BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Teori Kinerja Karyawan Pengertian kinerja atau prestasi kerja diberi batasan oleh Moh As’ad, (2003) sebagai kesuksesan seseorang di dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Menurut Byars dan Rue (2006), kinerja merupakan derajat penyusunan tugas yang mengatur pekerjaan seseorang. Jadi, Kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan kegiatan atau menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan.
2.1.2 Penilaian Kinerja Karyawan 1. Penilaian Kinerja Yang dimaksud dengan sistem penilaian kinerja ialah proses yang mengukur kinerja karyawan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penilaian kinerja karyawan adalah: a. Karakteristik situasi, b. Deskripsi pekerjaan, spesifikasi pekerjaan dan standar kinerja pekerjaan, c. Tujuan-tujuan penilaian kinerja, d. Sikap para karyawan dan manajer terhadap evaluasi.
9
2. Tujuan Penilaian Kinerja Tujuan diadakannya penilaian kinerja bagi para karyawan dapat kita ketahui dibagi menjadi dua, yaitu: a. Tujuan evaluasi Seorang manajer menilai kinerja dari masa lalu seorang karyawan dengan menggunakan rating deskriptif untuk menilai kinerja dan dengan data tersebut berguna dalam keputusan-keputusan promosi. demosi, terminasi dan kompensasi. b. Tujuan pengembangan Seorang manajer mencoba untuk meningkatkan kinerja seorang karyawan dimasa yang akan datang. Sedangkan tujuan pokok dari sistem penilaian kinerja karyawan adalah sesuatu yang menghasilkan informasi yang akurat dan valid berkenaan dengan prilaku dan kinerja anggota organisasi atau perusahaan. 3. Manfaat penilaian kinerja karyawan Pada umumnya orang-orang yang berkecimpung dalam manajemen sumber daya manusia sependapat bahwa penilaian ini merupakan bagian penting dari seluruh proses kekaryaan karyawan yang bersangkutan. Hal ini penting juga bagi perusahaan dimana karyawan tersebut bekerja. Bagi karyawan, penilaian tersebut berperan sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan, kelebihan,
10
kekurangan, dan potensi yang pada gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana dan pengembangan karir. 2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja As’ad dalam Agustina (2002) mengemukakan bahwa kinerja seseorang merupakan ukuran sejauh mana keberhasilan seseorang dalam melakukan tugas pekerjaannya. Ada 3 (tiga) faktor utama yang berpengaruh pada kinerja yaitu: 1.
Individu (kemampuan bekerja),
2.
Usaha kerja (keinginan untuk bekerja)
3.
Dukungan organisasional (kesempatan untuk bekerja).
Tika (2006:121) mengemukakan bahwa ada 4 (empat) unsur yang terdapat dalam kinerja adalah : 1.
Hasil-hasil fungsi pekerjaan
2.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi karyawan
3.
Pencapaian tujuan organisasi, dan
4.
Periode waktu tertentu
2.2 Teori Komitmen Organisasional Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa komitmen organisasional (organizational commitment) merupakan suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak terhadap tujuan-tujuan organisasi serta memiliki keinginan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi tersebut.
11
Sopiah
(2008)
menyatakan
bahwa
komitmen
organisasional
(organizational commitment) merupakan tingkat keyakinan karyawan untuk menerima tujuan organisasi sehingga berkeinginan untuk tetap tinggal dan menjadi bagian dari organisasi tersebut. Karyawan yang berkomitmen cenderung lebih bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan (Ping et al., 2012). Berbagai studi penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang relatif puas dengan pekerjaannya akan lebih berkomitmen terhadap organisasi (Mathis dan Jackson, 2011). Steers dan Porter (1991) menyimpulkan ada tiga faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu : 1) Faktor personal yang meliputi job satisfaction, psychological contract, job choice factors, karakteristik personal. Keseluruhan faktor ini akan membentuk komitmen awal. 2) Faktor organisasi, meliputi initial works experiences, job scope, supervision, goal consistency organizational. Semua faktor ini akan membentuk atau memunculkan tanggung jawab. 3) Non-organizational factors, yang meliputi availability of alternative jos. Faktor yang bukan berasal dari dalam organisasi, misalnya ada tidaknya alternatif pekerjaan lain.
