21
BAB II MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA
A. Model Pembelajaran Istilah model pembelajaran amat dekat dengan pengertian strategi pembelajaran. Pada awalnya, istilah “strategi” dikenal dalam dunia militer terutama terkait dengan perang, namun demikian makna itu telah meluas tidak hanya dalam kondisi perang tetapi juga damai, dan dalam berbagai bidang antara lain ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Ada beberapa pengertian dari strategi yakni: (1) ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai, (2) rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus, sedangkan metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud. Soedjadi (1999: 101) menyebutkan: Strategi pembelajaran adalah suatu siasat melakukan kegiatan pembelajaran yang bertujuan mengubah satu keadaan pembelajaran kini menjadi keadaan pembelajaran yang diharapkan. Untuk mengubah keadaan itu dapat ditempuh dengan berbagai pendekatan pembelajaran. Lebih lanjut Soedjadi menyebutkan bahwa: “dalam satu pendekatan dapat dilakukan lebih dari satu motode dan dalam satu metode dapat digunakan lebih dari satu teknik”. Secara sederhana dapat dirunut sebagai rangkaian: teknik → metode → pendekatan → strategi. Istilah model pembelajaran berbeda dengan strategi pembelajaran, metode pembelajaran, dan prinsip pembelajaran. Model pembelajaran meliputi suatu
22 model pembelajaran yang luas dan menyeluruh. Konsep model pembelajaran lahir dan berkembang dari para pakar psikologi dengan pendekatan dan setting eksperimen yang dilakukan. Konsep model pembelajaran untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Bruce dan koleganya. (Joyce, Weil dan Showers). Terdapat beberapa pendekatan pembelajaran yang dikembangkan oleh Joyce dan Weil dalam penjelasan dan pencatatan tiap-tiap pendekatan dikembangkan suatu sistem penganalisisan dari sudut dasar teorinya, tujuan pendidikan, dan perilaku guru dan peserta didik yang diperlukan untuk melaksanakan pendekatan itu agar berhasil. Ismail (2003: 26) menyebutkan bahwa: Istilah model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode tertentu, yaitu: 1. rasional teoritik yang logis yang disusun oleh penciptanya 2. tujuan pembelajaran yang hendak dicapai 3. tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut berhasil 4. lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran tercapai. Penerapan suatu model pembelajaran cukup besar pengaruhnya terhadap keberhasilan guru dalam mengajar. Pemilihan model pembelajaran yang tidak tepat justru dapat menghambat tercapainya tujuan pembelajaran. Agar model pembelajaran yang akan diterapkan terpilih dengan tepat, seorang guru harus mengetahui berbagai model pembelajaran dan mengetahui pula model pembelajaran yang sesuai dengan materi pada pokok bahasannya. Model Pembelajaran adalah pedoman berupa program/petunjuk strategi mengajar untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran. Pedoman itu memuat tanggungjawab guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran.
23 Sebagai guru kita harus mampu melakukan identifikasi kekuatan dan kelemahan model-model pembelajaran yang tepat, mampu memilihnya secara tepat dan mampu mengembangkannya serta menerapkannya dalam proses pembelajaran. Dengan demikian efektifitas pembelajaran matematika yang kita selenggarakan akan dapat meningkat.
1. Pengertian Strategi, Pendekatan, dan Model Pembelajaran Kegiatan pembelajaran dalam implementasinya mengenal banyak istilah untuk menggambarkan cara mengajar yang akan dilakukan oleh guru. Saat ini begitu banyak macam strategi ataupun metode pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran menjadi lebih baik. Istilah model, pendekatan, strategi, metode, teknik, dan taktik sangat familiar dalam dunia pendidikan kita, namun terkadang istilah-istilah tersebut membuat bingung para pendidik. Demikianpun dengan para ahli, mereka memiliki pemaknaan sendiri-sendiri tentang istilah-istilah tersebut. (Rusman 2009: 193). Berikut adalah penjelasan tentang istilah pendekatan, model, strategi, metode, teknik dan taktik. Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. (Roy Kellen dalam Rusman 2009: 193) mencatat bahwa: Terdapat dua pendekatan dalam pembelajaran yaitu; pendekatan yang berpusat pada guru (teacher centered approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student centered approaches). Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekspositori. Sementara itu pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran inquiry dan discovery serta pembelajaran induktif.
24 Model-model pembelajaran biasanya disusun berdasarkan berbagai prinsip atau teori pengetahuan. Para ahli menyusun model pembelajaran berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran, teori-teori psikologis, sosiologis, analisis sistem, atau teori-teori lain yang mendukung. Joyce & Weil mempelajari model-model pembelajaran berdasarkan teori belajar yang dikelompokkan menjadi empat model pembelajaran. Model tersebut merupakan Pola Umum perilaku pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. (Joyce & weil dalam Rusman 2009: 193) berpendapat bahwa: Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efesien untuk mencapai tujuan pendidikannya. Strategi menurut Kemp (dalam Rusman 2009: 194): “adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan effisien”. Senada dengan pendapatnya Kemp, Dick and Carey (dalam Rusman 2009: 194) juga menyebutkan bahwa: “strategi pembelajaran itu adalah suatu perangkat materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada peserta didik atau siswa”. Upaya mengimplementasikan rencana pembelajaran yang telah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun dapat tercapai secara optimal, maka diperlukan suatu metode yang digunakan untuk merealisasikan strategi yang
25 telah ditetapkan. Dengan demikian, bisa terjadi satu strategi pembelajaran menggunakan
beberapa
metode.
Misalnya
untuk
melaksanakan
strategi
ekspositori bisa digunakan metode ceramah sekaligus metode tanya jawab atau bahkan diskusi dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia termasuk menggunakan media pembelajaran. Oleh sebab itu, strategi berbeda dengan metode. Strategi menunjukan pada sebuah perencanaan untuk mencapai sesuatu, sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan strategi. Dengan kata lain, strategi adalah a plan of operation achieving something; sedangkan metode adalah a way in achieving something.
2. Penggunaan Strategi dan Model-Model Pembelajaran Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar juga merupakan proses melihat, mengamati, dan memahami sesuatu. (Sudjana dalam Rusman 2009: 192). Kegiatan pembelajaran dilakukan oleh dua orang pelaku, yaitu guru dan peserta didik. Perilaku guru adalah mengajar dan perilaku peserta didik adalah belajar. Perilaku mengajar dan perilaku belajar tersebut terkait dengan bahan pembelajaran. Bahan pembelajaran dapat berupa pengetahuan, nilai-nilai kesusilaan, seni, agama, sikap, dan keterampilan. Hubungan antara guru, peserta didik, dan bahan ajar bersifat dinamis dan kompleks. Untuk mencapai keberhasilan dalam kegiatan pembelajaran, terdapat beberapa komponen yang dapat menunjang, yaitu komponen tujuan, komponen materi, komponen strategi
26 belajar mengajar, dan komponen evaluasi. Masing-masing komponen saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain. Pembelajaran merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Komponen tersebut meliputi tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Keempat komponen pembelajaran tersebut harus diperhatikan oleh guru dalam memilih atau menentukan pendekatan dan model pembelajaran.
