BAB II LANDASAN TEORI A. TRUST A.1. Definisi Trust Trust menurut Johnson & Johnson (1997) merupakan aspek dalam suatu hubungan dan secara terus menerus berubah.
Dan Johnson (2006), trust
merupakan
mempertahankan
dasar
dalam
membangun
dan
hubungan
intrapersonal. Trust terhadap pasangan akan meningkat apabila pasangan dapat memenuhi pengharapan individu dan bersungguh-sungguh peduli terhadap pasangan ketika situasi memungkinkan individu untuk tidak memperdulikan mereka (Rempel dalam Levinsin, 1995). Perkembangan trust juga tergantung pada kesediaan individu untuk menunjukkan kasih sayang dengan mengambil resiko dan bertanggung jawab terhadap kebutuhan pasangan. Apabila pasangan menjalani kesuksesan dalam hal pemecahan konflik, bukan hanya trust yang akan meningkat tapi juga akan menambah bukti terhadap komitmen pasangan dalam hubungan dan juga kepercayaan yang lebih besar bahwa hubungan akan berjalan (Rempel dalam Levinsin, 1995). Henslin (dalam King, 2002) memandang trust sebagai harapan dan kepercayaan individu terhadap reliabilitas orang lain. Pondasi trust meliputi saling
Universitas Sumatera Utara
menghargai satu dengan lainnya dan menerima adanya perbedaan (Carter, 2001). Individu yang memiliki trust tinggi cenderung lebih disukai, lebiih bahagia, dianggap sebagai orang yang paling dekat dibandingkan individu yang memiliki trust rendah (Marriages, 2001). Hanks (2002) menyatakan bahwa trust merupakan elemen dasar bagi terciptanya suatu hubungan yang baik. Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas ditarik kesimpulan bahwa definisi trust adalah suatu elemen dasar bagi terciptanya suatu hubungan baik antara kedua belah pihak yang berisi tentang harapan dan kepercayaan individu terhadap reliabilitas seseorang. A.2. Faktor terbentuknya Trust Membangun trust pada orang lain merupakan hal yang tidak mudah. Itu tergantung pada perilaku kita dan kemampuan orang lain untuk trust dan dalam mengambil resiko. Faktor yang mempengaruhi trust individu dalam mengembangkan harapannya mengenai bagaimana seseorang dapat trust kepada orang lain, bergantung pada faktor-faktor di bawah ini (Lewicki, dalam Deutsch & Coleman, 2006): 1. Predisposisi kepribadian Deutsch (dalam Deutsch & Coleman, 2006) menunjukkan bahwa setiap individu memiliki predisposisi yang berbeda untuk percaya kepada orang lain. Semakin tinggi tingkat predisposisi individu terhadap trust, semakin besar pula
Universitas Sumatera Utara
harapan untuk dapat mempercayai orang lain. 2. Reputasi dan stereotype Meskipun individu tidak memiliki pengalaman langsung dengan orang lain, harapan individu dapat terbentuk melalui apa yang diperlajari dari teman ataupun dari apa yang telah didengar. Reputasi orang lain biasanya membentuk harapan yang kuat yang membawa individu untuk melihat elemen untuk trust dan distrust serta membawa pada pendekatan pada hubungan untuk saling percaya. 3. Pengalaman aktual Pada kebanyakan orang, individu membangun faset dari pengalaman untuk berbicara, bekerja, berkoordinasi dan berkomunikasi. Beberapa dari faset tersebut sangat kuat di dalam trust, dan sebagian kuat di dalam distrust. Sepanjang berjalannya waktu, baik elemen trust maupun distrust memulai untuk mendominasi pengalaman, untuk menstabilkan dan secara mudah mendefenisikan sebuah hubungan.ketika polanya sudah stabil, individu cenderung untuk mengeneralisasikan sebuah hubungan dan menggambarkannya dengan tinggi atau rendahnya trust atau distrust. 4. Orientasi psikologis Deutsch (dalam Deutsch & Coleman, 2006) menyatakan bahwa individu membangun dan mempertahankan hubungan sosial berdasarkan orientasi psikologisnya. Orientasi ini dipengaruhi oleh hubungan yang terbentuk dan sebaliknya. Dalam artian, agar orientasinya tetap konsisten, maka individu akan
Universitas Sumatera Utara
mencari hubungan yang sesuai dengan jiwa mereka. Membangun trust pada orang orang lain merupakan hal yang tidak mudah. Itu tergantung pada perilaku kita dan kemampuan orang lain untuk trust dan mengambil resiko (Myers, 1992). A.3. Dinamika Trust Hubungan interpersonal bukan hanya berisi sekumpulan kebiasaan. Di dalamnya terdapat suatu struktur, perilaku yang stabil, memberi dan menerima, tuntutan dan komitmen (Solomon, Robert.; Flores, Fernando, 2001). Dan dasar untuk membangun suatu hubungan interpersonal yang baik diperlukan rasa saling percaya (trust) antara satu dengan lainnya. Adapun beberapa tahapan dalam dinamika trust, yaitu: I.
