5
BAB II KAJIAN TORITIS 2.1 Teori Ritus Teori ritus dikemukakan oleh Rebertson Smith (dalam Koentjaraningrat, 2007 : 165), sebagai “salah satu simbol dari suatu kenyataan didasar atas peraturan yang sewenang-wenang atau simbol dari suatu masyarakat yang sangat penting (transcendent) yang merupakan realitas rohani kepada nilai-nilai tertinggi dari suatu komunitas atau masyarakat”. Terkait dengan sentuhan dan aktivitas rohani, manusia dalam hal memenuhi segala keinginannnya senantiasa mengunakan alam sebagai media pencapaiannya. Adanya anggapan-anggapan mengenai alam selain sebagai sumber kehidupan yang mampu mempengaruhi dan menciptakan proses-proses yang berlangsung dalam alam raya. Guna memenuhi berbagai maksud tertentu manusia mempergunakan teknik-teknik atau cara-cara serta segenap pengetahuan dan kekuasaan, baik kekuasaan yang ada di luar dirinya. Sehingga manusia dan segenap kekuasaannya mampu mempergunakan alam sebagai media dan juga untuk menguba alam sesuai kebutuhannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (www.artikata.com, diakses 29 Mei 2013), ritus ini berarti “tata cara dalam upacara keagamaan”. Hal ini sangat bersesuaian dengan kenyataan yang ada dimana ritus biasa digunakan dalam suatu upacara keagamaan tertentu.
6
Rebertson
Smith
(dalam
Koentjaraningrat,
2007
:
167-168)
mengemukakan tiga gagasan penting yang menambah pengertian tentang ritus sebagai sistem upacara keagamaan ini, diantaranya: Gagasan pertama, mengenai soal bahwa di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara merupakan suatu perwujudan religi atau agama yang memerlukan studi dan analisis yang khusus. Dalam agama upacaranya itu tetap, tetapi latar belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya berubah. Gagasan kedua adalah bahwa upacara religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempuyai fungsi sosial untuk mengintesifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu agama menjalankan upacara dengan sungguh-sungguh, dan ada yang menjalankannya setengah-setengah. Mereka menganggap upacara adalah untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi dan upacara adalah kewajiban sosial. Gagasan ketiga adalah teori mengenai fungsi upacara sesaji. Pada pokoknya dalam upacara seperti itu, manusia menyajikan seekor binatang, terutama darahnya, kepada dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya.
Karena teori ritus itu sendiri berkaitan erat dengan sebuah ritual, dalam konteks teori ini, Dhavamony (1995 : 175-176) membedakannya menjadi empat macam, yakni: (1) tindakan magic, yakni tindakan yang dikaitkan dengan penggunaan bahanbahan yang bekerja karena daya-daya mistis; (2) tindakan religius, kultus para leluhur juga bekerja dengan cara ini; (3) ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistik dengan demikian upacara-upacara kehidupan menjadi khas; dan (4) ritual faktif, yakni meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau permunian dan perlindungan atau dengan kata lain, meningkatkan suatu kesejahtraan materi dari suatu kelompok. Teori ritus dipergunakan sebagai alat analisis dalam membahas dan menjawab rumusan masalah yang pertama yaitu bagaimana proses upacara ritual motayok.
7
2.2 Konsep Ritual Dalam disiplin ilmu antropologi, pemaknaan tentang ritual sangat beragam. Fung dan Wagnallas ( dalam Muhaimin AG. 2001 : 113) memaknai “ritual sebagai tindakan atau upacara keagamaan. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa ritual merupakan aktivitas yang berbeda dari aktivitas keseharian”. Ketika kita berusaha menemukan sebuah definisi yang cukup luas dan tentu saja juga komprehensif untuk mencakup ragam aktivitas manusia yang bisa kita gambarkan di bawah kata “ritual” tidaklah dapat dilakukan semuanya itu secara mulus. Terdapat dua aspek dalam ritual, yaitu performance dan transformation. “Ritual defined in the most general and basic terms is performance, planned or improvised, that effects a transition from everyday is transformed.” Di dalam definisinya tersebut, diterangkan bahwa semua ritual, termasuk ritual keagamaan, didasarkan kepada dunia keseharian manusia. Salah satu definisi yang paling baik mengenai ritual keagamaan diberikan oleh Victor Turner, yang mendeskripsikannya sebagai: “Prescribed formal behavior for occasions not given over to technical routine, having reference to beliefs in mystical (or non-empirical) beings or powers, regarded as the first and final causes
of
all
effects.”
