KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN Achmad Asfi Burhanudin
ABSTRAK Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun tidak jarang dalam perkawinan terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus maupun sebab-sebab lain yang kadang menimbulkan suatu keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi dan harus bercerai. Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban, perceraian membawa akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak dan juga terhadap anak-anak yang dilahirkan. Sementara itu masih banyak anak yang tidak beruntung (disadvantaged children) dalam mencukupi kehidupannya. Juga perlakuan orang tua terhadap anaknya mengenai pelaksanaan perlindungan hak-hak anak pasca perceraian selama ini bertolak belakang dengan ketentuan pelaksanaan pemenuhan hak-hak anak sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang perlindungan anak. Bila perceraian terjadi biasanya yang menjadi permasalahan ialah menyangkut tentang anak, siapa yang memeliharanya dan siapa pula yang menanggung biaya nafkahnya. Oleh karena itu perlu dikaji prinsip hukum tentang kewajiban orang tua atas biaya nafkah Anak setelah terjadinya perceraian. Pelaksanaan pemenuhan hak anak pasca perceraian selama ini belum mampu untuk melaksanakan ketentuan perlindungan hak anak, disebabkan beberapa faktor yang manjadi kendala, antara lain keterbatasan ekonomi, kelalaian orang tua, rendahnya pendidikan orang tua, serta rendahnya moral orang tua. Pemahaman masyarakat dalam melaksanakan kewajiban sebagai orang tua terutama pelaku perceraian sangat minim terbukti dengan pengetahuan hanya sebatas hak anak tentang biaya hidup saja. Kata kunci: Kewajiban Orang Tua, Hak-hak Anak, Perceraian.
Pendahuluan Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak perdata biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah. Oleh karena itu, suami istri dalam suatu perkawinan mempunyai tanggung jawab secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di samping mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik antara suami dan istri serta anakanak yang lahir dalam perkawinan. Namun dalam pergaulan antara suami istri tidak jarang terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus, maupun sebab-sebab lain yang kadang-kadang menimbulkan suatu keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi, sedangkan upaya-upaya damai yang dilakukan oleh kedua belah pihak maupun keluarga tidak membawa hasil yang maksimal sehingga pada akhirnya jalan keluar yang harus ditempuh tidak lain adalah perceraian. Perceraian selama ini seringkali
menyisakan problem-problem, terutama persoalan hak-hak anak yang mencakup seluruh hak yang melekat pada anak yaitu hak memperoleh pendidikan, kesehatan, biaya pemeliharaan dan lain sebagainya. Sehingga pemenuhan hak-hak anak masih terdapat sebagian besar orang tua belum memenuhi hak-hak anak pasca perceraiannya. Akibat perceraian terkadang hak-hak anak ada yang dikesampingkan, terutama yang berkaitan dengan hak-hak pokok anak yaitu biaya pemeliharaan, pendidikan, tempat tinggal dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya. Terlebih lagi ketika orang tuanya sudah memiliki keluarga baru sehingga memungkinkan berkurangnya waktu untuk memenuhi hak-hak anaknya. Meskipun orang tua sudah tidak lagi dalam satu keluarga akan tetapi persoalan hak-hak anak tetap menjadi tanggung jawab orang tua dan tidak boleh dialihkan kepada orang lain selain kedua orang tuanya. Ada sebagian orang tua cenderung melalaikan tanggung jawabnya dalam memenuhi hak-hak anak, sehingga yang terjadi adalah anak seringkali dititipkan kepada keluarga terdekat ayah atau ibu. Tidak hanya itu, akibat dari perceraian selama ini psikologi anak mengalami perubahan. Sebagai dampaknya adalah anak jarang berkomunikasi dengan kedua orang tuanya, cenderung pendiam, malas, minder serta cenderung nakal dan sebagainya. Ini semua disebabkan karena adanya kurang perhatian orang tua terhadap hakhak anaknya. Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban, perceraian membawa akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak dan juga terhadap anak-anak yang dilahirkan. Anak-anak tersebut harus hidup dalam suatu keluarga yang tidak harmonis sebagaimana mestinya misalnya harus hidup dalam suatu keluarga dengan orang tua tunggal seperti dengan seorang ibu atau dengan seorang ayah saja. Sebagaimana diketahui bahwa anak merupakan penerus bangsa yang mengemban tugas generasi-generasi sebelumnya. Sebagai penerus cita-cita bangsa dan negara, anak diharapkan dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang sehat rohani dan jasmani, cerdas, bahagia, berpendidikan dan bermoral tinggi. Untuk itu, anak tersebut harus memperoleh kasih sayang, perlindungan, pembinaan, dan pengarahan yang tepat. Dalam ajaran Islam, anak adalah amanat Allah kepada kedua orang tuanya, masyarakat, bangsa dan negara sebagai pewaris dari ajaran Islam. Anak menerima setiap ukiran dan mengikuti semua pengarahan yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu perlu dididik dan diajari dengan kebaikan agar bisa menjadi khalifah yang meneruskan
keberlangsungan kehidupan.1 Dalam keluarga yang orang tua bercerai pertumbuhan anak dalam standar yang ideal kemungkinan sulit tercapai karena kebutuhan jasmani dan rohaninya tidak dapat dipenuhi secara sempurna. Apabila dikaitkan pula dengan kebutuhan materi/jasmani anak yang hidup dalam keluarga yang kedua orang tuanya sudah bercerai, pertumbuhan dan perkembangan anak tentu akan mengalami hambatan yang serius apabila kebutuhan materi/jasmani anak berupa biaya pemeliharaan dan biaya pendidikan anak sampai dewasa tidak ada kejelasannya. Menyadari demikian pentingnya anak dalam kedudukan keluarga, individu, masyarakat, bangsa dan negara maka negara mengatur melalui undang-undang hak-hak anak misalnya dalam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Konvensi Hak Anak yang dituangkan dalam Kepres Nomor 36 Tahun 1990, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak2, dan berbagai peraturan perundang-undangan lain. Demikian pula hak-hak anak diakui oleh sejumlah putusan pengadilan. Di samping hak-hak anak memperoleh pengakuan dalam peraturan perundangundangan nasional, hak-hak anak juga memperoleh pengakuan dalam peraturan perundang-undangan Internasional. Hal tersebut dapat dilihat dalam berbagai konvensikonvensi Internasional yang memfokuskan perhatiannya terhadap persoalan anak seperti misalnya Convention on The Rights of Child Tahun 1989, ILO Convention No. 182 ConcerningThe Prohibition and Amediate Action for The Worst Forms of the Child Labour tahun 1999 dan lain sebagainya. Namun meskipun telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan adanya kecenderungan Internasional yang memfokuskan perhatian terhadap anak, pada kenyataannya masih banyak anak yang tidak beruntung (disadvantaged children) dalam mencukupi kehidupannya. Akibat Hukum Perceraian 1.
Akibat perceraian dalam Undang-undang Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan apabila
perkawinan putus karena perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak, bekas 1 2
Hadi Supeno, Menyelamatkan Anak (Jakarta: Graha Putra, 2010), 13. Mufidah, Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang: UIN Press, 2008), 340-341.
suami/istri dan harta bersama. Akibat hukum terhadap anak ialah apabila terjadi perceraian, maka baik ayah atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya. Jadi ayah yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Bilamana ayah kenyataanya tidak dapat memberi kewajiban tersebut maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.3 2.
Akibat perceraian dalam hukum adat Pada umumnya menurut hukum adat yang ideal, putus perkawinan karena kematian
dan perceraian membawa akibat hukum terhadap kedudukan suami dan istri, terhadap pemeliharaan, pendidikan dan kedudukan anak, terhadap keluarga dan kerabat juga terhadap harta bersama. Segala sesuatunya berdasarkan hukum adat yang berlaku masingmasing, dan tidak ada kesamaan antara masyarakat adat yang satu dan yang lain.4 3.
