BAB II MAKNA MONEY POLITICS DALAM KONTEKS PEMILU
A. MONEY POLITICS DAN RUANG LINGKUPNYA 1. Definisi dan Dasar Hukum Money Politics Pelaksanaan pemilihan legislatif tahun 2009 secara langsung pada esensinya bertujuan untuk lebih menguatkan legitimasi politik. Melalui sistem ini rakyat dapat menyalurkan aspirasinya kepada calon pemimpin atau wakil mereka secara leluasa sebagai cara untuk keluar dari hegemoni elit negara. Namun, dalam konteks lain terjadi kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi karena pemilu legislatif secara langsung justru diindikasikan kuat makin menyuburkan budaya money politics ke tingkat bawah. Istilah politik uang (money politics) merupakan sebuah istilah yang dekat dengan istilah korupsi politik (political corruption)1. Sebagai bentuk korupsi, politik uang masih menjadi perdebatan karena praktiknya yang berbeda-beda di lapangan, terutama terkait perbedaan penggunaan antara uang pribadi dan uang negara. Ketidakjelasan definisi money politics ini
1
Ensyclopedia of Sosial Science memasukkan korupsi dalam peristilahan politik, tepatnya dalam entri political corruption. Istilah tersebut memuat cakupan makna sebagai penggunaan kekuasaan publik (public power) untuk mendapatkan keuntungan bagi pribadi atau kemanfaatan politik. Sementara Arnold Heidenheimer (1993) mendefinisikan korupsi politik sebagai “any transaction between private and pubic sector actors through which collective goods are illegitimately converted into private-regarding”. Misalnya, seorang pejabat dikatagorikan korupsi bilamana ia menerima hadiah dari seseorang supaya ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan sang pemberi hadiah.
26
27
menjadikan proses hukum terkadang sulit menjangkau.2 Sementara itu secara umum istilah korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau sumberdaya publik untuk kepentingan pribadi, telah tumbuh dan berkembang sebagai problem sosial yang serius dan akut di Indonesia. Kalau penggunaan uang pribadi dalam kampanye disebut sebagai money politics, maka tidak ada orang atau partai politik yang bersih dari korupsi. Seperti yang ditulis Indra J. Piliang, bahwa dalam sejumlah penelitian tentang pemilihan kepala desa, penggunaan uang untuk mengadakan perhelatan, makan bersama, dan lain-lainnya sudah menjadi kebiasaan untuk memperoleh dukungan. Kalau kepala desa itu terpilih, lalu dianggap melakukan money politics, tentu akan menghadapi krisis multilevel dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi atas pemerintahan atau pimpinan formal negara kita (Piliang, Kompas: 2001). Karena itulah dari diskursus yang tergelar, belum ada kesimpulan tegas mengenai money politics. Tidak ada batas-batas jelas antara praktik jual beli suara dan pengeluaran uang dari partai untuk keperluan yang kongkrit. Garis demarkasi antara money politics (politik uang) dan political financing atau pembiayaan kegiatan politik masih sangat kabur (Ismawan, 1999: 4). Meskipun demikian bukan berarti tidak ada yang mencoba mendefinisikan istilah money politic. Salah satunya, money politics biasa diartikan sebagai 2
Pratikno menyatakan bahwa banyak perdebatan tentang definisi money politics yang telah sering dikemukakan hingga saat ini, tetapi yang jelas, money politics merupakan fenomena politik yang tidak standar dalam relasi antar pelaku politik. Oleh karena itu, untuk memahami money politics, harus dimulai dengan mengidentifikasi tentang relasi politik yang standar, kemudian mengidentifikasi bentuk-bentuk penyimpangan dari yang standar ini, yang salah satu bentuknya adalah money politics. Pratikno adalah staf pengajar di Fisipol UGM dan Ketua Pengelola s2 politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM.
28
upaya mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada pula yang mengartikan money politics sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan. Tindakan itu dapat terjadi dalam jangkauan (range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan umum di suatu negara (Ismawan, 1999:5). Publik memahami money politics sebagai praktik pemberian uang atau barang atau memberi iming-iming sesuatu, kepada massa (voters) secara berkelompok atau individual, untuk mendapatkan keuntungan politis (political gain). Artinya, tindakan money politics itu dilakukan secara sadar oleh pelaku. Definisi ini nampaknya kurang akurat ketika dipakai untuk menganalisis kasus seperti pembagian sembilan bahan pokok oleh partai atau orang tertentu kepada masyarakat. Kalau motifnya adalah semata-mata untuk membantu masyarakat, tentunya pemberian itu bukan money politics walaupun tetap mendapatkan political gain dari aktivitasnya itu. Dengan hadirnya berbagai definisi di atas, menunjukkan belum adanya definisi money politics yang bisa dijadikan acuan. Hal inilah yang seringkali membuat bingung untuk mengkategorikan sebuah peristiwa tergolong money politics atau bukan. Implikasinya, beberapa pihak dapat secara leluasa melakukan tindakan yang sebenarnya sudah menjurus pada money politics, tanpa bersedia dikatakan melakukan praktik money politics. Leo Agustino (2009:133) menyatakan bahwa Undang-undang No. 32 tahun 2004 yang digunakan sebagai acuan pilkada langsung, mendefinisikan politik uang masih tidak jelas dan bersifat umum (normatif). Hal serupa juga
29
tidak diatur secara jelas dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Kendati Peraturan Pemerintah tersebut telah disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2005 sebagai respon atas putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi tidak juga mengatur persoalan politik uang secara lebih baik karena hampir sama dengan aturan sebelumnya. Ketentuan yang memberikan definisi tentang politik uang secara implisit tercantum dalam pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang No. 32 tahun 2004 yang menyebutkan, pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian pada ayat (2)-nya, pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD. Menurut pakar hukum tata negara, Yusri Ihza Mahendra, definisi money politics sangat jelas, yakni upaya mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi (Jawa Pos, 16 Februari 1999). Yusril mengatakan, kalau kasus money politics bisa dibuktikan, pelakunya dapat dijerat dengan pasal tindak pidana biasa, yakni penyuapan. Tapi kalau si penyumbang adalah figur yang anonim (merahasiakan diri) sehingga kasusnya sulit dilacak, tindak lanjut secara hukum menjadi kabur. Sementara Affan Gaffar, dalam Tohadi dan Zaenal Abidin (2002 : 239) mendefinisikan money politics sebagai
30
tindakan membagi-bagi uang baik sebagai milik partai atau pribadi untuk membeli suara. Dari kedua definisi ini tampak sejajar dengan apa yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu tahun 2002 Pasal 110. Pasal ini menyatakan bahwa suatu tindakan yang disebut dengan money politics mencakup dua aspek. Pertama, dari sisi pelaku; pelakunya adalah calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Kedua, dari sisi bentuknya; berupa menjanjikan dan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih. Komisi Independen pemantau Pemilu (KIPP), seperti yang dikutip Umam, mengkategorisasikan terminologi korupsi politik ke dalam lima jenis perbuatan; pertama, setiap bentuk perbuatan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang berupa penggunaan keuangan negara yang bertujuan untuk menguntungkan kepentingan politik tertentu. Jenis perbuatan ini digolongkan sebagai kejahatan dalam jabatan (occupational crime) atau kejahatan korupsi yang dapat dijerat berdasarkan pasal pidana tentang kejahatan jabatan dalam KUHP maupun UU No 3/1971 tentang tindak pidana korupsi. Kedua, money politics yang dilakukan dalam konteks pengembangan jaring penyelamat politik (political safety net). Ketiga, praktik bujukan politik (political seduction), berupa pemberian uang secara tidak sah yang bertujuan untuk mempengaruhi
proses
penentuan
kebijakan
dan
keputusan
supaya
menguntungkan partai politik tertentu. Keempat, praktik yang dilakukan dengan melanggar ketentuan pemilu tentang sumbangan dan pelaporannya,
31
baik kepada calon pejabat maupun organisasi sosial politik sebagaimana diatur dalam UU Partai Politik, atau pihak lain yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu menerima pemberian barang atau uang yang bersumber dari bisnis illegal atau terbukti berasal dari money laundring (Umam, 2006:43). Konsekuesi di balik anggapan bahwa kasus money politics adalah delik aduan (kalau menggunakan rujukan UU anti-suap) adalah adanya tabir yang menyelimuti kasus-kasus aktual. Sebagai delik aduan, kasus money politics hanya dapat ditindak lanjuti oleh penegak hukum kalau sudah ada laporan dari pihak yang merasa dirugikan. Awalnya tindakan money politics memang tidak diatur secara eksplisit dalam delik KUHP, namun dalam penyelesaian perkaranya, seringkali pengadilan menggunakan pasal-pasal yang mengatur tindak pidana suap. Fenomena peradilan ini setidaknya menunjukkan adanya kesamaan persepsi antara money politics dengan suap. Konsekuensi logis dari pendefinisian ini akhirnya menempatkan money politics sebagai bagian dari wujud tindak pidana korupsi jenis suap (Hermawan, 36:2000). Pelanggaran tentang money politics dalam pemilu legislatif tahun 2009 telah dirumuskan dalam undang-undang pemilu 2008 Nomor 10 pasal 265, menyebutkan bahwa “setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota DPD dalam pemilu
32
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”. Sementara dasar hukum normatif lain yang dapat digunakan untuk menjerat kasus money politics adalah ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 mengenai pemilu presiden-wakil presiden. Pasal 90 Ayat (2) UU 23/2003 yang menyebutkan, “setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara teretentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat dua bulan atau paling lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1 juta atau paling banyak Rp 10 juta”.
