BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1
Teori Keagenan Konsep agency theory menurut Anthony dan Govindarajan (2005) dalam
Praditia (2010) yaitu hubungan antara prinsipal dan agen. Prinsipal mempekerjakan agen untuk melakukan tugas demi kepentingan prinsipal, termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan dari prinsipal kepada agen. Prinsipal merupakan pihak pemiliki perusahaan yang memberikan mandat kepada manajer selaku agen untuk bertindak atas nama prinsipal, sedangkan agen merupakan pihak yang diberi amanat oleh prinsipal untuk menjalankan perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan, jika kedua kelompok (agen dan prinsipal) adalah orang-orang yang berupaya untuk memaksimalkan utilitasnya. Prinsipal termotivasi melakukan kontrak untuk menyejahterahkan dirinya melalui profitabilitas yang meningkat, sedangkan agen termotivasi untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologinya. Maka alasan yang kuat jika agen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal. Hubungan kontrak antara keduanya akan berjalan efisien apabila adanya informasi yang simetris antara agen dengan prinsipal, dimana keduanya memiliki jumlah dan kualitas informasi yang sama sehingga
tidak
ada
informasi
tersembunyi
yang
dapat
digunakan
untuk
menguntungkan diri sendiri (Sukartha, 2007). Namun dalam konflik kepentingan ini,
9
agen lebih mengetahui informasi internal perusahaan dan prospek perusahaan dibandingkan prinsipal. Ketidakseimbangan mengenai informasi ini memunculkan adanya asimetri informasi, yang dijadikan peluang oleh agen untuk melakukan tindakan yang dapat menguntungkan dirinya sendiri dan menyesatkan pihak prinsipal. LPD sebagai lembaga keuangan mikro yang dikelola secara terpisah dengan krama desa memungkinkan adanya konflik keagenan (Saputra, 2015). Konflik dapat terjadi dikarenakan kepala LPD selaku agen memiliki informasi yang lebih banyak mengenai keadaan LPD secara keseluruhan sedangkan krama desa selaku prinsipal kurang memiliki akses informasi terhadap dana yang diinvestasikannya. Hal ini akan memicu tindakan menguntungkan diri sendiri yang dapat dilakukan oleh kepala LPD seperti kasus yang terjadi di Gianyar baru-baru ini, dimana kepala LPD di desa Belaluan Gianyar terbukti mengelapkan uang nasabahnya hingga Rp 1,16 Miliar dengan cara mengajukan kredit ke LPD untuk kepentingan sendiri dengan menggunakan nama fiktif (Darmendra, 2015).
2.1.2
Good Corporate Governance Menurut forum for corporate governance in Indonesian (FCGI, 2001), good
corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur mengenai hubungan antara pemegang saham, pengelola perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, serta memberikan tambahan nilai bagi pihakpihak yang memiliki kepentingan dengan perusahaan. Dengan kata lain good
10
corporate governance merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan semua proses yang berhubungan dengan perusahaan dan pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. Manfaat penerapan good corporate governance dalam perusahaan menurut forum for corporate governance in Indonesian (FCGI, 2001) adalah meningkatkan kinerja perusahaa melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders. Hal tersebut karena adanya pengelolaan perusahaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kewajaran dan kesetaraan yang dikenal dengan prinsip-prinsip good corporate governance (KNKG, 2006). Prinsip-prinsip yang terkandung dalam good corporate governance yang dijabarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2006) meliputi lima prinsip yaitu: 1) Transparansi (keterbukaan) Transparansi adalah dimana perusahaan harus menyediakan informasi yang materiil dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemakai kepentingan. Dengan kata lain harus adanya keterbukaan informasi perusahaan dengan tidak hanya mengungkapkan masalah yang disyaratkan oleh perundang-undangan, tetapi juga hal penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan. 2) Accountability (akuntabilitas)
