BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan adalah hubungan kontraktual antara pemegang saham sebagai prinsipal yang memberi wewenang dan manajer sebagai agen yang menjalankan wewenang tersebut. Hubungan keagenan muncul ketika seorang individu atau lebih sebagai pemegang saham atau prinsipal mempekerjakan pihak lain, yaitu manajer (agen) untuk melaksanakan pekerjaan dan mendelegasikan wewenang pembuatan keputusan. Hak dan tanggung jawab prinsipal dan agen ditentukan dalam kontrak hubungan pekerjaan. Pemisahan dua fungsi antara kepemilikan dan pengelolaan pada perusahaan seringkali mengakibatkan terjadinya konflik karena perbedaan kepentingan antara prinsipal dan manajer. Masalah keagenan akan muncul ketika perilaku kerjasama yang bertujuan memaksimalkan kesejahteraan kelompok tidak konsisten dengan masing-masing keinginan individu. Hal ini didasarkan atas asumsi tentang sifat dasar manusia yang mendahulukan kepentingannya sendiri (self interest) untuk memaksimalkan utilitas. Pemegang saham dan manajer memiliki kepentingan yang berbeda dan masing-masing menginginkan kepentingan mereka terpenuhi. Utama (2002) dalam Piramita (2012) menyatakan bahwa kepentingan prinsipal adalah memaksimumkan kekayaannya dengan melihat nilai arus kas yang dihasilkan oleh investasi perusahaan yang nantinya dapat digunakan untuk
17
pembagian dividen. Namun, tujuan manajer adalah berfokus pada pertumbuhan dan ukuran perusahaan. Dengan adanya peningkatan pertumbuhan dan ukuran perusahaan akan membuktikan produktifitas manajer sehingga akan memeroleh penghargaan dan wewenang untuk menentukan pengeluaran serta memberikan keamanan pekerjaan dan kompensasi yang besar untuknya. Berdasarkan wewenangnya
dalam
perusahaan,
manajer
akan
memiliki
kesempatan
menggunakan sumber daya perusahaan untuk meningkatkan keuntungan pribadi. Masalah keagenan tersebut dapat terjadi karena adanya asimetri informasi, yaitu informasi yang tidak seimbang akibat distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan manajer (Scott, 1997 dalam Piramita 2012). Prinsipal pastinya akan selalu membutuhkan informasi tentang prospek perusahaan, dan informasi tersebut diperoleh dari laporan yang dibuat oleh manajer, karena prinsipal tidak dapat mengawasi kegiatan di dalam perusahaan secara langsung. Prisipal seharusnya memeroleh informasi yang dibutuhkan untuk mengukur keberhasilan manajemen, namun akibat adanya asimetri informasi membuat manajer tidak menyajikan informasi yang sebenarnya. Hal ini menyebabkan prinsipal tidak dapat mengukur kinerja manajer yang sesungguhnya dalam mengelola harta kekayaan mereka. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan terdapat dua jenis permasalahan yang ditimbulkan akibat adanya asimetri informasi, yaitu: 1) adverse selection, adalah keadaan dimana prinsipal (pemegang saham) tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh manajer sebagai agen benar-benar didasarkan atas informasi yang diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.
18
2) moral hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika manajer tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja dan cenderung bertindak oportunis. Manajer dan prinsipal akan berusaha untuk memaksimalkan ulititasnya masing-masing melalui informasi yang dimiliki. Tetapi, manajer sebagai agen lebih banyak memiliki informasi internal perusahaan dibandingkan dengan prinsipal, sehingga mengakibatkan agen akan memanfaatkan adanya asimetri informasi untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui prinsipal. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara prinsipal dan agen mendorong agen untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada prinsipal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja agen. Hal ini memicu agen untuk memikirkan bagaimana angka akuntansi dapat digunakan sebagai sarana untuk memaksimalkan kepentingannya dengan melakukan tindakan manajemen laba (Richardson, 1998).