2.2.1 Tiga Dimensi Komitmen Organisasional Meyer
dan
Allen
(1991)
merumuskan
organisasional, yaitu:
12
tiga
dimensi
komitmen
1) Komitmen afektif (affective commitment) berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan kegiatan di organisasi. Anggota organisasi dengan affective commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena memang memiliki keinginan tersebut. 2) Komitmen berkelanjutan (continuance commitment) berkaitan dengan kesadaran anggota organisasi akan mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Anggota organisasi dengan continuance commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut. 3) Komitmen normatife (normative commitment) menggambarkan perasaan keterikatan untuk terus berada dalam organisasi. Anggota organisasi dengan normative commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena merasa dirinya harus berada dalam organisasi tersebut.
2.2.2 Pengukuran Komitmen Organisasional Tiga komponen utama mengenai komitmen organisasional (Arfan Ikhsan, 2010:55) yaitu: 1. Affective commitment (komitmen afektif), terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emosional atau psikologis terhadap organisasi.
13
2. Continuance commitment (komitmen berkelanjutan) muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan lain, atau karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain. Dengan kata lain, karyawan tersebut tinggal di organisasi tersebut karena dia membutuhkan organisasi tersebut. 3. Normative commitment (komitmen normatif) timbul dari nilai-nilai diri karyawan. Karyawan bertahan manjadi anggota suatu organisasi karena mamiliki kesadaran bahwa komitmen terhadap organisasi tersebut merupakan hal memang harus dilakukan. Jadi, karyawan tersebut tinggal di organisasi itu karena ia merasa berkewajiban untuk itu. 2.2.3 Indikator –Indikator Komitmen Organisasional Indikator yang digunakan untuk mengukur komitmen organisasional (Mayer dan Schourman, 1992) dalam (Rivai: 2005) yaitu: 1. Affective commitment (komitmen afektif) Adalah pendapat keryawan mengenai keinginannya untuk tetap bertahan dalam organisasi yang disebabkan
secara
emosional
mereka
merasa
terlibat
dan
mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi/ perusahaan. 2. Continuance commitment (komitmen berkelanjutan) Adalah pendapat karyawan mengenai keinginannya untuk tetap bertahan di organisasinya karena karyawan tersebut takut kehilangan keuntungan-keuntungan finansial dan tidak memperoleh pekerjaan di tempat lain. Jadi komitmen
14
tersebut timbul dikarenakan oleh desakan ekonomi dan ketidakmampuan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. 3. Normative commitment (komitmen normatif) adalah pendapat karyawan mengenai keinginannya untuk tetap bertahan yang disebabkan oleh kewajiban-kewajiban pekerjaan mereka terhadap organisasi dengan kata lain mereka berada di organisasi tersebut karena seharusnya mereka begitu.
2.3 Kepuasan Kerja Kepuasan kerja sangat berperan dalam membentuk kedisiplinan, komitmen dan kinerja karyawan yang kemudian berpengaruh terhadap kualitas layanan dalam usaha mencapai tujuan perusahaan (Mathis dan Jackson, 2011). Kepuasan kerja dapat ditinjau dari dua sisi, dari sisi karyawan, kepuasan kerja akan memunculkan perasaan menyenangkan dalam bekerja, sedangkan dari sisi perusahaan, kepuasan kerja akan meningkatkan produktivitas, perbaikan sikap dan tingkah laku karyawan dalam memberikan pelayanan prima (Suwatno dan Priansa, 2011). Menurut Judge et al. (2001), kepuasan kerja harus tetap dipertahankan untuk dapat meningkatkan kinerja organisasi. Kepuasan kerja adalah sikap emosional seseorang yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya (Hasibuan, 2009). Seseorang akan membawa serta perangkat keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu yang menyatu membentuk harapan kerja ketika bergabung dalam suatu organisasi sebagai seorang pekerja (Umar, 2010). Menurut Suwatno dan Priansa (2011), kepuasan kerja (job satisfaction) adalah cara individu merasakan pekerjaannya yang
15
dihasilkan dari sikap individu tersebut terhadap berbagai aspek yang terkandung di dalam pekerjaan. Luthans (2006) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dianggap penting. Kepuasan kerja merupakan suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari evaluasi karakteristiknya (Robbins dan Judge, 2008). Umar (2010) menyatakan bahwa kepuasan kerja memperlihatkan perasaan karyawan tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan. Sedangkan hal yang serupa juga dinyatakan oleh Mathis dan Jackson (2011) bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang positif yang merupakan hasil dari evaluasi pengalaman kerja seseorang. Menurut Rivai (2004), teori tentang kepuasan kerja yang cukup dikenal yaitu teori keadilan (equity theory) mengemukakan bahwa orang merasa puas atau tidak puas, tergantung ada atau tidak keadilan(equity) dalam suatu situasi, khususnya situasi kerja, seseorang akan membandingkan rasio input seseorang akan membandingkan rasio input hasil dirinya dengan rasio input hasil orang lain dan apabila perbandingan itu dianggap cukup adil, maka karyawan akan merasa puas.