11
Akuntabilitas
adalah
kejelasan
fungsi,
struktur,
sistem
dan
pertanggungjawaban dalam organ perusahaan, sehingga pengelolaan perusahaan berjalan dengan efektif. 3) Responsibility (pertanggung jawaban) Responsibilitas merupakan kepatuhan dalam pengelolahan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat, peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pemenuhan terhadap tanggung jawab sosial terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang. 4) Independency (independensi) Independensi merupakan pengelolaan perusahaan harus dilakukan secara independen dalam hal ini bebas dari kepentingan pihak manapun yang tidak sesuai dengan prinsip korporasi yang sehat dan peraturan perundangundangan yang berlaku. 5) Fairness (kewajaran) Fairness adalah perlakuan yang adil dan setara dalam memenuhi kebutuhan stakeholder dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perusahaan harus memperhatikan hak-hak para pemangku kepentingan berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan kearah yang lebih baik. Penerapan prinsip-prinsip yang terkandung dalam good corporate governance sebagai tata kelola perusahaan digunakan untuk mengendalikan perusahaan yang
12
berkaitan dengan bagaimana pengelolaan perusahaan, termasuk hubungan dengan para pemangku kepentingan yang berbeda dan tujuan perusahaan. Tata kelola yang baik akan memberikan kontribusi untuk daya saing dan reputasi perusahaan, memfasilitasi akses ke pasar modal dan pada akhirnya membantu mengembangkan pasar keuangan dan memacu pertumbuhan ekonomi (Ombayo, 2011).
2.1.3
Komitmen Organisasi Menurut
Robbins
dan
Judge
(2007)
dalam
kurniawan
(2011)
mendefinisikan komitmen sebagai suatu keadaan dimana seorang individu memihak organisasi
serta
tujuan-tujuan
dan
keinginannya
untuk
mempertahankan
keangotaannya dalam organisasi, Pegawai yang mempunyai komitmen terhadap satuan kerja menunjukkan kuatnya pengenalan dan keterlibatan pegawai dalam satuan kerja. Pegawai yang memiliki komitmen terhadap satuan kerja kemungkinan untuk tetap bertahan lebih tinggi dari pada pegawai yang tidak mempunyai komitmen. Menurut Husselid dan Day dalam Baihaqi (2010), dikatakan bahwa komitmen pegawai dapat mengurangi keinginan untuk melepaskan diri dari organisasi atau unit kerja karena cenderung menunjukkan keterlibatan yang tinggi diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Menurut Luthans (2002:236) komitmen organisasi sebagai suatu sikap, berupa hasrat atau motif yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi, suatu keinginan untuk menunjukkan usaha tingkat tinggi atas nama organisasi dan keyakinan yang kuat dalam menerima nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi.
13
Menurut Vanderberg dan Lance (1992) yang melakukan pengujian hubungan kausal antara kepuasan kerja dan komitmen organisasional menemukan 24 bukti empiris yang
mendukung
bahwa
antecendent
kepuasan
kerja
adalah
komitmen
organisasional.Komitmen organisasional dibangun atas dasar kepercayaan pekerja atas nilai-nilai organisasi, kerelaan pekerja membantu mewujudkan tujuan organisasi dan loyalitas untuk tetap menjadi anggota organisasi. Hal tersebut dikarenakan adanya rasa ikut memiliki terhadap organisasi atau perusahaan tempatnya bekerja. Jika pegawai merasa jiwanya terikat dan senang bekerja pada suatu perusahaan maka dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran, pegawai tersebut akan menjalankan suatu tugas yang dibebankan perusahaan kepadanya dan pada akhirnya akan berpenggaruh pada kinerja yang dihasilkannya. Menurut Allen dan Mayer (1990) terdapat tiga bentuk komitmen organisasi yang membuat karyawan memiliki