c) Bahwa dalam perjuangan Hasan Tiro hanya mengkultuskan kebesaran keluarga Tgk Tjik di Tiro, dan didalam perekrutan anggota ternyata Hasan Tiro mempersiapkannya dengan orang-orang yang kurang dalam pengertian ilmu umum dan agama. (Teori Mao Tse Tung, Hasan Tiro akan memerdekakan Aceh, tidak perlu dengan orang yang pintar, karena orang pintar susah diajak jihadnya) d) Menurut Musanna Tgk Abdul Wahab (Biro Penerangan Perjuangan GAM), bahwa dr. Husaini Hasan dkk, dianggap telah mengkhianati perjuangan GAM dan bangsa Aceh, perbuatan khianat tersebut karena dr. Husaini Hasan mencoba menyesatkan bangsa Aceh atas nama nonviolence.
Setelah lahirnya GAM, Pemerintah Republik Indonesia mulai merespon deklarasi yang dilakukan Hasan Tiro, pada awal Juni 1977, aparat keamanan semakin meningkatkan perang psikologis (psy-war) untuk melawan GAM dan pemimpin-pemimpinnya di tengah masyarakat. Untuk lebih mengefektifkan serangan, pada awal Tahun 1978 terus melakukan Akan tetapi, dalam tataran ilmiah patut juga ditelaah pandangan Husaini Hasan, yang pada intinya menerangkan bahwa ada beberapa peristiwa yang melatarbelakangi terjadinya perpecahan di dalam GAM, yaitu: a. Adanya perbedaan pandangan terkait tempat tinggal Hasan Tiro dan sekretariat GAM di Swedia, bagi kelompok Husaini Hasan berpandangan bahwa sebaiknya Hasan Tiro pindah ke Apartemen yang baru, dan sekaligus dijadikan sekretariat GAM. Adapun kelompok Zaini Abdullah berpandangan bahwa Hasan Tiro dan sekretariat GAM tetap di Apartemen yang lama. b. Pada periode 1998, adanya tuduhan yang ditujukan kepada Daud Paneuk dan anaknya bahwa telah dituduh berkhianat, berupaya mencekik Hasan Tiro dan mengambil dokumen-dokumen penting. Husaini Hasan, Op.Cit, hal. 329 – 359.
181
perlawanan terhadap GAM diantaranya dengan menyebar photo-photo dari pimpinan dan anggota-anggota GAM, sehingga sejumlah penangkapan terhadap para pengikut GAM dilancarkan, untuk meredam aksi dari GAM.299 Meredam aksi yang dilakukan oleh GAM, selanjutnya Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Aceh sebagai DOM (Daerah Operasi Militer),300 yang dimulai pada Tahun 1989 dan diakhiri sampai lengsernya
299
Al Chaidar, Gerakan..., Op.Cit, hal. 153-154.
Lihat juga pandangan Nazaruddin Sjamsuddin bahwa GAM muncul pada waktu yang tidak tepat, dalam arti pada saat Pemerintah Republik Indonesia sedang memiliki keunggulan politis, hal ini yang membuat GAM ketika itu dapat dengan mudah diredam oleh Pemerintah Republik Indonesia. Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi…, Op.Cit, hal. 79. 300
Terkait latar belakang menerapkan DOM di Aceh, Neta S. Pane mengungkapkan bahwa hal ini berawal dari terjadinya perampasan 18 (delapan belas) pucuk senjata anggota TNI yang sedang melakukan program ABRI masuk desa (AMD), di kota makmur, Aceh Utara. Tahun 1989 tersebut seorang anggota Kopassus yang desertir berpangkat kopral, tiba-tiba muncul dan menyebut dirinya sebagai Panglima Perang GAM, kopral itu menyebut dirinya sebagai “Robert”. Selanjutnya, Gubernur Aceh ketika itu (Ibrahim Hasan) merasa terganggu akibat ulah GAM yang dimotori oleh Robert hingga ia melaporkan situasi daerahnya kepada Presiden Soeharto, saat itu juga Presiden memerintahkan Panglima ABRI (Try Sutrisno) agar mengendalikan situasi Aceh. Selanjutnya saat diklarifikasi oleh DPR Republik Indonesia pada awal Desember 1999, Try Sutrisno membantah, jika disebutkan di Aceh telah diberlakukan DOM, yang ada hanya “Operasi Jaring Merah” untuk menumpas gerakan pengacau keamanan Aceh Merdeka. Neta S. Pane, Op.Cit, hal. 172-174. Menurut pandangan Neta S. Pane, bahwa hanya 9 (sembilan) Tahun DOM yang berlangsung di Aceh, korban yang jatuh cukup banyak (baik dikalangan rakyat sipil, anggota GAM, maupun di pihak Militer). Dalam Musyawarah Rakyat Aceh pada Februari 1999 disebutkan bahwa korban DOM sebanyak 8.344 orang tewas, 875 orang hilang, 1.465 wanita yang menjadi janda, 4.670 anak-anak jadi yatim piatu, 34 gadis yang diperkosa, serta 298 orang menjadi cacat seumur hidup. Neta S. Pane, Op.Cit, hal. 176. Lebih jauh Al Chaidar menyebutkan bahwa pembantaian di Aceh semasa rezim Soeharto jauh lebih biadab dan kejam dibanding kejahatan Abu Lahab dan Abu Jahal di zaman jahiliyah, karena mereka juga membantai wanita dan anak-anak yang tidak bersalah. Al Chaidar mencontohkan, bahwa pada zaman jahiliyah yang dipelopori Abu Jahal dan Abu Lahab pada waktu itu memburu Rasulullah saw untuk dibunuh, yang mana pada suatu malam, Abu Jahal dan Abu Lahab datang mencari rasul di rumahnya, ternyata rasul tidak ada, yang dilihat hanya Sayyidina Ali yang sedang tidur ditempat pembaringan. Ternyata Abu Jahal dan Abu Lahab tidak sedikitpun mengusik Sayyidina Ali dan keluarganya, peristiwa itu menggambarkan bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab tidak membunuh dan
182
Presiden
Soeharto
pada
Tahun
1998.
Lahirnya
DOM
dalam
perkembangannya membawa “kisah” tersendiri baik bagi rakyat Aceh khususnya, maupun rakyat Indonesia pada umumnya. Pemerintah Republik Indonesia melakukan Operasi militer dengan tujuan agar pembangunan di Aceh tidak diganggu oleh kelompok-kelompok yang disebut sebagai GAM. Dalam hal ini Pemerintahan Soeharto tidak mentoleransi adanya gerakan pemberontakan yang dapat menyebabkan instabilitas politik. Nyaris tidak ada program selama masa Presiden Soeharto yang mencoba mengintegrasikan pihak-pihak yang memberontak, bahkan terhadap keluarganya sekalipun, karena selalu dimusuhi.301 Paska lengsernya Presiden Soeharto (Tahun 1998), mahasiswa dan rakyat Aceh mulai menuntut dilakukannya pengusutan terhadap pelaku pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). Melihat gencarnya tuntutan tersebut, Presiden BJ. Habibie dan Menhankam/Panglima TNI (Wiranto) langsung menyampaikan permintaan maaf atas perbuatan TNI dimasa silam. Untuk meminimalisir gejolak di Aceh, Presiden BJ. Habibie berjanji akan mencabut status DOM bagi Aceh. Selanjutnya pada Jumat 7 Agustus 1998 di
mengusik orang lain yang bukan divonis mati oleh kelompok kafir Quraisy. Al Chaidar, Aceh…, Op.Cit, hal. 91. 301
Ikrar Nusa Bakti, Op.Cit, hal. 92.
