BAB II MEKANISME PENETAPAN STATUS TERSANGKA TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)
A.
Latar Belakang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengamanatkan kepada pembuat
undang-undang untuk membuat sebuah komisi pemberantasan tindak pidana korupsi yang diserahi tugas dan kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pembentukan sebuah komisi atau badan khusus untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, sebenarnya bukanlah suatu yang baru sama sekali. Pada awal pemerintahan Orde Baru, dengan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 dibentuklah sebuah Tim Pemberantasan Korupsi yang diketuai oleh Jaksa Agung Sugih Arto. Kemudian pada tahun 1970, dibentuk pula tim pemberantas korupsi yang dinamakan Komisi Empat yang dipimpin oleh Wilopo. Pada tahun 1977 dibentuk lagi sebuah tim untuk memberantas tindak pidana korupsi, yang dinamakan Operasi Tertib (Opstib) berdasarkan Instuksi Presiden Nomor 9 Tahun 1977. Akan tetapi, tim khusus pemberantasan tindak pidana korupsi yang dibentuk pada masa lalu itu, jauh berbeda dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Di samping dasar hukum pembentukannya yang lebih kuat, juga kewenangannya
34
35
lebih luas daripada hanya sekedar melakukan penyidikan, melainkan juga melakukan penyidikan, penuntutan yang sama sekali tidak dimiliki oleh tim-tim yang ada pada masa lalu. Kehadiran sebuah badan khusus untuk memberantas tindak pidana korupsi merupakan bagian dari tuntutan reformasi untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah melembaga di seluruh lapisan masyarakat dan kelembagaan negara. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, melainkan sudah merupakan “extra ordinary crime”. Atas dasar itu pula maka pemberantasannya tidak dapat lagi dilakukan dengan cara-cara biasaa, dan melalui instansi penegak hukum yang ada selama ini, melainkan mesti dilakukan dengan cara-cara luar biasa. Artinya, metode penegakan hukum secara konvensional sudah terbukti mengalami kegagalan dan kemandulan, sehingga dengan demikian diperlukan adanya sebuah badan khusus yang independen untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. 53 Kehadiran sebuah badan khusus atau komisi khusus itu dapat dikatakan sebagai suatu kebutuhan yang mendesak di tengah-tengah suasana yang mencerminkan adanya ketidakpercayaan publik terhadap kinerja aparat penegak hukum yang ada. Institusi penegak hukum yang ada seperti polisi dan jaksa dinilai masyarakat telah mengalami kegagalan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, fungsi kedua lembaga penegak hukum tersebut
53
Elwi Danil, Op. Cit., hlm. 239-240.
36
dalam melakukan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi perlu digantikan oleh sebuah badan yang independen. 54 Ada beberapa model komisi anti korupsi yang diterapkan oleh beberapa negara yang telah berhasil membangun suatu komisi yang disegani, yaitu: 55 1.
Model yang memberikan kepada badan anti korupsi monopoli kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
2.
Model yang menempatkan badan anti korupsi sebagai suatu institusi yang memiliki kewenangan koordinatif dan supervisi, termasuk kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan sekaligus kewenangan penuntutan.
3.
Model badan anti korupsi yang hanya memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan, sementara kewenangan penuntutan tetap berada pada kejaksaan. Dasar hukum pembentukan sebuah komisi independen untuk melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tertuang dalam pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang berbunyi: (1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi; (2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
54
Masyarakat Transparansi Indonesia, Ringkasan Pokok Badan Independen Anti Korupsi, tidak dipublikasikan, hlm. 2. 55 Romli Atmasasmita, Perang Melawan Korupsi, dalam Kompas (4 Januari 2001)
37
(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat; (4) Ketentuan
mengenai
pembentukan,
susunan
organisasi,
tata
kerja,
pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan undang-undang. Sebagaimana
halnya
Masyarakat
Transparansi
Indonesia,
kita
mengharapkan komisi yang akan dibentuk itu adalah sebuah badan khusus yang independen, sama seperti badan-badan antikorupsi yang terdapat di beberapa negara lain, seperti “Independent Commission Against Corruption (ICAC)” di Hongkong. Komisi Pemberantasan Korupsi di Hongkong (ICAC) merupakan sebuah badan khusus yang independen. ICAC merupakan sebuah badan anti korupsi yang ternyata paling ampuh dalam menumpas tindak pidana korupsi di suatu negara berkembang seperti Hong Kong. Oleh karena itu, ICAC selalu dijadikan sebagai acuan dan dianggap prestisius. 56 Dari ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 di atas, dapat dicatat bahwa komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Komisi Pemberantas Korupsi disingkat KPK) tidaklah semata-mata dimaksudkan sebagai sebuah institusi yang diberi kewenangan melakukan sebagai institusi yang diberi kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan saja, melainkan juga melakukan penuntutan tindak pidana korupsi. Di samping itu, KPK juga diberi 56
hlm.153.