(http://faisal-wibowo.blogspot.com/2013/01/sistem-
ritual.html , diakses 11 Juli 2013) Ritual ini sendiri sering dijumpai pada upacara atau tatacara agama, dan ada pada semua agama, misalnya dalam bentuk tatacara ibadah baptisan, perjamuan, penyucian, korban, doa, tarian, nyanyian, ziarah, dan sebagainya, baik ibadah pribadi maupun bersama orang lain.
8
Sebuah ritual juga identik dengan suatu kepercayaan terhadap kekuatan yang tak kasat mata, dalam hal ini disebut sebagai ilmu gaib. Terkait dengan hal ini Koentjaraningrat (1987: 216) mengungkapkan bahwa “ilmu gaib yang dalam bahasa inggris disebut magic adalah teknik-teknik atau kompleks cara-cara yang digunakan manusia untuk mempengaruhi alam sekitarnya menurut kehendak manusia”. Ritual juga bisa dikatan sebuah teknik (cara, metode) dalam membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci (sanctify the custom). Ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan agama. Ritual bisa pribadi atau berkelompok. Wujudnya bisa berupa doa, tarian, drama, kata-kata seperti "amin" dan sebagainya. Dalam konteks ini penelitian di sini, pendapat Charles J. Adam (dalam Nur Syam 2005:20) ritual dapat diartikan sebagai: Serangkain tindakan agama yang muncul karena ekspresi seseorang/komunitas terhadap pengalaman tentang realitas Tuhan dan kehendak-Nya. Ekspresi tersebut melahirkan bentuk-bentuk simbol yang dalam tradisi keagamaan hidup di masyarakat dan mewujudkan dalam berbagai bentuk ritual lainya. Ritual dengan demikian adalah sebuah realitas yang terbentuk dalam dimensi kesejarahan. Upacara ritual atau ceremony adalah sistem atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1987: 190). Ritual juga dapat ditinjau dari dua segi: tujuan (makna) dan cara. Dari segi tujuan, ada ritual yang tujuan¬nya bersyukur kepada Tuhan; ada ritual yang tujuannya mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan
9
rahmat; dan ada yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan. Adapun dari segi cara, ritual dapat dibedakan menjadi dua: individual dan kolektif. Sebagian ritual dilakukan secara perorangan, bahkan ada yang dilakukan dengan mengisolasi diri dari keramaian, seperti meditasi, bertapa, dan yoga. Ada pula ritual yang dilakukan secara kolektif (umum), seperti khotbah, salat berjamaah, dan haji. George Homans (Djamari, 1993: 38) menunjukkan hubungan antara ritual dan kecemasan. Menurut Homans, ritual berawal dari kecemasan. Dari segi tingkatannya, ia membagi kecemasan menjadi: kecemasan yang bersifat “sangat”, yang ia sebut kecemasan primer; dan kecemasan yang biasa, yang ia sebut kecemasan sekunder. Selanjutnya, Homans menjelaskan bahwa kecemasan primer melahirkan ritual primer; dan kecemasan sekunder melahirkan ritual sekunder. Oleh karena itu, ia mendefinisikan ritual primer sebagai upacara yang bertujuan mengatasi kecemasan meskipun tidak langsung berpengaruh terhadap tercapainya tujuandan ritual sekunder sebagai upacara penyucian untuk kompensasi kemungkinan kekeliruan atau kekurangan dalam ritual primer. Menurut Faisal Wibowo ((http://faisal-wibowo.blogspot.com/2013/01/sistemritual.html , diakses 11 Juli 2013) kita bisa melihat secara lebih jernih apa yang terjadi di dalam sebuah ritual jika kita mampu memahami lima faktor utama ritual, yaitu: 1. Dimensi Material Suatu Ritual Kita akan mengobservasi dan mendokumentasikan dimensi material suatu ritual. Objek-objek fisik apa saja yang digunakan (seperti buku/kitab, alat music, makanan, lilin, dan bel)? Dalam ruang fisik seperti apa suatu ritual terjadi (seperti di dalam
10
2.
