BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Peranan Orang tua 1. Pengertian Orang tua Berbicara tentang orang tua tentunya tidak dapat dipisahkan dari tempat orang tua dan anak hidup. Orang tua dan anak hidup dalam suatu unit yang disebut keluarga Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat. Maksudnya ialah bahwa keluarga itu merupakan suatu kelompok orang sebagai suatu kesatuan atau unit yang berkumpul dan hidup bersama dalam suatu lingkungan untuk waktu yang relatif berlangsung terus, karena terikat oleh pernikahan dan hubungan darah. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2005: 802) pengertian orang tua adalah ayah ibu kandung; orang yang dianggap tua (cerdik pandai, ahli, dsb). Sejalan dengan pendapat tersebut, Soelaeman (1994: 179) menganggap bahwa “…istilah orang tua hendaknya tidak pertama-tama diartikan sebagai orang yang tua, melainkan sebagai orang yang dituakan, karenanya diberi tanggung jawab untuk merawat dan mendidik anaknya menjadi manusia dewasa”. Sedangkan menurut Langgulung (1986: 348) yang menjelaskan bahwa “Islam memandang orang tua (keluarga) sebagai lingkungan pertama bagi individu merubah banyak kemungkinan-kemungkinan, kesanggupan-kesanggupan dan kesediaannya menjadi kenyataan yang hidup dan tingkah laku yang nampak”. Hal ini dijelaskan pula oleh Darajat (1979: 71) bahwa:
15
Orang tua adalah Pembina atau pendidik pribadi yang pertama dalam hidup. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung., dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang bertumbuh dan berkembang. Berdasarkan definisi-denisi tentang orang tua yang telah dipaparkan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa orang tua adalah dua orang dewasa yang hidup bersama dalam ikatan perkawinan yang telah melahirkan anak atau keturunan, yaitu Ibu-Bapak, yang mempunyai tanggung jawab untuk membina anak-anaknya untuk diberikan pendidikan, kasih sayang, dan kebutuhan lainnya agar kelak anak tersebut bisa menjadi manusia dewasa dan warga negara yang bertanggung jawab dan berdisiplin dan bergaul dengan baik dalam masyarakat, juga membimbing anaknya dengan cara memberikan contoh yang baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari, selain itu orang tua juga telah memperkenalkan anaknya kedalam hal-hal yang terdapat di dunia ini dan menjawab secara jelas tentang sesuatu yang tidak dimengerti oleh anak. Maka pengetahuan yang pertama diterima oleh anak adalah dari orang tuanya. Dan orang tua juga adalah sebagai lingkungan pertama dari individu-individu untuk berinteraksi terutama bagi anak-anak untuk memperoleh akhlak atau moral serta kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan juga orang tua sebagai pembina pribadi yang pertama bagi anak-anaknya. Sesungguhnya pembinaan akhlak budi pekerti adalah hak anak atas orang tuanya,
seperti
hak
makan
dan
minum
serta
nafkah
dari
mereka.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abas r.a. Bahwa Nabi SAW bersabda; “Muliakanlah anak-anakmu dan ajarkanlah mereka budi pekerti yang luhur.” Anak harus memiliki akhlak yang baik sejak usia kecilnya, agar ia hidup dicintai
16
pada waktu besarnya, diridhoi Tuhan-Nya, dicintai keluarganya dan semua orang, ia harus pula menjauhi akhlak yang buruk. Agar tidak menjadi orang yang dibenci, tidak dimurkai Tuhan-Nya, tidak dibenci keluarganya dan tidak dibenci siapapun.
2. Peranan/fungsi Orang tua dalam keluarga Menurut
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
(2005:
854)
peranan
mengandung arti tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa. Sedangkan menurut Soekanto (1990:268-269) peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukaanya maka dia menjalankan suatu peranan. Peranan mungkin mencakup tiga hal, yaitu: a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan. b. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Penulis sendiri menyimpulkan bahwa peranan adalah kedudukan seseorang dalam menempatkan diri sebagai orang yang melakukan tindakan dalam suatu peristiwa. Dalam penelitian ini peranan yang dimaksud adalah peranan orang tua. Peranan orang tua berarti berbagai hak dan wewenang serta kewajiban orang tua dalam menjalankan perannya dalam keluarga bagi anaknya dalam membina dan membimbing anaknya dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
17
Sejalan dengan peranan orang tua ini, Soelaeman (1994: 81-113) mengemukakan delapan fungsi keluarga yang harus dilakukan oleh orang tua, yang intinya adalah sebagai berikut. a. Fungsi Edukasi Fungsi Edukasi adalah fungsi keluarga yang berkaitan dengan masalah pendidikan anak pada khususnya serta pembinaan anggota keluarga pada umumnya. Edukasi ini tidak sekedar menyangkut pelaksanaanya saja, melainkan menyangkut penentuan dan pengukuhan landasan yang mendasari upaya pendidikan itu, pengarahan dan perumusan tujuan pendidikan, perencanaan dan pengelolaannya, penyediaan dana dan sarananya, pengayaan wawasannya dan lain sebagainya yang ada kaitannya dengan upaya pendidikan itu. b. Fungsi Sosialisasi Fungsi Sosialisasi bekaitan dengan mempersiapkan anak untuk menjadi anggota masyarakat yang baik. Dalam melaksanakan fungsi ini, keluarga berperan sebagai penghubung antara kehidupan anak dengan kehidupan sosial dan normanorma sosial sehingga kehidupan di sekitarnya dapat dimengerti oleh anak, dan pada gilirannya anak dapat berpikir dan berbuat positif di dalam dan terhadap lingkungannya. Lingkungan yang mendukung sosialisasi anak antara lain ialah tersedianya lembaga-lembaga dan sarana pendidikan serta keagamaan. c. Fungsi Proteksi Fungsi Proteksi (perlindungan) dalam keluarga ialah untuk menjaga dan memelihara anak serta anggota keluarga lainnya dari tindakan negatif yang mungkin timbul, baik dari dalam maupun dari luar kehidupan keluarga. Fungsi
18
inipun adalah untuk menangkal pengaruh kehidupan yang sesat pada saat sekarang dan pada masa yang akan datang, sehingga kehidupan harmonis keluarga dapat terjaga. d. Fungsi Afeksi Fungsi Afeksi ialah di dalam komunitasnya dengan orang tua maupun dengan lingkungannya anak tidak saja menggunakan mata dan telinga akan tetapi juga dengan perasaannya. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya harus diwarnai oleh kasih sayang secara hasrat yang terpancar dari seluruh gerakan maupn mimic serta perbuatan atau lebih jelasnya bahwa dalam pelaksanaannya adalah bahasa yang diiringi dengan mimik wajah yng serasi dan senada. Fungsi afeksi lebih banyak menggunakan suasana kejiwaan dari orang tua. e. Fungsi Religius Fungsi
Religius
berkaitan
dengan
kewajiban
orang
tua
untuk
mengenalkan, membimbing, memberi teladan dan melibatkan anak serta anggota keluarga lainnya mengenai kaidah-kaidah agama dan perilaku keagamaan. Fungsi ini mengharuskan orang tua, sebagai seorang tokoh inti panutan dalam keluarga, untuk menciptakan iklim keagamaan dalam kehidupan keluarga. Sehingga tercipta keteladanan yang baik dalam keluarga. f. Fungsi Ekonomis Fungsi ini menunjukan bahwa keluarga merupakan kesatuan ekonomis. Aktivitas dalam fungsi ekonomis berkaitan dengan pencarian nafkah, pembinaan usaha, dan perencanaan anggaran biaya, baik penerimaan maupun pengeluaran biaya keluarga. Pelaksanaan fungsi ini oleh dan untuk keluarga dapat
19
meningkatkan pengertian dan tanggng jawab bersama para anggota keluarga dalam kegiatan ekonomi. Pada gilirannya, kegiatan dan status ekonomi kelarga akan mempengaruhi, baik harapan orang tua terhadap masa depan anaknya maupun harapan anak itu sendiri. g. Fungsi Rekreasi Fungsi tidak harus dalam bentuk kemewahan, serba ada, dan pasta pora, melainkan melalui penciptaan suasana kehidupan yang tenang dan harmonis di dalam keluarga. Suasanan rekreasi akan dialami oleh anak dan anggota keluarga lainnya apabila dalam kehidupan keluarga itu terdapat perasaan damai, jauh dari ketegangan batin, dan pada saat-saat tertentu memberikan perasaan bebas dari kesibukan sehari-hari. Di samping itu, fungsi rekreasi dapat diciptakan pula di luar rumah tangga, seperti mengadakan kunjungan sewaktu-waktu ke tempat-tempat yang bermakna bagi keluarga. h. Fungsi Biologis Fungsi biologis keluarga berhubungan dengan pemenuhan kebutuhankebutuhan biologis anggota keluarga. Diantara kebutuhan biologis ini ialah kebutuhan akan keterlindungan fisik guna melangsungkan kehidupannya; keterlindungan kesehatan, keterlindungan dari rasa lapar, haus, kedinginan, kepanansan, kelelahan, bahkan juga kenyamanan dan kesegaran fisik.termasuk juga kebutuhan biologis ialah kebutuhan seksual. Dalam keluarga antara suami dan isteri. Kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan wajar dan layak dalam hbungan suami isteri dalam keluarga. Kebutuhan ini sering berjalinan dengan keinginan
20
untuk mendapat keturunan, yang hanya dapat dipenuhi secara wajar di dalam keluarga. Berdasarkan beberapa penjelasan tentang peranan orang tua di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan perannya para orang tua melaksanakan berbagai fungsi. Sudah barang tentu dalam pelaksanaan fungsi tersebut sangat tergantung pada situasi dan kondisi keluarga masing-masing. Karena setiap keluarga mempunyai perbedaan dalam kehidupan masyarakat. Dan jelas pula bahwa keluarga merupakan tempat anak memperoleh ketenangan, ketentraman, perlindungan, dan sebagainya. Di dalam keluarga pula akan terbentuk kepribadian anak sebagai insan yang manusiawi, yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk menjadi insan manusiawi dan bertaqwa, keluarga tidak hanya mewujudkan/melakukan salah satu fungsi saja melainkan keseluruhan fungsi-fungsi tersebut, karena fungsi yang satu berkaitan dengan fungsi yang lainnya.
