BAB II LANDASAN TEORI
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan tentang Anak Tunagrahita a. Pengertian Anak Tunagrahita Terdapat berbagai istilah yang digunakan dalam pelabelan anak tunagrahita yang berkembang sesuai dengan kebutuhan layanan terhadap mereka, seperti mental retardation, mentally retarded, intellectual disability, dan sebagainya. Pelabelan tersebut digunakan untuk anak yang mempunyai kesulitan dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan konsep misalnya keterampilan akademik (membaca, menulis, dan berhitung). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Tim Penyusun, 2002) Tunagrahita berasal dari kata “tuna” dan “grahita”, tuna yang mempunyai Arti kurang; tidak memiliki (2002:1223) sedangkan grahita yang berarti memahami; mengerti (2002:371) Yang bila digabung dalam tunagrahita adalah cacat pikiran; lemah daya tangkap; idiot (Tim Penyusun, 2002:1223). Dybward dalam Apriyanto (2012: 23) mengemukakan “Mental Retardation is a condition which originates during the developmental period and is characterized by markedly subaverage intellectualin social inadequency” yang artinya Retardasi Mental adalah suatu kondisi yang berasal selama periode perkembangan dan ditandai dengan nyata subaverage kekurangan sosial intelektual. Menurut American Assosiation on Mental Deficiency (AAMD) yang dikutip Grossman (Kirk, & Gallagher, 1986:116) (dalam Astati, 2010) Mental retardation refers to significanly subaverage general intellectual functioning existing concurrently with deficits in adaptive behavior and manifested during the developmental period, yang dapat 6
7
diartikan bahwa tunagrahita mengacu pada fungsi intelek umum yang nyata berada di bawah rata-rata bersamaan dengan kekurangan dalam adaptasi tingkah laku dan berlangsung dalam masa perkembagan. Sementara menurut Japan League for Mentally Retarded, tunagrahita ditandai dengan jumlah IQ yang lebih rendah, yakni di bawah 70 sesuai dengan hasil tes inteligensi yang baku. Selain itu, dikatakan oleh Japan League for Mentally Retarded tunagrahita atau retadasi mental dialami saat usia perkembangan sejak usia konsepsi sampai usia 18 tahun dan disertai dengan perilaku adaptif (Kosasih, 2012:140). Munzayanah (2000:13) menyatakan bahwa “Anak tunagrahita sebagai
anak
yang mengalami
gangguan atau hambatan dalam
perkembangan daya pikir serta seluruh kepribadian, sehingga ia tidak mampu hidup dengan kekuatan sendiri dalam masyarakat meskipun dengan cara sederhana”. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita merupakan anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata yang mengalami
gangguan
dan
hambatan
perkembangan
pada
masa
perkembangan sebelum usia 18 tahun. b. Penyebab Anak Tunagrahita Terdapat berbagai faktor yang dapat menyebabkan seseorang menjadi tunagrahita, beberapa ahli dari berbagai ilmu telah berusaha membagi faktor-faktor penyebab menjadi beberapa kelompok. Menurut Munzayanah (2000:14) bahwa penyebab retardasi mental digolongkan menjadi dua kelompok, seperti berikut: 1) Kelompok Biomedik meliputi: a) Prenatal (sebelum kelahiran), dapat terjadi karena: (1) Infeksi ibu pada waktu mengandung, (2) Gangguan metabolism. (3) Iridiasi sewaktu umur kelahiran antara 2-6 minggu. (4) Kelainan kromosom. (5) Malnutrisi. b) Natal (saat kelahiran), antara lain berupa: (1) Anoxia (kekurangan oksigen) (2) Asphysia (gangguan napas)
8
(3) Prematuritas dan postmaturitas (4) Kerusakan otak c) Postnatal (setelah kelahiran), dapat terjadi karena: (1) Malnutrisi (2) Infeksi (3) Trauma 2) Kelompok sosio kultural: psikologik atau lingkungan. Kelompok etiologi ini dipengaruhi oleh proses psiko sosial dalam keluarga. Dalam hal ini ada tiga macam teori, sebagai berikut: a) Teori Stimulasi Pada umumnya adalah penderita tunagrahita (retardasi mental) yang tergolong ringan, disebabkan karena kekurangan rangsangan atau kekurangan kesempatan perhatian dari keluarga. b) Teori gangguan Kegagalan kelurga dalam memberikan proteksi yang cukup terhadap stres pada masa kanak-kanak sehingga mengakibatkan gangguan pada proses mental. c) Teori Keturunan Teori ini mengemukakan bahwa hubungan antara orangtua dengan anak sangat lemah akan mengalami disorganisasi, sehingga bila anak mengalami stres akan bereaksi dengan cara yang bermacammacam dapat menyesuaikan diri. Atau dengan kata lain “Security System” sangat lemah dalam keluarga. Menurut
