BAB II KAJIAN PUSTAKA
Bab II merupakan kajian terhadap sumber-sumber literatur berupa buku, jurnal dan artikel yang dipergunakan sebagai pegangan oleh
penulis
dalam
penyusunan karya ilmiah dengan judul “Analisis Penerapan Teori modernisasi Rostow di Indonesia dalam Rencana Pembangunan Lima Tahunan (1969-1999)”. Kajian tersebut penulis gunakan untuk menunjang pembahasan masalah yang telah dirumuskan. Kajian pustaka mempunyai peranan yang sangat penting dalam suatu karya ilmiah untuk itu diperlukan kecermatan untuk memilih buku mana yang sesuai dengan tema penelitian, adapun buku-buku yang menjadi rujukan utama dalam penulisan ini terfokus pada beberapa aspek yaitu buku yang membahas Teori Rostow dan beberapa tulisan yang membahas perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru.
A. Teori Modernisasi Teori Modernisasi berangkat dari pemikiran yang berorientasi kepada faktor internal, yang artinya teori ini melihat bahwa maju dan mundurnya masyarakat itu ditentukan olehnya (Garna, 1999: 8). Dengan demikian Teori Modernisasi menekankan pada faktor manusia dan nilai-nilai budaya sebagai pokok masalah pembangunan, sedangkan keterbelakangan yang terjadi lebih disebabkan oleh keterbelakangan institusi sosial dan unsur budaya dalam
14
15
menghadapi perubahan yang biasanya dianggap penghambat atau pendorong perubahan. Teori modernisasi menurut Garna memberi solusi, bahwa untuk membantu dunia ketiga termasuk kemiskinan, tidak saja diperlukan bantuan modal dari negara maju, tetapi negara tersebut disarankan untuk meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisonal. Menurut Slamet Widodo, Teori Modernisasi berasal dari dua teori dasar yaitu Teori Pendekatan Psikologis dan Teori Pendekatan Budaya. Teori Pendekatan Psikologis menekankan bahwa pembangunan ekonomi yang gagal pada
negara
berkembang
disebabkan
oleh
mentalitas
masyarakatnya.
(Widodo,http:// learning-of. slamet widodo. com/2008/02/01/ modernisasi-danpembangunan/ [08-05-2008]). Berdasarakan teori ini, keberhasilan pambangunan mensyaratkan adanya perubahan sikap mental penduduk negara berkembang. Sedangkan Teori Pendekatan Budaya lebih melihat kegagalan pembangunan pada negara berkembang disebabkan oleh ketidaksiapan tata nilai yang ada dalam masyarakatnya. Secara garis besar Teori Modernisasi merupakan perpaduan antara Sosiologi, Psikologi dan Ekonomi. Sementara itu Willard A. Belling (1980: 12) mendefinisikan kata modernisasi sebagai satu jenis perubahan sosial sejak abad kedelapan belas, yang terdiri dari kemajuan suatu masyarakat perintis di bidang ekonomi dan politik.
16
B. Walt Whitman Rostow Walt Whitman Rostow (7 Oktober 1916 – 13 Februari 2003), adalah ahli sejarah ekonomi asal Amerika Serikat yang pada tahun 1960-an menulis sebuah buku dengan judul The Stages of Economic Growth, A Non-Communist Manifesto. Buku ini mengurai sejarah perkembangan ekonomi Amerika Serikat dengan menggunakan pendekatan analisa historis. Menurut Rostow, pembangunan ekonomi berlangsung dengan lima tahapan, sebagai berikut : 1) the traditional society (masyarakat tradisional); 2) the precondition for take off (pra kondisi lepas landas); 3) the take off (lepas landas); 4) the drive to maturity (pendewasaan); 5) the age of high mass consumption (zaman konsumsi masa besar-besaran) (Rostow, 1993: 4-13) Rostow berpendapat bahwa pembangunan di manapun, harus melalui satu sejarah perkembangan yang sama, yakni melalui lima tahapan diatas, hal ini tidak terkecuali bagi negara-negara sedang membangun juga harus mengikuti jalan ini. Secara tidak langsung teori ini mengharuskan negara-negara yang sedang membangun harus mencontoh negara-negara yang sudah maju dalam hal ini adalah negara-negara barat karena Rostow percaya semua negara maju berhasil mencapai kemakmurannya setelah melalui seluruh tahap masyarakat yang disebutkan dalam teorinya. Pendekatan analisis historis Rostow ini banyak dijadikan kerangka teori pada perencanaan pembangunan di negara-negara sedang berkembang yang menganut paham modernisasi termasuk Indonesia. Dasar pemikiran Rostow adalah bahwa negara berkembang seperti Indonesia sangat ketinggalan dalam
17
ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga untuk menjadi makmur dan modern sesuai dengan tahap perkembangan masyarakat yang dijabarkannya, negara berkembang harus mengikuti jalur pembangunan seperti yang telah ditempuh oleh negara maju. Di Indonesia nama Rostow sangat terkenal karena bukunya The Stages of Economic Growth, A Non-Communist Manifesto menjadi inspirasi bagi teknokrat, politisi, dan proses pembangunan di negara sendiri.