3. Pola asuh orang tua Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:885) pola berarti sistem; cara kerja, sedangkan asuh (2005: 73) berarti membimbing (membantu, melatih, dsb) supaya dapat berdiri sendiri (orang atau negeri). Dalam penelitian ini, pola asuh yang dimaksud adalah pola asuh orang tua. Menurut Syaodih (1999:9) dalam Tarigan (2008: 22) pola asuh orang tua adalah suatu bentuk kegiatan merawat, memelihara dan membimbing yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya agar dapat mandiri, tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal.
21
Penulis sendiri menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pola asuh orang tua adalah cara atau penerapan yang dilakukan orang tua dalam merawat dan membimbing anak-anaknya dalam membentuk kepribadian anak agar anak kelak menjadi manusia dewasa yang mandiri dan penuh tanggung jawab dalam menjalani kehidupannya. Terdapat berbagai gaya pengasuhan yang ditampilkan oleh orang tua pada waktu mengasuh anaknya. Gaya pengasuhan yang berbeda pada setiap orang tua akan mempengaruhi perkembangan sosial dan kepribadian anak kelak. Seperti yang diungkapkan oleh Aswin Hadis (1997:138-140), tentang berbagai gaya pengasuhan orang tua, diantaranya: 1. Otoriter. Yaitu gaya pengasuhan yang ditandai oleh kontrol yang ketat dan tiadanya keterlibatan orang tua. Orang tua semacam ini adalah orang tua yang keras dalam arti yang tradisional dan kuno: mereka mereka membuat aturanaturan yang harus dipatuhi oleh anak tanpa boleh mendiskusikan atau membantahnya. Pelanggaran akan dikenai hukuman dan tidak ada perdebatan mengenai peraturan yang berlaku. Kerja keras, respek terhadap orang tua, dan kepatuhan adalah hal yang ingin ditanamkan oleh orang tua otoriter kepada anaknya. Antara orang tua dan anak hampir tidak ada saling memberi dan menerima karena orang tua yang otoriter tidak mau mengimbangi tuntutannya kepada anak dengan kebutuhan atau keinginan anak. 2. Otoritatif. Yaitu gaya pengasuhan dimana orang tua melakukan kontrol kepada anak tetapi tidak terlalu ketat. Pada umumnya orang tua yang otoratif adalah orang tua yang tegas namun mau memberikan penjelasan mengenai aturan yang diterapkan dan membuka kesempatan untuk mendiskusikannya. Orang tua juga paham bahwa anak mempunyai kebutuhan dan keinginan dan biasanya mereka tanggap terhadap hal tersebut bila keinginan dan kebutuhan itu masuk akal dan mungkin dilaksanakan. 3. Pemurah-permisif. Gaya ini disebut pemurah dan permisif, karena orang tua yang tergolong demikian adalah orang tua yang memberikan kebebasan kepada anak untuk bergerak, tidak terlalu menuntut atau melarang anak. Orang tua yang pemurah-permisif adalah orang tua yang hangat, suka merawat, dan terlibat dengan anak, tetapi tetap mengontrol anak walaupun tidak terlalu ketat. Mereka umumnya toleran terhadap perilaku anak dan jarang menghukum anak. 22
4. Tak perdulian-tak terlibat. Suatu gaya dimana orang tua sedikit sekali memenuhi kebutuhan fisik maupun kebutuhan emosi anak. Mereka umumnya tidak mau memberi lebih dari kebutuhan minimal yang diperlukan oleh anak, malahan mereka cenderung mengurangi kesempatan untuk bergaul dengan anak dan mengurangi berbagai upaya yang berkaitan dengan anak. Mereka membuat jarak psikologis dengan anaknya. Keempat gaya pengasuhan yang dikemukan oleh Aswin Hadis tersebut jelas terlihat bahwa terdapat macam-macam gaya pengasuhan yang ditampilkan oleh orang tua dalam mengasuh anak-anaknya tergantung dari kondisi dan keadaan orang tua. Gaya pengasuhan orang tua akan memberikan dampak terhadap anak untuk menumbuhkan kepribadiannya. Disinilah pentingnya gaya pengasuhan yang sesuai dengan kondisi keluarga agar terciptanya citra diri anak yang baik pula. Cara anak diperlakukan oleh orang tua baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan bermasyarakat akan memberikan andil yang besar dalam kehidupan anak dimasa yang akan datang. Dari keempat gaya pengasuhan yang diungkapkan oleh Fawzia Aswin Hadis di atas, yang paling penulis rasa baik adalah gaya pengasuhan yang otoratif, karena orang tua yang otoratif cenderung mempunyai anak yang bertanggung jawab, percaya diri, dan ramah.
B. Tinjauan Umum tentang Kedisiplinan 1. Pengertian Disiplin/Kedisiplinan Secara etimologis, istilah kedisiplinan berasal dari kata discipline yang artinya pengikut atau penganut, yakni seorang yang belajar dari atau secara sukarela mengikuti seorang pemimpin. Dalam kehidupan sehari-hari istilah
23
kedisiplinan biasanya dikaitkan dengan keadaan yang tertib, maksudnya suatu keadaan dimana perilaku seseorang mengikuti pola-pola tertentu yang telah ditetapkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:268) disiplin berarti ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan (tata tertib, dsb). Menurut Anwar Yasin (1987: 23) sebagaimana yang dikutif oleh Lina F.R (2006: 32) disiplin digunakan dalam beberapa pengertian, diantaranya: a. Kepatuhan terhadap peraturan atau tunduk pada pengawasan atau pengendalian. b. Latihan yang bertujuan mengembangkan watak agar dapat mengendalikan diri, berperilaku tertib dan efisien. c. Suatu sistem peraturan atau metode mengenai cara berperilaku d. Hukuman atau koreksi terhadap seseorang yang melanggar peraturan, yang dilakukan melalui atau dengan jalan mendera e. Hasil latihan (pengendalian diri) perilaku tertib. Definisi lain juga diungkapkan oleh Amierudin Syarif (1983: 21), yang memberikan pengertian disiplin sebagai berikut: Disiplin adalah suatu ketaatan yang sungguh-sungguh di dukung oleh kesadaran untuk menunaikan tugas dan kewajiban serta perilaku sebagaimana mestinya menurut aturan-aturan tata kelakuan yang seharusnya berlaku didalam suatu lingkungan tertentu. Dari definisi-definisi yang telah dipaparkan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa disiplin berarti konsisten, mengikuti dan patuh pada peraturan termasuk patuh pada norma-norma yang berlaku di sekitarnya. Disiplin biasanya dipahami sebagai perilaku dan tata tertib yang sesuai dengan peraturan dan ketetapan atau perilaku yang diperoleh dari pelatihan. Menurut Indrakusumah (1997: 239) perilaku disiplin berarti adanya kesediaan untuk mematuhi peraturan atau larangan-larangan kepatuhan bukan karena adanya kesadaran tentang nilai dan pentingnya peraturan dan larangan tersebut.