Membangun trust
Menurut Falcone & Castelfranci (2004), trust merupakan suatu fenomena yang dinamis yang terjadi secara intrinsik pada suatu keadaan yang alamiah, dimana trust merupakan hal yang menyangkut masalah mental yang didasarkan oleh situasi seseorang dan konteks sosialnya, misalnya ketika seseorang untuk mengambil suatu keputusan, ia akan lebih memilih keputusan berdasarkan pilihan dari orang-orang yang lebih dapat ia percayai dari pada yang kurang ia percayai. Hal tersebut juga diperkuat oleh Hoogendoorn, Jaffry & Treur (2009) yang mengatakan bahwa trust tidak hanya tergantung pada pengalaman tetapi juga melibatkan hubungan dengan proses mental dimana terdapat adanya aspek
Universitas Sumatera Utara
kognitif dan afektif di dalamnya. Hal ini menjelaskan bahwa trust tidak hanya tergantung pada pengalaman sebagai informasi yang diperoleh dari waktu ke waktu, tetapi juga melibatkan respon emosi dan perasaan yang berhubungan dengan pengalaman tersebut . Untuk dapat trust, seseorang akan mengharapkan adanya sense of responsibility, percaya bahwa mereka akan berperilaku pada cara-cara yang dapat dipercaya. Untuk dapat trust, seseorang akan berharap bahwa orang yang ingin ia percaya akan mengerti harapannya dan mengetahui cara untuk mengatasi keterbatasannya, karena itu hal yang paling esensial dari trust adalah keterbukaan. Hal tersebut juga diperkuat oleh Gambetta (dalam, Falcone & Castelfranci, 2004) yang mengatakan bahwa trust merupakan suatu kemungkinan yang subjektif dari seorang individu, yang mengharapkan individu lain untuk menunjukkan suatu tindakan tertentu, segala kemungkinan yang terjadi tergantung pada bagaimana perilaku yang ditunjukkan orang yang kita percayai tersebut kepada kita, bagaimana mereka dapat memenuhi perilaku yang kita harapkan. Membangun trust diawali dengan menghargai dan menerima kepercayaan (trust) tersebut, melibatkan rutinitas sehari-hari dan latihan yang terus menerus. Tanpa adanya perilaku nyata, pemahaman dan penerimaan kita akan trust pun tidak berarti apapun. Membangun trust berarti memikirkan suatu kepercayaan (trust) dalam cara yang positif, membangun langkah demi langkah, komitmen demi komitmen. Jika trust dianggap sebagai sebuah bentuk resiko dan penuh ancaman, maka tidak ada hal positif yang bisa kita dapatkan. Memang trust selalu berdampingan dengan ketidakpastian, tapi kita harus berusaha membuat diri kita
Universitas Sumatera Utara