C. Sumber yang Dijadikan Rujukan Utama Buku pertama The Stages Of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto yang ditulis oleh Walt Whitman Rostow (1993). Buku ini membahas secara khusus mengenai Teori Rostow itu sendiri, yakni mendeskripsikan lima tahapan pembangunan ekonomi berkelanjutan, yaitu: tahap masyarakat tradisional (the traditional society), tahap prasyarat tinggal landas (the preconditions for take-off), tahap tinggal landas (the take-off), tahap menuju kedewasaan (the drive to maturity), dan tahap konsumsi massa tinggi (the age of high mass consumption). Buku ini terdiri dari sepuluh bab, dimana pada bab kedua menguraikan mengenai lima tahap pertumbuhan yang utama diatas, keempat bab selanjutnya adalah pembahasan yang mendalam disertai analisis Rostow dalam melihat tahapan-tahapan tersebut. Bab tujuh membahas mengenai pertumbuhan ekonomi Rusia
dan
Amerika
Serikat
yang
menyelidiki
perbandingan
pola-pola
pertumbuhan kedua negara tersebut, dua bab selanjutnya menghubungkan tahaptahap pertumbuhan terhadap persoalan agresi dan peperangan yang dilanjutkan
18
dengan analisis terhadap hubungan tersebut. Pada bab sepuluh yang merupakan bab terakhir dari buku ini menganalisis hubungan antara tahap-tahap pertumbuhan dengan sistem Marx, didalamnya terdapat ulasan mengenai evolusi komunisme modern dimana Rostow mengatakan bahwa Komunisme merupakan suatu penyakit transisi. Dalam buku ini W. W. Rostow menggolongkan semua masyarakat dunia ke dalam lima tahap yang disebutkannya, tahap pertama adalah masyarakat tradisional (the traditional society) yang menurut Rostow adalah masyarakat yang strukturnya
berkembang
didalam
fungsi-fungsi
produksi
yang
terbatas
berdasarakan ilmu dan teknologi pra Newton. Newton diapakai Rostow sebagai simbol mulainya manusia berpikir bahwa dunia luar tunduk pada beberapa hukum yang dapat diketahui dan bisa secara sistematis diselenggarakan secara produktif. Pernyataan Rostow mengenai masyarakat pra Newton mengandung arti bahwa suatu masyarakat yang masih menggunakan cara-cara memproduksi yang relatif primitif dan cara hidup masyarakat yang masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang didasarkan pada pemikiran yang bukan rasional, tetapi oleh kebiasaan yang telah berlaku secara turun temurun. Menurut Rostow dalam suatu masyarakat tradisioanal tingkat produksi perkapita dan tingkat produktivitas pekerja masih sangat terbatas, oleh sebab itu sebagian besar dari sumber-sumber daya masyarakat digunakan untuk kegiatan dalam sektor pertanian. Mengenai kegiatan politik dan pemerintahan dalam tahap masyarakat tradisional, Rostow menggambarkan bahwa walaupun kadang-kadang terdapat sentralisasi dalam pemerintahan, pusat dari kekuasaan politik terdapat di
19
daerah-daerah, ditangan tuan-tuan tanah yang berkuasa dalam berbagai daerah. Kebijaksanaan dari pemerintah pusat selalu dipengaruhi oleh pandangan tuan-tuan tanah di berbagai daerah tersebut. Tahap kedua adalah prasyarat tinggal landas (the preconditions for takeoff), Rostow mendefinisikan tahap ini sebagai suatu masa tansisi atau istilah yang dipakai dalam buku ini adalah masa peralihan yaitu periode ketika prasyarat untuk tinggal landas berkembang. Corak dari tahap prasyarat untuk lepas landas dibedakan oleh Rostow menjadi dua jenis, pertama adalah tahap prasyarat untuk lepas landas yang dicapai oleh negara-negara Eropa, Asia, Timur Tengah dan Afrika yang dilakukan dengan merombak masyarakat tradisional yang sudah lama ada. Bentuk yang kedua adalah yang dicapai oleh negara-negara yang dinamakan oleh Rostow born free yaitu Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Selandia Baru yang dapat mencapai tahap prasyarat untuk lepas landas tanpa harus merombak sistem masyarakat yang tradisional karena masyarakat negara-negara itu terdiri dari imigran yang telah memiliki sifat-sifat yang diperlukan oleh suatu masyarakat untuk mencapai tahap prasyarat untuk lepas landas. Tahap ketiga adalah tahap tinggal landas (the take-off) dalam tahap lepas landas pertumbuhan merupakan peristiwa yang selalau berlaku. Rostow berpendapat bahwa akan ada segolongan pemegang kekuasaan politik yang bersedia untuk memandang modernisasi ekonomi sebagai urusan politik berderajat tinggi yang sungguh-sungguh. Permulaan dari masa lepas landas adalah berupa berlakunya perubahan yang sangat drastis dalam masyarakat, seperti revolusi politik, terciptanya kemajuan yang pesat dalam inovasi atau berupa
20
terbukanya pasaran-pasaran baru, ini mengandung arti bahwa faktor penyebab dimulainya masa lepas landas berbeda-beda, yang terpenting sebagai akibat dari perubahan-perubahan ini secara teratur akan tercipta pembaharuan-pembaharuan dan peningkatan penanaman modal. Untuk mengetahui apakah suatu negara sudah mencapai tahap lepas landas atau belum, Rostow mengemukakan tiga ciri dari masa lepas landas untuk menentukannya. Ciri-ciri tersebut ialah berlakunaya kenaikan dalam penanaman modal yang produktif dari 5% atau kurang menjadi 10% dari Produk Nasioanal Netto, berlakunya perkembangan satu atau beberapa sektor industri dengan tingkat laju perkembangan yang tinggi dan terakhir adalah adanya atau segera terciptanya suatu rangkadasar politik, sosial dan institusional. Tahap keempat menuju kedewasaan (the drive to maturity) yang diartikan Rostow sebagai masa dimana perhatian masyarakat sudah secara efektif menggunakan teknologi modern pada sebagian besar faktor-faktor produksi dan kekayaan alamnya. Dalam tahap ini sektor-sektor ekonomi berkembang lebih lanjut, sektor-sektor penting yang baru akan muncul untuk menggantikan sektorsektor penting yang lama yang akan mengalami kemunduran. Sektor-sektor penting pada tahap gerakan kearah kedewasaan coraknya ditentukan oleh perkembangan teknologi, kekayaan alam, sifat-sifat dari tahap lepas landas yang berlaku, dan bentuk kebijaksanaan pemerintah. Menurut Rostow kira-kira 60 tahun setelah lepas landas (take off) dimulai umumnya akan tercapai apa yang disebut sebagai kematangan (maturity). Perekonomian yang selama lepas landas terpusat pada bidang industri dan teknologi yang sempit sekarang telah memperluas bidangnya yang semakin rumit, dalam hal ini Rostow mencontohkan