183
depan sejumlah ulama di kota Lhokseumawe, Menhankam/Panglima TNI (Wiranto) mengumumkan pencabutan status DOM di Aceh.302 Memasuki era Reformasi walaupun di Aceh telah dihapuskannya DOM, masih kerap terjadi konflik antara Pemerintah Republik Indonesia dan anggota GAM sekaligus rakyat Aceh. Dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia kembali mengirim militer untuk meredam konflik yang masih laten terjadi di Aceh, yang diberi nama sebagai PPRM (Pasukan Penindak Rusuh Masa).303 Pada periode 1998-1999 wacana penyelesaian konflik di Aceh yang diusulkan oleh rakyat Aceh terbagi dalam beberapa opsi, yaitu:304 302
Pada kesempatan tersebut Wiranto mengatakan, akan mengupayakan pemberian amnesti dan abolisi kepada para tapol (tahanan politik) dan napol (narapidana politik) GAM. Serta kepada mereka yang selama ini melarikan diri ke luar negeri tidak akan ditahan atau ditangkap, jika kembali ke tanah air. Neta S. Pane, Op.Cit, hal. 176-177. 303
Menurut pandangan Neta S. Pane, bahwa pasukan yang dikirim ke Aceh yakni PPRM kembali memiliki “kisah” di Aceh, diantaranya: a. Pada 2-5 Januari 1999, TNI melakukan operasi satgas wibawa 99, dalam operasi tersebut 11 rakyat sipil tewas, 32 luka-luka, dan 170 orang lainnya ditahan. b. Pada 9 Januari 1999, aparat keamanan menyerbu gedung KNPI Lhokseumawe, 4 orang tewas, 23 lainnya luka-luka dalam peristiwa tersebut. c. Pada Mei 1999, terjadi insiden di Krueng Geukeuh Lhokseumawe, dimana sebanyak 31 warga sipil tewas, dan 81 lainnya luka-luka. Lihat dalam Neta S. Pane, Op.Cit, hal. 177. d. Pada 23 Juli 1999, di Aceh Tengah terjadi pembantaian di pondok pesantren Tgk Bantaqiah di Beutong Ateh, dimana tokoh ulama bersama 37 santrinya tewas dibantai secara brutal. Lihat dalam Dyah Rahmany, Matinya Bantaqiah Menguak Tragedi Beutong Ateuh, LSPP & Cordova, Jakarta, 2001, hal. 25-31. Berbagai pendekatan militer yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia, baik melalui Pasukan Penindak Rusuh Masa (PPRM), Operasi Wibawa, Operasi Meunasah, di bawah komando Polri yang tidak disertai dengan tujuan yang pasti dan langkah-langkah yang kongkret, menyebabkan dampak serius bagi rakyat Aceh. Cara ini bukan mendekatkan rakyat kepada Indonesia, tetapi semakin menjauhkan mereka. Ikrar Nusa Bakti, Op.Cit, hal. 95-97. 304
Ikrar Nusa Bakti, Op.Cit, hal. 96.
184
a) Opsi pertama adalah referendum. b) Opsi kedua adalah merdeka. c) Opsi ketiga adalah otonomi khusus, ini merupakan opsi yang ditawarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk Aceh. Melihat perkembangan yang terjadi paska dihapusnya DOM, serta masuknya PPRM, mahasiswa dan rakyat Aceh kembali berdampingan tangan, hingga pada 24 Maret 1999 saling membentuk FMPRA (Front Mahasiswa Pendukung Referendum Aceh) dan melakukan aksi demonstrasi di berbagai tempat, untuk mendesak segera dilaksanakannya referendum demi mengurangi penderitaan rakyat Aceh. Aksi ini berlanjut pada 16 Juli 1999 di seluruh Aceh, dan puncaknya pada 8 November 1999 mahasiswa yang tergabung dalam SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh) menggalang Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU-MPR) di Masjid Baiturrahman Banda Aceh, dengan menyatakan “…penindasan yang paling mengerikan dialami rakyat Aceh justru terjadi setelah bergabung dengan Republik Indonesia. Lantas untuk apa lagi kami pertahankan persatuan tersebut”.305
305
Neta S. Pane, Op.Cit, hal. 178.
Gerakan masa ini muncul setelah didorong oleh Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), sebuah kelompok yang dimotori oleh para mahasiswa dan organisasi-organisasi LSM, yang seluruh anggotanya berasal dari Aceh. Masa mulai membludak menjelang pukul 09.00 dengan menggerek bendera referendum berukuran raksasa di depan Masjid Baiturrahman. Menurut koordinator Pusat SIRA (Muhammad Nazar), ini merupakan puncak tuntutan referndum dari rakyat Aceh. Saat itu, M.
185
Adanya berbagai aksi dan kecaman yang dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat Aceh, telah merubah paradigma Pemerintah Republik Indonesia dalam memandang konflik di Aceh. Pada era Reformasi, Pemerintah Republik Indonesia mulai mengurangi penyelesaian konflik di Aceh dengan senjata, tetapi juga melalui pendekatan-pendekatan lainnya, baik melalui Peraturan Perundang-undangan,306 maupun melalui perundingan, serta tidak luput
juga
adanya
keterlibatan
pihak
asing307
untuk
membantu
menyelesaikan konflik tersebut.
