BAB II Landasan Teori
2.1
Definisi Slametan Slametan merupakan upacara keagamaan yang paling umum dalam budaya Jawa. Ia melambangkan kesatuan mistik dan sosial. Masyarakat setempat merupakan pelaku utama dalam upacara slametan. Slametan merupakan suatu wadah bersama masyarakat yang diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman perseorangan, dalam perubahan bentuk kehidupan di kota dan pedesaan. Pada abad keduapuluh sebagian masyarakat Jawa menganggap slametan kurang efisien dan kurang memuaskan sebagai suatu pengalaman keagamaan, tetapi sebagian besar masyarakat tradisional (pedesaan), menganggap slametan masih memiliki kekuatan dan daya tarik aslinya.1 Slametan merupakan budaya leluhur orang Jawa dimana mengacu pada Gusti sing gawe urip (Tuhan yang menciptakan hidup) sebagai pokok dasar upacara slametan. Hal tersebut diadakan sebagai ucapan syukur pada Tuhan atau untuk memuja roh halus. Jika melihat upacara slametan yang dilakukan dalam budaya Jawa, maka kita akan menemukan suatu kelompok masyarakat yang saling membangun dalam suatu cara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Bisa dikatakan upacara slametan yang dilakukan oleh orang Jawa merupakan upacara yang paling penting bagi kehidupan mereka. Upacara slametan merupakan upacara yang menyangkut akan keselamatan serta kesejahteraan orang Jawa, serta 1
Ani Rosiyati, Fungsi Upacara Tradisional Bagi Masyarakat Pendukungnya Masa Kini , (Yogyakarta: gunung mulia )
9
pandangan orang Jawa tentang Tuhan. Faham keselamatan Jawa sangat luas kompleks, sekaligus mendalam. Bisa jadi orang Jawa “tidak selamat” karena ia secara tradisi dianggap sebagai sukerta (punya cacat rohani), atau karena tidak mampu hidup selaras dengan masyarakat dan alam semesta.2
2.2
Munculnya Slametan Dalam Budaya Jawa Bagi mereka yang menetap di pulau Jawa, mereka terpengaruh oleh alam lingkungan Jawa; keadaan gunung, sungai, udara, tumbuh-tumbuhannya, suara burungnya dan sebagainya. Akibatnya membawa pengaruh pada mereka untuk menumbuhkan kebudayaan Jawa, yaitu suatu budaya yang merupakan hasil interaksi antara manusia pendatang dengan lingkungan alam Jawa. Oleh karena itu orang-orang Melayu yang datang kemudian dianggap sebagai nenek-moyang orang Jawa.3 Sebagaimana pada tempat-tempat yang lain, suku Jawa pada zaman purba kehidupannya amat bergantung kepada lingkungan hidup, kemudian menimbulkan kepercayaan adanya kekuatan alam dan arwah orang yang meninggal bersamaan dengan timbulnya seni lukis yang berlatang belakang magis, khususnya di dinding-dinding gua.4 Budiono Herusatoto dalam bukunya “Simbolisme Dalam Budaya Jawa”, mengatakan bahwa bangsa Jawa pada zaman purba mempunyai pandangan hidup Animisme, suatu kepercayaan adanya roh atau jiwa pada semua benda, tumbuhtumbuhan, hewan dan juga pada manusia sendiri. Di samping Animisme, pada
2
Ign. Gatut Saksono, Djoko Dwiyanto, Faham keselamatan dalam budaya Jawa (Yogyakarta: Ampera Utama 2011) iii. 3 Sufa’at M, Beberapa Pembahasan Tentang Kebatinan (Yogjakarta: Kota Kembang, 1985), 33. 4 R.P. Soejono, Ed., Sejarah Nasional Indonesia, Vol.I (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1984), 159.