2. Bentuk-bentuk Money Politics Pemilihan legislatif secara langsung tahun 2009 memberikan banyak peluang adanya kucuran dana dari calon anggota legislatif. Kucuran dana dari calon legislatif tidak hanya ke lapisan atas dan ke lapisan tengah, tetapi juga ke lapisan bawah (rakyat). Bahkan, karena suara rakyat yang menentukan, mungkin saja presentase kucurannya lebih besar kepada rakyat. Bagi negara yang sebagian besar rakyatnya miskin, politik uang adalah teknik rekruitmen
33
massa yang sangat efektif. Dalam konteks ke-Indonesiaan, realitas tersebut sangat potensial untuk terjadi. Merujuk
ke
pelaksanaan
pemilu
1999,
Irwan
(2002)
mengidentifikasikan tiga bentuk umum dari praktik politik uang. Pertama, dalam bentuk pemberian uang suap (bribery) kepada pemilih untuk memilih parpol tertentu. Uang suap ini disalurkan melalui beberapa jalur. Kedua, adalah mobilisasi dana dari badan atau program pembangunan pemerintah. Ketiga, mobilisasi dana dari pihak ketiga (perorangan, lembaga atau perusahaan). Sistem pemilu 2009 yang berbeda dengan pemilu 1999, seperti penerapan daftar calon terbuka dalam pemilihan calon legislatif, pemilihan langsung untuk anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden telah memunculkan bentuk-bentuk politik uang baru. Yakni, suap dari calon kepada simpatisan politik sebagai peserta pemilih untuk mendapatkan dukungan suara. Maka tidak heran, jika dalam pemilu legislatif 2009 muncul ungkapan “tak coblos, yen ono duite” (saya coblos, kalau ada duitnya). Dari
fenomena
yang
terjadi
selama
ini,
Pratikno
(2004)
mengungkapkan, bahwa money politics terjadi pada dua level, yaitu level individual dan level institusi. Pada level individual, praktik money politics banyak
terealisasi
menjelang
event-event
politik
yang
melibatkan
kepentingan individu sebagai aktor politik untuk menduduki atau mempertahankan jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan.
34
Sementara, money politics pada level institusional banyak terjadi dan terlegitimasi di tingkat partai politik. Bagaimana praktik money politics dirancukan dengan penggalian sumber-sumber keuangan partai, bagaimana praktik ini kemudian juga dicampuradukkan dengan kepentingan kampanye partai dan sebagainya, telah membawa pada kesimpulan bahwa praktik ini telah terinstitusi dengan sangat baik di dalam lingkungan partai.
3. Dampak dari Praktik Money Politik Berjalannya praktik money politics dapat menimbulkan implikasiimplikasi fatal bagi prospek demokrasi bangsa. Pertama, dominasi pemilik modal dan uang. Kursi-kursi para pembuat kebijakan dan keputusan publik yang dihasilkan melalui pemilu akan diduduki oleh orang-orang kaya, atau orang-orang yang dibiayai oleh kelompok-kelompok kaya atau kelompokkelompok yang menguasai asset ekonomi berskala besar. Kwiek Kian Gie, misalnya, menengarai bahwa sejumlah anggota legislatif dipelihara oleh para konglomerat bermasalah untuk memperjuangkan kepentingan mereka (Irwan, 2002:69). Sementara itu, kepentingan publik lebih luas yang mempresentasikan kehendak dan aspirasi rakyat cenderung diabaikan, karena sebelumnya telah dibeli melalui praktik-praktik politik uang. Kedua, pembodohan politik rakyat, yang pada gilirannya akan menghambat lahirnya rasionalitas dan kesadaran politik publik. Menurut Suharko (2004), bahwa salah satu fungsi parpol adalah memberikan pendidikan politik kepada rakyat. Fungsi ini
35
agaknya nyaris hilang dari perbedaharaan wacana yang ada di parpol, dan sebaliknya fungsi parpol untuk memperoleh kekuasaan jauh lebih ditonjolkan. Kemenangan adalah segala-galanya, dan untuk itu, perolehan dukungan politik harus dimaksimalkan meski dengan cara-cara yang tidak standar. Dalam konteks politik di Indonesia, menurut Pratikno (2003), perolehan dukungan yang standar, yakni melalui kesamaan preferensi politik untuk memperjuangkan nilai-nilai dan kebijakan-kebijakan publik tertentu, sulit dicapai secara maksimal. Latar belakang sosio-kultural yang tidak mendukung, relasi yang timpang dalam masyarakat, sistem dan kontrol publik yang lemah, dan rapuhnya etika publik adalah beberapa penjelasan dari sulitnya memaksimalkan dukungan standar. Cara-cara perolehan yang tidak standar melalui praktik politik uang seolah kemudian menjadi jamak. Meluas dan melembaganya cara-cara yang tidak standar ini telah meminggirkan upaya dan kepentingan untuk mencerdaskan rakyat melalui tawaran-tawaran program (platform) partai. Rakyat hanya ditempatkan sebagai objek yang bisa dibeli untuk menyalurkan hasrat berkuasa (will to power) dan alat untuk meraih kepentingan jangka pendek. Ketiga, money politics akan mendeligitimasi proses demokratisasi yang berjalan dalam tatanan masyarakat transisional. Secara garis besar dampak negatif money politics dapat digolongkan pada dua tingkat yakni; pertama, pada tingkat internal partai politik (mikro); kedua, pada arah sistem politik nasional (makro). Pada tingkat internal politik
36
partai, pemakaian money politics akan mengakibatkan : pertama, lenyapnya elemen penting dari dibangunnya sebuah partai politik yakni untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Adanya money politics membuat partai menjadi milik beberapa orang saja yang memperoleh sejumlah keistimewaan dalam proses pengambilan keputusan yang bentuknya tentu saja memiliki kesenjangan dengan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Keputusan-keputusan partai yang penting akan mencerminkan kepentingan para penyuplai dana, hal ini sangat rentan terhadap terputusnya keterkaitan antara apa yang dikehendaki oleh rakyat yang menjadi pendukungnya dengan apa yang dikehendaki elit partai yang memakai uang untuk mendesakkan kepentingankepentingannya. Dalam jangka panjang seiring dengan kesadaran politik konstituen yang semakin cerdas praktik politik uang mendorong mereka untuk meninggalkan partai yang sebelumnya telah didukungnya. Kedua, tubuh partai akan rentan terhadap penyakit konflik internal anta relit akibat persaingan yang tidak sehat diantara pengurus yang sangat mungkin terbagi dalam beberapa faksi jika partai yang demikian adalah partai yang besar. Pada tingkat makro politik pemakaian money politics dalam proses politik akan mengakibatkan: pertama, semakin suburnya praktik korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Para penyandang dana politik yang bertujuan jangka pendek memandang bahwa aliran dana yang mereka berikan kepada suatu partai merupakan investasi yang akan dipetik buahnya ketika partai yang mereka dukung menggenggam kekuasaan. Proses balas jasa seperti ini akan mengakibatkan terpuruknya agenda-agenda partai yang
37
berkenaan dengan kepentingan konstituennya dan rakyat pada umumnya. Kedua, hilangnya legitimasi pemerintahan secara berangsur-angsur seiring dengan merajalelanya korupsi yang melibatkan dua aktor yakni pihak pemerintah dan kalangan penyandang dana (Tohadi dan Zaenal Abidin 2002 : 239).
B. KORUPSI DALAM PERSPEKTIF FIQIH ISLAM Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘adalah), akuntabilitas (al‘amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk dalam perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang amat dikutuk Allah swt (Kompas, 5 September, 2003). Muhammad
Ali
al-Shabuni
(2004:390),
dalam
Rawa’i
al-Bayan,
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-fasad, yaitu segala perbuatan yang menyebabkan hancurnya kemaslahatan dan kemanfaatan hidup, seperti membuat teror yang menyebabkan orang takut, membunuh, melukai, dan mengambil atau merampas harta orang lain. Oleh karena itu, berdasarkan pendapat tersebut, korupsi sama buruk dan jahatnya dengan terorisme. Hanna E. Kassis, dalam bukunya yang bertajuk The Concordance of the Quran (1983), seperti yang dikutip Umam, ia secara spikulatif menafsirkan beberapa term dalam al-Qur’an sebagai katagori korupsi, yakni kata bur, dakhal, dassa, afsada, fasada, khaba’ith, khubuta dan lainnya.
