BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Obligasi Menurut Keown et al. (2005), obligasi adalah suatu jenis hutang atau surat kesanggupan bayar jangka panjang yang dikeluarkan oleh peminjam yang berjanji membayar ke pemegangnya dengan sejumlah bunga tiap tahun yang sudah ditentukan sebelumnya. Sementara menurut Fakhruddin dan Hadianto (2001) obligasi adalah surat berharga atau sertifikat yang berisi kontrak antara pemberi pinjaman (dalam hal ini investor) dengan yang diberi pinjaman (issuer). Obligasi (bond) menurut Bodie et al. (2006:3) merupakan sekuritas yang diterbitkan
sehubungan
dengan
perjanjian
pinjaman,
pihak
peminjam
menerbitkan (menjual) obligasi kepada pihak pemilik dana dengan imbalan sejumlah uang. Jadi obligasi tersebut merupakan surat pernyataan utang dari pihak peminjam kepada pihak pemilik dana. Penerbit obligasi umumnya disertai dengan kupon bunga yang akan dibayarkan secara teratur sampai obligasi itu jatuh tempo. Kupon merupakan penghasilan bunga obligasi yang didasarkan atas nilai nominal. Pembayaran kupon umumnya dilakukan setiap tahun (annual) atau setiap semester (semi annual), atau setiap triwulan tergantung perjanjian. Berinvestasi obligasi memang menguntungkan karena risikonya tidak terlalu tinggi serta memberikan pendapatan (return) yang cukup besar. Selain itu, salah satu faktor penentu
15
apakah obligasi menarik atau tidak adalah tingkat suku bunga yang ditawarkan kepada investor. Bagi para investor, obligasi merupakan suatu instrumen dalam pasar modal yang dapat dijadikan alternatif menarik dalam melakukan investasi. Secara teori, obligasi memiliki risiko yang lebih kecil bila dibandingkan dengan instrumen saham pada pasar modal. Hal ini dikarenakan obligasi memiliki jangka waktu jatuh tempo yang pasti, (kecuali bangkrut). Selain itu, obligasi juga memberikan tingkat return yang pasti dalam bentuk kupon, sedangkan pada saham yang juga memberikan return bagi para investor berupa deviden, besarnya deviden tersebut tidak pasti karena selain ditentukan oleh tingkat keuntungan perusahaan, juga ditentukan oleh kebijakan perusahaan. Oleh karena itulah risiko obligasi lebih kecil dibandingkan dengan risiko saham. Bagi penerbit (emiten), obligasi merupakan salah satu instrumen sumber pendanaan eksternal dengan biaya modal yang lebih kecil dan lebih fleksible bila dibandingkan dengan jika perusahaan meminjam dana di Bank. Disamping itu, dengan obligasi, kepemilikan perusahaan penerbit tidak akan dimiliki atau dikuasai oleh pihak luar (pihak pembeli obligasi) karena investor pemilik obligasi tidak memiliki wewenang atas perusahaan penerbit tersebut sehingga perusahaan penerbit dapat tetap menjaga privacynya. Berbeda dengan saham, di mana investor memiliki wewenang atas perusahaan tersebut sehingga keputusan investor pemegang saham memiliki peranan penting dalam segala aktivitas perusahaan. Apabila semakin banyak pemegang saham maka lama-lama perusahaan akan kehilangan privacy (Tandelilin, 2010:245).
16
Jadi obligasi adalah sekuritas hutang yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan atau institusi tertentu baik pemerintah maupun lembaga lainnya yang diperjual-belikan di masyarakat dalam rangka mendapatkan dana atau modal. Penerbit obligasi akan membayar bunga kepada pembeli obigasi secara periodik dalam bentuk coupon dalam jangka waktu tertentu dan membayar nilai pokok obligasi saat jatuh tempo. Sebaliknya, pemegang obligasi memberikan sejumlah uang kepada perusahaan saat ini.
2.1.2 Jenis obligasi Menurut Bambang (2009), jenis-jenis obligasi dapat dikelompokkan berdasarkan pada kategori berikut: 1) Berdasarkan penerbitannya Jenis ini untuk mengetahui apakah reputasi penerbit obligasi tersebut bagus dan terjamin, sehingga risiko lebih kecil. Macam-macam obligasi berdasarkan penerbitnya yaitu: a) Obligasi pemerintah (goverment bond), yaitu obligasi yang diterbitkan Pemerintah Pusat dengan tujuan untuk kepentingan pemerintah atau skala nasional. b) Obligasi pemerintahan daerah (municipal bond), yaitu obligasi yang diterbitkan Pemerintah Daerah guna mengembangkan proyek fasilitas umum di daerah tersebut. c) Obligasi korporasi (corporate bond), yaitu obligasi yang diterbitkan perusahaan swasta yang bertujuan untuk mendukung kepentingan bisnis.
17
2) Berdasarkan suku bunganya Suku bunga obligasi dapat dijadikan salah satu pertimbangan utama investor obligasi dalam melakukan transaksi. Macam-macam obligasi berdasarkan suku bunganya yaitu: a) Floating rate bond, yaitu obligasi dengan suku bunga mengambang yang besar bunganya didasarkan pada tingkat suku bunga variabel dan tingkat penyesuaian bunganya dilakukan secara berkala. b) Fixed rate bond, yaitu obligasi dengan bunga tetap yang memberikan keuntungan kepada investor dalam jumlah yang tetap (fixed). Besarnya kupon (suku bunga) telah ditetapkan lebih awal. c) Mixed rate bond, yaitu kombinasi dari suku bunga tetap dan mengambang, jenis obligasi ini memberikan keuntungan bagi investor yang sifatnya konservatif. d) Zero coupon bond, yaitu obligasi tanpa bunga dimana investor mendapat keuntungan dari selisih potongan nilai pokok. Obligasi kupon nol ini tidak membayar bunga berkala kepada pemegang obligasi.
2) Berdasarkan kepemilikannya Sebagai produk investasi yang sangat berharga sebuah obligasi mempunyai status kepemilikan yang sangat fleksibel yaitu: a) Obligasi terdaftar (register bond), yaitu jenis obligasi dimana nama pembeli tercantum dalam sertifikat obligasi tersebut. Pemilik yang
18
namanya tercantum dalam obligasi tersebut yang berhak mencairkan obligasi tersebut. b) Obligasi atas unjuk (bearer bond), yaitu obligasi yang memberikan hak kepada siapa saja yang memegang sertifikat obligasi ini untuk dapat mencairkan obligasi.
3) Berdasarkan jaminan Obligasi berdasarkan jaminan pada umumnya lebih diminati investor karena mempunya unsur jaminan sebagai syarat agar investor mesara aman dalam berinvestasi obligasi. Macam-macam obligasi berdasarkan jaminan yaitu: a) Obligasi dijamin garansi (guaranted bond), yaitu obligasi yang pembayaran bunga dan pokoknya dijamin oleh institusi atau perusahaan yang bukan penerbit obligasi tersebut. b) Obligasi dijamin properti (mortgage bond), yaitu obligasi dengan jaminan properti milik penerbit obligasi. c) Obligasi dijamin surat berharga (collateral bond), yaitu jenis obligasi yang penjaminannya didasarkan atas surat berharga lainnya, biasanya disimpan oleh pihak bank atau wali amanat. d) Obligasi dijamin dengan peralatan (equipment bond), yaitu obligasi yang didasarkan atas hak gadai atau hak jual atas peralatan tertentu kepada pemegang obligasi.
19
e) Obligasi tanpa jaminan (debenture bond), yaitu obligasi ini biasanya dijamin hanya dengan goodwill penerbit, biasanya diterbitkan oleh pemerintah.
4) Berdasarkan pelunasan Berdasarkan pelunasannya dapat dibedakan menjadi berikut: a) Serial bond, yaitu metode pelunasan obligasi ini dilakukan secara bertahap sesuai tanggal jatuh tempo yang dijadwalkan. b) Collable bond, yaitu obligasi ini diterbitkan dengan hak emiten untuk membeli/menebus obligasi sebelum masa jatuh tempo. c) Putable bond, yaitu obligasi ini memberikan hak kepada pemegang obligasi untuk mendapatkan pelunasan sebelum jatuh tempo serta menerima nilai unjuk penuh.
