22
BAB II KAJIAN UMUM TERHADAP PERPINDAHAN HAK KEPEMILIKAN DARI ORANG TUA KEPADA ANAK
Perpindahan hak kepemilikan dari orang tua kepada anak dapat melalui waris, hibah maupun wasiat, dalam hukum Islam istilah-istilah tersebut berbeda, dan memiliki aturan sendiri-sendiri. Pada kenyataannya dalam hukum adat, hibah dilingkungan kelurga bersifat mutlak dan merupakan pewarisan. Dalam sudut pandang hukum adat proses penerusan atau pengalihan harta kekayaan kepada kelurga itu dapat terjadi ketika pewaris masih hidup ataupun ketika pewaris sudah meninggal, tentang proses pengalihan perpindahan hak milik orang tua kepada anak dalam Islam maupun adat akan dijelaskan dibawah ini. A. Perpindahan Hak Kepemilikan Dari Orang Tua Kepada Anak Dalam Hukum Islam 1) Waris a. Pengertian dan Dasar Hukum Waris Dalam sistem hukum Islam, kata kewarisan yang sudah populer dalam bahasa Indonesia merupakan kata yang diambil dari bahasa Arab آرثا- ورث – يرثyang artinya mewarisi.1 Bisa juga diartikan menggantikan kedudukan, seperti dalam firman Allah SWT. 2
1
Ahmad Warson al Munawwir, Kamus Al Munawir Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), hlm 1550 2 An-Naml (27) :16
22
23
Jika dikaitkan dengan kondisi yang berkembang di masyarakat Indonesia, istilah waris dapat diartikan sebagai suatu perpindahan berbagai hak dan kewajiban serta harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.3 Sedangkan pengertian hukum waris secara terminologi adalah hukum yang mempelajari tentang orang-orang yang mewarisi, orang-orang yang tidak mewarisi, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris serta cara pembagiannya4 Dalam kitab-kitab fiqih warisan lebih sering disebut dengan Faraid yang berarti ketentuan. Pengertian ini didasarkan atas firman Allah SWT:
5
Fara'iḍ dalam istilah mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara‟6 Adapun ayat- ayat yang berkaitan dengan masalah kewarisan dapt dijumpai dalam dalam Al-Quran yaitu: 1. Al-Qur‟an surat An-Nisa‟ Ayat 7 menyatakan bahwa ahli waris lakilaki dan perempuan, masing-masing berhak menerima warisan sesuai dengan bagian yang ditentukan.
3 4
Muslich Maruzi, Pokok-pokok Ilmu Waris, (Semarang: Mujahiddin, 1981), hlm 81 T.M. Hasby As-Shidiqy, Fiqh Mawaris,( Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, , 2010),
hlm. 5 5 6
Az-zumar (39): 74 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Ma‟arif, 1981), hlm 32
22
24
Artinya: bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. 2. Al-Qur‟an surat al-Nisa‟ Ayat 33, yang menyatakan adanya hak bagi ahli waris dari setiap harta peninggalan
Artinya : bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewarispewarisnya. dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. Selain dalam Al-quran hukum kewarisan juga didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW. adapun hadits yang dijadikan dasar hukum kewarisan adalah
ِ طاؤس عن ِ ْ ِأخبَ رنَا َمعمر َعن ٍ َّأبيو عن اب ِن عب ٍ رسول هللاِ صلى هللا عليو ْب ُ قال:اس قال ٌَ َ ِ ِ ِ ِائض على ك ِ َىل الفر ِ ْي أ ئض ِفِل َْوىل َر ُج ٍل َ ْوسلم اقْ ِسموا ال َ ْ َمال ب ُ تاب هللا فَما تَ َرَكت الفر 7 ذَ َك ٍر Artinya: “Kami telah diberi tahu oleh Ma‟mar dari Ibn Thowus, dari bapaknya, dari Ibn „Abbas berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: “bagilah harta waris diantara orang-orang yang berhak menerima bagian
7
Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz. 2 (Beirut: Dar Al- Kitab Al-Ilmiyah, 1971) hlm 46
22
25
sesuai dengan ketentuan al-Qur‟an. Jika masih ada tinggalan (sisa) maka yang lebih berhak adalah ahli waris laki- laki. b. Rukun Dan Syarat Kewarisan 1. Rukun Kewarisan Sebagaimana hukum lainnya, masalah warisanpun memiliki ketentuan khusus yang harus dipenuhi. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa pewarisan hanya terwujud apabila terpenuhi 3 hal yaitu:8 a. Ahli waris (al-Wāriṡ), yaitu orang yang mempunyai hubungan penyebab kewarisan dengan mayit sehingga dia memperoleh warisan. b. Orang yang mewariskan (al-Muwārīṡ), yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati nyata maupun mati hukum seperti orang yang hilang kemudian dihukumi mati. c. Harta yang diwariskan (al-Mauruṡ), disebut juga peninggalan dan warisan yaitu harta benda atau hak yang akan dipindahkan dari yang mewariskan kepada pewaris. 2. Syarat Kewarisan Pusaka mempusakai adalah berfungsi sebagai menggantikan kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang ditinggalkannya. Oleh karena itu pusaka mempusakai memerlukan syarat-syarat sebagai berikut:9 a. Meninggalnya pewaris (orang yang mempusakakan) 8 9
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 14, (Bandung: PT. Al- Ma‟arif, 1988), 257- 258 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesi, cet. I, (Jakarta: Rajawali Press, 2014) hlm.
