BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Teori Regulasi Regulasi perbankan di Indonesia secara umum diterapkan dalam peraturan Bank Indonesia melalui surat edarannya yang selalu diperbaharui atau diubah sesuai dengan kondisi dan situasi perbankan nasional. Peran regulasi dalam industri perbankan adalah melakukan kebijakan pengaturan dan pengawasan untuk mewujudkan stabilitas ekonomi nasional (Yusuf, 2009). Menurut Stigler (1961) sebagai pengembang teori ekonomi regulasi (economic theory of regulation),
regulasi
merupakan
tindakan
penekanan
kelompok
yang
menghasilkan hukum dan kebijakan untuk mendukung kalangan bisnis serta melindungi konsumen, pekerja, dan lingkungan.
2.1.2 Pengertian bank Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan, bank diartikan sebagai lembaga yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta dalam peredaran uang. Menurut Kasmir (2004:11) pengertian bank adalah lembaga keuangan yang kegiatan utamanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa bank lainnya. Menurut Yogi (2013) pengertian bank adalah suatu badan keuangan yang dibawah naungan Undang-Undang suatu negara yang berkekuatan hukum, sehingga bank
diwajibkan mentaati dan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Fungsi bank secara lebih spesifik menurut Hasibuan (2006:3), sebagai berikut: 1)
Fungsi bank sebagai agent of trust Fungsi bank sebagai agent of trust adalah suatu lembaga yang berlandaskan pada kepercayaan. Dasar utama kegiatan perbankan ialah kepercayaan, baik sebagai penghimpun dana maupun penyaluran dana. Dalam hal ini masyarakat akan mau menyimpan dana dananya di bank jika dilandasi dengan kepercayaan. Dalam fungsi bank ini akan di bangun kepercayaan baik dari pihak penyimpan dana (nasabah) maupun dari pihak bank dan kepercayaan ini juga akan terus berlanjut kepada pihak debitor. Kepercayaan ini sangatlah penting dibangun karena dalam keadaan ini semua pihak ingin merasa diuntungkan, baik dari segi penyimpangan dana, penampung dana maupun penerima penyaluran dana ini.
2)
Fungsi bank sebagai agent of development Fungsi bank sebagai agent of development ialah suatu lembaga yang memobilisasi dana guna pembangunan ekonomi suatu negara. Kegiatan bank berupa penghimpun dan penyalur dana sangatlah diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di sektor riil. Dalam hal ini bank tersebut memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan untuk investasi, distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investasi, distribusi dan konsumsi tidak terlepas dari adanya penggunaan uang.
3)
Fungsi bank sebagai agent of services Fungsi bank sebagai agent of services merupakan lembaga yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam hal ini bank memberikan jasa pelayanan perbankan kepada masyarakat agar masyarakat merasa aman dan nyaman dalam menyimpan dananya tersebut. Jasa yang ditawarkan bank ini sangat erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara umum.
2.1.3 Penggolongan Perbankan di Indonesia Menurut Ismail (2010:13), bank di Indonesia dibagi menjadi beberapa jenis. Jenis bank dapat dibedakan sesuai dengan fungsi, kepemilikan, status, penetapan harga, dan tingkatnya. Menurut Dendawijaya (2003:26), jenis perbankan dibedakan menjadi empat, yaitu: 1) Dilihat dari segi fungsinya, dibagi menjadi: a) Bank Umum Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. b) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, tetapi tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2) Dilihat dari segi kepemilikan, dibagi menjadi: a) Bank Milik Negara (BUMN) Bank yang akte pendirian maupun modal bank sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, sehingga seluruh keuntungan bank dimiliki oleh pemerintah. b) Bank Milik Pemerintah Daerah (BUMD) Bank yang akte pendirian maupun modal bank sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah, sehingga keuntungan bank dimiliki oleh Pemerintah Daerah. c) Bank Milik Koperasi Merupakan bank yang sahamnya dimiliki oleh perusahaan yang berbadan hukum koperasi. d) Bank Milik Swasta Nasional Merupakan bank yang seluruh atau sebagaian besar sahamnya dimiliki oleh swasta nasional, akte pendiriannya didirikan oleh swasta dan pembagian penuh untuk keuntungan swasta pula. e) Bank Milik Asing Merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri baik milik swasta asing atau pemerintah asing. f) Bank Milik Campuran Merupakan bank yang kepemilikan sahamnya dimiliki oleh pihak asing dan pihak swasta nasional.