3. Dasar Pertimbangan Pemilihan Strategi Pembelajaran Sebelum menentukan strategi pembelajaran yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan guru dalam memilih strategi pembelajaran (Rusman 2009: 194), yaitu sebagai berikut: a. Pertimbangan terhadap tujuan yang hendak dicapai. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan adalah sebagai berikut: 1) Apakah tujuan pembelajaran yang ingin dicapai berkenaan dengan kompetensi akademik, kepribadian sosial, dan kompetensi vokasional atau yang dulu diistilahkan dengan ranah kognitif, afektif, atau psikomotor? 2) Bagaimana kompleksitas tujuan pembelajaran yang ingin dicapai? 3) Apakah untuk mencapai tujuan itu memerlukan keterampilan akademik ? b. Pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran: 1) Apakah materi pelajaran itu berupa fakta, konsep, hukum, atau teori tertentu? 2) Apakah untuk mempelajari materi pembelajaran itu memerlukan prasyarat atau tidak? 3) Apakah tersedia bahan atau sumber-sumber yang relevan untuk mempelajari materi itu? c. Pertimbangan dari sudut peserta didik atau siswa: 1) Apakah strategi pembelajaran sesuai dengan tingkat kematangan peserta didik? 2) Apakah strategi pembelajaran itu sesuai dengan minat, bakat, dan kondisi peserta didik?
27
d.
3) Apakah strategi pembelajaran itu sesuai dengan gaya belajar peserta didik? Pertimbangan lainnya yang bersifat non teknis: 1) Apakah untuk mencapai tujuan hanya cukup dengan satu strategi saja? 2) Apakah strategi yang kita tetapkan dianggap satu-satunya strategi yang dapat digunakan? 3) Apakah strategi itu memiliki nilai efektivitas atau efisiensi?
B. Model Pembelajaran Matematika Dalam pembelajaran matematika ada beberapa model pembelajaran yang diantaranya
mempunyai
keunggulan
dalam
meningkatkan
kemampuan
pemahaman peserta didik agar menjadi lebih efektif dalam belajar antara lain: “Model Pembelajaran Klasikal dan Individu, Model Penemuan Terbimbing, Model Pembelajaran Kontekstual, Model Pembelajaran Kooperatif, Model Pembelajaran Tutor Sebaya”, (Widdiharto, 2006: 5 dan Suherman, dkk. 2003: 255). Sebagai guru, kita harus mampu melakukan identifikasi kekuatan dan kelemahan model-model pembelajaran yang tepat, mampu memilihnya secara tepat dan mampu mengembangkannya serta menerapkannya dalam proses pembelajaran. Dengan demikian efektifitas pembelajaran matematika yang kita selenggarakan akan dapat meningkat.
1.
Model Pembelajaran Klasikal dan Individual Model pembelajaran klasikal adalah model pembelajaran yang biasa kita
lihat sehari-hari. Pada model ini, guru mengajar sejumlah peserta didik, biasanya antara 30 sampai dengan 40 orang peserta didik di dalam sebuah ruangan. Para peserta didik memiliki kemampuan minimum untuk tingkat itu dan diasumsikan mempunyai minat dan kecepatan belajar yang relatif sama. Dengan kondisi seperti
28 ini, kondisi belajar peserta didik secara individual baik menyangkut kecepatan belajar, kesulitan belajar, dan minat belajar sukar untuk diperhatikan oleh guru. Pada umumnya cara guru dalam menentukan kecepatan menyajikan dan tingkat kesukaran materi kepada peserta didiknya berdasarkan pada informasi kemampuan peserta didik secara umum. Guru tampaknya sangat mendominasi dalam menentukan semua kegiatan pembelajaran. Banyaknya materi yang akan diajarkan, urutan materi pelajaran, kecepatan guru mengajar, dan lain-lain sepenuhnya ada ditangan guru. Pembelajaran dengan model klasikal tampaknya tidak dapat melayani kebutuhan belajar peserta didik secara individu. Beberapa peserta didik mengeluh karena gurunya mengajar sangat cepat. Sementara yang lain mengeluh karena gurunya mengajar bertele-tele, dan banyak keluhan-keluhan lainnya. Untuk itu perlu dicari cara lain agar seluruh peserta didiik dapat dilayani sebaik-baiknya. Model pembelajaran individual menawarkan solusi terhadap masalah peserta didik yang beraneka ragam tersebut. Pembelajaran individual memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menentukan sendiri tempat, waktu, kapan dirinya merasa siap untuk menempuh ulangan atau ujian. Pembelajaran individual mempunyai beberapa ciri, antara lain: a. Peserta didik belajar sesuai dengan kecepatannya masing-masing, tidak pada kelasnya. b. Peserta didik belajar secara tuntas, karena peserta didik akan ujian jika telah merasa siap. c. Setiap unit yang dipelajari memuat tujuan pembelajaran khusus yang jelas.
29 d. Keberhasilan peserta didik diukur berdasarkan sistem nilai mutlak. Ia berkompetisi dengan angka bukan dengan temannya.
Salah satu model pembelajaran individual yang sangat popular di kita beberapa waktu yang lalu adalah pembelajaran dengan modul. Modul adalah suatu paket pembelajaran yang memuat suatu unit konsep pembelajaran yang dapat dipelajari oleh peserta didik sendiri (self instruction).
2.
Model Penemuan Terbimbing Sebelum kita membahas model penemuan terbimbing ada baiknya terlebih
dahulu kita tinjau sejenak model penemuan murni. Dalam penemuan murni, yang oleh Maier (dalam Widdiharto 2006: 5) disebut sebagai “heuristik”, “apa yang hendak ditemukan, jalan atau proses semata-mata ditentukan oleh siswa sendiri”. Metode ini kurang tepat karena pada umumnya sebagian besar peserta didik masih butuh pemahaman konsep dasar untuk bisa menemukan sesuatu apalagi untuk tingkat siswa SMP. Hal ini tentunya terkait erat dengan karakteristik pelajaran matematika itu sendiri yang lebih merupakan deductive reasoning dalam perumusannya. Di samping itu, jika setiap konsep atau prinsip dalam silabus harus dipelajari dengan penemuan murni, kita akan kekurangan waktu sehingga tidak banyak materi matematika yang dapat dipelajari oleh peserta didik. Juga perlu diingat bahwa umumnya peserta didik cenderung tergesa-gesa dalam menarik kesimpulan, dan tidak semua peserta didik dapat melakukannya, dari kelemahankelemahan inilah muncul Model Penemuan Terbimbing.
30 Sebagai suatu model pembelajaran dari sekian banyak model pembelajaran yang ada, penemuan terbimbing menempatkan guru sebagai fasilitator, guru membimbing peserta didik dimana ia diperlukan. Dalam model ini, peserta didik didorong untuk berpikir sendiri, menganalisis sendiri, sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan guru. Sampai sejauh mana peserta didik dibimbing, tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari. Dengan metode ini peserta didik dihadapkan kepada situasi di mana ia bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Guru bertindak menunjuk jalan, ia membantu peserta didik agar mempergunakan ide, konsep, dan keterampilan yang sudah mereka pelajari sebelumnya untuk mendapatkan pengetahuan yang baru. Pengajuan pertanyaan yang tepat oleh guru akan merangsang kreativitas peserta didik dan membantu mereka dalam menemukan pengetahuan yang baru tersebut. Perlu diingat bahwa memang model ini memerlukan waktu yang relatif banyak dalam pelaksanaannya, akan tetapi hasil belajar yang dicapai tentunya sebanding dengan waktu yang digunakan. Pengetahuan yang baru didapat akan melekat lebih lama karena peserta didik dilibatkan secara langsung dalam proses pemahaman dan mengkonstruksi sendiri konsep atau pengetahuan tersebut. Model ini dapat dilakukan baik secara perseorangan maupun kelompok.