29-30
22
26
b. Orang yang menerima warisan (ahli waris) masih hidup, pada saat kematian muwārīṡ. c. Tidak ada penghalang untuk mendapat warisan. Dengan dipenuhinya rukun dan syarat kewarisan seperti tersebut di atas, maka harta waris yang tertinggal dapat dibagikan kepada para ahli waris sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. c. Kewajiban Ahli Waris Terhadap Harta Peninggalan Apabila terjadi meninggalnya pewaris maka suatu kewajiban yang harus dilakukan ahli waris sebelum dilakukan pembagian harta warisan adalah: 1. Tajhiz Yang disebut tajhiz ialah biaya-biaya perawatan yang diperlukan orang yang meninggal, mulai dari saat meninggal sampai saat penguburannya. Biaya itu mencakup biaya- biaya untuk untuk memandikannya, mangkafani, mengusung dan menguburkannya. Para Fuqaha telah sepakat bahwa perawatan pewaris harus diambilkan dari harta peninggalanya.10 Apabila harta peninggalanya tidak mencukupi biaya tersebut, para ulama berbeda pendapat, Ulama Hanafiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa kewajiban menanggung biaya perawatan tersebut terbatas keluarga yang semasa hidupnya ditanggung oleh si mati. Karena merekalah yang telah menikmati hasil jerih payah si mati, maka sangat wajar
10
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 43
22
27
apabila mereka yang diberi tanggung jawab memelihara jenazah orang yang berjasa kepada mereka.11 Menurut
Muhammad
bin
Hasan
As-syaibany,
bahwa
pengurusan jenazah dari keluarga seseorang tidak dibebankan kepada hartanya sendiri, tetapi dibebankankepada harta keluarganya. Bila kelurga itu tidak mempunyai harta, maka biaya itu ditanggung oleh walinya, karena hubungannya terputus dengan kematiannya.12 Pendapat mayoritas ulama kiranya patut menjadi pedoman karena
keluargalah
yang
sebaiknya
bertanggung
jawab
menyelesaikan persoalan pewaris, apakah meninggalkan harta, maka sudah sepantasnya mereka pula bertanggung jawab mengurus segala sesuatunya. 2. Pelunasan Hutang Hutang ialah suatu tanggungan yang wajib dilunasi sebagai imbalan dari prestasi yang pernah diterima oleh seseorang.13 Apabila seseorang yang meninggal utang pada orang lain belum dibayar, maka sudah seharusnya utang tersebut dilunasi dari harta peninggalannya, sebelum harta itu dibagikan kepada ahli waris. 3. Pelaksanaan Wasiat
Setelah menggunakan harta peninggalan orang yang meninggal untuk mengurus dan membayar hutang, langkah selanjutnya adalah
11
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, cet. Ke-2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1995), hlm.
12
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam., hlm. 280 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 45
389 13
22
28
untuk melaksanakan wasiat selama tidak bertentangan dengan ketentuan syara‟. Mengenai jumlah harta yang diwasiatkan, pada prinsipnya besar wasiat yang dibenarkan oleh syara‟ itu ialah 1/3 harta peninggalan setelah dikurangi biaya-biaya perawatan dan pelunasan hutang si mati.14 2) Hibah a. Pengertian Hibah Salah satu bentuk taqarub kepada Allah SWT dalam rangka mempersempit
kesenjangan
sosial
serta
menumbuhkan
rasa
kesetiakawaan dan kepedulian sosial adalah hibah atau pemberian. Hibah yang dalam pengertian umum shadaqah dan hadiah dilihat dari aspek vertikal (hubungan antara manusia dengan tuhan) memiliki dimensi taqarrub, artinya ia dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan seseorang. Semakin banyak berderma dan bershodaqah akan semakin memprkuat dan memperkokoh keimanan dan ketaqwaan. Dilihat dari sudut lain hibah juga mempunyai aspek horizontal (hubungan antar sesama manuasi serta lingkungannya) yaitu dapat berfungsi sebagai upaya mengurangi kesenjangan antara kaum yang tidak punya dengan kaum yang punya, antara sikaya dan simiskin, serta menghilangkan rasa kecemburuan sosial, inilah aspek horizontal hibah.15 Secara bahasa kata “hibah” ini merupakan masdar dari kata wahaba yang berarti
14
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 60 Chuzaimah dan Hafizh An Shary Az, Problematiaka Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 81 15
22
29
pemberian.16 Dalam Kamus Basar Bahasa Indonesia hibah berarti pemberian dengan sukarela dengan mengalihkan hak haknyas sesuatu kepada orang lain.17 Sedangkan secara istilah hibah adalah suatu pemberian
yang
bersifat
sukarela
tanpa
mengharapkan
adanya
kontraprestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat sipemberi masih hidup, hal inilah yang membedakan dengan wasiat.18 Menurut Kompilasi Hukum Islam hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.19 Jumhur ulama sebagaimana dikutip Nasrun Haroen20, merumuskan hibah adalah :
Artinya:
ِ ِ ِ ك بِالَ ِع َو ال اْحلَيَ ِاة تَطَُّو ًعا َ ض َح ُ َع ْق ٌد يُفْي ٌد الت َّْملْي
“Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela". Maksudnya, hibah itu merupakan pemberian sukarela seseorang kepada orang lain tanpa ganti rugi, yang mengakibatkan berpindahnya pemilikan harta itu dari pemberi kepada orang yang diberi. Berdasarkan definisi diatas, maka kriteria hibah adalah: 1. Suatu pemberian, 2. Tanpa mengharapkan kontraprestasi atau secara cuma-cuma, 16 17
Ahmad Warson al Munawwir, Kamus Al Munawir Arab-Indonesi, hlm. 1584. DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 4 (Jakarta: Gramedia, 2008) hlm.
494. 18
Abdul Ghofur Ashari, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, cet. I (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2010) hlm 174, lihat pula Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafido Persada, 1998), hlm. 466. 19 Pasal 171 huruf g, Kompilasi Hukum Islam. 20 Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm 82.