2.1.3 Karakteristik obligasi Adapun karakteristik dari suatu obilasi yaitu sebagai berikut (Juamailani, 2008): 1) Nilai obligasi (jumlah dana yang dipinjam) Dalam penerbitan obligasi maka perusahaan akan jelas menyatakan jumlah dana yang dibutuhkan. Istilah ini dikenal dengan jumlah emisi obligasi. 2) Jangka waktu obligasi Setiap obligasi mempunyai masa jatuh tempo atau berakhirnya masa pinjaman (maturity).
20
3) Tingkat suku bunga Untuk menarik minta para investor, maka perusahaan harus memberikan insentif yang menarik berupa bunga yang relatif lebih besar daripada tingkat suku bunga perbankan. 4) Jadwal pembayaran Kewajiban pembayaran kupon obligasi oleh perusahaan penerbit dilakukan secara berkala sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, bisa dilakukan tiap triwulan, semester, atau tahunan.
2.1.4 Yield obligasi Yield obligasi adalah faktor terpenting untuk pertimbangan investor dalam melakukan pembelian obligasi sebagai instrumen investasinya. Yield adalah keuntungan dari investasi obligasi yang dinyatakan dalam persentase (Saputra, 2013). Investor obligasi akan menghitung seberapa besar pendapatan investasi atas dana yang dibelikan pada obligasi tersebut dengan menggunakan alat ukur yield (Rahardjo, 2003). Siti (2014) mengemukakan bahwa yield obligasi adalah tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang dari seluruh penerimaan bunga dan nilai nominal obligasi, dengan harga obligasi. Yield obligasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah yield obligasi pada saat emisi dalam bentuk persentase. Yield obligasi merupakan ukuran pendapatan obligasi yang akan diterima oleh investor, yang cenderung bersifat tidak tetap. Menurut Tandelilin (2010:257) ada 5 (lima) ukuran yield obligasi yang dapat digunakan oleh investor, yaitu:
21
1) Nominal yield Nominal yield adalah tingkat kupon yang diberikan oleh obligasi. Apabila terdapat obligasi yang memberikan kupon 18% per tahun, maka obligasi tersebut dikatakan mempunyai yield nominal sebesar 18%. Yield nominal adalah cara mudah untuk menunjukkan karakteristik kupon dari suatu obligasi. 2) Current yield Current yield adalah rasio tingkat bunga obligasi terhadap harga pasar dari obligasi tersebut. Informasi current yield akan lebih berguna bagi investor dibanding informasi yang hanya berupa kupon obligasi biasa, karena current yield sudah memberikan gambaran perbandingan kupon obligasi terhadap harga pasar obligasi. Meskipun demikian, current yield tidak bisa dianggap sebagai return yang sesungguhnya dari obligasi karena tidak bisa menggambarkan perbedaan antara harga obligasi pada saat dibeli dengan harga obligasi pada saat dijual (capital gain/loss). 3) Yield to call (YTC) YTC adalah yield yang diperoleh pada obligasi yang bisa dibeli kembali (callable). Obligasi yang callable, berarti bahwa emiten bisa melunasi atau membeli kembali obligasi yang telah diterbitkannya dari tangan investor yang memegang obligasi tersebut sebelum jatuh tempo. 4) Realized (horizon) yield Realized (horizon) yield adalah tingkat return yang diharapkan investor dari sebuah obligasi, jika obligasi tersebut dijual kembali oleh investor sebelum
22
jatuh temponya. Di samping itu, realized (horizon) yield dapat juga digunakan untuk mengestimasi tingkat return yang diperoleh investor dengan menggunakan strategi perdagangan tertentu. 5) Yield to maturity Yield to maturity (YTM) bisa diartikan sebagai tingkat return majemuk yang akan diterima investor jika membeli obligasi pada harga pasar saat ini dan menahan obligasi tersebut hingga jatuh tempo. Yield to maturity dari obligasi adalah tingkat return (hasil) yang didapatkan seorang investor bila memegang suatu obligasi sampai masa jatuh tempo. YTM mengevaluasi baik pendapatan bunga, capital gain maupun cashflow yang diterima sepanjang masa hidup pasar obligasi yaitu sampai maturity date (Ang, 2010). YTM merupakan ukuran yield yang banyak digunakan karena yield tersebut mencerminkan return dengan tingkat bunga majemuk (compound rate of return) yang diharapkan investor, jika dua asumsi yang disyaratkan bisa terpenuhi. Jika kedua asumsi tersebut terpenuhi maka yield to maturity yang diharapkan akan sama dengan realized yield. Asumsi pertama adalah bahwa investor akan mempertahankan obligasi tersebut sampai dengan waktu jatuh tempo. Nilai yang didapat jika asumsi pertama terpenuhi sering disebut dengan yield to maturity (YTM). Asumsi kedua adalah investor menginvestasikan kembali pendapatan yang diperoleh dari obligasi pada tingkat YTM yang dihasilkan. Secara khusus semakin tinggi YTM, semakin rendah tingkat perubahan harga. Untuk besar perubahan yield yang sama, pada tingkat hasil yang
23
rendah menyebabkan perubahan harga yang lebih besar dibandingkan pada tingkat hasil yang tinggi sehingga untuk perubahan hasil tertentu, perubahan tingkat harga akan lebih besar pada yield yang rendah dibanding pada yield yang tinggi (Kusuma dan Asrori, 2005). Jika yield to maturity-nya lebih tinggi dari yield to maturity yang dianggap tepat maka obligasi dikatakan underpriced (undervalued) dan merupakan satu kandidat untuk dibeli. Sebaliknya, jika yield to maturity lebih rendah dari yang dianggap tepat, maka obligasi dikatakan overpriced (overvalued) dan merupakan kandidat untuk dijual (Sharpe et al., 2005).
2.1.5 Variabel-variabel yang mempengaruhi yield obligasi Terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi yield obligasi baik dari faktor eksternal, karakteristik obligasi dan faktor internal perusahaan. 1) Faktor eksternal a) Inflasi Inflasi
merupakan
fenomena
ekonomi
yang
sering
terjadi
pada
perekonomian suatu negara (Munfii, 2010). Gejala-gejala inflasi pada perekonomian ditandai dengan kenaikan harga secara umum dan berlangsung secara terus menerus serta akan berdampak luas dalam berbagai bidang baik ekonomi, sosial maupun politik. Menurut Razali (2011), kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada atau mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari barang-barang lain. Munfii, (2010) juga mengatakan bahwa angka inflasi
24
merupakan suatu indikator ekonomi yang dapat digunakan dalam mengambil berbagai langkah dibidang ekonomi. Kenaikan angka inflasi atau laju inflasi adalah tingkat persentase kenaikan harga dari beberapa indeks harga dari suatu periode ke periode lainnya. Terkadang inflasi dapat menguntungkan dan dapat merugikan juga. Akibat yang paling dominan adalah meningkatnya biaya produksi dalam perusahaan dan menyebabkan menurunnya kinerja perusahaan, inilah mengapa para pelaku pasar kurang menyukai tingginya tingkat inflasi. Bagi para investor konservatif yang lebih menyukai pendapatan tetap, mereka perlu mempertimbangkan risiko yang berkaitan dengan tingkat inflasi. Dalam konteks investasi obligasi, adanya kenaikan inflasi akan menyebabkan penurunan nilai riil pendapatan bunga yang diperoleh investor selama umur obligasi (Tandelilin, 2010:288). Lidya (2010) mengatakan bahwa perubahan laju inflasi yang sangat fluktuatif berdampak pada investasi surat-surat berharga karena dengan inflasi yang meningkat berarti berinvestasi pada surat berharga seperti obligasi dirasa makin berisiko. Tingginya risiko dalam investasi, akan mengakibatkan semakin tinggi juga imbal hasil (yield) yang diharapkan oleh investor.