Langkah-langkah dalam Penemuan Terbimbing. Agar pelaksanaan Model Penemuan Terbimbing ini berjalan dengan efektif, beberapa langkah yang mesti ditempuh oleh guru Matematika adalah sebagai berikut:
31 a. Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada peserta didik dengan data secukupnya. Perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh peserta didik tidak salah. b. Dari data yang diberikan guru, peserta didik menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperlukan saja. Bimbingan ini sebaiknnya mengarahkan peserta didik untuk melangkah ke arah yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan atau LKS. c. Peserta didik menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya. d. Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat oleh peserta didik tersebut di atas diperiksa oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan peserta didik, sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai. e. Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada peserta didik untuk menyusunnya. Di samping itu perlu diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran konjektur. f. Sesudah peserta didik menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.
32 3. Model Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran matematika yang kontekstual atau realistik telah berkembang di negara-negara lain dengan berbagai nama. Di Belanda dengan nama RME (Realistic Mathematics Education), di Amerika dengan nama CTL (Contextual Teaching Learning in Mathematics) atau CME (Contextual Mathematics Education). Gagasan RME muncul sebagai jawaban terhadap adanya gerakan matematika modern di Amerika Serikat dan praktek pembelajaran matematika yang terlalu mekanistik di Belanda. Freudental (dalam Nur, M, 2000: 36) menyatakan bahwa: Pembelajaran konvensional terlalu berorientasi pada sistem formal matematika sehingga anti didaktik. Sementara itu pada tahun 1980-an telah terjadi pergeseran paradigma teori belajar pada pembelajaran matematika yaitu dari behavioris dan strukturalis, kearah kognitif dan konstrutivisrealistik. Karakteristik Pembelajaran Matematika yang Kontekstual. Wardhani (2003: 24), menyebutkan lima karakteristik utama dari pembelajaran matematika yang realistik adalah sebagai berikut: a. Diajukan masalah kontekstual untuk dipecahkan atau diselesaikan oleh siswa sebagai titik awal proses pembelajaran. b. Dikembangkannya cara, alat, atau model matematis (gambar, grafik, tabel, dll) oleh siswa sebagai jawaban informal terhadap masalah yang dihadapi, yang berfungsi sebagai jembatan antara dunia real dengan abstrak sehingga terwujud proses matematisasi horisontal (yaitu proses diperolehnya matematika informal). c. Terjadi interaksi antara guru dan siswa atau antara siswa dengan siswa, atau antara siswa dengan pakar dalam suasana demokratif berkenaan dengan penyelesaian masalah yang diajukan selama proses belajar. d. Ada keseimbangan antara proses matematisasi horisontal dan proses matematisasi vertikal (yaitu proses pembahasan matematika secara simbolik dan abstrak). Ini berarti jawaban informal siswa dihargai sebelum sampai pada tahap mempelajari bentuk formal matematika.
33 Dengan cara demikian diharapkan ada kesempatan bagi siswa untuk merefleksi, menginterpretasi, dan menginternalisasi hal yang dipelajari. e. Pembelajaran matematika tidak semata-mata memberi penekanan pada komputasi dan hanya mementingkan langkah-langkah prosedural penyelesaian soal (drill) namun juga memberi penekanan pada pemahaman konsep dan pemecahan masalah.
Langkah-langkah dalam Model Pembelajaran Kontekstual Hadi, S (2004: 4) menyatakan bahwa pembelajaran matematika yang kontekstual atau realistik meliputi langkah-langkah sebagai berikut: a. Pendahuluan: o Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang riil bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya (masalah kontekstual) sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna. o Permasalahan yang diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut. b. Pengembangan: o Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model matematis simbolik secara informal terhadap persoalan atau masalah yang diajukan. o Kegiatan pembelajaran berlangsung secara interaktif. Siswa diberi kesempatan menjelaskan dan memberi alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban teman atau siswa lain, menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban teman atau siswa lain, mencari alternatif penyelesaian yang lain. c. Penerapan/Penutup o Melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
4.
Model Pembelajaran Cooperative Learning Ruang kelas merupakan suatu tempat yang sangat baik untuk kegiatan
Cooperative Learning. Di dalam ruang kelas, para peserta didik dapat diberi kesempatan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan atau memecahkan suatu masalah secara bersama. Para peserta didik juga diberi
34 kesempatan untuk mendiskusikan masalah, menentukan strategi pemecahannya, dan menghubungkan masalah tersebut dengan masalah-masalah lain yang telah dapat diselesaikan sebelumnya. Model Cooperative Learning tampaknya akan dapat melatih para peserta didik untuk mendengarkan pendapat-pendapat orang lain dan merangkum pendapat atau temuan-temuan dalam bentuk tulisan. Tugas-tugas kelompok akan dapat memacu para peserta didik untuk bekerja sama, saling membantu satu sama lain dalam mengintegrasikan pengetahuan-pengetahuan baru dengan pengetahuan baru yang telah dimilikinya. Cooperative learning dalam matematika akan dapat membantu para peserta didik meningkatkan sikap positif siswa dalam matematika. Para peserta didik secara individu membangun kepercayaan diri terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah matematika, sehingga akan mengurangi bahkan menghilangkan rasa cemas terhadap matematika (mach anxiety) yang banyak dialami para peserta didik. Cooperative learning juga telah terbukti sangat bermanfaat bagi para peserta didik yang heterogen. Dengan menonjolkan interaksi dalam kelompok, model belajar ini dapat membuat peserta didik menerima peserta didik lain yang berkemampuan dan berlatar belakang yang berbeda. Pentingnya hubungan antara teman sebaya di dalam ruang kelas tidaklah dapat dipandang remeh. Jika cooperative learning dibentuk di dalam kelas, pengaruh teman sebaya itu dapat digunakan untuk tujuan-tujuan positif dalam pembelajaran matematika. Para peserta didik menginginkan teman-teman dalam kelompoknya siap dan produktif di dalam kelas. Dorongan teman untuk mencapai
35 prestasi akademik yang baik adalah salah satu faktor penting dari cooperative learning. Para peserta didik termotivasi belajar secara baik, siap dengan pekerjaannya, dan menjadi penuh perhatian selama jam pelajaran. Model ini telah juga terbukti dapat meningkatkan berfikir kritis serta meningkatkan kemampuan peserta didik dalam pemahaman konsep. a. Pengertian Cooverative Learning Cooperative Learning mencakup suatu kelompok kecil peserta didik yang bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama lainnya. Tidaklah cukup menunjukkan sebuah Cooperative Learning jika para peserta didik duduk bersama di dalam kelompok-kelompok kecil tetapi menyelesaikan masalah secara sendiri-sendiri. Bukanlah Cooperative Learning jika para peserta didik duduk bersama dalam kelompok-kelompok kecil dan mempersilahkan salah seorang
diantaranya
untuk
menyelesaikan
seluruh
pekerjan
kelompok.