Nazar berpidato seraya menyerukan, agar masa tidak mengikuti provokator yang akan menodai perjuangan rakyat Aceh. M. Nazar juga menegaskan referndum ini dilakukan rakyat Aceh akibat lambannya Pemerintah Republik Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul selama ini, seperti kasus DOM dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang melibatkan sejumlah oknum TNI. Selanjutnya M. Nazar mengaku para mahasiswa sudah mengantisipasi pencegahan terhadap masuknya provokator. Dan secara politis aksi ini dilakukan mahasiswa agar Pemerintah Republik Indonesia segera melakukan referendum. Neta S. Pane, Op.Cit, hal. 179-180. 306
Diantaranya melalui Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi DaerahIstimewa Aceh, Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 307
Keterlibatan pihak asing selaku mediator antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, dimulai oleh HDC. HDC (The Henry Dunant Centre for Humanitarian Dialogue, lalu berganti nama menjadi The Centre for Humanitarian Dialogue) adalah “a small, relatively new, private organization based in switzerland”, yang dibiayai antara lain oleh US Agency for International Development (USAID) dan UN Development Program (UNDP). Pada periode ini, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), menyepakati Jeda Kemanusiaan (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh). Ahmad Farhan Hamid, Op.Cit, hal. 60-62. HDC merupakan suatu terobosan yang dirintis secara langsung oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada bulan Januari Tahun 2000 yang bertujuan untuk mengurangi akses kemanusiaan dari konflik Aceh dan memperkecil kemungkinan terjadinya eskalasi politik. Diantara pihak asing tersebut, adalah HDC adalah salah satu contoh organisasi non Pemerintah internasional (International NonGovernmental Organization) yang bergerak di bidang kemanusiaan. Nama Henry Dunant diambil dari nama Jean Henry Dunant, seorang banker, penulis dan dermawan dari Swiss yang memprakarsai pendirian Palang Merah Internasional dan Konvensi Jenewa Tahun 1864 tentang perlakuan terhadap korban-korban perang. HDC diresmikan pada Januari Tahun 1999 dan terdaftar di bawah payung Undang-Undang Swiss, dan berpusat di Jenewa, Swiss. Winnie Angie Utami, “Peran Henry Dunant
186
Sebagaimana yang diutarakan oleh Sulaiman AB,308 bahwa keputusan Pemerintah Republik Indonesia menangani konflik di Aceh melalui perundingan sudah tepat, karena selama ini penanganan konflik di Aceh khususnya paska Hasan Tiro memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka dinilai tidak transparan di mata publik. Adapun beberapa perundingan di era Reformasi yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, serta melibatkan pihak asing, diantaranya: a) Pada Tahun 2000, di Bavois – Swiss, di masa Presiden Abdurrahman Wahid, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama Jeda Kemanusiaan untuk Aceh (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh), yang dilaksanakan pada tanggal 12 Mei 2000, yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC).309
Centre (HDC) Dalam Upaya Penyelesaian Konflik Antara Pemerintah RI- GAM”, http://diplomasisenin1245.blogspot.com/2010/06/henry-dunant-centre-hdc-dan-peranannya.html, diakses pada tanggal 13 Juli 2012. 308
Sulaiman AB, Aceh Bakal Lepas, Yayasan Taman Iskandar Muda, Jakarta, 2005, hal. 42.
309
Ibid., hal. 45.
Jeda Kemanusiaan yang ditandatangani tersebut berlaku dalam beberapa tahapan, diantaranya: a. Tahap pertama, berlangsung untuk 3 (tiga) bulan, yakni mulai tanggal 2 Juni 2000 – 2 September 2000. b. Tahap kedua, berdasarkan dialog antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM pada tanggal 16 September 2000, disepakati bahwa Jeda Kemanusiaan tahap kedua sampai dengan 15 Januari 2001. Ahmad Farhan Hamid, Op.Cit, hal. 62-64. Pada dasarnya Jeda Kemanusiaan bertujuan untuk: mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada rakyat Aceh melalui Komite Bersama Kemanusiaan, menyediakan bantuan keamanan guna mendukung pengiriman bantuan kemanusiaan dan untuk mengurangi ketegangan serta kekerasan yang dapat menyebabkan penderitaan lanjutan melalui Komite Bersama Keamanan, meningkatkan langkahlangkah untuk membangun kepercayaan menuju solusi damai atas konflik di Aceh. Ahmad Farhan Hamid, Op.Cit, hal. 62.
187
b) Pada Tahun 2002, di Jenewa – Swiss, dimasa Presiden Megawati Soekarno Putri, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kembali melanjutkan penandatanganan dari kedua pihak dalam suatu “Persetujuan Penghentian Permusuhan (Cease of Hostilities Agreement – COHA)”, yang dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2002, yang juga difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC).310 c) Pada Tahun 2005, di Helsinki – Finlandia, di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, kembali menandatangani Nota Kesepahaman (MoU Helsinki), yang dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 2005, yang difasilitasi oleh Crisis Management Initiative.311
Perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang ditransformasikan melalui Jeda Kemanusiaan (yang ditandatangani pada Tahun 2000), serta melalui COHA (yang ditandatangani pada Tahun 2002), pada umumnya tidak dapat dijalankan dengan baik oleh kedua belah pihak, sehingga konflik yang masih laten 310
Sumaryo Suryokusumo, Studi…, Op.Cit, hal. 129.
COHA sebagai perjanjian yang memberi kerangka kerja untuk negosiasi menuju penyelesaian konflik, diimplementasikan dalam beberapa tahap, yaitu: a. Tahap pertama, “membangun kepercayaan” yang berlangsung untuk 2 (dua) bulan setelah penandatanganan COHA, yakni dari tanggal 9 Desember 2002 – 9 Februari 2003. b. Tahap kedua, “demiliterisasi” yaitu relokasi TNI dan penggudangan senjata, amunisi dan peralatan militer GAM, serta reformulasi Brimob Polri di Aceh menjadi Polisi sipil, yakni berlangsung selama 5 (lima) bulan, yaitu dari tanggal 9 Februari 2003 – 9 Juli 2003. c. Tahap ketiga, “rekonsiliasi” serta rekonstruksi atas terjadinya kerusakan fasilitas umum. d. Tahap keempat, dialog masyarakat sipil yaitu penyusunan dan penyelenggaraan musyawarah secara menyeluruh, yang dilanjutkan dengan pemilihan umum yang demokratis pada Tahun 2004 untuk membentuk suatu Pemerintahan di Aceh. Ahmad Farhan Hamid, Op.Cit, hal. 124. 311
MoU Helsinki merupakan hasil perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, yang dimediatori oleh CMI (Crisis Management Initiative) yang di pimpin oleh Marti Artisaari (selaku mantan Presiden Finlandia), tentunya dipilih CMI selaku mediator bukanlah suatu kebetulan, tetapi telah dirancang sebelumnya oleh para perancang perundingan RI dan GAM. Ikrar Nusa Bhakti, Op.Cit, hal. 119. Lihat juga dalam Ahmad Farhan Hamid, Op.Cit, hal. 176.
188
terulangi kembali. Akan tetapi dalam perkembangannya, perundingan yang menghasilkan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, umumnya telah menjadi embrio bagi terciptanya perdamaian di Aceh hingga saat ini (Tahun 2005Tahun 2014). C. Lahirnya Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Lahirnya Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) tentunya memiliki berbagai landasan, baik itu landasan filosofis, landasan yuridis, landasan politis, dan peristiwa bencana alam yang terjadi. Landasan-landasan tersebut yang mendasari para pihak, melahirkan MoU Helsinki, sekaligus sebagai upaya dan tujuan untuk mengakhiri konflik yang terjadi di Aceh. Berbagai landasan mengenai lahirnya MoU Helsinki akan digambarkan melalui skema 2.3 berikut ini: Skema 2.3312 Landasan MoU Helsinki Landasan Filosofis:
Landasan Yuridis:
Pancasila, dijabarkan melalui 5 (lima) silanya
TAP MPR No. VI/MPR/2002, yang mengamanatkan penyelesaian konflik di Aceh secara adil dan bermartabat
MoU Helsinki 312
Skema 2.3 merupakan hasil pengolahan data oleh penulis dari berbagai sumber dan
referensi.