b) Tingkat suku bunga Suku bunga adalah harga yang dibayar peminjam (debitur) kepada pihak yang meminjamkan (kreditur) untuk pemakaian sumber daya selama interval waktu tertentu. Suku bunga terbagi atas dua jenis yaitu suku bunga rill dan suku bunga nominal. Suku bunga rill adalah pertumbuhan daya konsumsi selama
25
usia pinjaman sedangkan, suku bunga nominal merupakan jumlah unit moneter yang harus dibayar per unit yang dipinjam dan sebenarnya suku buga pasar dari pinjaman. Jika tidak ada inflasi, suku bunga nominal sama dengan suku bunga rill (Fabozzi, Modigliani, dan Ferri, 2004). Investor dapat menentukan suku bunga yang dapat dijadikan patokan sebelum membeli obligasi. Suku bunga yang dapat dijadikan benchmark terdiri atas berbagai jenis, salah satunya adalah tingkat suku bunga Bank Indonesia atau yang dikenal dengan BI rate. BI rate merupakan suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. BI rate merupakan salah satu mekanisme yang digunakan Bank Indonesia untuk mengontrol kestabilan nilai rupiah. Tingkat BI rate berfluktuatif tergantung dari perekonomian negara dan tingkat bunga ini memilki pengaruh terhadap tingkat bunga komersial (Bank Indonesia, 2014). Samsul (2006) mengemukakan bahwa investasi dalam deposito atau SBI akan menghasilkan bunga bebas risiko tanpa memikirkan pengelolaannya. Sementara investasi dalam obligasi mengandung risiko seperti kegagalan penerimaan kupon atau gagal pelunasan dan kerugian karena kehilangan kesempatan untuk melakukan investasi di tempat lain (opportunity cost). Oleh karena itu, yield obligasi yang diperoleh harus lebih tinggi dari pada tingkat deposito atau SBI.
26
c) Produk Domestik Bruto (PDB) Produk domestik bruto (gross domestic product) adalah nilai pasar dari semua barang dan jasa akhir (final) yang diproduksi dalam sebuah negara pada suatu periode (Saputra, 2013). PDB yang tumbuh dengan cepat menunjukkan perekonomian berkembang dengan peluang yang berlimpah bagi perusahaan untuk
meningkatkan
penjualan.
Perubahan
kondisi
ekonomi
seperti
meningkatnya PDB mempunyai pengaruh positif terhadap daya beli konsumen sehingga dapat meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan. Dengan meningkatnya penjualan perusahaan, maka kesempatan perusahaan memperoleh keuntungan juga akan semakin meningkat (Tandelilin 2001:212). Meningkatnya PDB merupakan sinyal positif untuk berinvestasi. PDB yang tinggi mengindikasikan bahwa investasi yang ada memiliki tingkat resiko yang kecil sedangkan obligasi yang memiliki resiko kecil memberikan yield yang kecil pula.
d) Nilai tukar mata uang (kurs) Nilai tukar mata uang asing atau kurs menyatakan hubungan nilai diantara mata uang yang berbeda dan diperdagangkan satu sama lain. Kurs merupakan harga mata uang luar negeri dalam satuan mata uang dalam negeri. Kurs mata uang asing mengalami perubahan nilai yang terus menerus dan relatif tidak stabil. Perubahan nilai ini dapat terjadi karena adanya perubahan permintaan dan penawaran atas suatu nilai mata uang asing pada masing-masing pasar pertukaran valuta dari waktu kewaktu. Hukum ini juga berlaku untuk rupiah,
27
jika permintaan akan rupiah lebih banyak dari pada penawaran maka kurs rupiah ini akan terapresisi dan apabila penawaran rupiah lebih sedikit dari pada permintaan maka kurs rupiah ini akan depresiasi. Perubahan permintaan dan penawaran itu sendiri dipengaruhi oleh adanya kenaikan tingkat bunga (Kuncoro, 2001). Peningkatan kinerja valas yang ditunjukkan oleh penguatan kurs mata uang domestik akan diikuti oleh peningkatan kinerja pasar obligasi yang ditunjukkan oleh perubahan harga obligasi begitu pula sebaliknya (Gultekin dan Richard, 1984). Bagi investor depresiasi rupiah terhadap dollar menandakan bahwa prospek perekonomian Indonesia suram. Sebab depresiasi rupiah dapat terjadi apabila faktor fundamental perekonomian Indonesia tidaklah kuat (Sunariyah, 2006). Menurut Haryanto (2013) mengatakan kurs berpengaruh signifikan positif terhadap imbal hasil obligasi. Harga dan yield obligasi merupakan dua variabel penting dalam transaksi obligasi bagi investor. Secara umum harga obligasi dipengaruhi oleh perubahan yield. Kenaikan yield akan menurunkan harga obligasi dan penuruna yield akan menaikkan harga obligasi (T Sunaryo ,2009).
e) Harga minyak dunia Harga minyak mentah dunia diukur dari harga spot pasar minyak dunia, pada umumnya yang digunakan menjadi standar adalah West Texas Intermediate (WTI). Harga minyak dunia memberikan dampak pada kegiatan ekonomi suatu negara bahkan menjadi salah satu faktor penggerak perekonomian dunia. Perubahan dari harga minyak mentah dunia menjadi tolak
28
ukur bagi kinerja perekonomian dunia karena perannya dipandang penting dalam fungsi produksi. Kenaikan harga minyak dunia akan berdampak pada meningkatnya harga pokok produksi, di mana proses produksi bagi sebagian besar sektor industri masih menggunakan minyak mentah sebagai bahan bakunya. Kenaikan harga minyak juga mempengaruhi tingkat suku bunga yang akan membuat investasi pada obligasi menjadi lebih menarik. Harjum Muharam (2011) dalam penelitiannya mengenai model determinan imbal hasil obligasi pemerintah menghasilkan kesimpulan bahwa harga minyak dunia signifikan berpengaruh positif terhadap imbal hasil (yield) obligasi pemerintah.
f) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indeks harga saham adalah suatu indikator yang menunjukkan pergerakan harga saham, salah satu indeks harga saham adalah Indeks Harga Saham Gabungan. IHSG atau juga dikenal dengan Jakarta Composite Index (JSI), mencakup pergerakan harga seluruh saham biasa dan saham preferen yang tercatat di BEJ. Anoraga dan Piji (2001: 100) mengatakan, secara sederhana yang disebut dengan indeks harga adalah suatu angka yang digunakan untuk membandingkan suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Saham dan obligasi merupakan produk investasi yang di perdagangkan di Bursa Efek. IHSG yang meningkat menunjukkan meningkatnya gairah berinvestasi pada saham sehingga dengan demikian akan mempengaruhi tingkat investasi pada produk yang lain yakni menurunkan investasi pada obligasi. Oleh karena itu, dengan asumsi bahwa dana yang diasumsikan tetap maka IHSG berkorelasi negatif
29
terhadap harga obligasi yakni setiap kenaikan IHSG akan mengakibatkan penurunan harga obligasi sehingga permintaan akan obligasi juga akan meningkat dan begitu pula sebaliknya apabila IHSG mengalami penurunan akan mendorong harga obligasi ke arah yang lebih tinggi sehingga permintaan akan obligasi juga menurun. Dengan asumsi bahwa harga obligasi berbanding terbalik dengan imbal hasil obligasi.
2) Karakteristik obligasi a) Umur obligasi Setiap obligasi mempunyai masa jatuh tempo atau dikenal dengan istilah maturity date yaitu tanggal di mana nilai pokok obligasi tersebut harus dilunasi oleh penerbit obligasi. Umur obligasi adalah jangka waktu sejak diterbitkannya obligasi sampai dengan tanggal jatuh tempo obligasi. Umur obligasi yang pendek menunjukkan peringkat obligasi investment grade (Almilia dan Devi, 2007). Emiten obligasi mempunyai kewajiban mutlak untuk membayar nilai nominal obligasi kepada pemegang obligasi pada saat jatuh tempo (biasanya tercantum pada kesepakatan yang dibuat sebelumnya). Kewajiban pembayaran pokok pada saat jatuh tempo dan bunga obligasi akan terhindar apabila dilakukan penebusan obligasi (redemption) atau pembelian kembali obligasi sebelum jatuh tempo oleh penerbit obligasi tersebut (Haryanto, 2013). Periode jatuh tempo obligasi bervariasi mulai dari 365 hari sampai dengan di atas 5 tahun. Obligasi yang akan jatuh tempo dalam waktu 1 tahun akan lebih mudah untuk diprediksi, sehingga memiliki risiko yang lebih kecil dibandingkan
30
dengan obligasi yang memiliki periode jatuh tempo dalam waktu 5 tahun. Secara umum, semakin panjang jatuh tempo suatu obligasi, maka semakin tinggi kupon dari suatu obligasi sehingga risiko obligasi juga akan semakin besar dan yield yang didapatkan juga akan cenderung meningkat (Rahardjo, 2003).
