BAB II KAJIAN TEORI
2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Hakikat Matematika 2.1.1.1. Pengertian Matematika berasal dari bahasa Yunani, mathein atau manthenein yang berarti mempelajari. Menurut Ruseffendi (dalam Heruman, 2007:1) “Matematika adalah ilmu logika tentang bentuk susunan besaran dan konsep-konsep yang saling berhubungan satu sama lainnya, Matematika dapat dibagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis dan geometri.” 2.1.1.2. Tujuan Matematika Sekolah Dasar Tujuan Matematika yang tercantum dalam pedoman penyusunan KTSP di SD/MI (2008: 44–45) adalah agar peserta didik mempunyai kemampuan sebagai berikut : 1. Memahami konsep Matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi Matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan Matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model Matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan symbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan Matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari Matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. 2.1.1.3. Ruang Lingkup Matematika Materi pembelajaran Matematika untuk semua jenjang pendidikan meliputi: 1. Fakta (facts). 2. Pengertian (concepts). 3. Keterampilan penalaran.
5
6
4. Keterampilan algoritmik. 5. Keterampilan menyelesaikan masalah Matematika. Menurut Standar Isi (2006), ruang lingkup mata pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-aspek: 1. Bilangan, 2. Geometri dan pengukuran, 3. Pengolahan data. 2.1.2. Teori Belajar 2.1.2.1. Pengertian Menurut Slameto (2010: 2): belajar adalah proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. 2.1.2.2. Teori Belajar Jean Piaget Menurut Jean Piaget (dalam Erda Angraini, 2013) menyebutkan bahwa struktur kognitif sebagai Skemata (Schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya schemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya, sehingga individu yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap dari pada ketika ia masih kecil. Tahap perkembangan kognitif: 1. Tahap Sensorimotor (sejak lahir sampai dengan 2 tahun) Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui perbuatan fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). 2. Tahap Pra Operasi (2 tahun sampai dengan 7 tahun) Ini merupakan tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Operasi
konkrit
adalah
berupa
tindakan-tindakan
kognitif
seperti
mengklasifikasikan sekelompok objek, menata letak benda berdasarkan urutan tertentu,dan membilang. Anak mulai menyusun konsep sederhana.
7
3. Tahap Operasi Konkrit (7 tahun sampai dengan 11 tahun) Umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami konsep kekekalan, kemampuan mengklasifikasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objektif, dan mampu berfikir reversible (dapat dibalik). Anak menggunakan tindakan yang telah diinteriorisasikan atau pemikiran untuk memecahkan masalah dalam pengalaman mereka. 4. Tahap Operasi Formal (11 tahun dan seterusnya) Tahap ini merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Anak pada tahap ini sudah mampu malakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau peristiwanya langsung, dengan hanya menggunakan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi dan generalisasi. Anak dapat memikirkan situasi hipotesis secara penuh. 2.1.2.3. Teori Belajar Jerome S. Bruner Dalam setiap kesempatan, pembelajaran Matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, siswa secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep Matematika. Menurut Bruner melalui teorinya mengungkapkan bahwa dalam proses belajar siswa baiknya diberi kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara khusus dan dapat diotak atik oleh siswa dalam memahami suatu konsep Matematika. Melalui alat peraga yang ditelitinya siswa akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang diperhatikannya. Peran guru adalah : 1. Perlu memahami struktur pelajaran; 2. Pentingnya belajar aktif supaya seorang dapat menemukan sendiri konsepkonsep sebagai dasar untuk memahami dengan benar; 3. Pentingnya nilai berfikir induktif. Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh (yang berarti proses belajar secara optimal) jika pengetahuan yang dipelajari itu dalam 3 tahap (dalam Beetlestone, Florence. 2012) yaitu :
8