sendiri untuk berpikir bahwa ketidakpastian tersebut sebagai sebuah kemungkinan dan kesempatan, bukan sebagai halangan (Solomon, dkk, 2001). Trust merupakan sesuatu hal yang penting bagi sebuah hubungan karena di dalamnya terdapat kesempatan untuk melakukan aktivitas yang kooperatif, pengetahuan, otonomi, self-respect, dan nilai moral lainnya (Blackburn, 1998). Hal itu sejalan dengan pendapat Johnson & Johnson, 1997 yang menyatakan bahwa trust memiliki lima aspek penting di dalamnya, yang mendasari suatu hubungan intrapersonal yaitu openness (keterbukaan) yaitu ketika pasangan dapat saling membagi informasi, ide-ide, pemikiran, perasaan, dan reaksi isu-isu yang terjadi, sharing (berbagi) dimana pasangan menawarkan bantuan emosional dan material serta sumber daya kepada pasangannya dengan tujuan untuk membantu mereka menuju penyelesaian tugas, acceptance (penerimaan) yaitu ketika adanya komunikasi penuh penghargaan terhadap pasangan, support (dukungan) yaitu komunikasi dengan orang lain yang diketahui kemampuannya dan percaya bahwa dia mempunyai kapabilitas yang dibutuhkan, dalam hal ini seseorang percaya bahwa pasangannya memiliki kemampuan dan kapabilitas yang dibutuhkan dalam menjalankan hubungan intrapersonal, dan yang terakhir adalah cooperative intention yaitu adanya pengharapan bahwa seseorang dapat bekerja sama dan bahwa orang lain juga dapat bekerjasama untuk mencapai pemenuhan tujuan, dan dalam hal ini pasangan percaya bahwa pasangannya dapat bekerja sama dalam mencapai pemenuhan tujuannya. Jadi ketika kita dan pasangan sudah memenuhi kelima aspek tersebut, maka kita dan pasangan telah memiliki mutual trust satu dengan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
II.
Terbentuknya trust
Trust terjadi dikarenakan adanya keyakinan bahwa pasangan akan memberikan keuntungan, dan terbentuk melalui sikap menerima, mendukung, sharing, dan kerjasama pada diri seseorang (Johnson & Johnson, 1997). Artinya bahwa trust merupakan suatu situasi kita menerima pengaruh dari orang lain, dan kita percaya bahwa orang lain akan memberikan keuntungan bagi kita. Supaya suatu hubungan dapat berjalan dengan baik dan efektif, individu harus membangun perasaan saling percaya (mutual trust). Trust terbentuk melalui rangkaian perilaku antara orang yang memberikan kepercayaan dan orang yangn dipercayakan tersebut. Interpersonal trust dibangun melalui adanya resiko dan penerimaan dan dapat hancur karena adanya resiko dan tidak adanya sikap penerimaan. Tanpa resiko maka trust tidak akan terbentuk, dan hubungan tidak dapat maju dan berjalan (Johnson & Johnson, 1997). Ketika seseorang mengambil resiko dengan terbuka (disclosing) dalam membicarakan pemikiran-pemikirannya, informasi, kesimpulan, perasaan dan reaksi pada suatu situasi dan pasangan akan memberikan respon yang positif berupa penerimaan, support, kooperatif dan membalas kita dengan menjadi terbuka (disclosing) dalam membicarakan pemikiran, ide, dan perasaan mereka, disitulah trust dapat terbentuk dan berkembang (Johnson & Johnson, 1997). III.