21
terjadinya perpindahan titik pusat dari batubara, besi, dan industri-industri berat dari taraf kereta api ke alat-alat mesin, kimia dan listrik. Tahap kelima konsumsi massa tinggi (the age of high mass consumption) yang menurut Rostow pada tahap ini sektor-sektor utama bergeser ke arah barangbarang konsumen yang awet dan jasa-jasa. Dalam hal ini Rostow ingin mengatakan bahwa pada tahap ini perhatian masyarakat lebih menekankan kepada masalah-masalah yang berakaitan dengan konsumsi dan kesejahtraan masyarakat dan bukan lagi kepada masalah produksi. Pada abad ke-20 yang menurut Rostow masyarakat telah mencapai kedewasaan yang dicirikan oleh dua hal yaitu penadapatan nyata perkepala meningkat ke suatu titik dimana sejumlah besar orang-orang memiliki penguasaan atas konsumsi yang melampui makanan pokok, perumahan, dan pakaian. Pada bagian lain buku ini terdapat pembahasan mengenai pertumbuhan Rusia dan Amerika Serikat titik berat pembahasannya terletak pada ketinggalan produksi dan perkapita negara komunis (Uni Soviet) terhadap Amerika Serikat. Rostow menyajikan beberapa perbedaan besar antara Rusia dan Amerika Serikat, pertama penciptaan prasyarat menuju lepas landas (take off) dalam dimensi nonekonomisnya adalah suatu proses yang sangat berbeda di Rusia. Menurut Rostow Rusia sangat terjebak dalam versinya sendiri tentang masyarakat tradisional, dengan lembaga-lembaga Gereja dan negara yang ada dan masalah pertuanan tanah yang tidak bisa dikendalikan, ini berbeda dengan Amerika Serikat yang menurut Rostow dilahirkan merdeka dengan kaum tani yang gesit, bebas dan memiliki tanah yang paling terpenting adalah adanya sistem sosial dan politik
22
yang memudahkan bagi industrialisasi sehingga pada saat Rusia harus mengatasi masyarakat tradisional, Amerika Serikat hanya harus menarik daya penarik yang tinggi untuk terus-menerus menjadi penyalur bahan-bahan makanan dan bahanbahan mentah. Kedua melalui seluruh urutan tahapan menurut Rostow konsumsi Amerika perkepala pada tiap tahap pertumbuhan lebih tinggi dari Rusia ini terjadi karena Rusia pada zaman Tsar maupun zaman Soviet terdapat pengekanganpengekangan yang dikenakan oleh negara pada tingkat konsumsi masal. Ketiga, gerak menuju kedewasaan menurut Rostow terjadi di Amerika Serikat setelah perang saudara sehingga tingkat konsumsi perkepala yang menarik karena erat hubungannya dengan ekonomi Internasioanal pada waktu damai. Di Rusia hal tersebut terjadi dalam tiga dasawarsa setelah tahun 1928, dimana ekonominya masih tertutup, hal tersebut menurut Rostow terjadi karena adanya persiapan peperangan oleh Rusia yang memang membatasi kenaikan konsumsi. Secara umum buku ini dapat memberi inspirasi negara-negara yang sedang berkembang dalam menjalankan pembangunannya karena didalamnya menjanjikan bahwa negara yang sedang berkembang dapat sejajar dengan negara maju jika telah melalui lima tahapan yang dinyatakan Rostow dalam teorinya, namun ternyata langkah-langkah sistematis yang ditawarkan Rostow tidak mudah diterapkan di lapangan apalagi dengan kegagalan negara-negara berkembang dalam menerapkan Teori Modernisasi menambah keraguan tentang teori ini. Keadaan tersebut membuat buku ini mengundang kritikan para ahli sejarah ekonomi dan menganggap Rostow telah mengabaikan faktor sejarah, karena Rostow menyeragamkan semua negara memiliki alur sejarah yang sama padahal
23
sebagaimana kita ketahui masing-masing negara memiliki sejarah dan masalah yang berbeda tidak bisa disamakan begitu saja. Kelemahan lain dari buku ini ialah tidak menjelaskan bahaya utang luar negeri bagi negara-negara yang sedang membangun dalam menjalankan modernisasinya, padahal Rostow sendiri percaya bahwa faktor utang luar negeri memiliki dampak yang serius bagi suatu negara. Seperti yang diucapkan oleh Rostow pada saat berbicara di depan petinggi Bank Dunia untuk membicarakan refleksi gagasan dan teorinya, Didik J Rachbini mengutipnya dalam sebuah harian Kompas tanggal 13 Juni 1994 sebagai berikut: "Suatu negara bisa tinggal landas, jika tidak lagi tergantung kepada utang LN dalam anggaran belanja negara, investasi dan pengembangan ekonomi masyarakat secara keseluruhan," (W.W. Rostow, dalam Pioneers in Development, The World Bank, The World Bank, 1985, hal. 227-261) (http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1994/07/15/0012.html [0805-2008]) Buku kedua The Economic of Take Off Sustained Growth, yang ditulis oleh W.W. Rostow (1965). Buku ini pada mulanya adalah artikel yang ditulis Rostow dan diterbitkan didalam Economic Journal pada tahun 1956, yang pada perkembangan selanjutnya dijadikan sebuah buku. Artikel ini merupakan cikal bakal dari buku The Stages Of Economic Growth yang ditulis Rostow untuk menjelaskan teorinya. Perbedaanya adalah buku ini lebih menitikberatkan pada pembahasan lepas landas (take off) sedangkan buku The Stages Of Economic Growth pembahasannya lebih luas yang mencakup Teori Rostow itu sendiri dan masalah-masalah yang terkait dengan teorinya termasuk Komunisme dibahas juga dalam buku tersebut. Dalam bukunya ini Rostow menyatakan bahwa syarat untuk menuju lepas landas yaitu adanya perubahan besar dalam kerangka politik dan sosial. Permulaan lepas landas menurut Rostow biasanya diikuti dari suatu