Effendi
(2008:91),
bahwa
“Sebab
terjadinya
ketunagrahitaan pada seseorang menurut kurun waktu terjadinya, yaitu dibawa sejak lahir (faktor endogen) dan faktor dari luar seperti penyakit atau kejadian lainnya (faktor eksogen)”. Dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ada berbagai macam faktor yang menyebabkan terjadinya seorang anak lahir sebagai anak tunagrahita yaitu oleh adanya faktor x pada saat prenatal, natal maupun postnatal. Tidak hanya faktor dari dalam saja, namun ada juga faktor x yang mempengaruhi lahirnya anak tunagrahita dari faktor luar yaitu misalnya dari makanan dan kecelakaan. c. Klasifikasi Anak Tunagrahita Pengklasifikasian anak tunagrahita penting dilakukan karena anak tunagrahita memiliki individual yang bervariasi. Menurut AAMD dan PP
9
No. 72 tahun 1991 dalam Amin (1995:22-24) menyebutkan ada beberapa pengklasifikasian dalam anak tunagrahita sebagai berikut: 1. Tunagrahita Ringan (mampu didik) Tingkat kecerdasan mereka berkisar 50-70 mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial dan kemampuan bekerja mampu menyesuaikan lingkungan yang lebih luas, dapat mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang semi skill dan pekerjaan sosial sederhana. 2. Tunagrahita Sedang (mampu latih) IQ anak tunagrahita sedang berkisar antara 30-50. Mereka dapat belajar keterampilan sekolah dengan tujuan fungsional, bekerja namun dengan bantuan serta pengawasan, mampu mengurus diri (self-help), mampu mengadakan adaptasi sosial di lingkungan. 3. Tunagrahita Berat atau Sangat Berat (mampu rawat) Tingkat kecerdasan mereka di bawah 30 hampir tidak dapat memiliki kemampuan untuk mengurus diri sendiri. Ada yang masih mampu dilatih mengurus diri sendiri, berkomunikasi secara sederhana, dan dapat meyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Menurut Somantri (2006:106), anak tunagrahita digolongkan menjadi tiga macam yaitu: 1. Tunagrahita Ringan a. Tunagrahita ringan disebut juga maron atau debil b. Memiliki IQ antara 68-52 pada skala Binet, memiliki IQ antara 6955 menurut skala WISC c. Mampu belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana d. Mampu didik menjadi tenaga kerja semi-skilled seperti pekerja laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tangga, dan pekerja pabrik dengan sedikit pengawasan e. Pada umumnya tidak megalami gangguan fisik (tampak seperti anak normal) 2. Tunagrahita Sedang a. Tunagrahita sedang disebut juga imbesil b. Memiliki IQ antara 51-36 pada skala Binet, memiliki IQ antara 5440 menurut skala WISC c. Mampu mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya d. Sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti membaca, menulis, dan berhitung sederhana e. Mampu menulis secara sosial, misalnya menulis nama sendiri dan alamat rumah f. Membutuhkan pengawasan yang terus menerus g. Dapat bekerja di tempat kerja terlindung
10
3. Tunagrahita Berat a. Tunagrahita berat sering disebut idiot b. Tunagrahita berat (severe) memiliki IQ antara 32-20 menurut skala Binet, memiliki IQ 39-25 menurut skala WISC c. Memerlukan perawatan secara total dalam kehidupan sehari-hari dan memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya. Penggolongan tunagrahita menurut Skala Binet dan Skala Weschler (Kosasih, 2012) sebagai berikut: a) Tunagrahita Ringan Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Menurut Skala Binet, kelompok ini memiliki IQ antara 68-52, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ antara 69-55. Anak tunagrahita masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan didikan yang baik, anak tunagrahita ringan akan mendapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. b) Tunagrahita Sedang Tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memliliki IQ 51-36 pada Skala Binet dan 54-40 menurut Skala Weschler (WISC). Anak Tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca, dan