38
Misalnya dalam surat al-Baqarah : 205 dikatakan bahwa “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan (korupsi)”. Oleh Hanna E. Kassis kata rusak ini diqiyaskan kedalam terminologi korupsi yang juga memiliki sifat merusak. Dalam al-Qur’an sendiri terdapat perintah larangan untuk tidak berbuat kerusakan dan mengganggu keseimbangan sosial maupun alam, misalnya firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Qashash :77: “ dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan (korupsi) di bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (korupsi)”. Dengan kata lain, makna kerusakan tersebut tidak hanya dipahami sebagai rusak secara fisik (physically), tetapi juga dapat diartikan sebagai kerusakan dalam arti profan seperti kerusakan pada tatanan sosial, norma serta sistem nilai dalam masyarakat. Setiap kerusakan, baik terhadap alam maupun tatanan sosial merupakan pencideraan terhadap aspek keseimbangan dalam kehidupan. Sehingga dalam kajian fiqih, korupsi seringkali diqiyaskan dengan perilaku mencuri (as-sariqah), yakni mengambil hak milik orang lain tanpa ijin dari sang pemilik, sehingga merugikan pihak lain. Korupsi adalah kejahatan multi komplek, walaupun terkesan hanya terkait dengan persoalan maliyah (harta benda). Fiqih atau hukum Islam sesungguhnya
39
telah banyak membahas konsep kejahatan harta benda. Namun demikian, korupsi mempunyai karakter spesifik. Ia tidak hanya melibatkan seseorang yang berkuasa, namun meliputi kejahatan yang langsung dilakukan oleh seseorang melalui kekuasaan yang diembannya. Dalam teori hukum Islam atau literatur Islam secara umum tidak ditemukan sebuah istilah yang mengandung makna korupsi secara menyeluruh. Namun demikian, berdasarkan tindakan-tindakan yang dikatagorikan korupsi dalam hukum positif Indonesia dan berdasarkan konsep-konsep kejahatan maliyyah dalam fiqih, terdapat tiga unsur utama : 1. Adanya tasharruf, yaitu perbuatan yang bisa berarti menerima, memberi, dan mengambil. 2. Adanya kerugian yang ditanggung oleh masyarakat luas atau publik. 3. Adanya penghianatan terhadap amanat kekuasaan. Berdasarkan unsur-unsur diatas, maka ada beberapa tawaran definisi korupsi menurut pandangan Islam, yaitu : 1. Korupsi adalah sebuah bentuk tasharruf yang merupakan penghianatan atas amanah yang diemban dan dapat merugikan publik secara finansial, moral, maupun sosial. 2. Korupsi adalah sebuah tindakan yang menyalahi hukum dan merupakan penghianatan atas amanah serta dapat menimbulkan kerugian pumblik (Masyhuri Naim, Rofiah, dan Imdadun Rahmat : 2006, 107).
40
Beberapa unsur korupsi di atas menunjukkan kedekatan kejahatan ini dengan beberapa kejahatan menyangkut harta benda yang sudah ada dalam fiqih sebagai berikut : 1. As-sariqah (mencuri) As-sariqah atau dalam bahasa Indonesianya mencuri ini biasanya diacu sebagai mencuri dari kaidah akhdzu mal al-ghair min hirzi mitslihi ala alkhifyah wa al-istitar (Zuhaili, 2002:5422), yaitu mengambil harta orang lain dari tempat penyimpanan yang wajar secara sembunyi-sembunyi dan tertutup. Dalam kaidah ini terdapat empat hal penting yaitu : mal (harta), al-ghair (orang lain), khirzi mitslih (tempat penyimpanan yang wajar), dan khifyah wa istitar (sembunyi-sembunyi dan tertutup). Masdar Farid (2004:140) menyatakan, pertama, kalau mal (harta) diartikan hanya pada harta yang berwujud, maka menyalahgunakan kekuasaan tidak dianggap sebagai korupsi atau kejahatan. Kedua, yang dimaksud al-ghair (orang lain) secara imajinasi fikih adalah syakhs (orang), bukan sesuatu yang abstrak, artinya harus berwujud individu, bukan sesuatu yang dalam wujud imajiner khayali seperti negara. Ketiga, khirzi mitslih, yaitu tempat yang layak, seperti mengambil barang tetangga dari lemari. kalau konsepnya demikian, menurut Masdar, as-sriqah tidak mencakup kejahatan korupsi, karena belum tentu mal (harta) yang diambil, al-ghair itu bukan syakhs, dan khirzi mitslih sebuah konsep yang tidak semata seperti maling membobol lemari. Oleh karena itu, korupsi menjadi samar dalam pandangan etik dan moral fikih kita. Tetapi dalam fiqh Islam mengenal beberapa tipologi korupsi, diantaranya
41
adalah risywah (suap), hirabah, dan Ghulul (penggelapan) atau terkadang disebut dengan istilah khiyanah. 2. Al-Risywah Kajian tentang al-risywah pada umumnya hanya difokuskan pada kasus orang-orang yang berperkara dan yang terlibat di dalamnya adalah qadli (hakim)
dan
pihak
yang
berperkara.3kajian
al-risywah
yang
hanya
memfokuskan pada peradilan adalah suatu hal yang wajar. Sebab, al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 188 dan hadits nabi mengindikasikan al-risywah ke arah orang-orang yang berperkara dalam peradilan dan peluang terjadinya suapmenyuap dalam dunia peradilan sangat besar. Dengan demikian, kasus suapmenyuap di luar dunia peradilan kurang mendapat perhatian (Asyiq Amrullah, 2003 : 275). Al-risywah secara etimologis berarti al-ju’l yang artinya hadiah, upah, pemberian, atau komisi (Ibn al-Mandzur, 1999: 223). Al-risywah diambil dari kata al-risya yang berarti tali yang dapat mengantarkan ke air di sumur (alShan’ani, 1987 : 855). Dalam artian terminologis, ada beberapa pendapat dalam mendefinisikan Al-risywah. Diantaranya adalah : 1) Al-Zarkasyi mendefinisikan term al-risywah adalah menerima harta untuk membatalkan kebenaran atau menetapkan kebatilan (Al-Zarkasyi, tt :140).
3
Hal ini dapat dilihat dari kajian al-risywah yang di masukkan ke dalam sub kajian peradilan, tidak dikaji tersendiri dalam bab khusus al-risywah. Masdar Farid Mas’udi (2004 :149) menyatakan bahwa pada zaman sebelum masehi maupun masa Rasulullah SAW, orang menyuap untuk mempengaruhi keputusan seorang hakim dalam perkara yang menyangkut kepentingan si pemberi suap. Dalam perkembangannya praktek suap menjalar ke luar ruang pengadilan, dan masuk ke setiap bidang kehidupan masyarakat di mana yang berkuasa berwenang mengambil keputusan yang bisa membahagiakan atau menyengsarakan orang. Akhirnya praktik suap merasuk ke wilayah politik.
42
2) Ibn Hajar al-Haitami mendefinisikan Al-risywah adalah sesuatu yang diberikan dengan tujuan untuk memberikan keputusan hukum sesuai kebenaran, memberikan keputusan hukum tidak sesuai kebenaran, menghentikan
kasus
yang
akan
diputuskan
secara
benar,
dan
menghentikan kasus kriminal (Al-Haitami, 2004 : 114-115). 3) Al-Bujairimi menyatakan, Al-risywah adalah sesuatu yang diberikan kepada hakim agar memberikan keputusan yang salah atau menghentikan kasus yang akan diputuskan secara benar (al-Bujairimi, 1998 : 500-501). Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama diatas, dapat ditarik benang merah
bahwa penyuapan adalah sebuah pemberian kepada
pemegang kebijakan yang bertujuan untuk memuluskan maksud dan tujuan pemberi, baik tujuan yang sesuai dengan fakta atau tidak. Ibn Hajar al-Haitami (2004:115) menyatakan bahwa Al-risywah dapat terjadi dalam setiap persoalan yang berkaitan dengan pengambil kebijakan, tidak terkhusus hanya kepada hakim. Imaduddin al-Husbani dalam Asna al-Mathalib Syarh Raudl al-Thalibin, menyatakan bahwa fasilitas atau jasa seperti kemudahan birokrasi, pinjaman mobil, paket wisata, dan lain sebagainya juga masuk dalam katagori suap. Artinya, suap tidak harus berwujud uang atau materi lainnya. Segala yang dapat mempengaruhi obyektifitas meskipun berbentuk jasa atau fasilitas tetap tidak diperbolehkan (Al-Anshari, tt : 300-3001).