24
dorangan kuat, dorongan itu mengambil bentuk suatu revolusi politik yang langsung mempengaruhi keseimbangan kekuasaan sosial, ciri-ciri lembaga ekonomi, pembagian pendapatan, pola pembelanjaan investasi dan proporsi pembaharuan-pembaharuan yang potensial. Rostow menyajikan penanggalan negara-negara yang lepas landas, dimana negara tersebut menurutnya telah lulus ke dalam tahap pertumbuhan. Negaranegara tersebut ialah: Inggris Raya (1783-1802), Perancis (1830-1860), Belgia (1833-1860), Amerika Serikat (1843-1860), Jerman (1850-1873), Swedia (18681890), Jepang (1878-1900), Rusia (1890-1914), Kanada (1896-1914), Argentina (1953), Turki (1937), India (1952), dan Tiongkok (1952). Untuk lepas landas Amerika Serikat Rostow memberikan penjelasan lebih, lepas landas Amerika Serikat menurutnya dibedakan menjadi dua periode, pertama periode 1840-an, yang ditandai dengan pembangunan keretaapi dan manufaktur dibagian wilayah timur sedangkan wilayah barat dan selatan ditandai dengan pembangunan bidang pertanian yang maju. Kedua adalah adanya jalan keretaapi di bagian barat tengah Amerika (Midlle West) pada tahun 1850-an yang ditandai dengan banyaknya modal asing yang masuk. Pada permulaan perang saudara ekonomi Amerika di Utara dan Barat dengan berkembangnya sektor industri berat dipandang oleh Rostow sebagai tanda bahwa Amerika Serikat telah memasuki tahap tinggal landas. Lepas landas dianggap oleh Rostow sebagai suatu transisi yang teramat penting, untuk itu menurutnya diperlukan ketelitian dalam mengartikan tahapan ini. Setidaknya Rostow menuliskan tiga syarat utama yang harus ada dalam tahap
25
lepas landas, seperti berikut ini: pertama, suatu kenaikan dalam tingkat investasi yang produktif dari, katakan 5% atau kurang sampai lebih 10% dari pendapatan nasional Net National Product (NNP). Kedua, pembangunan satu atau lebih dari satu sektor industri penting, dengan suatu tingkat pertumbuhan yang tinggi, dan ketiga, kehadiran atau kemunculan cepat dari kerangka politik, sosial dan lembaga yang mengexploitir impuls pada perluasan dalam sektor modern serta efek ekonomi luar yang potensial dari lepas landas dan memberikan pada pertumbuhan suatu sifat melanjutkan. Untuk syarat ketiga menurut Rostow harus ada mobilisasi modal dari sumber-sumber dalam negeri. Lepas landas di beberapa negara terjadi tanpa ada modal luar, dalam hal ini Rostow mencontohkan negara Inggris dan Jepang namun di negara-negara seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Kanada lepas landas dicapai dengan adanya modal asing yang tinggi. Secara ringkas Rostow menyatakan bahwa apapun peranan modal-modal dari luar, prasyarat menuju lepas landas harus dimulai dari kesanggupan memobilisasi tabungan-tabungan dalam negeri secara produktif. Dalam buku ini Rostow mencontohkan tentang bukti tingkat investasi dalam lepas landas di beberapa negara, diantaranya adalah Swedia, Kanada, India dan Tiongkok Komunis. Berdasarkan penelitian intelegen Amerika Serikat tanggal 25 Agustus 1954 mengenai rasio investasi, Rostow memprediksi negaranegara yang masuk dalam ketegori prasayarat tinggal landas diantaranya adalah Indonesia dengan tingkat investasi 5%, kemudian Sailan (5%), Afganistan (5%), dan Pakistan (6%). Sedangkan negara-negara yang sedang mencoba lepas landas
26
adalah Argentina (13%), Brazil 14%), Chili (11%), Columbia (14%), Filipina (8%), dan Venezuela (23%). Menurut Rostow pada umumnya dana-dana yang bisa dipinjamkan untuk keperluan membiayai lepas landas datang dari dua sumber yang pertama berasal dari pergeseran-pergeseran dalam pengawasan aliran-aliran pendapatan, termasuk perubahan-perubahan distribusi pendapatan dan modal dari luar, yang kedua berasal dari penanaman kembali keuntungan-keuntungan dalam sektor-sektor tertentu yang cepat berkembang. Dalam bukunya ini Rostow menuliskan sektorsektor penting dalam lepas landas yang dikategorikannya menjadi tiga bagian yang bisa menjelaskan syarat yang kedua di atas mengenai pembangunan satu atau lebih sektor industri penting. Pertama adalah sektor pertumbuhan primer, dimana kemungkinan untuk pembaharuan dalam mengolah sumber kekayaan baru menghasilkan tingkat pertumbuhan yang tinggi dan dapat menggerakan kekuatan ekonomi secara luas. Kedua sektor pertumbuhan suplementer, dimana kemajuan cepat terjadi sebagai akibat langsung dari pertumbuhan sektor primer, yang diumpamakan oleh Rostow seperti batubara, besi dan keahlian yang berhubungan dengan keretaapi. Sektor yang ketiga adalah penerima pertumbuhan dimana terjadi kemajuan dalam hubungan yang agak tetap dengan pertumbuhan jumlah pendapatan riil, penduduk, produksi industri, atau variabel lainnya yang meningkat agak cepat, contohnya adalah produksi makanan dan pembangunan perumahan dalam hubungannya dengan penduduk.
