JURNAL SOSIAL DAN POLITIK
PEMAKNAAN ORANG TUA TERHADAP ANAK INKLUSI
Okza Ryandani (071114063) Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ABSTRAK Penelitian yang berjudul Pemaknaan Orang Tua terhadap Anak Inklusi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemaknaan yang diberikan oleh orang tua untuk anak yang memiliki kebutuhan khusus atau anak inklusi, dukungan apa yang diberikan oleh orang tua untuk anak inklusi, dan solusi apa yang diambil oleh orang tua untuk tumbuh kembang anak inklusi. Peneliti menganggap penting karena fenomena mengenai anak inklusi ini menjadi sebuah perhatian publik yang mengundang pandangan positif dan negatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode fenomenologi yakni dengan cara wawancara mendalam kepada dua orang tua anak inklusi tunarungu sebagai nara sumber dengan pedoman wawancara. Dan menggunakan teori Stigma dari Evering Goffman yang memiliki pandangan pentingnya sebuah stigma yang diberikan dari seseorang untuk orang lain yang memiliki sebuah kekurangan secara fisik ataupun secara mental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua memberikan dukungan positif kepada anak yang memiliki kebutuhan khusus atau inklusi. Orang tua menyadari bahwa anak inklusi juga memperoleh hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh orang tua
didalam mendukung tumbuh kembang sang anak. Oleh karena itu, seluruh tindakan yang dilakukan oleh orang tua anak inklusi merupakan tindakan yang bertujuan untuk membantu tumbuh kembang sang anak. Kata kunci : orang tua, pemaknaan, dukungan ABSTRACT The research was little definition of parents towards the child’s inclision. This research aims to find out how the definition given of parents of children who have special needs or children inclusion, what support given by parents for childrens’s inclusion, and what remendies were taken by parents to grow flower child inclusion, This is an urgent problem because the phenomenon concerning the inclusion of this child became a public concern the invites positive and negative views. This research used qualitative approach and the method of phenomenology with how in indepth interviews to two parents of deaf children’s inclusion as a speaker with the guidelines of the interview. And use the theory of stigma from Evering Goffman who has view of the importance of a stigma that is given by a person to another person who has a shortage of physically or mentally. The results showed that parents give positive support to children who have special needs or inclusion. Parents realize that tne inclusion also acquired the right an obligations that should be done by parents in support of growing the flower children. Therefore, all actions taken by the parents of children inclusion is of actions that aim to help grow the flower children. Key words: parents, definition, support
PENDAHULUAN Tunarungu adalah salah satu atau beberapa alat pendengaran yang rusak sehingga tidak berfungsi, maka getaran udara tidak dapat diteruskan dan diubah menjadi kesan suara dan tanggapan pendengaran. Anak yang mengalami gangguan pendengaran atau tunarungu ini dapat mempengaruhi perkembangan bahasa, perkembangan intelegensi, emosi, kepribadian, dan aspek psikis lainnya. Dengan adanya seperti itu maka anak yang memiliki kekurangan dalam pendengaran juga mengalami kekurangan dalam berbicara atau tunawicara. Tunawicara adalah individu yang mengalami kesulitan dalam berbicara. Disebabkan tidak berfungsinya alat-alat bicara seperti rongga mulut, lidah, langit-langit dan pita suara. Gangguan dalam bicara ini memiliki beberapa karakteristik antara lain suara sengau, cadel, bicara tidak jelas, dan tidak mengeluarkan suara saat berbicara, cenderung pendiam, pandangan tertuju pada satu obyek, menggunakan komunikasi non verbal dan bahasa tubuh untuk mengungkapkan pendapat, pikiran, dan keinginan, serta lebih memilih berkomunikasi dengan cara tertulis. Seringkali