Landasan Politis:
Peristiwa Bencana Alam:
Political will SBY & JK, yaitu “mencari pendekatan baru agar konflik di Aceh dapat diakhiri secara damai, bermartabat, adil”
Gempa dan Tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004
189
1. Landasan Filosofis Indonesia sebagai negara yang berdaulat, memiliki falsafah bangsa yang termaktub di dalam Pancasila. Pancasila merupakan rumusan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang dipandang secara sosiologis dan antropologis dapat diterima sebagai pencerminan pandangan hidup bangsa Indonesia, sila-sila yang terdapat di dalam Pancasila merupakan kristalisasi tata nilai yang hidup dan telah mentradisi dalam setiap sistem sosial yang ada di dalam berbagai etnis suku bangsa yang diyakini sudah ada sejak zaman dahulu sampai saat ini. 313 Dalam hal ini Tan Kamelo314 menyatakan bahwa:
313
Faisal Akbar Nasution, “Pancasila Sebagai Sumber Dari Segala Sumber Hukum”, Makalah, dilaksanakan dalam Seminar Kajian Sistem Ketatanegaraan, pada tanggal 6 Mei 2013, yang diselenggarakan oleh MPR dan USU, hal. 4. 314
Tan Kamelo, Op.Cit, hal. 98.
Posisi Pancasila turut ditegaskan oleh Moh. Hatta, bahwa jika diperhatikan benar-benar, Pancasila itu terdiri atas 2 (dua) fundamen, yaitu: a. Fundamen moral, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan meletakkan dasar moral diharapkan oleh mereka yang membuat pedoman negara ini supaya negara dan Pemerintahannya memeperoleh dasar yang kokoh, yang memerintahkan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran serta persaudaraan keluar dan kedalam. b. Fundamen Politik, yaitu perikemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi dan keadilan sosial. Dengan politik Pemerintahan yang berdasarkan pada moral yang tinggi diharapkan tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Moh. Hatta, Demokrasi KitaBebas Aktif-Ekonomi Masa Depan, UI Press, Jakarta, 2002, hal. 125.
190
“… Pancasila harus diletakkan sebagai basic norm (grundsnorm) dalam arti sesungguhnya bukan hanya (solifsistik) belaka, proses pembentukan sistem hukum dengan kronologis demikian memperlihatkan adanya karakter abstraksi dan derivasi hukum sehingga memiliki suatu kekuatan yang tangguh dari ancaman sistem hukum asing. Dalam hal ini nilai hukum bangsa Indonesia sudah terformulasi dengan sangat indah dalam filosofi bangsa (Pancasila), bersifat abstrak dan universal, mengandung keluhuran, dan telah diuji beberapa kali dalam sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia. Nilai hukum yang dibentuk bukan berasal dari nilai liberalisme, kapitalisme, individualisme, melainkan dibentuk dari nilai yang bersifat teokratis, humanistik yang beradab, mendahulukan musyawarah, serta berkeadilan sosial …”.
Berikut ini melalui Skema 2.4 akan digambarkan mengenai proses abstraksi nilai dan derivasi nilai dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat:
Skema 2.4315 Abstraksi dan Derivasi Nilai
Abstraksi Nilai
Derivasi Nilai
Pancasila
Pancasila
Nilai-nilai, asas-asas, tradisiKebijakan Pemerintahan tradisi, kebiasaan-kebiasaan Per UU-an Pembangunan yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari diseluruh 315 Skema 2.4Indonesia disadur dan direvisi seperlunya dari M. Solly Lubis, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 16.
191
UUD UU/Perpu Perda Dll.
Fisik Non Fisik Perkotaan Pedesaan
Berdasarkan Skema 2.4 dapat ditelaah bahwa Pancasila lahir melalui proses abstraksi nilai yang ada dimasyarakat. Dalam proses abstraksi nilai, dimulai dari menginventarisir nilai, asas, tradisi, dan kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya nilai yang sudah diabstraksikan tersebut diderivasi kembali kedalam masyarakat melalui berbagai bentuk kebijakan Pemerintahan, baik dalam sektor perkembangan politik hukum, maupun pembangunan. Dengan demikian, dapat ditelaah bahwa segala bentuk kebijakan Pemerintahan, merupakan segala sesuatu yang sudah hidup dan berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Untuk mengaktualisasikan nilai yang terkandung di dalam Pancasila, juga dijabarkan melalui kelima silanya, yaitu:316
316
Kaelan, Op.Cit, hal. 166-435.
Dapat ditelaah juga bahwa sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada prinsipnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia dan setiap warga negara harus mengakui adanya Tuhan. Selanjutnya segenap rakyat Indonesia akan mengamalkan dan menjalankan agamanya dengan cara yang berkeadaban yaitu hormat menghormati satu sama lain. Dapat ditelaah juga bahwa sila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” pada prinsipnya menegaskan bahwa kita memiliki Indonesia merdeka yang berada juga di lingkungan kekeluargaan bangsa-bangsa. Prinsip internasionalisme dan kebangsaan Indonesia adalah internasionalisme yang berakar di dalam buminya nasionalisme, dan nasionalisme yang hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Bahwa, akan dihargai dan dijunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Sekaligus menegaskan bahwa kebangsaan Indonesia merupakan bagian dari kemanusiaan universal. Dapat ditelaah juga bahwa sila “Persatuan Indonesia” pada prinsipnya menegaskan bahwa bangsa
192
a. b. c. d.
Ketuhanan Yang Maha Esa Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab Persatuan Indonesia Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijkasanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan e. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Kelima sila yang tertuang dalam Pancasila telah menjadi dasar dan berisi nilai-nilai dasar tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut
Indonesia merupakan negara kebangsaan. Bangsa yang memiliki kehendak untuk bersatu, memiliki persatuan perangai karena persatuan nasib, bangsa yang terikat pada tanah airnya. Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia, yang bersatu karena didiorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Dapat ditelaah juga bahwa sila “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan” pada prinsipnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan terus memelihara dan mengembangkan semangat bermusyawarah untuk mencapai mufakat dalam perwakilan. Bangsa Indonesia akan tetap memelihara dan mengembangkan kehidupan demokrasi. Bangsa Indonesia juga akan memelihara serta mengembangkan kearifan dan kebijaksanaan dalam bermusyawarah. Dapat ditelaah juga bahwa sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” pada prinsipnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia bukan hanya memiliki demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi. Indonesia harus memiliki kehidupan yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Op.Cit, hal, 45-78. Penulis juga berpandangan bahwa lahirnya nota kesepahaman (MoU Helsinki) tidak dapat dipisahkan dari keberadaan masing-masing sila tersebut, dengan argumentasi bahwa: a. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, memiliki koherensi untuk penyelesaian konflik di Aceh, bahwa setiap agama pada dasarnya mengajarkan untuk perdamaian, dan setiap aparatur negara memiliki nilai-nilai agamanya berdasarkan kepercayaan masing-masing. b. Sila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, bahwa perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM telah menunjukkan bahwasanya kedua belah pihak berupaya memperlakukan satu sama lainnya secara adil dan beradab. c. Sila “Persatuan Indonesia”, bahwa perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM merupakan suatu upaya untuk mempertahankan “Persatuan Indonesia” yang diaktualisasikan dalam bentuk negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). d. Sila “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijkasanaan Dalam Permusyawaratan /Perwakilan”, dapat dipahami bahwa perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM didasari pada nilai-nilai etika musyawarah antara kedua belah pihak, untuk mencapai kesepakatan dalam menyelesaikan konflik di Aceh. e. Sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, bahwa perundingan yang disepakati oleh Pemerintah Republik Indonesia dan GAM, pada intinya sama-sama memiliki hak dan kewajiban yang akan diimplementasikan, khususnya paska penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki).