27
Menurut Rostow berdasarkan catatan sejarah, sektor-sektor tersebut mencakup tekstil di Inggris sampai keretaapi di Amerika Serikat, Rusia, Jerman, dan Perancis, serta penebangan kayu modern di Swedia. Pertumbuhan pesat Denmark dan Selandia Baru dalam produksi ilmiah di bidang daging babi, telur, mentega dan daging domba juga masuk dalam sektor penting. Dengan demikian menurut Rostow dalam tinggal landas tidak ada urut-urutan sektoral dan tidak ada satu pun yang merupakan kunci ajaib. Lebih jauh lagi Rostow dalam buku ini mnejelaskan pertumbuhan cepat sektor-sektor utama tergantung pada empat faktor dasar: pertama, harus ada kenaikan permintaan efektif terhadap produk sektorsektor tersebut. Kedua, harus ada pengenalan fungsi produksi baru dan perluasan kapasitas di dalam sektor-sektor tersebut. Ketiga, harus ada keuntungan investasi dan modal lebih dulu yang memadai untuk tinggal landas pada sektor-sektor penting ini dan terakhir sektor-sektor penting harus mendorong perluasan output di sektor lain melalui transformasi teknik. Tahapan lepas landas merupakan salah satu tahapan pertumbuhan yang dinyatakan oleh Rostow dalam teorinya. Rostow menganggap tahapan ini sebagai tahap yang sangat penting, hal tersebut dibuktikan dengan terbitnya buku ini yang isinya khusus membahas lepas landas. Dari buku ini penulis bisa mengetahui secara luas bagimana tahap lepas landas itu terjadi dibeberapa negara. Namun begitu buku ini memiliki beberapa kekurangan hal ini didasarkan dengan banyaknya kritikan terhadap buku ini, Jhingan dalam bukunya ekonomi pembanguanan dan perencanaan menuliskan bahwa jadwal tinggal landas yang dikemukakan Rostow dalam buku ini meragukan sebagai contoh tahun tinggal
28
landas India didalam artikel “ the take off into self sustained growth” disebut tahun 1937 sedang dalam buku ini tahun 1952. selain itu untuk menentukan jadwal lepas landas diperlukan penelitian bertahun-tahun sehingga buku ini dianggap tidak memiliki dasar yang kuat dan cenderung mengabaikan pengaruh warisan sejarah. Buku ketiga Tahap-Tahap Pertumbuhan Ekonomi (Terjemahan) oleh Azwar (1962). Buku ini merupakan terjemahan dari buku The stages of Economic Growth yang ditulis oleh Rostow jadi secara isi buku ini sama dengan buku yang ditulis oleh Rostow. Walaupun berbahasa Indonesia tetapi buku ini sulit sekali dipahami langsung oleh penulis hal tersebut terjadi karena buku ini belum menggunakan ejaan bahasa Indonesia yang telah disempurnakan sehingga dibutuhkan konsentrasi yang tinggi dalam memahaminya. Buku ini penulis jadikan sebagai bahan perbandingan dalam menterjemahkan buku yang ditulis Rostow mengingat buku tersebut menggunakan bahasa Inggris. Dengan memperbandingkan kedua tulisan ini penulis bisa lebih objektif dalam menarik kesimpulan pada saat mempelajari buku The Stages of Economic Growth. Dalam buku ini Azwar menuliskan pernyataan W. W. Rostow yang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang dapat menyebabkan empat perubahan, yaitu pertama perubahan orientasi ekonomi, politik dan sosial yang pada mulanya berorientasi kepada suatu daerah menjadi berorientasi keluar. Kedua perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah anak dalam keluarga yaitu kesadaran untuk membina keluarga kecil. Ketiga Perubahan dalam kegiatan investasi masyarakat dari melakukan investasi yang
29
tidak produktif menjadi investasi yang produktif. Keempat perubahan sikap hidup dari adat istiadat yang kurang merangsang pembangunan ekonomi misalnya kurang menghargai waktu kerja dan orang lain. Dalam buku ini dijelaskan lima tahapan ekonomi yang disertai dengan ciri dan karakteristik dari masing-masing tahapan yang dijabarkan dalam teori Rostow, yaitu tahap masyarakat tradisional , dalam tahap ini terdapat karakteristik yang menyertainya diantaranya adalah Fungsi Produksi terbatas (cara produksi masih primitif), tingkat produktifitas masyarakat rendah untuk sektor pertanian, struktur social hirarkis
(mobilitas vertical masyarakat kecil), kedudukan
masyarakat tidak berbeda dengan nenek moyang, Kegiatan politik dan pemerintahan di daerah-daerah berada di tangan tuan tanah, yang kedua tahap prasyarat tinggal landas yaitu masa transisi masyarakat mempersiapkan untuk mencapai pertumbuhan atas kekuatan sendiri (self sustained growth). Tahap ini memiliki 2 corak berbeda, pertama tahap Prasyarat Tinggal landas yang dialami negara Eropa, Asia, Timur Tengah dan Afrika. Ciri khususnya terletak pada perombakan terhadap masyarakat tradisional yang sudah ada untuk mencapai tahap tersebut. Kedua Tahap Prasyarat Tinggal landas yang dialami negara born free (daerah imigran) seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Selandia Baru, cirinya ialah