43
a. Dasar Hukum tentang Risywah (suap) 1) Nash al-Qur’an ôÏiΒ $Z)ƒÌsù (#θè=à2ù'tGÏ9 ÏΘ$¤6çtø:$# ’n<Î) !$yγÎ/ (#θä9ô‰è?uρ È≅ÏÜ≈t6ø9$$Î/ Νä3oΨ÷t/ Νä3s9≡uθøΒr& (#þθè=ä.ù's? Ÿωuρ
∩⊇∇∇∪ tβθßϑn=÷ès? óΟçFΡr&uρ ÉΟøOM}$$Î/ Ĩ$¨Ψ9$# ÉΑ≡uθøΒr&
Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (Q.S. al-Baqarah [2]:188). Awal ayat itu menjelaskan secara umum larangan memakan harta orang lain dengan jalan tidak sah, selanjutnya ayat tersebut mengungkapkan salah satu cara memakan harta orang lain dengan wa tudlu biha ila al-hukkam li ta’kulu fariq min amwal al-nas bi al-itsm (memberikan sesuatu kepada hakim supaya dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa). Cara seperti ini tidak lain adalah alrisywah (suap). óÚÍôãr& ÷ρr& öΝæηuΖ÷t/ Νä3÷n$$sù x8ρâ!$y_ βÎ*sù 4 ÏMós¡=Ï9 tβθè=≈ā2r& É>É‹s3ù=Ï9 šχθãè≈£ϑy™
4 ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ΝæηuΖ÷t/ Νä3÷n$$sù |Môϑs3ym ÷βÎ)uρ ( $\↔ø‹x© x8ρ•ÛØo„ n=sù óΟßγ÷Ψtã óÚÌ÷èè? βÎ)uρ ( öΝåκ÷]tã
∩⊆⊄∪ tÏÜÅ¡ø)ßϑø9$# =Ïtä† ©!$# ¨βÎ)
44
Artinya : “Mereka (orang-orang Yahudi) itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” (Q.S. alMaidah [5]: 42). Ayat di atas mengecam orang-orang Yahudi karena mereka suka mendengar kebohongan, sumpah palsu, dan makan makanan haram. Menurut Ibrahim, al-Hasan, Mujahid, Qatadah, al-Dlahak, dan Said ibn Jubair, ayat di atas ditujukan dalam kasus suap (Wizarah alAuqaf wa al-Syu’un al-Islamiyah bi al-Kuwait, tt : 220). Al-Wahidi dalam Ibn Hajar al-Haitami mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa yang dimaksud suht dalam ayat di atas adalah suap dalam pengambilan hukum (al-Haytami, 2004:119). Meskipun ayat di atas turun dalam mensikapi orang Yahudi, tetapi yang menjadi pedoman dalam sistem pengambilan hukum adalah keumuman teks bukan kekhususan sebab turunnya ayat (Wizarah al-Auqaf wa al-Syu’un alIslamiyah bi al-Kuwait, tt : 257). 2) Nash Hadits
ٍ ْ َ ِ ٍ ا ْ َ َ ِ ىﱡ َ ﱠ َ َ ا ْ ُ أَ ِ ِذ
ُ ََ ﱠ َ َ أ
ُ َ ﱠ ُ ْ ُ اْ ُ َ ﱠ
!َ ُ
ُ ََ ﱠ َ َ أ
ث ْ ِ َ ْ& ِ ا ﱠ ْ َ ِ َ ْ أَ ِ َ!(َ َ 'َ َ ْ َ ْ& ِ ﱠ َ َ َ َ َل# ﷲِ ْ ِ َ ْ ٍو ِ ا ْ َ ِر+ِ ِ َ, ْ َ ٌ ِ َ ا3َ َ ھ5َ / ِ 12
َر ُ! ُل ﱠ ُ ََ َل أ# . 7َِ 8 ْ ُ ْ َوا9ﱠا ِ ا-.(! و+/( ( ﷲ-- ِﷲ (ى3 ; )رواه ا.ٌ>/ ِ َ ٌ 5َ َ
Artinya : “Dari Abd Allah ibn Amr, dia berkata, Rasulullah mengutuk orang yang memberi suap dan orang yang menerima suap” (H.R. Tirmidzi). (Al-Turmudzi, 2001: 66).
45
َ ْ َ ْ ِ ا2 - ٍ ?ْ َ
ُ ََ ْ! َ ُد ْ ُ َ ِ ٍ َ ﱠ َ َ أAَ ﱠ َ َ ا
َ ْ& ُ ﱠ ِ َﷲِ َ ﱠ َ ِ أ
َََ ﱠ
َ َل َ َ َ َر ُ! ُل# َب َ ْ أَ ِ ُزرْ َ 'َ َ ْ َ ْ َ ن ٍ /ْ َ ْ َ - ش ِ ﱠF َGْ َ ْ أَ ِ ا1 ٍ ﱠ/ َ 7ِ ْ َ2 ى3ِ ا ﱠ
َ ِ َ َوا ﱠا7َِ 8 ْ ُ ْ َ َوا9ﱠا ِ ْ َ2 .H ِ ا-.(! و+/( ﷲ (
ﱠ (-- ِﷲ
)رواه أ. َ ُIَ /ْ َ
Artinya : “Dari Tsaubana, dia berkata, Rasulullah mengutuk orang yang memberi suap, orang yang menerima suap dan perantara dari keduanya” (H.R. Ahmad dan al-Thabarani). (Ahmad, tt:279). Kedua hadits di atas secara mutlak mengharamkan suap dalam bentuk apapun. Perbuatan seseorang yang memberikan sesuatu kepada hakim untuk membatalkan kebenaran dan menetapkan kebatilan (agar tercapai sesuatu yang diharapkan) merupakan perbuatan suap yang dilarang. Namun, yang menjadi persoalan, kalau seseorang memberikan sesuatu untuk menetapkan kebenaran dan menghilangkan kebatilan (yakni mendapatkan hak yang semestinya diperoleh).
3) Nash Sahabat dan Tabi’in a). Rasulullah mengutus Abdullah bin Riwahah untuk mengunjungi kaum Yahudi dengan tujuan mengambil pajak hasil tanaman kurma.
Namun,
kaum
Yahudi
membangkang
dan
malah
memberikan sedikit uang kepada Abdullah bin Rawahah sebagai suap. Maka dia pun menjawab :
46
(M
)رواهI(NKOP O واQ ! IO ءL ة9 ا
.;J
KL
◌Artinya : ِ “Adapun apa-apa yang kamu tawarkan berupa suap, maka sesungguhnya itu adalah makanan haram, kami tidak akan memakannya” ( Malik, tt : 186 ).
b). Seperti yang dikutip oleh Al-Thariqi (2001:52) bahwa Umar bin Khattab berkata dalam suratnya yang dikirimkan kepada Gubernur Sa’ad bin Abi Waqqash :
ة9 ون ا3,K2 .IOA / (5 & ( ا8 N /N 7 ا
وا أ ا3G;8 Pو
ﷲ2 دUL ة9رP و.I 2 دUL Artinya : “Jangan mengambil orang musyrik sebagai juru tulis bagi orangorang muslim, sebab mereka mengambil suap dalam agamanya, sedangkan tidak ada sedikitpun dalam agama Allah”. c). Seperti yang dikutip oleh Al-Thariqi (2001:53) bahwa Imam Thabrani meriwayatkan dari Ibn Mas’ud, dia berkata :
Q ! ا س/ وھVN .? اUL ة9 ا Artinya : “Suap dalam proses hukum itu termasuk kufur, dan kufur bagi manusia adalah termasuk haram”.
b. Pendapat Ulama tentang Risywah (suap) Seperti yang dikutip oleh Abdul Ghani (2003:133-134) bahwa mayoritas pemuka ulama Syafi’i, seperti Abu Tayyib, Mawardi, dan Ibn Sibagh, menyatakan bahwa jika seseorang memberi suap untuk memutuskan
47
hukum secara tidak benar atau menahan supaya tidak memberi hukum dengan benar, maka hukumnya haram. Agama hanya memberi toleransi suap bila demi meraih hak yang terampas, mencegah kedzaliman atau mempertahankan diri dan tidak terdapat alternatif lain yang lebih baik. Dalam kondisi demikian, pihak yang berkepentingan boleh menyuap meskipun pihak pembuat keputusan tetap haram menerimanya, seperti harta yang diberikan kepada orang jahat atau penodong untuk keselamatan jiwa atau harta. Pihak yang terdesak boleh memberi, namun orang jahat atau penodong haram menerimanya (alHaytami, 2004:117). Menurut al-Hasan, al-Sya’bi, Jabir ibn Zaid, dan Atha’ bahwa diperbolehkan bagi orang yang memberikan sesuatu untuk mempertahankan dirinya dan hartanya apabila takut dianiaya (Sayyid Sabiq, 1984:405). Pengecualian ini berdasarkan langkah Ibn Mas’ud memberikan suap sebanyak dua dinar ketika berada di Habasyah, sehingga dia diperkenankan melanjutkan perjalanan (Sayyid Sabiq, 1984:405). Pengecualian konsep hukum suap ini, barangkali dapat direalisasikan dalam proses melamar pekerjaan atau promosi jabatan, apabila menjadi satu-satunya orang yang memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai penyelenggara negara yang sesuai ketentuan undang-undang dan syariat, maka ia boleh menyuap untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Hal ini karena setelah tidak ada orang lain yang memenuhi kriteria dan persyaratan, karena menempati posisi tersebut termasuk bagian kewajiban ain, bahkan ia berdosa bila tidak mengemban amanah itu. Walau demikian, bagi pejabat
48
yang berwenang haram menerimanya. Hal ini dikarenakan mengangkat orang yang layak dan berkompeten dalam tugas termasuk bagian dari kewajiban dan tugas-tugasnya. Sedangkan hanafiyyah memandang ketika pejabat yang berwenang dalam urusan pengangkatan mempersulit birokrasi dengan mensyaratkan dana ekstra, kewajiban untuk mengemban amanah telah gugur bagi sang calon. Karena itu, ia tidak boleh menyuap demi mendapatkan jabatan tadi. Sedangkan dosa terbelangkainya tugas-tugas pemerintahan menjadi tanggung jawab pihak yang berwenang dalam urusan pengangkatan pegawai (Amin, tt : 368). 3. Al-Ghulul (Penggelapan) Tindakan-tindakan selain suap yang termasuk korupsi secara subtansial dalam kajian fikih Islam adalah al-ghulul (penggelapan). Menurut al-Azhari , ghulul adalah penghianatan dalam baitul mal, zakat, atau ghanimah ( harta rampasan perang. Sedangkan menurut Abu Ubaidah, ghulul adalah penghianatan dalam harta rampasan perang saja (al-Kafawiy, 1992 : 128-129). Tindakan al-ghulul (penggelapan) pernah terjadi pada masa Rasulullah dalam kasus Kirkirah (seorang laki-laki yang tergeletak di atas muatan barang milik Rasulullah, kemudian dia meninggal dunia), Kirkirah ternyata telah memanipulasi (menggelapkan) barang sehingga dia dicap Nabi sebagai penghuni neraka. Peristiwa ini diungkapkan dalam sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (1994 : 91) sebagai berikut :
49
ْ ِ َ ْ َ ْ& ِ ﱠXَ ْ ْ ِ أَ ِ ا.ِ ِ !َ ْ َ َ ُن َ ْ َ ْ ٍو/Vْ !ُ َ َ ﷲِ َ ﱠ َ ﱠ َ َ َ (ِ ﱡ ْ ُ َ ْ& ِ ﱠ ﷲِ ْ ِ َ ْ ٍ و َ َ َل َر ُ! ُل ﱠL ، ََ َ تL ُ َ ةNِ ْ Nِ ُ+َ ُ َ ُل2 Zٌ ]ُ َر- .(! و+/( ( ﷲ- - ا ﱠ&ِ ﱢZِ َ َ ِﷲ
َ( َ َ نNَ َ َل#
. َIَ ْ َ^(ﱠ# ًَ َ َ] ُ وا َ &َ َءةL +ِ /ْ َ ُِ ُونَ إaْ َ2 ھَ&ُ ا3َ َL . « ِ ا ﱠ ِرL َ ُ » ھ- .(! و+/( ( ﷲ- ( ريG& )رواه ا
Artinya : “Dari Abdillah bin Amr, dia mengatakan bahwa di atas muatan barang milik Nabi tergeletak seorang laki-laki yang dikenal dengan nama Kirkirah, kemudian dia mati. Nabi mengomentarinya dengan sabda “Dia masuk neraka” para sahabat melihat Kirkirah dan mereka menemukan baju aba’ah yang digelapkannya” (H.R. Al-Bukhari).