3.
4.
5.
atau di luar ruangan)? Di sebuah ruangan yang besar ataukah sebaliknya sangat kecil? Bagaimana para pesertanya berbusana? Bagaimana atmosfer fisik tempat tersebut (terang atau gelap)? Dipenuhi asap atau tidak? Baubauan seperti apa atau sensasi lain apa yang terasa? Kesimpulannya, apa yang membuat tempat tersebut menjadi “sakral”? Dimensi Aktif Suatu Ritual Mengeni apa yang dilakukan oleh para peserta ritual itu. Misalnya menyanyi, menari, ataukah hanya duduk? Bagaimana rentetan, urutan aksi ritual itu dilaksanakan? Bagaimana mood atau sikap para partisipan saat mereka berada dalam pelaksanaan ritual tertentu? Perlu ditegaskan bahwa tindakan ritual tidak terjadi dalam Susana vakum. Setiap ritual harus dimulai oleh semacam tindakan pemula yang menyiapkan para partisipan untuk masuk secara penuh ke dalam ruang dan waktu yang sacral, dan itu biasanya akan diikuti oleh beberapa aksi yang memperkenankan para partisipan untuk kembali masuk ke dunia profan dengan cara gradual. Dimensi Kemanusiaan Dimensi ini mencakup siapa saja yang berpartisipasi (bukan orang per orang secara spesifik, namun kategori yang mereka miliki, misalnya para tetua, anak muda, perempuan, laki-laki atau komunitas dari kelas sosial tertentu)? Kemudian apakah ada perbedaan yang tampak menonjol antara mereka yang tampak memimpin acara ritual dengan mereka yang membentuk “majlis”?. Dimensi Supranatural Suatu Ritual Dimensi ini untuk mengukur wujud/kekuatan atau ide apa yang bertengger di pusat ritual (yaitu bagaimana karakteristik “dunia supranaturalnya” yang dengannya para partisipan ingin tenggelam)? Dimensi Mitologis Suatu Ritual Tujuan daripada dimensi ini adalah untuk melihat dan membuka tabir kisah semacam apakah yang disampaikan untuk menjelaskan mengapa setiap orang berkumpul pada waktu ini, di tempat ini, untuk tujuan-tujuan ini? Disamping itu, dilihat juga siapa yang menyampaikan kisah-kisah tersebut? Apakah kisah tersebut secara eksplisit dibacakan, atau apakah ini secara implisit mengasumsikan bahwa setiap orang sudah mengetahuinya. Lebih dari itu, dapat dipastikan bahwa tidak semua orang dapat memimpin
sebuah ritual. Pastinya ritual tersebut dipimpin oleh para anggota grup yang telah memperoleh semacam pelatihan khusus yang member mereka pengetahuan dan kekuatan yang tidak dibagi kepada para anggota grup lain. Para pemimpin ritual dalam tradisi keagaman yang bisa membaca berorientasi kepada semacam wujud supernatural yang dipersonalisasikan atau wujud-wujud yang disebut priest atau priestesses. Mereka berasal dari keluarga atau keturunan terpilih, meski apapun
11
keahlian yang mereka miliki tidaklah secara langsung diwariskan namun harus dipelajari melalui kajian yang intensif. Priest dan Pristesses memimpin jama’ah dalam kegiatan berdo’a (memohon pertolongan kepada yang kuasa) dan member persembahan (memberi suguhan sebagai tanda syukur). Masih menurut Faisal Wibowo, ada lima kategori umum ritual , yaitu: 1) Technological Rituals, tipe ritual yang pertama adalah yang bersifat teknologis. Fokusnya adalah kepada pencapaian suatu kendali atas kekuatan-kekuatan alam. 2) Therapeutic Rituals, kedua adalah tipe ritual yang bersifat terapetik. Ini umumnya dirancang untuk mencegah atau mengatasi ketidakberuntungan atau suatu penyakit. 3) Ideological Rituals, ini merupakan tipe ketiga ritual yang bersifat ideologis. Ritual-ritual tersebut umumnya dirancang untuk memperkuat nilai-nilai yang ada di dalam sebuah kelompok. 4) Salvationary Rituals, selanjutnya, tipe keempat ritual adalah ritual keselamatan (salvationary). Ritual semacam ini dirancang untuk menolong bergelutnya seseorang dengan urusan individual. 5) Revitalization Ritual, tipe ritual yang kelima adalah jenis ritual yang diasosiasikan dengan gerakan-gerakan revitalisasi (revitalization movements), yang dilakukan demi ISI masyarakat secara keseluruhan apa yang ritual-ritual keselamatan