10
mereka juga mempunyai pandangan hidup Dinamisme, yaitu kepercayaan akan adanya tenaga magis pada manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan bendabenda, juga dalam sebuah kata yang diucapkan atau ditulis pada tanda yang dipasang.5 Lebih jauh H.Th. Fischer mengatakan bahwa Animisme itu biasanya menjadi religi, sebab orang akan merasa terikat kepada roh itu dan kemudian berpaling menghamba kepadanya. Sedangkan Dinamisme biasanya menjadi magi, sebab orang mengira bahwa dengan tindakan-tindakan tertentu tenaga-tenaga itu dapat dimiliki, dapat dipergunakan untuk keuntungan diri sendiri atau kerugian orang lain.6 Menurut I. Djumhur, antara Animisme dan Dinamisme tak dapat dipisahpisahkan; tidak ada bangsa primitip yang hanya mempunyai anggapan Dinamistis dengan mengenyampingkan Animistis. Kedua gejala berpikir tersebut dapat di jumpai pada suatu bangsa yang sama.7 Di Jawa misalnya, ada kepercayaan bahwa apabila orang mempunyai ilmu tinggi, maka ia akan mengalami kesulitan apabila akan mati, karena dia menyimpan tenaga magis. Gejala ini merupakan gejala Dinamistis. Selanjutnya ada juga kepercayaan bahwa apabila orang mati harus ditutup semua lubang yang ada pada mayat, agar nyawa yang ada pada tubuh itu terlindung dari pengaruh buruk. Gejala ini adalah berkaitan dengan Animisme. Animisme dan Dinamisme inilah yang merupakan asal-usul kepercayaan yang dimiliki orang Jawa. Adanya kepercayaan terhadap kedua isme ini maka orangorang Jawa pada zaman purba itu tunduk kepada gejala-gejala alamiah dan benda-
5
Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa (Jogjakarta: PT. Hanindita, 1984), 43. H.Th. Fischer, Pengantar Anthropologi Kebudayaan Indonesia, terj. Anas Makruf (Jakarta: Pustaka Sardjana, 1953), 149 7 I.Djumhur, Pengantar ke Antropologi Budaya (Bandung: Dirgantara. 1977), 100. 6
11
benda
alam.
Ketundukan
ini
lahir
dalam
bentuk
menyembah
dan
mempertuhankannya. Maka disembahlah berbagai macam binatang dan tumbuhtumbuhan. Disembahlah manusia yang dianggap lebih kuat daripadanya. Disembahlah benda-benda alam yang lain seperti matahari, bulan, binatang, gunung, air, api dan lain-lain. Semuanya itu dianggap sebagai Tuhan. Untuk mengungkapkan perasaan dan ketundukannya kepada sesembahannya itu maka dibuatlah gambar dan tata-cara tertentu.8 Sebagai contoh untuk mencegah kekuatan
yang
bisa
menimbulkan
penyakit,
banjir,
gempa
bumi
atau hama tanaman maka dipersembahkanlah sesajian untuk benda-benda yang dianggapnya punya roh dan kekuatan9. Oleh karena inilah masyarakat Jawa ingin agar dirinya mendapatkan keselamatan yang benar-benar menjadi idaman orang Jawa dalam suatu keadaan yang tidak ada gangguan apa pun baik di bumi maupun di akhirat. Sebenarnya slamet (selamat) dalam pengertian awal budaya Jawa memang menjadi harapan semua orang. Slamet adalah kondisi ideal dimana tidak ada gangguan-gangguan yang terjadi di dalam kehidupan seseorang yang mengacu pada hidup damai sejahtera. Slamet yang menjadi pengharapan ini sering memiliki arti lain antara beja (untung) yang berbeda arti dengan tidak terjadi apaapa. Slamet dari sisi pandang ini merupakan slamet yang minimalis, secara umum untuk mengungkapkan kondisi yang setidaknya masih menyisakan suatu harapan minimal bahwa tidak semua kejadian merampas tuntas keberadaan seseorang. Slamet kadangkala dipakai untuk hal yang masih disisakan, yang masih utuh dan 8
Hasan al-Banna, Allah Fi al-‘Aqidah al-Islamiyah, terj. Mukhtar Yahya (Solo: Ramadhani, 1981),
9
HM.Rasyidi, Empat Kuliah Agama Pada Perguruan Tinggi (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), 11.
19.
12
masih masih dimiliki. Selain itu slamet merupakan ucapan syukur yang sekaligus merupakan pengharapan milik orang Jawa yang sangat melekat dalam kesehariannya. Begitu sering diucapkan oleh manusia umumnya, kata slamet seolah-olah menjadi salah satu tujuan hidup manusia Jawa dan hal ini dapat dilihat dari banyak upacara trasisional yang intinya memohon keselamatan baik untuk diri-sendiri, batin, keluarga dan masyarakat.10 Kata slamet dengan pemaknaan lain jika diperhatikan dengan teliti sangat berpengaruh pada pengambilan keputusan, sikap dan perilaku dalam sosial dan upaya mendekatkan diri dengan Tuhan. Upaya mencapai slamet itu kemudian diwujudkan melalui ritual slametan. Ritual ini merupakan usaha untuk mengembalikan keharmonisan atau keselarasan atara sesama manusia, manusia dengan alam, manusia dengan makhluk gaib dan antara manusia dengan Tuhan. Ritual adalah tata laku yang melekat tidak bisa dipisahkan dari setiap agama, ajaran, tradisi dan budaya mana pun di dunia ini. Dalam masyarakat Jawa ritual selamatan atau slametan menjadi main stream penghayatan perilaku mistik Kejawen. Di dalamnya terdapat simbol atau perlambang berupa sesaji, mantra, ubo rampe, syarat-syarat tertentu. Semua ubo rampe sesaji (syarat sesaji) mengandung makna yang dalam. Adalah keliru besar mengartikan makna sesaji sebagai makanan setan. Bagi masyarakat Jawa sangat mengenal bahwa “setan” atau makhluk halus bukan untuk diberi makan, tetapi harus diperlakukan secara adil dan bijaksana karena disadari bahwa mereka semua juga merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Namun hakekat dari ritual adalah sama yakni bertujuan untuk keselamatan. Slametan adalah tata laku untuk memohon keselamatan kepada 10
Ibid, 1.