2.1.2 Manajemen Laba Scott (2011:423) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu keputusan dari manajer untuk memilih kebijakan akuntansi tertentu yang dianggap bisa mencapai tujuan yang diinginkan, baik itu untuk meningkatkan laba atau mengurangi tingkat kerugian yang dilaporkan. Pemahaman atas manajemen laba dibagi menjadi dua, yaitu (1) perspektif perilaku oportunis manajer (opportunistic earnings management) karena manajer selalu berusaha memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan biaya politik dan (2) perspektif efficient contracting (effecient earnings management)
19
karena manajemen laba memberikan manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian manajer dapat memengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melalui manajemen laba (Scott, 2011:369). Menurut Sulistyanto (2008) manajemen laba (earnings management) dilakukan dengan mempermainkan komponen-komponen akrual dalam laporan keuangan, sebab komponen akrual merupakan komponen yang mudah untuk dipermainkan sesuai dengan keinginan pihak yang melakukan pencatatan transaksi dan menyusun laporan keuangan. Alasannya, komponen akrual merupakan komponen yang tidak memerlukan bukti kas secara fisik sehingga upaya mempermainkan besar kecilnya komponen akrual tidak harus disertai dengan kas yang diterima atau dikeluarkan perusahaan. Akrual terdiri dari dua macam, yaitu nondiscretionary accrual dan discretionary accrual. Scott (2000) dalam Tresnaningsih (2008) menyatakan nondiscretionary accrual adalah nilai akrual yang diperoleh secara alamiah oleh perusahaan akibat penggunaan metode akuntansi tanpa campur tangan dari manajer. Selanjutnya, discretionary accrual adalah nilai akrual yang dipengaruhi oleh komponen-komponen akrual yang diatur oleh kebijakan manajer, contohnya seperti mengubah metode depresiasi, mengakui pendapatan yang belum diterima, mengubah umur piutang, mengubah nilai cadangan pitang tak tertagih, mengubah jumlah persediaan yang dihapus, mengubah nilai aktiva serta umur aktiva untuk memperkecil beban depresiasi dan lain sebagainya. Akrual diskresioner sering
20
digunakan sebagai ukuran atau proksi dari manajemen laba yang bersifat oportunis karena dipengaruhi oleh kebijakan manajemen. Ada beberapa motivasi yang mendorong manajemen melakukan manajemen laba (Sulistyanto, 2008), diantaranya sebagai berikut. a)
Motivasi Bonus Bonus plan hypothesis menegaskan bahwa manajer perusahaan cenderung untuk memilih prosedur-prosedur akuntansi yang menggeser laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode sekarang. Manajer melakukan manajemen laba untuk kepentingan bonusnya. Laba sering dijadikan sebagai indiktor penilaian kinerja manajer. Manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih mungkin menggunakan metode-metode akuntansi untuk meningkatkan laba (income maximization) yang dilaporkan pada periode berjalan sehingga dapat memaksimalkan bonus mereka berdasarkan program kompensasi perusahaan.
b) Motivasi Kontraktual Lainnya Hipotesis debt/equity menjelaskan suatu perusahaan dengan rasio debt/equity besar akan cenderung memilih prosedur-prosedur akuntansi yang menggeser laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode sekarang. Manajemen melakukan manajemen laba untuk memenuhi perjanjianperjanjian utangnya agar meloloskan perusahaan dari kesulitan keuangan. c)
Motivasi Politik Perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat menggurangi laba periodiknya dibanding perusahaan yang kecil. Hal ini dilakukan untuk memeroleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah.
21
d) Motivasi Pajak Manajer termotivasi melakukan manajemen laba karena income taxation. Semakin tinggi laba yang dihasilkan maka semakin besar pajak yang dikenakan, sehingga manajer melakukan manajemen laba untuk mengurangi pajak tersebut. Dalam hal ini manajemen laba dapat dilakukan dengan menarik biaya pada periode yang akan datang menjadi biaya pada periode berjalan, dan sebaliknya mengakui pendapatan periode berjalan menjadi pendapatan periode yang akan datang. e)
Pergantian CEO Motivasi manajemen laba ada di sekitar pergantian CEO. Hipotesis rencana bonus menjelaskan bahwa CEO yang akan diganti melakukan pendekatan srategi untuk memaksimalisasi laba agar menaikkan bonusnya.