1. Tahap Enaktif Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak atik) objek. 2. Tahap Ikonik Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. 3. Tahap Simbolis Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi simbolsimbol atau lambang-lambang objek tertentu. Selain
mengembangkan
teori
perkembangan
kognitif,
Bruner
mengemukakan teorema atau dalil-dalil berkaitan dengan pengajaran Matematika. Berdasarkan hasil-hasil eksperimen dan observasi yang dilakukan oleh Bruner mengemukakan empat teorema /dalil-dalil berkaitan dengan pengajaran Matematika yang masing-masing disebut “teorema atau dalil”. Keempat dalil (dalam Erda Angraini, 2013 ) tersebut adalah : a. Dalil Konstruksi / Penyusunan (Contruction theorem) Di dalam teorema konstruksi dikatakan cara yang terbaik bagi seorang siswa untuk mempelajari sesuatu atau prinsip dalam Matematika adalah dengan mengkontruksi atau melakukan penyusunan sebuah representasi dari konsep atau prinsip tersebut. b. Dalil Notasi (Notation Theorem) Menurut teorema notasi representase dari suatu materi Matematika akan lebih mudah dipahami oleh siswa apabila di dalam representase itu digunakan notasi yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. c. Dalil Kekontrasan dan Variasi (Contras and Variation Theorem) Menurut teorema kekontrasan dan variasi dikemukakan bahwa suatu konsep Matematika akan lebih mudah dipahami oleh siswa apabila konsep itu dikontraskan dengan konsep-konsep yang lain sehingga perbedaan antar konsep itu dengan konsep-konsep yang lain menjadi jelas.
9
d. Dalil Konektivitas dan Pengaitan (Conectivity Theorem) Didalam teorema konektivitas disebut bahwa setiap konsep, setiap prinsip, dan setiap keterampilan dalam Matematika berhubungan dengan konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan ketrampilan-ketrampilan lain. Bruner peduli terhadap proses belajar daripada hasil belajar, menurutnya belajar merupakan faktor yang menentukan dalam pembelajaran dibandingkan dengan perolehan khusus, yaitu metode penemuan (dicovery). Discovery learning dari Bruner merupakan model pengajaran yang melambangkan berdasarkan pada pandangan kognitif tentang pembelajaran dalam prinsip konstruksitivis dan discovery learning siswa didorong untuk belajar sendiri secara mandiri. Adapun tahap-tahap penerapan belajar penemuan adalah : 1. Stimulus ( pemberian perangsang) 2. Problem Statement (mengidentifikasi masalah) 3. Data collection (pengumpulan data) 4. Data Prosessing (pengolahan data) 5. Verifikasi 6. Generalisasi 2.1.3. Pembelajaran 2.1.3.1. Pengertian Dalam KBBI (2003) kata pembelajaran diartikan sebagai proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Kata ini berasal dari kata kerja belajar yang berarti berusaha untuk memperoleh kepandaian atau ilmu, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. 2.1.3.2. Pembelajaran Matematika di SD Dalam pembelajaran guru harus memahami hakekat materi yang akan diajarkan dalam pembelajaran. Hakekat Matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur dan hubungan-hubungannya yang diatur menurut urutan yang logis, sehingga dapat disimpulkan bahwa hakekat belajar Matematika adalah suatu aktivitas mental yang tinggi untuk memahami arti dari struktur-struktur, konsepkonsep kemudian menerapkannya dalam situasi nyata sehingga terjadi perubahan tingkah laku dalam bentuk pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
10
Kegiatan pembelajaran Matematika berorientasi pada upaya menerapkan cara berpikir matematik. Sejalan dengan itu, pembelajaran Matematika merupakan alat dan proses untuk membentuk pola pikir siswa dalam pemahaman suatu pengertian/konsep maupun penalaran suatu hubungan dari pengertian-pengertian itu. Selain itu, siswa dilatih untuk membuat terkaan, perkiraan, kecenderungan berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang dikembangkan melalui contohcontoh khusus. Melalui pembelajaran Matematika diharapkan agar siswa memiliki kemampuan berpikir secara logis, rasional, kritis, cermat, efektif dan efisien. Siswa sekolah dasar (SD) umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase operasional konkret. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan objek yang bersifat konkret. Menurut usia perkembangan kognitif, siswa SD masih terikat dengan objek konkret yang dapat ditangkap oleh panca indra. Dalam pembelajaran Matematika yang abstrak, siswa memerlukan alat bantu berupa media, dan alat peraga yang dapat memperjelas apa yang akan disampaikan oleh guru sehingga lebih cepat dipahami dan dimengerti siswa. Proses pembelajaran pada fase konkret dapat melalui tahapan konkret, semi konkret, dan selanjutnya abstrak. Sejalan dengan hal tersebut, pembelajaran Matematika di SD mempunyai perbedaan dengan pembelajaran SD lainnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari ciri-ciri pembelajaran Matematika SD sebagai berikut : 1. Pembelajaran Matematika menggunakan metode spiral. Pendekatan spiral dalam pembelajaran Matematika merupakan pendekatan dimana pembelajaran konsep atau suatu topik Matematika selalu mengkaitkan atau menghubungkan dengan topik sebelumnya. Topik sebelumnya dapat menjadi prasyarat untuk dapat memahami dan mempelajari suatu topik Matematika. Topik baru yang dipelajari merupakan pendalaman dan perluasan dari topik sebelumnya. Konsep diberikan dimulai dengan benda-benda konkrit kemudian konsep itu diajarkan kembali dengan bentuk pemahaman yang lebih
11
abstrak dengan menggunakan notasi yang lebih umum digunakan dalam Matematika. 2. Pembelajaran Matematika bertahap. Materi pelajaran Matematika diajarkan secara bertahap yaitu dimulai dari konsep-konsep yang sederhana, menuju konsep yang lebih sulit. Selain itu pembelajaran Matematika dimulai dari yang konkret, ke semi konkret dan akhirnya kepada konsep abstrak. Untuk mempermudah siswa memahami objek Matematika maka benda-benda konkrit digunakan pada tahap konkrit, kemudian ke gambar-gambar pada tahap semi konkrit dan akhirnya ke simbolsimbol pada tahap abstrak. 3. Pembelajaran Matematika menggunakan metode induktif. Matematika
merupakan
ilmu
deduktif.
Namun
karena
sesuai
tahap
perkembangan mental siswa maka pada pembelajaran Matematika di SD digunakan pendekatan induktif. 4. Pembelajaran Matematika menganut kebenaran konsistensi. Kebenaran Matematika merupakan kebenaran yang konsisten artinya tidak ada pertentangan antara kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lainnya. Suatu pernyataan dianggap benar jika didasarkan kepada pernyataanpernyataan sebelumnya yang telah diterima kebenarannya. Meskipun di SD pembelajaran Matematika dilakukan dengan cara induktif tetapi pada jenjang selanjutnya generalisasi suatu konsep harus secara deduktif. 5. Pembelajaran Matematika hendaknya bermakna. Pembelajaran secara bermakna merupakan cara mengajarkan materi pelajaran yang mengutamakan pengertian daripada hafalan. Dalam belajar bermakna aturan-aturan, sifat-sifat, dan dalil-dalil tidak diberikan dalam bentuk jadi, tetapi sebaliknya aturan-aturan, sifat-sifat, dan dalil-dalil ditemukan oleh siswa melalui contoh-contoh secara induktif di SD, kemudian dibuktikan secara deduktif pada jenjang selanjutnya. Konsep-konsep Matematika tidak dapat diajarkan melalui definisi, tetapi melalui contoh-contoh yang relevan. Guru hendaknya dapat membantu pemahaman suatu konsep dengan pemberian contoh-contoh yang dapat
12
diterima kebenarannya secara intuitif. Artinya siswa dapat menerima kebenaran itu dengan pemikiran yang sejalan dengan pengalaman yang sudah dimilikinya. Pembelajaran suatu konsep perlu memperhatikan proses terbentuknya konsep tersebut. Dalam pembelajaran bermakna siswa mempelajari Matematika mulai dari proses terbentuknya suatu konsep kemudian berlatih menerapkan dan memanipulasi konsep-konsep tersebut pada situasi baru. Dengan pembelajaran seperti ini, siswa terhindar dari verbalisme, karena dalam setiap hal yang dilakukannya dalam kegiatan pembelajaran ia memahaminya mengapa dilakukan dan bagaimana melakukannya. Oleh karena itu akan tumbuh kesadaran tentang pentingnya belajar. Ia akan belajar dengan baik. 2.1.4. Model Pembelajaran Quantum Teaching 2.1.4.1. Pengertian Quantum memiliki arti interaksi yang mengubah energi cahaya. Menurut Bobby DePorter (2005: 3), “Quantum Teaching adalah penggubahan bermacammacam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar.” Interaksiinteraksi ini mencakup unsur-unsur untuk belajar efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa. Quantum Teaching adalah sebuah strategi pembelajaran yang bertumpu pada prinsip-prinsip dan teknik-teknik Quantum Learning, yang dalam pelaksanaannya mendukung prinsip bahwa pembelajaran adalah sebuah sistem. Persamaan Quantum Teaching ini diibaratkan mengikuti konsep Fisika Quantum yaitu E =
.