Kasus lain dikemukakan dalam sebua hadits yang diriwayatkan Muslim (1993:26) sebagai berikut :
ِ َ َ ْ َ ْ ٍر َ ْ أ- ٍ َ ْ ِ ا ْ َ ُ َ ﱠ2 - c2 ِ cِ َ ْ َ ﱠ َ َ َ ْ& ُ ا- ُ+ُ 2 ِ َ ا3َ َ َوھ- ٍ / ِ !َ ُ ْ ُ'َ&/ْ َ;ُ# َ َ َ ﱠ َ; ََ> ﱠVَL َ َ&/ْ َ, َ ِ إ-.(! و+/( ( ﷲ-- ا ﱠ&ِ ﱢdَ َ َ ْ] َ ,َ َ َل# َ َ ة2ْ َ ُ َ ْ أَ ِ ھ1 .ْ َ(َL َ /ْ َ( َ ُﷲ ِ /ْ eَ ْ ا َر ُ! ِل ﱠdَ َ (َ ْ َ إِ َ ا ْ َ ا ِدى َوF َ Oْ ا.ب ُ ﱠ (-- ِﷲ َ َ/ﱠ َ َم َوا ﱢF ً َ^ ِ ْ َ ا ْ َ ;َ َع َوا#َ َو ِرP َذھَ&ً َو.ْ َ eْ َO َ(َ ﱠL ِ /ْ َ& ﱡh ٍ ِ ْ َ ِ ا2ْ ََ َ 'َ ْ َ زLُ ْ َ ِر2 ٍام3َ ]ُ ْ ِ Zٌ ]ُ ُ َر+َ ُ+َ&َُ َوھ+َ ٌ &ْ َ -.(! و+/( ﷲ َ َم َ ْ& ُ َر ُ! ِل ﱠ# ى ُ+ُV;ْ َ +ِ /ِL ََ َ? نL .ٍْ I5َ ِ َ ِ ُ َL ُ+َ( ْ ﱡ َرZُ َ2 -.(! و+/( ( ﷲ-- ِﷲ َ َ ْ َ ا ْ َ ا ِدcَO َ َل َر ُ! ُل ﱠ# .ِﷲ َ َر ُ! َل ﱠ2 َُ َدةI7ُ ا ﱠ+َ ًi/ِ ََ ُ ْ( َ ھL ُjVْ َO ى3ِ ﱠ َوا ﱠkNَ » -.(! و+/( ( ﷲ-- ِﷲ َ َل# .« .ُ !ِ َ َ ْ َ اI&ْ l ِ ُ8 .ْ َ َ َ&/ْ ,َ َ ْ َم2 .ِ ِ َ eَ ْ ھَ ِ َ ا3َ َ,ََ رًا أO +ِ /ْ َ( َ ُ Iِ َ;(َْ ;َ َ'َ( ْ 7َ ِ ِه إِ ﱠن ا ﱠ/ِ ٍ ُ َ ﱠ َ َر ُ! َل ﱠ2 َ َ َلL . ِ /ْ Nَ َ ا9ِ ْاك أَو ُ &َ َ َل َر ُ! ُلL . َ َ&/ْ ,َ َ ْ َم2 Qْ ٍ َ 7ِ ِ Zٌ ]ُ َء َرXَ َL . ُ َع ا ﱠ سcِ َVَL َ َﷲِ أ ﱠ ٌ َ ا9ِ » -.(! و+/( ( ﷲ-- ِﷲ (.(5 )رواه.« َ ٍرO ْ ِ ِنNَ َ ا9ِ َْ ٍر أَوO ْ ِ ك
50
Artinya : “Dari Abi Hurairah, dia berkata, “kami pergi bersama Rasulullah ke Khaibar dan Allah menaklukan Khaibar untuk kami. Akan tetapi, kami tidak mendapatkan ghanimah (rampasan perang) yang berupa mas dan perak, kecuali ghanimah yang berupa barang-barang, makanan, dan pakaian; kemudian kami pergi ke lembah. Pada waktu itu Rasulullah bersama seorang budak yang dihadiahkan oleh seorang laki-laki dari Judzam yang bernama Rifa’ah ibn Zaid dari bani Dzubaib. Ketika kami turun dilembah itu, budak Rasulullah menurunkan pelana Rasulullah dan dia terkena panah sehingga mati. Kami berkata “berbahagialah karena dia gugur di jalan Allah (sebagai syahid) wahai Rasulullah, kemudian Rasulullah bersabda : “tidak, demi Allah yang jiwa Muhammad berada dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya mantel yang ia ambil dari ghanimah Khaibar yang belum dibagi benar-benar akan menyalakan api untuk membakarnya”. Orang-orang terkejut mendengar hal itu, kemudian seorang laki-laki datang dengan membawa seutas atau dua utas tali sepatu, dan dia berkata, wahai Rasulullah, ini saya dapatkan pada perang Khaibar. Rasulullah mejawab, bahwa itu adalah seutas atau dua utas tali dari neraka” (H.R. Muslim). Kasus yang lain juga terjadi pada perang Khaibar. Salah seorang gugur dalam perang Khaibar. Kabar kematian itu sampai pada Rasulullah, kemudian Rasulullah bersabda, shalatilah teman kalian (padahal biasanya Rasulullah mengajak para sahabat bersama-sama menshalati janazah; tetapi dalam kasus ini Rasulullah tidak berkenan menshalati janazah). Wajah sahabat lain berubah karena terkejut mendengar sabda Rasulullah. Kekagetan para sahabat itu diketahui oleh Rasulullah kemudian beliau menjelaskan bahwa teman yang meninggal itu telah melakukan ghulul (penggelapan) ghanimah di jalan Allah. Setelah mendengar penjelasan Rasulullah, mereka memeriksa barangnya dan ternyata ditemukan seuntai kalung mutiara yang biasa dipakai orang Yahudi, padahal harganya tidak mencapai dua dirham (Ali Nashif, 1986:391-392). Kasus-kasus di atas berkenaan dengan penggelapan harta rampasan perang (ghanimah). Dalam kasus-kasus tersebut, tindakan kriminal yang berupa penggelapan atau manipulasi terhadap harta rampasan (ghanimah) diistilahkan
51
dengan term al-ghulul. Menurut Ibn Hajr al-Asqalani (1988:215) al-ghulul berarti al-khiyanah fi al-maghnam, yaitu khianat dalam harta rampasan. Ibn Qutaibah dalam Ibn Hajr berpendapat bahwa dinamakan al-ghulul karena orang yang mengambil harta rampasan perang menyembunyikan harta tersebut. Menurut Syams al-Haq al-Adzim (1990:117), setiap orang yang berkhianat terhadap sesuatu dengan cara diam-diam (tersembunyi), maka dia telah melakukan alghulul. Dari definisi yang dikemukakan para ulama di atas dapat dipahami bahwa al-ghulul adalah khianat. Maksud khianat disini adalah mengambil sesuatu yang bukan haknya dengan cara sembunyi-sembunyi. Khianat juga bisa diartikan menyalahgunakan wewenang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Term al-ghulul banyak dipakai dalam pengertian mengambil harta rampasan (ghanimah) secara diam-diam sebelum diadakan pembagian. Dalam pengertian itu, term al-ghulul dinyatakan al-Qur’an (dengan menggunakan kata ghalla, yaghullu, dan yaghlul) dalam surat Ali Imran [3] ayat 161 : $¨Β <§ø-tΡ ‘≅à2 4’¯ûuθè? §ΝèO 4 Ïπyϑ≈uŠÉ)ø9$# tΠöθtƒ ¨≅xî $yϑÎ/ ÏNù'tƒ ö≅è=øótƒ tΒuρ 4 ¨≅äótƒ βr& @cÉ
∩⊇∉⊇∪ tβθßϑn=ôàムŸω öΝèδuρ ôMt6|¡x.