keinginan untuk memberikan tenaga demi keberhasilan organisasi tempatnya bekerja yaitu: 1) Komitmen Afektif Komitmen afektif adalah kekuatan hasrat karyawan untuk bekerja pada organisasi karena setuju dengan tujuan dan nilai-nilai organisasi. Karyawan dengan komitmen afektif yang tinggi tetap ingin berada dalam organisasi karena mendukung tujuan organisasi dan ingin membantu misi tersebut (Baron dan Greenberg, 2000). Karyawan dengan bentuk komitmen afektif memiliki kelekatan emosional yang lebih tinggi terhadap organisasi, adanya keinginan bertahan dalam organisasi bukan karena fasilitas yang ditawarkan perusahaan tetapi merasa
14
senang berada dalam perusahaan dan peduli akan keberlangsungan perusahaan (Schultz, 1998 dalam Nidya, 2012). 2) Komitmen normatif Komitmen normatif merupakan kekuatan hasrat karyawan untuk terus bekerja pada organisasi karena merasa wajib untuk tetap tinggal dalam organisasi (Baron dan Greenberg, 2000). Faktor yang mempengaruhi komitmen normatif seorang karyawan meliputi: a) Perasaan berhutang budi Adanya bantuan yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan berupa biaya pendidikan maupun pelatihan keterampilan khusus menimbulkan rasa hutang budi yang dirasakan oleh karyawan terhadap perusahaan. Karyawan dengan komitmen normatif akan selalu memikirkan pandangan orang lain apabila karyawan tersebut meninggalkan perusahaan (Nydia, 2012). b) Kewajiban yang harus diberikan kepada organisasi Komitmen ini mengacu kepada refleksi perasaan akan kewajibanya untuk menjadi karyawan perusahaan. Karyawan dengan komitmen normatif yang tinggi merasa bahwa karyawan tersebut memang seharusnya tetap bekerja pada organisasi tempat bekerja sekarang. Dengan kata lain komitmen yang ada dalam diri karyawan disebabkan oleh kewajiban-kewajiban pekerjaan karyawan terhadap organisasi seperti masih adanya kontrak kerja dengan perusahaan (Sukamto, 2014).
15
3) Komitmen Berkelanjutan Komitmen berkelanjutan adalah keinginan hasrat karyawan untuk terus bekerja pada organisasi karena membutuhkan pekerjaan tersebut, tidak memiliki pilihan lain selain bertahan dan akan mendapat kerugian jika meninggalkan perusahaan. Menurut Allen dan Mayer (1990), Faktor pendorong adanya komitmen berkelanjutan yaitu a) Investasi Investasi yang dimaksud adalah waktu atau usaha. Dimana waktu atau usaha yang dilakukan dalam mendapatkan keterampilan yang tidak dapat ditransfer dan hilangnya manfaat yang menarik atau hak-hak istimewa sebagai senior. b) Alternatif Karyawan yang merasa tidak memiliki alternatif pekerjaan lain yang lebih menarik, lebih sesuai dengan menawarkan bayaran yang lebih tinggi, akan merasa rugi jika meninggalkan organisasi tempatnya bekerja sekarang karena belum tentu memperoleh yang lebih baik di tempat lain.
2.1.4
Kinerja LPD Kinerja adalah pencapaian dari suatu tujuan, suatu kegiatan atau pekerjaan
tertentu untuk mencapai tujuan perusahaan yang diukur dengan standar. Penilaian kinerja perusahaan bertujuan untuk mengetahui efektivitas operasional perusahaan (Sari, 2010). Baihaqi (2010), menjelaskan kinerja sebagai refleksi dari pencapaian keberhasilan perusahaan yang dapat dijadikan sebagai hasil yang telah dicapai dari
16
berbagai aktivitas yang dilakukan. Sehingga untuk menghasilkan kinerja yang baik, diperlukan adanya faktor pendukung dapat mempengaruhi kinerja dari organisasi tersebut. Menurut Gibson (1997:164) dalam Kurniawan (2011), menyatakan bahwa faktor - faktor yang mempengaruhi kinerja adalah sebagai berikut: 1) Faktor Individu Faktor Individu meliputi: kemampuan keterampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi seseorang. 2) Faktor Psikologis Faktor Psikologis terdiri dari: Persepsi, peran, sikap, kepribadian, komitmen, motivasi, budaya dan kepuasan kerja. 3) Faktor Organisasi Faktor Organisasi yaitu: struktur organisasi, desain pekerjaan.