Keterangan : E
= energi (antusiasme, efektivitas, belajar-mengajar, semangat)
m
= massa yaitu potensi diri (semua individu yang terlibat, situasi, materi, fisik, akal, religi)
c
= communication atau interaksi (hubungan yang tercipta di kelas, optimalisasi komunikasi) Prinsip model pembelajaran Quantum Teaching yaitu “Bawalah Dunia
Mereka ke dalam Dunia Kita, dan Antarkan Dunia Kita ke dalam Dunia Mereka”. Prinsip tersebut menuntut guru memasuki dunia siswa sebagai langkah pertama
13
pembelajaran. Selain itu, guru harus membangun jembatan autentik memasuki kehidupan siswa. Pemanfaatan pengalaman siswa merupakan salah satu cara yang tepat agar siswa berperan aktif serta peluang bagi guru untuk membangun mindset siswa. Pembelajaran ini akan memudahkan guru untuk membelajarkan siswa untuk berfikir secara luas dan menyeluruh, teliti, kritis dan berfikir maju. 2.1.4.2. Prinsip-prinsip Model Pembelajaran Quantum Teaching Menurut DePorter (2003: 7), Quantum Teaching memiliki lima prinsip, atau kebenaran tetap. Serupa dengan Asas Utama, Bawalah Dunia Kita ke Dunia Mereka,
Antarkan
Dunia
Kita
ke
Dunia
Mereka,
prinsip-prinsip
ini
mempengaruhi seluruh aspek Quantum Teaching. Prinsip-prinsip tersebut adalah: a. Segalanya berbicara Segalanya dari lingkungan kelas hingga bahasa tubuh guru, dari kertas yang guru bagikan hingga rancangan pelajaran, semuanya mengirimkan pesan tentang belajar. b. Segalanya bertujuan Semua yang terjadi dalam penggubahan guru mempunyai tujuan. c. Pengalaman sebelum pemberian nama Otak manusia berkembang pesat dengan adanya rangsangan kompleks, yang akan menggerakkan rasa ingin tahu. Oleh karena itu, proses belajar paling baik terjadi ketika siswa telah mengalami informasi sebelum memperoleh nama untuk apa yang dipelajari. d. Akui setiap usaha Belajar mengandung resiko. Belajar berarti melangkah keluar dari kenyamanan. Pada saat siswa mengambil langkah ini, siswa patut mendapat pengakuan atas kecakapan dan kepercayaan diri yang telah diraih. e. Jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan Perayaaan adalah sarapan pelajar juara. Perayaan memberikan umpan balik mengenai kemajuan dan meningkatkan asosiasi emosi positif dengan belajar. 2.1.4.3. Rancangan Pengajaran Model Quantum Teaching DePorter (2003: 88-89) kerangka perancangan pengajaran Quantum Teaching adalah sebagai berikut: a. Tumbuhkan Menumbuhkan minat dengan memuaskan “Apakah Manfaat BagiKu” (AMBAK) dan memanfaatkan kehidupan siswa. b. Alami Menciptakan atau mendatangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua siswa. Memberikan pengalaman belajar pada siswa, tumbuhkan kebutuhan untuk mengetahui.