Fase Distrust
Trust merupakan sesuatu yang rapuh. Trust dapat berubah dari waktu ke waktu, karena orang yang terlibat di dalam trust tersebut juga pasti akan
Universitas Sumatera Utara
mengalami perubahan (Falcone & Castelfranci, 2004). Hal tersebut didukung oleh pendapat Johnson & Johnson 1997 yang menyatakan bahwa Trust bukan suatu jaminan untuk tidak dapat berubah karena keadaan bisa menghilangkan kemampuan seseorang untuk trust. Di dalam interaksi nyata, kita tidak akan pernah mendapatkan situasi interaksi yang benar-benar sama dalam suatu waktu, dengan begitu suatu keadaan tertentu bisa saja mempengaruhi trust seseorang pada orang yang ia percayai. Trust berubah bukan hanya karena adanya suatu pengalaman tertentu, belum tentu suatu pengalaman yang menyenangkan akan meningkatkan trust dan sebaliknya. tetapi juga dengan adanya modifikasi dari berbagai sumber trust tersebut, misalnya pengalaman langsung di masa lalu, reputasi trustee (bagaimana pengalaman dan opini orang lain mempengaruhi kepercayaan trustier kepada trustee), perubahan sikap dan perilaku dari orang yang kita percayai, keadaan emosional trustier, dan dengan adanya modifikasi dari lingkungan yang menuntut seseorang untuk berperilaku tertentu (Falcone & Castelfranci, 2004). Trust berubah juga karena adanya suatu faktor sebab akibat (causal attribution), kepercayaan seseorang pada orang lain akan bergantung pada bagaimana orang lain tersebut berperilaku dan sebaliknya. Solomon, dkk (2001) menjelaskan bahwa, ada kalanya seseorang berada di dalam periode distrust yang ekstrim. Seseorang yang kehilangan kemampuan trust sering kali karena adanya suatu keadaan traumatis (Herman, 1991). Hal tersebut terjadi karena adanya pengkhianatan dan pelanggaran terhadap trust dan komitmen tersebut. Trust memang meliputi resiko dan konsekuensi dari resiko seringkali membuat kita kecewa dan merasa gagal. Walaupun trust merupakan
Universitas Sumatera Utara
sesuatu yang bersifat bebas, trust juga melibatkan resiko. Ada beberapa katagori dari kekecewaan tersebut, yang pertama adalah kekecewaan karena sesuatu tidak berjalan sebagai mana mestinya. Ada kemungkinan besar bahwa sesuatu tdk berjalan sebagai mana mestinya. Ini bukan berarti kesalahan seseorang. Disini trust merupakan dirinya sendiri dan trust di dalam perilaku nyata dan proses yang terhubung, menjadi sesuatu yang krusial. Dan hal yang paling esensial dari bagian ini adalah ketika orang tersebut tetap melanjutkan untuk percaya dengan orang lain dan dapat berpikir bahwa ini merupakan sebuah kebijaksanaan dan penerimaan kita setiap hari. Katagori kekecewaan yang kedua adalah karena adanya kesalahan. Terkadang hal ini disebabkan oleh sesuatu yang tidak berjalan sebagai mana mestinya dan karena kesalahan dari seseorang. Setelah berada di dalam periode distrust, beberapa orang ada yang tidak dapat melupakan dan juga tidak dapat memaafkan, tetapi tidak sedikit pula mereka tetap berubah dan belajar untuk trust kembali kepada pasangannya. Reestablishing
trust
adalah
membangun
kembali
struktur-struktir
baru,
memulihkan dan kembali melakukan rutinitas sehari-hari dan membangun kembali hubungannya tersebut. B. ABORSI B.1 Definisi Aborsi Menurut Wikipedia, Aborsi adalah Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”. Berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar
Universitas Sumatera Utara
kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Dadang Hawari dalam bukunnya ‘ABORSI – Dimensi Psikoreligi’ (2006) bahwa aborsi merupakan pengguguran kandungan atau terminasi (penghentian) kehamilan yang disengaja (abortus provocatus), yaitu, kahamilan yang diprovokasi dengan berbagai macam cara sehingga terjadi keguguran. Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas ditarik kesimpulan bahwa definisi aborsi adalah suatu terminasi kehidupan dari janin sebelum ia diberi kesempatan hidup dan berkembang dengan cara yang disengaja dan diprovokasi dengan berbagai cara agar terjadi keguguran.