Antonius Sujata, Reformasi Dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta, 2000,
38
kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi terhadap semua instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketentuan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang memberikan kewenangan penyidikan kepada KPK dan sekaligus melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi lain dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, memberikan gambaran tentang tidak adanya ketegasan dan keberanian pembuat undang-undang untuk menempatkan kewenangan penyidikan hanya pada satu institusi. Pembuat undang-undang terkesan ragu-ragu dan tidak memiliki keberanian untuk meletakkan kewenangan penyidikan sepenuhnya hanya pada KPK. Dengan kewenangan seperti dimaksud Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka itu berarti KPK bukanlah merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Di samping komisi anti korupsi itu, secara implisit pasal tersebut masih tetap mengakui adanya kewenangan penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi pada kepolisian dan kejaksaan sebagaimana yang berlaku sebelumnya. Dengan demikian, di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ada tiga institusi yang berwenang untuk melakukan penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi, yaitu KPK, kepolisian dan kejaksaan. Hanya saja, memang KPK diberi kedudukan dan kewenangan yang lebih, yakni untuk melakukan koordinasi dan supervisi terhadap penyidik kepolisian dan kejaksaan, dan bahkan dapat mengambil alih penyidikan yang sedang dilakukan baik oleh kepolisian maupun oleh kejaksaan. Namun masalahnya, apakah kewenangan dalam kerangka
39
koordinasi dan supervisi itu maupun dilaksanakan oleh KPK ditengah masih dominannya pengaruh kedua lembaga tadidalam proses penegakan hukum. Untuk menindaklanjuti maksud ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, pemerintah melalui Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia menyiapkan sebuah Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah melalui proses pembahasan di badan legislatif, akhirnya pada tanggal 27 Desember 2002 disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002
tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137. Tidak efektifnya upaya pemberantasan tindak pidana korupsi melalui institusi penegak hukum yang ada selama ini (kepolisian dan kejaksaan) merupakan salah satu dasar pemikiran untuk membentuk komisi pemberantas korupsi. Latar belakang pemikiran seperti itu dapat dilihat dan tergambar dalam salah satu konsideran Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menegaskan, bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dalam memberantas tindak pidana korupsi. Semangat yang dapat ditangkap dari bunyi konsideran ini adalah, adanya suatu pengakuan tentang ketidakmampuan institusi penegak hukum yang ada selama ini dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. 57
57
Elwi Danil, Op. Cit., hlm. 243-247.
40
B.
Kewenangan
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
(Kpk)
Dalam
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Sulit untuk memberantas korupsi jika aparat penegak hukum yang seharusnya memberantas korupsi, juga terlibat dalam perkara korupsi. Inilah yang menjadi salah satu pertimbangan dan menjadi dasar pemikiran lahirnya Pasal 43 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan perlunya dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kemudian melahirkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya disebut UUKPK. 58 Pasal 43 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 mengamanatkan lahir/dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari namanya diketahui, bahwa lembaga ini terdiri dari beberapa orang yang diserahi salah satu kewajiban atau tugas pemberantasan korupsi. Pasal 43 itu mengamanatkan, bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah harus terbentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini mulai berlaku. Sementara Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini sendiri mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yakni 16 Agustus 1999. Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi harus sudah terbentuk pada tanggal 16 Agustus 2001. 59
58
Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadillah, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 22. 59 Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aitya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 125.
41
Komisi ini mempunyai tugas dan wewenang (Pasal 43 ayat (2) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999) sebagai berikut: 1.
Melakukan Koordinasi dan Supervisi.
2.
Melakukan Penyelidikan.
3.
Melakukan Penyidikan.
4.
