BAB III SAH TIDAKNYA PENETAPAN STATUS TERSANGKA OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) SEBAGAI ALASAN PENGAJUAN PRAPERADILAN DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA (Studi Terhadap Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel – Praperadilan Budi Gunawan)
A.
Pengaturan Praperadilan Menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia Praperadilan adalah lembaga baru yang lahir bersamaan dengan kelahiran
KUHAP (UU No. 8 Tahn 1981). Praperadilan bukan lembaga peradilan yang mandiri atau berdiri sendiri terlepas dari pengadilan negeri, karena dari perumusan pasal 1 butir 10 jo pasal 77 KUHAP dapat diketahui bahwa praperadilan hanyalah wewenang tambahan yang diberikan kepada pengadilan negeri (hanya kepada pengadilan negeri). 70 Keberadaan
lembaga
praperadilan
bertujuan
untuk
memberikan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang ssekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horizontal, atau dengan kalimat yang lebih tegas dapat dikatakan bahwa diadakannya praperadilan mempunyai maksud sebagai sarana 70
HMA Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang, 2008,
hlm. 251.
54
55
pengawasan horizontal dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia terutama hak asasi tersangka dan terdakwa. 71 Kehadiran lembaga Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia merupakan babak baru dalam rangka menciptakan dan mewujudkan peradilan pidana yang lebih baik dan lebih manusiawi. Praperadilan termuat dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lembaga Praperadilan yang dikenal dalam KUHAP merupakan mekanisme kontrol yang berfungsi dan berwenang untuk melakukan pengawasan bagaimana aparat penegak hukum menjalankan tugas dalam peradilan pidana. Praperadilan berwenang untuk memutus: -
Sah atau tidaknya suatu penangkapan;
-
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
-
Apakah ada benda yang disita tidak termasuk alat pembuktian;
-
Menetapkan ganti kerugian dan rehabilitasi. Dengan demikian Lembaga Praperadilan yang dianut KUHAP tidak sama
dengan apa yang dikenal sebagai “Rechter Commissaris” atau Hakim Komisaris di Negeri Belanda yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan dalam peradilan pidana, dan muncul sebagai perwujudan kearifan hakim. Dasar terwujudnya praperadilan menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP adalah sebagai berikut: “Mengingat bahwa demi kepentingan pemeriksaan perkara diperlukan adanya pengurangan-pengurangan dari hak-hak asasi tersangka, namun bagaimanapun
71
Ibid., hlm. 253-254.
56
hendaknya selalu berdasarkan ketentuan yang diatur dalam undang-undang, maka untuk
kepentingan
pengawasan
terhadap
perlindungan
hak-hak
asasi
tersangka/terdakwa diadakan suatu lembaga yang dinamakan praperadilan.” 72 Praperadilan merupakan bagian dari pengadilan negeri, yang diciptakan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi tersangka/terdakwa. Dan yang dimaksud dengan pengawasan adalah bagaimana alat negara penegak hukum menjalankan tugasnya, sampai sejauh mana sikap tindak mereka dalam menggunakan kewenangan yang diberikan undang-undang dan bagi pihak yang menjadi korban akibat sikap tindak yang tidak berdasarkan undang-undang yang berlaku itu, berhak untuk mendapatkan ganti rugi atau rehabilitasi. 73
1. Tugas Dan Susunan Praperadilan Menurut Pasal 77 KUHAP, pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang: a.
Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.
Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Selanjutnya, Pasal 78 ayat (1) menentukan bahwa yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 adalah praperadilan. 72
Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana cetakan ke-2 telah diperbaiki, Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1982, hlm. 114-115. 73 Ratna Nurul Afiah, Op.Cit., hlm. 75.
57
Di samping berwenang untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan, hakim praperadilan berwenang pula memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Selanjutnya wewenang hakim praperadilan adalah memeriksa dan memutus permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Yang dimaksud dengan ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 butir 22 KUHAP). Sedangkan rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 butir 23 KUHAP). Jadi permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi dapat diajukan pula saat perkara tersebut dalam: a.
Tingkat penyidikan
b.
Tingkat penuntutan
58
c.
Tingkat peradilan. 74 Mengenai susunan praperadilan, tercantum dalam pasal 78 ayat (2)
KUHAP yang menentukan bahwa sidang praperadilan dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang Panitera. KUHAP tidak mengatur bagaimana syarat pengangkatan hakim praperadilan dan dalam jangka waktu berapa tahun hakim praperadilan yang diangkat itu menjalankan tugasnya. Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk seorang atau lebih Hakim senior menjadi Hakim Praperadilan untuk jangka waktu satu tahun, diatur secara bergiliran/bergantian dan apabila keadaan mengizinkan, selama menjabat Hakim Praperadilan yang bersangkuta dibebaskan dari tugasnya mengadili perkara pidana, atau melihat keadaan jumlah hakim pada Pengadilan, apabila memang tidak mencukupi, dapat ditunjuk secara kasus per kasus (insidentil) tanpa bebas tugasnya. 75 Mengingat jumlah hakim yang ada di satu pengadilan negeri sangat terbatas, sedangkan perkara yang masuk cukup banyak, maka pada umumnya Ketua Pengadilan Negeri menunjuk seorang Hakim untuk memeriksa dan memutus permintaan pemeriksaan praperadilan secara insidentil, tanpa membebaskan tugasnya untuk memeriksa dan mengadili perkara pidana/perdata.
74 75
Ibid., hlm. 76. Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Op. Cit., hlm. 131.
59
2. Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Praperadilan Selanjutnya
mengenai
pihak-pihak
yang
dapat
mengajukan
praperadilan, menurut Pasal 79 KUHAP, permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya.
Menurut Pasal 80 KUHAP, permintaan
untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya. Menurut pasal 81 KUHAP, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat sah atau tidaknya penghentian atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya. Selanjutnya Pasal 95 ayat (2) menyebutkan bahwa tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77. Sedangkan mengenai rehabilitasi, Pasal 97 ayat (3) KUHAP menyebutkan
bahwa
permintaan
rehabilitasi
oleh
tersangka
atas
penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang
60
atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam pasal 77. Permintaan
pemeriksaan
praperadilan
diajukan
kepada
Ketua
pengadilan negeri yang berwenang. Dalam surat permohonan itu, Pemohon menyebutkan selaku apakah ia bertindak dalam permintaan pemeriksaan praperadilan yang diajukannya, menceritakan duduk perkaranya secara terperinci dan jelas serta menyebutkan apakah yang menjadi alasan si pemohon untuk mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan itu. Kemudian surat permohonan itu ditandatangani oleh orang yang bertindak secara langsung dalam permohonan itu. 76
3. Pejabat Yang Dapat Diajukan Praperadilan Berdasarkan Pasal 14 Tahun 1970, walaupun tidak ada peraturannya apabila Hakim melakukan penahanan yang bertentangan dengan undangundang, dapat diajukan praperadilan. Tetapi mengenai hal ini, Ketua Mahkamah Agung RI dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SE-MA) No. 14 Tahun 1983 tanggal 8 Desember 1983, menyatakan bahwa sehubungan dengan masih adanya pertanyaan yang diajukan ke sidang praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP, bersama ini diberitahukan bahwa mengenai hal ini Mahkamah Agung berpendapat bahwa seorang Hakim tidak dapat
76
Ratna Nurul Afiah, Op. Cit., hlm. 82-84.
61
diajukan praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP. Alasan Mahkamah Agung adalah, karena tanggung jawab juridis atas penahanan itu tetap ada pada masing-masing instansi yang melakukan penahanan (pertama) itu, dan apabila yang melakukan penahanan (pertama) itu adalah Hakim sendiri, maka penahanan itu adalah dalam rangka pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri dimana pasal 82 ayat (1) huruf d berlaku terhadapnya. Mahkamah Agung juga mengeluarkan SE-MA No.15 Tahun 1983, yang menyatakan bahwa seorang militer dapat diajukan praperadilan. Menurut Mahkamah Agung,yang menjadi dasar patokan untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang melaksanakan sidang praperadilan adalah status pelaku tindak
pidana
dan
bukan
status
pejabat
yang
melakukan
penangkapan/penahanan. Jadi apabila status si pelaku kejahatan adalah sipil, maka pengadilan yang berwenang melaksanakan sidang praperadilan adalah Pengadilan
Negeri,
meskipun
yang
didakwa
melakukan
penangkapan/penahanan secara tidak sah itu statusnya adalah militer. Berkaitan dengan hal tersebut, Jaksa yang dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu yang mempunyai acara khusus, dengan sendirinya dapat pula diajukan praperadilan. 77
77
Ibid., hlm. 85-87.