B. 2. Macam-macam Aborsi Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi (Hawari, 2006), yaitu: 1. Aborsi Spontan / Alamiah: berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma, 2. Aborsi Buatan / Sengaja: pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu (7 bulan) sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak). 3. Aborsi Terapeutik / Medis: pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik.
Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi
Universitas Sumatera Utara
mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa. Pada penelitian ini dikhususkan pada jenis aborsi buatan atau aborsi yang disengaja, yaitu suatu aborsi sebagai pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu (7 bulan) sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini adalah dokter, bidan, dukun beranak atau ibu dari janin tersebut). Ada 2 macam tindakan aborsi yaitu: 1. Aborsi dilakukan sendiri Aborsi yang dilakukan sendiri misalnya dengan cara memakan obat-obatan yang membahayakan janin, atau dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang dengan sengaja ingin menggugurkan janin. 2. Aborsi dilakukan orang lain Orang lain disini bisa seorang dokter, bidan atau dukun beranak. Cara-cara yang digunakan juga beragam. Dalam penelitian ini, peneliti ingin meneliti perempuan yang melakukan aborsi yang dilakukan dengan cara sendiri dan dengan bantuan orang lain. B.3. Faktor-faktor pendorong aborsi Menurut Prof. Dr. Sarlito W. Sarwono, ada beberapa faktor yang mendorong aborsi: Dampak ekonomi jika tidak aborsi:
Universitas Sumatera Utara
a. anak terlalu banyak, penghasilan suami terbatas dsb. (khususnya untuk ibu-ibu peserta KB yang mengalami kegagalan kontasepsi) b. PHK (misal: pramugari, polwan) c. Belum bekerja (buat yang masih sekolah/kuliah) Dampak sosial jika tidak aborsi (khusus untuk kehamilan pra-nikah): a. Putus sekolah/kuliah b. Malu pada keluarga/tetangga c. Siapa yang akan mengasuh bayi d. Kalau bayi diasuh nenek, akan dipanggil apa? (Eyang dipanggil "ibu", ibu dipanggil "mbak"?) e. Terputus/terganggu karir/masa depan f. Dan sebagainya. B.4. Dampak Kondisi Aborsi Menurut Prof. Dr. Sarlito W. Sarwono ada beberapa Kondisi psikologik wanita pra-aborsi: a. Takut/cemas b. Butuh informasi tetapi tidak tahu mau bertanya ke mana/siapa? (Masyarakat mentabukan sex, apalagi aborsi, dari semua yang belum menikah, khususnya wanita). c. Butuh perlindungan tetapi laki-laki yang berbuat pada umumnya tidak mau, atau tidak mampu (karena sama-sama masih di bawah umur/masih
Universitas Sumatera Utara
sekolah) bertanggung jawab. d. Kebingungan sehingga menunda-nunda persoalan e. Pada saat merasa sudah sangat terdesak, akhirnya nekad, mencari bantuan yang paling terjangkau (dekat, mudah, murah) f. Tindakan nekad ini (karena tidak didukung oleh pengetahuan yang cukup) bisa sangat berbahaya (dukun/para medik/dokter yang tak bertanggung jawab, komplikasi yang tidak segeera ditolong, infeksi karena tidak periksa ulang dsb.). Sedangkan Kondisi psikologis pasca-aborsi (Burke, 2006): a.