kekurangan yang dimiliki atau anak yang memiliki kebutuhan khusus
dianggap sebagai sesuatu yang negatif, masyarakat secara umum enggan untuk berinteraksi dengan para anak yang memiliki kebutuhan khusus salah satunya anak yang mengalami tunarungu dan tunawicara. Anak yang memiliki kebutuhan khusus atau anak yang mengalami tunarungu dan tunawicara akan merasakan bahwa diri mereka berbeda dengan orang lain yang tidak cacat (normal) sehingga mereka merasa tidak mampu melakukan
sesuatu layaknya orang normal. Ada perasaan takut menolak, sehingga terjadi gap antara orang cacat dengan orang normal (Lonsdale, 1990:37-40). Dikarenakan ada masyarakat yang menilai anak yang mengalami kebutuhan khusus itu dinilai berbeda dari masyarakat pada umumnya. Tetapi dengan adanya dukungan dari keluarga dalam pendidikan ataupun perhatian khusus, maka sebuah masyarakat tidak lagi meremehkan kemampuan seorang anak yang memiliki kebutuhan khusus. Karena pada kalanya apa yang dilakukan oleh anak yang berkebutuhan khusus tersebut juga biasa dilakukan oleh masyarakat normal pada umumnya. Oleh karena itu menjadi anak yang memiliki kekurangan merupakan persoalan yang sulit dihadapi oleh seorang individu, karena ia dihadapkan pada kenyataan dirinya berbeda dengan orang lain yang dianggap normal. Ditemukan pula pada Pada tesis Aditya (2013) mengemukakan “ ditemukan pula kenyataan bahwa ada penyandang cacat yang tidak berusaha keluar dari konteks maskulinitas tradisional di masyarakat, ia memberikan stigma ketidak mampuan melekat pada dirinya. Bahkan ia seakan tenggelam dalam stigma tersebut. Alih-alih berusaha menampilkan dan membuktikan akan kemampuan dirinya, justru ia menjadi apa yang menstigmakan masyarakat tersebut. Ia membiarkan dirinya dipandang sebagai sosok yang ‘menyimpang’ dari pandangan akan idealisasi seorang kepala keluarga.” Secara garis besar peneliti lebih memilih untuk melakukan penelitian ini dikarenakan adanya sebuah perhatian khusus yang harus diberikan kepada anak – anak yang memiliki kebutuhan khusus sebab kebanyakan dari adanya anak yang memiliki kebutuhan khusus tidak banyak orang disekelilignya dapat menerima selain dari keluarga yang mampu
mendukung anak berkebutuhan khusus untuk tetap percaya diri denga kemampuan yang dimiliki, dan berusaha untuk memberikan yang diperlukan untuk menunjang sebuah perkembangan anak. Anak yang memiliki kebutuhan khusus ini sesungguhnya memiliki sebuah bakat yang terpendam dikarenakan rasa tidak percayaan diri yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus dan kurangnya dorongan atau dukungan dari keluarga. Tetapi pada umumnya anak yang memiliki kebutuhan khusus ini memperoleh dukungan positif dari keluarga maka bakat yang dimiliki akan tersalurkan dengan rasa percaya diri yang muncul didalam diri anak berkebutuhan khusus tersebut. Penelitian ini menyoroti dari latar belakang orang tua anak berkebutuhan khsusus terutama anak tunarungu dan tunawicara dalam memberikan sebuah dukungan kepada anak berkebutuhan khusus terhadap stigma yang diberikan oleh masyarakat. Selain itu peneliti menggunakan Teori Stigma dari Erviing Goffman yang akan digunakan sebagai alat analisis yang akan menjelaskan bagaimna pemaknaan orang tua terhadap anak inklusi terutama anak yang memiliki kekurangan dalam pendengaran dan berbicara. Stigma Erving Goffman Dalam penelitian ini yang berhubungan dengan stigma maka penelitian akan menggunakan teori stigma yang dikemukakan oleh Erving Goffman, yaitu suatu atribut yang mendiskreditkan seseorang secara mendalam,yang bisa terlihat pada bahasa ( baik itu verbal ataupun non verbal) dalam hubungan sehari-hari, dengan kata lain ada jurang pemisah antara apa yang seharusnya dilakukan dengan apa yang sebenarnya dilakukan seseorang. Disinilah Goffman membagi stigma menjadi tiga tipe, Pertama, kebencian terhadap tubuh yaitu bentuk kelainan tubuh atau kecacatan secara fisik; Kedua, orang-