62
4. Acara Pemeriksaan Praperadilan Dalam surat permintaan pemeriksaan praperadilan dicantumkan; nama orang yang mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan, terhadap siapa, duduk perkara disertai dengan alasan-alasan permintaan dan apa yang diminta dalam pemeriksaan sidang praperadilan. Kapankah permintaan pemeriksaan praperadilan dapat diajukan? Undang-Undang tidak menyebutkan kapan permintaan pemeriksaan praperadilan itu diajukan, namun melihat ketentuan dari Pasal 82 ayat (1) huruf (d) KUHAP dapat diketahui bahwa permintaan pemeriksaan ppraperadilan itu diajukan sebelum perkara itu diperiksa di pengadilan negeri, sebab apabila sedang atau telah diperiksa maka permintan tersebut menjadi gugur. Bagaimana dengan tuntutan ganti kerugian, kapankah tuntutan itu dapat diajukan? Menurut Pasal 7 PP No. 27 Tahun 1983, dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf (b) KUHAP, maka jangka waktu 3 bulan dihitung dari saat pemberitahuan praperadilan. Dalam Memori Penjelasannya disebutkan bahwa pembatasan jangka waktu pengajuan ganti kerugian dimaksud agar penyelesaiannya tidak terlalu lama sehingga menjamin kepastian hukum. Sedangkan mengenai permintaan rehabilitasi menurut Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983, permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada
63
pengadilan yang berwenang, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada Pemohon. Dalam Memori Penjelasannya disebutkan bahwa apabila permintaan rehabilitasi diajukan bersama-sama dengan permintaan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP maka penetapan tentang rehabilitasi dicantumkan sekaligus dengan penetapan sah tidaknya penangkapan atau penahanan tersebut. Selanjutnya, setelah surat permintaan pemeriksaan praperadilan diterima dan dicatat dalam buku register perkara praperadilan di Bagian Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang bersangkutan, maka surat tersebut disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Kemudian berdasarkan Pasal 78 ayat (2) KUHAP, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk seorang hakim untuk memimpin sidang praperadilan dengan dibantu oleh seorang panitera. Dalam waktu tiga (3) hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang (Pasal 82 ayat (1) huruf (a) KUHAP), dan para pihak dipanggil untuk menghadap pada sidang praperadilan yang telah ditentukan itu. Sifat pemeriksaan praperadilan tercantum dalam Pasal 82 ayat (1) huruf (c) KUHAP, yang menyebutkan bahwa acara praperadilan dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh (7) hari hakim sudah harus menjatuhkan putusannya. Selanjutnya Pasal 82 ayat (1) huruf (d) KUHAP menyebutkan bahwa dalam hal suatu perkara sudah dimulai diperiksa oleh
64
pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur. Setelah mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan pada tingkat penyidikan, dapat pula diajukan pada tingkat penuntutan. Karena dalam Pasal 82 ayat (1) huruf (e) KUHAP disebutkan bahwa putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru. 78
5. Isi Putusan Praperadilan Menurut Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasardasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Demikian pula halnya dengan isi putusan praperadilan, yang tercantum dalam Pasal 82 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa putusan hakim adalah acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam pasa 79, pasal 80 dan pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya. Ayat (3) menyebutkan bahwa isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal-hal sebagai berikut:
78
Ibid., hlm. 88-92.
65
a.
Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;
b.
Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
c.
Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya.
d.
Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita. Menurut sifatnya dikenal 3 macam putusan:
a.
Putusan Declaratoir, bersifat menerangkan dan menegaskan suatu suatu keadaan hukum semata-mata.
b.
Putusan Constitutif, adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru.
66
c.
Putusan Condemnatoir, adalah putusan yang berisi penghukuman. 79 Melihat ketentuan mengenai isi putusan praperadilan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 82 ayat (2) dan ayat (3) nampaklah bahwa putusan praperadilan merupakan putusan yang bersifat declaratoir, yang pada dasarnya merupakan suatu putusan yang menegaskan bahwa seseorang mempunyai hak. Putusan Hakim bersifat declaratoir yang artinya menentukan sifat suatu keadaan dengan tidak mengandung perintah kepada suatu pihak untuk berbuat ini atau itu, tetapi pemohon terang mempunyai kepentingan atas adanya putusan ini, oleh karena ada akibat hukum yang nyata dan penting dari putusan ini. 80 Akhir dari suatu pemeriksaan di sidang praperadilan adalah saat Hakim menjatuhkan putusannya. Dalam menjatuhkan putusan, Hakim hanya memutus tentang apa yang diminta oleh Pemohon. Permohonan Pemohon dapat diterima seluruhnya atau diterima sebagian dan sebagian lagi ditolak, atau ditolak untuk seluruhnya. Isi putusan praperadilan sebelum memuat bunyi amar putusannya, terlebih dahulu menyebutkan pertimbangan Hakim mengenai faktor-faktor hukum yang dijadikan dasar dan alasan dalam menjatuhkan putusan
79
Retnowulan Sutanto, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung, 1980, hlm. 95. 80 R.Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1982, hlm. 126.
67
praperadilan dan memuat pula ketentuan yang sifatnya memerintahkan kepada pihak yang dikalahkan untuk berbuat sesuatu. 81
6. Pelaksanaan Putusan Praperadilan Pada dasarnya putusan hakim sudah dapat dijalankan apabila telah mempunyai
kekuatan
hukum
tetap.
Begitu
pula dengan
putusan
praperadilan. Namun demikian putusan yang dapat dijalankan adalah putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan si Pemohon baik seluruh atau sebagian. Melihat isi putusan sebagaimana tersebut dalam Pasal 82 ayat (3) KUHAP, nyatalah bahwa ada 3 (tiga) macam pelaksanaan putusan praperadilan, yaitu: a.
Melakukan perbuatan tertentu
b.
Melakukan pembayaran sejumlah uang
c.
Pemberian rehabilitasi. 82
7. Upaya Hukum Terhadap Putusan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia dikenal adanya uoaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa yakni banding dan kasasi dimuat dalam Bab XVII KUHAP, sedangkan upaya hukum luar biasa yaitu kasasi demi kepentingan umum
81 82
Ratna Nurul Afiah, Op. Cit., hlm. 95. Ibid, hlm. 99.
68
dan pemeriksaan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dimuat dalam Bab XVIII KUHAP. Terhadap putusan praperadilan apakah dapat dimintakan upaya-upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun luar biasa, diatur dalam Pasal 83 KUHAP yang berbunyi: (1) Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat dimintakan banding (2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. Melihat perumusan Pasal 83 KUHAP, nampaklah bahwa pada prinsipnya terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan upayaupaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Namun prinsip tersebut tidak bersifat mutlak, karena Pasal 83 ayat (2) KUHAP menentukan pengecualian, yaitu dalam hal hakim yang memimpin sidang praperadilan tersebut menetapkan bahwa penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan adalah tidak sah, penyidik dan penuntut umum diberikan kesempatan untuk mengajukan permintaan banding kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan, dan putusan banding ini merupakan putusan akhir. 83
83
Ibid., hlm. 102-103.
69
Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, dalam hal ini maka surat permintaan tersebut setelah diterima/dicatat dalam Register Kepaniteraan kemudian dikirim ke Pengadilan Tinggi dengan memperlakukan ketentuanketentuan pada acara permohonan banding, baik mengenai tenggang waktu serta tata cara lainnya. 84 Kehadiran lembaga praperadilan sama halnya dengan kehadiran KUHAP disambut dengan penuh kegembiraan oleh segenap bangsa Indonesia pada umumnya dan warga masyarakat pencari keadilan pada khususnya terutama warga masyarakat yang berstatus sebagai tersangka dan atau terdakwa. 85
B.
Penetapan Status Tersangka Sebagai Alasan Pengajuan Pra Peradilan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Di Indonesia Alasan untuk mengajukan tuntutan praperadilan sebagaimana diatur di
dalam pasal 77 yaitu: a.
Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.
Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Menyimak bunyi pasal 77 diatas maka yang menjadi alasan untuk
mengajukan suatu perkara sebagai perkara praperadilan yaitu:
84 85
Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Op. Cit., hlm. 130-131. HMA Kuffal, Op. Cit., hlm. 254.
70
1.
Mengenai sah tidaknya penangkapan, penahanan sebagaimana diatur dalam pasal 16 sampai dengan 31 KUHAP.
