BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Jenis-jenis hutang Menurut Bambang Riyanto (2011:227), hutang merupakan modal asing yang berasal dari luar perusahaan yang sifatnya sementara bekerja di dalam perusahaan yang pada saatnya harus dibayar kembali. Hutang dapat dibedakan menjadi 3, yaitu hutang jangka pendek (jangka waktunya kurang dari satu tahun), hutang jangka menengah (jangka waktunya antara 1-10 tahun), dan hutang jangka panjang (jangka waktunya lebih dari 10 tahun). Sebagian besar hutang jangka pendek terdiri dari kredit perdagangan yang diperlukan perusahaan untuk menyelenggarakan usahanya. Jenis-jenis hutang jangka pendek antara lain: a. Kredit rekening koran adalah kredit yang diberikan oleh bank kepada perusahaan
dengan
batas
plafond
tertentu
dimana
perusahaan
mengambilnya tidak sekaligus melainkan sebagian demi sebagian sesuai dengan kebutuhannya, dan bunga yang dibayar hanya untuk jumlah yang telah diambil saja, meskipun sebenarnya perusahaan meminjamnya lebih dari jumlah tersebut. b. Kredit penjual merupakan kredit perniagaan (trade credit) dan kredit ini terjadi apabila penjualan produk dilakukan dengan kredit.
c. Kredit pembeli merupakan kredit yang terjadi apabila pembeli membayar harga barang yang dibelinya lebih dahulu dan setelah beberapa waktu barulah pembeli menerima barang yang dibelinya. d. Kredit wesel terjadi apabila suatu perusahaan mengeluarkan “surat pengakuan hutang” yang berisikan kesanggupan untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pihak tertentu dan pada saat tertentu (surat promes/notes payables), dan setelah ditandatangani surat tersebut dapat dijual atau diuangkan pada bank. Bagi bank atau pihak yang membeli promes tersebut (pembeli kredit), surat hutang tersebut merupakan tagihan atau wesel tagih (notes receivables), dan bagi pihak yang mengeluarkan surat hutang, surat tersebut merupakan hutang wesel (notes payables). Hutang jangka menengah pada umumnya digunakan karena adanya kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dengan kredit jangka pendek di satu pihak dan juga sukar untuk dipenuhi dengan dana yang berasal dari pasar modal. Bentuk-bentuk utama dari hutang jangka menengah antara lain term loan dan lease financing. a. Term loan adalah kredit usaha dengan umur lebih dari satu tahun dan kurang dari 10 tahun. Pada umumnya term loan dibayar kembali dengan angsuran tetap selama suatu periode tertentu (misalnya bulanan, kuartal, atau tahunan). b. Lease adalah persetujuan atas dasar kontrak dimana pemilik dari aktiva (lessor) menginginkan pihak lain (lessee) untuk menggunakan jasa dari aktiva tersebut selama suatu periode tertentu. Hak milik atas aktiva
tersebut tetap pada lessor. Terkadang, lessee juga diberi kesempatan untuk membeli aktiva tersebut. Dengan demikian, leasing dapat dianggap sama dengan debt financing (adanya beban tetap kepada kreditur (lessor)). Hutang
jangka
panjang
pada
umumnya
digunakan
untuk
membelanjai perluasan perusahaan (ekspansi) atau modernisasi dari perusahaan karena kebutuhan modal untuk keperluan tersebut meliputi jumlah yang besar. Jenis utama dari hutang jangka panjang antara lain pinjaman obligasi (bonds payables) dan pinjaman hipotik (mortgage). a. Pinjaman obligasi adalah pinjaman uang untuk jangka waktu yang panjang, dimana debitur mengeluarkan surat pengakuan hutang yang mempunyai nominal tertentu. b. Pinjaman hipotik adalah pinjaman jangka panjang dimana pemberi uang (kreditur) diberi hak hipotik terhadap suatu barang tidak bergerak, agar apabila pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya, maka barang tersebut dapat dijual dan dari hasil penjualan tersebut dapat digunakan untuk menutup tagihannya.