orang yang ‘ditolak’ karena kepribadiannya dianggap sakit atau memiliki kelainan dimana mereka tidak dihormati, misalnya orang yang memiliki kelainan mental, narapidana, orang yang ketergantungan obat, alkoholik, homoseksual, pengangguran, orang yang mencoba bunuh diri, dan orang yang berperilaku politik secara radikal; Ketiga, stigma yang dikenakan atas dasar kesukuan, ras, bangsa, dan kepercayaan ( Goffman 1963:4 ). Selain ketiga konsep stigma ini, Goffman juga membagi stigmatisasi atau pengetahuan orang lain atas stigma yang dimiliki seseorang, antara lain: Pertama, stigma discredit, yaitu ‘kekurangan’ atau perbedaan yang dimiliki oleh seseorang diketahui oleh orang lain. Misalnya kecacatan fisik yang dapat terlihat secara visual; Kedua, stigma diskreditabel, yaitu ‘kekurangan ‘ atau perbedaan yang dimiliki oleh seseorang tidak diketahui oleh orang lain karena tidak nampak. Misalkan seorang yang homoseksual (Goffman,1963: 41-42 ). Menurut Goffman, terdapat kesulitan interaksi yang dialami oleh orang cacat dengan orang “normal”. Ketika mereka berinteraksi dan orang cacat merasa berbeda oleh orang normal, maka mereka berusaha sedemikian rupa agar mendapatkan penerimaan dan pengakuan dari orang normal tersebut. Lebih lanjut, Goffman mengutarakan bahwa orang yang terstigma akan berfikir bahwa dirinya adalah orang yang normal seperti manussia yang lain berhak memperoleh keadilan dalam memperoleh setiap kesempatan. Tetapi sebenarnya orang – orang lain belum siap untuk menerima dia dan belum siap untuk menganggap dia sama. Orang yang terstigma dapat merespon situasi tersebut dengan mengkorelasikan apa yang dianggap sebagai penyebab stigma yang dia miliki. Orang yang punya stigma akan berusaha untuk menghindari kontak langsung dengan orang normal. Biasanya orang yang punya stigma akan menjauh/menghindari kontak sosial dan bisa juga merespon orang lain dengan sangat kasar ( Goffman, 1963 : 7-17 ).
Ada dua tipe individu yang simpati dan memberikan dukungan kepada orang yang terstigma. Tipe yang pertama yaitu orang yang mempunyai stigma yang sama. Orang – orang seperti itu dapat diberikan saran karena mereka pernah mengalami hal yang sama (Goffman,1963:19-20). Tipe yang kedua merupakan orang – orang yang karena situasi tertentu menjadi dekat dengan orang yang terstigma.Goffman memberikan sebuah istilah “wise” bagi orang – orang yang termasuk kedalam tipe kedua. Sebelum menjadi “wise”, seseorang harus menunggu agar diterima oleh orang yang terstigma (Goffman,1963: 2830). Goffman juga membagi menjadi dua orang – orang yang merupakan “wise” yaitu orang – orang yang dekat dengan individu yang terstigma dikarenakan pekerjaan, dan yang kedua orang yang terhubung secara sosial dengan individu yang terstigma (Goffman,1963: 30-31). Erving Goffman (1963 : 2&19) juga membagi sebuah stigma berdasarkan sebuah identitas sosial menjadi 2 (dua) pandangan yaitu virtual social identity dan aktual sosial identiti. Virtual sosial identiti merupakan identitas yang terbentuk dari karakter – karakter yang kita asumsikan atau kita pikirkan terhadap seseorang yang disebut dengan karakterisasi. Sedangkan aktual sosial identiti merupakan identitas yang tersbentuk dari karakter – karakter yang telah terbukti. Dari kedua pandangan berdasarkan identitas tesebut jika hal itu diketahui oleh publik maka orang yang terstigma akan merasa terkucilkan. Pemaknaan orang tua terhadap stigma anak inklusi Dalam hal ini setiap orang tua pada umumnya tidak menginginkan adanya kekurangan pada diri anak disaat lahir. Tetapi tuhan berkehendak lain dan para orang tua mempercayai dengan diberikan anak yang memiliki sebuah kebutuhan khusus maka mereka sedang