14
c. Namai Menamai kegiatan yang dilakukan selama proses belajar mengajar dengan menyediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi sebuah masukan. Berikan data, tepat saat minat memuncak. d. Demonstrasi Menyediakan kesempatan bagi siswa untuk menunjukkan bahwa mereka tahu. Memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengaitkan pengalaman dengan data baru, sehingga siswa dapat menghayati sebagai pengalaman pribadi. e. Ulangi Menunjuk siswa untuk mengulangi materi dan menegaskan, “Aku tahu bahwa aku memang tahu ini”. f. Rayakan Merayakan atas keberhasilan yang sudah dilakukan oleh siswa sebagai pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, serta pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan. Perayaan menambatkan belajar dengan asosiasi positif. 2.1.4.4. Faktor yang Mendukung KBM Quantum Teaching Selain suasana dan kegiatan belajar mengajar, banyak faktor lain yang ditawarkan dalam Quantum Teaching yang dapat mendukung suksesnya belajar mengajar, diantaranya adalah: a. Sifat-Sifat Guru Sifat-sifat yang hendaknya dimiliki seorang guru adalah antusias, berwibawa, positif, supel, humoris, luwes, menerima, fasih, tulus, spontan, menarik dan tertarik, menganggap siswa mampu, menetapkan dan memelihara tanggapan tinggi. Dalam berinteraksi dengan siswa guru lebih banyak senyum dengan kelompok berkemampuan tinggi dan banyak ngobrol dengan akrab, gaya berbicara lebih intelektual, penuh humor, menggunakan kosakata kompleks dan bertindak lebih matang. Sedangkan dengan kelompok kemampuan rendah, 16 guru-guru yang sama cenderung berbicara lebih keras dan lambat, menggunakan kosakata dasar dan kalimat mentah, jarang senyum dan berinteraksi pada tingkat lebih instruksional dan otoriter. Sehingga dapat dikatakan guru-guru memperlakukan siswa sesuai dengan bunyi cap mereka, sebagai pelaku akademis tinggi atau rendah. b. Komunikasi Ada empat prinsip yang perlu diingat ketika berkomunikasi dengan siswa ketika kegiatan belajar berlangsung dan memberi petunjuk ataupun
15
memberikan umpan balik, yaitu munculkan kesan, arahkan fokus, inklusif (bersifat mengajak), dan spesifik (tepat sasaran). Selain itu perlu diperhatikan pula komunikasi secara nonverbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, gerak tubuh dan nada suara. c. Memanfaatkan Peta Pikiran Quantum Teaching memanfaatkan teknik mencatat yang efektif yang dinamakan peta pikiran. Peta pikiran adalah teknik mencatat yang didasarkan pada riset tentang bagaimana cara kerja otak dengan menggunakan citra visual dan perangkat grafis lainnya. Peta pikiran bermanfaat karena fleksibel, memusatkan perhatian, meningkatkan pemahaman dan menyenangkan. 2.1.5. Motivasi 2.1.5.1. Pengertian Menurut Schunk, Pintrich dan Meece (2012: 6), motivasi adalah suatu proses diinisiasikannya dan dipertahankannya aktivitas yang diarahkan pada pencapaian tujuan. Motivasi dapat mempengaruhi apa yang dipelajari, kapan waktu belajar, dan bagaimana cara belajar. Siswa yang termotivasi mempelajari sebuah topik cenderung melibatkan diri dalam berbagai aktivitas yang diyakini akan membantu dirinya belajar, seperti memperhatikan pelajaran secara seksama, secara mental mengorganisasikan dan menghafal materi yang dipelajari, mencatat untuk memfasilitasi aktivitas belajar berikutnya, memeriksa level pemahamannya, dan