2.1.2 Balancing Theory Balancing theory merupakan teori keseimbangan yang bertujuan untuk menyeimbangkan komposisi hutang dan modal sendiri. Esensi balancing theory adalah menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat penggunaan hutang. Sejauh manfaat masih lebih besar, hutang akan ditambah. Akan tetapi, apabila pengorbanan karena menggunakan
hutang sudah lebih besar, maka hutang tidak boleh lagi ditambah (Suad Husnan dan Enny Pudjiastuti, 2006:275). Schneller (dalam Hermeindito Kaaro, 2002) menyebutkan bahwa balancing theory of capital structure mencoba untuk menyeimbangkan leverage terhadap biaya dan leverage terhadap manfaat. Kunci prediksi empiris
balancing
theory
adalah
perusahaan
akan
mencoba
untuk
menyeimbangkan biaya dan keuntungan penggunaan hutang yang berujung pada optimum leverage ratio. Pengorbanan karena menggunakan hutang bisa dalam bentuk biaya kebangkrutan dan biaya keagenan (bunga yang harus dibayarkan sebagai kontrol dari kreditur). Biaya kebangkrutan terdiri dari legal fee (biaya yang harus dibayar kepada ahli hukum untuk menyelesaikan klaim) dan distress price (kekayaan perusahaan yang terpaksa dijual dengan harga murah sewaktu perusahaan dianggap bangkrut). Penggunaan hutang yang semakin besar akan meningkatkan keuntungan dari penggunaan hutang tersebut, namun semakin besar pula biaya kebangkrutan dan biaya keagenan. Semakin besar kemungkinan terjadi kebangkrutan dan semakin besar biaya kebangkrutan, semakin tidak menarik menggunakan hutang (Arief Rahman Hakim, 2013).
2.1.3 Trade Off Theory Trade off theory merupakan perkembangan dari MM theory yang mempertimbangkan adanya manfaat pajak yang didapatkan dari penggunaan hutang. Adanya manfaat pajak, menyebabkan nilai perusahaan akan dipengaruhi oleh struktur modal. Semakin tinggi proporsi hutang yang
digunakan, maka akan semakin tinggi harga saham. Hal ini disebabkan karena return pemegang saham dibayarkan dari pendapatan setelah pajak, sementara return
pemilik hutang dibayarkan dari pendapatan sebelum
pajak.
Penggunaan hutang mengakibatkan pendapatan setelah pajak yang tersedia bagi pemegang saham menjadi lebih besar dari pada jika perusahaan tidak menggunakan hutang. Namun, penggunaan hutang hingga 100% sangatlah berisiko. Evaluasi model MM dengan mempertimbangkan adanya manfaat pajak ini menyimpulkan bahwa penggunaan hutang memang dapat meningkatkan nilai perusahaan, tetapi pada satu titik tertentu (struktur modal optimal), nilai perusahaan akan mulai menurun dengan semakin besarnya proporsi hutang dalam struktur modalnya. Hal ini disebabkan karena manfaat yang diperoleh dari penggunaan hutang menjadi lebih kecil dibanding biaya yang timbul atas penggunaan hutang. Hasilnya, penggunaan hutang dalam jumlah tertentu memang lebih baik, tetapi hutang yang terlalu besar tidak baik bagi perusahaan. Dengan demikian, terdapat trade off antara manfaat dan biaya atas penggunaan hutang (Agus Sartono, 2008:xv). Berdasarkan trade off theory, perusahaan yang memiliki profit yang tinggi akan menggunakan lebih banyak hutang untuk mendapatkan keuntungan dari penggunaan pajak (Bram Hadianto, 2008). Trade off theory yang dikemukakan dalam Moch. Wahyu Widodo, dkk. (2014) menjelaskan bahwa suatu perusahaan mempunyai tingkat hutang yang optimal dan berusaha untuk menyesuaikan tingkat hutang ke arah titik optimal tersebut ketika perusahaan berada pada tingkat hutang yang terlalu tinggi (overlevered)
atau terlalu rendah (underlevered). Adanya biaya modal dalam hutang berupa bunga dan keuntungan pajak yang diperoleh perusahaan dari penggunaan hutang menyebabkan adanya trade off antara biaya modal dan keuntungan pajak yang didapatkan perusahaan.