Melakukan Penuntutan. 60 KPK sendiri adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3 UU-KPK) dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi (Pasal 4 UU-KPK). Keberadaan komisi ini sangat dibutuhkan mengingat sifat dan akibat korupsi yang begitu besar, menggerogoti kekayaan negara dan sumber ekonomi rakyat, sehingga dapat dipandang sebagai pelanggaran HAM, yakni hak-hak sosial ekonomi rakyat. Oleh karenanya masyarakat mendambakan KPK sebagai lembaga yang menjadi harapan bangsa Indonesia yang muncul di tengah-tengah lembaga penegakan hukum yang ada seiring dengan krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Harapan lain adalah bahwa KPK harus menjadi landasan yang kuat secara substantif maupun implementatif sehingga merupakan salah satu institusi yang mampu mengemban misi penegakan hukum. 61 Dalam mengemban misi tersebut, KPK mendapat tugas dan wewenang yang cukup luas dengan menganut prinsip-prinsip: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas (Pasal 5 UU-KPK). 60 61
Ibid. Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadillah, Loc. Cit.
42
Seperti ditegaskan dalam uraian di atas, bahwa dasar hukum pembentukan suatu undang-undang tentang komisi anti korupsi adalah pasal 43 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999. Oleh karena pembuat undang-undang korupsi telah merumuskan secara garis besar kerangka tugas dan wewenang komisi yang akan dibentuk dengan undang-undang tersendiri, maka itulah yang akan ditansformasikan dan diperinci lebih lanjut ke dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Atas dasar itu pulalah, di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dirumuskan secara eksplisit tugas KPK. Pasal 6 UU-KPK menegaskan: Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a.
Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.
Supervisi terhadap instansi yang berwenag melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.
Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi;
d.
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan;
e.
Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sedangkan wewenang dari KPK dalam rangka pemberantasan korupsi dinyatakan dalam Pasal 7 UU-KPK sebagai berikut: a.
Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
43
b.
Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.
Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi lain yang terkait;
d.
Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
e.
Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Kewenangan supervisi KPK oleh pembuat undang-undang dibatasi hanya
pada tugas melakukan pengawasan, penelitian dan penelaahan terhadap instansi yang terkait dengan pemberantasan korupsi. Tugas tersebut dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang berbunyi: (1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian dan penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik; (2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan; (3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan
44
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi; (4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan cara membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Kewenangan lain yang lebih luas dari KPK adalah mengambil alih wewenang penyidikan dan penuntutan dari pihak Kepolisian dan Kejaksaan dengan prinsip “trigger mechanism” dan “take over mechanism” (Pasal 8 dan 10 UU-KPK). Pengambilalihan wewenang ini dapat dilakukan jika terdapat indikasi “unwillingness”
dari
institusi
terkait
dalam
menjalankan
tugas
dan
wewenangnya. 62 Indikasi adanya “unwillingness” di atas berdasarkan pada Pasal 9 UU-KPK, yaitu: (i) adanya laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi yang tidak ditindaklanjuti, (ii) proses penanganan tindak pidana korupsi yang berlarut-larut yang berlarut-larut, (iii) adanya unsur nepotisme yang melindungi pelaku korupsi, (iv) adanya campur tangan pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif, (v) alasan-alasan lain yang menyebabkan penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan. 63 Di samping rumusan-rumusan hukum tersebut di atas, satu hal yang patut dicatat pula sebagai suatu langkah maju dalam kaitannya dengan proyeksi keberadaan KPK ke depan adalah, diberikannya kewenangan yang tidak saja bersifat represif kepada komisi, melainkan juga kewenangan yang bersifat 62
Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, Depkeh HAM RI, Jakarta, 2002, hlm. 33. 63 Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadillah, Op. Cit., hlm. 23.
45
preventif, yakni dalam mencegah timbul dan berkembangnya tindak pidana korupsi. Langkah-langkah dan upaya pencegahan yang dapat dilakukan KPK untuk melaksanakan kewenangan tersebut adalah: a.
Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara;
b.
Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
c.
Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan;
d.
Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;
e.
Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum;
f.
Melakukan kerjasama bilateral dan multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Diletakkanya kewenangan untuk melakukan langkah-langkah pencegahan
pada komisi anti korupsi, berarti komisi tersebut dibebani kewajiban untuk membangun budaya hukum yang memungkinkan kita untuk keluar dari masalah korupsi. Strategi yang lebih memberikan penekanan terhadap upaya penegakan hukum semata, terbukti tidak mampu mengatasi masalah korupsi yang dihadapi. Upaya penegakan hukum yang lebih mengedepankan sikap represif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara simultan dengan upaya-upaya lain yang bersifat preventif. Bahkan diakui, tindakan preventif harus
46
ditempatkan sebagai suatu upaya tahap pertama, dan jauh lebih penting daripada usaha-usaha yang bersifat represif. 64
C.