22
30
3. Dilakukan ketika pemberi hibah masih hidup, 4. Tidak dapat ditarik kembali, 5. Hibah merupakan perjanjian bersegi satu (bukan timbal balik) karena hanya terdapat satu pihak berprestasi.21 Hibah sebagai salah satu bentuk tolong menolong dalam rangka kebajikan antara manusia sangant bernilai positif.22 Ulama fiqih sepakat bahwa hukum hibah adalah sunnah berdasarkan firman Allah SWT dalam surat an- Nisa‟ ayat 4:
Artinya: “kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”23 Dalam surat al-Baqarah, 2: 177 Allah berfirman:
Artinya: “dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang musafir (yang memerlukan pertolongan)...” Ayat diatas menunjukan (hukum) anjuran untuk saling membantu antar sesama manuasia, oleh sebab itu Islam sangat menganjurkan 21
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesi, hlm. 125. Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Cet. 2 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), hlm. 540. 23 Khadim al Haramain asy Syarifain (pelayan kedua Tanah Suci) Raja Fadh ibn „abad al „Aziz Al Sa‟ud, Alqur’an dan Terjemahnya, (Madinah Munawwarah: Mujamma‟ Khadim Al Haramain as Syarifain al Malik Fadh li Thiba‟at Mush-haf asy-Syarif, 1411 H), hlm. 115. 22
22
31
seseorang yang mempunyai kelebihan harta untuk menghibahkannya kepada orang yang memerlukannya. Sekalipun hibah memiliki dimensi taqarrub dan sosial yang mulia, disisi lain hibah terkadang juga dapat menimbulkan rasa iri hati dan benci, bahkan adapula yang menimbulkan perpecahan diantara mereka yang menerima hibah, terutama dalam hibah terhadap keluarga atau anak- anak. Hibah seorang ayah tehadap anak dalam keluarga tidak sedikit yang menimbulkan perpecahan keluarga, artinya hibah yang semula memiliki tujuan mulia taqarrub dan kepedulian sosial dapat berubah menjadi bencana dan malapetaka dalam keluarga. b. Syarat dan Rukun Hibah Untuk memperjelas syarat dan rukun hibah maka lebih dahulu dikemukakan pengertian syarat dan rukun terlebih dahulu. Secara etimologi rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan,24 sedangkan syarat adalah ketentuan atau (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan, menurut Satria Efendi M. Zein, bahwa secara bahasa syarat adalah sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain atau sebagai tanada.25 Secara terminologi yang dimaksud dengan syarat adalah sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain dan berada di luar dari hakikat sesuatu.26 Hal ini senada dikemukakan oleh Abu Zahrah sebagaimana dikutip oleh Amir
24
DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 1187. Satria Efendi - M. Zein, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana 2005), hlm. 64. 26 Abdul Karim Zaidan, sebagimana dikutip oleh Satria Efendi, M Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana 2005), hlm. 64. 25
22
32
Syarifuddin, syarath (syarat) yaitu sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum lazim dengan tidak adanya, tidak ada hukum tetapi tidaklah lazim dengan adanya, ada hukum.27 Dalam Ensiklopedia Hukum Islam28 rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menetukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu. Perbedaan antara rukun dan syarat menurut ulama ushul fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan islam termasuk dalam hukum itu sendiri, sedangkan
syarat
merupakan
sifat
yang
kepadanya
tergantung
keberadaan hukum, tetapi ia diluar hukum itu sendiri. Ulama sepakat mengatakan bahwa hibah dianggap sah jika mempunyai rukun dan syarat. Menurut ʼAbd ar-Raḥmān al-Jazairi29 bahwa rukun hibah ada tiga macam: a. ʼĀqid yaitu orang yang memberi dan orang yang diberi (wahib dan mauhūb lah), b. Mauhūb (barang yang diberikan) yaitu harta, c. ṣīghah. Hal yang sama dikemukakan oleh Ibn Rusyd30 rukun hibah ada tiga yaitu:
27
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid I (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 400. Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, hlm. 1510. 29 ʼAbd ar-Raḥmān al-Jazairi, Kitab al-Fiqh ʼalā al-Mażāhibu al-'arbaʼah (Bairut: Dar ibnu khazm, tth) hlm. 777. 30 Ibn Ruysd, Abdul Rasyd (penerjemah), Bidyatul Mujtahid Wanihayatul Muqtashid (Jakarta: Akbar Media), 2013, hlm. 542. 28
22
33
a. Orang yang menghibahkan (al-wahib), b. Orang yang menerima hibah (al-mauhūb lah), c. Pemberiannya (al-hibah). Menurut Jumhur ulama‟ rukun hibah ada empat yaitu:31 1. Wahib (pemberi hibah), 2. Mauhūb lah (Penerima hibah), 3. Mauhūb (barang yang dihibahkan), 4. ṣīghah (ijab dan qobul).32 Syarat bagi orang yang menghibahkan hartanya adalah bahwa ia adalah orang yang cakap bertindak hukum, baligh, berakal dan cerdas. Oleh karena itu anak kecil dan orang gila tidak sah hibahnya karena mereka termasuk orang yang tidak cakap bertindak hukum.33 Sedangkan syarat barang yang dihibahkan adalah:34 a) Harta yang dihibahkan ada ketika akad hibah berlangsung, b) Harta yang dihibahkan bernilai harta menurut syara‟, c) Harta itu merupakan milik orang yang minghibahkannya, d) Menurut ulama‟ Hanafiah apabila yang dihibahkan itu berbentuk rumah, harus bersifat utuh sekalipun rumah itu boleh dibagi. Akan tetapi ulama‟ Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Hanabilah mengatakan
31
Rachmat Syafe‟i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 244. Orang-orang Hanafi berpendapat ijab saja sudah cukup dan itulah yang paling shahih sedangkan orang hambali berpendapat hibah itu sah dengan pemberian yang menunjukan kepadanya. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 14, hlm. 178. 33 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesi, hlm. 129. 34 Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah, hlm 84-85. 32
22
34
bahwa menghibahkan sebagian rumahnya boleh saja dan hukumnya sah. e) Harta yang dihibahkan itu terpisah dari yang lainnya dan tidak terikat dengan harta atau hak lainnya karena prinsip barang yang dihibahkan itu dapat dipergunakan oleh penerima hibah setelah akad dinyatakan sah. Apabila seorang menghibahkan sebidang tanah, tetapi ditanah itu ada tanaman orang yang menghibahkan, maka hibah itu tidak sah, begitu juga apabila seseorang menghibahkan sebuahrumah, sedangkan dirumah itu ada barang orang yang menghibahkan maka hibahnya juga tidak sah. f) Harta yang dihibah bisa langsung dikuasai (al-qabḍ) penerima hiabah. Ulama‟ Hanafiah, Syafi‟iyah dan ulama‟ Hanabilah lainnya mengatakan al-qabḍ (penguasaan terhadap harta itu) merupakan syarat terpenting sehingga hibah tidak dapat dikatakan sah dan mengikat apabila syarat tidak terpenuhi, oleh karenanya bila seseorang pemberi atau penerima hibah itu meninggal sebelum ada timbang terima, maka batalah hibah itu.35 Sementara Imam Malik mengatakan bahwa al-qabḍ hanyalah syarat penyempurna saja, bukan syarat sah.36 Berdasarkan perbedaan pendapat tentang al-qabdh ini maka ulama‟ Hanafiah, Syafi‟iyah mengatakan bahwa hibah belum 35 36
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 14, hlm. 181. Ibnu Rusyd, Bidyatul Mujtahid Wanihayatul Muqtashid, hlm 545.
22
35
berlaku sah hanya dengan ijab dan qabul saja tetapi harus bersamaan dengan al-qabḍ (bolehnya harta itu dikuasai). c. Macam-macam Hibah Pada umumnya orang sukar membedakan antara kata hibah, sedekah dan hadiah. Padahal pada dasarnya arti ketiga istilah diatas ditambah athiyah termasuk hibah menurut bahasa. Dengan kata lain pengertian hibah menurut bahasa hampir sama dengan pengertian athiyah, perbedaannya sebagai berikut:37 a. Jika pemberian kepada orang lain dimaksud untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan diberikan kepada orang yang sangat membuthkan tanpa mengharap pengganti pemberian tersebut dinamaan sedekah. b. Jika pemberian tersebut dimaksudkan untuk mengagungkan atau karena rasa cinta, dinamakan hadiah. c. Jika diberikan yanpa maksud yang ada pada hadiah dan sedekah maka dinamakan hibah. d. Jika hibah tersebut diberikan seseorang kepada orang lain saat ia sakit menjelang kematiannya maka dinamakan athiyah.38 Bermacam- macam sebutan pemberian disebabkan oleh perbedaan niat orang-orang yang menyerahkan benda, adapun macam-macam hibah adalah sebagai berikut:
37 38
Rachmat Syafe‟i, Fiqh Muamalah, hlm. 241. Rachmat Syafe‟i, Fiqh Muamalah, hlm. 241.