f)
Motivasi Pasar Modal Motivasi ini muncul karena informasi akuntansi digunakan secara luas oleh investor dan para analis keuangan untuk menilai saham. Dengan begitu, kondisi ini menciptakan kesempatan bagi manajer untuk mengatur laba dengan cara memengaruhi performa harga saham jangka pendek. Menurut Scott (2011:383) terdapat empat pola manajemen laba yang dapat
dilakukan oleh manajer. 1) Taking a Bath Pola ini dilakukan dalam periode di mana terjadi organizational stress atau reorganisasi, termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa mendatang.
22
2) Income Minimazation Pola ini biasanya dilakukan pada saat perusahaan memeroleh laba yang tinggi dengan maksud untuk mengurangi kemungkinan munculnya biaya politis. Aktivitas manajemen laba dilakukan dengan menjadikan laba periode berjalan lebih rendah dari laba sesungguhnya. Jika laba periode mendatang diperkirakan turun drastis maka dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya. 3) Income Maximization Pola ini dilakukan pada saat terjadi penurunan laba dengan cara melaporkan laba berjalan lebih tinggi dari laba sesungguhnya. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar, meningkatkan keuntungan serta untuk menghindari pelanggaran atas kontrak hutang jangka panjang. 4) Income Smoothing Pola ini dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor menyukai laba yang relatif stabil.
2.1.3 Arus Kas Bebas (Free Cash Flow) Arus kas bebas adalah kas yang tersisa dari pendanaan seluruh proyek yang menghasilkan net present value (NPV) positif (Jensen, 1986). Kieso (2007:219) mendefinisikan arus kas bebas sebagai jumlah arus kas diskresioner perusahaan untuk membeli investasi tambahan, melunasi utang, membeli saham treasury, atau
23
hanya untuk menambah likuiditas perusahaan. Ross et al. (2000) menyatakan bahwa arus kas bebas sebagai kas perusahaan yang dapat didistribusi kepada kreditur atau pemegang saham yang tidak digunakan untuk modal kerja atau investasi pada aset tetap. Jadi, arus kas bebas dapat disimpulkan sebagai sisa kas yang dimiliki perusahaan setelah perusahaan membiayai semua investasi dan modal kerja untuk kegiatan operasionalnya dalam rangka pengembangan usaha. Perusahaan dengan arus kas bebas tinggi akan memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan perusahaan lainnya karena mereka dapat memeroleh keuntungan atas berbagai kesempatan yang mungkin tidak dapat diperoleh perusahaan lain. Selain itu, dengan aliran kas bebas tinggi perusahaan diduga lebih survive dalam situasi yang buruk, sedangkan aliran kas bebas negatif berarti sumber dana internal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan investasi perusahaan, sehingga memerlukan tambahan dana eksternal baik dalam bentuk hutang maupun penerbitan saham baru (Rosdini, 2009). Jensen (1986) menyatakan bahwa keinginan manajer untuk meningkatkan kekuasaannya melalui pengendalian atas sumber daya yang semakin besar, telah mendorong manajer untuk selalu berinvestasi dalam upaya memperbesar perusahaan. Oleh karena itu, adanya arus kas bebas akan memberi kesempatan dan dorongan bagi manajer untuk berinvestasi. Hipotesis free cash flow (Jensen, 1986) berdasarkan pada adanya argumen konflik kepentingan antara manajer dan prinsipal berkaitan dengan penggunaan arus kas bebas perusahaan. Konflik kepentingan antara prinsipal dengan manajer dapat timbul jika manajer bertindak untuk mengejar kepentingannya sendiri demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memerhatikan kepentingan
24