2.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Ada lima faktor penentu kepuasan kerja yang disebut dengan Job Descriptive Index (JDI) (Luthans dan Spector dalam Robins, 2006), yaitu : 1. Pekerjaan itu sendiri Tingkat
dimana
sebuah
pekerjaan
menyediakan
tugas
yang
menyenangkan, kesempatan belajar dan kesempatan untuk mendapatkan
16
tanggung jawab. Hal ini menjadi sumber mayoritas kepuasan kerja. Menurut Locke, ciri-ciri intrinsik yang menentukan kepuasan kerja adalah keragaman, kesulitan, jumlah pekerjaan, tanggungjawab, otonomi, kendali terhadap metode kerja, kemajemukan, dan kreativitas. 2. Gaji Menurut penelitian Theriault, kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolute dari gaji yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga kerja, dan bagaimana gaji diberikan. Upah dan gaji diakui merupakan faktor yang signifikan terhadap kepuasan kerja. 3. Kesempatan atau promosi Karyawan memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dan memperluas pengalaman kerja, dengan terbukanya kesempatan untuk kenaikan jabatan. 4. Supervisor Kemampuan supervisor untuk menyediakan bantuan teknis dan perilaku dukungan. Menurut Locke, hubungan fungsional dan hubungan keseluruhan yang positif memberikan tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan atasan. 5. Rekan kerja Kebutuhan dasar manusia untuk melakukan hubungan sosial akan terpenuhi dengan adanya rekan kerja yang mendukung karyawan. Jika
17
terjadi konflik dengan rekan kerja, maka akan berpengaruh pada tingkat kepuasan karyawan terhadap pekerjaan..
Robbins (1996) menyatakan bahwa terdapat beberapa variabel yang menentukan kepuasan kerja. Sebagai berikut: 1. Kerja yang secara mental menantang Karyawan lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberikan mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam batas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan. 2. Ganjaran yang pantas Karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak kembar arti, dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu, dan standar komunikasi, kemungkinan besar akan menghasilkan kepuasan. 3. Kondisi kerja yang mendukung Karyawan peduli akan lingkungan kerja yang baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik. 4. Rekan pekerja yang mendukung Orang-orang mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga
18
mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Rekan kerja yang ramah dan mendukung menghantar kepuasan kerja yang meningkat. 5. Kesesuaian kepribadian dan pekerjaan Kecocokan yang tinggi antara kepribadian seseorang akan menghasilkan seorang individu yang lebih terpuaskan.
2.3.2 Konsekuensi Kepuasan Kerja Seorang manajer sumber daya manusia sangat berkepentingan untuk memahami dan memenuhi berbagai dimensi kepuasan kerja serta mengantisipasi berbagai kemungkinan konsekuensi tertutama yang bernuasa negatif. Robbins (2013) mengungkapkan dampak kepuasan kerja jika dipenuhi dapat meningkatkan produktifitas, menurunkan absentisme, menekan perputaran kerja. Opsi tindakan pelampiasan ketidakpuasan kerja berupa: 1. Keluar (Exit), ketidakpuasan yang diungkapkan lewat perilaku yang diarahkan untuk meninggalkan organisasi. Mencakup pencarian posisi baru maupun minta berhenti. 2. Suara (Voice), ketidakpuasan yang diungkapkan lewat usaha aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi. Mencakup saran perbaikan, membahas masalah-masalah dengan atasan dan beberapa bentuk kegiatan serikat buruh.