13
Tuhan. Maka dalam ritual di dalamnya banyak sekali mengandung maksud permohonan doa kepada Tuhan YME. Karena bagi masyarakat mistik Jawa, berbakti kepada orang tua, dilakukan tidak saja selama masih hidup, namun juga saat sudah meninggal dunia pun anak turun tetap harus berbakti padanya. Tidak ketinggalan pula acara bersih desa, sungai, hutan, sawah, ladang, sebagai bentuk kesadaran diri untuk selalu menghargai alam semesta sebagai anugrah terindah Tuhan yang Maha pemurah.11 Upacara slametan yang dilakukan orang Jawa sudah mendarah daging, hingga kini merupakan fenomena yang tak bisa dilepaskan dengan akar sejarah kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa itu sendiri. Aktifitas slametan yang dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan bagi pelakunya itu pada mulanya bersumber dari kepercayaan animisme-dinamisme, sebuah fenomena kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang orang Jawa yang menganggap bahwa setiap benda itu punya roh dan kekuatan tertentu. Dari sinilah manusia pada awalnya merasa tak berdaya, lalu meminta perlindungan kepada yang maha kuat, yang disebut dengan roh dan kekuatan pada benda-benda tertentu. Aktifitas yang berupa permohonan untuk suatu keselamatan itulah kemudian disebut dengan “slametan”. Keadaan yang didambakan adalah slamet yang didefinisikan oleh orang Jawa ora.. gak ana apa-apa (logat Jawa Timur) artinya tidak ada apa-apa, atau yang lebih tepat tidak ada suatu yang menimpa dalam menjalani kehidupan. Pandangan Jawa tentang keselamatan menjadi harapan bagi setiap manusia
11
http://id.wikipedia.org/wiki/ritualSlametan, Diakses pada, 26 juli 2012, 15:21 wib.
14
memberikan gambaran yang sederhana bahwa setiap perjumpaan antara manusia yang relatif cukup lama tak berjumpa andum slamet (berbagi keselamatan). Sementara itu yang dibutuhkan manusia bukan hanya keselamatan masa kini, melainkan keselamatan di dunia yang akan datang. Bukan keselamatan yang sementara melainkan keselamatan yang kekal.12
2.3
Pola Slametan Dalam Budaya Jawa Slametan adalah merupakan upacara keagamaan versi Jawa yang paling umum di dunia. Geertz melakukan penelitan pada masyarakat Mojokutho, Ia melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut serta di dalamnya seperti: tetangga, rekan sekerja, sanak sekeluarga, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati dan dewa-dewa yang hampir terlupakan, semua duduk bersama mengelilingi satu meja dan karena itu terikat kedalam suatu kelompok sosial tertentu yang diwajibkan untuk tolong-menolong dan bekerja sama. Slametan merupakan wadah bersama masyarakat yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan sosial. Dengan demikian slametan merupakan upacara dasar yang inti bagi masyarakat Jawa, karena slametan mencakup seluruh kegiatan orang Jawa mulai dari kelahiran, pernikahan, kematian, panen dan acara yang lain. Selain itu slametan juga merupakan suatu budaya warisan nenek moyang yang masih dipegang oleh masyarakat Jawa.13
12 Pdt. Em. Siman Widyatmanta. Mth, Sikap Gereja Terhadap Budaya dan Adat-i stiadat (Yogyakarta: BMGJ 2007). 30-35 13 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989. Hal 13
15
Kebanyakan slametan diselenggarakan waktu malam setelah matahari terbenam dan sembahyang magrib dilakukan oleh mereka yang mengamalkanya. Biasanya seorang yang melakukan slametan akan mengundang ahli agama untuk menentukan hari yang baik menurut hitungan sistem kalender Jawa, jikalau menyangkut kelahiran dan kematian maka peristiwa itulah yang menentukan waktunya, karena peristiwa tersebut tidak bisa diprediksikan. Pada siang hari dipergunakan untuk menyiapkan hidangan, dalam hal ini peran perempuan yang melakukan, untuk pesta kecil hanya keluargalah yang menyiapkan tetapi untuk pesta besar tetangga sekitar akan dimintai bantuan. Sedangkan upacara slametan itu sendiri dilakukan oleh kaum pria, semua