2.
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. Penghentian penyidikan atau penuntutan terdiri dari: a.
Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan “demi kepentingan hukum” yang artinya penghentian itu dilakukan berturut-turut oleh penyidik atau penuntut umum karena masih perlu menemukan bukti lain;
b.
Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan “demi hukum yang dapat terjadi karena untuk perkara yang bersangkutan: (1) Karena telah daluarsa (2) Karena tidak ada pengaduan pada delik aduan atau pengaduannya dicabut (3) Karena tersangka/terdakwa meninggal dunia (4) Karena keliru orangnya (error in persona) (5) Karena ne bis in idem (6) Karena bukan perkara pidana (7) Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum telah dicabut.
3.
Tindakan lain Yang dimaksud dengan tindakan lain sebagaimana yang dimaksud dengan penjelasan pasal 95 ayat (1) yaitu kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.
71
Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan. 4.
Ganti kerugian Tentang ganti kerugian perumusannya diatur dalam pasal 1 butir 22 KUHAP yaitu: “Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. 86 Kembali kepada Pasal 77 KUHAP yang dalam rumusannya menunjukkan
bahwa tidak semua tindakan-tindakan alat negara dalam hal ini penegak hukum yang berkenaan dengan hak asasi manusia itu dapatdiajukan praperadilan. Praperadilan sendiri berdasarkan Pasal 1 butir 10 KUHAP, merupakan wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang: a.
Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b.
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.
Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. 87
86 87
Moch. Faisal Salam, Op. Cit., hlm. 323-324. Ratna Nurul Afiah, Op. Cit., hlm. 74-75.
72
Tugas praperadilan di Indonesia memang terbatas. Dalam Pasal 78 yang berhubungan dengan Pasal 77 KUHAP dikatakan bahwa yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri memeriksa dan memutus tentang berikut: a.
Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.
Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Praperadilan dipimpin oleh Hakim Tunggal yang ditunjuk oleh ketua
pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang Panitera. Dalam Pasal 79. 80, 81 diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal pokok, yaitu sebagai berikut: a.
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
b.
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum, pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
c.
Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
73
Dalam penjelasan undang-undang, hanya Pasal 80 yang diberi komentar yaitu bahwa pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal. 88 Sehingga dapat penulis simpulkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, perihal sah tidaknya penetapan status tersangka baik oleh Penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia maupun pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, sebagai contoh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah bukan merupakan objek praperadilan dan bukan pula wewenang pengadilan untuk mengadili.
C.
Kasus
Dan
Analisis
Kasus
(Studi
Putusan
Nomor:
04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel – Pra Peradilan Budi Gunawan) 1. Kasus a.
Data Perkara Pada
studi
putusan
dengan
putusan
yang
bernomor
04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel yang merupakan putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang menjadi identitas para pihak antara lain: Komisaris Jenderal Polisi Drs. BUDI GUNAWAN, SH., Msi., beralamat di Jalan Duren Tiga Barat VI No. 21, Pancoran, Jakarta Selatan, dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yang bernama
88
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 189-190.
74
DR. Agung Makbul, Drs., SH., MH., Ricky HP. Sihotang, SH., Anwar Efendi, SIK, SH., MH., Deddy Sudarwandi, SH., MBA, Fidian Suprihati, SH., MH., Sis Mulyono, SH., MH., Adri Efendi, SH., MH., Binsan Simarangkir, SH., Syahril, SH., Bambang Wahyu Broto, SH., Tonika Alfatawira, SH., Partoyo SH., MHum., DR. Maqdir Ismail, SH., LL.M, Ignatius Supriyadi, SH., Marselinus K. Rajasa, SH., LL.M, Banuara Manurung, SH,, MH., Dr. R.M. Panggabean, SH., MH., Hertanto, SH., Sayed Muhammad Muliady, SH., Yanuar P. Wasesa, SH., M.Si, MH., Joel Baner Toendan, SH., MH., Meike Wirdiati, SH., MH., Yulius Irawansyah, SH., MH., Dr. Fredrich Yunadi, SH., LL.M, Dr. Rico Pandeirot, SH., LL.M, Aryanto Sutadi, SH., MH., berdasarkan Surat Perintah Kapolri Nomor: B/120/I/2015 tanggal 19 Januari 2015, Surat Tugas Kapolri Nomor: B/4/I/2015 tanggal 16 Januari 2015, dan Surat Kuasa Khusus tanggal 23 Januari 2015 yang dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Divisi Hukum Polri Jalan Trunojoyo Nomor 3 Kebayoran Jakarta Selatan, selanjutnya disebut sebagai ….………........... PEMOHON ; TERHADAP: Komisi Pemberantasan Korupsi/ KPK cq. Pimpinan KPK, beralamat di Jl. HR Rasuna Said Kav C-1, Setiabudi, Jakarta Selatan (12920), dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yang bernama Chatarina M. Girsang, SH., SE., MH., Nur Chusniah, SH., MHum., Rasamala Aritonang, SH., MH., Rini Afriyanti, SH., MKn, Indah
75
Oktianti Sutomo, SH., MHum., Juliandi Tigor Simanjuntak, SH., MH., Mr. (Droit) Anatomi Muliawan, SH., Indra Mantong Batti, SH., LL.M, Suryawulan, SH., MH., R. Natalia Kristianto, SH., Mia Suryani Siregar, SH., masing-masing selaku pegawai KPK berkedudukan di Jakarta, beralamat di Jalan H.R. Rasuna Said Kavling C-1, Jakarta Selatan 12920, berdasarkan Surat Kuasa Nomor SKS-05/01-55/01/2015 tanggal 29
Januari
2015,
selanjutnya
disebut
sebagai
…………………………………………..………………. TERMOHON ; TENTANG DUDUKNYA PERKARA Menimbang,
bahwa
Pemohon
telah
mengajukan
Permohonan
Praperadilan secara tertulis dengan suratnya tertanggal 26 Januari 2015 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 26 Januari 2015 di bawah Register Perkara Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel., telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut : b. Kronologi Kasus Pemohon
adalah
anggota
Kepolisian
Republik
Indonesia
(selanjutnya disebut sebagai “Polri”). Mengawali kariernya di institusi Polri sejak lulus dari Akademi Kepolisian pada Tahun 1983, hingga sampai Tahun 2015 ini, Pemohon telah menjadi perwira tinggi Polri dengan pangkat Komisaris Jenderal Polisi, serta menjabat sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian RI (Kalemdikpol Polri).