3) Dilihat dari segi status, dibagi menjadi: a) Bank Devisa Bank yang dapat melaksanakan transaksi keluar negeri atau yang berhubungan dengan mata uang asing secara keseluruhan. b) Bank Non Devisa Bank yang belum mempunyai izin untuk melakukan transaksi sebagai bank devisa, sehingga tidak dapat melaksanakan transaksi. 4) Dilihat dari segi penentuan harga, dibagi menjadi: a) Bank Konvensional Dalam mencari keuntungan dan menentukan harga kepada nasabahnya menggunakan metode penetapan bunga, sebagai harga untuk produk simpanan demikian juga dengan produk pinjamannya. b) Bank berdasarkan Prinsip Syariah Dalam mencari keuntungan dan menentukan harga berdasarkan prinsip syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), prinsip penyertaan modal (musyarokah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atau barang yang disewa dari pihak bank kepada pihak penyewa (ijarah wa igtina).
2.1.4 Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah Bank konvensional ataupun bank syariah memiliki persamaan terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, syarat-syarat umum
memperoleh pembiayaan dan lain sebagainya. Menurut Hasan (2014:168) beberapa perbedaan bank konvensional dan bank syariah sebagai berikut: 1) Segi akad Dalam bank syariah akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sering kali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan apabila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban sampai yaumilkiyamah nanti. Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentuan akad. 2) Dalam segi pembiayaan Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan. Terdapat sejumlah batasan dalam hal pembiayaan. Tidak semua proyek atau objek pembiayaan dapat didanai melalui dana bank syariah, namun harus sesuai dengan kaidah-kaidah syariah. 3) Adanya lembaga penyelesai sengketa Penyelesaian perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabah pada perbankan syariah berbeda dengan perbankan konvensional. Kedua belah pihak pada perbankan syariah tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum materi syariah. Lembaga
yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia. 4) Struktur organisasi Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang berfungsi mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. DPS biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh DPS. Karena itu biasanya penetapan anggota DPS dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota DPS itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional (DPN) 5) Lingkungan dan budaya kerja Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Disamping itu, karyawan bank harus skillfull dan professional (fathanah), dan mampu melakukan tugas secara team-work dimana informasi merata diseluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam hal
reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah. Perbedaan bank syariah dengan bank konvensional secara garis besar dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1.1 Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah Keterangan Segi akad dan aspek legalitas Lembaga penyelesaian sengketa Struktur organisasi
Investasi Prinsip organisasi Tujuan Hubungan nasabah Sumber: Hasan (2014)
Bank Konvensional hukum positif Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BAN) Tidak ada DSN dan DPS
Halal dan haram Perangkat bunga Profit oriented Debitur-kreditur
Bank Syariah Hukum positif dan hukum islam Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) Ada Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) Halal Bagi hasil, jual beli, sewa Profit dan falah oriented Kemitraan
2.1.5 Laporan Keuangan Bank Menurut Kasmir (2003:239) laporan keuangan bank adalah laporan keuangan yang menunjukan kondisi keuangan bank secara keseluruhan. Laporan keuangan ini akan terbaca bagaimana kondisi bank yang sesungguhnya, termasuk kelemahan dan kekuatan yang dimiliki. Laporan ini menunjukan kinerja manajemen bank selama satu periode. Laporan yang disajikan suatu perusahaan, yang dalam hal ini lembaga perbankan pada periode tertentu bertujuan ( Faud dan Rustan, 2005:13) yaitu: 1) Memberikan informasi tentang posisi keuangan bank menyangkut harta bank, kewajiban bank.