diberikan sebuah cobaan oleh tuhan dan diberikan kepercayaan oleh tuhan untuk mampu melewati tanggung jawab yang besar dari tuhan. Sesaat orang tua merasakan sebuah rasa malu memiliki anak yang memiliki kebutuhan khusus tetapi dengan sejalannya waktu dengan berbagai pertimbangan dan dukungan dari keluarga maka orang tua merasa percaya diri bahwa anak yang memiliki kebutuhan khusus ini mampu, hingga mereka sebagai orang tua mencari jalan keluar yang baik salah satunya memberikan sebuah pendidikan yang layak untuk anak berkebutuhan khusus atau yang sering disebut dengan sekolah inklusi. Salah satu informan yang ditemui oleh peneliti mengungkapkan bahwa sesungguhnya dukungan keluarga tidak hanya untuk anak inklusi saja tetapi juga perlu untuk orang tuanya, sebab orang tua yang tidak memiliki pengalaman sebelumnya maka akan merasakan sebuah depresi yang begitu hebat disaat mengetahui sang anak memiliki sebuah kebutuhan khusus yang pada umumnya orang tua tidak menginginkannya. Dan informan tersebut sudah membuktikannya bahwa kekuatan dukungan keluarga sangat dibutuhkan, sebab informan merasakan sebuah stigma yang diberikan kepada seorang anak disaat mengetahui anaknya memiliki sebuah kekurangan, informan juga sempat memberikan sebuah batasan ekstra kepada sang anak untuk berkembang. Tetapi dengan berjalannya waktu maka informan menyadari perilaku yang dilakukan kepada anaknya dapat mengakibatkan hal – hal negatif kepada anak keesokan harinya. Didalam hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki sebuah kesibuan yang sangat padat tetapi masih memikirkan sebuah keadaan anaknya dan masa depan anak yang memiliki sebuah kekurangan tersebut. Orang tua juga
mempercayakan sebuah mutu pendidikan yang terbaik untuk anak yang memiliki sebuah kebutuhan khusus tersebut kepada sekolah yang memiliki program yang sangat membantu perkembangan sang anak seperti sekolah inklusi yang menjadi pilihan utama untuk orang tua yang memiliki sebuah kesibukan yang cukup padat dan memiliki anak berkebutuhan khusus dengan kondisi yang memperlukan sebuah dampingan penuh dari orang tua untuk perkembangan anak. Dalam hal ini sekolah inklusi sangat dibutuhkan untuk anak – anak yang memiliki sebuah kebutuhan khusus yang membutuhkan dampingan khusus dalam proses tumbuh kembang anak. Dan tujuannya adanya sekolah inklusi selain untuk membantu anak – anak berkebutuhan khusus untuk mendampingi dalam proses tumbuh kembang sang anak, tetapi sekolah inklusi juga memiliki tujuan agar anak didiknya yang memilih pendidikan pada sekolah inklusi tersebut akan mengalami sebuah perubahan membaik dari awal anak memasuki sekolah inklusi tersebut, sebab pihak sekolah inklusi mempercayai bahwa setiap anak yang memiliki mampu membrikan hal yang sama halnya yang dilakukan oleh anak pada umumnya dengan cara yang berbeda. Dengan orang tua memilih sekolah inklusi sebagai institusi pendidikan yang tepat untuk anak yang berkebutuhan khusus maka orang tua meyakini bahwa anak yang memiliki sebuah kebutuhan khusus juga memiliki sebuah hak untuk mendapatkan sebuah pendidikan yang layak untuk menunjang masa depannya. Tetapi pada utama peran orang tua sangat diperlukan untuk anak yang memiliki sebuah kebutuhan khusus sebab dukungan orang tua yang positif dapat membantu mempercepat anak yang memiliki sebuah kebutuhan khsusus tersebut memiliki percaya diri yang tinggi.