Artinya : “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya” (Q.S. Ali Imran [3]:161).
52
Ayat di atas turun berkenaan dengan harta rampasan perang. Ibn Abbas menyatakan bahwa surat Ali Imran [3] ayat 161 turun berkenaan dengan permadani merah yang hilang pada waktu perang Badr. Sebagian orang mengatakan bahwa barangkali Rasulullah yang mengambilnya, kemudian Allah menurunkan ayat itu untuk membantah tuduhan tersebut (Ibn Katsir, 1991:398). Dalam riwayat lain yang bersumber juga dari Ibn Abbas dikemukakan bahwa Rasulullah berkali-kali mengirim pasukan perang. Pada suatu waktu, ada yang kembali dari medan perang dengan membawa ghulul yang berupa kepala kijang yang terbuat dari emas, maka turunlah surat Ali Imran ayat 161 (al-Suyuti, tt:79). Meskipun al-Qur’an Surat Ali Imran [3] ayat 161 dan hadis-hadis diatas menggunakan term al-ghulul dalam pengertian khianat terhadap harta rampasan perang (ghanimah),
ternyata
Rasulullah
(dalam
hadis-hadis
lain)
juga
menggunakan term al-ghulul untuk tindakan kriminal yang obyeknya selain harta rampasan perang. Yang termasuk kategori al-ghulul juga adalah seseorang yang mendapatkan tugas (menduduki jabatan) mengambil suatu di luar hak (upah, gaji) yang sudah ditentukan dan seseorang yang sedang melaksakan tugas (memangku suatu jabatan) menerima hadiah yang terkait dengan tugasnya (jabatan). Rasulullah pernah mengangkat seorang laki-laki yang bernama Ibn Lutbiyyah (ada yang mengatakan Ibn al-Utbiyyah) dari al-Azd sebagai petugas untuk memungut shadaqah (zakat) Bani Sulaim. Setelah melaksanakan tugasnya, dia melaporkan hasil kerjanya kepada Rasulullah dan menyerahkan harat zakat yang telah dipungutnya, tetapi ada sebagian harta yang tidak diserahkan. Menurut pengakuannya, harta itu diberikan kepadanya sebagai hadiah. Rasulullah tidak
53
mau menerima pengakuannya sebab dia tidak mungkin akan mendapatkan hadiah kalau dia tidak diberi tugas untuk memungut shadaqah (zakat) itu (Ibn Katsir, 1991:128). Pejabat (pegawai) yang telah mengambil harta di luar ketentuan dikatagorikan sebagai orang yang melakukan al-ghulul, sebagaimana terungkap dalam hadits riwayat Abu Dawud (tt:24) :
.ِ ٍ ا ْ ُ َ (ﱢ/ْ 5َ ُ ْ َ ٍ / ِ !َ ِ ْ ث ِ ار ِ َ ِ َ ْ َ ْ َ ْ& ِ ا.ٍ Zٍ َ َ
َ ُ ََ َم أc,ْ َ ُ ْ ُ أ2ْ ََ ﱠ َ َ ز ُ َط ِ ٍ َ ﱠ َ َ أ
َ ْ َ ْ& ِ ﱠ َ( َ َُ َل » َ ِ ا ْ!;َ ْ َ ْ( َ ه# -.(! و+/( ( ﷲ-- َ ِ ا ﱠ&ِ ﱢ+ِ /ِ َ َ ةَ َ ْ أ2ْ َ ُ ِ ْ ِﷲ ()رواه أ داود.« ُ َ ُ^(ُ ٌلIَL َMِ َ ْ َ َذ3َ َ,ََ َ أL ً# َ هُ ِر ْز#ْ ََ َ زL
Artinya : “Dari Abdillah ibnu Buraidah dari bapaknya, mereka berkata bahwa Rasulullah bersabda, barang siapa yang kami angkat menjadi pekerja untuk melakukan sesuatu pekerjaan dan kami beri upah (gaji), kemudian dia mengambil sesuatu di luar upah yang ditentukan, maka dia dikatagorikan orang yang melakukan ghulul” (Abu Dawud, tt:24). Dari kasus-kasus yang telah dipaparkan di atas, perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai al-ghulul adalah pertama, melakukan penggelapan; kedua, menerima sesuatu (misalnya hadiah) karena memegang jabatan; ketiga, mengambil sesuatu di luar gaji resmi. Perbuatan-perbuatan itu merupakan perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan dengan cara menyalahgunakan wewenang. Menyalahgunakan wewenang dalam rangka memperoleh sesuatu yang diinginkan dikenal dengan term korupsi. Dengan demikian, term korupsi padanannya dalam bahasa agama (ajaran Islam) adalah alghulul.
54
4. Hirabah Makna asal hirabah adalah memerangi Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana tertera dalam surat al-Ma’idah [5] : 33.
÷ρr& (#þθè=−Gs)ムβr& #·Š$|¡sù ÇÚö‘F{$# ’Îû tβöθyèó¡tƒuρ …ã&s!θß™u‘uρ ©!$# tβθç/Í‘$ptä† tÏ%©!$# (#äτℜt“y_ $yϑ¯ΡÎ) šÏ9≡sŒ 4 ÇÚö‘F{$# š∅ÏΒ (#öθx-Ψム÷ρr& A#≈n=Åz ôÏiΒ Νßγè=ã_ö‘r&uρ óΟÎγƒÏ‰÷ƒr& yì©Üs)è? ÷ρr& (#þθç6¯=|Áム∩⊂⊂∪ íΟŠÏàtã ë>#x‹tã ÍοtÅzFψ$# ’Îû óΟßγs9uρ ( $u‹÷Ρ‘‰9$# ’Îû Ó“÷“Åz óΟßγs9 Artinya: “Sesungguhnya pembalasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi adalah mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan silang atau diasingkan. Hal itu dilakukan sebagai penghinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat nanti mereka akan memperoleh siksaan yang besar” (QS. Al-Maidah [5] : 33) Menurut para mufassir, di antaranya Fakhrudin ar-Razi, pengertian muharabah dalam ayat tersebut adalah menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya sehingga ayat tersebut dapat diartikan sebagai berikut : “sesungguhnya pembalasan bagi orang-orang yang menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya” (Fakhr ar-Razi, tt : 214). Hirabah meliputi qath’u ath-Thariq (pembegalan jalan). Bahkan sebagai ulama menyebutkan bahwa hirabah itu adalah qath’u ath-Thariq itu sendiri ( Ad-Dimyati, 1987 : 268). Qath’u ath-thariq adalah merampas harta orang lain dengan terang-terangan dan kekerasan, baik dengan cara membunuh atau tidak. Hirabah lebih sadis daripada pencurian sehingga mensyaratkan saksinya dua orang laki-laki dan dua
55
orang perempuan. Oleh karena itu, tidak salah jika qath’u ath-tariq disebut juga dengan as-Sariqah al-Kubra (pencurian besar) (Ad-Dimyati, 1987 : 268). Masih banyak kejahatan maliyah atau harta benda lain dalam fiqh seperti assuht. Harta haram disebut dengan suht (menghilangkan) karena harta haram bisa menghapus nilai ketaatan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa termasuk suht adalah risywah (suap) dalam hukum. ( رىG& )رواه ا.? اL ة9 ل ا# ؟Q 5 ر! ل ﷲ و ا2 Z/# + U ر أوL Q 5 ا+;&O أ. ZN
Artinya: “Setiap daging yang ditumbuhkan oleh as-suht, maka neraka lebih utama dengannya. Ditanyakan : Wahai Rasulullah, apa suht itu? Rasulullah menjawab : Risywah dalam hukum. (Bukhari, tt : 572).
Menurut Ibn Mas’ud sebagaimana dikutip oleh al-Qurthubi, as-suht adalah melicinkan kepentingan koleganya lalu ada pemberian sesuatu sebagai balas budi dan diterimanya (Al-Qurthubi, 1965 : 183). Senada dengan pendapat di atas, Ashshawi mengatakan bahwa harta haram disebut suht karena ia bisa menghilangkan berkah, yakni menghanguskan dan melenyapkannya (Ash-Shawi, tt : 248). Dari segi dampak yang ditimbulkannya, korupsi sangat dekat dengan hirabah, yakni sama-sama termasuk fasad (perusakan), yaitu perbuatan yang merusak tatanan publik. Sebagaimana harabah dalam bentuk qath’u ath-Thariq atau sariqah kubra (pencurian besar), korupsi juga mengancam harta sekaligus jiwa orang banyak. Korupsi sama dengan yakni memerangi Allah dan Rasulnya karena korupsi jelas-jelas menyalahi perintah Allah dan Rasulnya. Korupsi juga sama dengan hirabah dalam bentuk qath’u ath-Thariq dalam hal :
56
1. mengancam jiwa dan harta orang banyak (publik), karena korupsi dapat menyebabkan
kelaparan,
kebodohan,
rentan
terhadap
penyakit
yang
disebabkan oleh tidak memadainya pendapatan masyarakat sehingga tidak mampu menjangkau makanan yang bergizi, pendidikan yang berkualitas, dan pengobatan yang memadai. 2. menimbulkan kerusakan di muka bumi, karena korupsi dapat menimbulkan kehancuran dan kerugian sangat dahsyat yang harus ditanggung masyarakat banyak, seperti rusaknya lingkungan, tidak tegaknya hukum, rendahnya mutu pelayanan aparat.