22
36
1. Al-hibah, yakni pemberian sesuatu kepada yang lain untuk dimiliki zatnya tanpa mengharapkan penggantian dan diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup.39 2. Shadaqah, yakni menghibahkan sesuatu dengan harapan pahala di akhirat.40 3. Wasiat, adalah suatu akad dimana seorang manusia mengharuskan dimasa hidupnya mendermakan hartanya untuk orang lain yang diberikan sesudah wafatnya.41 4. Hadiah: memberikan sesuatu dengan mengharapkan balasan42 yakni orang yang diberi hibah untuk memberi balasan. Berdasarkan uraian diatas dapat ditegaskan bahwa hibah berbeda dengan wasiat, hibah adalah pemberian yang dilakukan pada saat sipemberi hibah dan penerima hibah masih hidup dan pemberian itu sudah bisa dimanfaatkan oleh sipenerima hibah pada saat itu juga, sedangkan jumlah pemberian itu tidak dibatasi sehingga berapapun pemberian itu terserah kepada pemberi hibah. Berbeda halnya dengan wasiat yang jumlahnya pemberian dibatasi yaitu tidak boleh lebih dari 1/3 harta benda yang dimiliki pemberi wasiat Sabda Rasulullah SAW.
39
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 2000),
hlm. 466 40
Sayyid Sabiqq, Fiqih Sunnah, hlm. 175 TM. Hasbi Ash- Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, Cet. 2, (Semarang, Pustaka Rizqi Putra, 1997) hlm. 107 42 Teungku Muhammad Hasbi Ash- shiddieqy, Koleksi Hadit- Hadits Hukum, (Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2011) ,hlm. 466 41
22
37
ِ ٍ ك بن ٍ وحدذَثَين ُزَىْي ر بْن ح َّ رب حرب َ ُ ُ ْ ُ ُ َوسى حدَّثَنَا ُزَىْي ٌر حدَّثَنَا ِس َ حدثَنا َ احلس ُن بْ ُن ُم ِ حدسين مصعب بن سع ٍد عن ب صلى هللا عليو وسلم ْ أبيو قال َم ِر ُ ت فأ َْر َس ُض َْ ُ ْ ُ ِّ َلت إىل الن ِ ِ ْ ف ُقلت ِ عد الث قال. ُّلث َ َكت ب ُ لت فَالث َ ُّلث قَال فَ َس ُ ُت فَأ َََب ق ُ دع ِين أقْس ْم َم ِاِل َحْيث شْئ ُ 43 )ث جائًِزا (رواه املسلم ُ ُفكا َن بَ ْع ُد الثُّل Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami dari Zuhair bin Ḥarbin dari al-Ḥasanu bin Mūsa dari Zuhair dari Simak bin Ḥarbin dari Muṣʼab bin Saʼd dari bapaknya, ia berkata: aku sakit, kemudian aku mengutus seseorang menghadap Nabi Saw. Aku berkata: biarkanlah saya membagi harta saya menurut kehendak saya. Beliau tidak mau, maka aku berkata: separuh? Beliau tidak mau. Aku berkata: sepertiga? Beliau diam. Muṣʼab bin Saʼd berkata maka sesudah itu, mewasiatkan sepertiga itu boleh” 3) Wasiat a. Pengertian Wasiat Secara bahasa wasiat berarti pesan. Al-Azhari mengatakan kata َّ ( الaku menyambung صيَّة ِ ( ْال َوwasiat) berakar dari kata , ُصيْت ِ أ ُ ْو, شىء َ و, َ ص ْي ِه sesuatu). Dinamakan wasiat (menyambung) karena pemberian wasiat menautkan sesuatu dikala masih hidup dengan sesuatu setelah meninggalnya.44 Dalam pengertian istilah Sayyid Sabiq mengemukakan wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimilki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang berwasiat mati.45 Satu pendapat mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang disandarkan pada sesudah meninggalnya sipewasiat dengan jalan
43
Imam Nawawi, Thoriq Abdul Aziz At- Tamim (penerjemah), Al- Manhaj Syarh Shahih Muslim Ibn Al Hajja, (Jakarta: Daries Sunnah Press, 2013), hlm. 58. 44 Imam Nawawi, Al- Manhaj Syarh Shahih Muslim Ibn Al Hajja, hlm. 58. 45 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 14, hlm. 230.