pemegang saham. Manajer cenderung mempunyai keinginan menahan sumber daya (termasuk aliran kas bebas) agar mereka tetap memiliki kendali terhadap penggunaan sumber daya tersebut. Di lain pihak, pemegang saham ingin agar dana yang tersedia dibagikan dalam bentuk dividen. Manajer beranggapan bahwa pembagian dividen akan mengurangi sumber daya yang ada di bawah kekuasaannya, hal ini berarti bahwa kekuatan manajer akan berkurang. Manajer memiliki insentif untuk memperbesar perusahaan melebihi ukuran optimalnya sehingga mereka tetap melakukan investasi meskipun memberikan NPV negatif (Jensen, 1986). Semakin besar ukuran perusahaan, semakin besar sumber daya perusahaan yang ada di bawah kendali manajer, sehingga semakin besar kemungkinan manajer dapat menyalahgunakan sumber daya perusahaan untuk kepentingan pribadinya. Overinvestment dengan menggunakan arus kas bebas dilakukan untuk menghindari pengawasan yang berhubungan dengan penambahan modal dari luar perusahaan (Rosdini, 2009). Pemegang saham menganggap bahwa investasi pada proyek-proyek dengan NPV negatif merupakan suatu bentuk inefisiensi sekaligus merupakan penundaan kesejahteraan mereka. Sesuai dengan teori keagenan, apabila perusahaan mempunyai arus arus kas bebas, manajer perusahaan akan mendapat tekanan dari pemegang saham untuk membagikannya dalam bentuk dividen. Hal ini dilakukan sebagai upaya mencegah pihak manajemen menggunakan arus kas bebas untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan perusahaan dan cenderung merugikan para pemegang saham (Zurohtun, 2013).
2.1.4 Capital Adequacy Ratio
25
CAR merupakan rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank dalam menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit yang diberikan (Dendawijaya, 2005:121). CAR menunjukkan kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan kemampuan manajemen bank dalam mengidentifikasi, mengawasi dan mengontrol risiko-risiko yang timbul dan dapat berpengaruh terhadap besarnya modal. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013, bank dinyatakan sehat jika memiliki CAR minimum sebesar 8 persen. Kondisi permodalan (yang diukur dengan capital ratio) adalah berkaitan dengan penyediaan modal sendiri yang diperlukan untuk menutupi risiko kerugian yang mungkin timbul dari penanaman dana dalam aktiva produktif yang mengandung risiko (Hapsari, 2010). Modal berfungsi untuk membiayai operasi, sebagai instrumen untuk mengantisipasi risiko dan sebagai alat untuk ekspansi usaha. CAR juga menjadi modal dasar yang harus dipenuhi oleh bank. Modal ini digunakan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kinerja bank (Nurhafita, 2010). Dalam formula CAR dibandingkan antara modal dengan semua jenis aktiva yang dianggap mengandung risiko atau yang sering disebut aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). CAR menunjukkan sejauh mana penurunan aset bank masih dapat ditutup oleh ekuitas bank yang tersedia, semakin tinggi CAR semakin baik kondisi sebuah bank. Nilai minimum CAR merupakan salah satu peraturan Bank Indonesia yang harus dipenuhi oleh bank sebagai syarat untuk memenuhi rasio kecukupan modal bank yang layak beroperasi. Manajemen laba akan semakin intensif dilakukan oleh bank jika nilai CAR lebih rendah dari ketentuan
26
minimum BI (Zahara dan Veronica, 2009). Rasio CAR yang tidak memenuhi ketentuan minimum pada periode sebelumnya akan memotivasi manajemen untuk melakukan manajemen laba agar mendapatkan nilai rasio CAR yang mencukupi standar kesehatan bank pada periode saat ini sebagai sinyal bahwa bank tersebut termasuk dalam kategori sehat.