2.1.4 Pecking order theory Pecking order theory dikemukakan oleh Myers dan Majluf pada tahun 1984. Myers menyebutkan, suatu perusahaan dikatakan mengikuti pecking order apabila perusahaan tersebut memilih pendanaan internal dibandingkan pendanaan eksternal dan lebih memilih hutang daripada ekuitas apabila pendanaan eksternal digunakan (Frank and Goyal, 2007). Pendanaan internal dapat berupa modal sendiri (laba ditahan). Pendanaan eksternal dapat berupa hutang dan penerbitan ekuitas (saham). Pecking order theory didasarkan atas informasi asimetris, yaitu suatu istilah yang menunjukkan bahwa manajemen mempunyai informasi yang lebih banyak (tentang prospek, risiko, dan nilai perusahaan) dari pada pemodal. Dana internal lebih disukai oleh perusahaan dikarenakan dana internal memungkinkan perusahaan untuk tidak perlu membuka diri dari sorotan pemodal luar. Hutang menjadi pilihan sumber modal berikutnya dikarenakan pertimbangan biaya emisi dan adanya kekhawatiran bahwa penerbitan saham baru akan ditafsirkan sebagai kabar buruk oleh para pemodal dan membuat harga saham akan turun. Berdasarkan pecking order theory, tidak ada target rasio hutang, karena rasio hutang setiap perusahaan akan dipengaruhi oleh
kebutuhan dana untuk investasi.
(Suad Husnan dan Enny Pudjiastuti,
2006:275).
2.1.5 Leverage keuangan Leverage keuangan merupakan penggunaan sumber dana yang memiliki beban tetap dengan harapan bahwa akan memberikan tambahan keuntungan yang lebih besar daripada beban tetapnya sehingga akan meningkatkan keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham (Agus Sartono, 2008:263). Leverage keuangan merupakan besarnya penggunaan biaya untuk meningkatkan pengaruh dari perubahan EBIT terhadap EPS (Farah Margaretha dan Yolla Argoeby, 2009). Apabila hasil pengembalian atas aktiva lebih besar daripada biaya hutang, leverage tersebut menguntungkan dan hasil pengembalian atas modal dengan penggunaan leverage ini juga akan ditingkatkan. Akan tetapi, apabila hasil pengembalian atas aktiva lebih kecil dari pada biaya hutang, maka leverage akan mengurangi hasil pengembalian atas
modal.