76
Sebagaimana diberitakan secara luas di media massa, Presiden Republik Indonesia telah mengeluarkan Surat Presiden Republik Indonesia Nomor : R-01/Pres/01/2015 tertanggal 9 Januari 2015, perihal Pemberhentian dan Pengangkatan Kapolri (selanjutnya disebut sebagai “Surat Presiden RI”), yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (“DPR RI”). Pada pokoknya Surat Presiden RI tersebut berisi permintaan persetujuan kepada DPR RI untuk mengangkat Pemohon sebagai Pejabat Kepala Kepolisian Republik
Indonesia
(selanjutnya
disebut
sebagai
“Kapolri”)
menggantikan Bapak Jendral Polisi Sutarman. Pemohon pada tanggal 14 Januari 2015, telah memenuhi undangan/ panggilan dari DPR RI untuk menjalani fit & proper test (in casu, Uji Kelayakan & Kepatutan) sebelum DPR RI mengambil keputusan untuk memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Surat Presiden RI a quo. Sebagaimana diberitakan secara luas di media massa, pada tanggal 13 Januari 2015 Termohon mengumumkan pada khalayak ramai dalam press conference (jumpa pers/pemberian keterangan di depan media massa) bahwa Termohon telah menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau 12 B UU Tipikor, dimana dikatakan oleh Termohon bahwa hal itu sehubungan dengan dugaan terjadinya transaksi mencurigakan/ tidak wajar dan/atau dugaan
77
penerimaan hadiah atau janji. Dalam hal ini, Termohon tidak pernah memberikan pemberitahuan atau surat apapun kepada Pemohon yang berhubungan dengan keterangan mengenai persangkaan pasal-pasal dan peristiwa pidana yang mengakibatkan Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka. Juga dalam keterangannya di media massa, dikatakan oleh Termohon bahwa penyelidikan perkara tersebut telah dilakukan sejak bulan Juli Tahun 2014, namun baru pada hari Senin tanggal 12 Januari 2015 diyakini oleh Termohon bahwa ada tindak pidana dimaksud yang dilakukan oleh Pemohon pada periode Tahun 2004 – 2006 saat Pemohon menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier SDM Mabes Polri. Namun di sisi lain juga dikatakan oleh Termohon bahwa telah pernah dilakukan expose perkara dimaksud pada Tahun 2013. Pemohon sama sekali tidak pernah dimintai keterangan oleh Termohon, sejak kurun waktu 2004-2006, 2010, 2013 dan 2014. Lebih lanjut, penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon tersebut ditindaklanjuti dengan upaya pencegahan terhadap diri Pemohon oleh Termohon. Tidak berhenti sampai di situ, Termohon juga melakukan upaya pencegahan terhadap anak dari Pemohon. Akan tetapi pada kenyataannya terhadap Pemohon telah ditetapkan terlebih dahulu sebagai Tersangka baru kemudian Termohon mencari bukti-bukti dengan memanggil para saksi dan melakukan
78
penyitaan terhadap rekening-rekening yang berhubungan dengan Pemohon. Termohon adalah sebuah lembaga yang dibentuk berdasarkan UU KPK. Dalam pelaksanaan tugas maupun wewenangnya, Termohon direpresentasikan oleh Pimpinan KPK sebagai penanggung jawab tertinggi, dimana berdasarkan Pasal 21 jo. Pasal 39 ayat (2) UU KPK, Pimpinan KPK terdiri dari 5 (lima) Komisioner yang bekerja secara kolektif. Hal mana sampai dengan saat dikeluarkannya Surat Presiden RI, dikeluarkannya penetapan sebagai Tersangka, dilaksanakannya Fit and Proper Test oleh DPR RI, hingga tanggal Permohonon Praperadilan ini, Pimpinan KPK/Termohon hanya berjumlah 4 (empat) orang. Oleh karena itu segala keputusan yang diambil oleh Pimpinan KPK in casu, termasuk penetapan Pemohon sebagai Tersangka harus didasarkan pada keputusan 5 (lima) komisioner KPK, dengan demikian keputusan yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka pada hari Selasa, tanggal 13 Januari 2015 cacat yuridis. c.
Alasan Pemohon Mengajukan Praperadilan 1)
Termohon Tidak Mempunyai Kewenangan untuk Melakukan Penyelidikan
dan
Penyidikan
Tindak
Pidana
Korupsi
Terhadap Pemohon Bahwa jabatan Karobinkar tersebut, tidak termasuk dalam pengertian dari pihak-pihak/jabatan yang disebutkan dalam Pasal 11 UU KPK, sehingga perbuatan Pemohon dalam jabatannya
79
sebagai Karobinkar tidak menjadi bagian dari tindak pidana korupsi yang dapat ditangani oleh Termohon, karena (i) jabatan Karobinkar bukan merupakan aparat penegak hukum, dimana Karobinkar tidak memiliki kewenangan sebagai penyelidik/penyidik (aparat penegak hukum), dan (ii) jabatan tersebut tidak termasuk dalam pengertian sebagai penyelenggara negara mengingat jabatan tersebut bukan termasuk eselon satu. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UndangUndang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (“UU KKN”), yang termasuk penyelenggara negara adalah (1) pejabat negara pada Lembaga Tertinggi Negara, (2) pejabat negara pada Lembaga Tinggi Negara, (3) Menteri, (4) gubernur, (5) hakim, (6) pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan (7) pejabat lain yang memiliki fungsi setrategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan, pejabat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 7 UU KKN dijabarkan dalam penjelasannya antara lain, Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagaimana telah disampaikan bahwa jabatan Karobinkar merupakan jabatan yang dipegang oleh pejabat Eselon II, maka Karobinkar tidak termasuk dalam pengertian penyelenggara negara.
80
2) Pengambilan Keputusan Oleh Termohon Untuk Menetapkan Pemohon Sebagai Tersangka Adalah Tidak Sah Karena Tidak Dilaksanakan Berdasarkan Hukum Sebagaimana Diatur Dalam Pasal 21 UU KPK, Serta Melanggar Asas Kepastian Hukum yang menjadi Prinsip Fundamental Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Termohon. Bahwa penetapan seseorang menjadi Tersangka oleh Termohon, adalah salah satu bentuk nyata dari pengambilan keputusan oleh Termohon. Sehingga penetapan menjadi Tersangka dimaksud, terikat pada Aturan Dasar sebagaimana disebutkan di atas. Pada faktanya, pengambilan keputusan untuk menetapkan Pemohon menjadi Tersangka, dilakukan sekitar tanggal 12 Januari 2015, sebagaimana diuraikan pada bagian fakta-fakta di atas. Pada tanggal tersebut, jumlah Pimpinan Termohon bukan 5 (lima) orang, melainkan hanya 4 (empat) orang. Berdasarkan hal tersebut, maka pengambilan
keputusan
atau
penetapan
Pemohon
menjadi
Tersangka oleh Termohon dilakukan tidak sesuai dengan Aturan Dasarnya (in casu, Melanggar Aturan Dasarnya atau Tidak Berdasarkan Hukum). Oleh karenanya, Penetapan dimaksud adalah Tidak Sah dan Tidak Mempunyai Kekuatan Mengikat. Pelanggaran terhadap Aturan Dasar pengambilan keputusan a quo, adalah sekaligus sebagai bentuk pelanggaran terhadap asas yang fundamental dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Termohon,
81
tepatnya asas Kepastian Hukum (vide Pasal 5 huruf a UU KPK). Oleh karenanya semakin jelas, bahwa menurut hukum Penetapan dimaksud sesungguhnya adalah Tidak Sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. 3) Penggunaan
Wewenang
Termohon,
Menetapkan
Status
Tersangka Terhadap Diri Pemohon, Dilakukan Untuk Tujuan Lain Di Luar Kewajiban Dan Tujuan Diberikannya Wewenang Termohon Tersebut. Hal Itu Merupakan Suatu bentuk Tindakan Penyalahgunaan Wewenang atau Abuse of Power. Bahwa
namun
wewenangnya terkait
demikian, proses
dalam
penyidikan,
melaksanakan
khususnya dalam
menetapkan status Pemohon menjadi Tersangka, ternyata hal itu dilakukan oleh Termohon dengan tujuan lain di luar tujuan yang harus selaras dengan kewajibannya, maupun asas yang fundamental pelaksanaan
wewenangnya.
Hal
tersebut
dapat
dibuktikan
berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan sebelumnya di atas, tepatnya: a) Penetapan status Tersangka (Pemohon), dilakukan melalui proses pengambilan keputusan oleh Termohon tidak sesuai dengan ketentuan hukum dan/atau Melanggar Aturan Dasarnya atau Tidak berdasarkan hukum dan melanggar asas kepastian hukum (vide uraian bagian B.1 di atas);
82
b) Penetapan status Tersangka (Pemohon) dilakukan dengan dilandasi
oleh
semangat
untuk
“mengambil
alih”
atau
“mengintervensi” atau “mempengaruhi” hak prerogatif Presiden RI dalam menentukan calon Kapolri yang selanjutnya akan dimintakan persetujuannya kepada DPR RI. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan Termohon yang sangat tendensius dan terkesan sangat arogan, yang pada pokoknya seolah-olah Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan harus meminta pendapat kepada KPK untuk menentukan seseorang sebagai Pejabat Negara padahal ketentuan tersebut tidak diatur dalam konstitusi RI dan bertentangan dengan hak prerogratif Presiden RI. Termohon sendiri telah mengetahui, dan mengerti bahwa berdasarkan perundang-undangan yang berlaku sehubungan dengan pemberhentian Pejabat Kapolri dan pengangkatan Pejabat Kapolri baru, yakni dalam ketentuan UU Polri, proses penunjukan calon Kapolri untuk dimintakan persetujuan kepada DPR RI adalah mutlak wewenang Presiden (vide Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Polri). Tegasnya, permasalahan tersebut berada di luar batas wewenang maupun tanggung jawab Termohon, bahkan sama sekali bukan wewenang maupun tanggung jawab Termohon. Akan tetapi, Termohon terlihat memaksa untuk dilibatkan.