lakukan
untuk
individu. (http://faisal-
wibowo.blogspot.com/2013/01/sistem-ritual.html , diakses 11 Juli 2013) Demikian berdasarkan padangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa praktek-praktek ritual adalah bentuk-bentuk system keagamaan yang bersifat universal. Praktek tersebut adalah instrument yang dengannya berbagai abstrak dari suatu system keyakinan diterjemahkan ke dalam ruang dan masa yang sakral.
12
Ritual juga menyediakan forum di mana para pengikutnya masing-masing mengkomunikasikan gagasan-gagasan mereka dengan menyediakan saluransaluran yang melaluinya manusia berhubungan dengan wujud supernatural. 2.3 Konsep Budaya Koentjaraningrat (2000: 10) mempunyai pandangan bahwa “kata budaya atau kebudayaan itu tidak lain berasal dari bahasa Sansekerta budhayah, yang merupakan bentuk jama dari buddhi yang berarti budi dan akal. Dengan demikian. budaya atau kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. Senada dengan pendapat tersebut, PJ. Zoetmulder (dalam Faisal Ismail, 2004:10) dalam sebuah bukunya, Cultur, Oost en West, mengatakan bahwa kata kebudayaan itu adalah suatu perkembangan dari kata majemuk “budi daya” yang berarti kekuatan dari daya budi dan kekuatan dari daya akal. Dalam hal ini, Faisal Ismail juga memberikan beberapa arti dari budaya dalam bahasa lain, diantaranya: Dalam bahasa Inggris, istilah budaya atau kebudayaan disebut culture. Kata culture ini sendiri berasal dari kata Latin colere yang berarti “mengola atau mengerjakan,” terutama mengelola tanah atau bertani. Dari arti ini, berkembanglah arti culture sebagai segaa daya dan usaha manusia untuk mengubah alam. Instilah cuture (Inggris) telah di Indonesiakan menjadi kultur, yang pengertiannya sama dengan kebudayaan, atau bila ditulis secara singkat menjadi budaya. Istilah ini juga dalam bahasa Arab disebut juga dengan tsaqafah. Ki Hajar Dewantara (dalam Supartono, 2001: 34) mengungkapkan: Kebudayaan berarti buah budi manusia yang berasal dari hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam kodrat (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
13
Oleh karena itu budaya dapat dikatakan seluruh hasil usaha manusia dengan budinya berupa segenap sumber jiwa, yakni cipta, rasa, dan karsa. Budaya dapat juga diusahakan demi keindahan dan permainan, juga demi nilai-nilai dari realitas yang dikandung olehnya. Dengan demikianseni, permainan, sport, magis, dan agama masuk ke dalam budaya. Disitulah nampak kerja spiritual manusia didalam bentuk kehidupan. Itulah semua aspek ketika dari daya menciptakan budaya (Widagdho, 1999:27). Menurut Kluchon dan Strodtbeek (dalam Koentjaraningrat, 2007: 78), soal-soal yang paling tinggi nilainya dalam hidup manusia dan yang ada dalam tiap kebudayaan di dunia, menyangkut paling sedikit lima hal, yaitu: (1) soal human nature atau makna hidup manusia, (2) soal man-nature atau makna dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, (3) soal time, atau persepsi manusia mengenai waktu, (4) soal activity, atau soal makna dari pekerjaan, karya dan amal perbuatan manusia, (5) soal relational atau hubungan manusia dengan