22
38
tabarru (kebikan tanpa menuntut imbalan). Pengertian ini jelas membedakan antara wasiat dan hibah. Juika hibah berlaku sejak sipemberi menyerahkan pemberiannya, maka wasiat berlaku setelah pemberi meninggal. Ini sejalan dengan definisi Fuqaha‟ Hanafiah: Wasiat adalah tindakan seseorang memberikan hak kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara sukarela (tabarru‟) yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya peristiwa kematian dari yang memberikan, baik sesuatu itu berupa barang ataupun manfaat.46 Fuqaha‟ Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah memberikan definisi yang lebih rinci yaitu: “suatu perikatan yang mengharuskan kepada sipenerima washiyat meng-hak-i 1/3 harta peninggalan si pewasiat, sepeninggalannya atau yang mengharuskan penggantian hak 1/3 harta sipewasiat kepada sipenerima wasiat, sepeninggalnnya.47 Wasiat disyaritkan oleh Allah SWT. Q.S al- baqarah : 180
Artinya : “Diwajibkan atas kamu apabila di antara kamu kedua tangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma‟ruf (ini adalah) kewajiban orang- orang yang bertaqwa.” (QS. Al- Baqarah:180)48
46
Fatchurrahman, Ilmu Waris, hlm. 49 Fatchurrahman, Ilmu Waris, hlm. 50 48 Khadim al Haramain asy Syarifain (pelayan kedua Tanah Suci) Raja Fadh ibn „abad al „Aziz Al Sa‟ud, Alqur’an dan Terjemahnya, (Madinah Munawwarah: Mujamma‟ Khadim Al Haramain as Syarifain al Malik Fadh li Thiba‟at Mush-haf asy-Syarif, 1411 H) hlm. 44 47
22
39
Firman Allah SWT Q.S Al-Baqarah: 240
Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri, hendaklah meninggalkan wasiat untuk istriistrinya (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya), akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris yang meninggal) meninggalkan mereka berbuat yang ma‟ruf terhadap diri mereka.” (QS.Al Baqarah: 240). Firman Allah SWT Q.S. An- Nisa‟ : 12
Artinya: “berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. Ayat maupun hadits diatas menunjukan secara jelas mengenai hukum wasiat serta teknis pelaksanaannya dan materi yang menjadi objek wasiat, namun demikian para ulama‟ berbeda pendapat dalam memahami dan menafsirkan wasiat. Dalam hadits Nabi yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum wasiat adalah
22
40
ٍ ِ ِ ب صل ى هللا عليو ُّ ّعادِِن الن َ َضت ف ُ َم ِر: َع ْن َعام ِربْ ِن َس ْعد َعن أبيو رضي هللاُ عنوُ قال ِ ِ .ناسا َ ِ لَ َع َّل هللاَ يَ ْرفَ ُع ب: قال. يارسول هللا ْادعُ هللاَ أن الَيَ ُرَّدِِن َعلى َعقِب: لت ُ وسلم فَ ُق ً ك ِ لت أوصي:ت ُ أُ ِر: لت ُ ّ الن: بالنصف؟ قال ُ ُ ٌ ق.صف َك ْثي ٌر ُ فَ ُق ْل.ٌيد أ ْن أوصي واّّنا ىل ابْنة ُ ُق ِ ُ فَأَوصى النّاس بالثُل: قال- أو َكبِي ر-ث كثِي ر ِ ُفالثُّل: ث َو َج َاز ُ ُ الثُّل: ث؟ قَال َ ْ ٌ ْ ْ ٌ ْ ُ ُ والثُّل،ث ُ َدالِك ََلُ ْم Artinya: “ dari Amir bin Sa‟ad, dari bapaknya RA. Dia berkata, “Aku menderita sakit kemudian Nabi SAW, mengunjungiku dan aku tanyakan: “Wahai Rosulullah SAW. Berdoalah tuan kepada Allah semoga Dia tidak menolakku”. Beliau bersabda: “semoga Allah meninggikan (derajat) mu, dan manusia lain akan memperoleh manfaat dari kamu”. Aku bertanya: aku ingin mewasiatkan hartaku separuh, namun aku ada seorang anak perempuan”. Beliau menjawab:“separuh itu banyak”. Aku bertanya (lagi): sepertiga”? Beliau menjawab: “Sepertiga, sepertiga adalah banyak atau besar” Beliau bersabda:“Orang-orang berwasiat sepertiga, dan Haditst yang demikian itu boleh bagi mereka” (HR: Imam al-Bukhori).49 b. Rukun dan Syarat Wasiat 1) Rukun Wasiat Agar wasiat dapat dilaksanakan sesuai dengan kehendak syariat, maka dibutuhkan sebuah aturan yang di dalamnya mencakup rukun dan syarat wasiat. Rukun dan syarat wasiat itu merupakan suatu komponen yang sangat penting sehingga turut menentukan sah dan tidaknya serta batal dan tidaknya suatu wasiat. Secara garis besar syarat-syarat wasiat adalah mengikuti rukunnya. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dalam memberi urain tentang rukun dan syarat wasiat. Sayyid Sabiq misalnya, rukun wasiat hanya satu, yaitu penyerahan dari orang yang
49
Al-Imam al-Hafizh ibn Hajar Al-Asqalani, Amiruddin (penerjemah), Fathul Bari: Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari, jilid XI (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), hlm. 421.
22
41
berwasiat.50 Agaknya ia melihat wasiat sebagai tindakan hukum yang bisa sah dan berlaku secara sepihak tanpa keterlibatan pihak yang menerima, lebih-lebih berlakunya isi wasiat adalah setelah si pewasiat meninggal dunia. Ibnu Rusyd51 dan al-Jazairi52 mengemukakan pendapat ualama secara muqaranah bahwa rukun wasiat ada 4 yaitu: a. Al-mūṣi (orang yang berwasiat) b. Al-Mūṣā lah (orang yang menerima wasiat) c. Al-Mūṣā bih ( barang yang diwasiatkan) d. ṣīghah (redaksi) wasiat Menurut ulama Hanafiyah menyatakan bahwa rukun wasiat hanyalah satu yaitu ijab dan qabul.53 Sebenarnya ulama‟ Hanafyiah dalam memberikan ketentuan tentang rukun wasiat adalah sama yang dikemukakan oleh al-Jazairi dan Jawwad Mughniyah karena ijab dan qabul itu membutuhkan subyek dan obyek, sehingga walaupun rukun wasiat itu hanya disebutkan satu saja sebagaimana pendapat ulama Hanafiyah, ijab dan qabul telah mencapai rukunrukun yang lain yaitu orang yang berwasiat dan penerima wasiat.
50
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 14, hlm. 240. Ibnu Rusyd, Bidyatul Mujtahid Wanihayatul Muqtashid, hlm. 553. 52 ʼAbd ar-Raḥmān al-Jazairi, Kitab al-Fiqh ʼalā al-Mażāhibu al-'arbaʼah, hlm. 790, lihat pula Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Madzab, Cet. 5 (Jakarta: Lentera, 2000), hlm. 504. 53 ʼAbd ar-Raḥmān al-Jazairi, Kitab al-Fiqh ʼalā al-Mażāhibu al-'arbaʼah, hlm .790. 51
22
42
2) Syarat-syarat Wasiat Adapun syarat-syarat wasiat berhubungan dengan rukunrukunnya adalah sebagai berikut: a) Orang yang memberi wasiat (Al-mūṣi) Disyaratkan orang yang memberi wasiat itu adalah beragama islam,54 orang yang ahli kebaikan yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah.55 Mengenai wasiat orang gila, anak yang belum baligh terjadi perbedaan pendapat antara para ulama mengenai sah tidaknya wasiat orang tersebut. Imam Hanafi berpendapat bahwa wasiat anak yang belum baligh hukumnya tidak sah.56 Disamping syarat-syarat diatas disyaratkan pula bagi mushi yaitu adanya ridha tidak ada paksaan terhadap wasiat yang ia buat,57 karena wasiat merupakan salah satu tindakan yang akan berakibat beralihnya hak milik dari orang yang berwasiat terhadap orang-orang yang menerima wasiat, maka kerelaan terhadap wasiat yang ia buat tanpa didasari atas paksaan mutlak diperlukan, yang selanjutnya menjadi syarat bagi sahnya wasiat. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang berwasiat disyaratkan atas hal-hal sebagai berikut:
54
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 344. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 14, hlm. 242. 56 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hlm. 450. 57 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hlm 450. 55
22
43
1. Beragama islam 2. Sudah baligh 3. Berakal sehat 4. Merdeka 5. Tidak terpaksa b) Orang yang menerima wasiat (mūṣā lah) Bagi musalah/penerima wasiat disyaratkan atas hal-hal sebagai berikut: 1. Para ulama‟ sepakat bahwa orang-orang yang menerima wasiat adalah bukan ahli waris dari orang yang memberikan wasiat. Redaksi hadits “tidak ada wasiat untuk ahli waris” menunjukkan bahwa wasiat itu pada dasarnya tidak sah untuk untuk ahli waris.58 Ibnu Hazm dan Fuqoha Malikiyah yang masyhur mengharamkan wasiat bagi ahli waris dengan alasan Allah melalui lisan Nabi Muhammad SAW. mencegah yang demikian itu (lā waṣiyyata liwāriṡin), oleh karena itu pewasiat tidak dibenarkan menjalankan ketentuan hukum yang telah dibatalkan oleh Allah SWT.59 2. Penerima wasiat ada ketika wasiat dilaksanakan walaupun keberadaannya sebatas perkiraan saja.