b) Peringkat obligasi Peringkat obligasi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi yield obligasi karena peringkat obligasi merupakan skala risiko dari semua obligasi yang diperdagangkan. Skala tersebut menunjukkan tingkat keamanan suatu obligasi bagi investor. Peringkat obligasi sangat penting karena mampu memberikan pernyataan informatif dan memberikan signal tentang probabilitas kegagalan utang suatu perusahaan (Raharja dan Sari, 2008). Menurut Baker dan Mansi (2001), peringkat obligasi merupakan salah satu indikator penting mengenai kualitas kredit perusahaan. Peringkat obligasi merupakan indikator ketepatan waktu pembayaran pokok dan bunga hutang obligasi dan juga merupakan indikator tingkat risiko yang dihadapi oleh perusahaan penerbit obligasi. Semakin tinggi peringkat suatu obligasi, semakin menunjukkan bahwa obligasi tersebut terhindar dari risiko. Obligasi dengan peringkat rendah merupakan obligasi yang lebih berisiko. Implikasinya obligasi dengan peringkat rendah harus menyediakan yield lebih tinggi untuk mengkompensasi kemungkinan risiko yang besar (Ratih, 2006).
31
Peringkat obligasi merupakan salah satu acuan dari investor ketika akan memutuskan membeli suatu obligasi. Proses peringkat sebuah obligasi membutuhkan waktu sekitar satu sampai dua bulan. Jika pemerintah yang menjadi penerbit obligasi, maka biasanya peringkat obligasi tersebut sudah merupakan investment grade (level A), karena pemerintah akan memiliki kemampuan untuk melunasi kupon dan pokok utang ketika obligasi tersebut mengalami jatuh tempo. Akan tetapi, ketika perusahaan yang menjadi penerbit suatu obligasi, maka biasanya obligasi tersebut memiliki probabilitas default, tergantung dari kesehatan keuangan perusahaan tersebut. Risiko default tersebut dapat dipengaruhi oleh siklus bisnis yang berubah sehingga menurunkan perolehan laba, kondisi ekonomi makro dan situasi politik yang terjadi, dan lain sebagainya (Novie, 2010). Proses pemeringkatan obligasi dilakukan oleh lembaga pemeringkat (rating agency). Lembaga pemeringkat yang terdapat di Indonesia adalah PT. Pefindo (Pemeringkat Efek Indonesia). Peringkat yang diberikan oleh lembaga pemeringkat (rating agency) akan menyatakan apakah obligasi berada pada peringkat investment grade atau non investment grade. Investment grade merupakan obligasi yang berperingkat tinggi (high grade) yang mencerminkan risiko kredit yang rendah (high creditworthiness). Non investment grade merupakan obligasi yang berperingkat rendah (low grade) yang mencerminkan risiko kredit yang tinggi (low creditworthiness). Suatu obligasi yang memperoleh rating non investment grade maka obligasi tersebut disebut dengan istilah junk bond. Sebaliknya, suatu obligasi yang
32
sebelumnya termasuk investment grade tetapi setelah ditinjau kembali dan peringkatnya turun ke non investment grade, obligasi yang demikian biasanya disebut falling angels (Ang, 2010). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Kategori Peringkat Simbol Peringkat Jangka Panjang Jangka Pendek AAA A1 AA A2 A A3 BBB A4 BB B B CCC C D D Sumber: Robert Ang (2010)
Kategori Investment Grade (layak untuk investasi) Non-investment Grade (tidak layak untuk investasi)
Menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/31/DPNP tanggal 22 Desember 2011 menyatakan pula peringkat obligasi dibagi dalam tiga kategori yaitu high investment grade (AAA+, AAA, AAA-, AA+), medium investment grade (AA, AA-, A+, A) dan low investment grade (A-, BBB+, BBB, BBB-). Adapun simbol peringkat PT. Pefindo dapat dilihat dalam Tabel 2.2 berikut:
33
Tabel 2.2 Definisi Peringkat Obligasi Peringkat IdAAA
Keterangan Efek utang dengan peringkat AAA merupakan efek utang dengan peringkat tertinggi dari Pefindo yang didukung oleh kemampuan Obligor yang superior relatif dibanding entitas Indonesia lainnya untuk memenuhi 4 kewajiban finansial jangka panjang sesuai dengan yang diperjanjikan.
IdAA
Efek utang dengan peringkat AA memiliki kualitas kredit sedikit di bawah peringkat tertinggi, didukung oleh kemampuan Obligor yang sangat kuat untuk memenuhi kewajiban finansial jangka panjangnya sesuai dengan yang diperjanjikan relatif dibandingkan dengan entitas Indonesia lainnya.
IdA
Efek utang dengan peringkat A memiliki dukungan kemampuan Obligor yang kuat dibandingkan dengan entitas Indonesia lainnya untuk memenuhi kewajiban finansial jangka panjangnya sesuai dengan yang diperjanjikan, namun cukup peka terhadap perubahan yang merugikan.
IdBBB
Efek utang dengan BBB didukung oleh kemampan Obligor yang memadai relatif dibandingkan dengan entitas Indonesia lainnya untuk memenuhi kewajiban finansial, namun kemampuan tersebut dapat diperlemah oleh keadaan bisnis dan perekonomian yang merugikan.
IdBB
Efek utang dengan peringkat BB menunjukan dukungan kemampuan Obligor yang agak lemah relatif dibandingkan dengan entitas lainnya untuk memenuhi kewajiban finansial jangka panjangnya sesuai dengan yang diperjanjikan, serta peka terhadap keadaan bisnis dan perekonomian yang tidak menentu.
34
Peringkat IdB
Keterangan Efek utang dengan peringkat B menunjukan parameter perlindungan yang sangat lemah. Walapun Obligor masih memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban finansial jangka panjangnya, namun adanya perubahan keadaan bisnis dan perekonomian yang merugikan akan memperburuk kemampuan obligor utuk memenuhi kewajiban finansialnya.
IdCCC
Efek utang dengan peringkat CCC menunjukan efek utang yang tidak mampu lagi memenuhi kewajiban finansialnya, serta hanya tergantung kepada perbaikan keadaan eksternal.
IdSD
Efek utang dengan peringkat SD menunjukan bahwa obligor gagal membayar satu atau lebih kewajibannya pada saat jatuh tempo, tetapi masih masih dapat melanjutkan pemenuhan kewajibannya untuk kewajiban yang lain (selective default).
Sumber : www.pefindo.com (2015)
Peringkat dari AA hingga B dapat dimodifikasi dengan penambahan plus (+) atau minus (-). Tanda plus (+) ataupun minus (-) digunakan untuk menunjukkan kekuatan relatif dari kategori peringkat (www.pefindo.com). Agen pemeringkat berfungsi sebagai perantara informasi dan berperan dalam memperbaiki efisiensi pasar modal dengan meningkatkan transparansi sekuritas, sehingga dapat mengurangi asimetri informasi antara investor dan penerbit obligasi. Jasa ini sangat bernilai bagi investor kecil yang menghadapi tingginya biaya (relatif terhadap investasinya) dalam menilai creditworthiness obligasi. Oleh karena itu agen pemeringkat menyediakan jasa yang lebih efisien (Beaver et al., 2004). Dengan memperhatikan peringkat yang dikeluarkan
35
lembaga-lembaga tersebut, investor bisa menentukan kualitas dari suatu obligasi. Obligasi yang berperingkat tinggi akan memberikan return (yield) yang rendah, demikian pula sebaliknya, jika obligasi berperingkat rendah maka akan memberikan return (yield) yang tinggi. Hal ini berhubungan positif dengan risiko yang melekat pada obligasi tersebut. Semakin tinggi peringkat obligasi maka risiko default semakin rendah, return (yield) yang diberikan juga semakin rendah. Sebaliknya, jika semakin rendah peringkat obligasi, semakin tinggi risiko default, semakin tinggi juga return (yield) yang diberikan. Sharpe, dkk (2005) menyatakan obligasi yang berperingkat investasi memiliki harga yang super premium dan memiliki yield yang rendah. Lebih lanjut Hickman dalam Sharpe (2005) menemukan bahwa secara umum, semakin berisiko suatu obligasi, semakin tinggi yield yang dijanjikan saat penerbitan. Obligasi dengan risiko kegagalan pembayaran yang relatif lebih tinggi (ratingnya lebih rendah) akan menawarkan yield yang lebih besar dibandingkan dengan obligasi yang risikonya relatif lebih kecil (rating-nya lebih tinggi) (Tandelilin, 2010:290). Peringkat obligasi dan yield berbanding terbalik, jika peringkat obligasi meningkat maka yield akan turun dan sebaliknya, jika peringkat obligasi turun maka yield akan meningkat (Jewel dan Livingston, 2000).