berhitung walaupun mereka bisa belajar menulis secara sosial. Misalnya menulis namanya sendiri (mandi, berpakaian, makan, minum) dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga (menyapu, membersihkan perabot rumah tangga, dan sebagainya). Dalam kehidupan sehari-hari anak tunagrahita sangat membutuhkan pengawasan yang terusmenerus. c) Tunagrahita Berat Kelompok tunagrahita ini sering disebut idiot. Kelompok ini dapat dibedakan lagi antara anak tunagrahita berat dan anak tunagrahita sangat berat. Tunagrahita berat (severe) memiliki IQ antara 32-20 menurut Skala Binet dan antara 39-52 menurut Skala Weschler (WISC). Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ di bawah 19 menurut Skala Binet dan IQ di bawah 24 menurut Skala Weschler (WISC). Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total, baik itu dalam hal berpakaian, mandi, ataupun makan. Bahkan, mereka memerlukan perlindungannya dari bahaya sepanjang hidupunya. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ketunagrahitaan diklasifikasikan menjadi 3 yakni tunagrahita ringan, tunagrahita sedang, dan tunagrahita berat dan atau sangat berat. Tunagrahita ringan adalah mereka yang memiliki IQ kisaran 75 yang mana
11
mereka masih mampu untuk melakukan pekerjaan yang bersifat akademis. Tunagrahita sedang adalah mereka yang memiliki daya kemampuan otak di bawah rerata IQ anak tunagrahita ringan yaitu kisaran IQ 55 yang mana mereka bisa melakukan hal-hal yang bersifat terbimbing, sedangkan tunagrahita berat dan atau sangat berat adalah mereka yang mempunyai kemampuan otak di bawah tunagrahita sedang yaitu kisaran IQ 30 yang mana mereka benar-benar kesulitan untuk melakukan aktivitas sehingga memerlukan bantuan dari orang lain sepenuhnya. d. Karakteristik Anak Tunagrahita Secara umum anak tunagrahita memiliki beberapa karakteristik yang cukup berbeda dengan anak normal pada umumnya. Depdiknas (2003) dalam Apriyanto (2012:33) mengemukakan bahwa karakteristik anak tunagrahita yaitu penampilan fisik tidak seimbang tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai dengan usianya, perkembangan bicara/ bahasanya terhambat, kurang perhatian pada lingkungan, koodinasi gerakannya kurang dan sering mengeluarkan ludah tanpa sadar. Adapun karakteristik anak tunagrahita yang dikemukakan oleh James D. Page (dalam Astati, 2010:15) dalam hal: kecerdasan, sosial, fungsi-fungsi mental lain, dorongan dan emosi, kepribadian, dan oragnisme secara singkat akan diuraikan sebagai berikut: 1) Kecerdasan, kapasitas belajarnya sangat terbatas terutama untuk halhal yang abstrak. Mereka lebih banyak belajar dengan cara membeo (rote learning) bukan dengan pengertian. Dari hari ke hari dibuatnya kesalahan-kesalahan yang sama. Perkembangan mentalnya mencapai puncak pada usia yang masih muda. 2) Sosial, dalam pergaulan mereka tidak dapat mengurus, memelihara dan memimpin diri. Waktu masih kanak-kanak mereka harus dibantu terus menerus; disuapi makanan, dipasangkan dan ditinggali pakaian dan sebagainya; disingkirkan dari bahaya, diawasi waktu bermain dengan anak lain. Bahkan ditunjuki terus apa yang harus dikerjakan. Mereka bermain dengan teman-teman yang lebih muda daripadanya, tidak dapat bersaing dengan teman sebaya. Setelah dewasa kepentingan ekonominya sangat tergantung pada bantuan orang lain. Tanpa bimbingan dan pengawasan mereka dapat terjerumus ke dalam tingkah laku yang terlarang terutama mencuri, merusak, dan pelanggaran seksual. Dilihat dari Sosial Age (SA) mereka juga
12
sangat kecil SQ-nya. (SQ adalah singkatan dari kata “Social Quotient” seperti halnya IQ untuk kecerdasan). 3) Fungsi-fungsi Mental Lain, mereka mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian. Jangkauan perhatiannya sangat sempit dan cepat beralih sehingga kurang tangguh dalam menghadapi tugas. Pelupa dan mengalami kesukaran mengungkapkan kembali suatu ingatan. Kurang mampu membuat asosiasi-asosiasi dan sukar membuat kreasi-kreasi baru. Yang agak cerdas, biasanya menyalurkan hasrat-hasrat ke dalam lamunan-lamunannya, sedang yang berat lebih suka “mengistirahatkan otak”. Mereka menghindar dari berpikir.