83
Hal-hal tersebut di atas, jelas merupakan tindakan Termohon yang tidak sesuai dengan tujuan didirikannya Termohon serta diberikannya wewenang kepada Termohon untuk menetapkan seseorang sebagai Tersangka oleh UU KPK, sekaligus melanggar asas Kepastian Hukum yang menjadi fundamental pelaksanaan tujuan dan wewenang Termohon sebagaimana disebutkan diatas. 4) Keputusan Termohon untuk menetapkan status Pemohon Sebagai Tersangka, tanpa pernah sama sekali memanggil dan atau meminta keterangan Pemohon secara resmi, adalah Tindakan Yang Bertentangan Dengan Asas Kepastian Hukum Yang Menjadi Fundamen Pelaksanaan Wewenang Termohon Berdasarkan UUKPK. Bahwa dalam kenyataannya, penetapan status Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon sama sekali tidak pernah didahului dengan proses pemanggilan serta permintaan keterangan terhadap diri Pemohon, baik di tingkat penyelidikan maupun di tingkat penyidikan. Padahal, dilihat dari Pasal yang disangkakan kepada Pemohon (in casu, Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau 12 B UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP) adalah pasal-pasal yang tergolong sebagai tindakan menerima suap dan menerima gratifikasi. Adalah hal yang sangat tidak patut / dan di luar kewajaran apabila terhadap diri Pemohon tidak pernah
84
dimintai klarifikasi/ keterangan sama sekali atas indikasi/sangkaan menerima suap/gratifikasi (in casu, Menurut keterangan Termohon dalam pemberitaan di media massa, hal itu terkait ”aliran dana” atau ”transaksi mencurigakan” dalam rekening Pemohon dan dalam periode tahun 2004 – 2006 saat Termohon menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier SDM Mabes Polri) baik selama penyelidikan maupun penyidikan. Bahwa Termohon membiarkan dirinya mengambil keputusan menetapkan
Pemohon
sebagai
Tersangka
tanpa
pernah
mengkonfirmasi kepada Pemohon ”aliran dana” maupun ”transaksi mencurigakan” dalam rekening Pemohon. Jika hal ini dianggap patut, maka tentunya hal tersebut dapat membawa akibat yang sangat “menyeramkan” di kemudian hari, yakni bisa saja setiap orang (in casu, Pegawai Negeri maupun Pejabat Negara) yang ”tidak disukai” akan ditetapkan menjadi Tersangka hanya dengan melihat adanya aliran dana transfer uang di rekeningnya, tanpa perlu dimintai keterangan dari yang bersangkutan. Padahal bisa jadi aliran dana itu berasal dari sebuah peristiwa atau transaksi yang wajar (misal: hasil jual beli tanah atau rumah atau titipan atau kesalahan transfer dari pihak ketiga). Di samping itu, dari beberapa berita di media, diperoleh informasi bahwa Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka berdasarkan alat bukti yang berupa Laporan Hasil Analisis (LHA) dari PPATK. Jika benar
85
ada LHA tersebut, maka darimana dan dengan cara bagaimana LHA tersebut dapat diperoleh oleh Termohon? Menurut peraturan perundang-undangan
(Undang-Undang
No.
15
tahun
2002
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang), aparat penegak hukum yang mempunyai wewenang untuk meminta/menerima LHA dari PPATK pada waktu itu adalah Penyidik Polri dan/atau Kejaksaan. Terkait dengan sangkaan atas tindak pidana yang saat ini dipersangkakan terhadap Pemohon pada dasarnya telah dilakukan penyelidikan oleh Polri pada tahun 2010 berdasarkan LHA yang diberikan oleh PPATK kepada Polri. Namun dari hasil penyelidikan tersebut, tidak ditemukan adanya unsur tindak pidana pencucian uang dan/atau korupsi, sehingga kasus tersebut tidak diteruskan dalam tingkat penyidikan. Apabila LHA yang digunakan sebagai dasar bagi Termohon untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tersebut berasal dari PPATK dan merupakan LHA yang sama dengan yang diterima oleh Polri dari PPATK pada tahun 2009, maka persoalannya adalah bagaimana LHA yang telah dilakukan penyelidikannya oleh Polri dapat beralih ke Termohon tanpa ada proses penyerahan dari Penyidik Polri dan tanpa menempuh proses koordinasi, supervisi atau pengambilalihan sebagaimana diatur dan ditentukan dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU KPK. Terlebih lagi dalam Kesepakatan Bersama Antara
86
Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor: KEP-049/A/J.A/03/2012, Nomor: B/23/III/2012, Nomor: SRI-39/01/03/2012, tanggal 29 Maret 2012, yaitu pasal 8 ayat (1), ditentukan bahwa “Dalam hal PARA PIHAK melakukan penyelidikan pada sasaran yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan, maka penentuan instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyelidikan atau atas kesepakatan PARA PIHAK”. Dengan demikian, jelaslah bahwa penyelidikan yang dilakukan oleh Termohon terkait dengan LHA yang dikeluarkan oleh PPATK tersebut adalah melanggar hukum, dan oleh karenanya penentuan Pemohon sebagai Tersangka dalam penyidikan yang merupakan kelanjutan dari proses penyelidikan yang melanggar hukum tersebut, adalah tidak sah. Setelah penetapan Pemohon sebagai Tersangka secara sewenang-wenang dan melanggar hukum tersebut, ternyata Termohon baru kemudian memanggil saksi-saksi untuk meminta keterangan terkait dengan LHA dari PPATK. Tindakan Termohon yang baru melakukan pemeriksaan terhadap
saksi-saksi setelah
proses penetapan
Pemohon sebagai Tersangka, membuktikan bahwa penetapan Tersangka tidak didasarkan pada dua alat bukti sebagai bukti
87
permulaan yang cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 UU KPK. d. Jawaban/ Tanggapan Termohon Jawaban/Tanggapan Termohon A. Dalam Eksepsi 1.
Objek Permohonan Praperadilan Bukan Kewenangan Hakim Praperadilan
2.
Permohonan Praperadilan Prematur
3.
Petitum Permohonan Praperadilan Tidak Jelas (Obscuur Libel) Dan Saling Bertentangan Satu Dengan Yang Lainnya.
B. Dalam Pokok Perkara 1.
Termohon
Mempunyai
Kewenangan
Untuk
Melakukan
Penyelidikan Dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemohon. 2.
Pengambilan Keputusan Oleh Termohon Untuk Menetapkan Pemohon Sebagai Tersangka Adalah Sah Karena Dilaksanakan Berdasarkan Hukum Sebagaimana Diatur Dalam Pasal 21 UU KPK Serta Telah Sesuai Dengan Asas Kepastian Hukum Yang Menjadi
Prinsip
Fundamental
Pelaksanaan
Tugas
Dan
Wewenang Termohon. 3.
Penggunaan Kewenangan Termohon Dalam Penetapan Status Tersangka Terhadap Diri Pemohon Telah Sesuai Dengan Tujuan
88
Diberikannya Wewenang Kepada Termohon Sehingga Bukan Merupakan Penyalahgunaan Wewenang 4.
Keputusan Termohon Untuk Menetapkan Pemohon Sebagai Tersangka Adalah Tindakan Yang Berdasarkan Asas Kepastian Hukum Yang Menjadi Fundamen Pelaksanaan Wewenang Termohon Berdasarkan UU KPK.
e. Para Saksi dan Saksi Ahli Keterangan Saksi dan Keterangan Saksi Ahli Pemohon Para Saksi 1.
Saksi Irsan, S.I.K., Msi.
2.
Saksi Hendi Kurniawan
3.
Saksi Budi Wibowo, SH, SIK
4.
Saksi Hasto Kristianto
Para Saksi Ahli 1.
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LL.M
2.
Prof. Dr. I. GDE Pantja Astawa, SH, MH
3.
Dr. Margarito Kamis, SH, M.Hum
4.
Dr. Chairul Huda, SH. MH
Keterangan Saksi dan Keterangan Ahli Termohon Para Saksi 1.
Iguh Sipurba, AK
2.
Anhar Darwis
89
3.
Wahyu Dwi Raharjo
4.
Demaz Adiputra
Para Saksi Ahli
f.
1.
Dr. Zainal Arifin Mochtar, SH, MH
2.
Dr. Bernard Arief Sidharta, SH
3.
Junaedi, SH, Msi, LL.M
4.
Adnan Pasliadja, SH
Pertimbangan Hakim TENTANG HUKUMNYA DALAM EKSEPSI Dalam Eksepsi, yang menjadi pertimbangan Hakim secara garis besar antara lain adalah: 1.