Cooperative Learning menekankan pada kehadiran teman sebaya yang berinteraksi antar sesamanya sebagai sebuah tim dalam menyelesaikan membahas suatu masalah atau tugas. Ada beberapa hal yang perlu dipenuhi dalam Cooperative Learning agar lebih menjamin para peserta didik bekerja secara kooperatif, hal-hal tersebut meliputi: Pertama, para peserta didik yang tergabung dalam suatu kelompok harus merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah tim dan mempunyai tujuan bersama yang harus dicapai. Kedua, para peserta didik yang tergabung dalam sebuah kelompok harus menyadari bahwa masalah yang mereka hadapi adalah
36 masalah kelompok dan bahwa berhasil atau tidaknya kelompok itu akan menjadi tanggung jawab bersama oleh seluruh anggota kelompok itu. Ketiga, untuk mencapai hasil yang maksimum, para siswa yang tergabung dalam kelompok itu harus berbicara satu sama lain dalam mendiskusikan masalah yang dihadapinya. Akhirnya, para peserta didik yang tergabung dalam suatu kelompok harus menyadari bahwa setiap pekerjaan peserta didik mempunyai akibat langsung pada keberhasilan kelompoknya.
b. Strategi Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Teori yang melandasi pembelajaran kooperatif adalah teori konstruktivisme. Pada dasarnya pendekatan teori konstrukstivisme dalam belajar adalah suatu pendekatan dimana peserta didik harus secara individual menemukan dan mentransformasikan informasi yang kompleks, memeriksa informasi dengan aturan yang ada dan merevisinya bila perlu. Menurut Rusman (2009: 195): “pembelajaran kooperatif menggalakkan siswa berinteraksi secara aktif dan positif dalam kelompok. Ini membolehkan pertukaran ide dan pemeriksaan ide sendiri dalam suasana yang tidak terancam, sesuai dengan falsafah konstruktivisme”. Dengan demikian, pendidikan hendaknya mampu mengkondisikan dan memberikan dorongan untuk dapat mengoptimalkan dan membangkitkan potensi peserta didik, menumbuhkan aktivitas serta daya cipta (kreativitas) sehingga akan menjamin terjadinya dinamika didalam proses pembelajaran. Dalam teori konstruktivisme ini lebih mengutamakan pada pembelajaran peserta didik yang dihadapkan pada masalah-masalah kompleks untuk dicari solusinya, selanjutnya menemukan bagian-bagian yang lebih sederhana atau keterampilan yang
37 diharapkan.
Model
pembelajaran
ini
dikembangkan
dari
teori
belajar
konstruktivisme yang lahir dari gagasan Piaget dan Vygotsky. Berdasarkan penelitian Piaget yang pertama dikemukakan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran anak. Dalam model pembelajaran kooperatif ini guru lebih berperan sebagai fasilitator yang berfungsi sebagai jembatan penghubung ke arah pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan peserta didik sendiri. Guru tidak hanya memberikan pengetahuan pada peserta didik, tetapi juga harus membangun pengetahuan dalam fikirannya. Peserta didik mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pengalaman langsung dalam menerapkan ide-ide mereka, ini merupakan kesempatan bagi peserta didik untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri. Piaget dan Vygotsky (dalam Rusman 2009: 196) mengemukakan: “adanya hakikat sosial dari sebuah proses belajar dan juga mengemukakan tentang penggunaan kelompok-kelompok belajar dengan kemampuan anggotanya yang beragam sehingga terjadi perubahan konseptual”. Piaget menekankan bahwa belajar adalah sebuah proses aktif dan pengetahuan disusun di dalam pikiran peserta didik. Oleh karena itu, belajar adalah tindakan kreatif dimana konsep dan kesan dibentuk dengan memikirkan objek dan peristiwa serta bereaksi pada objek dan peristiwa tersebut. Aktivitas
dan
kreativitas
yang
diharapkan
dalam
sebuah
proses
pembelajaran, dituntut interaksi yang seimbang. Interaksi yang dimaksudkan adalah adanya interaksi atau komunikasi antara guru dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik, dan peserta didik dengan guru. Diharapkan dalam
38 proses belajar terdapat komunikasi banyak arah, yang memungkinkan akan terjadinya aktivitas, kreativitas yang diharapkan. Pandangan
konstruktivisme
Piaget
dan
Vygotsky
dapat
berjalan
berdampingan dalam proses belajar konstruktivisme Piaget yang menekankan pada kegiatan internal individu terhadap objek yang dihadapi dan pengalaman yang dimiliki orang tersebut, sedangkan konstruktivisme Vygotsky menekankan pada interaksi sosial dan melakukan konstruksi pengetahuan dari lingkungan sosialnya. Berkaitan dengan karya Vygotsky dan penjelasan Piaget, para konstruktivis menekankan pentingnya interaksi dengan teman sebaya melalui pembentukan kelompok belajar. Melalui kelompok belajar, peserta didik diberikan kesempatan secara aktif untuk mengungkapkan sesuatu yang dipikirkan kepada temannya. Hal itu akan membantunya untuk melihat sesuatu dengan jelas, bahkan melihat ketidaksesuaian pandangan mereka sendiri.
c. Konsep Dasar Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran
kooperatif
(cooperative
learning)
merupakan
bentuk
pembelajaran dengan cara peserta didik belajar dan bekerja dalam kelompokkelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Pada hakikatnya cooperative learning sama dengan kerja kelompok. Oleh karena itu, banyak guru yang mengatakan tidak ada sesuatu yang aneh dalam cooperative learning karena mereka beranggapan telah biasa melakukan pembelajaran cooperative learning dalam bentuk belajar kelompok. Walaupun
39 sebenarnya tidak semua belajar kelompok dikatakan cooperative learning seperti dijelaskan Abdulhak (dalam Rusman, 2009: 197): Pembelajaran cooperative dilaksanakan melalui sharing proses antara peserta belajar sehingga dapat mewujudkan pemahaman bersama diantara peserta belajar itu sendiri. Dalam pembelajaran ini akan tercipta sebuah interaksi yang lebih luas, yaitu interaksi dan komunikasi yang dilakukan antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan siswa dengan guru (multi way traffic communication). “Pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam satu kelompok kecil untuk saling berinteraksi”. (Nurulhayati dalam Rusman, 2009: 197). Dalam sistem belajar yang kooperatif, peserta didik belajar bekerja sama bersama anggota lainnya. Dalam model ini peserta didik memiliki dua tanggung jawab, yaitu mereka belajar untuk dirinya sendiri dan membantu sesama anggota kelompok untuk belajar. Peserta didik belajar bersama dalam sebuah kelompok kecil dan mereka dapat melakukannya seorang diri. Cooperative learning merupakan kegiatan belajar siswa yang dilakukan dengan cara berkelompok. Model pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. (Sanjaya 2006: 239). Cooperative learning merupakan suatu pendekatan yang menekankan kerja sama dalam kelompok. Pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi peserta didik dalam satu kelompok kecil untuk saling berinteraksi. Dalam sistem belajar kooperatif peserta didik belajar bekerja bersama anggota lainnya. Pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekadar belajar dalam kelompok. Ada unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakam
40 dengan pembelajaran kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan perinsip dasar pokok sistem pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan guru mengelola kelas dengan lebih efektif. Dalam pembelajaran kooperatif proses pembelajaran tidak harus belajar dari guru kepada peserta didik. Peserta didik dapat saling membelajarkan sesama peserta didik lainnya. Pembelajaran oleh rekan sebaya (peer-teaching) lebih efektif dari pada pembelajaran oleh guru. Cooperative learning adalah teknik pengelompokan yang di dalamnya peserta didik bekerja terarah pada tujuan belajar bersama dalam kelompok kecil yang umumnya terdiri dari 4 - 5 orang. Belajar cooperative adalah pemanfaatan kelompok kecil dalam pembelajaran yang memungkinkan peserta didik bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut. Strategi
pembelajaran
kooperatif
merupakan
serangkain
kegiatan
pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik di dalam kelompok-kelompok, untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Ada empat unsur penting dalam strategi pembelajaran kooperatif (Sanjaya 2006: 239), yakni: (1) (2) (3) (4)
adanya peserta didik dalam kelompok; adanya aturan kelompok; adanya upaya belajar setiap anggota kelompok; adanya tujuan yang harus dicapai.