C. KORUPSI DALAM UNDANG-UNDANG ANTI KORUPSI 1. Definisi dan Tipologi Korupsi Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption
atau corruptus
(Webster Student Dictionary: 1960). Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris : Corruption, corrupt; Perancis : corruption; dan Belanda corruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia menjadi kata korupsi (Hamzah : 1984 : 9). Arti kata itu secara harfiyah ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah ( The Lexicon 1987). Meskipun kata corruption itu luas sekali artinya, namun seringkali corruption
57
dipersamakan artinya dengan penyuapan ( Ensiklopedia Grote Winkler Prins 1977). Jika ditelisik lebih mendalam tentang akar geneologinya, kata korupsi sebenarnya berasal dari bahasa Latin corruption yang berarti menyuap dan corrumpere yang berarti merusak (Sudharto, 1987:111). Sementara Kamus Besar bahasa Indonesia memaknai korupsi sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya (Poerwadarminta, 1976). Dengan pengertian korupsi secara harfiyah, Andi Hamzah (1984:10) berkesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah yang sangat luas artinya. Seperti disimpulkan dalam Encyclopedia Americana, korupsi itu adalah suatu hal yang buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa. Menururt Andi Hamzah (1984:10) pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam ragam pula, dan artinya sesuai pula dari segi mana kita mendekati masalah itu. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sosiology of Corruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan politik ataupun ekonomi. Misalnya Alatas memasukkan nepotisme dalam kelompok korupsi dalam klasifikasinya (memasang keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu), yang tentunya hal seperti itu sukar dicari normanya dalam hukum pidana.
58
H.A. Brasz dalam Mochtar Lubis dan James C.Scott (1995:4-7) mendefinisikan korupsi dengan menempatkan unsur-unsur definisi korupsi sebagai berikut. Pertama, kekuasaan yang dialihkan (derived power). Kedua, kekuasaan yang dialihkan dipakai berdasarkan wewenang yang melekat pada kekuasaan itu, atau berdasarkan kemampuan-kemampuan yang formal ; meskipun penggunaan kekuasaan secara korup tidak sah menurut hukum, namun pemegang kekuasaan itu dengan mudah dapat menimbulkan kesan seakan-akan sah adanya. Ketiga, kekuasaan yang dialihkan itu dipakai untuk merugikan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan asli. Keempat, kekuasaan yang dialihkan itu dipakai untuk menguntungkan atau merugikan orang luar. Kelima, pemakaian wewenang dan kekuasaan formal secara tersembunyi dengan dalih menurut hukum. Kerja baru dalam kerangka analisa korupsi, khususnya yang cukup memadai untuk mengkaji persoalan korupsi di negara berkembang seperti di Indonesia dilakukan oleh Aditjondro yang menyusun suatu kerangka analisa korupsi berlapis tiga. Pertama, suap (bribery) dimana prakarsa datang dari warga yang membutuhkan bantuan pejabat tertentu dan pemerasan (extortion) dimana prakarsa datang dari pejabat publik. Kedua, nepotisme (diantara mereka yang punya hubungan darah dengan pejabat publik, dan korupsi di lingkaran kelas baru (terdiri dari semua kader partai pemerintah dan keluarga mereka yang menguasai semua pos basah, pos ideologis, dan pos yuridis penting). Ketiga, jejaring (cabal) yang bisa mencakup regional, nasional,
59
maupun internasional, yang meliputi unsur pemerintahan, politisi, pengusaha, dan aparat penegak hokum (Aditjondro, 54 :2001). Bank Dunia merumuskan definisi term korupsi, yaitu the abuse of public office for private gain (penyalahgunaan kewenangan publik untuk mendapatkan keuntungan pribadi (Sudirman Said dan Nizar Suhendra, 2002:99). Penyalahgunaan jabatan bisa berbentuk melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan untuk mendatangkan suatu keuntungan dan mencapai tujuan pribadi, orang lain, atau korparasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa korupsi adalah penggunaan jabatan untuk tujuan dan kepentingan yang diamanatkan (legal-formal). Syed Hussein Alatas, dalam Azyumardi (2004:92), corruption is the abuse of trust in the interest of private gain (penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi). Dari pengertian minimalis ini, alatas mengembangkan beberapa tipologi korupsi, yaitu: Pertama, korupsi transaktif, yakni korupsi yang dilatarbelakangi oleh adanya kesepakatan (agreement) diantara seorang donor dan resipien untuk berkolaborasi mencari keuntungan bagi kedua belah pihak. Kedua, korupsi ekstortif, yakni korupsi yang melibatkan intervensi dan pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan koruptor. Inilah yang disebut oleh Aditjondro sebagai penciptaan solidaritas atau perluasan jejaring korupsi. Ketiga, korupsi investif, yakni korupsi yang bermula dengan tawaran atau iming-iming yang merupakan investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan di masa
60
datang. Keempat, korupsi nepotistik, yakni korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan pada jabatan publik tertentu maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat. Kelima, korupsi otogenik, yakni korupsi yang terjadi ketika seorang individu pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insider’s information) tentang berbagai kebijakan public yang semestinya dia rahasiakan. Keenam, korupsi supportif, yakni perlindungan atau penguatan korupsi yang terjadi melalui intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan. Di Indonesia, menurut Theodore M. Smith, dalam Mochtar Lubis dan James C.Scott, korupsi dapat digolongkan dengan berbagai cara. Pertama, dimulai dengan manipulasi besar dipuncak (kekuasaan) dan turun ke bawah dalam bentuk uang kilat dan hadiah berupa rokok. Kedua, pencurian dan merupakan kerugian langsung atas sumber keuangan Negara. Ketiga, penyuapan dan merupakan kerugian langsung atas sumber yang berlainan jenis, legitimasi pemerintah, khususnya dalam pandangan kelompok elit yang kritis seperti kalangan professional, akademisi, mahasiswa dan pegawai pemerintah. Keempat, menyangkut sasaran praktek-praktek yang korup. Korupsi mempunyai berbagai macam jenis sesuai dengan sudut pandangnya. Dilihat dari cara mendapatkan keuntungan pribadi atau golongan, korupsi dibagi menjadi korupsi aktif dan korupsi pasif. Diantara korupsi aktif adalah : pertama, memberikan sesuatu (hadiah) atau janji kepada pejabat (pegawai negeri atau penyelenggara Negara) dengan maksud
61
supaya berbuat atau tidak berbuat seuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Kedua, memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepanya untuk diadili. Ketiga, menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan atau jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu melakukan perbuatan tersebut. Keempat, memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi.