24
Sedangkan menurut Hurlock (1990: 82) bahwa: Disiplin itu berasal dari kata “discipline” seorang yang belajar atau sukarelawan yang mengikuti seorang pemimpin. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa ada dua konsep mengenai disiplin, yaitu disiplin yang positif dan disiplin yang negatif. Disiplin yang positif yaitu sama artinya dengan pendidikan dan bimbingan, yaitu yang menekankan perkembangan dari dalam (inner growth) yang berikutnya disebut “self discipline” dan “self control”. Dari penjelasan di atas, disiplin yang positif ini mengarahkan kepada motivasi diri dalam diri sendiri. Sedangkan disiplin yang negatif yaitu yang berhubungan dengan kontrol seseorang berdasarkan otoritas dari luar yang biasa dilakukan secara terpaksa dan dengan cara yang kurang menyenangkan atau takut hukuman (punishment). Lindgren (Syamsu Yusuf L. N., 1989:21) dalam Lina F.R (2006:31) mengemukakan bahwa ada tiga pengertian mengenai disiplin, yaitu: a. Punishment (hukuman) Hal ini berarti bahwa anak perlu dihukum (bila salah) b. Control by enforcing obedience or orderly conduct Hal ini berarti seseorang itu memerlukan orang lain yang mengotrol, mengarahkan dan membatasi tingkah laku. Dalam hal ini individu dipandang tidak mampu mengarahkan, mengontrol, dan membatasi tingkah lakunya sendri. c. Training that correct and strengthens Implikasi dari pengertian ini adalah bahwa tujuan disiplin itu “self discipline” (disiplin diri) dalam arti bahwa tujuan latihan adalah
25
memberikan kesempatan kepada individu untuk melakukan sesuatu berdasarkan pengarahan dan kontrol diri. Dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwa disiplin itu tidak terbentuk secara seketika, melainkan diperlukan suatu proses yang cukup lama dan berkelanjutan. Oleh karena itu untuk menumbuhkan disiplin pada anak perlu dibina dan dipupuk terus menerus sehingga pada akhirnya mereka mampu membentuk disiplin dirinya. Disiplin adalah suatu pembatasan yang dikenakan kepada anak. Disiplin juga merupakan upaya untuk membekali anak dengan berbagai pengetahuan tentang batasan-batasan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap anggotanya. Pembatasan ini berbentuk larangan-larangan, pantangan, serta ketentuan-ketentuan yang berasal dari lingkungan (keluarga, masyarakat dekat dan masyarakat dunia). Yang harus ditaati jika seseorang ingin tumbuh menjadi anggota masyarakat yang diterima oleh lingkungannya dan menjadi manusia yang beradab. Karena itu menurut Hoffman dan Parker (2006: 132), perkembangan moral anak erat hubungannya dengan kegiatan mendisiplinkan anak. Orang tua dan guru selalu memikirkan cara tepat menerapkan disiplin bagi anak sejak mereka balita hingga masa kanak-kanak dan sampai usia remaja. Tujuan disiplin adalah mengarahkan anak agar mereka belajar mengenai hal-hal baik yang merupakan persiapan bagi masa dewasa, saat mereka sangat bergantung kepada disiplin dirinya. Diharapkan, kelak disiplin diri mereka akan membuat hidup mereka bahagia, berhasil dan penuh kasih sayang. Kapan dan bagaimana cara menerapkan disiplin sangat bervariasi, bergantung pada tahap perkembangan
26
dan tempramen masing-masing anak. Meski norma-norma yang berlaku dalam keluarga menentukan arah perkembangan anak, susunan genetik saat anak lahir sangat menentukan temperamen, besarnya energi serta kemampuan anak. Tentu saja lingkungan sekolah, teman dan saudara juga memberi pengaruh bagi disiplin anak dengan semakin bertambahnya usia mereka. Meskipun demikian, ada penerapan disiplin yang berlaku umum, yang berlaku bagi semua usia dan kepribadian. Prioritas utama adalah mendidik anak secara positif, kedua bersikap tegas ketika sesekali anak memberontak. Pada hakekatnya disiplin adalah membiasakan diri kearah pola hidup yang lebih baik dalam rangka mencapi tujuan yang diinginkan. Kedisiplinan dapat diterapkan dalam belajar, bekerja, berolahraga, beristirahat, bermain, dan aktivitas lainnya. Sementara itu disiplin dapat diterapkan dalam segi mental seperti menjaga keimanan dan ketaqwaan terhadap Yang Maha Esa, ikhlas beramal, rela menolong sesama, tidak berbohong serta berkorban bagi kepentingn masyarakat, bangsa dan negara.
2. Bentuk-bentuk Disiplin Dalam rangka pengasuhan dan pendidikan anak, ada beberapa bentuk disiplin menurut Aswin Hadis (146) yang biasa diterapkan oleh orang tua, yaitu: a. Disiplin dengan pemaksaan Disiplin dilaksanakan dengan cara memberikan hukuman fisik, mengurangi pemberian materi, membatasi privilese, menggunakan pemaksaan dan kekuasaan secara langsung, atau berupa ancaman untuk melaksanakan hal-hal tersebut diatas. Dengan menggunakan teknik disiplin tipe ini, berarti orang tua berusaha mengontrol anak dengan cara menggunakan kekuatan fisik atau mengontrol anak melalui kekuasaan yang dimilikinya untuk membatasi pemberian materi kepada anak disini orang tua tidak menggunakan sumber-sumber internal
27
yang dimiliki anak, seperti rasa salah, rasa malu, ketergantungan, rasa sayang atau rasa hormat. Orang tua juga tidak membekali anak dengan keterangan-keterangan yang dapat dipergunakan oleh anak untuk mengarahkan dirinya dalam penggunaan sumber-sumber yang bersifat internal tersebut. Jadi, dengan disiplin semacam ini, yang dilakukan oleh orang tua adalah memberikan hukuman fisik atau membatasi pemberian materi kepada anak, selain juga mengandalkan ketakutan anak akan hukuman semacam itu. b. Disiplin tanpa pemaksaan Bentuk disiplin ini lebih bervariasi. Yang difokuskan disini adalah konsekuensi disiplin terhadap perilaku anak. Ada dua teknik disiplin yang tergolong jenis ini yaitu: 1). Teknik disiplin yang berbentuk cinta-menolak Disini orang tua secara langsung memperlihatkan kemarahan atau ketidaksenangan mereka terhadap perilaku anak yang kurang baik atau yang tidak dapat diterima oleh orang tua. Orang tua tidak memberikan hukuman fisik, melainkan memakai cara mengabaikan anak, pura-pura tidak melihat, membelakangi anak, menolak untuk berbicara dengan anak ataupun mendengarkan mereka. Bisa juga dengan cara memperlihatkan ketidaksenangan, mengisolasi, atau mengancam untuk meninggalkan anak. Walaupun tidak berbetuk hukuman fisik dan pembatasan materi, tetapi efeknya lebih terasa. Hukuman jenis ini secara emosional lebih merusak daripada yang pertama, karena didalamnya ada unsur mengabaikan dan mengancam anak dipisahkan dari orang tua. Keadaan ini lebih menakutkan bagi anak dan akan meninggalkan luka di hati mereka yang tidak dapat diperkirakan berapa lama akan tetap membekas. Lagipula teknik ini sangat bervariasi. Dibandingkan dengan teknik “disiplin dengan pemaksaan”, teknik “cinta-menolak” ini lebih lama membekas di hati anak. 2). Teknik disiplin yang berbentuk perbawa Yaitu teknik mendisiplinkan anak dengan cara memberi penjelasan atau alasan mengapa anak harus mengubah tringkah laku mereka. Caranya adalah dengan memberikan contoh dalam bentuk cerita, baik fiktif maupun kejadian sebenarnya, serta mengemukakan konsekuensi dari perbuatan salah itu bagi si anak maupun bagi orang lain. Teknik ini tidak terlalu menghukum anak dibandingkan dengan kedua teknik disiplin sebelumnya. Lagi pula teknik ini lebih berupa upaya untuk meyakinkan dan menumbuhkan kepercayaan pada diri anak tentang mengapa perilaku yang buruk itu harus diubah dan disesuaikan dengan aturan yang berlaku. Memberi disiplin dengan cara ini dianggap lebih sejalan dengan kondisi internal anak yaitu adanya “kehendak untuk menyesuaikan diri dengan peraturan” yang ada di dalam diri mereka sendiri atau yang diperkirakan secara potensial ada dalam diri mereka. Cara ini mengurangkan rasa takut anak akan hukuman, selain juga lebih menekankan kepada kemapuan kognitif mereka. Anak dibiasakan untuk berpikir mengapa perbuatan itu salah dan mengapa harus dihindari. Lagi pula dengan cara ini orang tua memberi kesempatan pada anak untuk mengontrol
28
sendiri perilaku mereka, sedemikian rupa sehingga sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bentuk-bentuk disiplin yang dikemukakan oleh Aswin Hadis tersebut, yang penulis rasa paling baik yaitu bentuk disiplin tanpa pemaksaan dengan teknik disiplin yang berbentuk perbawa. Dengan menggunakan bentuk disiplin seperti itu, maka orang tua secara tidak langsung melatih anak untuk bisa menentukan perbuatan mana yang baik dan tidak baik, dan menjadikan anak lebih percaya diri dan jika melakukan sesuatu akan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Untuk membantu pembentukan disiplin anak, penulis melihat banyak hal yang dapat dilakukan oleh orang tua, yang penulis kutip dari http//www.epsikologi.co.id, antara lain: 1. Kenalkan sejak dini keteraturan dan disiplin keluarga pada anak 2. Buatlah suasana menyenangkan ketika mengajarkan disiplin pada anak, sehingga anak memiliki kesan yang indah ketika melakukan tugasnya 3. Aturan yang diberlakukan hendaknya disesuaikan dengan usia anak. 4. Berikan penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) yang tepat. 5. Segeralah memberikan tindakan ketika anak melakukan kesalahan, sehingga anak dapat memahami pada saat itu juga. 6. Janganlah melakukan hukuman fisik ketika anak melanggar aturan. 7. Terakhir namun merupakan yang terpenting, berilah contoh yang baik kepada anak. Jagalah konsistensi antara orangtua dan pengasuh atau lingkungan sekitarnya, misalnya anak harus tidur siang, tetapi ternyata pengasuh atau nenek kakek malah mengajaknya bermain.