sesama manusia. Secara tehnikal, kelima masalah tersebut sering disebut value orientations atau “orientasi nilai budaya”. Budaya nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, aturan-aturan dan norma-norma yang melingkupi suatu kelompok masyarakat akan mempengaruhi sikap dan tindakan individu dalam masyarakat tersebut. Sikap dan tindakan individu dalam suatu masyarakat dalam beberapa hal yang berkaitan dengan nilai, keyakinan aturan dan norma akan menimbulkan sikap dan tindakan yang cenderung homogen. Artinya, jika setiap individu mengacu pada nilai, keyakinan, aturan dan norma kelompok, maka sikap dan perilaku mereka akan cenderung seragam. Misalnya dalam suatu masyarakat ada aturan mengenai bagaimana melakukan pernikahan sehingga laki-laki dan perempuan dapat disahkan sebagai suami istri.
14
Ketika anggota masyarakat akan menikah, maka proses yang dilalui oleh anggota masyarakat itu akan cenderung sama dengan anggota masyarakat yang lainnya.
2.4 Makna dan Simbol Budaya Dalam menangkap yang disebut makna kebudayaan, perlulah mengetahui lebih dahulu cara menafsir simbol-simbol yang setiap saat dan tempat dipergunakan orang dalam kehidupan umum. Pendayagunaan makna dari simbol sesungguhnya tidaklah terbatas pada upacara mitos, cerita legenda yang dianggap resmi saja. Kata simbol itu sendiri berasal dari bahasa Yunani symbolon yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang. Budaya pada dasarnya selalu bertitik pijak pada simbol. Geertz (dalam Y Sumandiyo Hadi, 2006: 25) juga sudah menjelaskan bahwa “kaitan manusia dengan kebudayaan adalah ibarat binatang yang terperangkap dalam jerat-jerat makna yang dia tenun sendiri”. Simbol ini mempunyai peran yang sangat penting dalam kebudayaan. Kebudayaan dan simbol ini diibarakan sebagai satu mata uang dengan dua sisi. Pemikiran Geertz (dalam Y Sumandiyo Hadi, 2006: 26-27) tentang kebudayaan dan simbol ini dijelaskan bahwa simbol yang diciptakan manusia, dan secara konvensional digunakan bersama, teratur dan benar-benar dipelajari, memberi manusia suatu kerangka yang penuh dengan arti untuk mengorientasikan dirinya kepada yang lain, kepada lingkungannya dan pada dirinya sendiri, sekaligus juga sebagai produk dan ketergantungan dengan interaksi sosial. Sedangkan, Kluchkon (dalam Mulyana 2000:57), berpendapat bahwa “budaya manusia tanpa bahasa adalah tidak mungkin. Manusia-manusia
15
menciptakan budaya tidak hanya sebagai suatu mekanisme adaptif terhadap lingkungan biologis dan geofisik mereka tetapi juga sebagai alat untuk memberi andil kepada evolusi sosial. Kita lahir turun-temurun, membawa zat-zat pembawa sifat dan sifat-sifat budaya generasi manusia sebelum kita. Budaya adalah suatu cara hidup yang dimiliki sekelompok orang yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. Zat-zat pembawa sifat dan ciri-ciri budaya tersebut saling mempengaruhi, sebagaimana lingkungan geofisik dimana kita dibesarkan mempengaruhi kita. 2.5 Mitos dan Ritual Kebudayaan 2.5.1 Mitos Setiap masyarakat memiliki serangkaian mitos yang mendefinisikan budayanya. Mitos merupakan cerita yang berisi elemen simbolis yang mengekspresikan emosi dan cita-cita budaya. Cerita-cerita berupa konflik antara dua kekuatan besar, dan berfungsi sebagai pembimbing moral untuk anggota masyakat. Mitos yang beredar di masyarakat biasanya menunjukkan dua hal yang saling berlawanan. Misalnya kebaikan belawanan dengan setan dan kejahatan, alami berlawanan dengan teknologi/kimiawi dan lain-lain. Arah yang berlawanan tersebut biasanya secara bersamaan muncul pada diri manusia dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, dalam pemahaman tentang mitos masyarakat perlu mengetahui batas-batas baik dan buruk dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Batasan tersebut dijelaskan dalam aturan dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat. Dalam hal-hal tertentu, mitos berfungsi sebagai mediator