36
c) Kupon Kupon adalah tingkat bunga yang dibayarkan oleh perusahaan emiten setiap periode hingga waktu jatuh tempo obligasi kepada investor sebagai balas jasa atas investasi yang ditanamkannya. Pembayaran kupon yang dilakukan oleh perusahaan emiten dapat dilakukan setiap triwulan atau setiap semester. Bagi investor, kupon adalah pendapatan yang diperoleh atas investasinya. Kupon merupakan suatu daya tarik bagi para investor dalam berinvestasi pada obligasi. Semakin tinggi kupon yang ditawarkan oleh suatu obligasi maka semakin tertarik pula investor untuk membeli obligasi tersebut dan memberikan yield yang semakin tinggi (Nurfauziah dan Setyarini, 2004).
d) Likuiditas obligasi Obligasi yang likuid adalah obligasi yang banyak beredar di kalangan pemegang obligasi serta sering diperdagangkan di pasar obligasi. Apabila obligasi yang dibeli mempunyai likuiditas yang cukup tinggi maka harga obligasi cenderung stabil dan meningkat. Likuiditas obligasi menjadi hal yang penting diperhatikan bagi investor, karena semakin rendah likuditas suatu obligasi maka akan menyebabkan investor mengalami kesulitan untuk dapat menjual kembali obligasi tersebut sebelum tanggal jatuh tempo. Krisnilasari (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa obligasi yang likuid adalah obligasi yang banyak beredar dan diperdagangkan oleh investor di pasar obligasi. Likuditas obligasi memiliki hubungan yang searah (positif) dengan perubahan harga obligasi, di mana semakin tinggi likuditas suatu
37
obligasi maka perubahan harga obligasi cenderung meningkat, jika likuiditas obligasi tersebut rendah maka perubahan harga obligasi cenderung menurun, maka dari itu, jika seorang investor ingin membeli suatu obligasi sebaiknya investor memilih obligasi yang likuid yaitu yang aktif diperdagangkan di pasar obligasi serta diminati oleh investor. Hal ini juga mempengaruhi imbal obligasi dimana semakin likuid suatu obligasi maka obligasi cenderung lebih memiliki resiko yang rendah sehingga imbal hasil yang diharapkan oleh investor juga rendah.
e) Durasi obligasi Durasi adalah berapa jumlah tahun yang dibutuhkan untuk melunasi obligasi dengan dasar perhitungan arus kas saat ini. Durasi disebut pula rata-rata tertimbang dari waktu terhadap seluruh kas obligasi. Durasi menunjukkan perubahan harga terhadap yield (Kusuma, 2005). Durasi merupakan model pepuler yang digunakan dalam manajemen risiko. Semakin kecil durasi suatu obligasi menunjukkan risiko suatu obligasi semakin rendah. Obligasi akan dinilai semakin cepat dalam mengembalikan tingkat pokok dan bunga, sehingga yield yang diharapkan investor juga semakin rendah.
38
3) Faktor internal a) Pertumbuhan perusahaan Pertumbuhan perusahaan merupakan kemampuan perusahaan untuk meningkatkan size (Kallapur dan Trombley, 1999). Berdasarkan teori siklus hidup perusahaan bahwa perusahaan akan mengalami evolusi. Evolusi ini melalui beberapa tahap. Tahapan tersebut terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu growth, mature dan stagnant (Anthony dan Ramesh, 1992). Dalam setiap tahap hidup perusahaan ada aktivitas yang berbeda yang berpengaruh pada kegiatan pendanaan
aktivitas
perusahaan.
Risiko
obligasi
pada
tahap
growth
memperhatikan aliran kas yang terjadi di dalam perusahaan. Perusahaan banyak menggunakan
dananya
untuk
investasi
dalam
mengembangkan
dan
mempertahankan pangsa pasar serta menguasai teknologi. Risiko default pada fase ini menjadi tinggi karena dikawatirkan perusahaan tidak bisa membayar pokok dan bunganya dengan tepat waktu karena aliran kas yang ada digunakan untuk investasi. Risiko default ini tercermin dalam peringkat obligasi. Risiko yang tinggi menyebabkan peringkat obligasi menjadi rendah sehingga perusahaan yang menerbitkan obligasi ketika perusahaan berada pada tahap growth akan memberikan yield yang tinggi. Risiko obligasi perusahaan yang berada pada tahap mature lebih rendah dibandingkan pada tahap growth karena perusahaan sudah bisa menghasilkan laba, investasi sudah mulai turun sehingga perusahaan mempunyai aliran kas yang digunakan untuk membayar pokok dan bunga obligasi dengan lancar. Risiko default ditunjukkan dengan peringkat obligasi. Pada tahap ini peringkat
39
obligasi lebih tinggi dibandingkan pada tahap growth sehingga perusahaan yang menerbitkan obligasi ketika perusahaan berada pada tahap mature akan memberikan yield yang lebih rendah dibandingkan tahap growth. Risiko obligasi perusahaan yang berada pada tahap stagnant adalah rendah karena perusahaan ada dalam kondisi memanen hasil usahanya. Investasi yang dilakukan tidak sebesar di tahap growth dan mature sehingga perusahaan mempunyai aliran kas yang digunakan untuk membayar pokok dan bunga obligasi dengan lancar. Risiko default yang rendah memberikan peringkat yang tinggi pada obligasi yang diterbitkan perusahaan sehingga perusahaan yang menerbitkan obligasi ketika perusahaan berada pada tahap stagnant akan memberikan yield rendah. Safrida (2008) menyatakan bahwa pertumbuhan perusahaan diproksikan dengan nilai pertumbuhan perusahaan yang meliputi pertumbuhan aktiva. Aktiva perusahaan menunjukkan keputusan penggunaan dana atau keputusan investasi pada masa lalu. Aktiva didefinisikan sebagai sumber daya yang mempunyai potensi memberikan manfaat ekonomis pada perusahaan dimasa mendatang. Sumber daya yang mampu menghasilkan aliran kas masuk (cash inflow) atau mengurangi kas keluar (cash outflow) bisa disebut sebagai aktiva. Sumber daya tersebut akan diakui sebagai aktiva perusahaan memperoleh hak penggunaan aktiva tersebut sebagai hasil transaksi atau pertukaran pada masa lalu dan manfaat ekonomis masa mendatang bisa diukur, dikuantifikasikan dengan ketepatan yang memadai.
40
Pertumbuhan aktiva menunjukkan besarnya dana yang dialokasikan oleh perusahaan ke dalam aktivanya. Semakin besar asset yang diharapkan semakin besar hasil operasionalnya. Tingkat pertumbuhan aktiva ini menunjukkan seberapa besar perusahaan membiayai kegiatan usahanya sehingga kebutuhan dana pun meningkat. Pertumbuhan perusahaan sangat diharapkan oleh pihak internal maupun eksternal perusahaan karena pertumbuhan yang baik memberikan tanda bagi perkembangan perusahaan. Dari sudut pandang investor, pertumbuhan suatu perusahaan merupakan tanda perusahaan memiliki aspek yang
menguntungkan
dan
investor
pun
akan
mengharapkan
tingkat
pengembalian dari investasi yang dilakukan menunjukkan perkembangan yang baik.