2.1.5 Good Corporate Governance Good corporate governance (GCG) merupakan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan dan stakeholders lainnya agar seimbang hak dan kewajibannya (FCGI, 2006). GCG adalah struktur, sistem dan proses yang digunakan oleh organ-organ perusahaan sebagai upaya untuk memberi nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan
dalam
jangka
panjang,
dengan
tetap
memerhatikan
kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan moral, etika, budaya dan aturan berlaku lainnya. Komite Nasional Kebijakan Governance atau KNKG (2006) menyatakan bahwa setiap perusahaan harus memastikan bahwa prinsip-prinsip pokok GCG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Prinsipprinsip pokok tersebut sebagai berikut. 1) Keterbukaan (transparancy) Untuk menjaga objektifitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses serta dapat dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang
27
diisyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya. 2) Akuntabilitas (accountability) Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur
dan
sesuai
dengan
kepentingan
perusahaan
dengan
tetap
memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. 3) Pertanggungjawaban (responsibility) Perusahaan
harus
mematuhi
peraturan
perundang-undangan
serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. 4) Kewajaran (fairness) Dalam
melaksanakan
kegiatannya,
perusahaan
harus
senantiasa
memerhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. 5) Independensi (independency) Untuk melancarkan pelaksaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Sistem corporate governance dibagi menjadi dua bagian yaitu mekanisme internal governance dan mekanisme external governance (Jensen dan Meckling,
28
1976). Mekanisme internal governance meliputi struktur dewan direksi, kepemilikan manajerial dan kompensasi eksekutif. Sedangkan mekanisme external governance terdiri dari kepemilikan institusional, pasar untuk kontrol perusahaan dan tingkat pendanaan dengan hutang.
2.1.6 Dewan Komisaris Independen Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya, dan pemegang saham pengendali serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat memengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak sematamata demi kepentingan perusahaan (POJK, 2014). Berdasarkan teori keagenan, dewan komisaris dianggap sebagai mekanisme pengendalian internal tertinggi, yang bertanggung jawab untuk memonitor tindakan manajemen puncak. Ukuran dewan komisaris diyakini sebagai aspek dasar dari pengambilan keputusan yang efektif (Anindyah, 2013). Keberadaan komisaris independen sangat diperlukan dalam mendorong diterapkannya prinsip dan praktek tata kelola yang baik pada perusahaan. Fama dan Jensen (1983) dalam Aji (2012) menyatakan bahwa komisaris independen dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar terciptanya perusahaan yang good corporate governance.
29
Menurut FCGI (2006), dewan komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam perusahaan, terutama dalam pelaksanaan GCG. Dewan komisaris merupakan inti dari corporte governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Pada intinya, dewan komisaris merupakan suatu mekanisme pengawasan dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelolaan perusahaan. Lebih lanjut tugas-tugas utama dewan komisaris dalam FCGI sebagai berikut. 1) Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha; menetapkan sasaran kerja; mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan; serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset. 2) Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan penggajian anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota dewan direksi yang transparan dan adil. 3) Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris, termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan. 4) Memonitor pelaksaan corporate governance, dan mengadakan perubahan di mana perlu. 5) Memantau proses keterbukaan dan efektivitas komunikasi dalam perusahaan.
2.1.7 Komite Audit
30
Komite audit adalah komite yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada dewan komisaris untuk membantu dewan komisaris dalam memantau dan memastikan efektivitas sistem pengendalian internal dan pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor independen (POJK, 2014). Komite audit merupakan pihak yang bertanggung jawab melakukan pengawasan dan pengendalian untuk menciptakan keadilan, transparansi, akuntabilitas dan responsibilitas. Keempat faktor inilah yang membuat laporan keuangan menjadi lebih berkualitas (Sulistyanto, 2008:156). Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (2014) komite audit bertugas membantu dewan komisaris dalam: 1) memastikan pengendalian internal dilaksanakan dengan baik; 2) memastikan
pelaksanaan
audit
internal
maupun
audit
independen
dilaksanakan sesuai dengan standar auditing yang berlaku; 3) memastikan pelaksanaan tindak lanjut oleh direksi atas hasil temuan satuan kerja internal, auditor independen, dan hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan; 4) memberikan rekomendasi penunjukkan calon auditor independen; 5) memastikan kesesuaian laporan keuangan dengan standar akuntansi yang berlaku. Tugas komite audit berhubungan dengan kualitas laporan keuangan, karena komite audit diharapkan dapat membantu dewan komisaris dalam pelaksanaan tugas yaitu mengawasi proses pelaporan keuangan oleh manajemen dan tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan yang diaudit. Dalam kapasitas ini, komite audit bertindak sebagai perantara antara manajemen
31
dan auditor eksternal (Mashayekhi dan Noravesh, 2007). Peran komite audit sangat penting karena memengaruhi kualitas laporan keuangan perusahaan yang merupakan salah satu informasi penting yang tersedia untuk publik dan dapat digunakan investor untuk menilai perusahaan. Investor sebagai pihak luar perusahaan tidak dapat mengamati secara langsung kualitas sistem informasi perusahaan sehingga persepsi mengenai kinerja komite audit akan memengaruhi penilaian investor terhadap kualitas laba perusahaan. Dengan demikian berdasarkan tujuan dibentuknya, komite audit diharapkan dapat meminimalkan adanya masalah keagenan seperti adanya tindakan manajemen laba yang dapat dilakukan berkaitan dengan adanya arus kas bebas. Keberadaan komite audit bermanfaat dalam menjamin transparansi, keterbukaan laporan keuangan, keadilan bagi stakeholder, dan pengungkapan informasi yang dilakukan oleh manajemen.