pria yang diundang adalah tetangga dekat. Begitu para undangan datang mereka mengambil tempat diatas tikar dan duduk dengan posisi formal yang disebut sila (dengan dua kaki dilipat kedepan dan badan tegak lurus). Sedikit demi sedikit ruangan tersebut dipenuhi dengan bau kemenyan, hal ini dimaksudkan untuk mengundang roh nenek moyang. Dalam upacaara slametan tuan rumah membuka upacara dengan menggunakan bahasa Jawa krama alus (bahasa Jawa yang halus/tinggi) hal ini dilakukan untuk mengetahui maksud dan tujuan slametan serta menghargai undangan yang datang, berharap semua memperoleh berkah yang ditimbulkan dari upacara slametan tersebut.14 Pada upacara slametan, yang menjadi pesertanya bukan sekedar dari orang-orang yang masih hidup, tetapi turut juga diundang orang yang sudah mati yang disebut dengan roh leluhur15. Yang dimaksud dengan roh leluhur adalah
14 15
Ibid, 14-15 Ibid, 18
16
nenek moyang mereka atau para pendahulu mereka yang sudah mati dan pernah berjasa pada mereka. Mereka itu misalnya orang-orang yang telah berjasa dalam mendirikan suatu desa atau cikal bakal desa, yang biasanya kemudian disebut sebagai danyang desa. Selain itu juga orang-orang yang pernah mendirikan suatu kerajaan dan berjasa dalam memakmurkannya. Inti dari slametan terletak pada makanan karena makanan merupakan persembahan buat roh-roh nenek moyang, dimana roh tersebut juga ikut makan bersama yang hadir. Dalam hal ini bukan berti roh tersebut memakan makanan yang disiapkan, melainkan roh tersebut memakan aroma atau bau dari makanan tersebut. Dalam hal ini dimaknai agar para roh nenek moyang dan roh yang berada di sekitar masyarakat tidak mengganggu. Dalam segi sosial slametan sangat erat hubunganya dengan relasi antar manusia. Dimana upacara slametan mengundang warga setempat serta keluarga agar relasi antara mereka tetap terjaga dengan baik.
Upacara slametan dapat digolongkan ke dalam empat macam sesuai dengan peristiwa atau kehidupan manusia sehari-hari yakni: 1.
Slametan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil tuju bulan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara untuk menyentuh tanah pertama kali, sunat, kematian serta saat-saat setelah kematian.
2.
Slametan yang berkaitan dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian dan setelah panen.
17
3.
Slametan yang berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan Islam dan Negara.
4.
Slametan pada saat yang tidak tertentu berkenaan dengan kejadiankejadian, seperti perjalanan jauh, rumah kediaman baru, menolak bahaya, janji setelah sakit dan lain-lain.
Di antara keempat macam golongan upacara slametan tadi, maka upacara slametan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, khususnya yang berhubungan dengan kematian serta saat sesudahnya, adalah suatu adat yang sangat diperhatikan dan kerap dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat Jawa. Hal ini mungkin disebabkan karena orang Jawa sangat menghormati arwah orang meninggal, terutama kalau orang itu keluarganya. Sehingga salah satu jalan yang baik untuk menolong keselamatan roh nenek moyang ialah dengan membuka upacara slametan sejak awal kematianya sampai seribu harinya.16
2.4
Makna Slametan Orang Jawa Slametan yang oleh orang Jawa dimaknai dengan “ora…gak ana apaapa” (tidak ada apa-apa, atau yang lebih tepat tidak ada suatu yang menimpa). Tetapi karena sesuatu yang mungkin terjadi dan hampir tak bisa dihindari. Dipandang dari segi kepercayaan terhadap roh halus dan mencoba tawar-menawar dengan mereka, khusus dalam masyarakat Jawa beranggapan bahwa roh itu sangat menggangu. Pandangan Jawa tentang keselamatan menjadi harapan bagi setiap manusia memberikan gambaran yang sederhana bahwa setiap perjumpaan antara manusia yang relatif cukup lama tak berjumpa andum slamet (berbagi 16
Koentjaraningrat, manusia dan kebudayaan di Indonesia (Djambatan: 1984) 341.