Berkenaan dengan pengelompokan peserta didik dapat ditentukan berdasarkan atas: (1) minat dan bakat peserta didik; (2) latar belakang kemampuan peserta didik; (3) perpaduan antara minat & bakat peserta didik dan latar kemampuan
peserta
didik.
Nurulhayati,
(dalam
Rusman,
mengemukakan lima unsur dasar model cooperative learning, yaitu:
2009:
198),
41 (1) (2) (3) (4) (5)
ketergantungan yang positif; pertanggungjawaban individual; kemampuan bersosialisasi; tatap muka; dan evaluasi proses kelompok.
Ketergantungan yang positif adalah suatu bentuk kerja sama yang sangat erat kaitannya antara anggota kelompok. Kerja sama ini dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Peserta didik benar-benar mengerti bahwa kesuksesan kelompok tergantung pada kesuksesan anggotanya. Maksud pertanggungjawaban individual adalah kelompok tergantung pada cara belajar perseorangan seluruh anggota kelompok. Pertanggungjawaban memfokuskan aktivitas kelompok dalam menjelaskan konsep pada satu orang dan memastikan bahwa setiap orang dalam kelompok siap menghadapi aktivitas lain dimana peserta didik harus menerima tanpa pertolongan anggota kelompok. Kemampuan bersosialisasi adalah sebuah kemampuan bekerja sama yang biasa digunakan dalam aktivitas kelompok. Kelompok tidak berfungsi secara efektif jika peserta didik tidak memiliki kemampuan bersosialisasi yang dibutuhkan. Setiap kelompok diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberi peserta didik bentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Guru menjadwalkan waktu bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama lebih efektif. Senada dengan penjelasan tersebut Siahaan (dalam Rusman, 2009: 199) mengutarakan lima unsur esensial yang ditentukan dalam pembelajaran kooperatif, yaitu:
42 (a) (b) (c) (d) (e)
saling ketergantungan yang positif; interaksi berhadapan (face-to-face interactive); tanggung jawab individu (individual accountability); keterampilan sosial (social skills); terjadi proses dalam kelompok (group processing).
Pembelajaran kooperatif mewadahi bagaimana peserta didik dapat bekerja sama dalam kelompok, tujuan kelompok adalah tujuan bersama. Situasi kooperatif merupakan bagian dari peserta didik untuk mencapai tujuan kelompok, peserta didik harus merasakan bahwa mereka akan mencapai tujuan maka peserta didik lain dalam kelompoknya memiliki kebersamaan. Artinya, tiap-tiap anggota kelompok bersifat kooperatif dengan sesama anggota kelompoknya. Mengapa perlu pembelajaran kooperatif (cooperative learning)? Dalam situasi belajar pun sering terlihat sifat individualistis peserta didik. Peserta didik cenderung berkompetisi secara individual, bersikap tertutup terhadap teman, kurang memberi perhatian pada teman sekelas, bergaul hanya dengan orang tertentu, ingin menang sendiri, dan sebagainya. Jika keadaan ini dibiarkan, tidak mustahil akan dihasilkan warga Negara yang egois, inklusif, introvet, kurang bergaul di masyarakat, acuh tak acuh dengan tetangga dan lingkungan, kurang menghargai orang lain, tidak mau menerima kelebihan dan kelemahan orang lain. Gejala seperti ini kiranya mulai terlihat pada masyarakat kita, sedikit-sedikit demonstrasi, main keroyokan, saling sikut, dan mudah terprovokasi. Strategi
pembelajaran
kooperatif
merupakan
strategi
pembelajaran
kelompok yang mulai ramai digunakan dan menjadi perhatian serta dianjurkan oleh para ahli pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Slavin (dalam Sanjaya 2006: 240), dikemukakan bahwa:
43 (1) penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan sikap toleransi dan menghargai pendapat orang lain; (2) pembelajaran kooperatif dapat memenuhi kebutuhan siswa akan berpikir kritis, memecahkan masalah, dan mengintregasikan pengetahuan dengan pengalaman. Dengan alasan tersebut strategi pembelajaran kooperatif diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran. Ada dua komponen strategi pembelajaran kooperatif (Rusman 2009: 199), yakni: “(1) cooperative task atau tugas kerja sama; dan (2) cooperative insentive structure, atau struktur insentif kerja sama”. Tugas kerja sama berkenaan dengan suatu hal yang menyebabkan anggota kelompok berkerja sama dalam menyelesaikan tugas yang telah diberikan. Sementara itu, struktur insentif kerja sama merupakan sesuatu hal yang membangkitkan motivasi peserta didik untuk melakukan kerja sama dalam rangka mencapai tujuan kelompok tersebut. Dalam strategi pembelajaran kooperatif terdapat upaya peningkatan prestasi belajar peserta didik (student achievement) dampak penyerta, yaitu sikap toleransi dan menghargai pendapat orang lain. Strategi pembelajaran kooperatif akan efektif digunakan apabila: (1) guru menekankan pentingnya usaha bersama disamping usaha secara Individual; (2) jika guru menghendaki pemerataan perolehan hasil dalam belajar; (3) jika guru ingin menanamkan tutor sebaya atau belajar melalui teman sendiri, (4)jika guru menghendaki adanya pemerataan partisipasi aktif siswa, (5) jika guru menghendaki kemampuan siswa dalam memecahkan berbagai permasalahan. (Sanjaya, 2006: 241). d. Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif berbeda dengan strategi pembelajaran yang lain. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses pembelajaran yang lebih menekankan kepada proses kerja sama dalam kelompok. Tujuan yang ingin dicapai tidak hanya
44 kemampuan akademik dalam pengertian penguasaan materi pelajaran, tetapi juga adanya unsur kerja sama untuk penguasaan materi tersebut. Adanya kerja sama inilah yang menjadi ciri khas dari pembelajaran kooperatif. Slavin, Abrani, dan Chambers (dalam Sanjaya 2006: 242) berpendapat bahwa: Belajar melalui kooperatif dapat dijelaskan dari beberapa perspektif, yaitu perspektif motivasi, perspektif sosial, perspektif perkembangan kognitif, dan perspektif elaborasi kognitif. Perspektif motivasi artinya penghargaan yang diberikan kepada kelompok yang dalam kegiatannya saling membantu untuk memperjuangkan keberhasilan kelompok. Perspektif sosial artinya melalui kooperatif setiap peserta didik akan saling membantu dalam belajar karena mereka menginginkan semua anggota kelompok memperoleh keberhasilan. Perspektif perkembangan kognitif artinya dengan adanya interaksi antara anggota kelompok dapat mengembangkan prestasi peserta didik untuk berpikir mengolah berbagai informasi. Elaborasi kognitif, artinya bahwa setiap peserta didik akan berusaha untuk memahami dan menimba informasi untuk menambah pengetahuan kognitifnya. Karakteristik strategi pembelajaran kooperatif dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Pembelajaran Secara Tim. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dilakukan secara tim. Tim merupakan tempat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, tim harus mampu membuat setiap peserta didik belajar. Setiap anggota tim harus saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran.