Ketakutan yang intens, anxiety, helplessness.
b. Perasaan kehilangan kontrol c. Mati rasa secara emosional, sulit mengingat suatu kejadian. d. Merasa bersalah, perasaan sedih yang mendalam, depresi. e. Cepat marah, marah yang meledak-ledak, perilaku agrsif. f. Sulit tidur, ketidakbeMikaungsian secara seksual. g. flashback, mimpi buruk. h. Menghindar dari hubungan, menolak anak-anak. i. Pesimis terhadap masa depan. j. Drugs, alcohol abuse dan berpikir untuk bunuh diri. Sama halnya dengan pendapat yang diungkapkan oleh Edmundson, 2009, bahwa secara psikologis aborsi memberikan dampak hilangnya harga diri,
Universitas Sumatera Utara
perasaan dihantui dosa, lemahnya ikatan pasangan kedua belah pihak yang menyebabkan kegagalan setelah menikah, serta penghinaan terhadap masyarakat. Beberapa dampak aborsi terhadap psikososial seorang perempuan yang melakukan aborsi: 1. Efek pada hubungan dengan pasangan Menurut Burke (2004), ada sekitar 40 – 50 % pasangan mengakhiri hubungan mereka setelah aborsi, sekitar 40 -75 % dikarenakan gangguan pada intimacy dan trust terhadap pasangan mereka. Hal itu didukung pula oleh penelitian Barnett, dkk (1992) yang menyatakan bahwa wanita yang memiliki hubungan yang cenderung stabil, setelah melakukan aborsi dilaporkan berpisah. Dari 80% kelompok pasangan yang berpisah, kebanyakan wanita yang berinisiatif untuk melakukan perpisahan dengan pasangannya. Hubungan setelah aborsi dilaporkan menjadi lebih buruk, dengan lebih banyak konflik dan kurangnya saling trust satu dengan lainnya. 2. Hubungan dengan orang tua dan keluarga Jika orang tua yang memaksakan untuk melakukan aborsi, maka hubungan orang tua - anak menjadi rusak (Rue, 1994). Jika ia menyembunyikannya maka hal itu akan membuat jarak hubungan orang tua – anak akan semakin jauh (Rue dalam Burke, 2004). 3. Hubungannya dengan teman sebaya
Universitas Sumatera Utara
Perempuan yang pernah melakukan aborsi menjadi pesimis dan selalu berpikir negatif tentang hidupnya secara umum (Burke, 2004). Self esteem akan menurun dan ia akan menghindari kontak sosial. 4. Hubungannya dengan pasangan masa depan. Pengalaman masa lalu tentang aborsi akan dirahasiakan dari pasangannya karena takut akan judgement atau takut akan penolakan (Burke, 2004). Sering kali perempuan yang telah melakukan aborsi akan merasa tidak nyaman dan merasa takut dalam aktivitas seksual dengan pasangannya, dan sebagian akan menjadi sangat permisif terhadap aktivitas seksual. C. Pacaran C.1. Defenisi Pacaran Menurut Guerney & Arthur (Dacey & Kenny, 1997) pacaran adalah aktivitas social yang membolehkan dua orang yang berbeda jenis kelaminnya untuk terikat dalam interaksi sosial dengan pasangannya yang tidak ada hubungan keluarga. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2002) pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan.