b) Profitabilitas Menurut Grace (2011), rasio profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri. Profitabilitas memberikan gambaran seberapa efektif perusahaan beroperasi sehingga memberikan keuntungan bagi perusahaan (Ang, 2010). Profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya. Profitabilitas perusahaan biasanya diukur dengan menggunakan rasio keuangan yang diambil dari informasi akuntansi yang tedapat dalam laporan keuangan. Rasio profitabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dan juga untuk mengetahui efektifitas perusahaan dalam
41
mengelola sumber-sumber daya yang dimiliki (Sartono, 2001). Secara singkat, rasio profitabilitas mengukur sampai
seberapa jauh efektifitas manajemen
secara keseluruhan dengan mengetahui tingkat pengembalian (return) yang dihasilkan dari penjualan dan investasi. Menurut Sutrisno (2009:222), terdapat beberapa indikator untuk mengukur rasio profitabilitas perusahaan yaitu : i) Profit Margin Profit margin merupakan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dibandingkan dengan penjualan yang dicapai. oo nj l n l h j k nj l n l m j k nj l n ii) Return On Asset (ROA) Return On Asset merupakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan semua aktiva yang dimiliki oleh perusahaan. l m o l ki
j k
iii) Return On Equity (ROE) Return On Asset ini sering disebut dengan rate if return on net worth yaitu merupakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan modal sendiri yang dimiliki oleh perusahaan. l h o l ki
42
iv) Return On Investment Return On Investment
merupakan kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan keuntungan yang akan digunakan untuk menutup investasi yang dikeluarkan l h
j k
v) Earning Per Share (EPS) Earning Per Share atau laba per lembar saham merupakan ukuran kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan per lembar saham.
ml h
l h m
j k h m
Dalam penelitian ini dipergunakan ROA dalam menghitung profitabilitas, karena ROA mengukur seberapa efektif perusahaan memanfaatkan sumber ekonomi yang ada untuk menghasilkan laba serta menggambarkan berbagai hak baik untuk hak bagi kreditor, investor dan juga pemerintah.
c) Ukuran perusahaan (firm size) Pengelompokkan perusahaan atas dasar skala operasi (besar atau kecil) dapat dipakai oleh investor sebagai salah satu variabel dalam menentukan keputusan investasi. Tolok ukur yang menunjukkan besar kecilnya suatu perusahaan, antara lain total penjualan, rata-rata tingkat penjualan dan total aktiva (Ferry dan Jones, 1979 dalam Panjaitan, 2004). Perusahaan besar umumnya memiliki total aktiva yang besar pula sehingga dapat menarik investor
43
untuk menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut. Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar kecil perusahaan menurut berbagai cara, antara lain: total aktiva, log size, nilai pasar saham, dan lain-lain. Pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi dalam 3 kategori yaitu perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah (medium-size) dan perusahaan kecil (small firm). Penentuan ukuran perusahaan ini didasarkan kepada total asset perusahaan (Machfoedz, 1994). Perusahaan yang memiliki total aktiva besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah positif dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama, selain itu juga mencerminkan bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan total asset yang kecil (Indriani, 2005 dalam Daniati dan Suhairi, 2006). Aktiva merupakan tolok ukur besaran atau skala suatu perusahaan. Biasanya perusahaan besar mempunyai aktiva yang besar pula nilainya. Secara teoritis perusahaan yang lebih besar mempunyai kepastian (certainty) yang lebih besar daripada perusahaan kecil sehingga akan mengurangi tingkat ketidakpastian mengenai prospek perusahaan ke depan. Hal tersebut dapat membantu investor memprediksi risiko yang mungkin terjadi jika ia berinvestasi pada perusahaan itu (Yolana dan Martani, 2005). Menurut Purnamawati (2013), semakin besar suatu perusahaan, menyebabkan potensi mendiversifikasikan risiko non-sistematiknya (misalnya risiko operasi atau risiko keuangan perusahaan) semakin besar, sehingga membuat risiko obligasi
44
perusahaan tersebut menurun. Dengan menurunnya risiko obligasi maka imbal hasil yang diharapkan investor atas dana yang ditanamkan pada obligasi akan meningkat.
d) Leverage ratio Menurut Ibrahim (2008), sebagian besar perusahaan dalam kegiatan bisnisnya bergantung pada pembiayaan melalui modal pemiliknya dan juga pembiayaan melalui utang. Oleh karena itu, para investor perlu memperhatikan leverage ratio dalam sebuah perusahaan. Leverage ratio merupakan salah satu cara untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka panjangnya. Leverage ratio yang paling umum salah satunya yaitu debt to equity ratio. Debt to equity ratio adalah rasio keuangan yang menunjukkan proporsi dari modal entitas dan utang yang digunakan untuk membiayai asset suatu entitas. Rasio ini biasanya digunakan untuk menilai apakah aset suatu bisnis lebih banyak dibiayai oleh utang ataukah modal entitas. Para investor obligasi yang berkehendak untuk mempertahankan obligasinya hingga saat jatuh tempo dihadapkan dengan risiko gagal bayar. Oleh karena itu, menganalisis kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka panjangnya melalui debt to equity ratio menjadi sangat penting untuk menilai risiko gagal bayar pada saat obligasi tersebut jatuh tempo.
45
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, penelitian ini menggunakan faktor eksternal berupa inflasi dan tingkat suku bunga, karakteristik obligasi berupa umur obligasi dan peringkat obligasi serta faktor internal berupa pertumbuhan perusahaan dan profitabilitas sebagai variabel-variabel yang mempengaruhi yield obligasi.
2.1.6 Teori signaling Teori signaling menunjukkan adanya asimetri informasi antara pihak manajemen perusahaan dan berbagai pihak yang berkepentingan, berkaitan dengan informasi yang dikeluarkan (Maylia, 2007). Asimetri informasi dapat terjadi diantara dua kondisi ekstrem yaitu perbedaan informasi yang kecil sehingga tidak mempengaruhi manajemen atau perbedaan yang sangat signifikan sehingga dapat berpengaruh terhadap manajemen dan harga saham (Yuni, 2013). Asimetri informasi muncul karena adanya salah satu pihak yang mempunyai informasi lebih baik, misalnya seorang manajer yang mengetahui informasi mengenai prospek perusahaan yang lebih baik dibandingkan dengan investornya. Berkaitan dengan asimetri informasi, sangat sulit bagi para investor dan kreditur untuk membedakan antara perusahaan yang berkualitas tinggi dan rendah. Teori
signaling
mengemukakan
bagaimana
seharusnya
perusahaan
memberikan signal pada pengguna laporan keuangan. Informasi berupa pemberian peringkat obligasi yang dipublikasikan diharapkan dapat menjadi signal kondisi keuangan perusahaan dan menggambarkan kemungkinan yang
46
terjadi terkait dengan utang yang dimiliki. Selain itu, laporan keuangan juga seharusnya memberikan informasi yang berguna bagi investor dan kreditor untuk membuat keputusan investasi, kredit, dan keputusan sejenis (Candra, 2008). Laba merupakan bagian dari laporan keuangan sehingga laba seharusnya juga berguna untuk keputusan kredit. Laba dapat digunakan untuk menilai prospek perusahaan, misalnya untuk (a) mengevaluasi performance manajemen, (b) memperkirakan earning power, (c) memprediksi laba yang akan datang atau (d) menilai risiko investasi, atau pinjaman pada perusahaan.
2.1.7 Teori keagenan Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai suatu kontrak antara manajer (agent) dengan pemilik (principal) perusahaan. Satu principal atau lebih memberi wewenang dan otoritas kepada agent untuk melakukan kepentingan principals. Manajer sebagai pihak yang diberi wewenang atas kegiatan perusahaan dan berkewajiban menyediakan laporan keuangan cenderung akan melaporkan sesuatu yang memaksimalkan utilitasnya dan hal ini memacu terjadinya konflik keagenan. Terdapat tiga macam masalah keagenan menurut Candra (2008). Pertama, masalah keagenan antara manajer dengan pemegang saham. Kedua, masalah keagenan antara pemegang saham dengan kreditor. Ketiga, masalah keagenan antara perusahaan dengan konsumen. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa penerbitan surat utang dapat menimbulkan masalah antara manajer, pemegang saham, dan kreditor sebagai berikut:
47
1) Jika utang naik dalam struktur modal perusahaan maka risiko bisnis dan operasi kreditor meningkat. Akan tetapi, keputusan investasi dan operasi tetap ada pada manajer dan pemegang saham. Bisa terjadi dana dari penerbitan obligasi tidak digunakan untuk investasi pada proyek dengan Net Presenr Value (NPV) positif, tetapi digunakan untuk pembayaran dividen, sehingga perusahaan gagal membayar utang kepada kreditor. Akan tetapi kreditor tidak dapat menuntut banyak karena ada limited liabilty dari pihak pemegang saham yang berarti pemegang saham tidak dapat dituntut lebih besar daripada modal disetor. 2) Manajer-pemegang saham meyakinkan pihak kreditor bahwa mereka akan mencari investasi yang aman guna menerima tingkat bunga pinjaman yang rendah. Selanjutnya mereka melakukan investasi pada proyek yang berisiko tinggi karena memberikan ekspansi imbal balik yang tinggi pula. Jika proyek berhasil, maka utang dibayar secara penuh dan imbal hasil yang tersisa sepenuhnya akan menjadi hak pemegang saham. Namun, jika tidak sukses, maka utang tidak dibayar atau pemegang saham dinyatakan gagal bayar. Akhirnya yang menderita kerugian adalah pihak kreditor karena jika investasi sukses, hanya menerima imbal hasil tetap. Sebaliknya, bila investasi merugi harus menerima kerugian yang sama besar dengan pemegang saham.