18
keselamatan). Sementara itu yang dibutuhkan manusia bukan hanya keselamatan masa kini, saat ini melainkan juga keselamatan didunia yang akan datang. Bukan keselamatan yang sementara melainkan keselamatan yang kekal. Keselamatan ini diharapkan oleh setiap manusia, bukan dari banyaknya teman, berlimpahan benda melainkan yang terutama keselamatan rohani dengan kata lain yang diperlukan manusia ialah keselamatan di dunia dan akhirat. Kehidupan yang sementara diibaratkan “mampir ngombe” yang artinya ibarat orang melakukan perjalan untuk mencapai sebuah tujuan dan di tengah perjalanannya disediakan air minun yang cuma-cuma, untuk selanjutnya meneruskan perjalanannya sampai akhirat untuk menuju hidup kekal. Pandangan Jawa tentang jalan keselamatan diperlukan kerukunan, keselarasan, kalau dipandang perlu dengan pengorbanan diri demi kepentingan masyarakat. Dalam hal ini dapat dicapai kalau orang bersedia dan membiasakan mengutamakan soal hati dan rohani. Slametan mengorbankan kepentingan jasmani. Slametan sebagai upacara adat demikian banyak jumlahnya mulai dari sifat yang pribadi berkaitan dengan kehidupan seseorang sampai dengan seribu hari sesudah manusia meninggalkan dunianya. Ada juga slametan yang bersifat masal untuk seluruh kampung atau desa. Dari pandangan hidup orang Jawa muncul sikap etis dari pandangan tentang Tuhan yang bagaimana pun gambarannya tetapi diakui sebagai penciptanya, yang ditanggapi dengan sikap pasrah. Pasrah disini berarti menyerah pada kuasa akodrati, yang tidak mungkin ditolak oleh manusia.17
17
Pdt. Em. Siman Widyatmanta. Mth, Sikap Gereja Terhadap Budaya dan Adat-i stiadat (Yogyakarta: BMGJ 2007). 30-35
19
Menurut
Koentjaraningrat
dalam
bukunya
“kebudayaan
Jawa”
menganggap bahwa supacara slametan merupakan upacara yang paling penting yang terjadi dalam Jawa. Karena masyarakat Jawa tidak lepas dari yang namanya slametan itu sehingga setiap kegiatan yang dilakukan orang Jawa tidak lepas dari slametan, baik dalam kelahiran, kematian, panen, tahun baru dll. Slametan adalah suatu upacara makan bersama yang telah diberikan doa dan dibagikan. Slametan tidak terpisahkan dari pandangan alam pikiran partisipasi dan erat hubunganya dengan kepercayaan kepada unsur-unsur baik kekuatan sakti mau pun roh halus yang ada di sekitarnya, sebab hampir semua slametan yang dijutukan untuk memperoleh hubungan keselamatan hidup dengan baik tidak ada suatu gangguan apapun.18 Berbeda dengan pandangan beberapa tokoh yang melihat bahwa doa yang ada pada slametan ini ditujukan pada roh halus. Dalam bukunya H. Santoso Prodjodiningrat slametan merupakan suatu pengharapan yang diharapkan oleh masyarakat Jawa, dimana masyarakat berdoa bersama kepada Tuhan. Dimana slametan dimaksudkan agar relasi antara manusia dengan alam, manusia dengan sesama dan manusia dengan Tuhan berjalan seimbang. Hal yang ditekankan dalam bukunya adalah pengharapan pada Tuhan. Upacara pokok bagi orang Jawa adalah slametan, dengan mengundang sejumlah pria tetangga terdekat dengan doa dalam bahasa Arab oleh seorang dua orang yang pandai dalam hal itu serta dengan cermat terinci semua dewa-dewa, Allah, Muhammad dan arwah baureksa (yang melindungi, merawat dan berkuasa) desa dan sederetan roh lainnya, semua diminta perlindungannya, restunya atau 18
Koentjaraningrat, manusia dan kebudayaan di Indonesia (Djambatan: 1984) 340.
20
kesediaannya untuk tidak mengganggu. Pembacaan doa-doa itu merupakan unsurunsur pokok dalam kepercayaan kaum tani dan disertai dengan perbuatan upacara tertentu lainnya misalnya dengan membakar kemenyan dan memberikan sesaji.19 Slametan boleh jadi sangat singkat tertutup oleh berbagai ritus dan aneka ragam upacara lain, jika kita tidak memperhatikan dengan teliti maka kebudayaan slametan akan hilang. Lalu mengapa orang Jawa melakuakan slametan? Menurut Geertz ketika ia menayakan pada seorang tukang batu di Mojokutho, ada dua alasan: pertama bila anda mengadakan slametan, tak seorangpun merasa dirinya dibedakan dari orang lain, dengan demikian mereka tidak mau berpisah. Kedua Slametan menjaga hubungan terhadap roh halus sehingga tidak mengganggu kehidupan. Dalam slametan semua orang diperlakukan sama dan hasilnya orang tidak merasa dibedakan dengan orang lain, tidak seorang pun yang merasa lebih rendah dari orang lain dan tidak seorang pun merasa dirinya dikucilkan. Setelah melakukan slametan arwah setempat tidak akan mengganggu, sasaran itu bersifat kejiwaan, ketiadaan perasaan agresif terhadap orang lain, ketiadaan kekacauan emosional, keadaan yang didambakan adalah slamet (selamat) yang oleh orang Jawa didefinisikan tidak ada apa-apa yang menimpa dalam kehidupan.20
2.5
Pandangan Orang Jawa Tentang Keselamatan Hidup orang Jawa yang dilatar belakangi kebatinan mistis (percaya pada roh halus dan sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan) mendapat pengaruh
19 20
Geertz, Hildred. Keluarga Jawa. terj.Grafiti Pers .Jakarta: Grafiti Pers, 1985.14. Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989.