Leverage
dapat
digunakan
untuk
meningkatkan
hasil
pengembalian pemegang saham, tetapi dengan risiko juga dapat meningkatkan kerugian pada masa-masa suram. Leverage keuangan dapat diketahui melalui perbandingan (rasio) antara total hutang terhadap total aktiva atau disebut juga dengan debt ratio (Bitok et al., 2011). Bambang Riyanto (2011:294) menyebutkan, aturan struktur keuangan konservatif yang vertikal menghendaki agar perusahaan menjaga agar debt ratio tidak melebihi 50%, sehingga modal yang dijamin (hutang) tidak lebih besar dari modal yang menjadi jaminannya (modal
sendiri). Kondisi debt ratio diatas 50% menunjukkan perusahaan harus menanggung biaya modal yang besar, resiko yang ditanggung perusahaan juga meningkat apabila investasi yang dijalankan perusahaan tidak menghasilkan tingkat pengembalian yang optimal. Leverage keuangan mengacu pada jumlah pendanaan hutang dalam struktur modal suatu perusahaan (Subramanyam dan Wild, 2010:265). Leverage keuangan berkaitan dengan struktur modal karena hutang jangka panjang merupakan salah satu komposisi dalam struktur modal dan struktur keuangan. Perusahaan dinilai berisiko apabila memiliki porsi hutang yang besar dalam struktur modal, namun sebaliknya apabila perusahaan menggunakan hutang yang kecil atau tidak sama sekali, maka perusahaan dinilai tidak dapat memanfaatkan tambahan modal eksternal yang dapat meningkatkan operasional perusahaan (Mamduh, dalam Fitri Mega Mulianti (2010)). Berdasarkan hierarki pendanaan pecking order theory, hutang merupakan modal eksternal pertama yang dipilih perusahaan apabila dana internal sudah tidak mencukupi kebutuhan perusahaan. Biaya modal dari penggunaan hutang adalah bunga. Bunga yang dibayarkan oleh perusahaan sebagai biaya atas penggunaan hutang juga dapat memberikan manfaat penghematan pajak. Adanya biaya modal dalam hutang berupa bunga dan keuntungan pajak yang diperoleh perusahaan dari penggunaan hutang menyebabkan adanya trade off antara biaya modal dan keuntungan pajak yang didapatkan perusahaan. Berdasarkan balancing theory, adanya biaya modal
dalam hutang berupa bunga dan adanya manfaat berupa pengehematan pajak yang diperoleh perusahaan dari penggunaan hutang menyebabkan perusahaan harus menyeimbangkan antara biaya modal dan keuntungan pajak yang didapatkan perusahaan. Sejauh manfaat masih lebih besar, hutang akan ditambah. Akan tetapi, apabila pengorbanan karena menggunakan hutang sudah lebih besar, maka hutang tidak boleh lagi ditambah (Suad Husnan dan Enny Pudjiastuti, 2006:275). Perusahaan
yang pendanaan utamanya berasal dari hutang,
memberikan manajer kekuatan pengambilan keputusan yang rendah dibandingkan dengan perusahaan yang sebagian besar pendanaannya berasal dari ekuitas. Hutang dapat digunakan sebagai mekanisme kontrol yang membuat pemberi pinjaman dan pemegang saham menjadi pihak yang memegang peranan penting pada corporate governance structure. Penggunaan levarage dapat meyakinkan pemegang saham bahwa manager tidak dapat menyia-nyiakan sumber daya perusahaan untuk keperluan yang tidak berguna (Odit and Gorbandhun, 2011).
2.1.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi struktur keuangan Weston dan Copeland (1988:20) menyebutkan, determinan dari struktur keuangan antara lain sebagai berikut. 1. Tingkat pertumbuhan penjualan. Jika penjualan dan laba meningkat, pembiayaan dengan hutang dengan biaya tetap tertentu akan meningkatkan pendapatan pemilik saham. Akan tetapi, saham biasa suatu perusahaan yang mempunyai tingkat pertumbuhan penjualan dan laba yang baik, akan