48
2.1.8 Teori struktur tingkat bunga Teori struktur bunga menjelaskan mengenai pengaruh tingkat suku bunga yang diharapkan oleh investor terhadap nilai obligasi yang dihasilkan. Terdapat tiga teori utama dalam mengukur teori struktur tingkat bunga (Siti, 2014): 1) Teori harapan (expectation theory) Teori ini menyatakan bahwa tingkat bunga forward sama dengan harapan pasar bersama atas tingkat bunga jangka pendek dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, investor dapat menghubungkan hasil dari obligasi jangka panjang dengan harapan atas tingkat bunga dimasa depan (Bodie, et.al, 2006). Sementara itu Fabozzi (2004) mengatakan bahwa keseluruhan struktur berjangka pada waktu tertentu merefleksikan harapan pasar saat ini terhadap kelompok suku bunga jangka pendek di masa depan. Apabila diasumsikan akan terjadi kenaikan suku bunga di masa depan, maka para investor yang awalnya tertarik pada investasi jangka panjang tidak akan mau membeli obligasi jangka panjang karena mereka mengharapkan cepat atau lambat akan terjadi peningkatan struktur hasil. Hal ini akan menyebabkan penurunan harga obligasi dan kerugian modal atas obligasi jangka panjang yang dibeli. 2) Teori preferensi likuiditas (liquidity preference theory) Dalam teori preferensi likuiditas dinyatakan bahwa tingkat bunga akan mencerminkan jumlah tingkat bunga sekarang dan tingkat bunga jangka pendek yang diharapkan ditambah dengan premi likuiditas. Premi likuiditas ini digunakan oleh penerbit supaya investor mau meminjamkan dananya
49
dalam jangka panjang. Menurut Fabozzi (2004) suku bunga forward tersirat tidak akan menjadi perkiraan yang tidak bias mengenai harapan pasar terhadap suku bunga di masa depan karena harapan pasar ini meliputi premi likuiditas. Sehingga apabila premi likuiditas dari tingkat suku bunga yang diharapkan di masa depan tinggi, maka investor akan berinvestasi pada jangka panjang. 3) Teori malkiel Teori yang dicetuskan oleh Malkiel (1962) ini dikenal juga sebagai teori penilaian obligasi. Teori ini menjelaskan tentang hubungan antara harga obligasi akibat adanya perubahan-perubahan suku bunga, maturitas dan nilai kupon. Secara tidak langsung hal ini akan menyebabkan tingkat yield obligasi ikut mengalami perubahan. Adapun isi dari teori ini antara lain: a) Harga dari obligasi akan bergerak berlawanan arah dengan hasil pasar. Semakin meningkatnya (menurunnya) tingkat suku bunga, maka akan menyebabkan menurunnya (meningkatnya) harga obligasi dan yield cenderung meningkat (menurun). b) Dengan maturitas yang konstan, penurunan suku bunga akan menaikkan harga obligasi dengan basis persentase yang lebih besar apabila dibandingkan dengan peningkatan suku bunga yang sama besarnya yang akan menyebabkan menurunnya harga obligasi. c) Pada suatu perubahan dari tingkat suku bunga tertentu, besarnya perubahan harga obligasi akan berhubungan positif dengan waktu
50
maturitas, yaitu semakin lama tingkat maturitas suatu obligasi akan menyebabkan perubahan harga obligasi yang besar pula. d) Perubahan harga yang terjadi akibat adanya hubungan antara maturitas obligasi dan volatilitas harga akan semakin besar dengan tingkat menurun seiring dengan meningkatnya maturitas. e) Persentase perubahan harga obligasi yang diakibatkan oleh perubahan tingkat suku bunga akan lebih kecil jika tingkat kupon lebih tinggi.
2.2 Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian merupakan dugaan awal sementara hubungan pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen sebelum dilakukannya penelitian dan harus dibuktikan melalui penelitian. Dugaan tersebut diperkuat melalui teori atau jurnal yang mendasari dan hasil dari penelitian terdahulu. Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan teoritis dan penelitian terdahulu, maka dapat disusun hipotesis kerja sebagai berikut: 2.2.1 Pengaruh inflasi terhadap yield obligasi Tandelilin (2010:288) menyatakan bahwa risiko inflasi akan menyebabkan penurunan nilai riil uang atau pendapatan. Dalam konteks investasi obligasi, adanya kenaikan inflasi akan menyebabkan penurunan nilai riil pendapatan bunga yang diperoleh investor selama umur obligasi. Pasar obligasi umumnya akan menarik bila kondisi ekonomi cenderung menurun. Pertumbuhan ekonomi yang lambat, mengakibatkan tingkat bunga akan cenderung turun dan harga obligasi akan naik. Apabila kondisi ekonomi mengalami peningkatan inflasi, maka risiko
51
pada berbagai investasi juga mengalami peningkatan. Tingkat inflasi dapat mempengaruhi tingkat bunga pasar dan selanjutnya tingkat bunga tersebut akan mempengaruhi harga dan yield obligasi. Oleh karena itu, pasar obligasi tidak menyukai adanya peningkatan inflasi yang dapat memberikan dampak negatif terhadap nilai riil dari pendapatan tetap yang diperoleh dari obligasi. Apabila inflasi mengalami peningkatan maka investasi pada surat-surat berharga seperti obligasi akan dirasa semakin berisiko. Akibatnya, investor akan mengharapkan yield yang lebih tinggi atas investasinya. Oleh karena itu, laju inflasi berpengaruh positif terhadap yield obligasi yang diinginkan oleh investor (Nurfauziah dan Setyarini, 2004). Menurut Handayani dan Sri (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa faktor ekonomi makro (inflasi, suku bunga dan exchange rate) berpengaruh positif signifikan terhadap yield obligasi korporasi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Nurfauziah dan Setyarini (2004), Ibrahim (2008) dan Surya serta Nasher (2011) bahwa terdapat pengaruh tingkat inflasi berpengaruh positif signifikan terhadap yield obligasi korporasi. Berdasarkan paparan pokok permasalahan, tujuan, landasan teori dan penelitian sebelumnya dalam penelitian ini, maka hipotesis yang dapat diajukan adalah sebagai berikut: H1 : Inflasi berpengaruh positif signifikan terhadap yield obligasi korporasi pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
52
2.2.2 Pengaruh tingkat suku bunga terhadap yield obligasi Orang atau perusahaan yang berinvestasi dalam obligasi menghadapi risiko yang berasal dari suku bunga yang berubah. Menurut Samsul (2006), investasi dalam obligasi mengandung risiko seperti kegagalan penerimaan kupon atau gagal pelunasan dan kerugian karena kehilangan kesempatan untuk melakukan investasi di tempat lain (opportunity cost). Oleh karena itu, yield obligasi yang diperoleh harus lebih tinggi daripada tingkat deposito atau SBI agar investasi menguntungkan. Maka dari itu, apabila tingkat suku bunga mengalami kenaikan maka besarnya yield yang disyaratkan oleh investor juga akan mengalami kenaikan (Ibrahim, 2008). Menurut Surya dan Nasher (2011), tingkah laku harga dan yield suatu obligasi sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga pasar. Jika suku bunga pasar naik, maka harga pasar obligasi akan turun dan ini menyebabkan yield obligasi mengalami peningkatan. Begitu pula sebaliknya, jika suku bunga pasar turun maka harga pasar obligasi akan naik dan yield menjadi turun. Purnamawati (2013) menyatakan dalam penelitiannya bahwa tingkat suku bunga berpengaruh positif dan signifikan antara tingkat suku bunga terhadap tingkat yield obligasi. Penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian oleh Kadir (2007), Ibrahim (2008) dan m’ ni (2
9) y ng m n nj kk n h sil
hw
d p
p ng
h posi if d n
signifikan antara tingkat suku bunga terhadap tingkat yield obligasi. Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara tingkat suku bunga terhadap yield obligasi, sehingga hipotesis yang dapat diajukan adalah:
53