Hal 17-18
21
oleh agama, dogma dan ajaran yang bermacama-macam menjadi konsep tentang Tuhan kabur dan tidak tentu. Tuhan di satu pihak disebut sebagai tan kena apa (tidak dapat disebut dan digambarkan seperti apa), dengan demikian keterangan tanpa sifat-sifatnya, hidup tanpa roh, kuasa tanpa alat, tanpa awal tanpa akhir, tanpa arah tanpa tempat, jauh tak terhingga, dekat tak bersentuhan, bukan luar bukan dalam, tetapi meliputi semua orang yang terbentang. Dengan bahasa teologia Tuhan yang demikian disebut dengan Tuhan yang transcendence. Dengan catatan bahwa kebatinan mistis di dalam kunci surga bertolak dengan ajaran agama tetapi dekat dengan kehidupan manusia, bahkan setiap pribadi memiliki Tuhanya sendiri. Selain itu di dalam diri manusia bersemayam Tuhan sebagai inti dari setiap manusia. Dengan demikian Tuhan yang pada awalnya transcendence. jauh dari jangkauan manusia, maka akhirnya dekat, bahkan ada dalam diri manusia, serta campur tangan dengan urusan keperluan manusia.21 Dalam mencari keselamatan memang naluri setiap manusia di mana pun ia berada. Bagi mereka yang percaya kepada Tuhan dan hidup setelah mati, pada umumnya ingin supaya dirinya bisa selamat lahir dan batin, selamat di dunia dan setelah kematiannya. Yang sedikit membedakan orang Jawa dengan orang lain adalah siapa yang dapat mencelakakan manusia sehingga ia tidak selamat, terutama di dunia. Orang Jawa percaya bahwa keselamatan itu tidak tergantung pada relasi antar sesama (misal berebut harta dan kekuasaan), antara makluk hidup dan lainnya (adanya wabah penyakit), dan dalam hubunganya pada bendabenda (bencana alam dan rusaknya hidup). Orang Jawa dapat mencari
21
Pdt. Em. Siman widyatmanta, sikap gereja terhadap budaya dan adat-istiadat, (Yogyakarta: BMGJ 2007), 24-25.
22
keselamatan melalui bantuan dari roh halus. Pandangan Jawa yang masih primitif tentang Tuhan didasarkan dari pengalaman individu, sehingga yang Ilahi dihayati sebagai pelindungnya untuk melindungi dari mara bahaya yang ada di sekelilingnya.22 Orang Jawa pada umumnya meyakini bahwa tidak lama setelah orang meninggal, jiwanya berubah menjadi makhluk halus (roh) yang berkeliaran di sekitar rumahnya, lama-kelamaan pergi ke tempat lain. Saat tertentu pihak dari keluarga melakukan slametan untuk menandai jarak yang telah ditempuh roh, ketika menuju alam roh atau tempat yang abadi. Roh yang tidak mendapat tempat di alam roh karena tingkah lakunya yang tidak baik semasa hidupnya, akan tetap berkeliaran di sekitar tempat tinggal manusia, sebagai roh jahat yang menggangu manusia, pembawa penyakit dan kesengsaraan. Banyak orang Jawa yang percaya jika seseorang yang meninggalnya tidak wajar tidak akan mencapai alamnya dan tetap berkeliaran selama-lamanya.23 Ajaran keselamatan yang utama dalam budaya Jawa adalah pelaksana etika Jawa karena, pada etika terdapat sebuah nilai hakiki, jika orang Jawa melakukannya akan berdampak pada orang lain.24 Jadi, bisa dikatakan orang Jawa dalam mencari keselamatan, peranan etika yang dilakukan sesorang akan berdampak pada kehidupan yang akan datang, karena orang Jawa menginginkan keseimbangan baik dunia maupun akhirat.
22 Ign. Gatut Saksono, Djoko Dwiyanto, Faham keselamatan dalam budaya Jawa (Yogyakarta: Ampera Utama 2011) 1-5. 23 Koentjaraningrat, manusia dan kebudayaan di Indonesia (Djambatan: 1984) 335. 24 Ign. Gatut Saksono, Djoko Dwiyanto. 205.