Mekanisme Kpk Dalam Penetapan Status Tersangka Tindak Pidana Korupsi Sampai dengan saat ini hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia
adalah UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang kemudian disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Definisi tersangka sangat jelas diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP yang menyebutkan bahwa: “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.” Jadi, untuk menetapkan seseorang berstatus sebagai terangka, cukup didasarkan pada bukti permulaan/bukti awal yang cukup. Selanjutnya definisi tersangka dengan rumusan yang sama diatur pula dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen
Penyidikan
Tindak
Pidana (Perkap
No.
14
Tahun
2012).
Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 14 KUHAP tidak secara spesifik diatur di dalam KUHAP. Definisi itu justru diatur dalam Pasal 1 angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut:
64
Elwi Danil, Op. Cit., hlm. 247-252.
47
“Bukti Permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan.” Jadi, berdasarkan laporan polisi dan satu alat bukti yang sah maka seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka serta dapat dilakukan penangkapan. KUHAP memang tidak menjelaskan lebih lanjut tentang definisi bukti permulaan, namun KUHAP secara jelas mengatur tentang alat bukti yang sah di dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP yaitu meliputi: 1.
keterangan saksi;
2.
keterangan ahli;
3.
surat;
4.
petunjuk;
5.
keterangan terdakwa. Dalam proses penyidikan hanya dimungkinkan untuk memperoleh alat bukti
yang sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli dan surat. Sementara, alat bukti berupa petunjuk diperoleh dari penilaian hakim setelah melakukan pemeriksaan di dalam persidangan, dan alat bukti berupa keterangan terdakwa diperoleh ketika seorang terdakwa di dalam persidangan, sebagaimana hal tersebut jelas diatur di dalam ketentuan Pasal 188 ayat (3) KUHAP dan ketentuan Pasal 189 ayat (1) KUHAP. Apabila di dalam suatu proses penyidikan terdapat laporan polisi dan satu alat bukti yang sah maka seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka, dan alat bukti yang sah yang dimaksud tersebut dapat berupa keterangan saksi, keterangan
48
ahli dan surat. Selain itu, perlu ditekankan jika ‘keterangan saksi’ yang dimaksud sebagai alat bukti yang sah tidak terlepas dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP serta asas unus testis nullus testis. Keterangan seorang saksi saja tidak dapat serta merta dapat menjadi satu alat bukti yang sah, karena harus disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Itupun haruslah bersesuaian dengan alat bukti yang lain yang telah ada, sebagaimana lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 185 ayat (6) KUHAP, sebab kinerja penyidik dalam mengumpulkan alat bukti yang sah tersebut sebagai “bahan baku” bagi hakim untuk memeriksa dan mengadili suatu tindak pidana. Bilamana telah terdapat laporan polisi didukung dengan satu alat bukti yang sah dengan turut memperhatikan ketentuan Pasal 185 ayat (3), Pasal 188 ayat (3) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, maka seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka. Terhadap tersangka tidak dapat dengan serta merta dikenai upaya paksa berupa penangkapan, karena ada syarat-syarat tertentu yang diatur Perkap No. 14 Tahun 2012. Pasal 36 ayat (1) menyatakan tindakan penangkapan terhadap seorang tersangka hanya dapat dilakukan berdasarkan dua pertimbangan yang bersifat kumulatif (bukan alternatif), yaitu: 1.
Adanya bukti permulaan yang cukup yaitu laporan polisi didukung dengan satu alat bukti yang sah dengan turut memperhatikan ketentuan Pasal 185 ayat (3), Pasal 188 ayat (3) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, dan
49
2.