2) Modal bank pada periode tertentu. 3) Memberikan informasi menyangkut laba rugi suatu bank pada periode tertentu. 4) Memberikan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan yang disajikan suatu bank. 5) Memberikan informasi tentang kinerja suatu bank. Laporan kuangan ini dapat diterima oleh pihak-pihak tertentu, jika memenuhi syarat-syarat di bawah ini (Faud dan Rustan, 2005:18) sebagai berikut: 1) Relevan, laporan keuangan yang disajikan harus sesuai dengan data yang ada kaitannya dengan transaksi yang dilakukan. 2) Jelas dan dapat dimengerti, laporan keuangan yang disajikan harus jelas dan dapat dimengerti oleh pemakai laporan keuangan. 3) Dapat diuji kebenarannya, laporan keuangan yang disajiakan datanya dapat diuji kebenarannya dan dapat dipertanggung jawabkan. 4) Netral, laporan yang disajikan harus bersifat netral artinya dapat dipergunakan oleh semua pihak. 5) Tepat waktu, laporan yang disajikan harus memiliki waktu pelaporan atau periode pelaporan yang jelas. 6) Dapat dibandingkan, laporan keuangan yang disajikan dapat diperbandingkan dengan laporan-laporan sebelumnya, sebagai landasan untuk mengikuti perkembangan dari hasil yang dicapai. 7) Lengkap, laporan keunagan yang disajikan harus lengkap, yang sesuai dengan aturan yang berlaku agar tidak terjadi kekeliruan dalam menerima informasi keuangan.
2.1.6 Kinerja Perbankan Pada bisnis perbankan, keuntungan yang diperoleh merupakan tolak ukur dalam menilai kinerja bank tersebut, dimana kemampuan suatu perusahaan (bank) dalam memperoleh laba ditentukan oleh beberapa nilai profit yang dicapai (Hasibuan, 2002:100). Untuk mendapatkan profit yang maksimal dan berkelanjutan, perusahaan harus menjaga tingkat optimalisasi modal kerjanya (Saghir, 2013). Modal kerja merupakan masalah penting dalam pengambilan keputusan keuangan (Bhunia, 2012). Pengelolaan modal kerja adalah keputusan yang berkaitan dengan modal kerja dan pembiayaan jangka pendek. Bagian mendasar dalam pengelolaan modal kerja adalah menjaga likuiditas dalam operasional perusahaan (Eljelly, 2004). Alat ukur yang lazim digunakan untuk mengukur kinerja keuangan bank adalah rasio Return on Assets (ROA). ROA merupakan alat ukur yang digunakan untuk melihat keefektifan bank dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Menurut Fahmi (2011:137) rasio ini melihat sejauh mana investasi yang telah ditanamkan mampu memberikan pengembalian keuntungan sesuai dengan yang diharapkan. ROA merupakan rasio antara laba sebelum pajak (earning after tax) terhadap total aset yang dimiliki bank. Menurut Kuncoro (2002:551) dinyatakan ROA menunjukan kemampuan manajemen bank dalam menghasilkan income atau pendapatan dari pengelolaan aset yang dimiliki. Semakin besar ROA suatu bank semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan
semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan aktiva (Dendawijaya, 2000:120).
