BAB II LANDASAN TEORI A. STUDENT ENGAGEMENT 1. Definisi Student Engagement Menurut National Research Council dan Institute of Medicine (2004), dalam ruang lingkup sekolah konsep engagement meliputi beberapa bagian, yang pertama adalah perilaku, yang tediri dari ketekunan, usaha, perhatian, mengikuti kelas yang menantang. Selanjutnya, yang kedua adalah emosi, yang terdiri dari ketertarikan, rasa bangga dalam keberhasilan, dan yang ketiga adalah kognitif yang terdiri dari evaluasi dalam belajar dan regulasi diri siswa. Definisi student engagement terdiri dari komponen psikologis yang berkaitan dengan rasa memiliki siswa kepada sekolah, penerimaan aturan yang ada di sekolah, dan komponen perilaku yang berkaitan dengan partisipasi dalam kegiatan sekolah (Finn, 1993). Banyak defenisi student engagement, diantaranya menurut Kuh (dalam Trowler, 2010) yang menyatakan bahwa student engagement adalah berpartisipasi secara efektif dalam praktek pendidikan, baik di dalam maupun di luar kelas yang mengarah ke berbagai hasil yang terukur dan sejauh mana siswa terlibat dalam kegiatan di sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa student engagement dihubungkan dengan hasil belajar yang baik (Trowler, 2010). Menurut Appleton (dalam Trowler, 2010) student engagement adalah sejauh mana siswa termotivasi dan berkomitmen untuk belajar, menunjukkan perilaku dan sikap positif, dan
14 Universitas Sumatera Utara
15
memiliki hubungan baik dengan guru, teman sebaya, serta adanya dukungan orang tua dalam pembelajaran. Siswa yang tinggi dalam student engagement akan beraprtisipasi dalam kegiatan belajar, memiliki emosional yang positif, dan mereka dapat bertahan dalam menghadapi tantangan (Connell, 1990 dan Connell & Wellborn, 1991). Sebaliknya, siswa yang rendah pada student engagement akan menjadi pasif, tidak berusaha keras, bosan, mudah menyerah, dan menampilkan emosi negatif, seperti marah, menyalahkan, dan penolakan (Skinner & Belmont, 1993). Fredricks
(2004) menyebutkan bahwa student engagement berkaitan
dengan hasil akademik yang positif, termasuk prestasi dan ketekunan di sekolah. Hal itu akan meningkat dengan dukungan dari guru serta rekan-rekan di kelas, tantangan sebuah tugas, peluang untuk mengambil pilihan, dan struktur yang memadai. Komponen psikologis (affective) menekankan pada rasa memiliki siswa atau keterikatan ke sekolah, yang ada hubungannya dengan perasaan diterima dan dihargai oleh rekan-rekan mereka, dan oleh orang lain di sekolah mereka (Willms, 2007). Saat ini student engagement telah berperan dalam upaya memperbaiki rendahnya tingkat prestasi akademik, mengatasi tingginya tingkat kebosanan siswa dan ketidakpuasan siswa di sekolah, serta mengatasi angka putus sekolah yang tinggi di daerah perkotaan (National Research Council & Institute of Medicine, 2004). Berdasarkan uraian di atas, maka defenisi student engagement adalah sejauh mana siswa dapat mengatur dirinya dan memberikan usaha yang efektif dalam belajar sehinngga memiliki evaluasi belajar yang baik, bagaimana siswa
Universitas Sumatera Utara
16
dapat mengidentifikasi sekolahnya, merasa terikat, serta memiliki hubungan yang baik dengan guru, teman sebaya, dan ada dukungan orang tua dalam pembelajaran. 2. Aspek Student Engagement Appleton (dalam Doll, 2010) menyatakan bahwa aspek dari student engagement adalah kognitif dan afektif, yaitu : a. Cognitive Engagement Aspek ini merujuk pada keadaan yang lebih internal, seperti regulasi diri siswa, usaha yang dilakukan dalam mengerjakan pekerjaan sekolah, hasil yang diperoleh dalam belajar, serta tujuan pribadi dan otonomi. Aspek kognitif ini terdiri dari 3 sub indikator, yaitu kontrol dan relevansi tugas sekolah, harapan dan tujuan siswa di masa mendatang, dan motivasi intrinsik siswa (Doll, 2010). b. Affective Engagement Aspek ini merujuk pada sejauh mana siswa berinteraksi dengan guru dan teman-temannya dalam lingkungan sekolah, serta siswa memiliki rasa memiliki dengan sekolah dan menjadi bagian dari sekolah. Aspek afektif ini terdiri dari 3 sub indikator, yaitu hubungan antara guru-siswa, dukungan teman sebaya dalam belajar, dan dukungan keluarga dalam belajar (Doll, 2010). 3. Faktor yang Mempengaruhi Student Engagement Fredricks (2004), membagi faktor-faktor yang mempengaruhi student engagement menjadi 2 faktor besar yaitu :