58
Al-Imam al-Hafizh ibn Hajar Al-Asqalani, Amiruddin (penerjemah), Fathul Bari: Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari, jilid XI, hlm. 433. 59 Fatchurrahman, Ilmu Waris, hlm. 57.
22
44
Wasiat memang harus jelas kepada siapa dan untuk siapa wasiat itu ditunjukan. Apabila mushi telah menunjuk kepada siapa ia berwasiat kemudian mushalah meningal lebih dahulu pada pewasiatannya, dalam hal ini Jumhur Ulama‟ berpendapat berpendapat yang demikian itu maka wasiatnya batal, sebab wasiat adalah pemberian yang jika diberikan kepda orang yang mati maka tidak sah.60 Mazhab Imamiyah berpendapat jika penerima wasiat meninggal dunia lebih dahulu dari pemberi wasiat maka ahli waris penerima wasiat menggantikan kedudukannya dan barang yang diwasiatkan menjadi hak milik mereka.61 3. Penerima wasiat tidak membunuh orang yang memberi wasiat Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa berwasiat kepada orang yang telah membunuh sipewasiat, baik wasiat itu di izinkan oleh ahli waris maupun tidak adalah tidak sah.62 Sedangkan fuqoha Hanafiah mengesahkan wasiatnya kepada pembunuh pewasiat jika disetujui oleh ahli warisnya.63
60
Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Madzab, Cet. 5 (Jakarta: Lentera, 2000)
hlm. 510. 61
Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Madzab, hlm. 510. Al-Imam al-Hafizh ibn Hajar Al-Asqalani, Amiruddin (penerjemah), Fathul Bari: Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari, jilid XI, hlm. 5.9 63 Fatchurrahman, Ilmu Waris. hlm. 58. 62
22
45
c) Barang/sesuatu yang diwasiatkan (Mūṣā bih) Semua madzhab sepakat bahwa barang yang diwasiatkan haruslah
bisa
dimiliki,
seperti
harta
atau
rumah
dan
kegunaannya, jadilah tidaklah sah mewasiatkan benda yang menurut kebiasaan lazimnya tidak bisa dimiliki. Jika pemilikan tidak bisa dilakukan tidak ada wasiat.64 Sebab-sebab yang diwasiatkan tidak lebih dari sepertiga harta pusaka. Ketentuan batas maksimal dalam berwasiat berdasarkan firman Allah dalam Q. S. an-Nisa‟: 9 sebagai berikut:
Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orangorang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anakanak yang keadaannya lemah yang mereka hawatirkan terhadap kesejahteraan mereka”.65 d) Sighot (redaksi) wasiat Tidak ada redaksi khusus untuk wasiat, jadi wasiat sah diucapkan dengan redakasi bagaimanapun yang bisa dianggap menyatakan pemberian hak pemilikan secara sukarela. Ibnu Rusyd66mengatakan
bahwa
wasiat
dapat
dilaksanakan
menggunakan redaksi (sighot) yang jelas atau sharih dengan
64
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris. hlm. 355 Khadim al Haramain asy Syarifain (pelayan kedua Tanah Suci) Raja Fadh ibn „abad al „Aziz Al Sa‟ud, Alqur‟an dan Terjemahnya, (Madinah Munawwarah: Mujamma‟ Khadim Al Haramain as Syarifain al Malik Fadh li Thiba‟at Mush-haf asy-Syarif, 1411 H) hlm. 116 66 Ibnu Rusyd, Bidyatul Mujtahid Wanihayatul Muqtashid, hlm. 556 65
22
46
kata wasiat dan bisa juga dilakukan dengan kata-kata samaran (ghoiru sharih). Ini dapat ditempuh karena wasiat berbeda dengan dengan hibah, wasiat bisa dilakukan dengan tulisan dan tidak memerlukan jawaban (qabul) penerimaan secara langsung, sementara hibah memerlukan adanya jawaban penerimaan dalam satu majelis. c. Pelaksanaan dan Batasan-batasan Wasiat 1. Pelaksanaan Wasiat Wasiat menjadi hak bagi orang yang diberinya setelah pemberiannya mati dan hutang-hutangnya ditunaikan. Apabila wasiat itu telah cukup syarat syarat dan rukun-rukunnya hendaklah wasiat tersebut dilaksanakan sepeninggal si pewasiat. Sejak itu si penerima wasiat sudah memiliki harta wasiat dan karenanya dia dapat
memanfaatkan
dan
mentransaksikannya
menurut
kehendaknya.67 Sedangkan dalam undang-undang hukum wasiat Mesir dalam pasal 78 mewajibkan pelaksanaan wasiat tanpa tergantung perizinan ahli waris dan setelah dikurangi biaya perawatan dan pelunasan hutang.68 2. Batasan-batasan dalam wasiat Wasiat hanya berlaku dalam batas sepertiga dari harta warisan, manakala terdapat ahli waris, baik wasiat itu dikeluarkan ketika 67 68
Fatchurrahman, Ilmu Waris, hlm. 60. Fatchurrahman, Ilmu Waris, hlm. 65.
22
47
dalam keadaan sakit ataupun sehat.69 Harta yang diwasiatkan itu tidak boleh melebihi sepertiga harta dan yang utama adalah mewasiatkan kurang dari sepertiga sebab telah terjadi ijma‟ atas hal itu.70 Imam Malik berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sepertiga itu adalah sepertiga dari jumlah harta yang berwasiat waktu menyatakan wasiatnya. Asy-Syafi‟i menyatakan bahwa sepertiga adalah sepertiga diwaktu dia mati dan ini adalah pendapat sahabat Ali dan sebagian tabi‟in.71 d. Hal-hal yang Membatalkan Wasiat Sayyid Sabiq menjelaskan wasiat itu batal dengan hilangnya salah satu syarat-syarat yang telah disebutkan.72 Dalam rumusan kompilasi mengatur masalah ini cukup rinci, yaitu dalam pasal 197:73 1. Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena: a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat.