2.1.5
Balance scorecard Balance scorecard adalah gabungan antara tujuan strategis dan tujuan
keuangan yang dipilih secara cermat dan disesuaikan dengan bisnis yang dijalankan perusahaan (David, 2009:247). Balanced scorecard menekankan bahwa ukuran finansial dan non finansial harus menjadi bagian sistem informasi untuk para pekerja di semua tingkat perusahaan (Kaplan dan Norton, 1996). Balancedscorecard muncul sebagai perbaikan cara pengukuran kinerja bisnis tradisional yang lebih memfokuskan pada kinerja finansial. Menurut Kaplan dan Norton (2000) Balance Scorecard (BSC) terdiri dari 2 kata yaitu: Scorecard yaitu kata yang digunakan untuk
17
mencatat skor hasil kinerja yang sesungguhnya dan Balanced menunjukkan bahwa kinerja personel atau karyawan diukur secara seimbang dan dipandang dari 2 aspek yaitu keuangan dan non-keuangan, jangka pendek dan jangka panjang dan dari segi intern maupun ekstern. Ukuran kinerja finansial hanya menceritakan sebagian, tidak semua, tindakan masa lalu dan tidak mampu memberikan pedoman yang memadai bagi upaya penciptaan nilai finansial masa depan yang dilaksanakan saat ini dan kemudian (Kaplan dan Norton, 1996). Analisis yang hanya memusatkan
pada perspektif
keuangan tidak akan cukup menganalisis perkembangan suatu perusahaan (Roseman dan Wise, 1999). Tujuan finansial hanya akan tercapai mana kala didukung oleh jumlah pelanggan yang siginifikan. Jumlah pelanggan yang signifikan akan tercapai jika didukung oleh kesiapan manajemen bisnis internal profesional yang mengarah pada peningkatan kepuasan pelanggan. Manajemen bisnis internal profesional perlu didukung oleh proses pembelajaran dan pertumbuhan yang mengarah pada peningkatan keterampilan sumber daya manusia , sistem dan teknologi (Chang, dkk. 2011). Balance scorecard terdiri atas empat perspektif yaitu perspektif keuangan, pelanggan atau konsumen, proses internal bisnis, serta pembelajaran dan pertumbuhan. 1) Perspektif keuangan Pengukuran
kinerja
keuangan
menunjukkan
apakah
perencanaan,
implementasi dan pelaksanaannya memberi kontribusi atau tidak kepada peningkatan laba perusahaan (Kalpan dan Norton, 2000). Perspektif
18
keuangan memiliki tiga tema strategis yaitu pertumbuhan pendapatan, penurunan biaya dan penggunaan asset (Hansen dan Mowen, 2000:371) 2) Perspektif pelanggan Perusahaan melakukan identifikasi terhadap pelanggan dan segmen pasar yang akan dimasuki. Pelangga atau konsumen adalah siapa saja yang menikmati produk atau jasa yang dihasilkan oleh perusahaan. Penerapan strategi yang berorientasi kepada pelanggan (konsumen) diharapkan mendapat umpan balik berupa kepuasaan konsumen terhadap produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan. 3) Perspektif proses bisnis internal Ukuran proses bisnis internal berfokus pada berbagai proses internal yang akan berdampak besar kepada kepuasan pelanggan dan pencapaian tujuan finansial perusahaan (Kalpan dan Norton, 2000:24). Menurut Kalpan dan Norton (2000:169), membagi pengukuran perspektif bisnis internal ke dalam tiga bagian yaitu: a) inovasi yaitu menciptakan produk untuk memenuhi kebutuhan pasar, b) operasi yaitu perusahaan berupaya memberikan solusi kepada para pelanggan, c) pelayanan purna jual yaitu perusahaan memberikan manfaat tambahan kepada para pelanggan yang telah membeli produknya, dengan memberikan layanan purna transaksi jual beli seperti garansi dan aktivitas perbaikan.