16
antara kekuatan baik dan kekuatan jahat atau antara dua kekuatan lainnya. Misalnya banyak mitos yang beredar di masyarakat mengenai binatang yang mempunyai kemampuan seperti manusia (misalnya kancil yang cerdik menyerupai manusia). Mitos tersebut dimaksudkan sebagai jembatan antara kemanusiaan dan alam semesta. Dalam praktek pemasaran, banyak sekali namanama binatang (yang mempunyai mitos tertentu) digunakan sebagai merek produk. Misalnya Toyota menggunakan nama Kijang untuk merk mobil dan Mitsubishi menggunakan Kuda. Penggunaan mitos sebagai cara untuk taktik pemasaran sangat sering terjadi. Di Indonesia mitos mengenai kekuatan Bima digunakan sebagai merek produk Jamu kuat untuk pria misalnya. Bahkan dalam kancah perpolitikan mitos mengenai akan datangnya ratu adil dalam masyarakat Indonesia dijadikan alat untuk memperoleh dukungan masa. Pemasar harus secara kreatif menggali mitosmitos yang sangat dipercayai oleh suatu masyarakat dan mitos-mitos tersebut bisa digunakan sebagai sarana untuk menyusun strategi pemasaran. 2.5.2 Ritual Kebudayaan Ritual budaya merupakan kegiatan-kegiatan rutin yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Ritual menggambarkan prosedur budaya yang harus dilakukan oleh sekelompok masyarakat agar bisa memenuhi tuntutan budayanya. Mowen (dalam Rahim, 2013) mendefinisikan: Ritual budaya sebagai urutan-urutan tindakan yang terstandardisasi yang secara periodik diulang, memberikan arti, dan meliputi penggunaan simbol-simbol budaya. Ritual mempunyai beberapa kegunaan yang secara umum mempunyai permulaan, pertengahan dan akhir proses ritual. Ritual dapat bersifat pribadi ataupun bersifat umum. Variasinya mulai dari skala
17
yang besar seperti mudik lebaran sampai pada skala yang kecil seperti ziarah kubur misalnya.
Ritual budaya berbeda dengan kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang. Ritual budaya dilakukan secara serius dan formal, dan juga memerlukan intensitas yang sangat dalam dari seseorang yang melakukan ritual. Sementara itu kebiasaan tidak dilakukan secara serius dan tidak mesti dilakukan. Kebiasaan akan sangat mudah berubah jika ada stimulus lain yang lebih menarik. Misalnya jika Anda biasa melalui jalur jalan tertentu ketika berangkat kerja dan Anda sudah biasa menghadapi jalan yang macet, namun ketika ada jalur jalan lain yang lebih lowong dan lebih cepat membawa Anda ke kantor, mungkin kebiasaan Anda akan berubah. Setiap ritual budaya akan membutuhkan benda-benda (artifak) yang digunakan untuk melaksanakan proses ritual. Benda-benda inilah yang oleh pengusaha dijadikan sebagai peluang usaha. Setiap upacara ulang tahun misalnya, benda-benda yang dibutuhkan meliputi beberapa jenis seperti permen balon, kue dan lain-lain. Dalam upacara perkawinan misalnya banyak sekali artifak yang diperlukan agar proses ritual perkawinan berjalan dengan baik dan memuaskan pihak penyelenggara ritual. Benda-benda yang dibutuhkan dalam ritual perkawinan sangat banyak dan bervariasi mulai dari gedung tempat pesta, bunga, baju pengantin, rias pengantin gamelan tradisional, makanan, buah-buahan dan lain-lain.