Akibat perceraian dalam hukum Islam Menurut Hukum Islam setelah terjadinya suatu perceraian, maka akan menimbulkan
akibat hukum tertentu, menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 156, akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: 1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh : a) Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu. b) Ayah. c) Wanita-wanita dalam garis Iurus ke atas dari ayah. d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan. e) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu f) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. 2) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya. 3) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. 3
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama (Bandung: Mandar Maju,1990), 188-189. 4 Ibid, 189-190.
4) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). 5) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d). 6) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak yang tidak turut padanya.5 Hak dan Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orang Tuanya Di antara kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nafkah, seorang ayah berkewajiban untuk memberikan jaminan nafkah terhadap anaknya, baik pakaian, tempat tinggal maupun kebutuhan lainnya, meskipun hubungan perkawinan orang tua si anak putus. Suatu perceraian tidak berakibat hilangnya kewajiban orang tua untuk tetap memberi nafkah kepada anak-anaknya sampai dewasa atau dapat berdiri sendiri. Peristiwa perceraian, apapun alasannya, merupakan malapetaka bagi anak, anak tidak akan dapat lagi menikmati kasih sayang orang tua secara bersamaan yang sangat penting bagi pertumbuhan mentalnya, tidak jarang pecahnya rumah tangga mengakibatkan terlantarnya pengasuhan anak. Itulah sebabnya dalam ajaran Islam perceraian harus dihindarkan sedapat mungkin bahkan merupakan perbuatan yang paling dibenci Allah . Bagi anak-anak yang dilahirkan, perceraian orang tuanya merupakan hal yang akan mengguncang kehidupannya dan akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga biasanya anak-anak adalah pihak yang paling menderita dengan terjadinya perceraian orang tuanya. 6 Setelah terjadinya perceraian, Pengadilan memutuskan siapa di antara ayah dan ibu yang berhak menjalankan kuasa orang tua demi kelangsungan pemeliharaan dan pengasuhan anak, tidak jarang terjadi perebutan mengenai hak asuh anak, masing-masing bekas suami isteri merasa paling berhak dan paling layak untuk menjalankan hak asuh. Dalam ajaran Islam, ada dua periode perkembangan anak dalam hubungannya dengan hak asuh orang tua, yaitu periode sebelum mumayyiz (anak belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya, dari lahir sampai berumur tujuh atau delapan tahun, menurut Kompilasi Hukum Islam sampai berusia 12 tahun, dan sesudah mumayyiz. Sebelum anak mumayyiz, ibu lebih berhak menjalankan hak asuh anak karena ibu lebih mengerti kebutuhan anak dengan kasih sayangnya apalagi anak pada usia tersebut sangat membutuhkan hidup di dekat ibunya. 5
Kompilasi Hukum Islam, 72. Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta:Kencana, 2004), 166-167.
6
Masa mumayyiz dimulai sejak anak secara sederhana sudah mampu membedakan mana yang berbahaya dan bermanfaat bagi dirinya, ini dimulai sejak umur tujuh tahun sampai menjelang dewasa (balig berakal). Pada masa ini anak sudah dapat memilih dan memutuskan apakah akan memilih ikut ibu atau ayahnya. Tetapi dalam kondisi tertentu ketika pilihan anak tidak menguntungkan bagi anak, demi kepentingan anak hakim boleh mengubah putusan itu dan menentukan mana yang maslahat bagi anak.7 Sengketa hak asuh anak berbeda dengan sengketa harta, dalam sengketa harta putusan hakim bersifat menafikan hak milik pihak yang kalah, tetapi putusan hak asuh sama sekali tidak menafikan hubungan pihak yang kalah dengan anak yang disengketakan, sehingga tidak sepatutnya sengketa hak asuh dipertajam ketika sudah diputuskan oleh Pengadilan. Sehingga lazimnya walaupun putusan memenangkan pihak ibu dan mengalahkan pihak ayah, biasanya putusan juga menyatakan ayah tetap berkewajiban membelanjai kebutuhan anaknya dan ibu tidak boleh menghalang-halangi ayah berhubungan dengan anaknya demikian juga sebaliknya, meskipun orang tuanya sudah bercerai anak tetap bebas berhubungan dan mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.8 Dengan terjadinya perceraian, pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Sebagai ibu atau ayah mereka tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak dan jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi putusan dengan semata-mata mendasarkan kepada kepentingan anak. Seorang ayah bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak dan jika ayah ternyata tidak dapat memenuhi kewajibannya pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikulnya.9 Semua biaya hadlanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri atau sampai usia 21 tahun. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlanah dan nafkah anak maka pengadilanlah yang memutuskannya.10Kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak tetap melekat meskipun hubungan perkawinan orang tua putus. Apabila pemegang hadlanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, pengadilan dapat memindahkan hak hadlanah. Semua biaya hadlanah dan nafkah anak
7
Ibid, 181. Ibid, 200. 9 Undang-undang Perkawinan di Indonesia pasal 41 (Surabaya: Arkola, 2007), 18 10 Kompilasi Hukum Islam pasal 156 huruf (d) dan (e). 8
menjadi tanggungan ayah sesuai kemampuannya sampai anak dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). Sehubungan dengan kewajiban nafkah dan hadlanah, pihak ayah atau ibu yang merasa dirugikan, sebagai akibat adanya pelanggaran kewajiban hadlanah, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama agar pihak yang lalai memenuhi kewajibannya. 11 Karena orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak, menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas kesejahteraan anak, kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orang tua, berbudi pekerti luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan serta berkemampuan meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila. Orang tua yang terbukti melalaikan tanggung jawabnya, dapat dicabut kuasa asuhnya dengan putusan Hakim. Pencabutan kuasa asuh tidak menghapuskan kewajiban orang tua untuk membiayai penghidupan, pemeliharaan dan pendidikan anak sesuai kemampuan penghidupannya. Selagi anak belum berusia 18 tahun atau belum menikah ia berada di bawah kekuasaan orang tuanya yang akan mewakilinya mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Meskipun memegang kuasa, orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya kecuali kepentingan anak menghendaki. Jika orang tua melalaikan kewajibannya atau berkelakuan yang sangat buruk, kekuasaannya terhadap anak dapat dicabut untuk waktu tertentu, pencabutan kekuasaan orang tua dapat dimintakan ke pengadilan oleh salah satu orang tua, keluarga anak dalam garis lurus ke atas, saudara kandung yang telah dewasa atau oleh pejabat berwenang, kekuasaan orang tua yang dicabut tidak menghilangkan kewajibannya untuk tetap memberi biaya pemeliharaan kepada anak.12 Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anaknya kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak tetap melekat meskipun hubungan perkawinan orang tua putus. Orang tua dan keluarga serta pemerintah bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan. Wajib mengusahakan agar anak yang lahir 11
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet-3 (Jakarta: Kencana, 2005), 433. 12 Undang-undang Perkawinan di Indonesia pasal 41 (Surabaya: Arkola, 2007), 21.
terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan atau menimbulkan kecacatan. Melindungi anak dari upaya transplantasi, pengambilan atau jual beli organ atau jaringan tubuh, dijadikan obyek dalam penelitian kesehatan tanpa izin orang tua dan yang bukan mengutamakan kepentingan terbaik anak.13 Anak mempunyai hak tertentu yang harus dipenuhi orang tua, sebaliknya orang tua juga memiliki hak yang harus dipenuhi anaknya. Hak anak untuk mendapatkan penghidupan yang layak meliputi sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan merupakan nafkah anak (alimentasi) yang harus dipenuhi orang tua, terutama ayah, baik dalam masa perkawinan atau pun setelah terjadi perceraian. Namun nafkah anak seringkali dilalaikan ayah setelah terjadinya perceraian, sebenarnya nafkah anak yang dilalaikan dapat dimintakan eksekusi oleh ibu atau anak. Jenis eksekusi nafkah anak adalah eksekusi dengan membayar sejumlah uang yang dimulai dari permohonan, aanmaning, sita eksekusi, dan diakhiri dengan lelang. Bahkan Seorang PNS pria yang bercerai sudah tidak berhak penuh atas gajinya, di situ ada hak isteri dan anak, hak PNS hanya 1/3 dari gajinya jika ia punya anak dan ikut isteri atau ½ jika tidak memiliki anak.14 Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi syarat dapat ditunjuk menjadi wali melalui penetapan pengadilan. Agama wali harus sama dengan agama anak, wali wajib mengelola harta milik anak dan mewakilinya melakukan perbuatan hukum di dalam atau pun di luar pengadilan. Selama belum ada penetapan pengadilan mengenai wali, harta kekayaan anak dapat diurus Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain yang berwenang yang bertindak sebagai wali pengawas mewakili anak. Jika wali di kemudian hari tidak cakap bertindak hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya status walinya dicabut, ditunjuk orang lain oleh Pengadilan begitu juga jika wali meninggal. Apabila seorang anak yang belum berusia 18 tahun tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya, ia berada di bawah perwalian yang akan mengurusi masalah mengenai pribadi dan harta bendanya. Penunjukan wali dapat dilakukan oleh orang tua yang menjalankan kekuasaan anak sebelum ia meninggal melalui surat wasiat ataupun secara lisan dengan disaksikan 2 orang saksi. Wali diutamakan berasal dari keluarga anak dan dapat juga ditunjuk 13
Pasal 45, 46 dan 47 UU. Perlindungan Anak Deasy Caroline Moch. Dja’is, SH, Pelaksanaan Eksekusi Nafkah Anak di Pengadilan Agama, (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam No. 42 Tahun X 1999), 39. 14
orang lain dengan syarat sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Selama menjalankan perwalian seorang wali wajib mengurus anak dan harta bendanya dengan sebaiknya dan menghormati agamanya, Ia wajib membuat daftar dan perubahanperubahan harta benda anak bahkan wali bertanggung jawab terhadap kerugian akibat kesalahan atau kelalaiannya selama menjalankan perwalian. Wali juga tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap si anak kecuali kepentingan anak menghendaki tindakan itu. Kekuasaan wali dapat dicabut atas permintaan keluarga anak dalam garis lurus ke atas atau saudara kandung yang telah dewasa jika terbukti sangat melalaikan kewajibannya atau berkelakuan sangat buruk untuk kemudian ditunjuk wali yang lain. Definisi Anak Anak adalah putra putri kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan agar dapat berkembang mental dan spiritualnya secara maksimal.15 1. Menurut Undang-undang Perlindungan Anak Dalam UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak ditegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.16 Ketentuan dalam undang-undang di atas menerangkan bahwa anak yang masih dalam kandungan pun di kategorikan anak sampai dengan berusia 18 tahun. 2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pengertian anak dalam hukum perdata tidak diatur secara eksplisit. Pengertian anak selalu dihubungkan dengan kedewasaan sedangkan kedewasaan tidak ada keseragaman dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) anak belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin. 3. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak lugas mengatur mengenai kapan seorang digolongkan sebagai anak, secara tersirat dalam Pasal 6 ayat 2 yang menyatakan bahwa syarat perkawinan bagi seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin
15
Darwan Prints dalam Iman Jauhari (1), Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2003), 80 16 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak , 119.
orangtuanya, Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa minimal usia anak dapat kawin pria 19 tahun dan wanita 16 tahun.17 Di sisi lain, Pasal 47 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak mencabut kekuasaan orang tuanya. 4. Menurut Kompilasi Hukum Islam Dalam Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam batas usia dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat 1 dinyatakan bahwa dewasa adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental ataupun belum pernah melakukan perkawinan.
5. Menurut Hukum Adat Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dapat dianggap dewasa dan wewenang bertindak. Hasil penelitian Soepomo tentang hukum perdata Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan sesorang diukur dari segi: 1) Dapat bekerja sendiri (mandiri); 2) Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab; dan 3) Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri. Dalam hukum adat ukuran kedewasaan tidak berdasarkan hitungan usia tapi pada ciri tertentu yang nyata.18 Dengan demikian setelah melihat ketentuan yang berlainan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian anak berlaku bagi seseorang yang berusia dibawah 21 tahun. Pengertian anak diatas, meskipun dikutip dari beberapa sumber akan tetapi yang menjadi acuan utama disini adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 yang spesifik menjelaskan tentang perlindungan anak. Jadi dengan demikian dari semua pengertian anak diatas hanya sebagai komparasi dari undang-undang dan ketentuan-ketentuan yang ada, baik dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pekawinan, Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam , Undang-undang hukum perdata ataupun hukum adat.
Ketentuan Hak-hak Anak Perspektif Undang-undang
17
Undang-undang Perkawinan di Indonesia pasal 41 (Surabaya: Arkola, 2007), 9. Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), 19.
18
Pasal 34 Undang-undang dasar 1945 menyatakan bahwa negara memberikan perlindungan kepada fakir miskin dan anak terlantar. Di Indonesia perhatian dalam bidang perlindungan anak menjadi salah satu tujuan pembangunan. Pengertian kesejahteraan anak dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 adalah anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Sementara dalam hal perlindungan anak adalah disebutkan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dikriminasi.19 Pasal 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak merumuskan hak-hak anak sebagai berikut: a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa dan untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna. c. Anak
berhak
atas perlindungan terhadap
lingkungan hidup
yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.20 Sementara dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur hak-hak anak adalah pasal 4 sampai dengan pasal 18 menyebutkan: 1) Pasal 4 mengatur tentang hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar. 2) Pasal 5 mengatur tentang hak memperoleh nama sebagai suatu identitas diri. 3) Pasal 6 hak untuk beribadah 4) Pasal 7 ayat (1) dan pasal 14 mengatur tentang hak memperoleh asuhan. 5) Pasal 8 mengatur tentang hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial. 6) Pasal 9 ayat (1) mengatur tentang hak memperoleh pendidikan. 7) Pasal 10 hak untuk berpendapat. 8) Pasal 11 mengatur tentang hak untuk berekreasi dan berkreasi. 19
Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ( Surabaya: Media Centre, 2006), 119. 20 Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), 17.
9) Pasal 12 dan pasal 9 ayat (2) mengatur tentang hak memperoleh pelayanan khusus. 10) Pasal 13, 15, 16, pasal 17 ayat (1) dan (2) serta pasal 18 mengatur tentang hak memperoleh perlindungan kekerasan, penganiayaan dan hukum. Hak-hak anak yang disebutkan di atas pada hakikatnya adalah merupakan hak yang sejatinya diberikan oleh orang tua pasca perceraiaanya dan segala aspek tersebut merupakan bagian dari kegiatan pembangunan khusus di dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hak-hak tersebut diperjelas dalam BAB III Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai berikut: a) Pasal 4 menyatakan: setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.21 Hak yang dimaksudkan dalam pasal 4 ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 28 B ayat (2) Undang- undang Dasar 1945 dan prinsip-prinsip pokok yang tercantum dalam konvensi hak- hak anak.22 b) Pasal 5 menyatakan: setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. Dalam pasal ini cukup jelas bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan nama yang baik sebagai identitas diri. c) Pasal 6 menyatakan: setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.23 Ketentuan pasal 6 di atas dimaksudkan untuk memberi kebebasan kepada anak dalam rangka mengembangkan kreatifitas dan intelektualitasnya (daya nalarnya) sesuai dengan tingkat usia anak. Ketentuan pasal ini juga menegaskan bahwa pengembangan tersebut masih tetap harus berada dalam bimbingan orang tuanya.24 d) Pasal 7 ayat (1) dan pasal 14 menyatakan: Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.25 Ketentuan pasal 7 ayat (1) mengenai hak anak untuk mengetahui siapa orang tuanya,dalam arti asal- usulnya(termasuk ibu susunya), dimaksudkan untuk menghindari terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya, 21
Undang –undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak, 122. Undang- undang RI Nomor 13 tahun 2006 tentang Peradilan Saksi dan Korban (Jakarta : CV Medya Duta Jakarta 2006), 85. 23 Undang –undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak, hlm 122. 24 Undang –undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hlm 85. 25 Undang –undnag RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, hlm122. 22
sedangkan untuk dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya, dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuannya.26 Sementara dalam pasal 14 menyebutkan: setiap anak berhak diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Pemisahan yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak menghilangkan hubungan anak dengan orang tuanya. e) Pasal 8 menyatakan: setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Dalam pasal ini cukup jelas bahwa anak berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisiknya. f) Pasal 9 ayat (1) menyatakan: setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatny. Pasal ini cukup jelas mengatur tentang hak seorang anak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran dengan tujuan mengembangkan pribadi dan kecerdasannya. g) Pasal 10 menyatakan: setiap anak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan. Pasal ini cukup jelas mengatur hak anak untuk dapat didengar pendapat, menerima, mencari informasi sesuai dengan kecerdasannya serta usianya. h) Pasal 11 menyatakan: setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain dan berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Pasal ini cukup jelas bahwa anak berhak untuk dapat meluangkan waktu untuk istirahat, bergaul, dan bermain serta berkreasi sesuai dengan minat dan bakatnya. i) Pasal 12 menyatakan: setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.27 Ketentuan pasal ini menyebutkan bahwa ini dimaksudkan semata-mata untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya
26
Undang –undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hlm 85. Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.123.