Tersangka telah dipanggil dua kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar. Jadi, tindakan penangkapan hanya dapat dilakukan apabila tersangka tidak
hadir tanpa alasan yang patut dan wajar setelah dipanggil dua kali berturut-turut oleh penyidik. Apabila tersangka selalu hadir memenuhi panggilan penyidik, maka perintah penangkapan berdasarkan Perkap No. 14 Tahun 2012, tidak dapat dilakukan terhadap tersangka. Demikian halnya terhadap tersangka yang baru dipanggil satu kali dan telah menghadap pada penyidik untuk kepentingan pemeriksaan guna penyidikan, tidak dapat seketika juga dikenakan penangkapan. Berhubung tersangka telah datang memenuhi panggilan penyidik maka salah satu dari dua pertimbangan dilakukannya tindakan penangkapan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) Perkap No. 14 Tahun 2012 tidaklah terpenuhi. Akan tetapi terhadap diri seorang tersangka dapat dikenakan penahanan meskipun terhadapnya tidak dikenai tindakan penangkapan, dimana tindakan penahanan tersebut dilakukan dengan pertimbangan yang bersifat alternatif berdasarkan ketentuan Pasal 44 Perkap No. 14 Tahun 2012, sebagai berikut: 1. Tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, 2. Tersangka dikhawatirkan akan mengulangi perbuatannya, 3. Tersangka dikhawatirkan akan menghilangkan barang bukti, dan 4. Tersangka diperkirakan mempersulit penyidikan.
50
Sedangkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa perintah penahanan dapat dilakukan terhadap seorang tersangka dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan: 1. Kekhawatiran bahwa tersangka akan akan melarikan diri, 2. Merusak atau menghilangkan barang bukti, dan/atau 3. Mengulangi tindak pidana. Berawal dari suatu proses penegakan hukum yang sesuai dengan koridor hukum maka diharapkan lahir sebuah keadilan bagi masyarakat yang membutuhkan, dan bangsa Indonesia sedang dalam proses mencapai keadilan itu. Tentu saja tujuan itu akan tercapai bilamana ada iktikad baik untuk menerapkan hukum tanpa ditunggangi oleh ‘kepentingan’ dan hanya murni sesuai dengan proses hukum. 65 Berkaitan dengan hal tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga yang berwenang untuk menangani Tindak Pidana Korupsi lewat amanah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi hanya berwenang menetapkan status Tersangka untuk tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara minimal Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
65
Sebagaimana dimuat dalam, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d88a1603478/problematika-penetapan-danpenangkapan-tersangka-broleh-yuliana-rosalita-kurniawaty--sh-, Diakses tanggal 23 Juni 2015 pukul 12.58 WIB.
51
Berbeda dengan tindak pidana umum, yang data awal diperoleh dari Laporan atau Pengaduan. Tindak Pidana Korupsi data awalnya antara lain diperoleh dari: 1.
Menteri/Irjen/Banwasda/Irwilprop;
2.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP);
3.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang merupakan hasil audit BPK;
4.
Aparat Intelijen. Setelah adanya data awal maka diterbitkanlah “Surat Perintah Penyelidikan”
untuk mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana korupsi yang terjadi, dengan diperolehnya “bukti permulaan yang cukup”. Tetapi dengan diterbitkannya “Surat Perintah Penyelidikan”, banyak Orang berprasangka bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi. Hal demikian merupakan suatu kekeliruan karena ada kalanya tidak ditemukan bukti permulaan yang cukup. Sementara jika ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka penyelidikan ditingkatkan ke tahap “Penyidikan” dan selanjutnya diterbitkan “Surat Perintah Penyidikan”. 66 Berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU KPK, jika di dalam melakukan penyelidikan penyelidik menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, maka dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukannya bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan di ayat (2) Pasal 44 tersebut, diatur bahwa bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan 66
Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi: Pemberantasan dan Pencegahan, Djambatan, Jakarta, 2009, hlm. 20-21.
52
tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik. Dan menurut ayat (3) Pasal 44 tersebut, dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan. Sementara menurut ayat (4) Pasal 44 tersebut, dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri dan dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan. Dan menurut ayat (5) di Pasal yang sama, dalam hal penyelidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau ke kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepolisian dan kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. 67 Hasil dari proses penyelidikan merupakan penentu penetapan status tersangka terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara minimal satu milyar rupiah, yang mana penetapannya dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal ini harus sangat jeli dan sangat berhati-hati dalam hal menetapkan seseorang sebagai Tersangka Tindak Pidana Korupsi. Karena berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah 67
Lihat Pasal 44 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
53
Penghentian Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi, yang kita kenal dengan sebutan SP-3. Hal ini berbeda dengan proses penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan yang mana Kejaksaan dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi (SP-3). 68 Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi juga harus bekerja secara kolektif, yang artinya bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. 69 Seperti halnya penetapan status seseorang menjadi Tersangka Tindak Pidana Korupsi.
68
Tim Penyusun dibawah pimpinan Tegug Samudera, Op. Cit., hlm. 18. Lihat Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 21. 69