tanpa harus merubah sistem masyarakat tradisional yang
sudah ada. Tahap ketiga adalah tinggal landas, dalam tahap ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi selalu terjadi, kemajuan pesat dalam inovasi atau terbukanya pasar-pasar baru. Negara yang dikatakan telah mencapai lepas landas
30
setidaknya ditandai oleh tiga ciri utama, yaitu pertama kenaikan investasi produktif dari 5% atau kurang menjadi 10% dari PNB (Nett National Product). Kedua berkembangnya satu atau beberapa sektor industri pemimpin (leading sector) dengan tingkat pertumbuhan tinggi dan yang ketiga tercapainya suatu kerangka dasar politik, sosial dan kelembagaan yang bisa menciptakan perkembangan sektor modern dan eksternalitas ekonomi yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi. Ada beberapa faktor untuk menciptakan leading sector, diantaranya adalah harus ada kemungkinan perluasan pasar bagi barang-barang yang diproduksi yang mempunyai kemungkinan untuk berkembang dengan cepat, dalam sektor tersebut harus dikembangkan teknik produksi yang modern dan kapasitas produksi harus bisa diperluas. Selanjutnya harus tercipta tabungan dalam masyarakat dan para pengusaha harus menanamkan kembali keuntungannya untuk membiayai pembangunan sector pemimpin dan terakhir adalah pembangunan dan transformasi teknologi sektor penting harus bisa diciptakan kebutuhan akan adanya perluasan kapasitas dan modernisasi sektor-sektor lain. Tahap keempat ialah tahap menuju kedewasaan, dalam tahap ini di tandai dengan adanya kondisi masyarakat yang sudah secara efektif menggunakan teknologi modern di hampir semua kegiatan produksi dan kekayaan alam. Sektor pemimpin baru akan bermunculan menggantikan sektor pemimpin yang mengalami kemunduran, untuk menuju pada tahap kedewasaan ada beberapa karakteristik yang menyertainya diantaranya adalah, struktur dan keahlian tenaga kerja berubah kepandaian dan keahlian pekerja bertambah tinggi. Sektor indusri
31
bertambah penting peranannya, sektor pertanian menurun peranannya, sifat kepemimpinan dalam perusahaan mengalami perubahan. Peranan manajer professional semakin penting dan menggantikan kedudukan pengusaha pemilik, dan yang terakhir adalah masyarakat bosan dengan keajaiban yang diciptakan industrialisasi sehingga timbul kritik-kritik. Negara yang mencapai tahap ini menurut Rostow ialah Inggris (1850), USA (1900), Jerman dan Perancis (1910), Swedia (1930) Jepang (1940) Rusia dan Kanada (1950). Tahap terakhir adalah tahap konsumsi tinggi (besar-besaran), tahap ini adalah tahap terakhir dari lima tahapan yang dijabarkan Rostow. Ciri dari tahap ini ialah adanya perhatian masyarakat yang menekankan pada masalah konsumsi dan kesejahteraan masyarakat bukan pada masalah produksi. Ada beberapa tujuan masyarakat yang ingin dicapai pada tahap ini, yaitu memperbesar kekuasaan dan pengaruh ke luar negeri dan kecenderungan berakibat penjajahan terhadap bangsa lain, menciptakan negara kesejahteraan (welfare state) (Negara Persemakmuran = Common Wealth) dengan cara mengusahakan terciptanya pembagian pendapatan yang telah merata melalui sistim pajak progresif (semakin banyak semakin besar), meningkatnya konsumsi masyarakat melebihi kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) menjadi konsumsi terhadap barang tahan lama dan barang-barang mewah. Seperti ynag telah dijelaskan di awal bahwa buku ini merupakan terjemahan dari buku The stages of Economic Growth yang ditulis Rostow dari bahasa Inggris kebahasa Indonesia oleh Azwar pada tahun 1962. Dengan tahun terbit pada tahun 1962 buku ini masih menggunakan ejaan lama sehingga sulit sekali dimengerti jika dibaca secara sekilas. Buku ini juga tidak disertai dengan
32
kritik atau pandangan penulis terhadap Teori Rostow tersebut padahal di halaman pembuka ada bagian yang khusus membahas penerjemah, dimana isinya hanya sebatas latar belakang penerjemahan buku yang ditulis Rostow. Buku keempat Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, yang ditulis oleh M. L. Jhingan (2000). Dalam buku ini dibahas mengenai pengertian dan ciriciri pertumbuhan ekonomi modern dan faktor-faktor pertumbuhan ekonomi. Dalam bagian II dibahas secara khusus mengenai teori-teori pembangunan ekonomi dari Teori Malthus, Teori Mill, Teori Klasik, Teori Marxis, Teori Schumpeter, Teori Keynes dan sampai pada pembahasan mengenai Teori Rostow. Buku ini memberikan penjelasan mengenai teori-teori pembangunan ekonomi dari masing-masing teori tersebut kemudian pada akhir penjelasannya diakhiri dengan kritikan terhadap teori tersebut sehingga siapa saja yang membacanya