45 2) Didasarkan kepada Manajemen Kooperatif. Manajemen mempunyai empat fungsi, yaitu: (1) fungsi perencanaan; (2) fungsi organisasi; (3) fungsi pelaksanaan; (4) fungsi kontrol. Fungsi manajemen
sebagai
perencanaan
menunjukkan
bahwa
pembelajaran
kooperatif dilaksanakan sesuai dan melalui perencanaan, melalui langkahlangkah pembelajaran yang sudah ditentukan. Misalnya tujuan apa yang harus dicapai, bagaimana cara mencapainya, apa yang harus digunakan untuk mencapai tujuan, dan sebagainya. Fungsi manajemen sebagai organisasi, menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memerlukan perencanaan yang matang agar proses pembelajaran berjalan dengan efektif. Fungsi manajemen sebagai
pelaksanaan,
dilaksanakan
sesuai
menunjukkan dengan
bahwa
perencanaan,
pembelajaran melalui
kooperatif
langkah-langkah
pembelajaran yang sudah ditentukan. Fungsi manajemen sebagai kontrol, menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif perlu ditentukan kriteria keberhasilan baik melalui bentuk tes maupun nontes. 3) Kemampuan untuk Bekerja Sama Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan secara kelompok. Oleh karena itu, prinsip kebersamaan atau kerja sama perlu ditekankan dalam pembelajaran kooperatif. Tanpa kerja sama yang baik, pembelajaran kooperatif tidak akan mencapai hasil yang optimal. 4) Keterampilan Bekerja Sama Kemampuan bekerja sama itu dipraktikan melalui aktivitas dalam kegiatan pembelajaran secara berkelompok. Dengan demikian, peserta didik perlu
46 didorong untuk mau dan sanggup berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota lain dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
e. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Kooperatif Menurut Lie, Anita (2008: 32) ada empat prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif (cooperative learning), yaitu sebagai berikut: 1) Prinsip ketergantungan positif (positive interpendence), yaitu dalam pembelajaran kooperatif, keberhasilan dalam penyelesaian tugas tergantung pada usaha yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Keberhasilan kerja kelompok ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota kelompok. Oleh karena itu, semua anggota dalam kelompok akan merasa saling ketergantungan. 2) Tanggung jawab perseorangan (individual accountability), yaitu keberhasilan kelompok sangat tergantung dari masing-masing anggota kelompoknya. Oleh karena itu, setiap anggota kelompok mempunyai tugas dan tanggungjawab yang harus dikerjakan dalam kelompok tersebut. 3) Interaksi tatap muka (face to face promotion interaction), yaitu memberikan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka melakukan interaksi dan diskusi untuk saling memberi dan menerima informasi dari anggota kelompok lain. 4) Partisipasi dan komunikasi (participation communication), yaitu melatih siswa untuk dapat berpartisipasi aktif dan berkomunikasi dalam kegiatan pembelajaran.
f. Prosedur Pembelajaran Kooperatif Prosedur atau langkah-langkah pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu penjelasan materi, belajar dalam kelompok, penilaian, dan pengakuan tim. 1) Penjelasan materi, tahap ini merupakan tahapan penyampaian pokok-pokok materi pelajaran sebelum peserta didik belajar dalam kelompok. Tujuan utama tahapan ini adalah pemahaman peserta didik terhadap pokok materi pelajaran.
47 2) Belajar kelompok, tahapan ini dilakukan setelah guru memberikan penjelasan materi, peserta didik bekerja dalam kelompok yang telah di bentuk sebelumnya. 3) Penilaian, penilaian dalam pembelajaran kooperatif bisa dilakukan melalui tes atau kuis, yang dilakukan secara individu atau kelompok. Tes individu akan memberikan penilaian kemampuan individu, sedangkan kelompok akan memberikan penilaian pada kemampuan kelompoknya. Seperti dijelaskan Sanjaya (2006: 247): Hasil akhir setiap siswa adalah penggabungan keduanya dan dibagi dua. Nilai setiap kelompok memiliki nilai sama dalam kelompoknya. Hal ini disebabkan nilai kelompok adalah nilai bersama dalam kelompoknya yang merupakan hasil kerja sama setiap anggota kelompoknya. 4) Pengakuan tim, adalah penetapan tim yang dianggap paling menonjol atau tim paling berprestasi untuk kemudian diberikan penghargaan atau hadiah, dengan harapan dapat memotivasi tim untuk terus berprestasi lebih baik lagi. Beberapa model cooperative learning telah dikembangkan oleh para ahli. Beberapa model yang dikembangkan oleh para ahli diantaranya adalah STAD (Student Team Achievement Division) dan Jigsaw. Inti dari STAD ini adalah guru menyampaikan suatu materi, kemudian para peserta didik bergabung dalam kelompoknya yang terdiri empat atau lima orang untuk menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh guru, setelah selesai mereka menyerahkan pekerjaannya secara tunggal untuk setiap kelompok kepada guru, sedangkan di dalam Jigsaw setiap anggota kelompok diberi tugas mempelajari topik tertentu yang berbeda. Para peserta didik bertemu dengan anggota-anggota dari kelompok lain yang
48 mempelajari topik sama untuk saling bertukar pendapat dan informasi. Setelah itu mereka kembali ke kelompoknya semula untuk menyapaikan apa yang didapatkannya kepada teman-teman di kelompoknya. Para peserta didik kemudian diberi kuis / tes secara individual oleh guru. Skor hasil kuis atau tes tersebut disampling untuk menentukan skor individu juga digunakan untuk menentukan skor kelompoknya. g. Penggunaan Cooperative Learning Ada beberapa cara menggunakan cooperative learning matematika bagi peserta didik di sekolah, yaitu: Pertama, memanfaatkan tugas pekerjaan rumah. Bentuklah beberapa kelompok peserta didik dengan ukuran antara tiga sampai lima orang setiap kelompoknya. Untuk memulai peserta didik belajar, mintalah mereka untuk membandingkan dan mendiskusikan hasil pekerjaan rumahnya antara anggota yang satu dengan lainnya tetapi masih dalam satu kelompok. Pada saat diskusi antar peserta didik dalam kelompok sedang berlangsung, guru dapat membimbing memecahkan kesulitan-kesulitan yang peserta didik alami dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kunci atau saran-saran tertentu. Bila perlu dapat memberikan perhatian secara individual untuk para peserta didik yang tidak aktif. Kedua, pembahasan materi baru. Di dalam format pengajaran tradisional (direct instruction), biasanya guru mengembangkan, menerangkan, atau mendemonstrasikan suatu teknik baru yang dapat digunakan untuk menghitung, memecahkan persamaan, menggambar grafik, membuktikan teorema, dan sebagainya; kemudian guru meminta peserta didik bekerja sendiri-sendiri
49 menggunakan pengetahuan yang baru didapatnya untuk menyelesaikan satu atau beberapa buah soal. Di dalam format ini biasanya guru mengharapkan para peserta didik mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang materi baru itu atau soalsoal itu. Sayangnya para peserta didik segan mengajukan pertanyaan itu pada guru yang berdiri di depan teman-temannya sekelas. Mereka takut atau malu berbuat kekeliruan atau mungkin takut dianggap bodoh. Di dalam format cooperative learning, setelah guru menyampaikan materi pelajaran, para peserta didik bergabung dalam kelompok-kelompok kecil untuk berdiskusi dan menyelesaikan soal latihan, kemudian menyerahkan hasil kerja kelompok kepada guru. Jika diperlukan, selanjutnya guru memimpin diskusi tentang pekerjaan kelompok itu yang membutuhkan penjelasan atau klarifikasi. Untuk mengoptimalkan manfaat cooperative learning, keanggotaan sebaiknya heterogen, baik dari kemampuannya maupun karakteristik lainnya. Jika para peserta didik yang mempunyai kemampuan yang berbeda dimasukkan dalam satu kelompok yang sama maka akan dapat memberikan keuntungan bagi para peserta didik yang berkemampuan rendah dan sedang. Sebaliknya apa yang dapat diperoleh peserta didik yang bekemampuan tinggi? Kemampuan komunikasi verbal dalam matematika bagi peserta didik tersebut akan semakin meningkat. Untuk memberikan penjelasan tentang suatu materi matematika, seorang peserta didik harus memahami materi itu lebih dalam dari pada sekedar kemampuan yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah jawaban pada lembar kerja. Untuk menjamin heterogenitas keanggotaan kelompok, maka gurulah yang membentuk kelompok-kelompok tersebut. Jika peserta didik dibebaskan membuat
50 kelompok sendiri maka biasanya peserta didik akan memilih teman-teman yang sangat disukainya, misalnya karena sama jenisnya, sama etniknya, atau sama dalam kemampuannya. Hal ini cenderung menghasilkan kelompok-kelompok yang homogen dan seringkali peserta didik tertentu tidak masuk dalam kelompok manapun. Karena itu cara membebaskan peserta didik membuat kelompok sendiri bukan merupakan cara yang baik, kecuali guru membuat batasan-batasan tertentu sehingga
dapat
menghasilkan
kelompok-kelompok
yang
heterogen.