27
diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.28 Dalam konteks Indonesia, meskipun undang-undang No.39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia telah mencantumkan hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak masih diperlukan undang-undang mengenai perlindungan anak sebagi landasan yuridis bagi pelaksanaan dan tanggung jawab tersebut. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak. Secara tegas undangundang ini menegaskan bahwa pertanggung jawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terusmenerus demi terlindunginya hak-hak anak.29 Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.30 Selanjutnya mengenai tanggung jawab orang tua terhadap anaknya disebutkan dalam Bab III Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 mengatur tentang tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan anak. Di mana dikatakan pertama-tama yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anak, adalah: orang tua (pasal 9). Orang tua terbukti melalaikan tanggung jawabnya, yang mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anak (pasal 10 ayat 1) apabila hal terjadi, maka ditunjuk orang atau badan sebagai wali.31 Ketentuan Hak Anak Perspektif Hukum Islam 1. Hak Anak Menurut Fikih Pemeliharaan anak dalam konteks fikih dikenal dengan istilah “Hadhanah”. Dalam istilah bahasa hadhanah berarti “meletakkan sesuatu dekat dengan tulang rusuk atau dipangkuannya, seakan-akan ibu disaat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga “hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya: “pendidikan dan pemeliharaan anak sejak
28
Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.86. Ibid, 83. 30 Ibid, 84. 31 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), 82. 29
dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.32 Hadhanah yang dimaksudkan lebih identik kepada pemeliharaan anak yang masih belum mumayyiz, dengan memelihara dari jasmani dan rohni. Bahkan hingga anak mampu untuk mandiri dan bertanggung jawab. Dalam hal ini para ulama fikih mendifisikan : hadhanah yaitu meletakkan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab .33 Tidak hanya persoalan pemeliharaan akan tetapi juga dalam hal pengasuhan yang dilakukan orang tua dengan segala potensi yang dimilikinya. Anak akan merasa nyaman jika senantiasa dalam asuhan orang tuanya dengan penuh kasih sayang dan segala potensi orang tua diberikan sepenuhnya untuk anak. Dalam konteks fikih dijelaskan bahwa pendidikan terbaik bagi seorang anak adalah apabila ia berada di bawah asuhan kedua orang tuanya: ayah dan ibunya yang membesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang dan memberinya pendidikan yang baik, sehingga tumbuh subur dan sehat jasmaninya, demikian pula kecerdasan akalnya, keluhuran akhlaknya, dan kehalusan perasaannya. Akan tetapi seandainya kedua orang tua terpaksa berpisah (bercerai), maka pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan antara baik dan yang buruk, kira-kira di bawah 12 tahun) menjadi hak ibunya. Dan jika si anak sudah di anggap mumayyiz, ia dipersilahkan memilih antara ikut dengan ibu ataupun ayahnya .34 Sejumlah ayat al-Qur’an secara garis besar mengemukakan hak-hak anak sebagai berikut: 1) Hak Anak untuk Hidup Islam menghapus tradisi Arab Jahiliyah dalam hal pembunuhan terhadap anak karena kekhawatiran tidak mampu menanggung biaya hidup sebagaimana QS. Al-Isra’: 31
32
Abd.Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), 175. Ibid, 176. 34 Muhammad Bagir, Fiqih Praktisi II Menurut al-Qur’an, as-Sunnah dan pendapat para ulama (Bandung: Karisma, 2008),237. 33
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”.35 Dalam ayat yang lain juga memberi gambaran tentang sikap Islam terhadap bangsa Arab Jahiliyah dengan tradisinya membunuh anak perempuan mereka. Hal ini dijelaskan dam Firman Allah QS.al-An’am: 140
“Sesungguhnya rugilah orang-orang yang membunuh anak-anak mereka, karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rizkikan pada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk”.36 Kedua landasan teologis di atas menunjukkan bahwa Islam memberikan penghargaan dan perlindungan yang sangat tinggi kepada hak hidup anak baik ketika masih dalam kandungan maupun ketika dilahirkan.
2) Hak Anak dalam Kejelasan Nasabnya Salah satu hak dasar diberikan Allah sejak anak dilahirkan adalah hak untuk mengetahui asal usul yang menyangkut keturunannya. Kejelasan nasab sangat urgen dalam menentukan statusnya untuk mendapatkan hak-hak dari orang tuannya, dan secara psikologis anak juga mendapatkan ketenangan dan kedamaian sebagaimana layaknya manusia. Kejelasan nasab berfungsi sebagai dasar bagaimana orang lain memperlakukan terhadap anak dan bagaimana anak seharusnya mendapatkan hak-hak dari lingkungan keluarganya.37 Mengenai kejelasan nasab ini Allah berfirman dalam QS. Al-Ahzab ayat 5.
35
Departemen Agama, Al-Aliyy al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung : Diponegoro, 2006), 227 Ibid, 116 37 Mufidah Ch. Psikologi Keluarga Islam, 305 – 306. 36
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapakbapak mereka, Maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu dan maula maulamu”.38 Kata “bapak” dalam hal ini merupakan kebiasaan masyarakat penganut budaya patriarkhi, di mana anak selalu dinasabkan kepada bapaknya. Kata “bapak” dimaksud untuk memberikan perlakuan sosial yang sama sekalipun status dia sebagai anak angkat. 3) Hak Anak dalam Pemberian Nama yang Baik Salah satu hak anak yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang tua adalah member nama. Inilah yang diajarkan oleh agama Islam kepada anak hukumnya adalah wajib. Memberi nama kepada seorang anak sesungguhnya merupakan wujud dari keberadaan, kebudayaan, dan peradaban manusia itu sendiri. Hadis Nabi telah memberikan penjelasan untuk memberikan perhatian dalam memberikan nama anak dan memilih nama yang baik. 39
انكم تدعون يوم القيامة بأسمائكم فأحسنوا أسما ءكم
“Sesungguhnya engkau akan dipanggil nanti di hari kiamat dengan nama-namamu sekalian dengan nama-nama bapak-bapakmu, maka baguskanlah nama-namamu”. Nama adalah simbol yang sangat berharga bagi seseorang. Ia merupakan simbol immaterial yang diberikan orang tua kepada anaknya agar selalu dikenang orang lain.40Nama tidak hanya sebagai simbol semata akan tetapi lebih kepa identitas yang harus dimiliki dan nama tersebut adalah merupakan do’a. 4) Hak Anak dalam memperoleh Air Susu Ibu (ASI) Hak mendapatkan ASI bagi bayi selama dua tahun sebagaimana yang tertulis dal alQur’an, merupakan hak dasar anak dan juga hak dan sekaligus kewajiban ibu kandungnya, tetapi peran menyusui anak sesungguhnya bukan menjadi kewajiban formal dan formatif, sebab suami yang bertanggung jawab penyedia ASI. Ibu menyusui merupakan tanggung jawab moral yang bersifat sunah karena kebaikan ASI untuk jelas manfaatnya terutama ibu kandungnya sendiri . ditegaskan dalam QS. al-Baqarah : 233.
38
Departemen Agama, Al-Aliyy al-Qur’an dan Terjemahannya, 334. Abu Dawud Sulaiman bin Al Asy’at al Sijistaiy, Sunan Abu Dawud Juz II (Beirut: Dar al fikr, 2003),
39
472 40
Ali Ghufran, Lahirlah Dengan Cinta Fikih Hamil dan Menyusui (Jakarta: Amzah, 2007), 117.