H2 : Tingkat suku bunga berpengaruh positif signifikan terhadap yield obligasi korporasi pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
2.2.3 Pengaruh umur obligasi terhadap yield obligasi Obligasi yang memiliki waktu jatuh tempo yang lebih lama maka akan memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, investor lebih menyukai untuk membeli obligasi yang memiliki waktu jatuh tempo yang lebih pendek apabila tidak menyukai risiko yang tinggi. Liquidity preference theory menyatakan bahwa investor akan melakukan investasi pada instrumen jangka panjang jika penerbit (issuer) obligasi menawarkan suku bunga jangka panjang dan imbal hasil yang lebih besar dari rata-rata suku bunga jangka pendek (Siti, 2014). Semakin pendek jangka waktu obligasi maka akan semakin diminati oleh investor karena dianggap risikonya lebih kecil, sehingga imbal hasil dari obligasi tersebut juga semakin kecil. Begitu pula sebaliknya, apabila umur obligasi semakin panjang maka risiko dari obligasi akan semakin besar sehingga investor mengharapkan yield obligasi yang semakin besar (Rahardjo, 2003). Oleh karena itu, umur obligasi berpengaruh positif terhadap yield obligasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bhojraj dan Sengupta (2003), Khurana dan Raman (2003),
n w i (2
3) s
m’ ni (2
9) y ng
menyatakan bahwa umur obligasi berpengaruh positif signifikan terhadap yield obligasi. Maka dari itu, hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
54
H3 : Umur obligasi berpengaruh positif signifikan terhadap yield obligasi korporasi pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
2.2.4 Pengaruh peringkat obligasi terhadap yield obligasi Menurut Brigham (2010) penetapan peringkat obligasi penting baik bagi perusahaan maupun investor. Pertama, karena peringkat obligasi merupakan indikator dari risiko penunggakan, maka peringkat tersebut berpengaruh langsung terhadap suku bunga dan biaya modal atas utang perusahaan. Kedua, hampir semua obligasi dibeli oleh investor institusional, bukan perorangan, dan banyak institusi dibatasi hanya boleh membeli sekuritas dalam peringkat tertentu. Lebih lanjut, peringkat yang diberikan kepada obligasi mencerminkan kemungkinan terjadinya penunggakan (wanprestasi) atas obligasi. Makin tinggi peringkat obligasi, makin rendah suku bunga (kupon) yang diberikan. Sharpe, Alexander dan Bailey (1995) menyatakan, semakin besar risiko default suatu obligasi, maka semakin besar premium default. Hal ini saja akan menyebabkan obligasi dengan risiko default yang lebih tinggi menawarkan yield to maturity yang dijanjikan lebih tinggi. Akibatnya, obligasi dengan peringkat yang lebih rendah seharusnya memiliki yield to maturity yang dijanjikan lebih tinggi jika peringkat tersebut merefleksikan risiko default. Lebih lanjut Hickman dalam Sharpe (2005) menemukan bahwa secara umum, semakin berisiko suatu obligasi, semakin tinggi yield yang dijanjikan saat penerbitan. Obligasi dengan risiko kegagalan pembayaran yang relatif lebih tinggi (rating-nya lebih rendah) akan menawarkan yield yang lebih besar dibandingkan dengan obligasi yang
55
risikonya relatif lebih kecil (rating-nya lebih tinggi) (Tandelilin, 2010:290). Peringkat obligasi dan yield berbanding terbalik, jika peringkat obligasi meningkat maka yield akan turun dan sebaliknya, jika peringkat obligasi turun maka yield akan meningkat (Jewel dan Livingston, 2000). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bhojraj dan Sengupta (2003), Thompson dan Vaz (1990), Ziebart dan Reiter (1992) serta Crabtree dan Maher (2005) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif dan signifikan antara peringkat obligasi terhadap yield obligasi. Begitu juga dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Ibrahim (2008), Surya dan Nasher (2011) dan Rinaningsih (2009) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif dan signifikan antara peringkat obligasi terhadap YTM obligasi. Oleh karena itu, dapat disusun suatu hipotesis dalam penelitian ini yaitu: H4 : Peringkat obligasi berpengaruh negatif signifikan terhadap yield obligasi korporasi pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
2.2.5 Pengaruh pertumbuhan perusahaan terhadap yield obligasi Pertumbuhan diduga mempunyai pengaruh terhadap yield obligasi karena berdasarkan teori siklus hidup perusahaan (Anthony dan Ramesh, 1992), aktivitas pendanaan akan berbeda dalam setiap tahapan hidup perusahaan. Perbedaan aktivitas pendanaan dalam siklus hidup perusahaan ini akan mempengaruhi risiko perusahaan yang akan mempengaruhi peringkat dan yield obligasi. Perusahaan yang bertumbuh akan menggunakan aliran kasnya untuk investasi, penguasaan teknologi dan pengembangan produk sehingga terdapat risiko kemungkinan
56
perusahaan tidak bisa membayar bunga dan pokok pinjaman obligasi. Hal ini akan mengakibatkan
risiko
obligasi
meningkat,
sehingga
perusahaan
akan
membayarkan yield yang tinggi untuk menarik minat investor. Sebaliknya, perusahaan pada tahap mature akan mengurangi investasi dan mempunyai aliran kas yang lancar sehingga dapat membayar bunga dan pokok pinjaman dengan lancar. Hal ini cenderung menjadikan risiko pada tahap ini menjadi lebih rendah sehingga yield obligasi yang ditawarkan rendah dan menyebabkan peringkat obligasi semakin meningkat. Oleh karena itu, pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif terhadap yield obligasi. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Octavia (2010) dimana pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap yield obligasi. Berdasarkan pokok permasalahan serta landasan teori, maka dapat disusun hipotesis dalam penelitian ini yaitu: H5 : Pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap yield obligasi korporasi pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
2.2.6 Pengaruh profitabilitas terhadap yield obligasi Profitabilitas secara umum juga diukur melalui tingkat laba (profit). Laba merupakan bagian dari laporan keuangan sehingga laba seharusnya juga berguna untuk keputusan kredit. Sesuai dengan teori signaling, laba dapat digunakan sebagai suatu ukuran untuk menilai prospek perusahaan. Laba dapat digunakan untuk: (a) mengevaluasi performance manajemen, (b) memperkirakan earning power, (c) memprediksi laba yang akan datang atau (d) menilai risiko investasi, atau pinjaman pada perusahaan (Candra, 2008). Semakin tinggi laba, maka
57
cenderung akan menarik minat investor untuk menanamkan dananya dengan harapan dapat memperoleh imbal hasil yang lebih besar. Dalam suatu investasi juga cenderung terjadi adanya konflik keagenan antara manager dan investor. Manager cenderung akan memanfaatkan profitabilitas perusahaan untuk memaksimalisasi utilitas perusahaan. Sebaliknya, investor ataupun kreditor cenderung menginginkan imbal hasil yang tinggi dari profit yang diperoleh. Penelitian Yuni (2013) menyatakan bahwa rasio profitabilitas yang diukur dengan Return on Asset (ROA) mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan laba karena rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih berdasarkan tingkat aset tertentu. Apabila laba perusahaan tinggi maka akan memberikan sinyal positif bagi investor sehingga yield obligasi cenderung meningkat. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Immaculatta dan Restuti (2007) menunjukkan bahwa profitabilitas yang diproksikan dengan ROA berpengaruh positif signifikan terhadap imbal hasil obligasi. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: H6 : Profitabilitas berpengaruh positif signifikan terhadap yield obligasi korporasi pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
58