69
Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Madzab, hlm. 513. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, hlm. 248. 71 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, hlm. 250. 72 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, hlm. 251. 73 Departemen Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, Kopilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2000), hlm. 90. 70
22
48
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. c. Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat. d. Dipersalahkan
telah
menggelapkan
atau
merusak
atau
memalsukan surat wasiat dari pewasiat. 2. Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu: a. Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat. b. Mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi ia menolak untuk menerimanya. c. Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima
atau
menolak
sampai
ia
meninggal
sebelum
meninggalnya pewasiat. d. Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah Peunoh Daly sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rofiq, merinci hal-hal yang menjadikan wasiat batal ada tujuh hal, yaitu:74 a. Yang menerima wasiat dengan sengaja membunuh pemberi wasiat.
74
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hlm. 460.
22
49
b. Yang menerima wasiat meninggal lebih dahulu dari si pemberi wasiat. c. Yang menerima wasiat menolak wasiat yang diberikan itu sesudah meninggalnya pemberi wasiat. d. Barang yang diwasiatkan itu ternyata kemudian bukan milik yang berwasiat. e. Yang memberi wasiat hilang kecakapannya dalam melakukan perbuatan hukum karena gila terus menerus sampai meninggal.
B. Perpindahan Hak Kepemilikan Dari Orang Tua Kepada Anak Dalam Hukum Adat Proses penerusan atau perpindahan harta kekayaan dari satu generasi kepada keturunnya
diistilahkan dengan hukum waris adat. Yang demikian itu dapat
dilakukan ketika pewaris masih hidup maupun pewaris sudah meninggal. 1. Pengertian Hukum Waris Adat Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong menolong guna mewujudkan dan kedamaian di dalam hidup. Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistim dan azas-azas hukum waris tentang warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari
22
50
pewaris kepada waris, Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya.75 Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses ini telah dimulai pada waktu orang tua masih hidup.76 Dengan demikian hukum waris itu memuat ketentuan- ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. Dari beberapa pendapat di atas terdapat suatu kesamaan bahwa, hukum waris adat yang mengatur penerusan dan pengoperan harta waris dari suatu generasi keturunannya. Hal ini menunjukkan dalam hukum adat untuk terjadinya pewarisan haruslah memenuhi 4 unsur pokok, yaitu: a. Adanya Pewaris77 b. Adanya Harta Waris c. Adanya ahli Waris dan d. Penerusan dan Pengoperan harta waris.
75
Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1990), hlm.
7. 76
Pendapat Soepomo, sebagaimana dikutip oleh Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta :Rajawali, 1990), hlm. 285. 77 Istilah ini dipakai untuk menunjukkan orang yang meneruskan harta peninggalan ketika hidupnya kepada ahli waris atau orang yang setelah meninggal dunia meninggalkan harta peninggalan yang diteruskan atau dibagikan kepada ahli waris. Bedakan istilah tersebut dalam hukum islam Sayyid Sabiq menggunakan istilah tersebut ditunjukkan untuk orang yang mempunyai hubungan penyebab kewarisan dengan mayit (Pen. ahli waris) lihat Sayyid Sabbiq, Fiqih Sunnah 14., hlm. 257.
22
51
2. Sistem Kewarisan Hukum Adat Masyarakat bangsa Indonesia yang menganut barbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak dahulu kala sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Islam, Kristen. Sistem keturunan yang berbeda-beda itu nampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat. Hukum waris adat mengenal adanya tiga sistem kewarisan yaitu:78 a. Sistem kewarisan individual Merupakan sistem kewarisan yang menentukan bahwa ahli waris mewarisi harta peninggalan dibagi-bagiakan secara perorangan atau individu (Batak, Jawa, Sulawesi, dan lain-lain).79 b. Sistem kewarisan Kolektif Dimana harta peninggalan diteruskan dan dialihkan pemilikannya dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaannya dan pemilikannya, melainkan setiap waris berhak untuk mengusahakan menggunaan atau mendapat hasil dari hata peninggalan itu.80 Atau dapat diartikan kewarisan kolektif yaitu, dimana para ahli waris secara kolektif (bersama-sama) mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi- bagi pemiliknya kepada masing- masing ahli waris. c. Sistem kewarisan mayorat
78
Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, hlm 285. Djamanat Samosir, Hukum Adat: Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia (Bandung: Nuansa Aaulia, 2013), hlm.313. 80 Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat, hlm. 36. 79
22
52
Sistem kewarisan mayorat sesungguhnya adalah juga merupakan sistem pewarisan kolektif, hanya penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah ibu sebagai kepala kelurga. 3. Subjek Hukum Waris Pada hakekatnnya subjek hukum waris adalah pewaris dan ahli waris. Pewaris adalah seorang yang meninggalkan harta warisan, sedangkan ahli waris adalah seorang atau beberapa orang yang merupakan penerima harta warisan. Pada umumya mereka yang menjadi ahli waris adalah mereka yang menjadi besar dan hidup sangat dekat dengan si peninggal warisan. Menurut adat jawa para waris itu dapat digolongkan dalam urutan sebagai berikut:81 a. Keturunan pewaris, b. Orang tua pewaris, c. Saudara-saudara pewaris, d. Orang tua dari para orang tua pewaris atau keturunannya. Pada dasarnya yang menjadi ahli waris adalah anak-anak dari si peninggal warisan dan jika anak sudah wafat lebih dahulu dari pewarisnya maka ia digantikan oleh cucu dan seterusnya kebawah.
81
Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat, hlm 103.