Tetapi dari diantara orang tua anak berkebutuhan khusus yang ada beberapa diantara mereka masih menganggap bahwa sebuah kekurangan dari anak berkebutuhan khusus adalah sebuah privasi, sesungguhnya dengan adanya hal seperti ini membuat orang tua lebih terbuka dengan orang tua anak berkebutuhan khusus yang lain agar informasi atau ilmu yang dipelajari semakin banyak dengan cara bertukar pikiran dan bertukar pengalaman. Masih bersyukur dengan adanya orang tua yang bersedia untuk berbagi pengalaman dengan orang lain, dan menganggap bahwa kondisi anak yang memiliki sebuah kebutuhan khusus bukan merupakan aib yang buruk untuk keluarga dan lingkungan sekitar, tetapi hal seperti inilah yang harus lebih diperhatikan lagi keberadaan anak berkebutuhan khusus yang juga berhak berada ditengah – tengah masyarakat. Kesimpulan Berdasarkan hasil dari wawancara mendalam dan analisis mengenai pemaknaan orang tua terhadap anak inklusi, dengan menggunakan metode fenomenologi, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan dari orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus menyadari akan sebuah kekurangan yang dialami oleh anaknya tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa orang tua lebih memilih untuk memberikan pandangan positif untuk perkembangan sang anak dan orang tua juga berusaha untuk menerima semua kekurangan yang dimiliki oleh sang anak. Sebagai orang tua mereka hanya melakukan apa yang sudah menjadi sebuah kewajiban dari orang tua untuk sang anak yang tidak memandang apapun yang terjadi oleh anak. Dengan keadaan anak yang memiliki sebuha kekurangan dan memiliki kebutuhan khusus membuat para orang tua belajar untuk menerima keadaan dengan sabar, ikhlas, belajar untuk menghadapi semua masalah sekecil atau sebesar apapun, belajar untuk
mensyukuri yang diperoleh, dan belajar untuk menjaga atau merawat apa yang sudah diberikan oleh tuhan sebagai bentuk tanggung jawab atas kepercayaan tuhan kepada masing – masing orang tua. Dan mereka percaya bahwa semua masalah memiliki sebuah pemecahannya atau jalan keluar yang baik.Walaupun sempat merasakan ketidak siapan untuk memiliki anak dengan kebutuhan khusus, tetapi semakin banyak orang disekitar orang tua memberikan sebuah arahan yang positif untuk orang tua dan anak maka orang tua mulai memikirkan jalan keluar yang terbaik dan dapat membuat keyakinan bahwa tidak semua anak yang memiliki keterbatasan atau berkebutuhan khusus akan bisa dipandang negative tetapi anak yang memiliki kekurangan juga bisa berkembang dan bermanfaat bagi bangsa dengan menunjukkan perubahan baru yang diciptakan. Dan menyadarkan oleh banyak orang bahwa anak yang memiliki kebutuhan khusus atau anak yang memiliki sebuah kekurangan juga berhak mendapatkan kehidupan yang layak, pendidikan yang memadai, dan kesempatan kerja yang ada. Sehingga banyak usaha dari orang tua untuk membuktikan kepada orang luas bahwa sebuah kekuranga tidak akan menghalangi apapun yang terjadi. Jika seorang anak memiliki kekurangan dalam pendengaran dan bahasa menjadi penghalang sang anak untuk mendapatkan haknya untuk mendapatkan pendidikan seperti orang normal maka orang tua berusaha untuk memeberikan sebuah sekolah inklusif yang menjadi lembaga untuk membantu tumbuh kembang sang anak. Salah satu cara itulah orang tua dapat memberikan hak anak seperti anak normal pada umumnya. Walaupun pandangan negative juga tidak dapat dihindarkan oleh orang tua untuk sang anak tetapi mereka berusaha untuk meredam dan membuat sang anak lebih nyaman dekat dengan orang tua sehingga sikap percaya diri yang ada didalam diri anak dapat muncul.