18
2.5 Ritual Sebagai Simbol Budaya Manusia sebagai mahluk sosial mempunyai tradisi seperti yang tercermin pada upacara atau ritual-ritual tertentu, seperti upacara perkawinan, pengobatan tradisional dan pemakaman yang merupakan tradisi dan pola budaya pada sistem kepercayaan yang merupakan bagian dari sistem religi sebagai inti dari setiap kebudayaan. Religi sebagai salah satu unsur kebudayaan, menurut Kontjaraningrat (1987:80) “memiliki beberapa komponen yang mempunyai peranan sendirisendiri namun berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Adapun komponen itu antara lain emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus dan upacara, peralatan ritus dan upacara, dan umat beragama”. Dimana sistem kepercayaan itu tidak terlepas dari dukungan atau partisipasi masyarakat yang menjadi pelanjut dan pewaris tradisi tersebut. Dimana sistem kebudayaan berkaitan erat dengan kegiatan upacara. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa, sebuah ritual juga identik dengan suatu kepercayaan terhadap kekuatan yang tak kasat mata, dalam hal ini disebut sebagai ilmu gaib. Dimana ritual juga sering dijumpai pada upacara atau tatacara agama, dan ada pada semua agama, misalnya dalam bentuk tatacara ibadah baptisan, perjamuan, penyucian, korban, doa, tarian, nyanyian, ziarah, dan sebagainya, baik ibadah pribadi maupun bersama orang lain. Disamping itu, ritual juga bisa dikatan sebuah teknik (cara, metode) dalam membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci (sanctify the custom). Ritual
19
menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan agama. Ritual bisa pribadi atau berkelompok. Wujudnya bisa berupa doa, tarian, drama, kata-kata seperti "amin" dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa, ritual selalu berkaitan dengan simbol kepercayaan masyarakat tertentu, dan ini lahir dari cipta, rasa dan karsa masyarakat itu sendiri, sehingganya ritual dapat pula disebut sebagai simbol budaya atau kebudayaan. Dikatakan juga kepercayaan adalah suatu sistem simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana-suasana hati dan motivasi yang kuat dan yang tahan lama dalam diri manusia, dengan merumuskan kosep-konsep tentang suatu tatanan umum eksistensi dan membungkus konsep-konsep itu dengan aura faktualitas, sehingga suasana-suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak nyata. Selain dengan ritual, budaya juga direpresentasikan melalui simbol-simbol tertentu yang mempunyai arti tertentu pula. Simbol yang sama mungkin akan mempunyai arti yang berbeda pada satu budaya dengan budaya yang lainnya. Penggunaan simbol sebagai representasi budaya sangat sering dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Apa yang dipakai dan dikonsumsi oleh seseorang akan mencerminkan budayanya. Oleh karena itu tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya manusia mengkonsumsi simbol dalam kehidupannya seharihari. Dalam masyarakat tradisional praktek-praktek ritual sering dilakukan. Dalam prakteknya ritual merupakan ungkapan yang lebih bersifat logis daripada bersifat psikologi. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang
20
diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan prilaku dan perasaan serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikuti modelnya masingmasing. Pengobjekan ini penting untuk kelanjutan dan kebersamaan dalam kelompok kebersamaan. Ritual adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang mempunyai ciri-ciri mistis.