22
53
4. Proses Pewarisan Yang dimaksud proses pewarisan adalah cara bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang akan ditinggalkan kepada para waris ketika pewaris itu masih hidup dan bagaimana cara warisan itu diteruskan penguasaan dan pemakainnya atau cara bagaimana melaksanakan pembagian waris kepada para waris setelah pewaris meninggal. a. Sebelum Pewaris Meninggal 1. Penerusan atau Pengalihan Cara penerusan atau pengalihan harta kekayaan dari pewaris kepada waris yang sudah seharusnya berlaku menurut hukum adat setempat. Termasuk dalam arti penerusan atau pengalihan harta kekayaan dikala pewaris masih hidup ialah diberikannya harta kelanjutan hidup kepada anak- anak yang akan menikah mendirikan rumah tangga baru. Sebagai contoh pemberian atau dibuatkannya bangunan rumah dan pekarangan tertentu, bidang- bidang tanah, ladang, kebun atau sawah untuk anak laki- laki atau perempuan yang sudah berumah tangga. Menurut Soepomo pemberian yang demikian itu bersifat mutlak, dan merupakan pewarisan. Perbuatan tersebut bukan merupakan jual beli, akan tetapi merupakan pengalihan harta benda dilingkungan keluarga sendiri.82
82
Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta :Rajawali, 1990), hlm. 296
22
54
Penerusan dan pengalihan hak dan harta kekayaan, itu berarti telah berpindahnya penguasaan dan pemilikann atas harta kekayaan sebelum pewaris wafat dari pewaris kepada waris. 2. Penunjukan Perbuatan penunjukan oleh pewaris kepada waris atas hak dan harta tertentu, maka berpindahnya penguasaan dan pemilikannya baru dapat berlaku dengan sepenuhnya kepada waris setelah pewaris meninggal. Sebelum pewaris meninggal pewaris masih berhak dan berwenang menguasai harta yang ditunjukan itu. Tetapi pengurusan dan pemanfaatan, hasil dari harta itu sudah ada pada waris dimaksud.83 Jadi seseorang yang mendapat penunjukan atas harta tertentu sebelum pewaris wafat belum dapat berbuat apa-apa selain hak pakai dan hak menikmati. Adakalanya dikalangan orang jawa setelah bidang-bidang tanah pertanian ditunjukan atau diteruskan penguasaannya kepada anak- anak laki- laki atau perempuan yang telah berumah tangga dan hidup mandiri diharuskan memberikan kewajian bagi setian anak yang telah diberi tanah itu untuk tetap memberiibagi hasil tertentu kepada orang tuanya selama ia hidup. Namun masih ada sebagian bidang-bidang tanah itu yang masih tetap dikuasai dan dikerjakan sendiri dan diambil hasilnya untuk kepentingan orang tua. Dalam hal ini berarti bidang tanah tanah yang masih dikerjakan oleh orang tua
83
Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat, hlm. 107
22
55
sendiri itu, masih merupakan bidang tanah gantungan, dimana setelah orang tua meninggal barulah menjadi hak milik sepenuhnya dari waris yang bersangkutan.84 Baik penerusan atau penunjukan oleh pewaris kepada waris mengenai harta warisan sebelum meninggalnya, tidak harus dinyatakan dengan terang dihadapan tua-tua desa, tetapi cukup dikemukakan dihadapan para ahli waris dan anggota keluarga.85 3. Hibah Wasiat Adakalanya seorang pewaris karena sakitnya sudah parah dan merasa tidak ada harapan lagi untuk dapat diteruskan hidup, lalu berpesan kepada anak dan istrinya tentang anak dan harta kekayaannya. Misalnya seorang pewaris dihadapan ahli warisnya menyatakan bahwa bagian tertentu dari harta peninggalan itu diperuntukan bagi ahli waris tertentu (dapat juga dihadiahkan kepada seorang tertentu). Pewarisan yang demikian itu barulah akan berlaku setelah orang tua meninggal dunia. Hukum adat tidak menentukan bahwa hibah wasiat itu bersifat rahasi, terbuka atau tertulis sendiri sebagaimana pasal 93 KUH Perdata. Tetapi jika mungkin hal itu dapat saja dilakukan, namun yang biasa berlaku adalah menurut hukum adat setempat, yang mana
84 85
Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat, hlm 108 Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat, hlm .109
22
56
cukup diucapkan dihadapan istri, anak-anak atau anggota keluarga dekat lainnya.86 Dilakukannya pewarisan secara hibah wasiat, pada dasarnya bertujuan:87 a. Untuk mewajibkan para ahli waris untuk membagi-bagi harta waris dengan cara yang layak menurut anggapan pewaris. b. Untuk mencegah terjadinya perselisihan. c. Dengan hibah wasiat, pewaris menyatakan secara mengikat sifat-sifat dari barang-barang harta yang ditinggalkan, seperti barang-barang pusaka, barang-barang yang dipegang dengan sende (gadai), barang-barang yang disewa dan sebagainya. b. Sesudah Pewaris Meninggal 1. Penguasaan Warisan Penguasaan harta warisan berlaku apabila harta warisan itu tidak tidak dibagi- bagi, karena harta warisan itu merupakan milik bersama yang disediakan untuk kepentingan bersama para anggota keluarga
pewaris,
atau
karena
pembagiannya
disebabkan karena beberapa hal :88
Masih ada orang tua,
Terbatasnya harta peninggalan,
Tertentu jenis dan macamnya,
86
Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat, hlm. 69. Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, hlm 297. 88 Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat, hlm. 54. 87
22
ditangguhkan
57
Pewaris tidak punya keturunan,
Para waris belum dewasa,
Belum ada waris pengganti,
Diantara waris belum hadir,
Belum ada waris yang berhak,
Belum diketahuinya hutang piutang pewaris. Dengan demikian setelah pewaris meninggal terhadap harta
warisan yang tidak dibagi atau ditangguhkan pembagiannya itu dapat dikuasai oleh janda, anak, anggota keluarga. Barangsiapa yang menjadi penguasa atas harta warisan berarti bertanggung jawab untuk menyelesaikan segala sangkut paut dan hutang piutang pewaris ketika hidupnya dan pengurusan para waris yang ditinggalkan guna kelangsungan hidup para waris.89 2. Pembagian Warisan Pada umumnya hukum adat tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian, begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuan. Menurut adat kebiasaan waktu pembagian setelah meninggalnya pewaris dapat dilaksananan setelah upacara sedekah atau selamatan yang disebut nujuh hari, waktu empatpuluh hari, nyeratus hari, atau waktu seribu hari setelah pewaris meninggal. Adapun yang menjadi
89
Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat, hlm. 110.
22
58
juru bagi dari keluarga itu sendiri, tidak ada campur tangan dari orang luar keluarga yang bersangkutan. Hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan matematika, tetapi selalu didasarkan atas pertimbnagan mengungat wujud benda dan kebutuhan waris bersangkutan. Diberbagai daerah sebagaimana halnya dikalangan masyarakat adat Jawa cara pembagian itu ada dua kemungkinan, yaitu: (1) Dengan cara segendong sepikul, artinya bagi anak laki-laki dua kali lipat bagi anak perempuan. (2) Dengan cara dum-dum kupat, artinya bagian anak laki-laki dan bagian anak perempuan berimbang sama. Kebanyakan yang berlaku adalah yang dikatakan pembagian sama diantara semua anak.90
90
Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat, hlm.116.
22