Pengelompokan secara acak juga dapat dilakukan, khususnya jika pengelompokan itu terjadi pada awal tahun pelajaran baru dimana guru baru sedikit mempunyai informasi tentang peserta didiknya. Ukuran (besar kecilnya) kelompok akan mempengaruhi pada kemampuan produktivitas kelompoknya. Ukuran kelompok yang ideal untuk cooperative learning adalah tiga sampai lima orang. Jika satu kelompok terdiri hanya dua orang maka interaksi antar anggota kelompok akan sangat terbatas dan kelompok itu akan mati jika satu anggotanya absen. Sebaliknya jika ukuran kelompok itu terlalu besar maka akan menjadi sangat sulit bagi kelompok itu berfungsi secara efektif. peserta didik yang sangat vokal akan cenderung menguasai dan peserta didik yang pendiam akan mengamini saja. Dalam kelompok yang besar, sukar bagi setiap individu untuk mengutarakan pendapat-pendapatnya di samping lebih sukar di dalam koordinasinya. Di dalam cooperative learning, para peserta didik terlibat konflik-konflik verbal berkenaan dengan perbedaan pendapat anggota-anggota kelompoknya. Para siswa terbiasa merasa enak meskipun ada konflik-konflik verbal itu, karena
51 mereka menyadari konflik semacam itu akan dapat meningkatkan pemahamannya terhadap materi yang dihadapi atau didiskusikan. Guru memainkan peran yang, menentukan dalam menerapkan cooperative learning yang efektif. Materi dan pembelajarannya harus disusun sedemikian rupa sehingga setiap peserta didik dapat bekerja untuk memberikan sumbangan pemikirannya kepada kelompoknya. Masalah yang disiapkan oleh guru harus dibuat sedemikian rupa sehingga akan menimbulkan saling membutuhkan antara anggota yang satu dan anggota yang lain dalam menyelesaikan masalah itu. Guru sebaiknya mengatur ruang kelas sehingga setiap anggota dalam situ kelompok dapat duduk saling berdekatan, sehingga dapat bekerja dengan cukup nyaman dan tidak perlu berbicara keras-keras. Sedangkan jarak antara kelompok yang satu dan yang lain diusahakan sedemikian rupa sehingga mereka mereka tidak saling terganggu satu dengan lainnya.
5. Model Pembelajaran Tutor Sebaya Sekolah memiliki banyak potensi yang dapat ditingkatkan efektivitasnya untuk menunjang keberhasilan suatu program pengajaran. Potensi yang ada di sekolah, yaitu semua sumber-sumber daya yang dapat mempengaruhi hasil dari proses belajar mengajar. Keberhasilan suatu program pembelajaran tidak disebabkan oleh satu macam sumber daya, tetapi disebabkan oleh perpaduan antara berbagai sumber-sumber daya yang saling mendukung menjadi satu sistem yang integral. Dalam arti luas sumber belajar tidak harus selalu guru. Sumber belajar dapat orang lain yang bukan guru, melainkan teman dari kelas yang lebih tinggi, teman
52 sekelas, atau keluarganya dirumah. Sumber belajar bukan guru dan berasal dari orang yang lebih pandai disebut tutor. “Ada dua macam tutor, yaitu tutor sebaya dan tutor kakak. Tutor sebaya adalah teman sebaya yang lebih pandai, dan tutor kakak adalah tutor dari kelas yang lebih tinggi”. (Harsunarko dalam Suherman, dkk, 2003: 276). Sehubungan dengan itu ada beberapa pendapat mengenai tutor sebaya, diantaranya adalah Supriyadi (dalam Suherman, dkk, 2003: 276) mengemukakan, bahwa: “Tutor sebaya adalah seorang atau beberapa orang siswa yang ditunjuk dan ditugaskan untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar. Tutor tersebut diambil dari kelompok yang prestasinya lebih tinggi”. Suherman, dkk, (2003: 276) mengemukakan bahwa: “Tutor sebaya adalah sekelompok siswa yang telah tuntas terhadap bahan pelajaran, memberikan bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami bahan pelajaran yang dipelajarinya”. Sedangkan Semiawan, dkk. (dalam Suherman, dkk, 2003: 276) mengemukakan tentang tutor sebaya itu adalah: “siswa yang pandai dapat memberikan bantuan belajar kepada siswa yang kurang pandai. Bantuan tersebut dapat dilakukan kepada teman-teman sekelasnya di luar sekolah”. Mengingat bahwa peserta didik adalah unsur pokok dalam pembelajaran maka peserta didik harus menerima dan mencapai berbagai informasi pembelajaran yang pada akhirnya dapat mengubah tingkah lakunya sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu, maka peserta didik harus dijadikan sebagai sumber pertimbangan di dalam pemilihan sumber pembelajaran.