meminta bantuan ketika dirinya tidak memahami materi tersebut (Zimmerman dalam Schunk, Pintrich dan Meece, 2012: 7). Menurut Schunk, Pintrich dan Meece (2012: 6) dalam bukunya Motivasi dalam Pendidikan, motivasi terdiri dari 2 jenis yaitu: 1. Motivasi intrinsik Motivasi intrinsik mengacu pada motivasi melibatkan diri dalam sebuah aktivitas karena nilai/manfaat aktivitas itu sendiri (aktivitas itu sendiri merupakan sebuah tujuan akhir). Individu-individu yang termotivasi secara intrinsik mengerjakan tugas-tugas karena mereka mendapati bahwa tugas-tugas tersebut menyenangkan. 2. Motivasi ekstrinsik Motivasi ekstrinsik adalah motivasi melibatkan diri dalam sebuah aktivitas sebagai suatu cara mencapai sebuah tujuan. Individu-individu yang termotivasi secara ekstrinsik mengerjakan tugas-tugas karena mereka meyakini bahwa
16
partisipasi tersebut akan menyebabkan berbagi konsekuensi yang diinginkan, seperti mendapatkan hadiah, menerima pujian dari guru, atau terhindar dari hukuman. 2.1.5.2. Metode Pengukuran Menurut Schunk, Pintrich dan Meece (2012: 18), motivasi dapat diukur dengan 3 cara yaitu: 1. Observasi Langsung Observasi langsung mengacu pada contoh-contoh perilaku dari pilihan tugas,usaha yang dikeluarkan, dan kegigihan. Berbagai perilaku ini merupakan indikator motivasi yang valid asalkan hanya melibatkan sedikit inferensi pada sisi pengamat. Akan tetapi, dengan hanya berfokus pada tindakan yang dapat diamati, observasi langsung mungkin dangkal (tidak mendalam) dan tidak sepenuhnya menangkap esensi motivasi. Observasi langsung mengabaikan mengabaikan proses kognitif dan afektif yang mendasari perilaku termotivasi. 2. Penilaian skala oleh individu lain Cara lain mengukur motivasi adalah dengan meminta para pengamat (yakni para guru, para orang tua, para peneliti) melakukan penilaian skala terhadap siswa pada berbagai karakteristik yang mengidentivikasi motivasi. Contoh instrument penilaian skala berfokus pada persepsi control dan keterlibatan siswa dalam pelaksanaan tugas-tugas akademis. Persepsi control siswa diukur dengan menggunakan sebuah instrument pelaporan diri berisi 50 items, yang terdiri dari tiga dimensi (keyakinan strategi, keyakinan kapasitas, keyakinan control). Keterlibatan siswa dalam berbagai aktivitas diukur dengan sebuah skala berisi 10 items, yakni guru melakukan penilaian skala terhadap siswasiswanya perihal observasi di kelas dan suasana emosi. Salah satu keuntungan penilaian skala oleh individu lain adalah pengamat mungkin bersikap lebih objektif terhadap siswa, dibandingkan dengan sikap siswa terhadap dirinya sendiri. 3. Pelaporan diri Pelaporan diri menangkap penilaian dan pernyataan individu mengenai dirinya sendiri. Bentuk-bentuk pelaporan diri yaitu: a. Kuesioner Kuesioner menyajikan responden dengan item atau berbagai pertanyaan yang menyakan tentang tindakan dan keyakinan dirinya. b. Wawancara Wawancara merupakan sebuah bentuk kuesioner, yakni pewawancara menyampaikan berbagai pertanyaan atau ide yang hendak didiskusikan, lalu partisipan menjawab secara lisan. c. Ingatan kembali yang terstimulasi Sehubungan dengan ingatan kembali yang terstimulasi, individu mengerjakan sebuah tugas dan kinerjanya difilmkan, yang sesudahnya ia menonton filmnya dan mencoba mengingat kembali pemikirannya pada waktu-waktu pengerjaan tugas yang berbeda.