2.1.7 Capital Adequacy Ratio (CAR) Permodalan merupakan hal yang pokok bagi sebuah bank, selain sebagai penyangga kegiatan operasional bank, modal juga sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian. CAR digunakan untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit yang diberikan (Lukman, 2005). Nilai CAR yang berada dibawah 8% menunjukkan bahwa bank tidak mempunyai peluang untuk memberikan kredit karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut menurun. Bank juga perlu mempertahankan tingkat kecukupan modal untuk melindungi kepentingan deposan atau terjadi penarikan uang dari pihak ketiga seperti masyarakat, dan mencegah kegagalan bank yang dalam hal ini adalah tingkat kemacetan kredit atau Non Perfoming Loan (Buyuksalvarci et al., 2011). Pembagian jenis modal bank di Indonesia dapat diklasifikasikan sesuai Standart Bank For International Settlements (Taswan, 2008:140), yaitu: 1) Modal inti Modal inti, yaitu modal yang disetor pada pemilik bank dan modal yang berasal dari cadangan yang dibentuk ditambah dengan yang ditahan. Modal inti terdiri dari:
a) Modal sumbangan, yaitu modal yang diperoleh kembali dari sumbangan saham, termasuk selisih antara nilai yang tercatat dengan harga jual apabila saham tersebut dijual. Modal ini sering disebut modal donasi. b) Cadangan umum, yaitu cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan atau dari laba bersih setelah dikurangi pajak, dan mendapatkan persetujuan dari rapat umum pemegang saham. c) Cadangan tujuan, yaitu bagian laba yang dikurangi pajak yang disisihkan untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham. d) Laba ditahan adalah saldo laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh rapat umum pemegang saham diputuskan untuk tidak dibagikan. e) Laba tahun lalu adalah laba tahun-tahun lalu setelah dikurangi pajak yang belum ditetapkan penggunaanya oleh rapat umum pemegang saham. f) Laba tahun berjalan dikurangi taksiran utang pajak. Laba tahun berjalan ini hanya diperhitungkan sebagai modal inti sebesar 50%. 2) Modal pelengkap terdiri dari: a) Cadangan revaluasi aktiva tetap, yaitu cadangan yang dibentuk dari selisih penilaian kembali aktiva tetap yang telah mendapat persetujuan dari Direktorat Jendral Pajak. b) Penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dibentuk dengan cara membebani laba rugi tahun berjalan, dengan maksud untuk menampung kerugian yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari tidak diterimanya kembali sebagian atau seluruh aktiva produktifnya.
c) Modal pinjaman, yaitu utang yang didukung oleh instrumen atau warkat yang memiliki sifat-sifat seperti modal dan mempunyai ciri-ciri tidak dijamin oleh bank bersangkutan, tidak dapat ditarik atau dilunasi atas inisiatif pemilik tanpa persetujuan Bank Indonesia, mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal jumlah kerugian bank melebihi laba ditahan dan cadangan-cadangan yang termasuk modal inti, meskipun bank belum dilikuidasi, dan pembayaran bunga dapat ditangguhkan apabila bank dalam keadaan rugi atau labanya tidak mendukung untuk membayar bunga tersebut. d) Pinjaman subordinasi, yaitu pinjaman yang memenuhi syarat-syarat ada perjanjian tertulis antara bank dengan pemberi pinjaman, mendapat persetujuan Bank Indonesia dan tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan dengan telah disetor penuh dengan minimal jangka waktu 5 tahun, pelunasan sebelum jatuh tempo harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia.
2.1.8 Non Performing Loan (NPL) Risiko kredit (Credit Risk) sering disebut juga risiko gagal tagih (default risk) yaitu risiko yang dihadapi karena ketidakmampuan nasabah membayar bunga kredit dan mencicil pokok pinjaman, sedangkan menurut Ayuningrum (2011) credit risk adalah risiko yang dihadapi bank karena menyalurkan dananya dalam bentuk pinjaman terhadap masyarakat. Risiko ini semakin besar bila bank umum tidak mampu meningkatkan atau memperbaiki kualitas kredit yang disalurkan.
Rasio keuangan yang digunakan sebagai proksi terhadap nilai suatu risiko kredit adalah Non Performing Loan (NPL). Pengertian Non Performing Loan menurut Mahmoedin (2011:2) adalah kredit yang tidak menepati jadwal angsuran sehingga terjadi tunggakan. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa suatu kredit dikategorikan sebagai kredit bermasalah bila nasabah tidak mengembalikan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Jika tidak ditangani dengan baik maka kredit bermasalah atau NPL merupakan sumber kerugian yang potensial bagi bank. Kredit bermasalah tinggi merupakan kelemahan dalam kondisi neraca kualitas aset kredit yang buruk, dan kerentanan bank (Li Hua et al., 2008:871). Menurut Peraturan Bank Indonesia No.13/3/PBI/2011 tentang penerapan status dan tindak lanjutan pengawasan bank, bank dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila NPL secara netto lebih dari 5% dari total kredit atau total pembiayaan. Ketentuan Bank Indonesia, tentang kredit bermasalah digolongkan menjadi tiga yaitu: 1) Kredit kurang lancar Kredit kurang lancar terjadi apabila debitur tidak dapat membayar angsuran pinjaman pokok atau bunga antara 91 samapai dengan 180 hari. 2) Kredit diragukan Kredit diragukan terjadi dalam hal debitur tidak dapat membayar angsuran pinjaman pokok atau pembayaran bunga antara 181 hari sampai dengan 270 hari.