Dengan adanya pendidikan inklusif yang diberikan oleh orang tua untuk anak juga dapat membantu orang tua didalam tumbuh kembang sang anak dengan cara yang berbeda. Dengan sesuai program yang dimiliki oleh sekolah tersebut. Sama halnya dengan Sekolah Inklusif Galuh Handayani Surabaya yang menjadi kepercayaan dari informan untuk sang anak. Pada keseluruhan dari pernyataan dari informan bahwa tidak ada pemaknaan yang negative terhadap mereka anak – anak yang memiliki kebutuhan khusus.Mereka sebagai orang tua mempercayai bahwa anak yang memiliki kekurangan dan berkebutuhan khusus ini dapat berkembang dengan baik yang tidak lepas dari dukungan, dan perhatian orang tua.Sebab orang tua akan memberikan hal yang terbaik untuk tumbuh kembang sang anak sperti apapun kondisi sang anak. Orang tua juga beranggapan bahwa keahlian anak yang memiliki kebutuhan khusus dapat diasah dengan baik dengan cara sering diberikannya perhatian dari orang tua dan orang sekitarnya. Dan orang tua berharap bahwa sang anak yang memiliki kebutuhan khusus tersebut dapat berkembang dengan baik seperti anak normal pada umumnya dalam hal ini yang dimaksud adalah kemampuan yang dimiliki sama dengan anak normal walaupun kondisi tidak sesempurna anak normal pada umumnya. Saran Saran untuk Anak Berkebutuhan Khusus Untuk siswa yang berkebutuhan khsusu khususnya siswa tunarungu sebaiknya mempertahankan penyesuaian diri yang sudah baik, hal ini dapat membantu untuk siap berbaur dengan kehidupan dan aktivitas seperti siswa lain pada umumnya. Bagi siswa berkebutuhan khusus tidak perlu cemas atau khawatir jika ingin berteman dangan siswa
regular, karena sekolah inklusif sebenarnya merupakan sarana untuk bisa membuat siswa berkebutuhan khusus dan siswa regular untuk bisa menjalin persahabatan, melakukan hal bersama, dan berkomunikasi, meskipun dengan kekurangan yang ada. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh anak berkebutuhan sangat dibutuhkan sebab dari penyesuaian tersebut anak yang berkebutuhan khusus dapat memperlihatkan sebuah sikap percaya diri.Oleh karenanya bagi anak yang berkebutuhan khusus tetap terus melakukan
kegiatan
postif
yang
dapat
memberikan
sebuah
motivasi
untuk
perkembangannya. Saran untuk Anak Reguler di Sekolah Inklusif Siswa reguler yang memiliki teman tunarungu atau anak berkebutuhan khusus lainnya hendaknya membuat lingkungan menjadi positif, hal ini diharapkan akan memudahkan siswa tunarungu atau kebutuhan khusus lainnya dalam melakukan tugas perkembangan dengan kekurangan yang ada, salah satunya adalah penyesuaian diri. Saran Untuk Orang Tua Untuk orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus tetap memberikan perhatian penuh kepada sang anak dan selalu memberikan dukungan positif kepada anak sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan lebih merasa dekat dengan orang tua. Sebab dukungan orang tua dan lingkungan sekitar sangat dibutuhkan olseh anak yang memiliki kebutuhan khusus terutama anak tunarungu.Anak tunarungu hamper sama dengan anak tunanetra mereka sama – sama membutuhkan dampingan dari orang tua dalam berbagai hal agar apa yang disampaikan orang bisa memahami dan mengerti.