4) Dorongan dan Emosi, perkembangan dan dorongan emosi anak tunagrahita berbeda-beda sesuai dengan tingkat ketunagrahitaan masing-masing. Anak tang berat dan sangat berat tingkat ketunagrahitaannya hampir sama tidak memperlihatkan dorongan untuk mermpertahankan diri. Kalau mereka lapar atau haus, mereka tidak menunjukkan tanda-tandanya. 5) Organisme, baik struktur maupun fungsi organisme pada umumnya kurang dari anak normal. Mereka baru berjalan dan berbicara pada usia yang lebih tua dari anak normal. Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita memiliki karakteristik yaitu antara lain terhambatnya dalam bidang akademik, kesehatan, fisik, dan juga sosialnya, yang memerlukan pelayanan pendidikan yang cocok untuk anak tunagrahita. e. Kesulitan Belajar Anak Tunagrahita Kesulitan belajar merupakan suatu hal yang sangat luas bila dipelajari dengan seksama, karena menyangkut sekurang-kurangnya, aspek pendidikan, aspek psikologis, serta aspek kehidupan sosial anak dalam keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Ketika anak tunagrahita belajar tentunya kemampuan anak sangat penting seperti halnya: bagaimana
anak
melihat,
mendengar
mengucapkan,
merasakan,
mengingat, menalar dan memperhatikan. Berikut ini merupakan contoh beberapa menurut Astati (2010:22) kemungkinan-kemungkinan masalah yang dihadapi anak tunagrahita dalam konteks pendidikan adalah sebagai berikut: 1) Masalah Kesulitan dalam Kehidupan Sehari-hari. Masalah ini berkaitan dengan pemeliharaan diri dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi meraka yang mengalami tunagrahita sedang
13
sampai berat. Mereka benar-benar membutuhkan bantuan untuk menjalani kehidupan sehari-hari secara mandiri kelak. 2) Masalah Kesulitan Belajar Dengan adanya keterbatasan kemampuan berpikir mereka, tidak dapat dipungkiri mereka sudah pasti mengalami kesulitan belajar khususnya di bidang akademik (misal: Matematika, IPA, Bahasa) sedangkan di bidang non-akademik mereka tidak banyak mengalami kesulitan belajar. 3) Masalah Penyesuain Diri Kesulitan ini berhubungan dengan kelompok maupun individu lain. Kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan sangat dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan. Tingkat kecerdasan anak tunagrahita yang di bawah rata-rata sehingga mengalami hambatan dalam kehidupan sosialnya. Lain halnya dengan kesulitan belajar anak tunagrahita yang lebih terfokus pada bidang akademiknya menurut Wijaya (2013:32) dalam bukunya yang berjudul Teknik Mengajar Anak Tunagrahita, antara lain sebagai berikut: 1) Kesulitan membaca pada umumnya anak tunagrahita memiliki kemampuan yang kurang dalam hal yang berdampak pada kesulitan kronis yang diduga berpusat dari sistem syaraf otak sehingga anak tunagrahita kesulitan dalam membaca yang dipengaruhi oleh aspek persepsi dan memori. 2) Kesulitan menulis anak tunagrahita memiliki kesulitan dalam mengingat abjad, huruf atau simbol sehingga 3) Kesulitan berhitung matematika keterampilan proses dalam berpikir sangat erat kaitannya dengan keterampilan berhitung matematika yang tak pernah lepas dari kehidupan sehari-hari. Mungkin tidak akan menjadi masalah jika yang menemui berhitung matematika adalah anak normal. Dalam
14
pembelajaran matematika di lapangan, banyak ditemui anak tunagrahita yang mengalami banyak hambatan atau kesulitan dari beberapa aspek, seperti membilang, mengoperasikan penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan memecahkan masalah matematika. Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita mengalami beberapa kesulitan belajar dalam bidang akademik antara lain melalui penglihatan, pendengaran, persepsi, kemampuan mengingat, gerak, dan perhatian. Tak hanya itu, dalam aspek berhitung pun anak tunagrahita mengalami kesulitan, khususnya mata pelajaran matematika sangat penting untuk diperhatikan mengingat matematika merupakan hal yang sangat penting untuk dipelajari karena apapun yang ada di dunia ini pasti berhubungan dengan matematika. 2. Tinjauan tentang Prestasi Belajar Matematika a. Pengertian Prestasi Pengertian prestasi sangatlah banyak dan berbagai macam sesuai dengan masing-masing sudut pandang para ahli. Tetapi perbedaan tersebut membuat pengertian prestasi menjadi saling melengkapi satu sama lain. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Tim Penyusun, 2002:895) yang dinamakan prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dsb). Menurut Qohar dalam Hamdani (2011: 137) berpendapat bahwa, “Prestasi sebagai hasil yang telah diciptakan, hasil pekerjaan, hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan”. Sementara itu menurut W. S Winkel (1996:165), “Prestasi adalah bukti usaha yang telah dicapai”. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi adalah segala sesuatu yang telah dicapai dari hasil kerja keras seseorang yang menyenangkan hati. b. Pengertian Belajar Belajar merupakan kewajiban bagi siswa, aktivitas belajar dikatakan berhasil apabila perubahan yang diharapkan tercapai dalam