23
2.6
Pandangan Kekristenan Tentang Keselamatan Gereja Lutheran mengakui dua sakramen: Pembaptisan dan Perjamuan Kudus. Katekismus Lutheran mengajarkan bahwa pembaptisan adalah karya Allah, berlandaskan perkataan dan janji Kristus; sehingga dilayankan baik bagi bayi maupun orang dewasa. Gereja Lutheran percaya bahwa roti dan anggur dalam perjamuan kudus adalah sungguh-sungguh tubuh dan darah Kristus yang dianugerahkan kepada umat Kristiani untuk dimakan dan diminum, yang diperintahkan oleh Kristus sendiri. Banyak Kaum Lutheran yang melestarikan pendekatan liturgis terhadap Ekaristi. Komunitas Kudus (atau Perjamuan Tuhan) dipandang sebagai tindakan sentral dari pemujaan Kristiani. Gereja Lutheran percaya bahwa roti dan anggur dalam perjamuan kudus hadir bersama dengan tubuh dan darah Yesus, bukan hanya sebatas menggantikan atau melambangkan tubuh dan darah-Nya.25 Luther memandang keselamatan itu merupakan jalan Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia. Di sini manusia harus menggali dirinya untuk menemukan keselamatan Tuhan itu dengan cara berdoa, berpuasa dan mengakui dosanya, yang berarti "hanya iman", "hanya anugerah", dan "hanya Kitab Suci". Maksudnya, Luther menyatakan bahwa keselamatan manusia hanya diperoleh karena imannya kepada karya anugerah Allah yang dikerjakannya melalui Yesus Kristus, sebagaimana yang disaksikan oleh Kitab Suci. (Efesus 2:8-9 Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.) Luther menyatakan bahwa manusia diselamatkan bukan 25
http://www.scribd.com/doc/47590234/Gereja-lutheran , 15 juli 2012, 20:00 wib.
24
karena amal atau perbuatannya yang baik, melainkan semata-mata oleh karena anugerah Allah. Hal ini didasarkan pada perkataan Paulus dalam Surat Roma: "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." (Roma 5:8)26 Menurut Calvin keselamatan diperoleh hanya karena kasih Allah melalui iman. Keselamatan juga merupakan keputusan Allah yang kekal yang denganya ia menetapkan untuk dirinya sendiri, apa yang menurut kehendakya akan terjadi pada setiap orang. Dengan demikian penebusan Kristus membuat orang untuk memantapkan keyakinanya dan kepastianya dalam dirinya dan pada giliranya mendorong mereka untuk memuliakan Allah. Gereja merupakan persekutuan orang-orang yang telah diselamatkan berkat kasih karunia Allah dalam Yesus Kristus, yang telah dibenarkan kendati tetap merupakan manusia berdosa, yang semuanya diterima manusia melalui iman.
27
Gereja bukanlah sekedar
menyediakan sarana anugerah melalui mana segala sesuatu harus dibangun. Gereja sesungguhnya juga merupakan titik pijak melalui mana kefasikan dunia harus ditanggulangi dengan kesabaran dan kerendahan hati. Gereja harus menyediakan sarana pengudusan. Gereja harus berusaha agar komunitas menerima nilai-nilai Kristen sehingga seluruh aspek kehidupan dapat ditempatkan di bawah kontrol prinsip-prinsip Kekristenan. Dengan menekankan komunitas kudus dan dengan adanya penghargaan sedemikian terhadap Alkitab (dan bukannya doktrin keimamatan seluruh orang percaya), maka ia berhasil menghindar dari bahaya subyektifitas agama. Partisipasi jemaat dimungkinkan 26
Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran Didalam Dan Di sekitargereja,(BPK Gunung Mulia 1994) hal 27-32. 27 Ibid, 65-66.