3) Kredit macet Kredit macet terjadi apabila debitur tidak mampu membayar berturut-turut setelah 270 hari.
2.1.9 Net Interest Margin (NIM) Net Interest Margin (NIM) merupakan rasio keuangan yang mengukur kemampuan bank dalam menghasilkan net interest income atas pengelolaan besar aktiva produktif. Rasio ini menggambarkan tingkat jumlah pendapatan bunga bersih yang diperoleh dengan menggunakan aktiva produktif yang dimiliki oleh bank (Tarmizi dan Willyanto, 2003:37). Rasio NIM mencerminkan risiko pasar yang timbul akibat berubahnya kondisi pasar, di mana hal tersebut dapat merugikan bank (Hasibuan, 2007). Rasio NIM juga digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam menghasilkan pendapatan dari bunga dengan melihat kinerja bank dalam menyalurkan kredit, mengingat pendapatan operasional bank sangat tergantung dari selisih bunga dari kredit yang disalurkan (Mahardian, 2008). Menurut Surat Edaran BI No. 3/33/DPNP tanggal 14 Desember 2001, NIM diukur dari perbandingan antara pendapatan bunga bersih terhadap aktiva produktif. Semakin tinggi rasio NIM maka meningkatkan pendapatan bunga atas aktiva produktif yang dikelola oleh bank sehingga manajemen perusahaan telah dianggap bekerja dengan baik, sehingga kemungkinan suatu bank berada dalam kondisi bermasalah semakin kecil dan profitabilitas perbankan tidak menurun (Susilo 2007:36). Pendapatan bunga bersih diperoleh dari pendapatan bunga yang diterima dari pinjaman yang diberikan dikurangi dengan beban bunga dari sumber
dana yang diberikan. Aktiva produktif yang diperhitungkan adalah aktiva produktif yang menghasilkan bunga seperti penempatan pada bank lain, surat berharga, penyertaan, dan kredit yang diberikan. Sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, besarnya NIM yang harus dicapai oleh suatu bank adalah di atas 6%.
2.1.10 Loan to Deposits Ratio (LDR) Rasio ini mengukur likuiditas dari perbandingan antara kredit yang diberikan dengan dana yang diterima. Kredit yang dimaksud dalam hal ini meliputi: 1) kredit yang diberikan kepada masyarakat dikurangi dengan bagian kredit sindikasi yang dibiayai bank lain, 2) penanaman pada bank lain dalam bentuk kredit yang diberikan dengan jangka waktu lebih dari 3 bulan, dan 3) penanaman pada bank lain, dalam bentuk kredit dalam rangka kredit sindikasi. Sedangkan dana yang diterima bank adalah meliputi: 1) deposito dan tabungan masyarakat, 2) pinjaman bukan dari bank lain dengan jangka waktu lebih dari 3 bulan (di luar pinjaman subordinasi), 3) deposito dan pinjaman dari bank lain dengan jangka waktu lebih dari 3 bulan, 4) modal inti, dan 5) modal pinjaman (Taswan, 2010:116). Menurut Surat Edaran BI No. 3/33/DPNP tanggal 14 Desember 2001, LDR dapat diukur dari perbandingan antara seluruh jumlah kredit yang diberikan terhadap dana pihak ketiga. Besarnya jumlah kredit yang disalurkan akan menentukan keuntungan bank. Jika bank tidak mampu menyalurkan kredit sementara dana yang terhimpun banyak maka akan menyebabkan bank tersebut rugi. Sehingga semakin tinggi LDR maka laba perusahaan semakin meningkat
(dengan asumsi bank tersebut mampu menyalurkan kredit dengan efektif, sehingga jumlah kredit macetnya akan kecil). Resiko likuiditas pada umumnya berasal dari dana pihak ketiga, aset-aset dan kewajiban pada counter-parties. LDR adalah rasio antara seluruh jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank (Dendawijaya, 2009:116). Tujuan penting dari perhitungan LDR adalah untuk mengetahui serta menilai sampai berapa jauh bank memiliki kondisi sehat dalam menjalankan operasi atau kegiatan usahanya. Dengan kata lain LDR digunakan sebagai suatu indikator untuk mengetahui tingkat kerawanan suatu bank.