193
pandangan M. Dimyati Hartono,317 kelima sila di atas merupakan satu kesatuan yang utuh, dan pada dasarnya berisi falsafah hidup kekeluargaan berbangsa dan bernegara atau jiwa kegotong royongan. Kaelan318 berpandangan bahwa Pancasila sebagai landasan filosofis kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat ditelaah sesuai dengan konteksnya, yaitu: a. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Perihal tersebut terkandung di dalamnya konsepsi dasar mengenai kehidupan yang dicitakan, terkandung dasar pikiran terdalam dan gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Oleh karena Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka pandangan hidup tersebut dijunjung tinggi oleh warganya karena pandangan hidup Pancasila berakar pada budaya dan pandangan hidup masyarakat. Dengan demikian pandangan hidup bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika tersebut harus merupakan asas pemersatu bangsa sehingga tidak boleh mematikan keanekaragaman. b. Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Indonesia. Dalam proses pendirian negara, dengan diilhami pandangan-pandangan dunia tentang kenegaraan disintesiskan secara eklektis, sehingga merupakan suatu local genius dan sekaligus sebagai suatu local wisdom bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila sebelum terbentuknya negara dan bangsa Indonesia pada dasarnya terdapat secara sporadis dan fragmentaris dalam kebudayaan bangsa yang tersebar diseluruh kepulauan nusantara baik pada abad kedua puluh maupun sebelumnya, dimana masyarakat Indonesia telah mendapatkan kesempatan untuk berkomunikasi dan berakulturasi dengan kebudayaan lain. c. Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Dasar formal kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia tersimpul dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 317
M. Dimyati Hartono, Problematik dan Solusi Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009, hal. 25. 318
Kaelan, Op.Cit, hal. 43 – 67.
194
1945 aline keempat, yang berbunyi: “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasrkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. d. Pancasila sebagai jatidiri bangsa Indonesia. Proses terjadinya Pancasila tidak seperti ideologi-ideologi lainnya yang hanya merupakan hasil pemikiran seseorang saja, namun melalui suatu proses kausalitas yaitu sebelum disahkan menjadi dasar negara nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sebagai pandangan hidup bangsa, dan sekaligus sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia. Dalam pengertian inilah maka bangsa Indonesia sebagai causa materialis dari Pancasila. Bagi bangsa Indonesia nilai-nilai Pancasila itu telah tercermin dalam khasanah adatistiadat, kebudayaan serta kehidupan keagamaannya. e. Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila adalah bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar Pancasila namun mengekplisitkan wawasannya secara kongkrit, sehingga memiliki kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan masalah-masalah baru dan aktual.
Dalam konteks penyelesaian konflik di Aceh, posisi Pancasila sebagai landasan filosofis sesuai dengan konteks Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Menurut pandangan Kaelan319 yang menyebutkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dapat ditelaah, bahwa:
319
Kaelan, Loc.Cit.
Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa dan pandangan hidup negara. Keberadaannya bermula dari pandangan hidup masyarakat Indonesia juga. Hanya saja, pandangan hidup masyarakat ini belum disistematisasi dan belum disusun secara logis. Selain itu, ia hanya menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku bagi tiap pribadi anggota masyarakat yang bersangkutan, tanpa ada keinginan
195
“… bangsa Indonesia dalam hidup bernegara telah memiliki suatu pandangan hidup bersama yang bersumber pada akar budayanya dan nilainilai religiusnya. Adanya pandangan hidup yang mantap maka bangsa Indonesia akan mengetahui ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya. Suatu pandangan hidup yang diyakini bangsa Indonesia akan mampu memandang dan memecahkan segala persoalan yang dihadapinya secara tepat sehingga tidak terombang-ambing dalam menghadapi persoalan tersebut dengan suatu pandangan hidup yang jelas maka bangsa Indonesia akan memiliki pegangan dan pedoman bagaimana mengenal dan memecahkan berbagai masalah politik, sosial budaya, ekonomi, hukum, hankam, dan persoalan lainnya dalam gerak masyarakat yang semakin maju.”
Berdasarkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dapat kita telaah bahwa lahirnya nota kesepahaman (MoU Helsinki) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, adalah suatu wujud nyata untuk mengaplikasikan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang merupakan pandangan seluruh masyarakat Indonesia, sekaligus asas pemersatu bangsa. Dengan demikian dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, walaupun adanya keberagaman dari Sabang sampai Merauke, tetapi tidak boleh mematikan keanekaragaman tersebut. Berdasarkan paradigma Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, seluruh stakeholder berkeyakinan untuk menyelesaikan konflik di Aceh secara komprehensif, sekaligus mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama 3 (tiga) dasawarsa secara adil, dan bermartabat. untuk disebarluaskan. Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal. 243-244.
196
2. Landasan Yuridis Sebagai negara hukum,320 Republik Indonesia dalam perkembangan politik dan hukumnya harus memiliki landasan yuridis. Menurut pandangan Bagir Manan321 dalam suatu negara hukum modern hak-hak warga negara harus dapat diwujudkan melalui hukum, yakni khususnya dalam pembentukan hukum. Oleh karenanya ajaran negara hukum memuat 3 (tiga) dimensi penting, yaitu: a. Dimensi politik, bahwa negara hukum memuat prinsip pembatasan kekuasaan, yang menjelma dalam keharusan paham negara berkonstitusi, pembagian kekuasaan, kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan jaminan serta penghormatan terhadap hak asasi. b. Dimensi hukum, bahwa dalam negara hukum harus tercipta suatu tertib hukum dan perlindungan hukum bagi setiap orang tanpa diskriminasi. c. Dimensi sosial ekonomi, bahwa negara hukum berupa kewajiban negara atas Pemerintah untuk mewujudkan dan menjamin kesejahteraan sosial.