29
3. Jenis-jenis Disiplin Terdapat tiga cara yang umum digunakan untuk mendisiplinkan anak-anak dan remaja yang dikemukakan oleh Hurlock (1980: 125), yaitu: 1. Disiplin otoriter, merupakan bentuk disiplin tradisional. Dalam disiplin yang bersifat otoriter, orang tua dan pengasuh menetapkan peraturanperaturan dan memberitahukan anak bahwa ia harus mematuhi perturanperaturan tersebut. Tidak ada usaha untuk menjelaskan pada anak, mengapa ia harus patuh dan padanya tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat tentang adil tidaknya peraturan-peraturan atau apakah peraturan-peraturan itu masuk akal atau tidak. Kalau anak tidak mengikuti peraturan, ia akan dihukum yang seringkali kejam dank eras dan yang dianggap sebagai cara untuk mencegah pelanggaran peraturan di masa mendatang. Anak juga tidak diberikan hadiah karena telah mematuhi peraturan, hal ini dianggap sebagai kewajibannya dan tiap pemberian hadiah dipandang dapat mendorong anak untuk mengharapkan sogokan agar melakukan sesuatau yang diwajibkan masyarakat. 2. Disiplin yang lemah, disiplin yang lemah berkembang sebagai proses terhadap disiplin otoriter yang dialami oelh banyak orang dewasa dalam masa kanak-kanaknya. Filsafat yang mendasari teknik disiplin ini adalah bahwa melalui akibat dari perbuatannya sendiri anak akan belajar bagaimana berprilaku secara sosial. Dengan demikian anak tidak diajarkan peraturan-eraturan, ia tidak dihukum karena sengaja melanggar peraturan, juga tidak ada hadiah bagi anak yang berprilaku sosial baik. banyak orang dewasa saat ini yang cenderung meninggalkan bentuk disiplin itu karena tidak berhasil memenuhi tiga unsur penting dari disiplin. 3. Disiplin demokratis, kecenderungan untuk menyenangi disiplin yang berdasarkan prinsi-prinsip demokratis sekarang meningkat. Prinsip demikian menenkankan hak anak untuk mengetahui mengapa peraturanperaturan dibuat dan memperoleh kesempatan mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil. Sekalipun anak masih sangat muda tetapi daripadanya tidak diharapkan perilaku patuh yang buta-butaan. Diusahakan agar anak mengerti apa arti peraturan-peraturan dan mengapa kelompok social mengharapkan anak mematuhi peratura-peraturan itu. Dalam disiplin yang demokratis hukuman “disesuaikan denga kejahatan” dalam arti diusahakan agar hukuman yang diberikan berhubungan dengan kesalahan perbuatannya, tidak lagi diberi hukuman badan. Penghargaan terhadap usaha-usaha untuk menyesuaikan dengan harapan social yang tercaku dalam peratranpraturan dierlihatkan melalui pemberan hadiah terutama dalam bentuk pujian dan pengakuan sosial.
30
Dari ketiga jenis disiplin yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menyimpulkan, bahwa semua jenis disiplin yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya mempunyai tujuan yang sama, yaitu agar anak bisa hidup dengan kebiasaan disiplin yang baik, yang teratur. Tetapi dari ketiga disiplin tersebut, penulis cenderung lebih memilih disiplin demokratis, karena anak terlibat dan mengerti dalam pembuatan peraturan yang ditentukan orang tua demi kebaikan anaknya juga.
4. Langkah-langkah Penanaman Disiplin Disiplin harus ditanamkan dan ditumbuhkan di hati anak-anak, sehingga akhirnya disiplin itu akan tumbuh dari hati sanubari anak itu sendiri. Indrakusuma (1973: 143) mengemukakan langkah-langkah menanamkan disiplin pada anak, yang intinya adalah sebagai berikut: a. Pembiasaan Anak harus dibiasakan untuk melakukan segala sesuatu dengan tertib dan teratur, misalnya berpakaian dengan rapi, masuk ke ruang kelas dengan teratur. Nampaknya hal ini remeh dan sepele, tetapi sebenarnya akan berpengaruh besar terhadap kebiasaan-kebiasaan akan ketertiban dan keteraturan dalam hal-hal lain. b. Contoh dan Tauladan Guru dan orang tua harus selalu merupakan contoh dan tauladan bagi anak. Jangan menyuruh anak untuk melakukan sesuatu, tetapi dirinya sendiri tidak melakukannya. Hal yang demikian akan menimbulkan rasa tidak adil di hati anak, rasa hendak memprotes, rasa tidak senang dan tidak ikhlas melakukan sesuatu
31
yang dibiasakan untuknya. Hal ini akan berakibat bahwa pembiasaan itu tetap akan dirasa sebagai pembiasaan yang dipaksakan dan sulit akan menjadi disiplin yang tumbuh dari dalam. c. Penyadaran Disamping adanya pembiasaan yang disertai dengan contoh dan tauladan, terhadap anak yang yang sudah mulai kritis pikirannya sedikit demi sedikit harus diberikan penjelasan tentang pentingnya peraturan-peraturan itu diadakan. Anak lambat laun harus menyadari nilai dan fungsi dari peraturan-peraturan itu, apabila kesadaran itu telah timbul, berarti telah mulai tumbuh disiplin diri sendiri pada anak. d. Pengawasan Harus dipahami bahwa apabila terdapat kesempatan untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan peraturan, seorang anak akan cenderung untuk melakukan perbuatan itu. Disinilah letak pentingnya pengawasan orang tua sedini mungkin, untuk mencegah terjadinya sesuatu yang tidak dihapkan muncul pada perilaku anak. Untuk memperkuat kedudukan dari pengawasan, maka dapat diikuti dengan adanya hukuman-hukuman bilamana dirasakan perlu. Dalam usaha menanamkan disiplin pada anak tersebut, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, antara lain sebagai berikut: 1. Menyadari adanya perbedaan tingkatan kemampuan kognitif anak sesuai dengan azas perkembangan aspek kognitif, maka cara-cara yang dipergunakan perlu disesuaikan dengan tingkatan kemampuan kognitif ini. Menanamkan disiplin tidak lepas dari memberikan pengertian-pengertian dan karena itu harus disesuaikan dengan tahapan perkembangannya. 2. Menanamkan disiplin terhadap anak harus dimulai sedini mungkin, yakni sejak anak mulai mengembangkan pengertian-pengertian dan mulai bisa melakukan sesuatu sendiri.