25
tetapi di dalam batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Kitab Suci, di dalam hierarki yang telah ditetapkan, sehingga doktrin keimamatan seluruh orang percaya dapat tetap terus berjalan tanpa membawa musibah dan tanpa adanya bahaya dibelokkan kepada sekularisme. penekanan pada doktrin keselamatan seluruh orang percaya membuatnya harus menarik diri dari usaha untuk merealisasikan otonomi Gereja.28 Dalam pandangan Prof. L.A. Hoedemaker mengenai tantangan mutakhir yang harus dihadapi gereja berkaitan dengan identitasnya. Hoedermaker menggambarkan persoalan itu berupa ketegangan antara menemukan identitas gereja yang esa, dengan penekanan pada kesatuan atau kesamaan identitas, dan gereja yang kontekstual, dengan tekanan pada kekhasan atau keragaman identitas sesuai dengan konteks masyarakat. “Pada satu pihak yang diharapkan dari gerejagereja adalah suatu kesadaran baru tentang arti tradisinya sendiri, tentang kepribadiannya yang khusus, tentang kesaksian dan tanggung jawab terhadap daerah sekitarnya. Pada pihak lain ditekankan tanggung jawab bersama, kepentingan bentuk-bentuk kehidupan gerejawi yang menggantikan bentukbentuk keterpisahan, dan keharusan ‘satu suara’ Kekristenan terhadap dunia.”29 Arthur W. Holmes menyatakan bahwa “teologi yang ditanamkan selama ini merupakan konsepsi dari teologi barat,” di mana dari situasi sosialnya teologi barat dapat lebih mudah diceraikan dari konteks dan situasi masyarakat Barat, karena teologi berakar dari wahyu Allah, bukan dari pergumulan kontekstual. ini
28
http://www.scribd.com/doc/47590234/Gereja-Calvin. diakses pada 20 juli 2012 15:21 wib L.A. HOEDEMAKER, “Keesaan dan Kemandirian: Soal Identitas Gereja Dalam Jaman Oikumenis”, dalam Eka Darmaputera (peny.), Konteks Berteologi di Indonesia: Buku Penghormatan Untuk HUT ke-70 Prof. Dr. P.D. Latuihamalo. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997, hal. 325. 29
26
tidak berarti bahwa teologi bersifat tidak kontekstual padahal secara ontologis tidak ada suatu wawasan teologis yang sedemikian itu. sebab manusia berteologi di dalam konteks, bahkan wahyu Allah juga diberikan dalam konteks. Namun, teologi yang harus mulai dari teks, bukan dari konteks adalah sebuah bentuk ambiguitas yang membuat sampai pemaknaan akan teologi dipandang berbeda dari situasi sosial yang dimaknai oleh mayarakat.30 Rupa-rupanya bagi Hoedemaker, persoalan ini, “tidak bisa dibahas sebagai soal umum, lepas dari konteks-konteks tertentu. Sebaliknya: hubungan antara keesaan dan kemandirian mengambil bentuk-bentuk yang berbeda-beda –bergantung dari sejarah dan konteks yang berlaku pada salah satu tempat dan pendekatan misiologis yang memainkan peranan dalam sejarah itu”.31 Sehubungan dengan ini, lanjut Hoedemaker, maka sejarah dan situasi konteks yang muncul dalam masyarakat tidak bisa dilepaskan dari perjumpaannya dengan Injil dalam pembentukan identitas diri yang kontekstual dan agamawi.32 Oleh sebab itu, dengan memperhatikan kekhususan sejarah kekristenan di Indonesia inilah Hoedemaker kemudian melanjutkan: “maka dalam dualitas ‘keesaan dan kemandirian’ tekanan utama terletak pada ‘kemandirian’. Kemandirian menunjuk pada kehidupan gereja setempat, di mana persekutuan, pergumulan dan kesaksian mengambil bentuk ‘darah daging’ dari kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk keesaan yang lebih luas, yang meliputi dan mempersatukan masyarakat setempat, hanya mempunyai arti kalau dihidupkan dan dibekali oleh ‘kontekstualitas’ itu. Kesaksian tentang Kerajaan Allah bukanlah sesuatu yang abstrak, yang lepas dari tempat-tempat kongkret; sebaliknya, kesaksian itu hanya wajar kalau dijelmakan melalui situasi-situasi pertemuan dan pergumulan antara manusia dan tradisi-tradisi serta tantangantantangan masa kini.”. 33 30
Arthur G. Holmes, Segala Kebenaran adalah Kebenaran Allah (diterj. oleh Yongky Karman; Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1990), 33. 31 HOEDEMAKER, Ibid., 328. 32 Ibid., 330. 33 Ibid., 355.
27
Jadi terdapat adanya suatu hubungan yang konteks di mana gereja dapat memberikan pemahaman ulang tentang upacara slametan tetapi orang Jawa tidak lepas meninggalkan tradisi mereka. Dengan demikian unsur-unsur dalam upacara slametan yang dilakukan oleh orang Jawa bisa saja mengalami perkembangan, di mana pola slametan mengalami perkembangan seiring dengan masuknya agamaagama baru dalam masyarakat Jawa. Sebagai bangsa yang beragama dan berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, orang Jawa cukup antusias melaksanakan aktifitas yang berhubungan dengan keagamaan/kepercayaan. Upacara slametan yang ternyata merupakan budaya Jawa yang sarat dengan unsur-unsur agama dan kepercayaan, nampaknya cukup memberikan motivasi tersendiri bagi orang Jawa untuk menyelenggarakannya.
28