Universitas Sumatera Utara
Ada beberapa karakteristik dari hubungan ini, yaitu perilaku yang saling bergantung satu dan lainnya, interaksi yang berulang, kedekatan emosionaal, dan kebutuhan untuk saling mengisi. Hubungan ini terdiri dari orang-orang yang kita sukai, seseorang yang kita sukai, cintai, hubungan yang romantis dan hubungan seksual. Salah satu kerakteristik dari pacaran yaitu adanya kedekatan atau keintiman secara fisik (physical intimacy). Keintiman (intimacy) tersebut meliputi berbagai tingkah laku tertentu, seperti berpegangan tangan, berciuman, dan berbagai interaksi perilaku seksual lainnya (Baron & Byrne, 1997). Sedangkan menurut Duvall dan Miller (1985), keintiman dalam berpacaran tersebbut antara lain meliputi berpegangan tangan, ciuman, petting dan intercourse. Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pacaran merupakan kegiatan yang dilakukan oleh dua orang yangberbeda jenis kelamin dan tidak menikah serta tidak ada hubungan keluarga, dan biasanya melakukan sejumlah perilaku, yaitu berpegangan tangan, berciuman, petting,dan sexual intercourse. C.2. Proses Pacaran Menurut Myers & Myers (1992), ada 5 tahap dalam suatu hubungan, pertama adalah tahap contacting. Pada tahap ini kita pertama kali menentukan apakah kita menginginkan seseorang yang kita temui tersebut atau tidak. Penentuan ini dipengaruhi oleh kesamaan minat, sikap, nilai, kebiasaan, kepribadian serta apakah itu cocok dengan kebutuhan dan nilai-nilai yang kita
Universitas Sumatera Utara
miliki. Tahap kedua adalah evaluating, dimana pada tahap ini kita mulai menyeimbangkan antara hal-hal yang positif yang kita dapatkan (reward) dengan cost yang kita keluarkan. Kita akan menilai apakah seseorang tersebut lebih memberikan kita keuntungan atau kerugian. Pada tahap ini juga sering disebut sebagai tahapan tawar-menawar, explorasi, keterlibatan, atau timbal balik. Ketika kita masuk dalam tahap ini bukan berarti tahap contacting selesai karena minat dan sikap akan membantu kita dalam mengevaluasi suatu hubungan. Tahap ketiga adalah committing. Pada tahap ini kita mulai memiliki komitmen-komitmen dan ditandai oleh adanya perjanjian dengan pasangan kita. Tahap ini ditandai dengan adanya intensitas, peninjauan ulang, keterkaitan, atau interaksi-interaksi penting, lalu adanya keterikatan, keabsahan hubungan, intimacy, coupling, dan kestabilan hubungan. Pada tahap ini, penilaian negative terhadap pasangan lebih minim atau sedikit. Kita akan sering melewatkan atau melupakan kesalahan-kesalahan yang dilakukan pasangan dan hanya berfokus pada kesenangan bersamanya. Tahap berikutnya adalah doubting, dimana pada tahap ini mulai ada konflik. Tahap sebelumnya kita berfokus pada “kualitas baik” dari seseorang, pada tahap ini kita mulai melihat sesuatu yang lebih ‘buruk’ dari seseorang tersebut. Kebiasaan dan sikap yang awalnya bisa kita terima atau mungkkin kita sukai, sekarang akan lebih mengganggu. Hubungan mulai sedikit berbagi dan melakukan lebih sedikit usaha untuk menyenangkan satu dengan lainnya. Dan akhirnya kita masuk ke tahapan terakhir yaitu tahap disengaging, yaitu dimana kita akan menghindari, mengakhiri, menghancurkan atau menghentikan hubungan kita dengan pasangan. Tahap ini juga ditandai dengan perpisahan secara fisik, emosi dan psikologis.