32
3. Dalam usaha menanamkan disiplin perlu dipertimbangkan agar mempergunakan teknik demokratis sebanyak mungkin. Pendekatan yang berorientasi pada kasih sayang harus dipakai sebagai dasar untuk menciptakan hubungan dengan anak. Sikap afeksional dari orang tua harus dirasakan oleh anak agar tidak merasa dipaksa untuk berbuat sesuatu di luar kemauannya. 4. Penggunaan hukuman harus diartikan sebagai sikap yang tegas, konsekuen dan konsisten dengan dasar bahwa yang dihukum bukan si anak atau perasaan anak melainkan perbuatannya yang melanggar peraturan. Hukuman harus sesuai dengan corak kesalahan yang dilakukan, tidak bersifat pribadi, fisik atau mengancam dan menakut-nakuti. 5. Menanamkan disiplin bukan kegiatan “sekali jadi”, melainkan harus berkali-kali. Melatih dan mendorong perlu dilakukan berulang-ulang sampai tercapai keadaan dimana anak bisa melakukan sendiri sebagai kebiasaan. Kesabaran dan ketekunan orang tua untuk mengawasi dan mengingatkan sangat diperlukan, disamping perlunya memperhatikan keadaan-keadaan khusus yang berbeda antara satu masa berikutnya atau berbeda antara satu anak dengan anak lain. Tujuan akhir dari penanaman disiplin pada anak adalah terciptanya dalam diri anak pengendalian diri. Kemampuan untuk mengendalikan diri adalah suatu hal yang sangat penting, karena dengan adanya pengendalian diri maka akan timbul dari dalam dirinya unuk mentaati peraturan. Pembentukan sikap pengendalian diri ini tidak dapat diciptakan dalam waktu yang singkat, tetapi harus terus menerus dipupuk sejak masih kecil, terutama melalui kebiasaan yng terbenuk dirumah. Jadi, penanaman kedisiplinan itu harus diterapkan sedini mungkin kepada anak guna terciptanya lingkungan yang baik, teratur, sejalan, dinamis dan harmonis. Setelah membahas mengenai langkah-langkah penanaman disiplin, menurut Parker (2006: 149) ada beberapa macam gaya kedisiplinan yang pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalan tiga tipe, yaitu: Otokratik, Demokratik, dan Permisif.
33
a. Gaya kedisiplinan Otokratik Gaya otokratik biasanya dihubungkan dengan rezim tradisional yang berpusat pada orang dewasa (adult centered) dimana di sana ditetapkan banyak aturan yang kaku, tanpa banyak diskusi, yang pada umumnya bernada negatif. Rumah cenderung menjadi sebuah wilayah yang sangat terorganisir dan orang tua menjadi sebuah penguasa tertinggi. Pada tataran yang paling baik, model otokratik bisa menawarkan sebuah rezim yang sangat aman dan terlindung, tetapi yang paling buruk ia bisa menjadi sangat sewenang-wenang. Aturan-aturan baru bisa diberlakukan tanpa ada tanda peringatan atau tanpa justifikasi yang bisa diterima atau mengacu kepada kriteria keadilan dan kejujuran, jika aturan itu dipandang cocok oleh orang dewasa. Orang dewasa menentukan apa-apa yang boleh dikerjakan anak. Membuat kesalahan yang sangat penting bagi perkembangan kreativitas, fleksibilitas dan kemandirian tidak dipandang sebagai penyimpangan dari atau kegagalan dalam memenuhi standar, namun lebih sebagai tindakan yang tidak bisa diterima dan karenanya sangat mungkin akan mendapat hukuman. b. Gaya kedispilinan Permisif Dalam keluarga yang bergaya permisif, yang berpusat kepada anak, tidak ada batasan yang jelas. Anak menuruti kemauannya sendiri dan berkuasa. Orang tua tidak memiliki kekuatan atau pun otoritas. Di sini, batasan mengalami perubahan dan modifikasi terus menerus. Tidak ada konsistensi. Anak akan menguji batas-batas itu dan akan selalu berjalan lebih jauh, berusaha menemukan di mana batas itu berada. Anak-anak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Daripada memberinya rasa otonomi yang sehat dan kemampuan mengendalikan dirinya sendiri, pendekatan ini jujur akan membuatnya merasa mampu mengendalikan orang dewasa. Kekuasaan yang berlebihan ini tidak hanya akan membuatnya merasa tidak bahagia dan tidak aman, tetapi juga sangat sedikit mengajarkan tentang siapa dirinya. Melakukan segala hal sesuai dengan keinginan anak tidak akan mengajarkan kepadanya untuk menentukan skala prioritas dan mengembangkan sebuah penilaian. c. Gaya kedisiplinan Demokratis Gaya kedisiplinan ini menentukan batasan-batasan dalam jumlah yang lebih sedikit, tegas tetapi fleksibel di mana di dalamnya ada saling penghargaan dan kebebasan untuk menggali lebih dalam dan melakukan kesalahan. Aturanaturannya tidak hanya bersifat negatif tetapi mendefinisikan hak dan kewajiban dan orang tua lebih bersandar kepada otoritas natural daripada piranti kekuasaan. Kerangka dasar kehidupan keluarga bisa diprediksikan, tetapi ada kebebasan dalam aturan-aturan itu yang tidak berpusat pada orang dewasa. Sebaliknya, mereka mendefnisikan hak dan tanggung jawab setiap orang dalam sebuah unit sosial. Batas-batas itu bisa berubah ketika diperlukan dan dirasa lebih tepat tetapi hanya setelah melalui diskusi, oleh karena itu perubahan tidak tampak sewenangwenang.
34
Dari pemaparan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang menerapkan gaya kedisiplinan otokratik ini mungkin mampu bergabung dalam masyarakat. Tetapi keberadaannya hanya melakukan apa yang diperintahkan kepadanya, berada di bawah kekuasaan dan ketidakmampuan untuk berinisiatif, yang akan mengajarkan kepadanya apa-apa yang bisa mereka lakukan, akan menghambat perkembangan kedisiplinan diri dan merusak kemampuan untuk menjadi orang kreatif dan fleksibel. Anak semacam ini akan dipenuhi oleh rasa keraguan dan bisa menjadi seorang yang yang berlaku otoriter juga seperti orang tuanya untuk menutupi dirinya. Dalam gaya kedisiplinan permisif seperti yang telah dipaparkan, anak tidak terdorong untuk mengembangkan sensitivitas terhadap kebutuhan orang lain. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri dan belajar menguasai untuk memenuhi kepentingannya dan mengabaikan orang lain. Anak tidak diajarkan untuk berbagi dan memikirkan orang lain. Mereka akan sulit bergabung dengan masyarakat, karena keegoisan yang dimilikinya. Sedangkan dalam gaya kedisiplinan demokratis anak dan orang tua belajar untuk saling menghargai. Anak juga lebih sensitif dan belajar untuk tidak egois dan mulai memikirkan kepentingan orang lain. Anak bisa bergabung dengan baik dalam masyarakat, anak bisa mengekspresikan diri dan mengembangkan kepercayaan dirinya dan keahliannya. Gaya kedisiplinan yang telah dipaparkan di atas, memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lainnya. Dari ke tiga gaya kedisiplinan yang ditunjukkan oleh Parker tersebut, penulis cenderung lebih menyukai gaya kedisiplinan
35
demokratis karena menurut penulis gaya kedisiplinan tersebut anak lebih dihargai sebagai seorang individu dalam keluarga dan dengan penerapan gaya kedisiplinan demokratis tersebut bisa membuat anak untuk lebih dapat mengembangkan kepribadiannya, anak juga bisa mengembangkan harga diri, kepercayaan diri, kemandirian, fleksibelitas dan membuat anak untuk bisa lebih bertanggung jawab dalam segala tingkah laku yang ditampilkannya.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disiplin Seseorang melakukan suatu kegiatan biasanya didorong atau dimotivasi oleh berbagai hal. Menurut Kamus Umum Indonesia karangan Poerwadarminta (1989: 655): “Motivasi berasal dari kata “motif”, artinya sebab-sebab yang menjadi dorongan atau tindakan seseorang”. Motivasi sebgai suatu kondisi atau kekuatan yang menggerakkan individu untuk mencapai suatu tujuan dari tingkat tertentu, atau dengan kata lain motif itu yang menyebabkan timbulnya semacam kekuatan agar individu itu bertindak atau bertingkah laku. Halimah (1996:3) mengemukakan bahwa: Motivasi dapat mendorong seseorang untuk melakukan berbagai aktivitas, sehingga berbagai kendala atau rintangan yang menghadang dapat teratasi. Hal ini dikarenakan motivasi merupakan faktor pendorong yang melekat pada diri seseorang untuk melakukan segala aktivitasnya. Motivasi tersebut bisa datang dari dalam dirinya sendiri, dalam arti tumbuhnya berbagai aktivitas tersebut semata-mata terdorong oleh niat yang datang dari diri yang bersangkutan. Dan ada juga yang berasal dari luar atau pengaruh dari luar. Dari penjelasan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi kedisiplinan itu adalah adanya suatu motivasi yang datang
36