15
waktu yang telah ditentukan, maka evaluasi dalam pengajaran merupakan suatu keharusan untuk mengertahui sukses tidaknya belajar siswa dapat dilihat dari prestasi belajar yang telah dicapai. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Tim Penyusun, 2002:17)
yang
dinamakan
belajar
adalah
berusaha
memperoleh
kepandaian atau ilmu. Belajar merupakan suatu usaha dan proses manusia untuk mencapai suatu tahap dimana dari yang tidak bisa menjadi bisa, dari yang belum bisa menjadi bisa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fudyartanto (2009:13) “Dengan belajar itu manusia menjadi tahu, memahami, mengerti, dapat melaksanakan dan memiliki tentang sesuatu”. Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses dimana seseorang itu mencoba mengerti dan memahami sesuatu untuk lebih mengenal dan mengetahui dari yang tidak bisa menjadi bisa. c. Pengertian Prestasi Belajar Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Tim Penyusun, 2002: 895) yang dimaksud dengan prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru.” Menurut Frudenthal dalam Wijaya (2012:20) “Proses belajar siswa hanya akan terjadi jika pengetahuan (knowledge) yang dipelajari bermakna bagi siswa”. Lain halnya dengan pendapat Abdurrahman (2003: 37) yang mengemukakan bahwa prestasi belajar atau hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melakukan kegiatan. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah suatu hal yang yang didapat setelah melakukan suatu usaha sehingga hasilnya bisa dilihat dari adanya perkembangan yang lebih baik.
16
d. Pengertian Matematika Bicara tentang matematika tidak akan pernah terlepas dari kehidupan manusia apapun kegiatannya hampir seluruhnya berbau matematika. Banyak definisi atau pengertian yang dikemukakan oleh beberapa tokoh atau ahli matematikawan. Matematika berasal dari bahasa Yunani μαθηματικά – mathēmatiká adalah studi besaran, struktur, uang, dan perubahan, dikutip dari (https://id.wikipedia.org/wiki/matematika). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Tim Penyusun, 2002:723) “Matematika adalah ilmu tentang bilangan, hubungan tentang bilangan, dan operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan”. Menurut Russeffendi dalam Heruman (2012:1) “Matematika adalah bahasa simbol; ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif; tentang ilmu dan keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsur yang tidak didefinisikan”. Lain halnya dengan pendapat yang kemukakan oleh Cockroft dalam Hamzah, dkk (2009:108) mengemukakan bahwa, “Matematika perlu dipelajari karena matematika sangat dibutuhkan dan berguna dalam kehidupan sehari-hari, bagi bisnis perdagangangan, dan industri”. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas mengenai matematika dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan suatu ilmu yang terstruktur dan mempunyai berbagai cara dalam pembecahannya serta berhubungan dengan perhitungan dan pengukuran. e. Tujuan Pembelajaran Matematika Belajar merupakah suatu hal yang pasti akan dilakukan semua manusia dari lahir hingga kematian. Belajar dari yang tidak tahu menjadi tahu. Dalam belajar tentulah ada tujuan tertentu, baik itu belajar tentang hal akademik maupun yang non-akademik. Seperti halnya dalam penelitian ini, menurut Wijaya (2013:108) menyatakan bahwa tujuan diberikannya mata pelajaran matematika adalah sebagai berikut:
17
1) memahami
konsep
matematika
yang
menjadi
dasar
dalam
matematika, 2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, 3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan dalam memahami suatu masalah yang ada, 4) mengomunikasikan
gagasan
pemikiran
dengan
menggunakan
simbol, 5) memiliki sikap menghargai matematika dalam kehidupan sehari-hari yang tidak pernah lepas akan adanya matematika. Selain itu, dalam tulisan Yuniawati dalam Daryanto (2013: 158), dirumuskan lima tujuan umum pembelajaran matematika yaitu: 1) 2) 3) 4) 5)
Belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication), Belajar untuk menalar (mathematical reasoning), Belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving), Belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections), Pembentukan sikap positif terhadap matematika (positive attitudes toward mathematics) Hal ini diperkuat dengan pendapat Ruseffendi dalam Heruman
(2012:5) yang menyatakan bahwa pentingnya belajar bermakna yaitu memahami apa yang sudah diperolehnya, dan dikaitkan dengan keadaan lain sehingga apa yang ia pelajari akan lebih dimengerti. Pendapat ini sejalan dengan pernyataan Wijaya di atas bahwa pelajaran matematika penting untuk dipahami karena sejatinya matematika adalah pelajaran abstrak. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan adanya pembelajaran matematika adalah utamanya untuk mengajak para peserta didik untuk berpikir nalar dan sekurang-kurangnya mampun untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. f. Operasi Hitung Pengurangan Pengurangan yang pertama ditanamkan pada anak/ peserta didik adalah “pengambilan” dan ini merupakan bahasa sehari-hari yang sering
18
didengar oleh anak-anak maupun peserta didik pada jenjang; pendidikan (Simanjuntak, 1993:114). Dalam mata pelajaran matematika yang diajarkan di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), ada beberapa operasi hitung yang diajarkan, yaitu penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Menurut Rostiaty (2003:14) “Operasi hitung pengurangan adalah kebalikan dari operasi penjumlahan. Pada penjumlahan kita mencari jumlahnya, tetapi pada pengurangan kita mencari selisihnya”. Operasi pengurnagan ini dinyatakan dengan tanda minus (-), dengan bentuk rumus missal a – b = c sama artinya dengan b + c = a. contoh : 6 – 4 = 2 4 + 2 = 6. Sementara itu pendapat Surayin (1997:33), “Hasil pengurangan selalu lebih kecil daripada jumlah yang dikurangi. Sebagai contoh : 6 – 4 = 2. Angka 6 merupakan bilangan yang dikurangi. Angka 4 merupakan bilangan pengurang. Sedangkan angka 2 adalah hasil dari pengurangan. Di lain hal, “Selisih c dan a (ditulis c – a) ialah bilangan yang jika ditambahkan kepada a menghasilkan c. Operasi pengurangan pada himpunan bilangan asli akan tertutup apabila dipenuhi pengurangan < terkurangi” (Wahyudi, 2014:102). Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa operasi hitung pengurangan adalah kebalikan dari penjumlahan yang mana hasil pengurangan selalu lebih kecil dari pada angka yang dikurangi. 3) Tinjauan tentang Model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) a. Sejarah dan Pengertian Model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) Kegiatan belajar mengajar yang ada di sekolah tidak hanya sebuah kegiatan yang asal dilaksanakan tanpa tata aturan. Banyak aturan yang tidak mengikat guru untuk selalu melakukan kegiatan belajar mengajar yang ini itu saja. Ada berbagai cara yang membantu para guru untuk mengajarkan ilmu pendidikan dalam rangka memahamkan anak didiknya salah satunya dengan adanya model pembelajaran.
19
Menurut Joyce & Weil (dalam Rusman, 2013:133) bahwa Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Model Pembelajaran Matematika Realistik tidak dapat dipisahkan dari Institut freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University, Belanda. Nama institut ini diambil dari nama pendirinya, yaitu Profesor Hans Freudenthal (1905-1990), seorang penulis, pendidik, dan matematikawan berkebangsaan Jerman dalam Daryanto (2013:162). Model pembelajaran matematika realistik merupakan suatu pembelajaran yang diadaptasi dari pendekatan Realistic Mathematics Education yang lebih dahulu terkenal di luar negeri sejak tahun 1971. RME menggabungkan padangan tentang apa itu matematika, bagaimana peserta didik belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Menurut Freudenthal pendidik harus mengarahkan peserta didik untuk menggunakan situasi, kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari persoalan sehari-hari untuk dipelajari sebagai sumber belajar. b. Karakteristik Model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) Menurut Treffers (dalam Wijaya, 2012:21) pembelajaran matematika realistik memiliki 5 karakteristik sebagai berikut: 1) Penggunaan konsteks Konteks atau permasalahan yang ada di dunia nyata dimasukkan ke dalam pembelajaran matematika. 2) Penggunaan model untuk matematisasi progresif Pemilihan model dalam pembelajaram matematika realistik ialah dari hal yang mudah menuju hal yang formal. Hal ini berfungsi untuk menjembatani hal yang kongkret menuju tingkat yang lebih formal.