Bertitik tolak dari paradigma dimensi hukum, hal ini dapat ditelaah bahwa dalam penyelenggaraan Pemerintahan baik di Pusat maupun Daerah,
320
Hal ini ditegaskan melalui Pasal 1 (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi “negara Indonesia adalah negara hukum”. 321
Bagir Manan sebagaimana dimuat dalam Husni Jalil, Eksistensi…Op.Cit, hal. 95.
197
wajib berdasarkan tata tertib322 hukum yang diakui secara formal. Artinya, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia merujuk pada jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk meminimalisir konflik di Aceh, sekaligus dinamika perkembangan politik dan hukum, hal ini mengindikasikan bahwa ketika stakeholder hendak merumuskan suatu sikap kebijakan hendaknya memiliki legitimasi berdasarkan landasan yuridis. Lahirnya
Nota
Kesepahaman
(MoU
Helsinki)
sebagai
bentuk
perkembangan politik dan hukum di Aceh, tidak dapat dilepaskan dari suatu landasan yuridis, yakni TAP MPR No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA Pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Pada Tahun 2002. Melalui TAP MPR No. VI/MPR/2002, bahwa diamanatkan untuk dapat menyelesaikan konflik di Aceh secara adil dan bermartabat. Adapun bunyi amanat tersebut diantaranya:323 “…pembentukan Undang-Undang otonomi khusus Nanggroe Aceh Darussalam merupakan landasan hukum yang mengikat bagi pemecahan 322
Tertib hukum (Rechtsorde) adalah tangga tata urutan hukum, mana yang dipertamakan, dikeduakan, dan selanjutnya, dan juga merupakan sumber hukum, serta mengandung pula pengertian tertib yang kedua berasal dan bersumber kepada yang pertama. Atau dengan kata lain, suatu tertib hukum yang dibawah harus bersumber kepada tertib hukum yang di atasnya, dan tidak boleh bertentangan dengan tertib hukum yang di atasnya. Moh. Tolchah Mansoer, Sumber Hukum dan Urutan Tertib Hukum Menurut Undang-Undang Dasar RI ’45, Binacipta, Bandung, 1979, hal. 8. 323
Hasil pembahasan MPR terhadap laporan pelaksanaan putusan MPR, pada TAP MPR No. VI/MPR/2002, pada point I.
198
ketidakpuasan masyarakat untuk memenuhi rasa keadilan, kehormatan, kesejahteraan, dan diharapkan dapat mendorong penyelesaian yang adil dan bermartabat. Pelaksanaan Undang-Undang otonomi khusus Nanggroe Aceh Darussalam belum dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga kontribusinya bagi penyelesaian konflik belum memperlihatkan hasil yang signifikan. Oleh karenanya MPR merekomendasikan kepada Presiden untuk: a. Meneruskan dialog dan perundingan dengan GAM dan semua komponen rakyat Aceh untuk mendapatkan kesamaan pandangan bagi penyelesaian konflik secara damai, berkeadilan, bermartabat, dan konstitusional dalam rangka menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perundingan dan dialog itu harus mencapai kesepakatan penghentian permusuhan untuk kemudian bersungguh-sungguh dan konsekuen dipatuhi serta dilaksanakan disemua tingkatan dan tempat. Perundingan yang selama ini berlangsung di luar negeri agar selanjutnya diupayakan untuk dilaksanakan di dalam negeri. b. Mempercepat pemulihan kehidupan sosial ekonomi dengan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat setempat, tanpa kecuali, sehingga terwujud pembangunan disemua sektor dan perluasan kesempatan kerja. c. Melakukan penegakan hukum serta menyelesaikan perkara pelanggaran hak azasi manusia yang terjadi selama Aceh secara de facto dijadikan daerah operasi militer dan pasca operasi militer serta pelanggaran hukum lainnya dengan membentuk KPP HAM dan peradilan HAM Ad Hoc untuk kasus dan pelanggaran hak azasi manusia. d. Segera mewujudkan jaminan kemanan masyarakat dari segala macam ancaman dan gangguan dengan pendekatan proporsional, profesional, dan kultural, sehingga anggota masyarakat dapat melaksanakan aktivitasnya, terutama disektor ekonomi, pendidikan, dan peribadatan. e. Mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu untuk menjamin efektivitas Pemerintahan daerah sehingga Undang-Undang Nanggroe Aceh Darussalam dapat dilaksanakan secara komprehensif dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat”.
Dapat ditelaah bahwa berdasarkan paradigma yang diamanatkan melalui TAP MPR RI No. VI/MPR/2002, Pemerintah Republik Indonesia telah memiliki legitimasi untuk menyelesaikan konflik di Aceh, secara adil dan
199
bermartabat, hingga terciptanya Nota Kesepahaman (MoU Helsinki). Sekaligus dapat ditelaah bahwa lahirnya TAP MPR tersebut merupakan salah satu bentuk pelaksanaan tertib hukum. 3. Landasan Politis Mengenai landasan politis, untuk menyatukan persepsi terlebih dahulu diuraikan mengenai teori integrasi politik. Menurut pandangan Nazaruddin Sjamsuddin,324 integrasi politik adalah suatu proses integrasi yang mengandung bobot politik dan karenanya proses ini lebih bersifat politik. Integrasi politik pada pokoknya melibatkan 2 (dua) masalah utama, yaitu: a. Bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan negara. Perihal ini mencakup persoalan pengakuan rakyat akan hak-hak yang dimiliki negara dan rakyat harus mematuhinya. b. Bagaimana meningkatkan konsensus normatif yang mengatur tingkah laku politik anggota masyarakat. Perihal ini bersifat kesepakatan di antara sesama warganegara tentang tingkah laku politik yang diperlukan agar sistem politik dapat berjalan dengan baik. Menurut pandangan Weiner,325 ada dua (2) strategi untuk mengatasi perihal integrasi politik. Pertama, asimilasi. Kedua, persatuan dalam keanekaragaman, dalam konteks Indonesia hal ini sejalan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Berdasarkan strategi Bhinneka Tunggal Ika menyiratkan
6.
324
Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi…, Op.Cit, hal. 5.
325
Weiner sebagaimana yang dimuat dalam Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi…, Op.Cit, hal.
200
bahwa pembentukan kesetiaan nasional dilakukan dengan tidak menghilangkan kebudayaan kelompok minoritas. Dapat ditelaah bahwa dengan menerapkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dalam konteks penyelesaian konflik di Aceh hal ini diawali dengan adanya rasa kesetiaan secara nasional terhadap rakyat Aceh. Artinya secara tidak langsung seluruh rakyat Indonesia juga mengharapkan agar terciptanya perdamaian secara bermartabat, adil, kekal, dan abadi di Aceh. Bahwa keinginan untuk menyelesaikan konflik vertikal di Aceh telah dimulai sebelum Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Akan tetapi langkah ini waktu itu kurang efektif, karena tidak mempunyai kewenangan lebih jauh untuk melakukan negosiasi dengan pihak GAM, karena ketika itu Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla hanya sebatas Menteri di kabinet Megawati Soekarno Putri.326 Hal ini dapat ditelaah bahwa ketika Jusuf Kalla menjabat sebagai Menteri pada era kepemimpinan Megawati Soekarno Putri (Presiden), dalam hal ini Jusuf Kalla memerintahkan Farid Husain327 untuk mencari bibit-bibit perdamaian di Aceh, dengan maksud bekerja di belakang layar (second track diplomacy) agar dapat masuk ke pusat pimpinan GAM dalam rangka
326 327
Ikrar Nusa Bakti, Op.Cit, hal. 109-110.