bisa lebih memahami kelemahan dan keunggulan dari masing-masing teori pembangunan ekonomi tersebut. M. L. Jhingan dalam bukunya ini menuliskan bahwa Prof. W. W. Rostow memakai pendekatan sejarah dalam menjelaskan proses perkembangan ekonomi, yang ditandai dengan adanya lima tahap pertumbuhan ekonomi yaitu, masyarakat tradisional, prasyarat untuk tinggal landas, tinggal landas, menuju arah kedewasaan dan masa konsumsi massal. Buku ini berisi kritikan yang mendalam terhadap lima tahapan pertumbuhan ekonomi yang dituliskan Rostow dalam bukunya The Stages of Economic Growth, menurut Jhingan tahap-tahap pertumbuhan ekonomi Rostow merupakan literatur ekonomi yang paling luas beredar dan mendapatkan komentar
33
paling banyak dibanding dengan teori pembangunan ekonomi lain. Para ahli ekonomi meragukan keontetikan pembagian sejarah ekonomi kedalam lima tahap pertumbuhan seperti yang dikemukakan Rostow. Jhingan mengajukan pertanyaan terhadap Teori Rostow diantaranya ialah apakah tahap-tahap tersebut tidak terelakan seperti kelahiran dan kematian, atau apakah tahapan tersebut seperti serentetan urutan seperti masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan usia tua? dapatkah orang mengatakan dengan tepat bahwa suatu tahapan telah selesai dan tahap yang lain telah mulai. Kritikan-kritikan Jhingan terhadap Teori Rostow diuraikan dalam buku ini satu persatu, seperti berikut, pertama, masyarakat tradisional tidak perlu bagi perkembangan, dimana pertumbuhan suatu negara tidak mesti melalui tahapan ini. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada dan Australia dilahirkan tanpa sebagai masyarakat tradisional yang mewarisi pra-kondisi dari Inggris, suatu negara yang telah maju. Jadi masyarakat tradisional tidak perlu bagi perkembangan ekonomi. Selain itu masalah tinggal landas juga mendapat kritikan dimana kemungkinan gagal tidak diperhitungkan Rostow. Kedua pra-kondisi mungkin tidak mendahului tinggal landas. Pra-kondisi tidaklah mesti mendahului tahap tinggal landas, misalnya tidak ada alasan untuk percaya bahwa sutu revolusi pertanian dan pembantukan modal sosial overhead di bidang pengangkutan harus terjadi sebelum tinggal landas. Ketiga tumpang tindih tahapan, pengalaman kebanyakan negara mengajarkan kepada kita bahwa perkembangan dalam pertanian tetap berlangsung terus meski dalam tahap tinggal landas. Tahap tinggal
34
landas Selandia Baru dan Denmark misalnya, dikaitkan dengan perkembangan di bidang pertanian, sama halnya modal sosial overhead dibidang pengangkutan khususnya perkeretaapian, merupakan salah satu faktor penting dalam tahap tinggal landas, seperi kata Rostow sendiri, ini menunjukan adanya tumpang tindih dalam berbagai tahap tersebut. Keempat kritik terhadap tinggal landas, tahapan ini adalah tahapan paling kontroversial dan paling banyak di bicarakan orang. Kiasan dunia penerbangan oleh Rostow dalam menggambarkan lepas landas memberikan kesan sesaat akan adanya ketidaksulitan dan keberesan yang cocok dengan pemikiran modern. Reaksi dari kalangan para ahli sejarah dan ahli ekonomi yang terbiasa menekankan pada kontinuitas perubahan historis, cenderung memandang Rostow sebagai penerus Toynbee, yang menekankan ketidaksinambungan. Terakhir adalah terhadap tahap konsumsi massal yang tidak kronologis, era konsumsi masal didefinisikan sedemikian rupa sehingga negara tertentu seperti Australia dan kanada telah memasuki tahapan ini bahkan sebelum mencapai tahap kedewasaan. Buku ini penting dibaca bagi siapapun yang ingin mengetahui lebih jauh tentang Teori Rostow, karena selain memaparkan isi dari Teori Rostow buku ini juga dilengkapi dengan analisis sekaligus kritikan yang mendalam terhadap pemikiran Rostow. Namun begitu dibalik semua itu tetap ada kelemahannya diantaranya ialah tidak ada penjelasan negara mana saja yang mengadopsi Teori Rostow, bagaimana kondisi negara tersebut setelah mengaplikasikan Teori
35
Rostow dalam pembangunan negaranya, apakah sesuai dengan teori atau malah mengalami kegagalan. Buku kelima Modernisasi di Dunia Ketiga (suatu teori umum pembangunan) yang ditulis oleh M. Francis Abraham (1991). Di awal pembahasan buku ini dijelaskan mengenai konsep dunia ketiga, dimana Abraham menuliskan seandainya negara-negara industri yang makmur belahan dunia yang modern dikelompokan menjadi negara-negara Barat dan Timur, Kapitalis dan Komunis, maka negara-negara miskin ditetapkan sebagai “Dunia Ketiga” yang mennguasai sedikit sumber daya akan membedakan kedua jenis negara tersebut. Buku ini memfokuskan pembahasannya kepada masalah modernisasi dan dunia ketiga, di awal pembahasan buku ini dijelaskan mengenai konsep