20
3) Pemanfaatan hasil konstruksi siswa Pembelajaran matematika realistik tidak menjadikan siswa sebagai objek namun sebagai subjek, yaitu tidak memberikan matemtatika dalam bentuk langsung jadi, namun di sini pendidikan itu sendiri dibangun oleh siswa sehingga hasil kosntruksi siswa selanjutkan akan digunakan untuk landasan pengembangan konsep matematika. 4) Interaltivitas Proses belajar bukan hanya suatu proses yang dipelajari langsung sudah terdapat hasilnya. Namun, akan lebih bermakna lagi ketika siswa saling mengomuniakasikan hasil kerja dan gagasan mereka yang tak hanya mengajarkan hal yang bersifat kogniti, tetapi juga mengajarkan mengenai potensi ilmiah yang dimiliki setiap siswa. 5) Keterkaitan Konsep dalam pembelajaran matematika tidak diperkenalkan secara terpisah karena satu sama lain saling berkaitan. Maksudnya ialah pembelajaran matematika realistik diharapkan bisa mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika secara bersamaan. Karakteristik dari pendekatan Pendidikan Matematika Realistik adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk membangun pemahaman tentang konsep yang baru dipelajari. Treffers dalam Wijaya (2012:21) merumuskan lima PMR, yaitu: 1) Penggunaan Konteks Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. 2) Penggunaan Model Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan pengetahuan dan matematika tingkat kongret menuju pengetahuan matematika tingkat formal. Model yang dimaksud adalah suatu bentuk permasalahan suatu masalah ke dalam materi matematika. 3) Pemanfaatan Hasil Konstruksi Siswa Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah sehingga diharapkan akan diperoleh strategi yang bervariasi dari siswa. Hasil kerja dan konstruksi siswa selanjutnya digunakan untuk landasan pengembangan konsep matematika.
21
4) Interaktivitas Proses belajar siswa akan lebih singkat dan bermakna ketika siswa saling mengomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka. Pemanfaatan interaksi dalam pembelajaran matematika bermanfaat dalam mengembangkan kemampuan kognitif dan afektif siswa sebagai simultan. 5) Keterkaitan Banyak konsep matematika yang bersifat keterkaitan dan tidak dikenalkan kepada siswa konsep matematika yang terpisah. Pendidikan matematika realistik menempatkan keterkaitan (intertwinement) antar konsep matematika sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa matematika adalah suatu pelajaran abstrak yang dapat diselesaikan melalui berbagai cara, antara lain dengan adanya perantara persoalan pada kehidupan sehari-hari. c. Prinsip Model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) Grevemeijer (dalam Wahyudi 2014:6) menyebutkan bahwa ada tiga prinsip utama dalam model pembelajaran matematika antara lain sebagai berikut: The first principle is termed “guided reinvention” and progressive mathematizing. According to the reinvention principle, the students should be given the opportunity to experience a process similar to the process by which mathematics was invented. The second principle relates to the idea of a dedactical phenomenology. According to a dedactical phenomenology, situations where given mathematical topic is applied are to be investigated for two reasons. Firstly, to reveal the kind of applications that have to be anticipated in intruction, secondly, to consider their suitability as point of impact for process of progressive mathematization. The third principle is found in the role which self-developed models play in bridging the gap between information knowladge and formal mathematics. Prinsip pertama disebut mathematizing terbimbing, penciptaan kembali dan progresif. Sesuai dengan prinsip penciptaan kembali, para siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses yang diciptakan matematika. Prinsip kedua berhubungan dengan
22
gagasan tentang didaktik fenomenologi. Menurut didaktik fenomenologi, situasi suatu topik matematika yang diterapkan harus diselidiki karena dua alasan yaitu untuk (1) mengungkapkan jenis aplikasi yang harus diantisipasi dalam interuksi dan (2) mempertimbangkan kesesuaian mereka sebagai dampak titik untuk proses mathematization progresif. Prinsip ketiga ditemukan dalam peran model yang dikembangkan secara swadaya bermain dalam menjembatani kesenjangan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Dengan mencermati prinsip pembelajaran PMR, pengertian PMR dibatasi oleh penentuan masalah dan lingkungan yang pernah dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari agar siswa mudah dalam memahami pelajaran matematika sehingga mudah dalam mencapai tujuan. Penggunaan model Pembelajaran Matematika Realistik dalam pembelajaran matematika pada materi operasi hitung pengurangan diharapkan dapat menimbulkan pengalaman yang memahamkan bagi anak tunagrahita. Pembelajaran matematika pada sub bab operasi hitung pengurangan memberikan banyak kesempatan bagi peserta didik untuk mencoba secara langsung mengomunikasikan dan melakukan penalaran secara nyata dalam problematika yang ada melalui pelajaran matematika d. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) Setiap model maupun metode pembelajaran mempunyai lagkah yang berbeda beda. Secara umum langkah-langkah model pembelajaran matematika realistik dapat dijelaskan oleh Setyono (dalam Wahyudi 2014:10) sebagai berikut: 1) Persiapan Selain menyiapkan masalah kontekstual, guru harus benar-benar memahami masalah dan memiliki berbagai macam strategi yang mungkin akan ditempuh siswa dalam menyelesaikannya. 2) Pembukaan Pada bagian ini siswa diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang dipakai dan diperkenalkan kepada masalah dari dunia nyata. Kemudian siswa diminta untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri.