17
d. Penyuaraan pemikiran Penyuaraan pemikiran mengacu pada verbalisasi pemikiran, tindakan, dan emosi siswa sambil mengerjakan sebuah tugas. e. Dialog Dialog merupakan percakapan di antara dua atau lebih individu. 2.1.6. Hasil Belajar 2.1.6.1. Pengertian Menurut Purwanto (2008:46) hasil belajar adalah perubahan perilaku seseorang akibat belajar. Perubahan perilaku disebabkan karena dia mencapai penguasaan atas sejumlah bahan yang diberikan dalam proses belajar mengajar. Pencapaian itu didasarkan atas tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Hasil itu dapat berupa perubahan dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. Sedangkan Dimyati dan Mudjiono (2009:250) hasil belajar merupakan hasil proses belajar atau proses pembelajaran. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan suatu bukti keberhasilan yang diperoleh siswa setelah siswa melakukan proses belajar. Hasil belajar dapat berupa nilai, angka, atau huruf. Semakin tinggi nilai atau angka atau huruf maka semakin tinggi juga hasil dari belajar siswa. 2.1.6.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Sudjana (2011:39) mengemukakan bahwa hasil belajar yang dicapai oleh siswa dipengaruhi oleh dua faktor yakni dari faktor dari dalam siswa itu sendiri dan faktor yang datang dari luar diri siswa atau lingkungan. Faktor yang datang dari dalam diri siswa terutama kemampuan yang dimilikinya. Faktor kemampuan siswa besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai. Seperti dikemukakan Clark dalam Sudjana (2011:39) bahwa hasil belajar siswa di sekolah 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan. Disamping faktor kemampuan yang dimiliki siswa juga ada faktor lain seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis.
18
2.2. Penelitian yang Relevan Tabel 2.1 Penelitian yang Relevan No Nama,
Judul
Hasil
Tahun 1
Dyah
Ayu Peningkatan
Poncowati
Belajar
(2010)
Pendekatan
Aktivitas- Meningkatkan
PKn
aktivitas
melalui belajar siswa dari 17,95% Quantum menjadi 86,83%,
Teaching
dengan- Meningkatkan
Metode
ketuntasan
Permainan hasil belajar dengan KKM
Simulasi Beberan pada 7,00 Siswa
Kelas
X
(Akuntansi) Negeri
kegiatan
SMK pembelajaran
Pati Semester dalam
Gasal 2010/2011 2
A1- Pelaksanaan
berlangsung
suasana
yang
menyenangkan.
Tatik
Penerapan
Harwining
Quantum
(2010)
pada Pembelajaran IPS pembelajaran materi sumber untuk Hasil
Model Peningkatan ketuntasan hasil Teaching evaluasi dari tiap siklus pada
Meningkatkan daya Belajar
alam
Siswa ekonomi.
dan
kegiatan
Peningkatan
Kelas 4 Semester II ketuntasan tersebut terjadi Kecamatan Mojotengah secara Kabupaten Tahun 2010/2011
bertahap.
Pada
Wonosobo kondisi awal KKM yang Ajaran ditentukan
oleh
sekolah
yaitu 60, ketuntasan belajar siswa hanya mencapai 22% yaitu dari 22 siswa hanya terdapat 5 siswa yang telah tuntas dalam belajar dengan rata-rata nilai 53. Setelah
19
melaksanakan siklus I dan siklus
II
serta
adanya
perbaikan, ketuntasan belajar mencapai 100%. 3
Z. M.
Upaya
Meningkatkan Peningkatan prestasi belajar
Zaenuri
Prestasi
Belajar
(2009)
dengan
IPA yang
signifikan
Model signifikansi
Quantum
5%
Teaching dibandingkan dengan saat
SiswaKelas VI Sekolah dilaksanakan Dasar
pada
Negeri
pembelajaran
1 dengan menggunakan model
Kawasan Kec. Juwiring ekspositori. Kab.