2.2
Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian yang dilakukan oleh Ningsih
(2012)
dengan
judul
analisis
perbandingan kinerja keuangan bank umum syariah dengan bank umum konvensional di Indonesia. Penelitian ini menunjukan hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan untuk masing-masing rasio keuangan antara bank umum syariah dengan bank umum konvensional di Indonesia. Bank umum syariah lebih baik kinerjanya dari segi rasio LDR dan ROA, sedangkan bank umum konvensional lebih baik kinerjanya dari segi rasio CAR, NPL, dan BOPO. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Ningsih adalah menggunakan CAR, NPL, dan LDR sebagai variabel bebas dan ROA sebagai variabel terikat. Perbedaanya berada pada variabel bebas lainnya, dimana dalam penelitian ini menggunakan rasio NIM. Perbedaan juga terdapat pada periode penelitian, dimana penelitian yang dilakukan Ningsih menggunakan periode tahun
2006 sampai 2010 sedangkan dalam penelitian ini menggunakan periode tahun 2010 sampai 2014. Penelitian yang dilakukan oleh Sabir dkk (2012) dengan judul pengaruh rasio kesehatan bank terhadap kinerja keuangan bank umum syariah dan bank konvensional di Indonesia. Penelitian ini menunjukan hasil bahwa terdapat perbedaan kinerja keuangan antara bank umum syariah dengan bank konvensional di Indonesia. Persamaan penelitian ini dengan penelitian dengan penelitian Sabir adalah menggunakan ROA sebagai variabel terikat. Perbedaanya berada pada penelitian Sabir menggunakan BOPO, NOM, NPF, dan FDR sebagai variabel bebas lainnya sedangkan dalam penelitian ini tidak menggunakan variabelvariabel tersebut. Perbedaan lain juga terdapat pada sampel dan periode penelitian, dimana penelitian yang dilakukan Sabir menggunakan 4 bank umum syariah dan 4 bank konvensional, sedangkan penelitian ini menggunakan seluruh bank konvensional yang terdaftar di BEI dan bank syariah yang terdaftar di OJK, selanjutnya periode tahun penelitian Sabir dari tahun 2009 sampai 2011 sedangkan dalam penelitian ini menggunakan periode tahun 2010 sampai 2014. Penelitian yang dilakukan oleh Ardiyana (2011) dengan judul analisis perbandingan kinerja keuangan bank syariah dan bank konvensional sebelum, selama, dan sesudah krisis global tahun 2008 dengan menggunakan metode camel (Studi Kasus Pada PT Bank Syari’ah Mandiri dan PT Bank Mandiri Tbk). Penelitian ini menunjukan hasil bahwa secara keseluruhan rasio bank dinyatakan sehat. Nilai rasio bank Mandiri Tbk lebih unggul dari pada bank syariah Mandiri, namun untuk pertumbuhan rasio, bank syariah Mandiri lebih unggul dari pada
bank Mandiri Tbk. Pada Uji beda yang mengalami perbedaan yang signifikan adalah pada rasio CAR, ROA, dan LDR. Pada masa krisis global bank syariah Mandiri
mampu
mempertahankan
nilai
maupun
pertumbuhan
rasionya
dibandingkan bank Mandiri Tbk.. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Ardiyana adalah menggunakan ROA sebagai variabel terikat dan CAR, LDR sebagai variable bebas. Perbedaanya berada pada variabel bebas lainnya, dalam penelitian ini menggunakan NPL dan NIM. Perbedaan lain juga terdapat pada
periode
penelitian,
dimana
penelitian
yang
dilakukan
Ardiyana
menggunakan periode tahun 2007 sampai 2009 sedangkan dalam penelitian ini menggunakan periode tahun 2010 sampai 2014.