mempunyai harga tinggi (yang dapat membantu pembiayaan modal). Perusahaan harus mempertimbangkan keuntungan menggunakan leverage dengan adanya kesempatan untuk meningkatkan modal saham ketika harga sahamnya tinggi. 2. Stabilitas penjualan. Bila stabilitas penjualan dan laba lebih besar, maka beban hutang tetap yang terjadi pada suatu perusahaan akan mempunyai risiko yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang penjualan dan labanya menurun tajam. Bila laba kecil, maka perusahaan akan menemui kesulitan untuk membayar bunga tetap dari obligasinya. 3. Karakteristik industri. Kemampuan membayar hutang tergantung pada profitabilitas dan juga pada volume penjualan. Dengan demikian, stabilitas marjin laba adalah sama pentingnya dengan stabilitas penjualan. Mudahnya perusahaan baru untuk memasuki industri dan kemampuan perusahaan pesaing untuk memperluas kapasitasnya akan mempengaruhi marjin laba. Industri yang sedang berkembang menjanjikan marjin laba yang tinggi, tetapi marjin laba tersebut cenderung menurun apabila industri itu merupakan industri dimana jumlah perusahaan dapat meningkat dengan cepat karena masuknya perusahaan baru. 4. Struktur aktiva. Perusahaan yang mempunyai aktiva tetap jangka panjang, terutama jika permintaan akan produk mereka cukup meyakinkan (misalnya perusahaan umum), akan banyak menggunakan hutang hipotik jangka panjang. Perusahaan yang sebagian besar aktivanya berupa piutang dan persediaan barang yang nilainya sangat tergantung pada kelanggengan
tingkat profitabilitas masing-masing perusahaan (misalnya perusahaan grosir), tidak begitu tergantung pada pembiayaan hutang jangka panjang dan lebih tergantung pada pembiayaan jangka pendek. 5. Sikap manajemen. Perusahaan besar yang sahamnya dimiliki oleh banyak orang akan memilih penambahan penjualan saham biasa karena penjualan ini
tidak
akan
banyak
mempengaruhi
pengendalian
perusahaan.
Sebaliknya, pemilik perusahaan kecil akan lebih senang menghindari penerbitan saham biasa dalam usahanya untuk tetap mengendalikan perusahaan, sehingga bersedia untuk mengambil hutang yang lebih tinggi. Akan tetapi, jika aktiva perusahaan kecil, pemilik perusahaan akan membatasi penggunaan hutang karena dapat meningkatkan risiko hilangnya sebagian kekayaannya. 6. Sikap pemberi pinjaman. Jika manajemen ingin menggunakan leverage melampaui batas normal untuk bidang industrinya, pemberi pinjaman mungkin tidak bersedia untuk memberi tambahan pinjaman. Pemberi pinjaman berpendapat bahwa, hutang yang terlalu besar akan mengurangi posisi kredit dari peminjam dan penilaian kredibilitas yang dibuat sebelumnya.
2.1.7 Pertumbuhan perusahaan Pertumbuhan perusahaan dapat diketahui melalui pertumbuhan penjualan perusahaan. Brigham dan Houston (2011:189) menyebutkan, perusahaan yang memiliki pertumbuhan lebih cepat harus lebih mengandalkan diri pada modal eksternal. Selain itu, biaya emisi yang berkaitan dengan
penjualan saham biasa akan melebihi biaya emisi yang terjadi ketika perusahaan menjual hutang, sehingga mendorong perusahaan yang mengalami pertumbuhan pesat untuk lebih mengandalkan diri pada hutang. Perusahaan dengan prospek yang sangat menguntungkan sebaiknya menghindari penjualan saham, dan sebagai gantinya, menghimpun modal baru yang dibutuhkan dengan menggunakan hutang baru meskipun hal ini akan menjadikan rasio utang diatas tingkat sasaran (Brigham dan Houston, 2011:185). Kebutuhan dana perusahaan akan cenderung meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan perusahaan. Pendapatan perusahaan yang meningkat, dapat digunakan untuk diinvestasikan kembali pada kesempatan investasi lainnya yang lebih menguntungkan. Penggunaan hutang dalam rangka
mendanai
peningkatan
pertumbuhan
perusahaan
juga
dapat
memberikan manfaat perlindungan pajak terhadap keuntungan perusahaan. Pada umumnya investor akan memilih untuk berinvestasi pada perusahaan yang memiliki prospek yang cerah, dengan tingkat penjualan yang stabil dan cenderung meningkat. Penjualan yang relatif stabil dan selalu meningkat memberikan kemudahan perusahaan untuk memperoleh aliran dana eksternal atau hutang untuk meningkatkan operasionalnya (Sasra Meta Nugrahani, 2012).