“Para Ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”.41 Ayat di atas secara jelas menitik beratkan kepada seorang ibu untuk menyusukan anaknya dua tahun untuk membentuk kepribadian anak tahap awal. Dengan menyusui, anak (bayi) dapat terpenuhi kebutuhan fisiknya dan juga terpenuhi kebutuhan emosinya yang berupa kasih sayang, kelembutan, kehangatan dekapan ibu, dan perhatian. Ibu lebih berhak untuk menyusui anak yang dilahirkannya karena kasih sayang, kecintan, kelembutan, dan hubungan baik denganya.42 Memang tidak semua ibu bisa menyempurnakan penyusuan ini, yang disebabkan banyak faktor seperti makanan, lingkungan, dan sebagainya. Namun demikian yang terpenting adalah bagaimana orang tua memberikan perhatian dan pendekatan yang cukup kepada anaknya sehingga anak dapat berkembang dengan baik. Persoalan pemberian ASI al-Qur’an secara tegas menetapkan tentang radha’ah (penyusuan). Peraturan ini ditujukan untuk melindungi kepentingan anak-anak baik dalam keluarga yang utuh maupun ketika kedua orang tuanya bercerai. Jika ikatan perkawinan di antara kedua orang tuanya masih berlangsung, maka mereka berdua bertanggung jawab memelihara anaknya tanpa mengabaikannya, karena anak belum mampu mengurus sendiri. Seandainya perkawinan mereka bubar karena cerai, maka mereka dapat merumuskan dengan wajar dan adil untuk merawat anaknya. Radha’ah merupakan kewajiban kedua orang tua dan kalau mereka menelantarkannya niscaya mereka akan ditanyakan dan dituntut Allah pada Hari Peradilan kelak. Masa menyusui ini paling lama dua tahun seperti yang termaktub ketentuannya dalam al-Qur’an. Bila si anak merasa khawatir bahwa pihak ibunya akan mengabaikannya. Maka si ayah harus mencarikan ibu asuhnya. Pada masa kini, hal ini termasuk menyediakan susu formula bagi anak.43 Menyusui anak, merupakan anjuran Islam seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa al-Qur’an menyuruh ibu menyempurnakan penyusuannya. Dengan menyusui, anak (bayi) dapat terpenuhi kebutuhan fisiknya dan juga dapat terpenuhi kebutuhan emosinya 41
Departemen Agama, Al-Aliyy al-Qur’an dan Terjemahannya, 27. Ali yusuf As-Subki, penerjemah Nur Khozin, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam (Jakarta: Amzah, 2010), 279. 43 Abdul Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 138 42
yang berupa kasih sayang, kelembutan, kehangatan, dekapan ibu, dan perhatian. Memang tidak semua ibu bisa menyempurnakan penyusuan ini, yang disebabkan banyak faktor seperti makanan, lingkungan, dan sebagainya. Namun demikian yang terpenting adalah bagaimana orang tua memberikan perhatian dan kedekatan yang cukup kepada anaknya sehingga anak dapat berkembang dengan baik. 5) Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan Setiap anak dilahirkan memerlukan perawatan, pemeliharaan, dan pengasuhan untuk mengantarkannya menuju kedewasaan. Pembentukan jiwa anak sangat dipengaruhi oleh cara perawatan dan pengasuhan anak sejak dia dilahirkan. Tumbuh kembang anak diperlukan perhatian yang serius, terutama masa-masa sensitif anak, misalnya balita (bayi di bawah lima tahun) . Kaitannya dengan pemeliharaan anak dalam hal ini Allah berfirman dalam QS. al-Tahrim: 6
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”.44 Dalam menafsirkan ayat ini, Ali bin Abi Thalib berkata: “Yang dimaksud dengan menjaga keluarga dari api neraka adalah mengajari dan mendidik mereka”. Dengan demikian, mengajar, membina, dan mendidik anak adalah surga; sedang mengabaikan kegiatan-kegiatan itu berarti neraka. Oleh karenanya, tidak ada alasan bagi seseorang mengabaikan tugas mulia ini.45 Dalam masa pengasuhan, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan dan perawatan orang tua. Oleh karena orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak. Melalui orang tua, anak beradaptasi dengan lingkungannya untuk mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan hidup yang berlaku dilingkungannya. Mengasuh anak bukan hanya merawat atau mengawasi anak saja, melainkan lebih dari itu, yakni meliputi: pendidikan, sopan santun, membentuk latihan-latihan tanggung jawab, pengetahuan pergaulan dan sebagainya, yang bersumber pada pengetahuan kebudayaan yang dimiliki orang tuanya. 44
Departemen Agama, Al-Aliyy al-Qur’an dan Terjemahannya, 446. Ali Ghufran, Lahirlah Dengan Cinta, 70.
45
Mengenai ketentuan batas waktu pengasuhan, para Imam Mazhab berpendapat diantaranya adalah Imam Hanafi mengatakan: Masa asuhan adalah tujuh tahun untuk lakilaki dan Sembilan tahun untuk wanita. Sedang Imam Syafi’I berpendapat: Tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Apabila anak sudah sampai pada tingkat ini, anak disuruh memilih apakah tinggal bersama ibu ataukah ayahnya. Apabila seorang anak laki-laki memilih tinggal bersama ibunya, maka anak boleh tinggal bersama ibunya pada malam hari dan dengan ayahnya di siang hari, agar ayah bisa mendidiknya. Sedangkan apabila anak itu anak perempuan dan memilih tinggal bersama ibunya, maka dia boleh tinggal bersama ibunya siang dan malam. Tetapi anak memilih tinggal bersama ibu dan ayahnya, maka dilakukan undian, apabila anak diam (tidak memberikan pilihan) dan ikut bersama ibunya.46 Menurut pendapat Imam Syafi’i ini tidak ada batas waktu yang jelas mengenai pengasuhan akan tetapi ada catatan bahwa sebelum anak bisa menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Maka tetap anak tersebut tinggal bersama ibunya selama anak bisa menentukan pilihannya. Sementara pendapat Imam Hanafi ada batasan waktu dan ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, anak laki-laki masa asuhannya tujuh tahun, sedangkan untuk anak perempuan Sembilan tahun. Dan di sini tidak dijelaskan kepada siapa anak memilih untuk mengasuh dan kapan waktunya, yang jelas ada batas waktu ditentukan pengasuhannya. Berbeda halnya dengan pendapat Imam Maliki bahwa masa asuh anak laki-laki adalah sejak dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga menikah. Ketentuan ini batas waktu untuk laki-laki lebih rendah yaitu sejak baligh dan perempuan hingga menikah, ini artinya jauh perbedaan masa asuh laki-laki dan perempuan. Pendapat lain adalah Imam Hambali dan Imamiyah. Masing-masing berpendapat, Imam Hambali: masa asuh anak laki-laki sama dengan perempuan yaitu tujuh tahun, dan setelah itu ada kebebasan untuk memilih antara ibu atau ayahnya. Sementara pendapat yang terakhir adalah pendapat Imamiyah: masa asuh anak laki-laki dua tahun, sedang anak perempuan tujuh tahun. Pendapat-pendapat di atas menunjukkan adanya perbedaan tentang batas waktu pengasuhan anak, tentu pendapat-pendapat para Imam Mazhab di atas masingmasing memiliki argument yang kuat untuk kemaslahatan pengasuhan anak.47 6) Hak Anak dalam Kepemilikan Harta Benda 46
Muhammad Jawaz Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Jakarta : Lentera, 2008), 417 Ibid, 418
47
Hukum Islam menetapkan anak yang baru dilahirkan telah menerima hak waris. Hak waris maupun harta benda lainnya, tentu belum dapat dikelola oleh anak karena keterbatasan kemampuan untuk melakukan. Sementara itu untuk menjaga kemaslahatan dan melindungi hak property anak ini, Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah: 220
“Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan perbaikan dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi maha Bijaksana”.48 Dalam ayat yang lain Allah mengancam kepada orang-orang yang melakukan perbuatan aniaya terhadap hak anak yatim sebagaimana dalam QS. al-Nisa’ : 10
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”49 7) Hak Anak Dalam Memperoleh Pendidikan dan Pengajaran Semua anak yang terlahir di dunia mendapatkan hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Hak pendidikan ini bagi anak bersifat komprehensif, baik dalam mengembangkan nalar berfikirnya (pengembangan intelektual), menanamkan sikap dan perilaku yang mulia, memiliki keterampilan untuk kehidupannya, dan menjadikan sebagai manusia yang memiliki kepribadian yang baik.50 Dikatakan dalam Q.S al-Anfa>l ayat 28 bahwa anak-anak merupakan ujian Allah bagi manusia.