Universitas Sumatera Utara
17
a. Faktor eksternal (lingkungan) Faktor eksternal atau faktor lingkungan mencakup tingkat sekolah dan konteks kelas. Tingkat sekolah menggambarkan apa dasar siswa memilih sekolah tersebut, siswa memiliki tujuan yang jelas, ukuran sekolah, partisipasi siswa dalam kebijakan dan manajemen sekolah, kesempatan bagi staf dan mahasiswa untuk terlibat dalam upaya yang kooperatif, serta tugas akademik yang memungkinkan untuk pengembangan diri. Dalam faktor konteks kelas mencakup dukungan dari guru di dalam kelas, teman-teman, struktur kelas, tingkatan kelas, dan karakteristik tugas yang diberikan. b. Faktor internal Faktor internal mencakup kebutuhan individu yang berisi tentang kebutuhan untuk keterkaitan, kebutuhan untuk otonomi, kebutuhan untuk berkompetensi. B. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL 1. Defenisi Pendidikan Multikultural Menurut Banks (2010) Pendidikan multikultural mencakup tiga hal yaitu ide atau konsep, gerakan pembaharuan pendidikan, dan proses. Pendidikan multikultural mengandung ide bahwa semua siswa terlepas dari perbedaan jenis kelamin, kelas sosial, karakteristik etnis, ras, atau budaya dan harus memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah. Sedangkan menurut Gollnick & Chinn (2013), pendidikan multikultural merupakan suatu konsep yang mengakui pentingya perbedaan di dalam kehidupan peserta didik serta mendorong kesetaraan dan keadilan dalam pendidikan. Budaya
Universitas Sumatera Utara
18
dari setiap individu mempengaruhi keseluruhan hidup individu tersebut. Budaya mendefenisikan siapa manusia. Menurut Gumono (2011) budaya mempengaruhi bagaimana individu makan, berpakaian, berbicara, berpikir, dan lain sebagainya. Di dalam konteks pendidikan, siswa berasal dari budaya yang berbeda-beda. Tidak semua siswa dapat diajari dengan cara yang sama. Guru perlu menyadari bahwa budaya dari setiap siswa akan mempengaruhi bagaimana mereka belajar, dan setiap siswa memiliki perbedaan kebutuhan, kemampuan dan pengalaman. 2. Dimensi Pendidikan Multikultural Secara spesifik, Banks (2010) menyatakan bahwa pendidikan multikultural dapat dikonsepsikan atas lima dimensi, yaitu : a. Integrasi konten yaitu pemaduan konten menangani sejauh mana guru menggunakan contoh dan konten dari beragam budaya dan kelompok untuk menggambarkan konsep, prinsip, generalisasi serta teori utama dalam bidang mata pelajaran atau disiplin mereka. b. Proses penyusunan pengetahuan adalah sesuatu yang berhubungan dengan sejauh mana guru membantu siswa paham, menyelidiki, dan untuk menentukan bagaimana asumsi budaya yang tersirat, kerangka acuan, perspektif dan prasangka di dalam disiplin mempengaruhi cara pengetahuan disusun di dalamnya. c. Menurunkan prasangka yaitu aspek ini fokus pada karakteristik dari sikap rasial siswa dan bagaimana sikap tersebut dapat diubah dengan metode dan materi pengajaran. d. Kesetaraan pedagogi adalah ketika guru mengubah cara pengajaran mereka ke cara yang akan memfasilitasi prestasi akademis dari siswa dari
Universitas Sumatera Utara
19