Ketika itu Farid Husain adalah salah satu deputi Jusuf Kalla, dan juga merupakan tokoh kunci pada Malino 1 dan 2. Ikrar Nusa Bakti, Op.Cit, hal. 110.
201
melakukan komunikasi politik disatu sisi, dan disisi lain untuk membangun kepercayaan.328 Lahirnya Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) tentunya tidak terlepas dari faktor political will, sebagaimana diketahui bahwa MoU Helsinki lahir pada era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden) dan Jusuf Kalla (Wakil Presiden). Pemerintahan baru hasil pemilihan langusng rakyat melalui sebuah pemilihan umum pada Tahun 2004 yang bebas, jujur, dan adil telah membuka lembaran baru bagi Aceh. Susilo Bambang Yudhoyono dikenal menyukai pendekatan moderat dan berusaha “menahan” garis keras TNI yang sejak awal menghendaki operasi militer total untuk menyelesaikan konflik di Aceh. Sedangkan Jusuf Kalla dikenal reputasinya dalam mendamaikan para pihak yang terlibat dalam konflik, seperti konflik Ambon dan Poso, melalui perjanjian Malino I dan Malino II.329 Memasuki era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ada 3 (tiga) pilar penyelesaian konflik di Aceh, yakni:330 a. Perpanjangan darurat sipil. 328
Farid Husain, To See The Unseen-Kisah Dibalik Damai Aceh, Health & Hospital Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 27, 39, 42, 47, 52. Lihat juga dalam Ikrar Nusa Bakti, Op.Cit, hal. 110. 329
Ahmad Farhan Hamid, Op.Cit, hal. 159.
330
Ibid., hal. 161.
202
b. Mencari pendekatan dan langkah baru agar konflik di Aceh dapat diakhiri secara lebih damai, bermartabat, dan adil. c. Melaksanakan 5 (lima) operasi terpadu dalam bidang militer, politik, sosial, ekonomi, dan kemanusiaan.
Perkembangan lebih lanjut untuk mengaktualisasikan 3 (tiga) pilar penyelesaian konflik di Aceh tersebut, khususnya menekankan pada “mencari pendekatan dan langkah baru agar konflik di Aceh dapat diakhiri secara lebih damai, bermartabat, dan adil”. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi Aceh, tepatnya pada tanggal 26 November 2004, dalam kunjungan tersebut Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Widodo AS (Menkopolhukam), Aburizal Bakrie (Menko Perekonomian), Moh. Ma‟ruf (Menteri Dalam Negeri), Hamid Awaluddin (Menteri Hukum dan HAM), Bachtiar Chamsyah (Menteri Sosial), serta para petinggi militer dan para pejabat lainnya, menyatakan untuk memberikan amnesti kepada GAM yang mau bergabung kembali dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.331 Disisi lain, faktor political will dapat ditelaah berdasarkan pandangan Jusuf Kalla,332 yang disampaikan dalam sebuah makalah menyatakan bahwa: “… untuk menyelesaikan konflik Aceh harus dilakukan melalui memenangkan hati dan pikiran rakyat Aceh. Selain itu, diperlukan keinginan politis dan komitmen yang kuat dari para pemimpin kedua belah 331 332
Ibid.
Ikrar Nusa Bakti, Op.Cit, hal. 123-124. Lihat juga dalam Diskusi Sehari, “Implementasi Model Aceh Sebagai Posibilitas Alternatif Terhadap Konflik di Sri Langka”, dilaksanakan di Hotel Santika Yogyakarta, pada tanggal 10 Maret 2007, yang diselenggarakan oleh Kantor Sekretariat Wakil Presiden dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, hal. 7.
203
pihak untuk berdamai. Perundingan damai harus dikedepankan yang meliputi 4 (empat) hal, yaitu: (1) kompromi dan flesibilitas, (2) kepercayaan dan ketulusan, (3) pembahasan permasalahan yang nyata di lapangan, (4) pemenuhan janji yang merupakan komponen paling vital dari perundingan yang berhasil …” Farid Husain333 juga turut menegaskan lahirnya MoU Helsinki tidak terlepas dari faktor political will, sebagaimana yang berbunyi: “… dalam suatu kesempatan setelah Tsunami, Farid Husain memasukkan secara rahasia Damien Kingsbury yang menjadi penasehat GAM ke Jakarta (karena dicekal tidak boleh masuk ke Indonesia). Setelah bertemu dengan Jusuf Kalla, Damien Kingsbury mengatakan tidak bersedia membantu untuk menekan pihak GAM agar mau berunding. Jusuf Kalla menegur Damien Kingsbury dengan mengatakan beliau akan menyampaikan kepada masyarakat dunia bahwa gara-gara nasehat Damien Kingsbury, maka tidak ada damai dan akan tetap ada rakyat yang meninggal (karena konflik) di Aceh…” Pentingnya faktor political will, juga diutarakan oleh Fachry Ali,334 sebagaimana yang berbunyi: “… yang terpenting dicatat adalah bahwa Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla telah tampil sebagai tokoh pendobrak terhadap paradigma lama tentang kehidupan sosial-politik hierarki yang berakar pada konsepsi kekuasaan kuno. Dengan spesifikasi pengalaman, otoritas serta berbagai manuver masing-masing, keduanya berhasil merintis pola kehidupan kenegaraan baru yang lebih memenangkan pertarungan logika diplomasi daripada pertarungan persenjataan …”
Berbagai macam hal-hal yang diungkapkan tersebut pada akhirnya menunjukkan bahwa faktor political will dari Presiden dan Wakil Presiden
333
Farid Husain, To…, Op.Cit, hal. 117. Lihat juga dalam Ikrar Nusa Bakti, Op.Cit, hal. 124.
334
Fachry Ali, Op.Cit, hal. 9.
204
sangat berperan dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang akan ditetapkan, khususnya dalam menangani konflik yang berlangsung di Aceh. Pada kesempatan lain, keputusan politik dari Presiden dan Wakil Presiden untuk menyelesaikan konflik di Aceh secara adil dan bermartabat, melalui lahirnya MoU Helsinki. Dapat dinilai setidaknya melalui 4 (empat) syarat, yaitu:335 a. Pertama, harus didasarkan pada asas rasionalisme dan keadilan bukan hanya berdasarkan subjektivitas ideologis dan kepentingan. b. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan dan golongan. c. Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif. d. Keempat, bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak secara inklusif, yang dapat menangkal dikte-dikte minoritas elite penguasa serta klaimklaim mayoritas.