dari dalam diri individu (motivasi intrinsik) dan motivasi yang datang dari luar atau pengaruh dari lingkungannya (motivasi ekstrinsik). a. Motivasi Instrinsik (Berasal dari dalam diri Individu) Motivasi yang datang dari dalam dirinya adalah suatu dorongan individu atas dasar kesadarannya sendiri untuk bertingkah laku atau melakukan sesuatu tanpa pengaruh dari luar. Menurut Halimah (1996: 7-8) bahwa: Motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi berfungsinya perilaku atau tindakan atau aktivitas seseorang tersebut tanpa adanya dorongan dari pihak lain, karena sudah ada dalam dirinya sendiri. Jadi daya penggerak yang ada dalam diri setiap individu itu tidak memerlukan rangsangan dari luar. Seseorang yang memiliki motivasi instrinsik dalam suatu hal, maka ia akan bersungguh-sungguh untuk melakukannya, sehingga akan mendapatkan hasil yang memuaskan dalam upaya mencapai tujuan dan cita-citanya. Hal ini menunjukkan pada kita, bahwa motivasi instrinsik itu timbul tanpa paksaan dari pihak manapun, sehingga apa yang oleh setiap individu tersebut dalam segala aktivitasnya dilakukan dengan penuh kesadaran. Oleh karena itu dalam bertingkah laku terutama dalam
berdisiplin, orang tua di rumah harus
mampu
membangkitkan kesadaran dalam diri anak atau motivasi instrinsik anak. b. Motivasi Ekstrinsik (Berada di luar Diri Individu) Motivasi ekstrinsik ini adalah faktor yang mempengaruhi kedisiplinan anak karena dorongan atau rangsangan dari luar diri anak contohnya adalah lingkungan, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
37
Sejalan dengan pendapat Eddi Kalsid (1987:6) yang mengemukakan pendapatnya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin yang intinya adalah sebagai berikut: a. Pendidikan di keluarga sebagai matra vertikal. Para orang tua diharapkan contoh atau menjadi panutan pelaksana norma b. Pendidikan di sekolah sebagai matra diagonal. Maka para guru diharapkan memberikan/menuntun siswa melalui pengayaan pengetahuan, penguasaan dan kemampuan analisis terhadap norma sehingga siswa mempunyai wawasan memadai tentang norma tersebut. c. Pendidikan di masyarakat sebagai matra horizontal diharapkan masyarakat dapat menjadi mitra bertukar pikiran dalam memajukan pendidikan. Sejalan dengan pendapatnya Somantri (1987:2) bahwa: Penumbuhan bibit unggul manusia yang berketahanan nasional itu dimulai dari pendidikan keluarga, dilanjutkan bersama-sama di sekolah disertai oleh pendidikan dalam kehidupan masyarakat dengan melalui cara-cara yang penuh disiplin. Mengacu pada pendapat yang dikemukakan di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa latihan disiplin pertama kali dilakukan di lingkungan keluarga, jadi perlakuan orang tua merupakan faktor pertama yang mempengaruhi disiplin seseorang. Orang tua sebagai penanggung jawab utama dalam pelaksanaan pendidikan keluarga merupakan guru pertama bagi anak-anak. Di samping orang tua mengajarkan disiplin pada anak, juga kepribadian orang tua seperti berbicara, cara menerapkan peraturan dan konsekuensinya, perasaan, motivasi akan memberikan warna terhadap pendidikan dalam keluarga. Hal-hal ini jarang disadari oleh orang tua, karena hanya orang tua yang menerapkan peraturan di rumah dan mengharuskan setiap anggota keluarga melaksanakannya. Dalam pendidikan di keluarga contoh dan perbuatan yang dilakukan oleh orang tua akan lebih besar dampaknya terhadap perkembangan anak. Hal ini
38
sesuai dengan pendapat ahli ilmu jiwa dan sosial Charles Schaefer (1996:16) yang dikutip oleh M. Ridwan (2007: 43) mengatakan bahwa “tenaga yang paling potensial untuk membuat anak itu menjadi makhluk sosial adalah dengan mengamati apa yang diperbuat oleh orang lain, istimewa orang tua”. Implikasi dari pernyataan di
atas, sebagai orang tua hendaklah
memberikan contoh dan teladan yang baik bagi anak-anaknya, karena contoh dan teladan dapat lebih efektif daripada kata-kata, karena teladan itu menyediakan isyarat-isyarat non verbal yang berarti menyediakan contoh yang jelas untuk ditiru, terlebih dari perilaku yang ditampilkan orang tua. Lingkungan pendidikan setelah keluarga adalah sekolah, tugas sekolah adalah melanjutkan pendidikan anak-anak yang telah dilakukan orang tua di rumah. Berhasil baik atau tidaknya pendidikan di sekolah, tergantung kepada dan dipengaruhi oleh pendidikan di dalam keluarga. Di samping itu, keberhasilan pendidikan di sekolah dipengaruhi oleh guru. Guru harus menyadari bahwa faktor dasar mendisiplinkan anak yaitu pengaruh kepribadian guru yang di persepsikan anak sewaktu mengajar. Kebanyakan dari anak-anak akan meniru dan mengikuti perintah dari guru yang mereka sukai, oleh sebab itu hendaknya guru bersikap menghargai dan menghormati siswa sebagai seorang teman, menghargai pendapat-pendapat mereka sehingga pada diri siswa timbul perasaan lebih dihargai dan merasa mempunyai harga diri yang lebih tinggi. Lingkungan yang terakhir dalam usaha pendidikan anak yaitu masyarakat. Manusia itu menurut pembawaannya adalah makhluk sosial, sejak dilahirkan bayi sudah termasuk ke dalam suatu masyarakat kecil yang disebut keluarga. Di dalam
39
keluarga terdapat tata tertib dan aturan-aturan yang tidak tertulis yang ditaati oleh anggota-anggota keluarga tersebut. Sejalan dengan perkembangannya, manusia akan memasuki lingkungan yang lebih luas yaitu masyarakat. Dalam kehidupan di masyarakat terdapat pula sejumlah norma yang harus dipatuhi, dengan adanya norma-norma tersebut akan memaksa dan mengikat semua anggota masyarakat tersebut untuk mematuhinya. Kondisi masyarakat yang mencerminkan adanya budaya tertib, patuh terhadap peraturan merupakan salah satu ciri bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang berbudaya dan berdisiplin.
C. Tinjauan Umum tentang Warga Negara yang baik 1. Pengertian Warga Negara Istilah warga negara, merupakan istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan bernegara. Karena dalam kehidupan sehari-haripun kita sering mendengar atau bahkan menyebutnya secara langsung dan hal ini menunjukan bahwa setiap orang mengetahui apa yang dimaksud dengan warga negara, maka dalam hal ini penulis akan menguraikan tentang pengertian dari warga negara itu sendiri. Warga negara terdiri dari kata warga dan kata negara, kata warga berarti anggota seperti dalam keluarga, organisasi, paguyuban dan lain-lain. Sedangkan negara berarti suatu bangsa. Istilah warga negara cenderung untuk menunjuk seseorang yang ada dalam suatu masyarakat dan suatu negara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 1268) warga mempunyai arti anggota (keluarga, perkumpulan, dsb), dan negara (2005: 777) berarti organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat.
40
Sementara itu, Ismaun yang dikutip oleh dalam Hafidz (2006:29) mengatakan bahwa “yang dimaksud warga negara Indonesia adalah semua orang baik pihak pribumi maupun pendatang yang disahkan oleh Undang-undang sebagai anggota (warga) negara Indonesia”. Definisi yang dikemukakan oleh Ismaun tersebut sesuai dengan Sri Wuryan (1999: 1.3) dalam modul PKN dan Kemasyarakatan, bahwa yang dimaksud dengan warga negara Indonesia menurut pasal 26 ayat (1) UUD 1945 adalah penduduk asli (pribumi) dan bangsa lain yang disyahkan dengan Undangundang sebagai warga negara. Berdasarkan pernyataan tersebut, penduduk asli yang dimaksud dalam pernyataan undang-undang yang telah diuraikan diatas, yakni penduduk asli Indonesia yang dahulunya digolongkan pada bumiputera. Golongan bumi putera ini tersebar dari berbagai pulau di Indonesia sebagai suku-suku bangsa dengan adat istiadat yang berbeda-beda. Sedangkan yang dimaksud dengan bangsa lain adalah peranakan Belanda, Tionghoa/Cina, Arab, dan Timur Asing lainnya yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Negara Republik Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada negara Republik Indonesia; serta berkedudukan di Indonesia berturut-turut 5 tahun di Indonesia dapat menjadi warga negara sebagaimana diatur dalam undang-undang. Selain itu, sesuai dengan pasal 1 UU No 22/1958 dinyatakan bahwa warga negara Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundangundangan dan atau perjanjian-perjanjian dan atau peraturan-peraturan yang
41
berlaku sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sudah dapat dikatakan menjadi warga negara Republik Indonesia. Mengingat beberapa persyaratan diantaranya seperti di atas telah ditetapkan dalam undang-undang, maka secara otomatis syarat-syarat tersebut mutlak harus dipenuhi. Selanjutnya baik warga negara Indonesia maupun orang asing dalam praktik kehidupan nyata administrasi sehari-hari haruslah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Selain itu, KTP merupakan identitas seseorang, di mana ia bertempat tinggal, dengan kata lain bahwa KTP menurut Sri Wuryan (1999: 1.3) memiliki fungsi antara lain: a. Menjelaskan di mana ia bertempat tinggal; b Sebagai penduduk yang terdaftar di RT dan RW; c Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Dari definisi-definisi tentang warga negara yang telah dipaparkan para ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud warga negara adalah sekelompok manusia yang tinggal dalam suatu wilayah negara dan merupakan anggota dari sebuah negara yang memiliki hak dan kewajiban yang harus dijalankan dengan baik dan penuh tanggung jawab.