berbagai kelompok ras, budaya, dan kelas sosial. Termasuk dalam pedagogi ini adalah penggunaan beragam gaya mengajar yang konsisten dengan banyaknya gaya belajar di dalam berbagai kelompok budaya dan ras. e. Pemberdayaan budaya sekolah harus diperiksa oleh semua anggota staf sekolah. Mereka semua juga harus berpartisipasi dalam penataan ini. Adanya praktek pengelompokan dan pelabelan, keikutsertaan dalam bidang olahraga, ketidakseimbangan dalam prestasi, ketidakseimbangan dalam penerimaan program pendidikan berbakat/khusus, dan interaksi antara staf dan siswa di seluruh bagian etnis dan ras yang merupakan variabel penting untuk menciptakan budaya sekolah yang memberdayakan siswa dari kelompok ras dan etnis yang beragam. C. YAYASAN PENDIDIKAN SULTAN ISKANDAR MUDA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda didirikan pada tanggal 25 Agustus 1987 di daerah Sunggal Medan oleh seorang pemuda Tionghoa bernama Sofyan Tan. Sejak awal didirikan, Yayasan ini sudah memiliki visi untuk mengatasi dua permasalahan besar yang ada di Indonesia yakni kemiskinan, dan diskriminasi yang merugikan masyarakat marjinal di Indonesia. Sofyan Tan percaya bahwa kondisi tersebut dapat diatasi lewat pendidikan. Kemiskinan yang dikarenakan oleh kebodohan dapat berkurang jika generasi muda mendapatkan akses pendidikan pendidikan yang murah dan berkualitas. Inilah yang menjadi kerinduan sang pendiri, agar generasi muda Indonesia dapat bersekolah dengan mutu dan fasilitas yang baik tanpa membeda-bedakan (YPSIM, 2012).
Universitas Sumatera Utara
20
Yayasan ini didirikan dengan prinsip memberikan kesempatan kepada semua anak bangsa, tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, gender dan tingkat sosial dan ekonomi untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas. Pendidikan berkualitas yang ditawarkan adalah pendidikan yang mengedepankan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tetap memprioritaskan pembelajaran budi pekerti dan pembentukan karakter anak yang berpedoman pada nilai-nilai saling menghargai, saling menghormati dan gotong royong di dalam bingkai keberagaman (YPSIM, 2012). Untuk siswa yang kurang mampu secara ekonomi, yayasan ini mengadakan program anak asuh silang dengan sistem silang dan berantai, yaitu program yang bertujuan untuk memberikan beasiswa bagi anak yang kurang mampu, serta bertujuan untuk meminimalisir prasangka terhadap kelompok etnis atau agama tertentu dengan memasangkan anak dan orangtua asuh yang berbeda etnis maupun agama. Misalnya, anak dari etnis Jawa mendapatkan orangtua asuh dari etnis Batak, dan sebagainya. Sedangkan bagi mereka yang tidak lulus anak asuh, YPSIM memberikan alternatif pengurangan uang sekolah yang tercipta dengan adanya inisiatif subsidi silang yang dilakukan. Hal ini menunjukkan inisiatif YPSIM untuk turut melibatkan pihak orangtua dan masyarakat luas untuk turut serta menyukseskan pendidikan multikultural di Indonesia (YPSIM, 2012). Proses pembelajaran yang diterapkan di kelas adalah pembelajaran bermuatan multikutural. Artinya, mata pelajaran yang diterapkan sama dengan mata pelajaran di sekolah umum, namun yang membedakan adalah muatan topiktopik multikultural yang diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran. Sehingga,
Universitas Sumatera Utara
21
nuansa multikultural di YPSIM tidak hanya dirasakan dalam kultur sekolah dan kultur kelas seperti adanya rumah ibadah dari tiap agama besar di Indonesia, pembagian tempat duduk yang lintas budaya, tetapi juga terdapat dalam setiap pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas. Sebagai contoh, dalam pelajaran IPA SD, ketika mempelajari bahwa pohon menghasilkan oksigen, guru menambahkan ilustrasi, bahwa mungkin saja pohon tersebut terdapat di rumah keluarga orang Batak, namun oksigen tersebut tetap dapat dirasakan oleh tetangga mereka yang adalah orang Jawa. Dalam hal ini guru mengajarkan arti berbagi tanpa membeda-bedakan. Ini adalah contoh kecil yang dapat diterapkan