4. Peristiwa Bencana Alam Minggu, tanggal 26 Desember 2004, sekitar pukul 08.00 wib, di Aceh terjadi Gempa Bumi yang kemudian disusul gelombang Tsunami. Rangkaian peristiwa tersebut telah memakan banyak korban jiwa, serta menghancurkan berbagai infrastruktur, disertai sistem Pemerintahan tidak dapat dijalankan secara normal.
335
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Op.Cit, hal, 70-71.
205
Faktor Tsunami ini menjadi salah satu dasar yang mempercepat berlangsungnya perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM, karena apabila tidak dilakukan perjanjian dengan pihak GAM, tentu akan berdampak bagi upaya rekonstruksi Aceh paska Tsunami. Sebagaimana yang diutarakan Staf Ahli Wakil Presiden (Djohermansyah Djohan)336 menyebutkan bahwa: “… pemicu dari perjanjian Helsinki adalah terjadinya Tsunami di Aceh. Tsunami telah mendorong kedua belah pihak, pihak Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla serta GAM menyadari bahwa untuk membangun Aceh pasca Tsunami perlu perjanjian sebagai syarat bagi pembangunan Aceh …” Hal yang senada juga turut disampaikan oleh Juha Christensen337 dengan menyebutkan bahwa : “… Tsunami membawa semacam urgensi bagi pihak GAM maupun Pemerintah Republik Indonesia, peranan Farid Husain (Deputi Menko Kesra) bertambah penting lagi. Apalagi Farid Husain datang ke Aceh sebagai pejabat Pemerintah Republik Indonesia yang menangani bantuan terhadap korban sekaligus juga sebagai dokter. Pada saat yang sama, Farid Husain adalah orang yang terlibat dalam mempersiapkan dialog perdamaian di Aceh…”
Situasi Aceh yang porak poranda mendorong kedua belah pihak, baik Republik Indonesia maupun bagi GAM saling tergugah untuk menanggalkan ideologi masing-masing dan mencoba mencari terobosan penyelesaian agar 336
Djohemansyah Djohan sebagaimana yang dimuat dalam Ikrar Nusa Bakti, Op.Cit, hal. 115.
337
Juha Christensen sebagaimana yang dimuat dalam Farid Husain, To…, Op.Cit, hal. 75.
206
penderitaan rakyat Aceh dapat segera diakhiri dan para korban gempa dan Tsunami dapat segera ditolong. Usman Basja338 turut berpandangan senada, sebagaimana yang diutarakan bahwa “pihak GAM tergugah atau terpanggil karena rakyat di Aceh menderita akibat musibah, tidak mungkin GAM tidak mau berdamai, waktu itu seorang juru runding GAM mengatakan begini,demi rakyat Aceh kami harus menanggalkan ideologi perjuangan untuk merdeka”. Pada sisi yang lain, pihak Internasional menekankan agar adanya jaminan keamanan untuk penyaluran bantuan kemanusiaan yang akan berlangsung di Aceh, sebagaimana yang disampaikan oleh Farid Husain339 bahwa: “…kemudian dengan Tsunami itu disuruh percepat, supaya bantuan jalan lancar. Kalau dalam waktu menolong kemudian dari negara-negara lain ditembak, dan tidak tahu siapa pelakunya, pasti akan buyar dan sudah diminta untuk keluar dari Indonesia. Jadi begitu ada Tsunami disuruh percepat itu perundingan. Hari kedua waktu Tsunami saya sudah berada disana. Hari ketiga saya sudah ketemu dengan GAM (akar rumput)…”
Sejatinya dunia Internasional akan menyalurkan dana bantuan untuk merekonstruksi Aceh, jika kedua belah pihak (Pemerintah Republik Indonesia dan GAM) melakukan gencatan senjata. Menurut pandangan Jeff William Weiser340 bahwa menyebutkan Pemerintah Republik Indonesia memiliki
338
Usman Basja sebagaimana yang dimuat dalam Ikrar Nusa Bakti, Op.Cit, hal. 116.
339
Farid Husain sebagaimana yang dimuat dalam Ikrar Nusa Bakti, Op.Cit, hal. 115.
340
Jeff William Weiser sebagaimana yang dimuat dalam Ikrar Nusa Bakti, Op.Cit, hal. 117.
207
kepentingan untuk memperoleh bantuan dana bagi rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh, karena itu perundingan dengan pihak GAM harus ditempuh. Kebutuhan akan dana bagi rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh ini yang turut mendorong dilakukannya perjanjian. Tidak lama berselang, paska terjadinya Tsunami Kofi Annan (Sekjen PBB) dan Colin Powell (Menteri Luar Negeri Amerika Serikat) menyatakan bahwa:341 “… meminta Pemerintah Republik Indonesia dan GAM untuk tidak saling berperang sehingga dapat berkonsentrasi dalam membantu korban bencana alam. Marilah melihat ini sebagai suatu kesempatan untuk memecahkan masalah politik yang sudah berlangsung dengan lama tersebut”. Paska bencana Tsunami, tepatnya pada 30 Desember 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan bahwa:342 “… saya atas nama Pemerintah dan rakyat Indonesia, menyerukan kepada GAM yang masih mengangkat senjata untuk tidak keluar dari keluarga besarnya, bangsa Indonesia, marilah menjadikan momentum Tsunami yang bersejarah ini untuk segera bergabung, bersatu kembali membangun Aceh”. Seruan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali diulangi pada tanggal 9 Januari 2005, via teleconfrence dengan para Menteri
dan
pejabat yang sedang berada di Aceh. Seruan tersebut disambut baik oleh Tgk 341 342
Ahmad Farhan Hamid, Op.Cit, hal. 172. Ibid., hal. 171.
208
Malik Mahmud (Perdana Menteri GAM), yang menyatakan bahwa “pihaknya berkeinginan duduk bersama dan berdiskusi dengan Pemerintah Indonesia untuk menghapus ketakutan para tenaga kemanusiaan asing yang beroperasi di Aceh”. Juga disambut baik oleh Tgk Zaini Abdullah (Menteri Luar Negeri GAM), yang menyatakan bahwa “Kami ingin melakukan gencatan senjata total untuk memungkinkan penyaluran bantuan kepada korban bencana Aceh”.343 Tsunami menjadi salah satu faktor lahirnya MoU Helsinki, hal ini turut ditegaskan pada pembukaan (alinea ke 2 dan 3) dalam Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, sebagaimana yang berbunyi:344 “… para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga Pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh paska Tsunami tanggal 26 Desember 2004 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan …”
Pada akhirnya, berbagai landasan-landasan tersebut, baik landasan filosofis, landasan yuridis, landasan politis, dan peristiwa bencana alam telah menjadi suatu entitas untuk menyelesaikan konflik di Aceh, secara adil dan bermartabat.
343 344
Ibid., hal. 173.
Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, pada Alinea ke 2 (dua) dan 3 (tiga).