19
3.
Kesetiaan (loyalitas), ketidakpuasan yang diungkapkan dengan secara pasif menunggu membaiknya kondisi. Mencakup berbicara membela organisasi, menghadapi kritik dari luar dan mempercayai organisasi dan manajamen untuk melakukan hal yang tepat.
4.
Pengabdian (neglect), ketidakpuasan yang dinyatakan dengan membiarkan kondisi memburuk. Termasuk kemangkiran atau datang terlambat secara kronis, upaya yang dikurangi dan tingkat kekeliruan yang meningkat.
Luthans (2006) mengemukakan bahwa kepuasan kerja berpengaruh terhadap: 1. Kinerja Karyawan yang tingkat kepuasannya tinggi, kinerja akan meningkat, walaupun hasilnya tidak langsung. Ada beberapa variabel moderating yang menghubungkan antara kinerja dengan kepuasan kerja, terutama penghargaan. Jika karyawan menerima penghargaan yang mereka anggap pantas mendapatkannya, dan puas, mungkin ia menghasilkan kinerja yang lebih besar. 2. Pergantian karyawan Kepuasan kerja yang tinggi tidak akan membuat pergantian karyawan menjadi rendah, sebaliknya bila terdapat ketidakpuasan kerja, maka pergantian karyawan mungkin akan tinggi.
20
Wibowo (2012:503) teori kepuasan kerja dibagi menjadi 2 macam yaitu. 1)
Two-Faktor Theory Teori dua faktor merupakan teori kepuasan kerja yang menganjurkan
bahwa kepuasan dan ketidakpuasan merupakan bagian dari kelompok variabel yang berbeda yaitu motivators dan hygiene factors. Pada umumnya orang mengharapkan bahwa faktor tertentu memberikan kepuasan apabila tersedia dan menimbulkan ketidakpuasan apabila tidak ada. Pada teori ini, ketidakpuasan dihubungkan dengan kondisi di sekitar pekerjaan (seperti kondisi kerja, pengupahan, keamanan, kualitas pengawasan, dan hubungan dengan orang lain), dan bukannya dengan pekerjaan itu sendiri. Karena faktor ini mencegah reaksi negatif, dinamakan sebagai hygiene atau maintenance factors. Sebaliknya, kepuasan ditarik dari faktor yang terkait dengan pekerjaan itu sendiri atau hasil langsungnya daripada, seperti sifat pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan untuk pengembangan dan pengakuan diri. Karena faktor ini berkaitan dengan tingkat kepuasan kerja tinggi, dinamakan motivators. Orang menerima hasil, akan semakin puas. Semakin sedikit mereka menerima hasil, akan kurang puas. 2). Value Theory Memfokuskan
pada
hasil
manapun
yang
menilai
orang
tanpa
memperhatikan siapa mereka. Kunci menuju kepuasan dalam pendekatan ini adalah perbedaan antara aspek pekerjaan yang dimiliki dan diinginkan seseorang. Semakin besar perbedaan, semakin rendah kepuasan orang. Implikasi teori ini mengundang perhatian pada aspek pekerjaan yang perlu diubah untuk
21
mendapatkan kepuasan kerja. Secara khusus teori ini menganjurkan bahwa aspek tersebut tidak harus sama berlaku untuk semua orang, tetapi mungkin aspek nilai dari pekerjaan tentang orang-orang yang merasakan adanya pertentangan serius.
2.3.3 Indikator-Indikator Kepuasan Kerja Davis (Mangkunegara,2011:118) Menyatakan ada 3 (tiga) indikator kepuasan kerja, sebagai berikut : 1. Turnover adalah kepuasan kerja lebih tinggi dihubungkan dengan turnover karyawan yang rendah, sedangkan karyawan-karyawan yang kurang puas biasanya turnovernya lebih tinggi. 2. Tingkat ketidakhadiran, karyawan yang kurang puas cenderung tingkat kehadirannya tinggi. 3. Tingkat pekerjaan, karyawan yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi cenderung lebih puas dari pada karyawan yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih rendah.