Kelima,
menggelapkan,
merusakkan,
dan
menghancurkan barang, akta, surat, dan daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang atau membiarkan orang lain melakukan perbuatan tersebut. Keenam, melakukan perbuatan curang atau membiarkan orang lain berbuat curang dalam proyek pembangunan yang ditanganinya. Ketujuh, menyalahgunakan kekuasaannya dengan
memaksa
seseorang
memberikan
sesuatu
atau
memotong
pembayaran. Kedelapan, memanfaatkan kewenangan, kesempatan, atau saran yang ada padanya di luar ketentuan. Kesembilan, memungut uang tambahan di luar biaya resmi dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat (Darwan, 2002:2-4). Korupsi pasif berupa penerimaan sesuatu dari orang lain atas perbuatan yang dilakukan atau tidak dilakukan yang bertentangan dengan kewajibannya. Diantaranya: pertama, menerima sesuatu (hadiah atau janji) karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Kedua, hakim yang menerima sesuatu
62
(hadiah atau janji) untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya. Ketiga, polisi yang menerima sesuatu untuk membungkam tindakan criminal yang seharusnya diusut atau menerima sesuatu untuk dirinya dari masyarakat yang melakukan pelanggaran. Keempat, menerima sesuatu untuk mendukung seseorang meraih tujuan dan kepentingannya dalam menduduki jabatan strategis di birokrasi atau memenangkan golongan atau partainya. Kelima, menerima sesuatu dari wajib pajak untuk memberikan keringanan pajak bagi wajib pajak. 2. Delik-Delik Korupsi dalam KUHP Meninjau sejarah perundang-undangan pidana korupsi, menurut Andi Hamzah (1986: 33), perlu menengok jauh ke belakang, yaitu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) yang berlaku sejak 1 Januari 1918 yang dijadikan sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi, dan undangkan dalam Stbld 1915 Nomor 752, berdasarkan KB Oktober 1915. Berbagai rumusan ide dan gagasan pemberantasan korupsi di Indonesia telah banyak bermunculan, dan tidak sedikit pula yang telah diimplementasikan pada tataran praktis. Rentang sejarah perkembangan perundang-undangan
di
Indonesia
mencatat
pertama
kali
aturan
pemberantasan korupsi yang diberlakukan adalah Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957. aturan ini diproduk oleh penguasa militer Angkatan Darat dan diberlakukan untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat. Saat itu, korupsi ditafsirkan begitu luas, sehingga meliputi pula perbuatan-perbuatan
63
korupsi dalam sistem masyarakat perang. Namun dengan dicabutnya keadaan darurat perang, maka landasan hokum untuk peraturan penguasa perang pusat (P4) menjadi hilang (Tempo, 22 Juli 2002). Akhirnya peraturan ini dicabut pada 9 Juni 1960, untuk kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 24 tahun1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (Soeroso, 1992:1). Tetapi dalam regulasi pengganti ini masih terjadi kerancauan mekanisme hokum. Sebab Perpu No. 24 Tahun 1960 yang pada intinya mengatur tata cara pencegahan dan pemberantasan korupsi ini masih tetap mengacu kepada pembedaan antara definisi kejahatan dan pelanggaran sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pengaturan pemberantasan korupsi melalui Perpu tersebut terbukti tidak berjalan efektif dan efesien, karena korupsi masih dipandang sebagai bentuk delik materiil, di mana akibat kerugian yang diderita oleh system keuangan atau perekonomian negara atau korporasi, harus dibuktikan secara nyata sebagaimana pembuktian delik materiil. Untuk
meningkatkan
efektifitas
pemberantasan
korupsi
ini,
pemerintah kemudian memproduksi ulang aturan baru berupa UU No. 3 Tahun 1971 yang memuat gagasan yang lebih progresif. Korupsi yang semula dipahami sebagai delik materiil kemudian ditetapkan sebagai delik formil. Akan tetapi upaya ini tidak juga membuah hasil yang diharapkan. Karena pada decade ini, pelaku korupsi lebih banyak didominasi oleh kalangan pejabat dan kolega penguasa orba, sehingga kewenangan hukum sama sekali
64
tidak mampu menyentuh mereka. Ibarat menangkap maling di kampung maling, keberanian untuk menguak fakta kebenaran terkait tindakan korupsi seseorang justru akan beraibat fatal bagi nyawa dan masa depan dirinya sendiri. Stagnasi hukum di masa orba inilah yang kemudian berhasil didobrak melalui gerakan reformasi 1998. dalam frase transisi ini, spirit anti korupsi kembali membahana dan menempati ranking teratas dalam penjenjangan wacana reformasi. Berbagai rekomendasi pembaharuan terhadap undangundang anti korupsi tak terbendung lagi sebagai wujud euforia kebebasan yang telah lama diimpikan. Sebagai implementasi amanat reformasi dalam bidang supremasi hukum, maka disahkanlah UU. No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Langkah pembaharuan ini merupakan wujud komitmen pemerintah era reformasi untuk menyempurnakan aturanaturan yang terdapat dalam UU No. 31 Tahun 1971 yang dinilai sebagai aturan produk status quo. Pemberlakuan UU No. 31 Tahun 1999 ini kembali mengalami kendala teknis yang ditandai dengan terjadinya pertentangan antara kalangan praktisi dan ahli hukum terkait kontroversi aturan peralihan ketika mencabut pemberlakuan UU No 31 Tahun 1999. untuk menjembatani problematika tersebut, pemerintah merumuskan tawaran solutif yang kemudian tercover dalam UU No. 20 Tahun 2001, sebagai aturan perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999. di dalam pasal 43 A dan B UU No. 20 Tahun 2001, diatur tentang batasan bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum
65
dikeluarkannya UU No. 31 Tahun 1999, supaya dalam proses hukumnya tetap menggunakan aturan hukum positif saat itu, yakni yang terdapat dalam UU No. 31 Tahun 1971. sedangkan UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 diberlakukan untuk tindak pidana korupsi yang terjadi setelah diberlakukannya undang-undang tersebut. Adapun aturan komplemen yang cukup membantu dalam upaya pemberantasan korupsi adalah UU No. 28 Tahun 1999 yang mengatur tentang penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan bebas KKN. 3. Sebab-Sebab Maraknya Korupsi Akar penyebab korupsi di Indonesia, diungkapkan oleh Jeferson Kameo, seperti yang dikutip oleh Musni Umar (2004 :160), pertama, mengikuti hipotesis Durkheim yang mengatakan bahwa tranformasi masyarakat
yang
menjadi
sebab
merosotnya
moralitas
dikalangan
masyarakat. Menurut hipotesis itu, transformasi atau peralihan masyarakat yang terjadi, dari tani atau nelayan ke industri, mengakibatkan nilai-nilai lama ikut berubah, sementara nilai-nilai baru yang sesuai dengan nilai-nilai industri belum terbentuk. Perubahan semacam itu, mengakibatkan masyarakat mengalami sikap anomi. Nilai-nilai lama yang berbentuk undang-undang sudah ditinggalkan, sementara nilai-nilai yang baru belum terwujud. Perubahan terjadi secara cepat, membuat masyarakat menjadi tidak sabar, dan malas. Akhirnya mengambil jalan pintas untuk cepat berpenghasilan banyak, dengan cara korupsi seperti menerima suap dan sebagainya. Kedua, mirip dengan pendekatan para Durkheimian, dimana para
66
teoritikus mengatakan bahwa para koruptor menggunakan jaringan atau metode strategi ekonomi agar tetap survive. Contoh yang dikemukakan Jeferson Kameo ialah industri tekstil yang beroperasi di lingkungan sebuah desa. Walaupun industri itu menimbulkan pencemaran, tapi berhubung nasib kepala desa dan penduduk desa itu bergantung pada industri tersebut, maka dicarilah jalan dan sejumlah alasan untuk mempertahankan eksistensi industri tekstil dimaksud. Ketiga, praktik korupsi mengakar pada norma dan institusi birokasi yang mementingkan prestasi secara statistik. Mereka yang ada dalam institusi-intitusi itu kemudian dipengaruhi oleh norma dan pola institusi untuk mengejar target statistik guna menyenangkan atasannya contoh yang dikemukakan Kameo, ditemukan dalam sebuah investigasi di negara bekas Uni Soviet bahwa polisi di negara itu menanam ganja di beberapa daerah yang dilindungi. Pada musim-musim tertentu ketika daun ganja mulai matang, para polisi ini melakukan operasi pembersihan ganja. Maksud operasi ini adalah untuk menyenangkan pihak atasan karena dari target tiga kali operasi (target statistik) dua diantaranya berhasil menggulung penanaman ganja di daerah tertentu. Para anak buah polisi yang beroperasi kemudian diberi kenaikan pangkat sebagai hadiahnya. Keempat, korupsi terjadi karena bila diperhatikan rekaman sejarah perkembangannya, negara-negara yang menganut faham sosialis komunis memang mengantongi nilai-nilai yang korup. Dicontohkan pada pemberian subsidi. Praktik ini konon dianggap berdasarkan pada nilai yang mengajarkan
67
malas dan ketergantungan. Bagi yang anti subsidi, pemberian subsidi bahan bakar minyak misalnya, mungkin dapat dikatagorikan sebagai para koruptor, bila pendekatan ini diterapkan secara mentah-mentah. Menurut Musni (2004: 160) dari empat penyebab korupsi yang dikemukakan, dapat ditegaskan bahwa tidaklah sepenuhnya keempatempatnya relevan dengan situasi Indonesia. Korupsi yang sudah membudaya dalam masyarakat Indonesia, tidak bisa disamakan antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya. Penyebab korupsi tiap kelompok masyarakat berbeda. Kendatipun penyebab korupsi tiap kelompok berbeda-beda, tetapi satu hal yang perlu dicatat bahwa korupsi merupakan produk budaya, akibat sistem politik, sosial budaya dan ekonomi yang sekuler. Di dalam negara yang bersifat sekuler seperti Indonesia, agama hanya hadir dalam kehidupan pribadi, tidak hadir dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan sebagainya (Musni, 2004:163). Sementara Syed Hussain Alatas (2002:2) mempersalahkan tidak adanya aspek keteladanan serta ketidakmampuan pemimpin untuk menekan tindak kecurangan. Hal tersebut ditopang pula oleh lemahnya moral, rendahnya tingkat pendidikan, faktor kemiskinan, tidak adanya ketegasan sanksi, adanya kultur korup yang terlanjur mapan dalam kehidupan politik dan kekuasaan, serta terjadinya perubahan sosial secara radikal yang tidak berimbang dimana perubahan radikal tersebut akan melahirkan adanya
68
perilaku kolektif-potologis, sehingga masyarakat akan menderita sosiopatik atau sakit secara sosial. Karena kesulitan dalam menangani kasus korupsi inilah Satjipto Rahardjo (Kompas, 19 Desember 2008) pernah berkomentar bahwa Indonesia seolah-olah menyediakan pelabuhan aman (safe heaven) bagi para koruptor. Salah satu alasan Pak Tjip adalah karena hukum-hukum yang tersedia hanya dipahami dari sisi normatif atau aspek legal formalnya semata, tanpa mempertimbangkan alasan-alasan moral. Sehingga merujuk dari komentar tersebut, para koruptor “baru” boleh jadi akan terus bermunculan karena catatan buruk hukum dalam memberantas korupsi. Jika korupsi atau money politics dirasa “aman”, maka hal tersebut sangat berpotensi untuk terus mengulang-ulang perbuatan tersebut dan semakin menipiskan perasaan tabu lagi.