23
3) Proses pembelajaran Siswa mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan pengalamannya, dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok. Kemudian, setiap siswa atau kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan siswa atau kelompok lain dan siswa atau kelompok lain memberikan tanggapan terhadap hasil karya siswa atau kelompok penyaji. Guru mengamati jalannya diskusi siswa untuk mendapatkan strategi terbaik serta menemukan aturan atau prinsip yang bersifat lebih. Setelah mencapai kesepakatan tentang strategi terbaik melalui diskusi kelas, siswa diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu. Pada akhir pembelajaran siswa harus mengerjakan soal evaluasi dalam bentuk matematika formal. 4) Penutup Setelah mencapai kesepakatan tentang strategi terbaik melalui diskusi kelas, siswa diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu, pada akhir pembelajaran siswa harus mengerjaan soal evaluasi dalam bentuk matematika formal. Dalam hal ini menerapkan model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) melalui beberapa langkah, melalui tahap persiapan, pembukaan, proses pembelajaran, hingga penutup yang mengajak peserta didik untuk berpikir nalar namun tetap menyenangkan untuk peserta didik. e. Kelebihan dan Kekurangan PMR Menurut Setyono (dalam Wahyudi 2014:13) kelebihan model pembelajaran matematika realistik adalah: 1) Karena siswa membangun sendiri pengetahuannya maka siswa tidak mudah lupa dengan pengetahuannya. 2) Suasana
dalam
proses
pembelajaran
menyenangkan
karena
menggunakan masalah dalam kehidupan nyata yang sudah sangat dekat dengan siswa, sehingga siswa tidak merasa bosan. 3) Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban siswa ada nilainya. 4) Memupuk kerja sama dalam kelompok. 5) Melatih siswa untuk terbiasa mengemukakan pendapat. 6) Melatih keberanian siswa karena siswa harus menjelaskan jawaban. 7) Pendidikan budi pekerti, misalnya: kerja sama, menghormati teman yang sedang bicara dan sebagainya.
24
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Diyah (2007) yang menyatakan bahwa anak yang mendapatkan pelajaran matematika melalui model pembelajaran matematika realistik sangat berpengaruh serta menunjukkan perubahan baik yang semakin meningkat. Tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan oleh Halimah (2013) yang mengemukakan bahwa dengan digunakannya model pembelajaran matematika realistik ketuntasan nilai perolehan siswa meningkat sehingga dianggap hasilnya memuaskan. Sementara
itu,
kelemahan
daripada
model
pembelajaran
matematika realistik adalah: 1) Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan dalam menemukan sendiri jawabannya. 2) Membutuhkan waktu yang lama, terutama bagi siswa yang kemampuannya awalnya rendah. 3) Siswa yang pandai terkadang tidak sabar menanti temannya yang belum selesai. 4) Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu. 5) Belum ada pedoman penilaian, sehingga guru merasa kesulitan dalam memberi nilai. B. Kerangka Berpikir Bukan menjadi hal baru jika mata pelajaran matematika dianggap sulit, namun demikian hal tersebut seharusnya menjadi pemicu untuk mampu meningkatkan kualitas pembelajaran, meningkatkan minat dan keterlibatan siswa dalam pembelajaran dan meningkatkan minat dalam mengatasi permasalahan yang ada pada kehidupan sehari-hari untuk dipecahkan melalui matematika. Penggunaan model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan salah satu alternatif yang diharapkan dapat dijadikan solusi untuk meningkatkan prestasi belajar matematika operasi hitung pengurangan pada anak tunagrahita. Adapun skema kerangka berpikir dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
25
Pembelajaran matematika operasi hitung pengurangan anak tunagrahita kelas III di SLB-CG YPPCG Bhina Sejahtera
Belum menerapkan model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)
Prestasi belajar matematika operasi hitung pengurangan anak tunagrahita kelas III SLB-CG YPPCG Bhina Sejahtera Surakarta masih rendah
Penggunaan model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)
Prestasi belajar matematika operasi hitung pengurangan anak tunagrahita kelas III SLB-CG YPPCG Bhina Sejahtera meningkat/ tidak Gambar 2.1 Kerangka berpikir C. Hipotesis Sugoyono (2011:64) mengemukakan bahwa “Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan”. Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka berpikir, maka dapat diajukan hipotesis bahwa, “Model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) efektif dalam meningkatkan prestasi belajar matematika operasi hitung pengurangan anak tunagrahita kelas III di SLB-CG YPPCG Bhina Sejahtera Surakarta tahun ajaran 2015/2016”.