48
Departemen Agama, Al-Aliyy al-Qur’an dan Terjemahannya, 27. Ibid, 62 50 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam, 311. 49
“Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.51 Jika manusia merasa senang dengan anaknya, berarti ia telah sukses menempuh ujian ini. Jika ia berusaha untuk mendidiknya dan mengajarkannya agama, menyiapkan sarana bagi perkawinannya sesuai dengan kemampuannya, menghargainya, menghormatinya, dan menghargai hak-hak anaknya, maka ia akan memperoleh pahala besar. Hal ini ditegaskan dalam QS. al-Kahfi: 46
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.52 Fase anak-anak merupakan yang paling cocok, paling panjang dan paling penting bagi orang tua untuk menanamkan prinsip-prinsip lurus dan pengarahan yang benar ke dalam jiwa dan perilaku anak. Kesempatan untuk itu terbuka lebar. Jika orang tua dapat memanfaatkan fase ini dengan baik, maka peluang keberhasilan membina fase-fase berikutnya akan lebih besar. Dengan demikian, anak akan menjadi seorang mukmin yang tangguh, kuat dan energik.53 Cara memelihara anak adalah dengan mendidik, membina dan mengajarinya akhlak terpuji dan menjauhkannya dari teman-teman yang berperangai buruk. Mendidik dan mengajar anak merupakan hak asasi dan wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang komit kepada agama. Mendidik dan mengajar anak merupakan perintah dari Allah Yang Mahatinggi.54 Menurut ketentuan hukum perkawinan meskipun telah terjadi perceraian antara suami istri, mereka masih berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang 51
Departemen Agama, Al-Aliyy al-Qur’an dan Terjemahannya, 143 Ibid, 303. 53 Ali Ghufran, Lahirlah Dengan Cinta, 68. 54 Ibid, 69-70. 52
semata-mata ditujukan bagi kepentingan anak. Dalam pemeliharaan tersebut walaupun pada praktiknya dijalankan oleh salah seorang dari mereka, tidak berarti bahwa pihak lainnya terlepas dari tanggung jawab terhadap pemeliharaan tersebut.55 Pemeliharaan anak mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua.56Selanjutnya, tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat kontinu sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri. Disamping itu juga, pendidikan dalam hal ini dimaksudkan adalah kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan anak menjadi manusia yang mempunyai kemampuan dan dedikasi hidup yang dibekali dengan kemampuan dan kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut.57 Proses pemeliharaan anak dan pendidikannya akan dapat berjalan dengan baik, jika kedua orang tua saling membantu. Tentu saja ini dapat dilakukan dengan baik jika keluarga tersebut benar-benar keluarga yang sakinah dan mawaddah. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana pemeliharaan anak jika terjadi perceraian. Bila terjadi pemutusan perkawinan karena perceraian, baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik ana-anaknya semata-mata demi kepentingan si anak.58 Sebagaimana yang sudah dikemukakan di dalam hukum Islam yang dibebani tugas kewajiban memelihara dan mendidik anak adalah bapak, sedangkan ibu bersifat membantu. Ibu hanya berkewajiban menyusui anak dan merawatnya. Sesungguhnya dalam hukum Islam sifat hubungan hukum antara orang tua dan anak dapat dilihat dari segi materialnya, yaitu memberi nafkah, menyusukan (irdha’) dan mengasuh (hadlanah), dan dari segi immaterial yaitu curahan cinta kasih, penjagaan dan perlindungan serta pendidikan rohani dan lain-lain.59 Kewajiban orang tua (khususnya ibu) setelah melahirkan dan menyusui seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah membesarkan anak, yaitu dengan mendidiknya sesuai dengan dengan syari’at Islam. Untuk membesarlan anak, Allah memberi kita rizki agar
55
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 296. Ibid, 293 57 Ibid, 294 58 Ibid, 195 59 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (menurut: perundangan hukum adat hukum Islam) (Bandung: Mandar Maju, 2003), 144. 56
dapat menyekolahkannya serta mendidiknya dengan baik. Didalam surah al-Isra: 70 Allah berfirman:
“Dan sesungghnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan dilautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.60 Masa kanak-kanak merupakan tahap pembuatan pondasi atau tahap pembentukan kepribadian dari seorang manusia, agar mereka kelak memiliki kekuatan dan kemampuan serta mampu berdiri tegar dalam meniti kehidupan. Pendidikan yang baik, akan menghasilkan generasi penerus yang baik pula. Dan sebaliknya, pendidikan yang keliru, akan menghasilkan generasi penerus yang tidak dapat diharapkan, sehingga pada gilirannya hanya akan menciptakan sebuah masyarakat yang sakit. 2. Hak anak menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal yang secara eksplisit mengatur masalah kewajiban pemeliharaan anak dan harta jika terjadi perceraian terdapat dalam pasal 105 dan 106 yaitu: Pasal 105 Dalam hal terjadinya perceraian: 1) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; 2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; 3) Biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya.61
Pasal 106 1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan 60
Departemen Agama, Al-Aliyy al-Qur’an dan Terjemahannya, 231. Kompilasi Hukum Islam, 52.
61
keslamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi. 2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).62 Dari ketentuan pasal di atas semua menitik beratkan kepada kewajiban orang tua terutama ketika anak belum berumur 12 tahun, sementara dalam hal pemeliharaan anak yang sudah mumayyis sepenuhnya diserahkan kepada anak atau hak anak untuk memilih di antara keduanya ayah atau ibunya untuk memegang hak pemeliharaan. Pada ketentuan lainnya biaya pemliharaan anak sepenuhnya merupakan tanggung jawab ayah. Mengenai hak anak dalam mendapatkan kepemilikan harta dari orang tua ditegaskan pada pasal 106 ayat (1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau mengendalikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. Dan ayat (2) menegaskan: Orang tua bertangggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian.63Pada ayat (2) ini memberikan ketegasan bahwa jika terjadi kerugian atas harta anak tersebut yang disebabkan karena faktor kelalaian dan kesalahan, maka semuanya menjadi tanggung jawab orang tua, baik ayah atau ibunya. Mengenai ketentuan hak anak dalam mendapatkan biaya penyusunan, dijelaskan dalam pasal 104 ayat (1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggung jawabkan kepada ayahnya. Dan ketegasan batas waktu menyusukan anak, dijelaskan pada ayat (2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya. Dua ketentuan di atas mengenai biaya penyusuan dan batas waktu penyusuan dengan jelas memberikan ketegasan bahwa biaya penyusuan sepenuhnya dibebankan kepada ayah, pengecualian ayat (1) tersebut, apabila ayahnya telah meninggal maka beban tersebut baru diserahkan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya. Sementara dalam ayat (2) Menegaskan tentang tentang batas waktu penyusuan dengan ketentuan 2 tahun penuh tanpa mengurangi, hal tersebut dilakukan untuk memaksimalkan anak memperoleh ASI sebagai asupan pertama. Ayat tersebut tidak ada pengecualian harus mengubah batas waktu memberikan penyusuan. 62
Ibid, 53. Ibid, 264.