Universitas Sumatera Utara
Pacaran sebagai salah satu bentuk hubungan intim dapat terjadi dimana saja, di kelas, di tempat kerja, di toko, di tempat bermain, dan lain-lain. tetapi, untuk memulai terjadinya suatu hubungan, maka biasanya dimulai dengan adanya rasa ketertarikan (interpersonal attraction), yaitu keinginan untuk dekat dengan seseorang (Brehm, 1992). Untuk memulai hubungan yang intim berbeda-beda caranya. Ada yang dapat dengan mudah jatuh cinta, tetapi ada yang memulainya dari hubungan pertemanan terlebih dahulu. Lalu lama-kelamaan hubungan tersebut berkembang (Brehm, 1992). Agar kedua individu berpacaran, maka pertama-tama harus muncul rasa ketertarikan (attraction). Ketertarikan dapat berupa mengirim dan menerima tanda seksual tertentu, yang dapat diekspresikan melalui gaya berpakaian atau gaya berjalan seseorang. Ketertarikan dapat juga sebagai bentuk umum dari rasa suka (liking) (Geer, Heiman & Leitenberg, 1984). Sedangkan menurut Baron dan Byrne (1997) ketertarikan itu dimulai ketika seseorang mulai berinteraksi dengan orang lain, dan biasanya interaksi tersebut dapat membuat seseorang tertarik dengan orang lain, yaitu kedekatan fisik (physical proximity). Faktor yang sangat penting yang dapat dijumpainya yaitu keadaannya pada saat itu (affective state). Seseorang akan senang dengan orang yang dijumpainya ketika perasaan emosinya positif dan begitu juga sebaliknya. Walaupun interaksi sudah terjadi berulang kali dan perasaan emosinya
Universitas Sumatera Utara
positif, tetapi rasa tertarik tidak akan timbul jika kedua individu yang kedua individu yang berkaitan tidak termotivasi untuk membentuk suatu hubungan. D. Dinamika Trust dalam hubungan Menurut Rositer dan Pearce (dalam Myers & Myers, 1992), kita akan mengalami trust hanya ketika hubungan kita dengan pasangan dikarakteristikkan dengan contingency; pada situasi ketika perilaku pasangan memberikan dampak yang siginifikan bagi diri kita, predictability; dimana kita bisa memprediksi perilaku pasangan kita, percaya bahwa pasangan akan berperilaku pada cara tertentu, karena jika predictability kita terhadap perilaku pasangan rendah maka kita hanya bisa berharap dan bukan trust, dan alternative options; dimana kita bebas untuk melakukan sesuatu selain trust, karena trust
hanya merupakan
pilihan. E. Dinamika Trust dalam hubungan setelah aborsi Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Barnett, dkk (1992) yang menyatakan bahwa wanita yang memiliki hubungan yang cenderung stabil, setelah melakukan aborsi dilaporkan berpisah. Dari 80% kelompok pasangan yang berpisah, kebanyakan wanita yang berinisiatif untuk melakukan perpisahan dengan pasangannya. Hubungan setelah aborsi dilaporkan menjadi lebih buruk, dengan lebih banyak konflik dan kurangnya saling trust satu dengan lainnya. Seseorang yang kehilangan kemampuan trust seringkali karena adanya suatu keadaan traumatis (Herman, 1991). Aborsi merupakan sebuah pengalaman yang traumatis dan meninggalkan efek yang signifikan secara fisik dan psikologis
Universitas Sumatera Utara
pada perempuan yang melakukannya (Edmundson, 2009). Menurut penelitian Anne Speckhard (1992), sekitar 50 % perempuan pasca aborsi kehilangan trust terhadap orang lain, dan 58% kehilangan kepercayaan terhadap laki-laki. Aborsi dikatakan sebagai pengalaman yang traumatis dikarenakan bahwa itu melibatkan kejadian kematian seseorang, yang secara spesifik, merupakan pembunuhan seseorang yang belum dilahirkan secara disengaja dan menyaksikan kematian yang yang kejam, sama halnya dengan melanggar tanggung jawab dan insting orang tua, merusak hubungan ibu dan anak yang belum dilahirkan dan rasa sedih yang sangat mendalam (Coleman dkk, 2005; MacNair, 2005; Speckhard & Rue, 1992 dalam Major dkk, 2008). Rasa sedih, perasaan bersalah yang mendalam, penyesalan, depresi yang terjadi pada individu yang menjadikan seorang perempuan yang melakukan aborsi merasa trauma dan mempengaruhi hubungannya dengan pasangan. Perasaan bergantung pada pasangan membuat individu berusaha untuk membangun trust kembali pada pasangan. Sebuah hubungan yang intim dapat membuat kita mengenal diri kita sebenarnya dan merasa diterima. Dimana hubungan tersebut terjadi ketika trust dapat menggantikan perasaan anxiety dan dimana kita dapat secara bebas membuka diri kita sendiri tanpa harus takut kehilangan perasaan pasangan kita (Holmes & Rampel, 1989 dalam Myers, 2007).
Universitas Sumatera Utara