2.1.8 Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial adalah jumlah dari saham yang dimiliki oleh manajer perusahaan (insider board) baik itu dewan direksi maupun komisaris dalam suatu perusahaan diluar saham yang dimiliki oleh para prinsipal, masyarakat dan institusional (Warfield, 1995 dalam Anggana dan Prastiwi, 2013). Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran manajemen laba yang berbeda, seperti antara manajer yang juga sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham. Dua hal tersebut akan memengaruhi manajemen laba, karena kepemilikan seorang manajer akan ikut
32
menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang mereka kelola (Boediono, 2005). Kepemilikan saham manajerial dapat mensejajarkan antara kepentingan pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan manajer juga ikut menanggung risiko apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Hal tersebut menyatakan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan akan dapat menyatukan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham, sehingga dapat mengatasi konflik kepentingan diantara keduanya dan kinerja perusahaan juga akan semakin bagus (Jensen, 1986). Secara teoritis, pihak manajemen yang memiliki persentase yang tinggi dalam kepemilikan saham akan bertindak layaknya seseorang yang memegang kepentingan dalam perusahaan (Mahariana dan Ramantha, 2014). Dengan demikian, manajemen akan termotivasi untuk mempersiapkan laporan keuangan yang berkualitas sehingga dapat menekan pemanfaatan akrual diskresioner (manajemen laba) oleh pihak manajemen.
2.1.9 Kepemilikan Institusional Kepemilikan institusional adalah bagian dari saham perusahaaan yang dimiliki oleh investor institusi, seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan perusahaan lainnya yang terkait dengan kategori tersebut (Yang et al., 2009). Mayoritas bentuk institusi adalah Perseroan Terbatas (PT). Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen
33
melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat memengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Boediono, 2005). Pemegang saham institusi dengan kepemilikan saham yang besar akan intensif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan (Barnea dan Rubin, 2005). Semakin besar kepemilikan institusi maka semakin besar pula kekuatan suara (votting) dan dorongan untuk memonitor manajemen sehingga akan dapat mengoptimalkan nilai perusahaan. Cornett et al. (2009) menyimpulkan bahwa tindakan pengawasan perusahaan oleh pihak investor institusional dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan, sehingga akan mengurangi perilaku oportunistik atau mementingkan diri sendiri. Kepemilikan institusional mempunyai pengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba, semakin besar persentase kepemilikan institusional maka semakin kecil kecenderungan pihak manajer dalam mengambil kebijakan akuntansi tertentu untuk merekayasa pelaporan laba (Widyastuti, 2009).