Klaten
Tahun
Pelajaran 2009/2010
Dari dua penelitian terdahulu membuktikan bahwa model pembelajaran Quantum Teaching dapat membantu proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Mengacu pada penelitian terdahulu, maka peneliti ingin melakukan penelitian lagi dengan menggunakan model yang pembelajaran yang sama. Meskipun demikian, terdapat beberapa perbedaan antara penelitian yang dilakukan kali ini, dengan penelitian-penelitian terdahulu. Perbedaan tersebut pertama bahwa pada penelitian terdahulu, para peneliti belum memasukkan variabel motivasi belajar sebagai salah satu variabel yang diteliti. Artinya bahwa dengan menggunakan model pembelajaran Quantum Teaching, peneliti menduga tidak hanya dapat meningkatkan hasil belajar namun juga dapat meningkatkan motivasi siswa. Kedua, subyek penelitian. Pada penelitian terdahulu subyek penelitiannya adalah siswa dari sekolah yang berbeda. Penulis berasumsi bahwa perbedaan subyek, merupakan faktor lain yang akan mempengaruhi prestasi belajar. Situasi sekolah yang berbeda, fasilitas yang berbeda, tantangan masyarakat yang berbeda, demikian juga pola asuh dari orangtua yang berbeda karena budaya yang berbeda tentu berkontribusi terhadap hasil belajar siswa. Karena itu, dengan memilih subyek penelitian yaitu siswa
20
kelas 4A SD Negeri Sidogemah 2, peneliti bermaksud menerapkan model pembelajaran Quantum Teaching dalam meningkatkan hasil belajar Matematika dan motivasi siswa. 2.3. Kerangka Berfikir Bagi sebagian siswa Matematika bukanlah mata pelajaran yang menyenangkan, bahkan ada yang menganggapnya sebagai pelajaran yang menakutkan. Oleh karena itu, pembelajaran Matematika harus dibuat menarik dan menyenangkan dengan metode yang inovatif yang mudah dipahami siswa sehingga mereka menyukai Matematika. Namun fakta di lapangan berbeda. Pembelajaran lebih didominasi oleh guru. Guru mengajar dengan menerangkan, memberi contoh soal, dan memberi soal pada siswa. Hal ini membuat pembelajaran menjadi menjenuhkan, membuat siswa tidak bersemangat, keaktifan siswa kurang, dan prestasi belajar siswa menjadi rendah. Sebagai seorang guru haruslah peka terhadap kondisi yang terjadi dalam kegiatan pembelajaran. Guru dituntut professional dalam melaksanakan proses belajar yang baik dan bermakna. Oleh karena itu, guru harus memilih dan mengkolaborasi model pembelajaran sesuai dengan materi yang akan diajarkan. Pemilihan model pembelajaran yang tepat dapat memperlancar proses pembelajaran sehingga tujuan yang diinginkan tercapai. Manfaat lainnya adalah hasil belajar siswa meningkat. Quantum Teaching merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk mengaktifkan pembelajaran. DePorter (2003:3), Quantum Teaching adalah penggubahan belajar yang meriah, dengan segala nuansanya. Quantum Teaching juga menyertakan segala kaitan, interaksi dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar. Pemanfaatan dan eksplorasi siswa dan lingkungan secara tepat dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar secara maksimal.
21
Kondisi Awal
GURU:
SISWA:
Masih Menggunakan
Motivasi dan hasil
metode ceramah
belajar siswa rendah
Menerapkan model pembelajaran Quantum Teaching Kerangka Pengajaran: a. Tumbuhkan Tindakan
b. Alami c. Namai d. Demonstrasi e. Ulangi f. Rayakan
Kelebihan Quantum Teaching: - Siswa lebih memahami materi melalui langkahlangkah TANDUR - Mengajarkan siswa untuk lebih percaya diri dan lebih aktif - Memotivasi siswa untuk mengembangkan potensinya - Setiap potensi yang dimiliki siswa dihargai
Kondisi Akhir
Melalui implementasi model pembelajaran Quantum Teaching diduga dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar Matematika pada siswa kelas 4A semester II SD Negeri Sidogemah 2.
Gambar 1. Alur Kerangka Berpikir Model Quantum Teaching pada Pembelajaran Matematika
22
2.4. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir, maka hipotesis tindakan adalah sebagai berikut. Melalui implementasi model pembelajaran Quantum Teaching diduga dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar Matematika pada siswa kelas 4A semester II SD Negeri Sidogemah 2.