63
Hak-hak Anak Perspektif HAM (Hak Asasi Manusia) Sejarah konvensi hak-hak anak dalam konteks Internasional sebelumnya telah diawali sejarah perjalanan panjang. Dalam sebuah rumusan draft hak-hak anak yang dilakukan Mrs.Eglantynee Jebb, pendiri Save The Children Fund.64Setelah melaksanakan programnya merawat para pengungsi anak-anak di Balkan setelah Perang Dunia Kedua pertama, Jebb membuat draft “Piagam Anak” ia menulis: “Saya percaya bahwa kita harus menuntut hak-hak tertentu bagi anak-anak dan memperjuangkannya untuk mendapat pengakuan universal” . Dari tujuh butir draft yang disusun oleh Jebb, empat diantaranya adalah 1. Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga. 2. Bagi anak harus disediakan sarana yang diperlukan untuk perkembangan secara normal, baik materi, moral dan spiritual. 3. Anak yang lapar harus diberi makanan, anak yang sakit harus dirawat, anak cacat mental atau cacat tubuh harus dididik, anak yatim piatu dan anak terlantar harus diurus/diberi perumahan. 4. Anak harus menikmati dan sepenuhnya mendapat manfaat dari program kesejahteraan dan jaminan sosial, mendapat pelatihan agar pada saat diperlukan nanti dapat dipergunakan untuk mencari nafkah, serta harus dilindungi dari segala bentuk eksploitasi.65 Itulah empat draft dari tujuh butir gagasan yang dikeluarkan oleh Jebb yang kemudian dijadikan sebagai awal mula peletakan batu pertama konvensi hak-hak anak. Awal sejarah perkembangan hak-hak anak dari tahun 1923 yang pada waktu itu disetujuinya hak-hak anak oleh Save The Children International Union. Selanjutnya diakhiri pada tahun 1989 yang ketika itu terbentuknya konsep konvensi telah disiapkan dengan lengkap serta disetujuinya konvensi oleh Majelis Umum PBB. Pada tanggal 20 November 1989, Majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyetujui Konvensi Hak-Hak Anak. Konsiderans Konvensi itu memuat pokok-pokok pikiran, pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut yang dimiliki seluruh anggota keluarga manusia. Ini menjadi landasan dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian diseluruh dunia.66
64
Muhammad Joni, Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999) 29. 65 Muhammad Joni, Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999), 29. 66 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997), 103.
Konvensi hak anak terdiri dari 54 pasal yang berdasarkan materi hukumnya mengatur mengenai hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh negara peserta yang meratifikasi Konvensi Hak Anak.67 Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak tersebut, dapat dikelompokkan dalam 4 kategori hak-hak anak, yaitu: a) Hak terhadap kelangsungan hidup ( survival rights), yaitu hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup ( the rights of life) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik baiknya (the rights to the higest standart of health and medical care attainable). b) Hak terhadap perlindungan (protection rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi. c) Hak untuk tumbuh kembang (development rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Hak untuk berpartisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak anak untuk manyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the rights of a child express her/his views in all affecting that child).68 Pelaksanaan Perlindungan Hak Anak Pasca Perceraian Pelaksanaan perlindungan hak anak pasca perceraian masih jauh dari ketentuan undang-undang, dimana masih banyak dijumpai beberapa kasus penelantaran hak anak. Padahal hakikatnya pelaksanaan pemenuhan hak anak adalah untuk memberikan jaminan agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Hal ini sesuai dengan asas dan tujuan dari undang-undang N0.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang perlindungan anak telah mencakup beberapa hak-hak anak diantaranya adalah pasal 4 yang menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
67
Ibid, 34. Ibid, 35.
68
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan.69 Hak-hak anak dimaksudkan dalam pasal 4 ini menegaskan bahwa anak berhak hidup berkembang hingga mendapatkan perlindungan hukum dari kekerasan dan diskriminasi. Pemahaman masyarakat dalam melaksanakan kewajiban sebagai orang tua terutama pelaku perceraian sangat minim terbukti dengan pengetahuan hanya sebatas hak anak tentang biaya hidup saja. Pengamatan yang dilakukan informan terkait dengan kendala yang menyebabkan tidak dilaksanakan tanggung jawab memenuhi hak anak adalah karena keterbatasan ekonomi atau biaya hidup. Persoalan pengasuhan apabila anak tinggal bersama dengan ibunya maka ibu yang dominan membiayai segala kebutuhan anak, sebaliknya jika anak tinggal bersama dengan ayahnya maka ayah lebih dominan membiayai segala kebutuhanya. Terkadang yang sering terjadi pihak ayah atau ibu menangguhkan segala biaya kebutuhan anak, di Kabupaten Blitar rata-rata apabila terjadi perceraian pihak anak mayoritas ikut ibunya walaupun usia anak sudah dewasa. Jika kedua belah pihak antara ayah ataau ibu kurang mengurus atau bahkan meninggalkan anaknya maka anak sering dititipkan kepada keluarga ayah atau ibu. Dalam undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 26 ayat (2) tentang kewajiban dan tanggung jawab orang tua menyatakan bahwa dalam hal orang tua tidak ada atau tidak diketahui keberadaanya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga. 70 Namun walaupun ada ketentuan pengecualian demikian akan tetapi bukan berarti tidak ada upaya sama sekali untuk melaksanakan seluruh kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan kepada keduanya. Pada dasarnya tidak ada ruang atau dalih apapun untuk mengelak dari kewajiban dan tanggung jawab orang tua sesuai dengan ketentuan pasal 26 ayat (1) bahwasanya orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b) menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.71 Ketentuan di atas sama dengan ketentuan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyebutkan pasal 41: baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak.72 Sementara dalam poin b “Ayah
69
Pustaka Yustisia, Perundangan tentang Anak (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), 68. Ibid, 72. 71 Ibid 72 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 67. 70
yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana ayah dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut”. Itulah ketentuan yang ada dalam undang-undang perkawinan mengenai kewajiban pengecualian orang tua, hanya ada satu pengecualian yaitu jika ayah tidak mampu dalam memenuhi kewajibanya maka ibu juga ikut memikul biaya atau beban pemeliharan. Undang-undang perkawinan diatas garis hukum yang terkandung dalam pasal 41 tersebut tampak tidak membebankan antara tanggung jawab pemeliharaan yang mengandung nilai materiil dengan tanggung jawab pengasuhan anak yang mengandung nilai non materiil atau yang mengandung nilai kasih sayang. Undangundang perkawinanan penekanannya berfokus pada nilai materiilnya, sedangkan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang penekanannya meliputi kedua aspek tersebut, yakni sebagai berikut: Pasal 105 KHI dalam hal perceraian: a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyis diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya. c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Ketentuan KHI tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab seorang ayah kepada anaknya tidak dapat gugur walaupun ia sudah bercerai dengan istrinya atau ia sudah kawin lagi. Dapat juga dipahami bahwa ketika anak itu masih kecil (belum baligh) maka pemeliharaanya merupakan hak ibu, namun biaya ditanggung ayahnya. 73 Meski usia anak belum baligh dan pemeliharaanya berada dalam otoritas ibu, akan tetapi segala yang menyangkut biaya sepenuhnya ditanggung ayahnya. Selain itu, anak yang belum mumayyiz maka ibu mendapat prioritas utama untuk mengasuh anaknya. Apabila anak sudah mumayyiz maka sang anak berhak memilih diantara ayah atau ibunya yang ia ikuti. Tergantung dari anak dalam menentukan pilihanya. Tidak demikian halnya yang terjadi di Kabupaten Blitar selama ini mengenai tanggung jawab pemeliharaan anak. Ketentuan mengenai batas usia jika anak belum baligh maka haknya ibu untuk memelihara, dan biaya sepenuhnya ditanggung ayah meskipun anak tinggal bersama dengan ibunya. Keadaan yang terjadi selama ini adalah tidak ada ketentuan
73
Ibid, 67-68.