oleh guru di YPSIM dalam mengajarkan siswa untuk menjadi pribadi yang menghargai keberagaman (YPSIM, 2012). YPSIM telah merancang pedoman pembelajaran yang disusun berdasarkan sejumlah nilai, deskripsi, maupun indikator yang menjadi acuan kompetensi yang harus dicapai siswa dalam pembelajaran multikultural. Nilai-nilai tersebut yang akhirnya dipakai untuk kemudian merancang Rencana Kegiatan Harian (bagi tingkat TK), serta Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (bagi tingkat SD, SMP, SMA/SMK). Dengan adanya RKH, RPP, dan Silabus inilah guru dapat mengintegrasikan nilai dan indikator multikultural ke dalam setiap pembelajaran di kelas. Adapun 18 nilai yang di integrasikan kedalam sistem pembelajaran multikultural, adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
22
a. Nilai religius Yang dimaksud dalam hal ini adalah bagaimana sikap dan perilaku siswa dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. b. Nilai jujur Nilai jujur yang dimaksud adalah upaya menjadikan siswa sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. c. Nilai toleransi Nilai toleransi adalah sikap dan tindakan siswa yang mampu menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. d. Nilai disiplin Nilai disiplin mencakup perilaku tertib dan patuh pada berbagai peraturan dan yang berlaku di sekolah dan di luar sekolah. e. Kerja keras Nilai kerja keras mencakup upaya siswa yang sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas. f. Nilai kreatif Nilai kreatif dan mandiri mencakup berpikir dan melakukan sesuatu dengan menggunakan cara cara yang baru dan inovatif serta tidak mudah tergantung pada orang lain dalam pelaksanaan suatu tugas.
Universitas Sumatera Utara
23
g. Nilai demokratis Nilai demokratis di tunjukkan oleh cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang memberikan kesempatan yang sama bagi dirinya dan orang lain dalam berekspresi, memberikan pendapat, menjalankan hak dan kewajiban tanpa membeda-bedakan. h. Nilai rasa ingin tahu Nilai ini ditunjukkan oleh sikap dan tindakan yang berusaha mengetahui lebih mendalami dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar. i. Nilai Nasionalisme Dilihat dari cara berpikir, sikap dan perbuatan yang menunjukkan kepedulian dan penghargaan tinggi terhadap suatu bahasa, lingkungan, sosial budaya ekonomi dan poltik bangsa. j. Nilai menghargai prestasi Ditunjukkan oleh sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi orang lain, serta mampu mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain. k. Nilai bersahabat dan komunikatif Ditunjukkan oleh rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain. l. Nilai cinta damai Dilihat dari sikap dan perbuatan siswa yang mampu menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
Universitas Sumatera Utara
24
m. Nilai gemar membaca Ditunjukkan oleh kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang bermanfaat. n. Nilai peduli lingkungan Ditunjukkan oleh perilaku yang berupaya mencegah kerusakan alam dan upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. o. Nilai peduli sosial dan kesejahteraan Ditunjukkan oleh kerelaan memberi bantuan pada setiap orang yang membutuhkan. p. Nilai tanggung jawab Ditunjukkan dari sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajiban yang harus dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, dan Tuhan Yang Maha Esa. q. Nilai keseteraan gender Mencakup sikap dan perilaku yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hak dan kewajiban dalam lingkungan keluarga, sekolah dam masyarakat. r. Nilai pluralisme Ditunjukkan oleh sikap dan perilaku yang mampu mengakui, memahami, dan menghargai berbagai perbedaan yang meliputi perbedaan suku, ras, agama, gender, status sosial, status ekonomi, kondisi fisik, kemampuan akademis, bahasa.