Saran untuk Sekolah Inklusif Untuk sekolah inklusif diharapkan lebih memberikan program – program yang positif untuk meningkatkan perkembangan anak yang berkebutuhan khusus dan anak regular yang ada di sekolah inklusif.Dan pihak sekolah juga dapat berupaya untuk memberikan pengarahan mengenai anak yang berkebutuhan khusus terutama anak yang menderita tunarungu agar diantara anak regular dengan anak berkebutuhan khusus tidak ada jarak dan mereka dapat saling melengkapi satu sama lain serta dapat saling menghargai satu sama lain layaknya teman yang tidak memiliki sebuah kekurangan atau berkebutuhan khusus. Sebab dukungan untuk perkembangan anak berkebutuhan khusus tidak hanya dari pihak sekolah tetapi juga dari teman – teman sebaya yang bisa menghargaiadanya kekurangan dan kebutuhan yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus tersebut . Pihak sekolah lebih mempergunakan semua fasilitas yang dimiliki untuk membantu perkembangan anak berkebutuhan khusus seperti dari dukungan sebuah bahan pengajaran yang diberikan harus lebih variasi sehingga anak tidak menemukan titik jenuh dari bersekolah dan pihak sekolah harus bisa membuat kondisi sekolah bersahabat dengan anak sehingga anak dapat nyaman berada disekolah untuk memperoleh ilmu. Saran untuk Mahasiswa Pentingnya mahasiswa untuk mampu mengidentifikasi karakteristik masyarakat berdasarkan hubungan atau pola hubungan masyarakat dengan segala realita di dalamnya secara menyeluruh.
Untuk penelitian serupa, yakni mengenai fenomena anak inklusi baik dalam hal apapun yang terkait dengan dukungan anak inklusi, bisa menggunakan berbagai teori yang relevan, agar suatu fenomena mampu di pandang dari berbagai sudut pandang dan kacamata teori yang relevan. Pendalaman untuk memahami dan mengerti pola kehidupan, motif tindakan, interaksi, ikatan sosial, fenomena-fenomena yang terjadi didalam masyarakat dengan jeli serta memakai segala prosedur yang berkenaan dengan analisis sosiologis. Untuk penelitian ke depannya dengan tema yang serupa perlu dikembangkan kedalaman teori serta fenomena yang lebih bervariasi. Sehingga sebuah fenomena bisa dipandang dari berbagai sisi sudut pandang serta hasilnya yang lebih variatif. Oleh karena penelitian ini mengalami kejenuhan data sehingga mengalami keterbatasan narasumber, kejenuhan data terjadi ketika jawaban antar narsumber hampir serupa dan tidak ada variasi yang lain serta bisa menggunakan pendekatan lain dan kacamata yang lebih baik dalam menyorot fenomena pemaknaan terhadap anak inklusi ini untuk mendapatkan gambaran fenomena yang sedalam-dalamnya. Daftar Isi Arikunto,S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta Denzil, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Faisal, S. 1990. Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar aplikasi. Malang :YA3 Goffman, Erving, 1963. Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity. New York: Simon and Schuster
Hasan, Sofy Ariany & Handayani, Muryantinah Mulyo, M. Psych ( Ed& Dev ). 2014. Jurnal : Hubungan antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Penyesuaian Diri Siswa Tunarungu di Sekolah inklusi. Diakses pada tanggal 5 juni 2015 pukul 17.30 Ilahi, Mohammad Takdir. 2013. Pendidikan Inklusif. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Lexy.J Meleong. 2002. Metode Kualitatif. Bandung, PT Remaja Rosdakarya Matthew B. Miles & A. Michael Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, UI Press, Jakarta, hlm.20 Narwoko
J.Dwi, Bagong Suyanto. 2011. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group Sugiyono, 2012, Metode Penelitian Kualitatif , Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta. Fernando, Aditya, 2013, “Konstruksi Diri Penyandang Cacat Sebagai Kepala Keluarga, Studi
Kualitatif
Tentang
Self
Dan
Stigma
Pada
Penyandang
Cacat
Dalam
Mengonstruksikan Dirinya Sebagai Kepala Keluarga”. Surabaya: Airlangga Press NurAriviani, Indah, 2013, “ Anak Berkebutuhan Khusus, Studi Kualitatif Proses Pemaknaan dan Stigmatisasi pada Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus di Surabaya”. Surabaya: Airlangga Pre Akbar, Rafik, 2012, http://www.kartunet.or.id/kenali-tunawicara-lebih-jauh-1075, Jakarta, diakses tanggal 23 Desember 2014 http://Profilsekolah.dispendik.surabaya.go.id diakses pada tanggal 10 april 2015 http://sekolahgaluhhandayani.com diakses pada tanggal 20 april 2015