apapun kapan anak berada dengan ibunya atau ayahnya. Jika anak tinggal bersama dengan ibunya maka ibu yang sepenuhnya membiayai. Salah satu hak anak yang biasa diberikan pasca perceraian adalah menyangkut masalah pendidikan. Hak tersebut harus diberikan oleh orang tua untuk dapat mengembangkan kepribadian dan kecerdasanya. Hal ini sesuai dengan undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasanya sesuai dengan minat dan bakatnya.74 Ini artinya bahwa anak harus mendapat pendidikan dengan tujuan yang sangat mulia untuk menjadi insan yang berkepribadian luhur dan cerdas sehingga dengan pendidikan inilah diharapkan anak dapat tumbuh berkembang sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki. Pada hakikatnya selain hak-hak yang telah disebutkan diatas ada hak yang sangat penting yang harus diberikan para orang tua kepada anaknya yaitu hak memperoleh kasih sayang, karena dengan kasih sayang yang penuh akan menjadi pondasi awal orang tua untuk dapat memenuhi hak-hak anak lainnya. Bagaimana mungkin hak-hak lain akan diberikan jika tidak diberikan kasih sayang yang penuh. Hal ini sesuai dengan amanat undang-undang kesejahteraan anak N0. 4 Tahun 1979 pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang yang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus, untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.75 Ketentuan dalam Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang menegaskan bahwa pengakuan negara atas keseluruhan hak-hak anak serta kewajiban dan tanggung jawab negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua dalam memenuhi hak-hak anak. Bukan hanya orang tua yang bertanggung jawab akan tetapi negara dan masyarakat serta komponen lainya. Dalam Undang-undang tersebut juga menegaskan partisipasi anak yang berbunyi “Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan”. Hal ini dapat dipahami bahwa hak seorang anak pada taraf seusianya dapat diposisikan sebagai individu yang bebas, merdeka, belum terpengaruh lingkungan dengan masalah dan konfliknya, tidak peduli dengan status dan derajatnya dengan bebas menyampaikan keinginan dan perasaanya. Artinya anak74
Undang-undang RI No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, h lm. 123. Ibid, 55.
75
anak mempunyai hak menyampaikan pendapat, menyampaikan keinginan dan perasaanya, mulai dari menangis, murung, gembira, senyum, bersuara manis untuk menyampaikan keinginan dan perasaannya. Mendapatkan perlindungan merupakan hak dari setiap anak, dan diwujudkanya perlindungan bagi anak berarti terwujudnya keadilan dalam suatu masyarakat. Asumsi ini diperkuat dengan pendapat Age, yang telah mengemukakan dengan tepat bahwa “melindungi anak
pada hakekatnya melindungi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara di masa
depan”.76 Dari ungkapan tersebut nampak betapa pentingnya upaya perlindungan anak demi kelangsungan masa depan sebuah komunitas, baik komunitas yang terkecil yaitu keluarga, maupun komunitas yang terbesar yaitu negara. Artinya, dengan mengupayakan perlindungan bagi anak komunitas-komunitas tersebut tidak hanya telah menegakkan hak-hak anak, tapi juga sekaligus menanam investasi untuk kehidupan mereka di masa yang akan datang. Di sini, dapat dikatakan telah terjadi simbiosis mutualisme antara keduanya. Pelaksanaan perlindungan terhadap anak serta jaminan atas hak-haknya diatur dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Yang memiliki kewajiban dalam perlindungan anak bukan hanya Negara, melainkan juga oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat 12 yang berbunyi, “Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara.” Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak. Pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani, maupun sosial. Dengan demikian yang menjadi dasar pelaksanaan perlindungan anak yaitu: 1.Dasar filosofis, Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan sekeluarga, bermasyarakat bernegara dan berbangsa serta dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak. 2.Dasar estis, pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan berkewenangan, kekuasaan dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak. 3.Dasar yuridis, pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD1945 dan berbagai peraturan perundangundangan lainnya yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integrative, yaitu 76
Arief, Gosita. Pengembangan Aspek Hukum Undang-undang Peradilan Anak dan Tanggung Jawab Bersama, Seminar Nasional Perlindungan Anak, diselenggarakan Oleh UNPAD, Bandung.(5 Okober 1996).
penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.77 Dalam melaksanakan kewajibanya sebagai orang tua pasca perceraian ada beberapa kendala dalam pelaksanaanya, itu tidak bisa dipungkiri namun bukan berarti menjadikan kewajiban orang tua gugur. Kendala yang sering dijumpai para orang tua adalah karena keterbatasan ekonomi. Hal ini didasari dari pengamatan para ulama dan juga yang dialami sebagian orang tua. Namun tidak hanya karena keterbatasan ekonomi saja akan tetapi juga karena faktor kelalaian orang tua, faktor rendahnya pendidikan, dan juga rendahnya moral orang tua. Apabila ada kendala dalam melaksanakan kewajibanya dalam hal pemenuhan hak anak karena keterbatasan ekonomi tidak ada alasan yang menjadikan kewajiban orang tua gugur. Akan tetapi kewajibanya tetap melekat dan harus memberikan segalanya untuk anak demi kelangsungan hidupnya. Menurut jumhur fukaha, jika ayah dalam keadaan fakir, tetapi mampu bekerja dan memang benar-benar telah bekerja, tetapi penghasilanya tidak mencukupi, kewajiban nafkah kepada anak itu tetap, tetapi tidak menjadi gugur.78 Kesimpulan Pelaksanaan pemenuhan hak anak pasca perceraian selama ini belum mampu untuk melaksanakan ketentuan perlindungan hak anak, disebabkan beberapa faktor yang manjadi kendala, antara lain keterbatasan ekonomi, kelalaian orang tua, rendahnya pendidikan orang tua, serta rendahnya moral orang tua. Pemahaman masyarakat dalam melaksanakan kewajiban sebagai orang tua terutama pelaku perceraian sangat minim terbukti dengan pengetahuan hanya sebatas hak anak tentang biaya hidup saja. Dalam melaksanakan kewajibanya sebagai orang tua pasca perceraian ada beberapa kendala dalam pelaksanaanya, itu tidak bisa dipungkiri namun bukan berarti menjadikan kewajiban orang tua gugur. Kendala yang sering dijumpai para orang tua adalah karena keterbatasan ekonomi. Namun tidak hanya karena keterbatasan ekonomi saja akan tetapi juga karena faktor kelalaian orang tua, faktor rendahnya pendidikan, dan juga rendahnya moral orang tua. Apabila ada kendala dalam melaksanakan kewajibanya dalam hal pemenuhan hak anak karena keterbatasan ekonomi tidak ada alasan yang menjadikan kewajiban orang tua gugur. Akan tetapi kewajibanya tetap melekat dan harus memberikan segalanya untuk anak demi kelangsungan hidupnya. Maka peran masyarakat menjadi amat penting untuk turut
77
Ibid, 52. Ahmad Azhar Basir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2007), 110.
78
berpartisipasi, yakni para pihak yang mempunyai kepedualian masa depan anak, baik organisasi keagamaan, yayasan atau LSM.
Daftar Pustaka Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika. Basir, Ahmad Azhar. 2007Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press Ch, Mufidah.2008. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: UIN Press. Departemen Agama, Al-Aliyy al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung : Diponegoro, 2006 Effendi, Satria. 2004. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta: Kencana Ghazali, Abd.Rahman. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana. Gosita, Arief. Pengembangan Aspek Hukum Undang-undang Peradilan Anak dan Tanggung Jawab Bersama, Seminar Nasional Perlindungan Anak, diselenggarakan Oleh UNPAD, Bandung Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Perkaawinan Indonesia Menurut: Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama . Bandung: Mandar Maju. Jawaz, Muhammad Mughniyah. 2008. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera Joni, Muhammad Zulchaina Z. Tanamas. 1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak (Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Manan, Abdul. 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana Prints, Darwan. 1997. Hukum Anak Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti Pustaka Yustisia. 2010. Perundangan tentang Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia Setyowati, Irma. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara Supeno, Hadi. 2010. Menyelamatkan Anak. Jakarta: Graha Putra. Undang-undang RI nomor 13 tahun 2006. 2006. Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta: CV Medya Duta. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997. 2006. tentang Peradilan Anak dan UndangUndang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Surabaya: Media Centre. Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1979. 2006. Tentang Kesejahteraan Anak. Surabaya: Media Centre
Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1979. 2006. Tentang Kesejahteraan Anak. Surabaya: Media Centre. Undang-undang RI. 2006. Tentang Peradilan Anak Nomor 3 Tahun 1997 dan Tentang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. Surabaya: Media Centre.