2.1.8 Profitabilitas Kasmir (2013:196) menyebutkan, rasio profitabilitas (profitability ratio) merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari
keuntungan. Rasio ini juga memberikan ukuran tingkat efektivitas manajemen suatu perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan pendapatan investasi. Profitabilitas suatu perusahaan dapat diketahui melalui beberapa cara, salah satunya dengan return on asset (ROA). ROA mengukur seberapa besar total aktiva yang telah dibelanjakan oleh perusahaan dari sumber dana internal maupun eksternal untuk menghasilkan profit. ROA mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba dengan menggunakan total aktiva (kekayaan) yang dipunyai perusahaan setelah disesuaikan dengan biaya-biaya untuk mendanai aktiva tersebut (Mamduh Hanafi M. dan Abdul Halim, 2012:157). Jika perusahaan memiliki ROA yang tinggi, maka profitabilitas yang diperoleh dari total aktiva semakin tinggi. Hal ini memungkinkan perusahaan tidak membutuhkan banyak pendanaan dengan hutang karena laba ditahan yang dimiliki oleh perusahaan sudah dapat memenuhi sebagian besar pendanaan perusahaan (Mochamad Yahdi Khairin, 2014). Rudolf Lumbantobing (2008) menyebutkan, pecking order theory menunjukkan jika sebuah perusahaan lebih profitable maka pendanaannya lebih banyak berasal dari pendanaan secara internal. Perusahaan-perusahaan yang kurang daya profitnya cenderung mempunyai hutang yang lebih besar karena alasan dana internal yang tidak mencukupi kebutuhan dan hutang menjadi pilihan sumber dana eksternal yang lebih disukai daripada modal sendiri karena pertimbangan biaya emisi hutang jangka panjang lebih murah dibanding dengan biaya emisi saham.
Sayilgan et al. (2006) menyebutkan trade off model memprediksikan bahwa perusahaan yang profitable akan menggunakan lebih banyak hutang dikarenakan mereka menginginkan pembebasan pajak yang tinggi dan biaya kebangkrutan yang rendah. Disisi lain, pecking order theory memprediksikan hubungan yang negatif antara profitabilitas dan hutang yang didasarkan pada perusahaan yang sukses tidak membutuhkan pendanaan eksternal yang besar. Disamping itu, perusahaan dapat memilih untuk mendanai usahanya dengan pendanaan internal yang diakumulasikan dari profit di tahun-tahun sebelumnya.
2.1.9 Likuiditas Likuiditas menunjukkan kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan pada saat ditagih. Anita Dwilestari (2010) menyebutkan, masalah likuiditas adalah berhubungan dengan masalah kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi. Meskipun perusahaan tersebut memiliki aset yang cukup bernilai untuk melunasi kewajibannya, tetapi ketika aset tersebut tidak bisa dikonversikan segera menjadi uang tunai, maka perusahaan tersebut dikatakan tidak likuid. Perusahaan yang mampu memenuhi kewajiban keuangannya tepat pada waktunya berarti perusahaan tersebut dapat dikatakan likuid, artinya perusahaan tersebut mempunyai aktiva lancar yang lebih besar daripada hutang lancar. Sebaliknya, jika perusahaan
tidak dapat memenuhi pembayaran pada saat ditagih atau kewajibannya pada saat jatuh tempo, berarti perusahaan tersebut dalam keadaan tidak likuid. Kasmir (2013) menyebutkan bahwa rasio likuiditas merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban (hutang) jangka pendek. Artinya, apabila perusahaan ditagih, perusahaan akan mampu untuk memenuhi hutang tersebut terutama hutang yang sudah jatuh tempo. Bagi pihak luar perusahaan, seperti penyandang dana (kreditor), investor, distributor, dan masyarakat luas, rasio likuiditas bermanfaat untuk menilai kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban kepada pihak ketiga. Kemampuan membayar tersebut akan memberikan jaminan terhadap pihak kreditor untuk memberikan pinjaman selanjutnya. Harahap (2009:301) menyebutkan, semakin besar perbandingan aktiva lancar dengan utang lancar, maka semakin tinggi kemampuan perusahaan menutupi kewajiban jangka pendeknya. Rasio lancar yang aman adalah jika berada di atas 1 atau diatas 100%. Artinya, aktiva lancar harus di atas jumlah utang lancar.