2.4. Kerangka pemikiran Berdasarkan definisi dan kajian teori dari ( Rahyuda,2004:17), maka dapat disusun suatu kerangka pemikiran sebagai dasar penentu hipotesis seperti gambar berikut :
22
Gambar 2.1
Komitmen organisasional Y1
1)
3)
Kepuasan kerja
Kinerja karyawan
X1
Y2
2)
2.5 HIPOTESIS PENELITIAN 2.5.1. Pengaruh antara Kepuasan Kerja terhadap Komitmen Organisasional Pengaruh yang positif antara kepuasan kerja dan komitmen organisasional dilaporkan oleh studi yang melibatkan profesional yang berkualifikasi. Studi yang dilakukan oleh Wu & Norman (2005 dalam Al-Hussami, 2008) mendapatkan hasil hubungan yang positif antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasional. Tella et al. (2007) menemukan hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Jika karyawan puas dengan pekerjaannya, rekan kerja, pembayaran, dan atasannya, dan kepuasan kerja keseluruhan, mereka lebih berkomitmen pada organisasi (Okpara, 2004). Curry et al. 1986 dalam (Salami, 2008), menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Kepuasan kerja berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional.
Semakin
tinggi
kepuasan
23
kerja
karyawan,
komitmen
organisasional karyawan akan semakin tinggi juga. Hal ini sesuai dengan hasil studi yang dilakukan oleh Al-Aameri (2000) dan Wu & Norman (2005 dalam Al Hussami, 2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Ketika karyawan puas dengan pekerjaan mereka, mereka melihat diri mereka sebagai bagian integral dari organisasi, sehingga mereka akan mendedikasikan diri mereka pada organisasi (Tanriverdi, 2008 dalam Gaur, 2009). H1 : Kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap komitmen Organisasional 2.5.2. Pengaruh antara Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Karyawan Al-Ahmadi (2009) mengemukakan bahwa ada hubungan positif antara kepuasan kerja dengan kinerja karyawan secara keseluruhan (segi kepuasan meliputi kepuasan dengan pekerjaan itu sendiri, supervisi, hubungan dalam kerja, pembayaran, kesempatan promosi, dan kondisi kerja). Beberapa peneliti tidak menemukan hubungan antara kepuasan kerja dengan kinerja karyawan. Crossman & Zaki (2003) mengadakan penelitian dan menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dan kinerja karyawan. Packard & Motowidlo (1987 dalam Al-Ahmadi, 2009) mempelajari hubungan stres subjektif, kepuasan kerja, dan kinerja karyawan di antara perawat rumah sakit, dan mendapatkan hasil bahwa kepuasan kerja tidak berhubungan dengan kinerja karyawan. H2: Kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan
24
2.5.3 Pengaruh antara Komitmen Organisasional terhadap Kinerja Karyawan Mowday et al. (1982 dalam Carmeli & Freund, 2004) menyatakan bahwa temuan dari studi komitmen organisasional adalah hubungan yang tidak signifikan antara komitmen organisasional dan kinerja karyawan. Chen et al. (2007) mengadakan penelitian mengenai praktek sumber daya manusia, kekuatan sumberdaya manusia, komitmen afektif, dan kinerja karyawan. Dampak komitmen pada kinerja karyawan tidak signifikan secara relatif (Raja et al., 2004). Suliman & Iles (2000) menyebutkan bahwa Komitmen organisasional berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Semakin tinggi komitmen organisasional karyawan, semakin tinggi kinerja karyawan. Karyawan yang memiliki komitmen organisasional yang tinggi akan memiliki tingkat kinerja yang lebih tinggi, karena karyawan yang berkomitmen tinggi mau bekerja keras dan melakukan pengorbanan yang dibutuhkan untuk organisasi itu (Greenberg
&
Baron,
2003).
Individu
akan
mengambil
pekerjaan,
mengidentifikasikan dengan peran terkait pekerjaan, mereka akan menjadi berkomitmen untuk melakukan pekerjaan dan berlaku sesuai dengan harapan terhadap pekerjaan itu (Lee & Olshfski, 2002).
H3 : Komitmen organisasional berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan.
25