2. Karakteristik Warga Negara yang Baik Sebagai elemen penting dari suatu negara, maka warga negara dituntut untuk mampu memiliki sejumlah karakteristik yang baik untuk dapat menopang berlangsungnya proses pembangunan. Gultom (1992: 2) dalam Rayyan (2001: 42) menyatakan bahwa ciri-ciri warga negara yang baik adalah sebagai berikut:
42
1. warga negara sebagai insan politik, yaitu warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya selaku warga negara, berjiwa demokrasi dan mampu berperan aktif dan bertanggung jawab 2. warga negara sebagai insan sosial, yaitu warga negara yang sadar akan dirinya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, memiliki solidaritas dan kesetiakawanan sosial. 3. warga negara sebagai insan budaya, yaitu warga negara yang mampu berdaya cipta dan budaya, mengembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri. 4. warga negara sebagai insan ekonomi, yaitu warga negara yang mampu menghasilkan barang, melaksanakan pola konsumsi yang tepat 5. warga negara sebagai insan agamis, yaitu warga negara yang taat menjalankan ibadah dan kepercayaan masing-masing 6. warga negara sebagai insan pembela negara, yaitu warga negara yang bersedia ikut serta dalam pembelaan dari hambatan, gangguan, tantangan dan ancaman yang datangnya baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Hubungannya dengan hak dan kewajiban warga negara, Udin Syaripudin yang dikutip Rayyan (2001: 43) mengemukakan kriteria warga negara yang baik menurut PPKn adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berpikiran toleran mengetahui dan melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara mampu menghargai pendapat orang lain, walaupun berbeda pendapatnya dengan kita berkeinginan untuk maju bijaksana dalam segala lapangan berpikir kritis, bertindak dan bersikap kreatif memiliki sifat kemanusiaan, berani berdasarkan kebenaran dan keadilan mentaati segala peraturan dan melaksanakan hukum negara. Sedangkan warga negara yang baik itu menurut Darwis (2003:8) pada
dasarnya adalah setiap orang yang memiliki kesadaran hukum dan terikat oleh peraturan perundang-undangan sebagai warga negara serta mampu menampilkan perilaku kewarganegaraannya (hak dan kewajiban) sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan tersebut. Kesadaran hukum yang harus dimiliki seperti diungkapkan Darwis di atas tidak lain adalah pencerminan nlai-
43
nilai kesadaran hukum itu sendiri dalam wujud kepatuhan dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Lebih jauh Darwis (2003: 38) merinci karakteristik warga negara yang baik dalam konteks lingkungan hukum Indonesia, diantaranya adalah: 1. warga negara yang berorientasi ke atas, yaitu mampu menginternalisir dan mengaktualisasikan nilai-nilai Ketuhanan YME, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang pola ucap dan pola tindaknya selalu dalam rangka mencari keridhoan Allah SWT. 2. menghargai hak asasi manusia, sebagai wujud penghormatan derajat kemanusiaan universal 3. memiliki wawasan yang memadai terhadap mekanisme penegakan hukum 4. sadar dan taat hukum sebagai wujud kepatuhan hukum 5. memberikan dukungan positif bagi tegaknya hukum 6. ikut serta mewujudkan suasana tertib hukum dalam masyarakat 7. ikut serta dalam menegakan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hukum yang didasari keadilan dan kebenaran dalam masyarakat.
Cogan yang dikutip oleh Djahiri (2002: 92) memiliki pandangannya sendiri tentang ciri-ciri warga negara yang baik, yang menurutnya warga negara yang baik adalah warga negara yang minimal harus memiliki indikator-indikator sebagai berikut: 1. Rasa kepribadian atau jati diri mandiri (a sense of identity) 2. Rasa nikmat atas sejumlah haknya baik legal, political, sosio economical rights dan mampu menjalankannya secara baik dan benar 3. Rasa tanggung jawab akan kewajiban-kewajiban (obligation) yang menjadi keharusannya. 4. Minat dan keterlibatan akan public affairs (kepentingan umum) 5. Kemampuan untuk menyerap atau menerima nilai-nilai dasar kemasyarakatan (basic societal values). Indikator warga negara yang baik yang dikemukakan Cogan tersebut, pada prinsipnya memiliki kesamaan pandang dengan Lickona (winataputra: 1992:22) yang dikutip Sofian Hadi (2005: 71) yang berasumsi bahwa karakter warga negara
44
yang cerdas dan baik pada intinya adalah “respect and responsibility”. Pernyataan Lickona tersebut mengandung makna bahwa setiap warga negara harus senantiasa menghargai hak-hak yang dimiliki oleh warga negara lainnya, baik yang berkenaan hak di bidang hukum, politik, maupun hak dalam bidang sosial ekonomi. Di samping hal tersebut, warga negara yang baik harus pula memliki kepribadian yang sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat, menanggapi masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum (public affairs) dan memiliki kesadaran untuk menaati tata nilai dalam pergaulannya di masyarakat. Kelemahan dari indikator-indikator yang dikemukakan Cogan tersebut adalah tidak menempatkan kehidupan warga negara yang berorientas ke atas, dimana warga negara mengaktualisasikan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dimengerti, mengingat pandangan ini lahir dari kondisi sosial budaya yang liberal dan sekuler. Pada dasarnya penulis berpandangan bahwa karakteristik warga negara yang baik, yang pertama dan paling utama adalah taat pada ajaran agamanya, hal ini pun sesuai dengan konteks sosial budaya bangsa Indonesia yang religius. Sebagai pembanding Branson yang dikutip Darwis (2003:38) menyatakan bahwa dalam konteks kehidupan masyarakat Amerika Serikat, bahwa watak kewarganegaraan yang utama adalah sebagai berikut: 1. Menjadi anggota masyarakat yang independen 2. Memenuhi tanggung jawab personal kewarganegaraan di bidang ekonomi dan politik 3. Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan tiap individu 4. Berpartisipasi dalam urusan-urusan kewarganegaraan secara efektif dam bijaksana 5. Mengembangkan berfungsinya demokrasi konstitusional secara sehat.
45
Pandangan Branson tersebut lebih menekankan pada aspek kebebasan individu yang harus disertai dengan tanggung jawab individu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam pembahasan mengenai karakteristik warga negara yang baik, patut pula kiranya diketengahkan pendapat pakar-pakar yang dikutip Sapriya (2002:153) yang telah mencapai konsensus tentang delapan karakteristik warga negara yang disajikan dalam urutan pentingnya dan meliputi: 1. kemampuan untuk melihat dan mendekati masalah sebagai anggota masyarakat global 2. kemampuan bekerja dengan orang lain dengan cara kooperatif dan bertanggung jawab terhadap peran dan kewajibannya dalam masyarakat 3. kemampuan untuk memahami dan menerima serta toleran terhadap keragaman budaya 4. kapasitas untuk berpikir sistematis dan kritis 5. keinginan untuk menyelesaikan konflik dengan cara damai 6. keinginan untuk mengubah kebiasaan gaya hidup yang konsumtif untuk menjaga lingkungan 7. kemampuan yang sensitif dan mempertahankan hak asasi manusia (misalnya hak-hak wanita, minoritas etnis dan lain sebagainya). 8. keinginan dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik tingkat lokal, nasional dan internasional. Ciri-ciri atau atribut warga negara abad 21 yang digariskan di atas dapat dipahami dalam bentuk kompetensi partisipatif. Berdasarkan pemaparan berdasarkan karakteristk warga negara yang baik di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa warga negara yang baik adalah warga negara yang memiliki sejumlah karakteristik diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Mampu
mempribadikan
(menginternalisasikan)
dan
mengaktualisasikan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
46
2. Memiliki ketaatan dan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 3. Memiliki kemandirian terutama dalam kehidupan ekonomi yang dapat menopang pembangunan nasional. 4. Memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah umum.