2.1.10 Struktur aktiva Brigham dan Houston (2011:188) menyatakan perusahaan yang aktivanya memadai untuk digunakan sebagai jaminan pinjaman cenderung akan cukup banyak menggunakan hutang. Struktur aktiva menggambarkan proporsi atau perbandingan antara aktiva tetap yang dimiliki oleh perusahaan dengan total aktiva perusahaan. Struktur aktiva mencerminkan seberapa besar aktiva tetap mendominasi komposisi kekayaan yang dimiliki perusahaan
(Hasni Yusrianti, 2013). Semakin besar aktiva tetap yang dimiliki perusahaan, maka semakin besar kecenderungan perusahaan untuk menggunakan hutang sebagai sumber modal. Hal ini dikarenakan perusahaan memiliki aktiva tetap yang dapat dijadikan jaminan hutang. Besarnya aktiva tetap yang dimiliki perusahaan akan mempengaruhi penilaian kreditor untuk memberikan pinjaman atau tidak. Perusahaan yang struktur aktivanya memiliki perbandingan aktiva tetap jangka panjang lebih besar akan menggunakan hutang jangka panjang lebih banyak. Hal ini menunjukkan struktur aktiva dapat digunakan untuk menentukan seberapa besar hutang jangka panjang yang dapat diambil. (Dumas Lusangaji dan Andarwati, 2013). Sayilgan et al. (2006) mengemukakan, struktur aktiva memiliki pengaruh pada keputusan pendanaan perusahaan dikarenakan memiliki tingkat informasi asimetris yang rendah dan memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan intangible assets apabila perusahaan mengalami kebangkrutan.
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1
Pengaruh pertumbuhan perusahaan terhadap leverage keuangan Pertumbuhan perusahaan yang semakin pesat mengindikasikan
kebutuhan modal yang lebih besar. Perusahaaan dengan pertumbuhan yang lebih pesat memiliki intensitas yang lebih tinggi untuk berhutang. Pada umumnya, pendanaan menggunakan hutang (debt financing) digunakan terutama pada bank setempat yang mana bank dan institusi keuangan lainnya memiliki hubungan yang baik dengan perusahaan (Piaw and Jais, 2013).
Perusahaan
dengan
tingkat
penjualan
yang
tinggi
akan
cenderung
menggunakan jumlah hutang yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tingkat pertumbuhan penjualannya rendah (Ritonga, 2009). Perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi cenderung lebih banyak membutuhkan dana di masa depan, terutama dana eksternal untuk memenuhi kebutuhan investasinya atau untuk membiayai pertumbuhannya (Hasni Yusrianti, 2013). Hasil penelitian Ritonga (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara variabel pertumbuhan penjualan terhadap leverage keuangan. Hasil penelitian yang sama juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Awan et al. (2010), Keswani et al. (2014), Odit and Gorbandhun (2011). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut. H1: Pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap leverage keuangan.