Objek permohonan praperadilan bukan kewenangan Hakim Praperadilan. Menimbang, bahwa larangan bagi Hakim menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara dengan dalih atau alasan bahwa hukumnya tidak ada, tentunya melahirkan kewenangan yang diberikan kepada Hakim untuk menetapkan hukum yang semula hukumnya tidak ada menjadi ada atau yang semula hukumnya kurang jelas menjadi jelas ; Menimbang, bahwa dari rumusan pengertian praperadilan pada pasal 1 angka 10 KUHAP dan norma hukum pengaturan
90
kewenangan praperadilan sebagaimana tercantum dalam pasal 77 KUHAP dapat disimpulkan keberadaan Lembaga Praperadilan adalah sarana atau tempat menguji tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam tingkat penyidikan dan penuntutan, apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik pada tingkat penyidikan dan oleh penuntut umum pada tingkat penuntutan sudah dilakukan menurut ketentuan dan tata cara yang diatur dalam undang-undang atau tidak ; Menimbang, bahwa segala tindakan Penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan Penuntut Umum dalam proses penuntutan yang belum diatur dalam pasal 77 jo. pasal 82 ayat (1) jo. pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, ditetapkan menjadi objek praperadilan dan lembaga hukum yang berwenang menguji keabsahan segala tindakan Penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan Penuntut Umum dalam proses penuntutan adalah Lembaga Praperadilan ; Menimbang, bahwa terkait langsung dengan permohonan Pemohon, karena “Penetapan Tersangka” merupakan bagian dari rangkaian tindakan Penyidik dalam proses penyidikan, maka lembaga hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka” adalah Lembaga Praperadilan; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka eksepsi Termohon tentang hal ini haruslah ditolak ;
91
2.
Permohonan Praperadilan prematur. Menimbang, bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan bahwa segala tindakan Penyidik dalam proses pada tingkat penyidikan dan segala tindakan Penuntut Umum dalam proses pada tingkat penuntutan adalah merupakan tindakan upaya hukum paksa, karena telah menempatkan dan menggunakan label “Pro Justisia” pada setiap tindakan ; Menimbang, bahwa dengan demikian eksepsi Termohon tentang hal ini haruslah ditolak ;
3.
Petitum Permohonan Praperadilan tidak jelas (obscuur libel) dan saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Menimbang, bahwa eksepsi Termohon tersebut pada angka 3 di atas hanya dikenal dalam Hukum Acara Perdata, oleh karenanya eksepsi Termohon tentang hal ini tidak perlu dipertimbangkan dan harus dikesampingkan ; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbanganpertimbangan di atas, maka seluruh eksepsi dari Termohon harus dinyatakan ditolak, dan dengan putusan ini Pengadilan Negeri menetapkan bahwa “sah atau tidaknya Penetapan Tersangka” merupakan objek praperadilan ;
92
DALAM POKOK PERKARA Dalam Pokok Perkara, yang menjadi pertimbangan Hakim secara garis besar antara lain adalah: Menimbang, bahwa dasar dan alasan hukum yang pertama dari Pemohon dalam mengajukan Permohonan Praperadilan ini adalah : “Termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan Tindak Pidana Korupsi terhadap Pemohon“ ; Menimbang, bahwa pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 memberikan batasan mengenai orangorang sebagai subjek hukum pelaku Tindak Pidana Korupsi yang menjadi kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi, yaitu : •
Aparat penegak hukum ;
•
Penyelenggara negara ;
•
Orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan
oleh
aparat
penegak
hukum
atau
penyelenggara negara ; Menimbang, bahwa undang-undang tidak memberikan penjelasan tentang pengertian dari “aparat penegak hukum” dan juga tidak menjelaskan tentang siapa saja yang termasuk aparat penegak hukum;
93
Menimbang, bahwa secara harfiah aparat penegak hukum dapat diartikan sebagai aparat negara yang diberi wewenang oleh undang-undang melaksanakan tugas-tugas penegakan hukum ; Menimbang, bahwa selanjutnya timbul pertanyaan, apakah Pemohon termasuk orang-orang sebagai subjek hukum pelaku Tindak Pidana Korupsi yang menjadi kewenangan KPK (Termohon) untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi ? Menimbang, bahwa lebih lanjut dalam bukti P-14 tersebut di atas disebutkan pula bahwa jabatan Karo Binkar adalah suatu jabatan di bawah Deputi Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia yang merupakan unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf, dan bukan aparat penegak hukum, karena jabatan Karo Binkar tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tugas-tugas penegakan hukum ; Menimbang,
bahwa
walaupun
dalam
jawabannya
Termohon telah menyatakan bahwa Termohon telah memaparkan bukti-bukti kualifikasi Pemohon sebagai Aparat Penegak Hukum atau Penyelenggara Negara, namun sepanjang pemeriksaan perkara ini bukti-bukti dimaksud tidak pernah diajukan oleh Termohon, sehingga Pengadilan Negeri berkesimpulan bahwa Termohon tidak dapat membuktikan bahwa Pemohon saat
94
menjabat sebagai Karo Binkar adalah sebagai Aparat Penegak Hukum dan atau Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 11 huruf a UndangUndang KPK ; Menimbang, bahwa saat Pemohon menjabat sebagai Karo Binkar, masyarakat sama sekali tidak mengenal Pemohon, dan masyarakat baru mengenal Pemohon saat Pemohon ditetapkan sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden Republik Indonesia, dan saat Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon, tepat sehari sebelum Pemohon mengikuti fit and proper test di DPR, sehingga kualifikasi mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 huruf b Undang-Undang KPK pun tidak terpenuhi ; Menimbang,
bahwa
berdasarkan
pertimbangan-
pertimbangan tersebut, ternyata Pemohon bukanlah subjek hukum pelaku Tindak Pidana Korupsi yang menjadi kewenangan KPK (Termohon) untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 Undang-Undang KPK, maka proses penyidikan yang dilakukan
oleh
Penyidik
KPK
terkait
peristiwa
pidana
sebagaimana dimaksud dalam Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang 31 Tahun
95
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. UndangUndang 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan aquo tidak mempunyai kekuatan mengikat ; Menimbang, bahwa oleh karena proses penyidikan yang dilakukan oleh Termohon tidak sah, dan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka adalah merupakan hasil dari penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik dari KPK (Termohon), maka terhadap Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tersebut pun harus dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan aquo tidak mempunyai kekuatan mengikat ; Menimbang,
bahwa
dengan
demikian
maka
segala
keputusan dan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan hasil penyidikan dan Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon adalah tidak sah ; Menimbang, bahwa walaupun dalam petitumnya pihak Pemohon tidak meminta agar Penetapan Pemohon sebagai Tersangka yang dilakukan oleh Termohon dinyatakan tidak sah,
96
namun dalam petitum subsidairnya Pemohon telah mohon agar Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya ; Menimbang, bahwa oleh karena proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik KPK berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 telah dinyatakan tidak sah, maka Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon pun harus dinyatakan tidak sah ; Menimbang pertimbangan
bahwa,
tersebut
di
berdasarkan atas,
pertimbangan-
maka Pengadilan
Negeri
menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dan menolak selebihnya ; Menimbang, bahwa oleh karena Permohonan Praperadilan Pemohon dikabulkan untuk sebagian, maka sudah seharusnya biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Negara yang hingga kini ditaksir sebesar nihil ;
4.
Putusan
MENGADILI
DALAM EKSEPSI : • Menolak Eksepsi Termohon untuk seluruhnya ; DALAM POKOK PERKARA :
97
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon Praperadilan untuk sebagian ; 2. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan aquo tidak mempunyai kekuatan mengikat ; 3. Menyatakan
Penyidikan
yang
dilaksanakan
oleh
Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP
98
adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penyidikan aquo tidak mempunyai kekuatan mengikat ; 4. Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah ; 5. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon ; 6. Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar nihil ; 7. Menolak Permohonan Pemohon Praperadilan selain dan selebihnya.
Demikian putusan ini dijatuhkan pada hari SENIN, tanggal 16 FEBRUARI 2015, oleh : H. SARPIN RIZALDI, SH., MH., Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, putusan tersebut diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Hakim tersebut dengan dibantu oleh : AYU TRIANA LISTIATI, SH., MH., Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri tersebut, dengan dihadiri oleh Kuasa Pemohon serta Kuasa Termohon.-
99
PANITERA PENGGANTI,
HAKIM tersebut,
AYU T. L, SH., MH.