2.3
Hipotesis Penelitian
2.3.1 Pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR) terhadap kinerja perbankan Indikator yang digunakan untuk mengukur kecukupan modal bank adalah CAR. Menurut Kasmir (2008:277) menyatakan CAR merupakan rasio keuangan untuk mengukur permodalan yang dimiliki perusahaan, sedangkan menurut Kuncoro (2002:573) menyatakan CAR dihubungkan dengan tingkat risiko bank. Semakin tinggi rasio kecukupan modal, maka semakin kuat kemampuan bank tersebut untuk menanggung risiko dari setiap kredit/aktiva produktif yang berisiko, dan bank tersebut mampu membiayai operasi bank sehingga akan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi profitabilitas (Kuncoro, 2002:573). Semakin baik rasio kecukupan modal ini, akan membuat ROA suatu perusahaan semakin baik. Pendapat ini didukung oleh penelitian Puspitasari (2009) dan Wibowo (2013) memperoleh hasil
bahwa CAR berpengaruh positif terhadap kinerja perbankan (ROA). Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: H 1:
Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh positif terhadap kinerja perbankan.
2.3.2 Pengaruh Non Performing Loan (NPL) terhadap kinerja perbankan Apabila seorang investor berani mendirikan bank, maka harus berani pula menanggung resiko kesulitan menangih kredit yang diberikan kepada debitur tertentu (Savitri dkk, 2013). Bank dalam memberikan kredit harus melakukan analisis terhadap kemampuan debitur untuk membayar kembali kewajibannya (Ali, 2004:132). Risiko kredit terjadi ketika bank memberikan pinjaman kepada nasabah sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati, kemudian nasabah tersebut tidak mampu untuk mengembalikan pinjaman yang telah diterimanya pada saat jatuh tempo beserta bunganya, hal itu bisa disebabkan karena kesengajaan maupun tanpa disengaja, seperti nasabah mengalami bencana alam atau bangkrut, jadi otomatis bank terpaksa harus menanggung resikonya. NPL yang tinggi akan memperbesar biaya, sehingga berpotensi terhadap kerugian bank. Bertambahnya biaya yang digunakan dalam pengelolaan kredit bermasalah akibat NPL yang meningkat akan menyebabkan produktivitas bank menurun (Berger, 2006). Pendapat ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Fauzia (2011) dan Saputra (2012) yang memperoleh hasil bahwa NPL berpengaruh negatif terhadap kinerja perbankan (ROA). Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik hipotesis sebagai berikut:
H2:
Non Performing Loan (NPL) berpengaruh negatif terhadap kinerja perbankan.
2.3.3 Pengaruh Net Interest Margin (NIM) terhadap kinerja perbankan Berdasarkan ketentuan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, salah satu proksi dari resiko pasar adalah suku bunga, dengan demikian rasio pasar dapat diukur dengan selisih antara suku bunga pendanaan (funding) dengan suku bunga pinjaman diberikan (lending) atau dalam bentuk absolute, yang merupakan selisih antara total biaya bunga pendanaan dengan total biaya bunga pinjaman. Didalam dunia perbankan dinamakan Net Interest Margin (NIM). NIM digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktiva produktifnya untuk menghasilkan pendapatan bunga bersih. Semakin besar NIM yang dicapai oleh suatu bank maka akan meningkatkan pendapatan bunga atas aktiva produktif yang dikelola oleh bank yang bersangkutan, sehingga laba bank (ROA) akan meningkat. Hal tersebut sesuai dengan penelitian dari Mawardi (2005) yang menyatakan bahwa NIM berpengaruh positif signifikan terhadap ROA. Pendapat ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Permatasari (2012) dan Puspitasari (2009) yang memperoleh hasil bahwa NIM berpengaruh positif terhadap kinerja perbankan (ROA). Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: H3:
Net Interest Margin (NIM) berpengaruh positif terhadap kinerja perbankan.