2.2.2 Pengaruh profitabilitas terhadap leverage keuangan Fama and French (dalam Frank and Goyal, 2002) menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara profit dan leverage yang mendukung pecking order theory. Pecking order theory mengemukakan bahwa dalam hirarki pendanaan, yang akan digunakan terlebih dahulu adalah modal sendiri, hutang, dan terakhir adalah penerbitan ekuitas baru. Modal sendiri yang dapat digunakan oleh perusahaan dapat berasal dari dana yang diinvestasikan oleh pemilik perusahaan, maupun dari keuntungan perusahaan yang diinvestasikan kembali menjadi modal (profit). Semakin besar kemampuan perusahaan
menghasilkan laba (profitability), maka semakin besar pula laba perusahaan yang dapat digunakan kembali untuk keperluan investasi perusahaan (laba ditahan). Semakin besarnya laba ditahan yang digunakan perusahaan sebagai sumber modal menyebabkan semakin menurun kecenderungan perusahaan untuk memperoleh tambahan modal melalui hutang. Hasil penelitian Ali (2011), Andani and Al-Hassan (2012), Widya Ningsih dan Neneng Djuaeriah (2013), Cui (2012), Hashemi (2013), Chaudhry (2014), dan Keswani et al. (2014) menunjukkan bahwa variabel profitabilitas, berpengaruh negatif terhadap leverage keuangan. Berdasarkan hal ini, dapat dihasilkan hipotesis: H2: Profitabilitas berpengaruh negatif dan signifikan terhadap leverage keuangan.
2.2.3 Pengaruh likuiditas terhadap leverage keuangan Likuiditas
merupakan
kemampuan
suatu
perusahaan
untuk
memenuhi kewajiban finasialnya yang harus segera dipenuhi (Bambang Riyanto, 2011:25). Perusahaan yang memiliki likuiditas tinggi berarti perusahaan memiliki pendanaan internal yang akan cukup digunakan untuk membayar kewajibannya. Hal ini sesuai dengan pecking order theory yang menyatakan bahwa perusahaan sebaiknya menggunakan dana internal terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan modal perusahaan. Apabila dana internal belum mencukupi, barulah menggunakan dana yang berasal dari luar perusahaan (Dwi Ema Putra dan Wijaya Kesuma, 2014). Hasil penelitian Ramlal (2009), Regasa (2014), Chaudhry (2014), dan Nyamita et al. (2014)
menunjukkan bahwa likuiditas berpengaruh negatif terhadap leverage keuangan. Adapun, rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. H3: Likuiditas berpengaruh negatif dan signifikan terhadap leverage keuangan. 2.2.4 Pengaruh struktur aktiva terhadap leverage keuangan Komposisi struktur aktiva secara garis besar terdiri atas aktiva lancar dan aktiva tetap. Aktiva lancar dapat direalisasi menjadi uang kas atau dijual atau digunakan dalam periode akuntansi normal. Dominasi aktiva tetap dalam struktur aktiva perusahaan menunjukkan besarnya investasi yang dilakukan perusahaan menggunakan hutang karena perusahaan menganggap biaya investasi aktiva tetap berlangsung dalam jangka panjang. Selain dapat menjadi jaminan bagi pihak kreditur, struktur aktiva dapat mempengaruhi fleksibilitas perusahaan karena memiliki tingkat resiko kebangkrutan yang relatif rendah. Semakin besar aktiva yang dimiliki oleh perusahaan, semakin besar harapan perusahaan untuk meningkatkan aktifitas operasional. Hasil peningkatan operasional yang dilakukan oleh perusahaan akan membuat para pihak luar semakin percaya untuk menanamkan modalnya terhadap perusahaan (Mochamad Yahdi Khairin, 2014). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, diketahui bahwa penelitian Ali (2011), Andani and Al-Hassan (2012), Regasa (2014), Bitok et al. (2011), Cui (2012), dan Hashemi (2013) menemukan bahwa variabel struktur aktiva berpengaruh positif terhadap leverage keuangan. Hal ini menunjukkan bahwa, semakin besar aktiva tetap yang dimiliki perusahaan, maka semakin besar pula kecenderungan perusahaan
untuk menggunakan hutang sebagai sumber modal. Berdasarkan penjelasan, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut. H4: Struktur aktiva berpengaruh positif dan signifikan terhadap leverage keuangan.