H. SARPIN R, SH., MH.
2. Analisa Kasus Dalam persidangan perkara praperadilan penamaan para pihak yang berperkara oleh KUHAP tidak diberikan secara jelas, bahkan dari beberapa pasal KUHAP yang mengatur tentang praperadilan , untuk pihak yang mengajukan pemeriksaan digunakan atau dicantumkan istilah secara tidak konsisten, misalnya dalam KUHAP pasal 79,80,81,82 ayat (1) huruf a,d,e tercantum istilah permintaan, yang berarti pihak yang mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan dinamakan sebagai “peminta”, sedangkan dalam KUHAP pasal 82 ayat (1) huruf b tercantum istilah “pemohon” dan dalam KUHAP pasal 95 digunakan istilah “menuntut” dan “tuntutan”. Akan tetapi dalam praktik, istilah yang pada umumnya lazim digunakan adalah istilah permohonan, pemohon dan termohon. 89 Dalam Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel atau yang dikenal luas di masyarakat dengan kasus Budi Gunawan, yang menjadi pihak Pemohon adalah Komisaris Jenderal Polisi Drs. Budi Gunawan, SH., Msi., dan yang menjadi pihak Termohon adalah Komisi Pemberantasan Korupsi cq. Pimpinan KPK. 89
H.M.A Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang Press, Malang, 2008, hlm. 254-255.
100
Permohonan pemeriksaan praperadilan dapat diajukan oleh baik tersangka maupun keluarga atau kuasanya. Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya. Dalam Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel atau yang dikenal luas di masyarakat dengan kasus Budi Gunawan, permohonan pemeriksaan praperadilan diajukan oleh Budi Gunawan sendiri selaku Tersangka. Dalam hal ini, Budi Gunawan merupakan salah satu pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan pemeriksaan praperadilan. Pemohon (tersangka, keluarga, pihak yang berkepentingan atau kuasa hukumnya) mengajukan permintaan/permohonan pemeriksaan praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang yaitu pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi domisili (kantor) aparat penegak hukum (penyidik/penuntut umum) yang diajukan sebagai Termohon, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP pasal 79, 80 dan 81. Dalam Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel atau yang dikenal luas di masyarakat dengan kasus Budi Gunawan, domisili KPK selaku Termohon adalah di Jakarta Selatan dan daripada itu, pengadilan negeri tempat digelarnya pemeriksaan praperadilan adalah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sehingga telah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 79, 80 dan 81 KUHAP. Menurut Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP ditegaskan bahwa pemeriksaan praperadilan dilakukan secara cepat (acara pemeriksaan cepat)
101
dan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari hakim yang memeriksa perkara praperadilan harus sudah menjatuhkan putusannya. Dalam Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel atau yang dikenal luas di masyarakat dengan kasus Budi Gunawan, Surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tentang penunjukan Hakim tertanggal 26 Januari 2015, sementara putusan dijatuhkan pada hari Senin, tanggal 16 Februari 2015. Maka dapat diketahui bahwa pada kasus ini, acara pemeriksaan cepat tidak terwujud, karena putusan dijatuhkan lebih dari 7 (tujuh) hari. Pemeriksaan praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera (pasal 78 ayat (2) KUHAP). Dalam Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel atau yang dikenal luas di masyarakat dengan kasus Budi Gunawan, hakim praperadilan selaku hakim tunggal adalah Sarpin Rizaldi, sementara yang menjadi panitera praperadilan adalah Ayu Triana Listiati. Mengenai bentuk putusan, putusan praperadilan adalah berbentuk penetapan. Hal ini berdasarkan pasal 96 ayat (1) KUHAP jo. Peraturan No. 27 Tahun 1983 pasal 7 ayat (2), pasal 10 dan pasal 14 ayat (2). Dalam Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel atau yang dikenal luas di masyarakat dengan kasus Budi Gunawan, selain berbentuk penetapan, boleh dikatakan putusan praperadilannya juga bersifat deklarator, yakni putusan yang berisi pernyataan.
102
Mengenai isi putusan, putusan hakim praperadilan memuat uraian pertimbangan secara jelas mengenai dasar alasan (factual grounds) yaitu mengenai fakta-fakta yang terbukti dan dasar hukum (legal grounds) yaitu ketentuan hukum yang melandasi amar putusannya. Dalam Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel atau yang dikenal luas di masyarakat dengan kasus Budi Gunawan, telah dimuat dasar alasan mengenai fakta-fakta yang terbukti (factual grounds) dan dasar hukumnya (legal grounds), sedangkan isi amar putusan (dictum) adalah jawaban terhadap petitum, yang berupa Permohonan Praperadilan Dikabulkan dengan bunyi: Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah. Pada Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel atau yang dikenal luas di masyarakat dengan kasus Budi Gunawan, ada hal yang sangat menjadi sorotan berbagai kalangan, khususnya praktisi, akademisi maupun pengamat hukum. Hal itu merupakan hal yang paling esensial terkait tujuan dan komitmen dari fungsi praperadilan itu sendiri. Isi putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan permohonan praperadilan dari pemohon untuk sebagian, dianggap tidak berdasarkan hukum. Hal ini dikuatkan karena berdasarkan pengaturan pasal 77 KUHAP pada saat putusan dijatuhkan oleh Hakim tunggal, sah atau tidaknya penetapan status Tersangka bukan merupakan objek dari praperadilan. Alasan Hakim Sarpin dalam menafsirkan ketentuan dalam KUHAP tidak memiliki logika hukum, karena objek praperadilan berdasarkan
103
Pasal 77 KUHAP bersifat limitatif dan tidak multitafsir. Oleh karena hal ini sangat terkait dengan kompetensi mengadili, maka menurut penulis putusan praperadilan a quo cacat hukum. Terhadap putusan/penetapan praperadilan a quo juga tidak dapat dimintakan banding. Menurut ketentuan yang diatur pasal 83 KUHAP pada prinsipnya terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding, kecuali terhadap putusan praperadilan yang menetapkan mengenai tidak sahnya penghentian penyidikan atau tidak sahnya penghentian penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan (pasal 83 ayat (2) KUHAP). Walaupun terhadap putusan praperadilan dapat ditempuh upaya hukum luar biasa yakni peninjauan kembali (PK) demi kepentingan masyarakat umum yang hanya bisa diajukan oleh Jaksa Agung. Akan tetapi pada kasus praperadilan Budi Gunawan, Jaksa Agung bukanlah merupakan salah satu diantara para pihak. Maka untuk praperadilan a quo, peninjauan kembali (PK) demi kepentingan masyarakat umum tidak dapat dilakukan. Kasus ini mengindikasikan bahwa lembaga praperadilan belum bekerja secara efektif sebagai alat kontrol dalam proses penegakan hukum dan keadilan.
104
D.
Praperadilan pasca Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 21/PUUXII/2014
Berdasarkan Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014, telah terjadi perubahan yang
fundamental
terhadap
objek
praperadilan.
Mahkamah
Konstitusi
mengabulkan sebagian pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh terpidana kasus korupsi bioremediasi fiktif PT. Chevron Pasific Indonesia, Bachtiar Abdul Fatah. 1. Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 1.1 Frasa “bukti permulaan”,”bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1982 Tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”,”bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
105
1.2 Frasa “bukti permulaan”,”bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1982 Tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”,”bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; 1.3 Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan; 1.4 Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan; 2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
106
3.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Demikian diputuskan dalam Rapat Pemusyawaratan Hakim oleh
sembilan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva selaku ketua merangkap anggota, Arief Hidayat, Anwar Usman, Muhammad Alim, Wahiduddin Adams, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar dan Aswanto, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal dua puluh delapan, bulan Oktober, tahun dua ribu empat belas dan sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Muhammad Alim, Wahiddudin Adams, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, Aswanto, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal enam belas, bulan Maret, tahun dua ribu lima belas, serta diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh delapan , bulan April, tahun dua ribu lima belas, selesai diucapkan pukul 10.57 WIB, oleh tujuh Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Wahiddudin Adams, Suhartoyo, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, dan I Dewa Gede Palguna, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh
Cholidin
Nasir
sebagai
Panitera
Pengganti,
dihadiri
oleh
Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. Terhadap putusan Mahkamah mengenai “penetapa tersangka”, terdapat satu orang hakim konstitusi yang memiliki
107
alasan berbeda (concurring opinion) dan tiga orang hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).
KETUA,
Ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA,
Ttd.
Ttd.
Anwar Usman
Wahiduddin Adams
Ttd.
Ttd.
Suhartoyo
Maria Farida Indrati
Ttd.
Ttd.
Patrialis Akbar
I Dewa Gede Palguna
2. Analisa Putusan Salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang - undang terhadap Undang-Undang Dasar (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945).