D. Usaha yang Dilakukan oleh Orang Tua dalam Membina Disiplin Anak untuk Membentuk Warga Negara yang Baik Usaha yang dilakukan orang tua dalam membina disiplin anak di lingkungan keluarga untuk membentuk warga negara yang baik diantaranya dapat dilihat dari peranan orang tua itu sendiri. Peranan orang tua yang dimaksud dalam hal ini yaitu peranan orang tua sebagai pendidik anak, peranan orang tua sebagai agen sosialisasi anak, dan peranan orang tua sebagai pelindung anak. Ketiga peranan orang tua tersebut diyakini penulis akan mempengaruhi kedisiplinan anak dalam kehidupannya, dan kedisiplinan atau disiplin pribadi itu adalah salah satu ciri warga negara yang baik. Sebagaimana dikemukakan oleh Azis Wahab (1999: 9. 14) “…. memiliki sikap disiplin pribadi ….”. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa keluarga merupakan unit sosial yang paling kecil, tetapi walaupun demikian keberadaan keluarga tetap merupakan faktor yang paling penting dalam membentuk kepribadian seseorang. Hal ini dikarekan keluarga adalah tempat pertama bagi anak dalam mengenal lingkungannya, pendidikan keluarga adalah fundamen atau dasar dari pendidikan anak selanjutnya. Van Dijk yang dikutip Soelaeman (1994: 86) mengemukakan
47
bahwa “…. Keluarga memang merupakan lembaga pendidikan yang pertama ada dalam masyarakat, sebab anak memang dilahirkan dalam keluarga, dan keluargalah yang pertama kali memberikan bantuan dan bimbingan kepada anak sejak lahir”. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Jalaluddin (2002: 214) yang menyatakan bahwa “keluarga merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang tua”. Dari pendapat para ahli tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa orang tua atau keluarga memang merupakan tempat pertama bagi anak untuk memperoleh berbagai pendidikan termasuk pendidikan agama, karena menurut Jalaluddin (2002: 214) “pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan”. Orang tua juga sebagai pendidik, pembimbing, dan sebagai pembentuk kepribadian anak. Melalui keluarga anak diajarkan bagaimana berinteraksi dengan anggota keluarga lainnya, bagaimana mengenal dan menerapkan sistem nilai yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Orang tua sebagai pemimpin dalam pendidikan keluarga memegang peranan penting dalam mendidik anak, mereka harus menjadi pendidik dan pemberi contoh yang baik bagi anak-anak yang sedang menuju kearah kedewasaan. Pencapaian kedewasaan anak salah satunya adalah tergantung pada kemampuan orang tua dalam mendidik anaknya baik secara fisik maupun psikis. Tugas orang tua dalam mendidik anaknya tidak saja mencakup pengembangan individu anak agar menjadi pribadi yang mantap, akan tetapi meliputi pula upaya membantunya dan mempersiapkannya menjadi anggota masyarakat yang baik. Hal tersebut tercantum dalam fungsi dan tujuan pendidikan
48
di Indonesia dalam UU No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sehubungan
dengan
fungsi
dan
tujuan
pendidikan
inilah
perlu
dilaksanakan fungsi sosialisasi anak oleh orang tua. Istilah sosialisasi ini menurut Soelaeman (1994: 89) mempunyai arti “ membantu menyiapkan dirinya agar dapat menempatkan dirinya sebagai pribadi yang mantap dalam masyarakatnya dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat secara konstruktif”. Orang tua sebagai agen sosialisasi untuk anak-anaknya mempunyai tanggung jawab sebagai penghubung anak dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial. Dengan proses sosialisasi ini anak akan bergaul dengan lingkungan sosialnya dan belajar secara sederhana aturan dan norma kehidupan yang mengatur cara hidup bersama. Peranan sosialisasi anak ini membantu anak dalam menemukan tempatnya dalam kehidupan sosialnya. fungsi sosialisasi anak memperkenalkan anak kepada kehidupan sosial dan memberikan bekal padanya untuk mampu hidup dalam lingkungan sosialnya. Kedua peranan orang tua yang telah dipaparkan penulis di atas, memiliki kaitan satu sama lainnya, baik peranan orang tua sebagai pendidik maupun penghubung sosialisasi anak tidak saja melibatkan anak pada pelaksanaannya berlangsung, melainkan menjangkau pula masa depannya. Secara tidak langsung kedua peranan orang tua tersebut memunculkan peranan orang tua sebagai
49
pelindung bagi anaknya. Karena mendidik pada hakekatnya bersifat melindungi, yaitu melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik dan dari hidup yang menyimpang dari norma yang akan menjadikan anak. Fungsi sosialisasi anak menurut Soelaeman (1994: 92) adalah “melindungi anak dari ketidakmampuannya bergaul dengan lingkungan pergaulannya, melindunginya dari sergapan pengaruh yang tidak baik yang mungkin mengancamnya dari lingkungan hidupnya”. Maksud memberikan perlindungan ini adalah agar anak merasa terlindungi, dengan kata lain membuat anak merasa aman. Ketiga peranan orang tua tersebut apabila dijalankan dengan baik oleh orang tua dan anak akan menimbulkan hubungan yang positif dan agar potensi dan kepribadian anak akan berkembang dengan baik. Ditambah dengan kedisiplinan yang diterapkan orang tua, maka anak tersebut akan menjadi manusia yang berkepribadian, berdisiplin, dan mandiri menjadi warga negara yang baik. Kedisiplinan yang tepat diterapkan dalam kehidupan anak akan membawa dampak yang baik pula. Penulis menganggap bahwa gaya kedisiplinan yang bersifat demokratis adalah gaya kedisiplinan yang paling tepat diterapkan orang tua. Sebagaimana yang dikemukakan Parker (2006: 153) bahwa: Gaya kedisiplinan yang menggunakan pendekatan demokratis menentukan batasan-batasan dalam jumlah yang lebih sedikit, tegas tetapi fleksibel. Aturan-aturannya tidak hanya bersifat negatif tetapi mendefinisikan hak dan kewajiban dan orang tua lebih bersandar kepada otoritas natural daripada piranti kekuasaan. Dari pendapat yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa gaya kedisiplinan yang demokratis itu adalah gaya kedisiplinan yang memberikan kebebasan bagi anak untuk mengembangkan diri
50
sesuai dengan watak dan karakternya, dengan batasan orang tua memfungsikan perannya, sebagai pembimbing, pembina yang mengarahkan anaknya agar tidak salah dalam melangkah. Orang tua dalam menerapkan disiplin demokratis ini berperan sebagai orang tua sewajarnya tanpa menggunakan paksaan dan dorongan yang berlebihan dan sewenang-wenang hanya karena orang tua mempunyai kekuasaan yang paling tinggi di dalam keluarga. Orang tua bisa menanamkan disiplin pada anaknya dengan memberikan contoh dan tauladan. Seperti yang dikemukakan Muslim Nurdin C.S (1995: 264) bahwa: Perbuatan orang tua sehari-hari dalam lingkungan keluarga merupakan suatu metode yang sangat efektif bagi pembinaan kepribadian anak, karena apa yang disaksikan anak akan diserap maknanya oleh anak sebagai sesuatu yang seyogyanya diatur, disinilah pentingnya perilaku orang tua terkontrol, sehingga memberikan dampak yang baik pada anaknya. Keteladan orang tua merupakan contoh yang ideal bagi seorang anak. Karena dengan sendirinya mereka akan meniru keteladanan dari orang tuanya, baik ucapan maupun perbuatan. Keteladanan merupakan faktor penentu baikburuknya seorang anak. Jika orang tua mempunyai sifat jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, pemberani, berdisiplin tinggi, dan tanggung jawab, maka kemungkinan besar anak akan tumbuh dengan sifat-sifat mulia tersebut. Karena keteladan orang tua akan memberikan dampak yang besar. Seorang anak akan melihat dan menirukan perbuatan orang tuanya sehari-hari. Peranan orang tua yang optimal serta penerapan disiplin yang tepat dan sesuai akan menjadikan anak bertanggung jawab, percaya diri, mempunyai
51
disiplin diri, untuk menjadikannya sebagai seorang warga negara yang baik yang mengetahui dan menjalankan hak dan kewajibannya dengan baik.
52