19
4) Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan Perspektif
pembelajaran
dan
pertumbuhan
menjelaskan
mengenai
infrastruktur yang harus dibangun oleh perusahaan dalam menciptakan pertumbuhan dam peningkatan kinerja jangka panjang. Proses pembelajaran dan pertumbuhan bersumber dari faktor sumber daya manusia, sistem dan prosedur organisasi (Pratiwi, 2014).
2.2 2.2.1
Perumusan Hipotesis Penelitian Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Kinerja LPD di Kota Denpasar LPD merupakan lembaga keuangan milik desa dan dimiliki oleh krama desa
(prinsipal) yang pengelolaannya terpisah dengan krama desa. Adanya pemisahan ini, memungkinkan pengelola LPD selaku agen melakukan tindakan yang dapat menguntungkan dirinya sendiri dan menyesatkan pihak prinsipal yang menyebabkan terjadinya konflik keagenan. Untuk menghindari adanya penurunan kinerja akibat adanya pemisahan tersebut, maka LPD memerlukan pengelolaan yang baik seperti penerapan sistem yang baik, pengawasan yang efektif dan pengambilan keputusan yang tepat dalam meningkatkan kualitas kerja (Sandraningsih dan Putri, 2015). Menurut Setyawan dan Putri (2013), prinsip-prinsip good corporate governance wajib diterapkan oleh LPD untuk mengurangi konflik kepentingan antara kepala LPD sebagai agen dengan prinsipal yaitu krama desa. Penerapan good corporate governance akan mencegah kesalahan dalam pengambilan keputusan dan perbuatan
20
menguntungkan diri sendiri sehingga secara otomatis akan meningkatkan nilai LPD yang tercermin pada kinerja yang dihasilkan. Penelitian yang dilakukan Setyawan dan Putri (2013), Sandraningsih dan Putri (2015), Dewi dan Putri (2014) menyatakan jika penerapan good corporate governance berpengaruh positif terhadap kinerja LPD. Namun penelitian yang dilakukan oleh Trisnaningsih (2007) dan Hidayah (2008) menyatakan jika good corporate governance tidak berpengaruh pada kinerja. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah. H1: Good corporate governance berpengaruh positif terhadap kinerja LPD di Kota Denpasar.
2.2.2
Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Kinerja LPD di Kota Denpasar di Moderasi oleh Komitmen Organisasi Menurut Luthans (2002:236) komitmen organisasi sebagai suatu sikap,
berupa hasrat atau motif yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi, suatu keinginan untuk menunjukkan usaha tingkat tinggi atas nama organisasi dan keyakinan yang kuat dalam menerima nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi. Komitmen yang tinggi suatu perusahaan akan mampu menghasilkan bisnis yang baik (Kohnes, 2012). Somers dan Birnbanm (1998) dalam Nydia (2012) menyatakan bahwa hubungan karyawan dengan pekerjaannya tergantung pada komitmen yang dimiliki, komitmen tersebut akan berpengaruh terhadap kinerja yang dihasilkan. Komitmen organisasi yang kuat dalam individu akan menyebabkan individu berusaha untuk mencapai tujuan-tujuan dalam organisasi (Wiratno,dkk. 2013).
21
Sehingga adanya komitmen organisasi diharapkan mendukung pengimplementasian good corporate governance dalam menanggulangi konflik keagenan yang terjadi. Hal ini di dukung oleh penelitian Wiratno,dkk (2013) dan Ristanti,dkk (2014) yang menyatakan Komitmen Organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerapan good governance. Keberhasilan penerapan good governance diduga tidak dapat tercapai tanpa dukungan komitmen dalam berorganisasi. Sehingga dengan adanya komitmen organisasi dalam pengelolaan LPD maka penerapan penerapan good corporate governance akan mampu meningkatkan kinerja yang dihasilkan. Namun penelitian Prasetyono dan Komyurini (2007) menyatakan jika komitmen organisasi tidak berpengaruh terhadap penerapan good corporate governance. Penelitian Siahaan (2010) dan Cahyasumirat (2006) menyatakan komitmen organisasi tidak berpengaruh signifikan pada kinerja. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah. H2: Komitmen organisasi memoderasi pengaruh good corporate governance terhadap kinerja LPD di Kota Denpasar.
22