Universitas Sumatera Utara
25
D. STUDENT ENGAGEMENT SISWA SMA SULTAN ISKANDAR MUDA Student engagement adalah sejauh mana siswa termotivasi dan berkomitmen untuk belajar, menunjukkan perilaku dan sikap positif, dan memiliki hubungan baik dengan guru, teman sebaya, serta adanya dukungan orang tua dalam pembelajaran (Trowler, 2010). Menurut Appleton (dalam Doll, 2010) student engagement bukan sebagai atribut dari siswa, melainkan sebagai keadaan yang sangat dipengaruhi oleh kapasitas sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk memberikan dukungan yang konsisten untuk belajar. Selanjutnya, student engagement membutuhkan aspek afekktif dalam lingkungan akademik, misalnya perilaku positif siswa dan hubungan antar teman, serta perilaku aktif dari siswa, misalnya kehadiran, partisipasi dalam kelas, usaha, perilaku prososial (Doll, 2010). Menurut Appleton (dalam Doll, 2010), student engagement terdiri dari 2 aspek, yaitu afektif dan kognitif. Aspek yang pertama adalah afektif. Aspek ini mengarah pada bagaimana siswa dapat berinteraksi di lingkungan sekolah baik kepada teman-teman sebaya maupun kepada guru serta apakah siswa tersebut mendapatkan dukungan dari orang tuanya dalam belajar. Aspek ini memiliki 3 sub indikator, yaitu hubungan antara siswa dengan guru, hubungan siswa dengan siswa lainnya dan adanya dukungan orang tua dalam belajar. Aspek yang kedua adalah kognitif. Aspek ini bersifat lebih internal, aspek ini melihat bagaimana siswa tersebut dapat meregulasi dirinya dalam kegiatan belajar, kemudian melihat bagaimana usaha siswa dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh sekolah, dan selanjutnya bagaimana hasil yang diperoleh siswa tersebut dalam
Universitas Sumatera Utara
26
kegiatan belajar. Aspek ini terdiri dari 3 sub indikator, yaitu kontrol dan relevansi tugas, harapan dan tujuan siswa di masa mendatang dan motivasi intrinsik siswa tersebut di sekolah. Berdasarkan aspek dari student engagement yang disebutkan oleh Appleton, maka perlu diketahui juga hal- hal apa saja yang bisa mempengaruhi student engagement. Menurut Fredericks (2004) faktor yang mempengaruhi student engagement terdiri dari 2 faktor, yaitu faktor eksternal atau lingkungan dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari lingkungan siswa tersebut, dalam hal ini lingkungan terbesar pada siswa adalah lingkungan sekolahnya. Bagaimana hubungan siswa tersebut dengan guru-guru di sekolahnya ataupun dengan teman-temannya. Serta apakah kegiatan-kegiatan di sekolah tersebut bagus dan bisa menarik minat dari siswa nya untuk mengikuti berbagai kegiatan sekolah. Selain lingkungan sekolah, lingkungan keluarga juga mempengaruhi student engagement siswa. Bagaimana orang tua mendukung kegiatan belajar anaknya dan memantau perkembangan anaknya di sekolah. Faktor- faktor ini menjadi penentu tinggi rendahnya student engagement seorang siswa. Siswa yang tinggi dalam student engagement akan beraprtisipasi dalam kegiatan belajar, memiliki emosional yang positif, dan mereka dapat bertahan dalam menghadapi tantangan (Connell, 1990 dan Connell & Wellborn, 1991). Sebaliknya, siswa yang rendah pada student engagement akan menjadi pasif, tidak berusaha keras, bosan, mudah menyerah, dan menampilkan emosi negatif, seperti marah, menyalahkan, dan penolakan (Skinner & Belmont, 1993).