2.3.4 Pengaruh Loan to Deposit Ratio terhadap kinerja perbankan Resiko ini terjadi karena penyaluran dana dalam bentuk kredit lebih besar jika dibandingkan dengan deposit atau simpanan masyarakat pada suatu bank sehingga menimbulkan resiko yang harus ditanggung oleh bank tersebut, apalagi kredit yang disalurkan mengalami kegagalan atau masalah maka bank akan kesulitan untuk mengembalikan dana yang dititipkan oleh masyarakat. Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah rasio antara seluruh jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank (Dendawijaya. 2009:116). Rasio ini juga merupakan teknik yang sangat umum digunakan untuk mengukur posisi atau kemampuan likuiditas bank. Sebagian praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman LDR suatu bank adalah 80%. Namun batas toleransi berkisar antara 85%-100% (Dendawijaya, 2009:116). Semakin tinggi LDR menunjukkan semakin riskan kondisi likuiditas bank, sebaliknya semakin rendah LDR menunjukkan kurangnya efektifitas bank dalam menyalurkan kredit. Semakin tinggi LDR maka semakin tinggi dana yang disalurkan ke dana pihak ketiga. Dengan penyaluran dana pihak ketiga yang besar maka ROA akan semakin meningkat, sehingga LDR berpengaruh positif terhadap ROA (Subandi, 2013 dalam Gelos, 2006). Pendapat ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Valentina (2011) dan Permatasari (2012) yang memperoleh hasil bahwa LDR berpengaruh signifikan positif terhadap kinerja perbankan (ROA). Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: H4: Loan to Deposit Ratio berpengaruh positif terhadap kinerja perbankan.
2.3.5 Perbedaan Kinerja Keuangan antara Bank Konvensional dan Bank Syariah Menurut Kuncoro (2002:573), perbedaan antara bank konvensional dan bank syariah adalah sebagai berikut : 1) Bank Konvensional : a) Besar kecilnya bunga yang diperoleh deposan tergantung pada tingkat bunga yang berlaku, nominal deposito, jangka waktu deposito; b) Semua bunga yang diberikan kepada deposan menjadi beban langsung; c) Tanpa memperhitungkan beberapa pendapatan yang dihasilkan dari dana yang dihimpun; d) Konsekwensinya, bank dapat menanggung biaya bunga dari peminjam yang ternyata lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban bunga deposan. Hal inilah yang disebut dengan spread atau keuntungan negatif. 2) Bank Syariah : a) Besar kecilnya bagi hasil yang diperoleh deposan tergantung pada: pendapatan bank, nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank, nominal deposito nasabah, rata-rata saldo deposito untuk jangka waktu tertentu yang ada pada bank, jangka waktu deposito karena berpengaruh pada lamanya investasi; b) Bank syariah memberi keuntungan kepada deposan dengan pendekatan LDR, yaitu mempertimbangkan rasio antara dana pihak ketiga dengan pembiayaan yang diberikan;
c) Dalam perbankan syariah, LDR bukan saja mencerminkan keseimbangan tetapi juga keadilan, karena bank benar-benar membagi hasil riil dari dunia usaha (loan) kepada penabung (deposit). Secara operasional bank syariah berbeda dengan bank konvensional. Oleh karena itu, besar kemungkinan kinerja keuangan yang dihasilkan dari sistem operasional yang berbeda menghasilkan kinerja keuangan yang berbeda pula. Penelitian ini didukung oleh Sabir, dkk (2012) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa nilai mean ROA bank umum syariah lebih kecil dibandingkan ROA bank konvensional. Ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara ROA Bank Umum Syariah dengan ROA Bank Konvensional. Penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2012) yaitu Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Bank Umum Syariah Dengan Bank Umum Konvensional di Indonesia dengan menggunakan rasio CAR, LDR, NPL, BOPO, dan ROA. Hasil dalam penelitiannya menunjukkan bahwa Bank Umum Syariah berbeda secara signifikan dengan Bank Umum Konvensional. Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: H5:
ada perbedaan yang signifikan antara kinerja keuangan bank konvensional dan bank syariah.