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Arus Kas Bebas pada Manajemen Laba Jensen (1986) menyatakan bahwa keinginan manajer untuk meningkatkan kekuasaannya melalui pengendalian atas sumber daya yang semakin besar, telah mendorong manajer untuk selalu berinvestasi dalam upaya memperbesar perusahaan. Oleh karena itu, adanya arus kas bebas akan memberi kesempatan
34
dan dorongan bagi manajer untuk berinvestasi meskipun investasi tesebut memberikan NPV negatif (overinvesment). Overinvesment dalam jangka panjang akan menyebabkan penurunan kinerja atau penurunan laba, sehingga dalam upaya untuk mencegahnya, manajer akan termotivasi untuk melakukan manajemen laba dengan menerapkan prosedur akuntansi yang meningkatkan laba (income maximization) untuk menyembunyikan dampak negatif yang ditimbulkan (Chung et al., 2005). Berbeda dengan hipotesis free cash flow (Jensen, 1986) dan hasil penelitian Chung et al. (2005), hasil penelitian Agustia (2013) serta Kono dan Yuyetta (2013) menunjukkan bahwa arus kas bebas memiliki hubungan negatif terhadap manajemen laba. Dengan arus kas bebas yang tinggi dan tanpa adanya manajemen laba, perusahaan sudah mampu meningkatkan harga sahammnya karena investor melihat bahwa perusahaan tersebut memiliki kas lebih untuk pembagian deviden. Keberadaan arus kas bebas dalam perusahaan justru akan meningkatkan peluang investasi yang akan menghasilkan nilai lebih bagi perusahaan. Perusahaan akan lebih mampu bertahan dalam situasi yang buruk karena memiliki kesempatan untuk melakukan investasi dan belanja modal dalam rangka mempertahankan operasi yang sedang berjalan (Wang, 2010). Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis pertama yaitu: H1: arus kas bebas berpengaruh negatif pada manajemen laba.
2.2.2 Pengaruh Capital Adequacy Ratio pada Manajemen Laba Nilai minimum CAR merupakan salah satu peraturan Bank Indonesia yang harus dipenuhi oleh bank sebagai syarat untuk memenuhi rasio kecukupan modal
35
bank yang layak beroperasi. Manajemen laba akan semakin intensif dilakukan oleh bank jika nilai CAR lebih rendah dari ketentuan minimum BI (Zahara dan Veronica, 2009). CAR yang tidak memenuhi ketentuan minimum pada periode sebelumnya akan memotivasi manajemen untuk melakukan manajemen laba agar mendapatkan nilai CAR yang mencukupi standar kesehatan bank pada periode saat ini, sebagai sinyal bahwa bank tersebut termasuk dalam kategori sehat. Ketika bank tidak dapat menunjukkan kinerja yang baik maka bank tersebut tidak dipercaya lagi oleh investor dan masyarakat yang menggunakan jasa bank tersebut, dan akhirnya menyebabkan dilikuidasinya bank tersebut. Nilai CAR yang meningkat akan menghasilkan laba yang mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah pada modal sendiri sehingga modal sendiri tersebut dapat digunakan untuk mengelola aktiva yang ada dan perputaran aktiva tersebut dapat meningkatkan kinerja perusahaan yang secara tidak langsung juga akan meningkatkan laba (Cahyono, 2008 dalam Arriela, 2013). Hasil penelitian Indriani (2010) tentang pengaruh kinerja keuangan terhadap manajemen laba menunjukkan bahwa rasio kecukupan modal (CAR) berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba, hasil ini juga didukung oleh penelitian Firdaus (2013). Berdasarkan Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis kedua yaitu: H2: capital adequacy ratio berpengaruh negatif pada manajemen laba.
2.2.3 Pengaruh Dewan Komisaris Independen pada Manajemen Laba Fama dan Jensen (1983) dalam Aji (2012) menyatakan bahwa komisaris independen dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi
36
diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen. Dewan komisaris independen memiliki pengawasan yang lebih baik terhadap manajer sehingga mampu memengaruhi kemungkinan penyimpangan yang dilakukan manajer. Hal ini sesuai dengan pendapat Jensen dan Meckling (1976) yang menyebutkan teori agensi mendukung pernyataan bahwa untuk meningkatkan independensi dewan, maka dewan harus didominasi oleh pihak yang berasal dari luar perusahaan (outsider). Peran dewan komisaris independen diharapkan dapat memengaruhi pihak manajemen dalam penyusunan laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu laporan laba yang berkualitas (Boediono, 2005). Penelitian Kouki et al. (2011), Anggraeni dan Hadiprajitno (2013) serta Anggana dan Prastiwi (2013) menyatakan bahwa dewan komisaris independen berpengaruh negatif dan pada manajemen laba. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis ketiga yaitu: H3: dewan komisaris independen berpengaruh negatif pada manajemen laba.