Universitas Sumatera Utara
27
Hasil penelitian terbesar mengenai student engagement adalah penelitian yang dilakukan oleh Johnson et al. (2001) terhadap 134 sekolah yang tersebar di Amerika. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa Afrika Amerika lebih engagement daripada siswa kulit putih dan Amerika Hispanik, setidaknya dalam salah satu aspek student engagement yaitu behavior yang telah diukur. Dari hasil penelitian ini bisa dilihat bahwa terdapat fenomena yang berbeda pada tingkat student engagement yang terkait dengan perbedaan ras/etnis di sekolah yang tersebar di Amerika. Penelitian sebelumnya ini mendorong peneliti untuk melihat student engagement pada sekolah yang memiliki komposisi dari berbagai ras, etnis, dan agama, atau sering disebut sekolah bermuatan pendidikan multikultural. Yayasan Pendidikan Sultan Iskandar Muda (YPSIM) merupakan sekolah yang bermuatan pendidikan multikultural. Sekolah ini sudah berdiri sejak tahun 1987 dan sudah mengemban sebuah visi untuk mengatasi permasalahan sosial yang ada di dalam masyarakat, yakni kemiskinan dan diskriminasi yang merugikan masyarakat marjinal di Indonesia (YPSIM, 2012). Selain itu YPSIM juga mengemban beberapa misi. Secara keseluruhan misi tersebut sejalan dengan tujuan sekolah yang berbasis multikultural, diantaranya sekolah YPSIM menyelenggarakan pendidikan dari tingkat playgroup sampai SMA/SMK dengan dasar kurikulum nasional yang berbasis budaya, karakter dan kewirausahaan. Sekolah ini sangan mendukung konsep pendidikan multikultural. Dilihat dari fasilitas 5 rumah ibadah yang disediakan oleh pihak sekolah, program beasiswa
Universitas Sumatera Utara
28
anak asuh silang yang dimana program ini juga masih berkaitan mendukung konsep tersebut Selain aspek student engagement, terdapat juga faktor-faktor yang bisa mempengaruhi student engagement. Fredericks et al. (2004) mengemukakan faktor yang mempengaruhi student engagement yaitu dari eksternal dan internal. Faktor yang mempengaruhi student engagement dari eksternal adalah tingkat sekolah, pada faktor ini mencakup bagaimana cara siswa memilih sekolahnya, ada tujuan yang jelas dan konsisten di sekolah, partisipasi siswa dalam kebijakan dan manajemen sekolah, kesempatan bagi staf dan mahasiswa untuk terlibat dalam upaya yang kooperatif, dan tugas akademik yang memungkinkan untuk pengembangan produk. Dari hasil wawancara pada siswa YPSIM bisa mengidentifikasi salah satu faktor yang mempengaruhi student engagement, yaitu dari cara mereka memilih bersekolah di YPSIM, terlihat ada beberapa siswa yang memilih sekolah YPSIM karena memang ingin bersekolah di sekolah tersebut dan mengatakan bahwa sekolah tersebut merupakan sekolah yang bagus, tetapi ada juga yang memilih bersekolah di YPSIM karena mereka tidak lulus di sekolah lain. Hal ini bisa mempengaruhi student engagement. Selain itu terdapat faktor konteks kelas dimana pada faktor ini mengandung hal-hal yang berkaitan dengan dukungan dari guru dan rekan-rekan di dalam kelas, tingkatan kelas, bagaimana struktur di dalam kelas, dan karakteristik tugas. Terkait dengan faktor konteks kelas, berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh peneliti, faktor konteks kelas dapat diidentifikasi di sekolah YPSIM yaitu ada beberapa siswa yang mengakui bahwa ia menyukai lingkungan
Universitas Sumatera Utara
29
kelasnya baik dari guru-guru yang berbeda-beda suku dan agama, maupun dari teman-teman sendiri yang juga berbeda-beda suku dan agamanya. Faktor yang mempengaruhi student engagement dari dari faktor eksternal merupakan faktor yang cenderung tergantung pada lingkungan sekolah. Lippman and Rivers (2008) mengemukakan bahwa lingkungan sekolah yang baik dapat menjadi instrumen dalam meningkatkan student engagement. Berdasarkan penejelasan di atas peneliti merasa perlu melakukan penelitian student engagement di sekolah bermuatan pendidikan multikultural dalam hal ini peneliti memilih SMA Sultan Iskandar Muda.
Universitas Sumatera Utara