53 Tutor sebaya adalah sumber belajar selain guru, yaitu teman sebaya yang lebih pandai memberikan bantuan belajar kepada teman-teman sekelasnya di sekolah. Bantuan belajar oleh teman sebaya lebih mudah dipahami. Dengan teman sebaya tidak ada rasa enggan, rendah diri, malu dan sebagainya untuk bertanya ataupun minta bantuan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Longstreth (dalam Muntasir, dkk. 1985: 82-83) tentang hubungan anak dengan anak, sebagai berikut: Interaksi kawan membukakan mata anak terhadap pola tingkah laku yang berlaku dalam kebudayaan itu, yang sering dilakukan; dan dengan demikian ia condong untuk mempelajari bentuk-bentuk tingkah laku yang dipakai untuk pergaulan yang berlaku …. Tugas sebagai tutor merupakan kegiatan yang kaya akan pengalaman yang justru sebenarnya merupakan kebutuhan anak itu sendiri. Dalam persiapan ini antara lain mereka berusaha mendapatkan hubungan dan pergaulan baru yang mantap dengan teman sebaya, mencari perannya sendiri, mengembangkan kecakapan intelektual dan konsep-konsep yang penting, mendapatkan tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial. (Dinkmeyer dalam Suherman, dkk, 2003: 277). Dengan demikian beban yang diberikan kepada mereka akan memberi kesempatan untuk mendapatkan perannya, bergaul dengan orang-orang lain, dan bahkan mendapatkan pengetahuan dan pengalaman. Menurut Branley (dalam Suherman, dkk, 2003: 277) ada tiga model dasar dalam menyelenggarakan proses pembelajaran dengan tutor, yaitu: (1) student to student, (2) group to tutor, (3) student to student.
54 Adapun penyebaran dari tiga model ini adalah sebagai berikut:
Siswa Siswa Tutor Tutor
Siswa
Siswa
Group Siswa
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Siswa
Siswa Siswa
Siswa
Siswa
Gambar 2.3 Model-Model Operasional Kelompok Situasi di dalam kelas yang menciptakan suasana tenang, nyaman, dan aman untuk belajar memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan sebaik-baiknya. Untuk itu perlu pengaturan ruang belajar. Pada diskusi kelompok kecil, pengaturan ruang belajar hendaknya menyebabkan peserta diskusi duduk berkelompok dan guru dapat bergerak dengan leluasa. Menurut Nasution (dalam Suherman, dkk, 2003: 278) pengaturan tempat duduk sebagai berikut:
55 Papan Tulis
1
3
2
6
5
Lemari Buku
4
7
Gambar 2.4 Pengaturan Tempat Duduk Kelompok Keterangan : 1
: Meja dan kursi Guru
2
– 7 : Meja Siswa
O
: Kursi Siswa
Dalam pembelajaran dengan pendekatan tutor sebaya, Si tutor hendaknya adalah peserta didik yang mempunyai kemampuan lebih dibandingkan dengan teman-teman pada umumnya, sehingga pada saat ia memberikan pengayaan atau membimbing teman-temannya ia sudah menguasai bahan yang akan disampaikan kepada teman-teman lainnya. Tutor sebaya merupakan salah satu bagian dari strategi organisasi. Strategi organisasi bertujuan membantu peserta didik meningkatkan kebermaknaan, terutama dilakukan dengan mengenalkan struktur-struktur pengorganisasian baru
56 pada bahan-bahan tersebut. Strategi-strategi organisasi dapat terdiri dari pengelompokan ulang ide-ide atau istilah-istilah atau membagi ide-ide atau istilah-istilah itu menjadi subset yang lebih kecil. Strategi-strategi ini juga terdiri dari pengidentifikasian ide-ide atau fakta-fakta kunci dari sekumpulan informasi yang lebih besar. Tutor sebaya dikenal dengan pembelajaran teman sebaya atau antar peserta didik, hal ini bisa terjadi ketika peserta didik yang lebih mampu menyelesaikan pekerjaannya sendiri dan kemudian membantu peserta didik lain yang kurang mampu. Alternatifnya, waktu khusus tiap harinya harus dialokasikan agar peserta didik saling membantu belajar matematika, bahasa atau pelajaran lainnya, baik satu-satu atau dalam kelompok kecil. Tutor sebaya merupakan salah satu strategi pembelajaran untuk membantu memenuhi kebutuhan peserta didik. Ini merupakan pendekatan kooperatif bukan kompetitif. Rasa saling menghargai dan mengerti dibina di antara peserta didik yang bekerja sama. Tutor sebaya akan merasa bangga atas perannya dan juga belajar dari pengalamannya. Hal ini membantu memperkuat apa yang telah dipelajari dan diperoleh atas tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Ketika mereka belajar dengan “tutor sebaya”, peserta didik juga mengembangkan kemampuan yang lebih baik untuk mendengarkan, berkonsentrasi, dan memahami apa yang dipelajari dengan cara yang bermakna.
57 Penjelasan tutor sebaya kepada temannya lebih memungkinkan berhasil dibandingkan guru. Peserta didik melihat masalah dengan cara yang berbeda dibandingkan orang dewasa dan mereka menggunakan bahasa yang lebih akrab. Peer tutoring atau dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan istilah tutor sebaya, ada beberapa ahli yang meneliti masalah ini diantaranya adalah Edward L. Dejnozken dan David E. Kopel dalam American Education Encyclopedia menyebutkan pengertian tutor sebaya adalah sebagai berikut: Tutor sebaya adalah sebuah prosedur siswa mengajar siswa lainnya. Tipe pertama adalah pengajar dan pembelajar dari usia yang sama. Tipe kedua adalah pengajar yang lebih tua usianya dari pembelajar. Tipe yang lain kadang dimunculkan pertukaran usia pengajar. Muntasir (1985: 90) dalam bukunya pengajaran terprogram mengemukakan bahwa: “tutor berfungsi sebagai tukang atau pelaksana mengajar, cara mengajarnya telah disiapkan secara khusus dan terperinci”. Fungsi lainnya adalah dengan adanya tutor sebaya peserta didik yang kurang aktif menjadi aktif karena tidak malu lagi untuk bertanya dan mengeluarkan pendapat secara bebas, sebagaimana diungkapkan oleh Muntasir bahwa dengan pergaulan antara para tutor dengan murid-muridnya mereka dapat mewujudkan apa yang terpendam dalam hatinya, dan khayalannya. Jadi, sistem pengajaran dengan tutor sebaya akan membantu peserta didik yang kurang mampu atau kurang cepat menerima pelajaran dari gurunya. Kegiatan tutor sebaya bagi peserta didik merupakan kegiatan yang kaya akan pengalaman yang sebenarnya merupakan kebutuhan peserta didik itu sendiri. Tutor maupun yang ditutori sama-sama diuntungkan, bagi tutor akan mendapat pengalaman, sedang yang ditutori akan lebih kreatif dalam menerima pelajaran.
58 Beberapa pendapat di atas, dan pengalaman penulis dilapangan, meyakinkan penulis untuk menerapkan tutor sebaya dalam pembelajaran matematika. Tampaknya memudahkan peserta didik untuk mengeluarkan pendapat atau pikiran dan kesulitan kepada temannya sendiri ketimbang kepada guru, peserta didik lebih sungkan dan malu. Hal tersebut dimungkinkan karena diantara peserta didik telah terbentuk bahasa mereka sendiri, tingkah laku, dan juga pertanyaan perasaan yang dapat diterima oleh semua peserta didik. Sedangkan peer assessment adalah penilaian kegiatan peserta didik oleh tutornya, tentu saja dengan kriteria-kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Agar proses pembelajaran yang dilakukan tutor sebaya dapat terlaksana dengan lancar perlu adanya tutor yang benar-benar mampu untuk mengajar temannya. Oleh karena itu, guru haru menseleksi peserta didik peserta didik yang akan dijadikan tutor. Pertama, adalah peserta didik yang memiliki nilai terbaik dikumpulkan dan diseleksi oleh guru untuk dipilih beberapa orang sebagai tutor. Kedua, guru melatih beberapa orang yang memiliki kemampuan lebih atau guru mengambil keputusan dan langsung memilih peserta didik yang telah memiliki kemampuan.