Dalam
sudut
pandang
hukum
tata
negara,
pengujian
108
konstitusionalitas undang - undang terhadap UUD merupakan cerminan prinsip konstitusionalisme dan negara hukum sebagaimana di kukuhkan dalam pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 21/PUUXII/2014 tersebut di atas, telah terjadi perluasan objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Pasca Putusan ini, penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan telah menjadi objek praperadilan. a.
Objek Perkara Objek perkara yang diajukan oleh Pemohon ke Mahkamah Konstitusi adalah pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review).
b.
Subjek Hukum Syarat dapat dikategorikannya pihak menjadi Pemohon dalam pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi dalam pengujian UndangUndang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 adalah merupakan pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Pemohon harus memiliki legal standing sebagai syarat mutlak untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan UU Mahkamah Konstitusi, hanya Warga Negara Indonesia (WNI) sajalah yang memiliki legal standing atau mempunyai hak untuk mengajukan
109
permohonan perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahmakah Konstitusi. 90 Legal standing adalah adaptasi dari istilah personae standi in judicio yang artinya adalah hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan. 91 Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, pihak yang berperkara adalah: 1. Pemohon Nama
: Bachtiar Abdul Fatah
Pekerjaan
: Karyawan PT. Chevron Pasific Indonesia
Alamat : Komplek Merapi Nomor 85, RT. 01, RW. 03, Desa Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Bengkalis, Riau Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 6 Februari 2014 memberi kuasa kepada Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., Dr. S.F. Marbun, S.H.,M.Hum., Alexander Lay, S.T., S.H., LL.M., Dasril Affandi, S.H., M.H., Syahrizal Zainuddin, S.H., Masayu Donny Kertopati, S.H., Ade Kurniawan, S.H., Mohamad Ikhsan, S.H., Suci Meilianika, S.H., dan Azvant Ramzi Utama, S.H., yang semuanya adalah advokat dan konsultan hukum dari Kantor Maqdir Ismail & Partners yang berkedudukan hukum di Jalan 90
Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Hukum Dr. Harjono, S.H., M.C.L. Wakil Ketua MK, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 176. 91
Ibid.
110
Bandung Nomor 4, Menteng, Jakarta, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; Pemohon dikualifikasikan memiliki legal standing oleh karena Pemohon dalam permohonan ini merupakan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk Pemohon. 2. Termohon atau Pihak Terkait Dalam pengujian konstitusionalitas Undang-Undang tidak ada pihak Termohon. DPR dan Pemerintah (Presiden) hanya memberi keterangan selaku pembentuk Undang-Undang. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 terkait pengujian UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, tidak ada yang namanya pihak Termohon, akan tetapi dalam perkara tersebut Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanyalah sebagai pemberi keterangan atas dasar permintaan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 54 UU Mahkamah Konstitusi, bahwa “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan
yang
sedang
diperiksa
kepada
Majelis
Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden”.
111
Hal demikian berlaku karena berkaitan erat dengan amanat konstitusi yang menyebutkan bahwa Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat dapat membentuk Undang-undang, sehingga sangat beralasan apabila Mahkamah Konstitusi meminta keterangan dan/atau risalah rapat terkait pembentukan UU yang merupakan permohonan yang sedang diperiksa. 3. Isi/Bagian Putusan Secara umum yang menjadi Isi atau Bagian dari suatu Putusan Mahkamah Konstitusi adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi : a. Kepala
Putusan
berbunyi
:
“DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; b. Identitas para pihak; c. Ringkasan permohonan; d. Pertimbangan
terhadap
fakta
yang
terungkap
dalam
persidangan; e. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar Putusan; f.
Amar putusan;
g. Hari, tanggal putusan, nama Hakim Konstitusi, dan Panitera. Menurut Penulis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana terhadap UndangUndang Dasar Tahun 1945 secara keseluruhan sudah memenuhi
112
syarat dari Isi atau Bagian-bagian yang harus termuat dalam suatu Putusan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 48 UU MK tersebut di atas. Oleh karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, maka Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya segala hal menyangkut perkara yang diajukan oleh Pemohon sebagai salah satu bentuk usaha untuk tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita-cita negara hukum dan demokrasi.. 4. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Ketentuan Pasal 51 ayat (1) menyebutkan bahwa Pemohon yang dapat mengajukan permohonan perkara pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undangundang. Dalam hal ini yang dikatakan hak dan kewenangan konstitusinya dirugikan oleh Undang-Undang adalah sebagaimana yang diatur lebih lanjut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/25 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor II/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 adalah bahwasanya kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan actual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
113
Dalam contoh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUUXII/2014 dimana Bachtiar Abdul Fatah sebagai Pihak Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan perkaranya ke Peradilan Mahkamah Konstitusi. Dengan dikabulkannya permohonan Pemohon untuk sebagian, maka terjadilah perubahan yang bersifat fundamental mengenai Praperadilan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dimana dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwasanya Undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasca Putusan ini, terhadap Objek Praperadilan telah terjadi perluasan. Penetapan status tersangka juga sudah merupakan Objek dari pranata Praperadilan. Wewenang
yang
diberikan
Undang-Undang
kepada
Praperadilan antara lain: 1. Memeriksa dan Memutus Sah atau Tidaknya Upaya Paksa (Penangkapan dan Penahanan) 2. Memeriksa Sah atau Tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan 3. Memeriksa Tuntutan Ganti Kerugian, karena: a. Penangkapan atau penahanan yang tidak sah
114
b. Atau oleh karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang c. Karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan atau diperiksa 4. Memeriksa Permintaan Rehabilitasi 5. Praperadilan Terhadap Tindakan Penyitaan 92 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUUXII/2014 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, wewenang tambahan yang diberikan UndangUndang kepada Praperadilan lewat Putusan MK ini antara lain 1. Memeriksa Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka 2. Memeriksa Sah atau Tidaknya Penggeledahan, dan 3. Memeriksa Sah atau Tidaknya Penyitaan. Lewat perubahan yang sangat mendasar ini, Praperadilan diharapkan mampu mengawasi proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia.
92
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 5-6
115
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya,
maka dalam bab ini akan diuraikan beberapa kesimpulan dari penelitian. Adapun kesimpulan dari pembahasan di atas adalah: 1.
Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 21/PUU-XII/2014, dapat
didefenisikan
pengertian
dari
Praperadilan
adalah
wewenang
pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang: a.
Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa Tersangka.
b.
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c.
Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
2.
Hasil dari proses penyelidikan merupakan penentu penetapan status tersangka terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara minimal satu milyar rupiah, yang mana penetapannya dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal ini harus sangat jeli dan sangat berhati-hati dalam hal menetapkan seseorang sebagai Tersangka Tindak
116
Pidana Korupsi. Karena berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi, yang kita kenal dengan sebutan SP-3. Hal ini berbeda dengan proses penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan yang mana Kejaksaan dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi (SP-3). 3.
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, perihal sah tidaknya penetapan status tersangka baik oleh Penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia maupun pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, sebagai contoh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah bukan merupakan objek praperadilan dan bukan pula wewenang pengadilan untuk mengadili. Isi putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan permohonan praperadilan dari pemohon untuk sebagian, dianggap tidak berdasarkan hukum. Hal ini dikuatkan karena berdasarkan pengaturan pasal 77 KUHAP pada saat putusan dijatuhkan oleh Hakim tunggal, sah atau tidaknya penetapan status Tersangka bukan merupakan objek dari praperadilan. Alasan Hakim Sarpin dalam menafsirkan ketentuan dalam KUHAP tidak memiliki logika hukum, karena objek praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP bersifat limitatif dan tidak multitafsir. Oleh karena hal ini sangat terkait dengan kompetensi mengadili, maka menurut penulis putusan praperadilan a quo cacat hukum.
117
4.
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, wewenang tambahan yang diberikan Undang-Undang kepada Praperadilan lewat Putusan MK ini antara lain
B. 1.
a.
Memeriksa Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka
b.
Memeriksa Sah atau Tidaknya Penggeledahan, dan
c.
Memeriksa Sah atau Tidaknya Penyitaan.
Saran Penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia maupun pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang, sebagai contoh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus lebih memahami tentang hal-hal yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Terkhusus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi. Kesalahan pelaksanaan wewenang yang diberikan akan memberi dampak negatif dan kerugian bagi Pemerintah dan Negara.
2.
Lembaga Praperadilan harus difungsikan secara efektif dan semaksimal mungkin sebagai alat kontrol dalam proses penegakan hukum dan keadilan, demi tujuan dari Praperadilan itu sendiri. Dan yang paling penting, demi kepentingan masyarakat dan Negara.