2.2.4 Pengaruh Komite Audit pada Manajemen Laba Tugas komite audit berhubungan dengan kualitas laporan keuangan, karena komite audit diharapkan dapat membantu dewan komisaris dalam pelaksanaan tugas yaitu mengawasi proses pelaporan keuangan oleh manajemen untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan (Suaryana, 2005). Investor sebagai pihak luar perusahaan tidak dapat mengamati secara langsung kualitas sistem informasi perusahaan sehingga persepsi mengenai kinerja komite audit akan memengaruhi penilaian investor terhadap kualitas laba perusahaan. Dengan demikian berdasarkan tujuan dibentuknya, komite audit diharapkan dapat
37
meminimalkan adanya masalah keagenan seperti adanya tindakan manajemen laba. Peranan komite audit yang tinggi diharapkan mampu mengurangi praktik manajemen laba. Hal ini didukung oleh penelitian Panggabean (2011) serta Anggraeni dan Hadiprajitno (2013) yang menyatakan terdapat pengaruh negatif antara komite audit terhadap manajemen laba. Hasil penelitian oleh Lin et al. (2006) dan Alves (2011) juga mengungkapkan kesimpulan yang sama. Selain itu, penelitian Bukit dan Iskandar (2009) memberikan hasil bahwa komite audit dapat memoderasi hubungan antara surplus arus kas bebas dan manajemen laba, dimana dengan adanya komite audit yang independen dapat mengurangi tindakan manajemen laba yang meningkatkan laba. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis keempat yaitu: H4: komite audit berpengaruh negatif pada manajemen laba.
2.2.5 Pengaruh Kepemilikan Manajerial pada Manajemen Laba Kepemilikan saham manajerial dapat mensejajarkan antara kepentingan pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan manajer juga ikut menanggung risiko apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah (Anggraeni dan Hadiprajitno, 2013). Secara teoritis, pihak manajemen yang memiliki persentase yang tinggi dalam kepemilikan saham akan bertindak layaknya seseorang yang memegang kepentingan dalam perusahaan (Mahariana dan Ramantha, 2014). Dengan demikian, manajer akan termotivasi untuk mempersiapkan laporan keuangan yang berkualitas sehingga dapat
38
menekan pemanfaatan akrual diskresioner (manajemen laba) oleh pihak manajemen. Hasil penelitian Mahariana dan Ramantha (2014) membuktikan bahwa kepemilikan manajerial yang tinggi berpengaruh negatif terhadap akrual diskresioner perusahaan, hal ini didukung oleh hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Chtourou et al. (2001) serta Midiastuty dan Machfoeds (2003). Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis kelima yaitu: H5: kepemilikan manajerial berpengaruh negatif pada manajemen laba.
2.2.6 Pengaruh Kepemilikan Institusional pada Manajemen Laba Tindakan pengawasan perusahaan oleh pihak investor institusional dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan sehingga akan mengurangi perilaku oportunistik atau mementingkan diri sendiri (Cornett et al., 2009). Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat memengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Boediono, 2005). Kepemilikan institusional mempunyai pengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba, semakin besar persentase kepemilikan institusional maka semakin kecil kecenderungan pihak manajer dalam mengambil kebijakan akuntansi tertentu untuk merekayasa pelaporan laba (Widyastuti, 2009). Hasil penelitian Indriastuti (2012) menyatakan bahwa kepemilikan institusional
39
berpengaruh negatif signifikan terhadap discretionary accrual sehingga kepemilikan saham oleh investor institusional dapat menjadi kendala bagi perilaku oportunistik manajemen. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis keenam yaitu: H6: kepemilikan institusional berpengaruh negatif pada manajemen laba.
40