modernisasi. Modernisasi menurut Abraham merupakan satu kata baru untuk suatu fenomena lama yang berlapis-lapis, kesemuanya mencakup proses perubahan sosial di kawasan yang sedang berkembang. Kenapa istilah modernisasi melebihi (superior) istilah perubahan sosial, Abraham menyatakan sulit untuk dijelaskan. Pada umumnya ilmuwan sosial yang prihatin terhadap modernisasi tampaknya menggunakan standar masyarakat industri barat yang telah maju sebagai acuan membandingkan masyarakat yang sedang berkembang guna melukiskan proses perubahan yang cenderung kepada transformasi lembagalembaga dan nilai-nilai tradisional, yang agaknya dijadikan model modernitas. Dalam hal ini Abraham mengutip tulisan Eisenstadt sebagai berikut, “Menurut sejarahnya, modernisasi merupakan proses perubahan menuju tipe sistem sosial, ekonomi dan politik yang telah berkembang di Eropa Barat dan
36
Amerika Utara dari abad ke-19 dan 20 meluas ke negara-negara Amerika Selatan, Asia serta Afrika. Seperti itulah menurut Abraham gambaran perspektif evolusioner yang menjelaskan tahap-tahap transisi yang dilalui masyarakat, kalaupun semua tidak perlu bergerak melalui tahap-tahap yang sama atau melalui suatu urutan yang telah ditentukan. Dalam buku ini Abraham menyatakan bahwa Kendatipun sarjana ahli modernisasi baru-baru ini telah menghasilkan setumpuk literatur yang begitu berlimpah, para sarjana tidak sepakat mengenai pendekatan mereka terhadap definisi atau konsep modernisasi, untuk itulah Abraham membaginya kebeberapa golongan, golongan pertama adalah para ekonom yang menginterprestasikan modernisasi dalam arti model-model pertumbuhan yang berisikan indeks-indeks semacam indikator ekonomi, standar hidup, pendapatan perkapita dan lain-lain. Golongan kedua adalah para ilmuwan politik yang menganalisis modernisasi menurut proses politik, pergolakan sosial dan hubungan-hubungan kelembagaan. Sedangkan golongan selanjutnya adalah para sosiolog yang mendefinisikan modernisasi dengan berbagai macam tetapi tetap di dalam kerangka perspektif evolusioner yang mencakup transisi multilinear masyarakat yang sedang berkembang dari tradisi ke modernitas. Misalnya menurut Evertt Rogers, “Modernisasi merupakan proses dengan mana individu berubah dari cara hidup tradisional menuju gaya hidup lebih kompleks dan maju secara teknologi serta cepat berubah”. Black mendefinisikan modernisasi sebagai proses dengan mana secara historis lembaga-lembaga yang berkembang secara perlahan disesuaikan dengan
37
perubahan fungsi secara cepat yang menimbulkan peningkatan yang belum pernah dicapai sebelumnya dalam hal pengetahuan manusia, yang memungkinkannya untuk menguasai
lingkungannya, yang menimbulkan revolusi ilmiah. Bagi
Lerner, secara sederhana modernisasi merupakan “suatu trend unilateral yang sekuler dalam mengarahkan cara-cara hidup dari tradisional menjadi partisipan”. Inkeles, McClelland dan yang lain-lain telah memaparkan modernitas dalam arti sejumlah variabel psikologis yang membentuk suatu jenis karakteristik mentalis dari manusia modern secara khas. Marion Levy meletakkan “sebagai ukuran modernisasi, rasio sumber daya kekuasaan yang mati (tidak bergerak), dan yang hidup (bergerak). Makin tinggi rasio tersebut, makin tinggi modernisasinya”. Dalam buku ini Abraham membahas definisi modernisasi dari bebebrapa ahli, selain yang telah disebutkan di atas, Chodak dibahas secara luas, menurut Abraham Chodak mengidentifikasi tiga tipe modernisasi, yaitu: pertama modernisasi industri yang meninggalkan keperluan menyesuaikan organisasi sosail dengan tuntutan (syarat) industri. Kedua modernisasi akulturasi, yaitu penciptaan suatu budaya baru semi-berkembang dan budaya penyangga, yang dihasilkan dari lapisan atas budaya asing berdasarkan budaya tradisional. Terakhir, modernisasi induksi yang berisikan usaha-usaha terorganisir yang mengarah pada pembentukan infrastruktur dan perkembangan (pembangunan) sosial-ekonomi. Abraham membagi tipe-tipe modernisasi menjadi dua tipe modernisasi ekonomi dan sosial, yang pertama adalah Modernisasi ekonomi. Menurutnya Perkembangan atau kemajuan ekonomi yang ditandai oleh tingginya tingkat
38
konsumsi dan standar hidup, revolusi teknologi, intensitas modal yang makin besar dan organisasi birokrasi yang rasional, disamakan dengan modernisasi ekonomi. Hal tersebut mencakup pembentukan sistem pertukaran moneter, peningkatan tingkat skill yang dibutuhkan melalui teknokrasi, mekanisasi, otomasi, dan akibat perpindahan tenaga kerja, perhitungan biaya secara rasional, spesialisasi okupasi yang makin besar dan spesifikasi fungsional, pola-pola tabungan dan investasi dan alat-alat transportasi dan komunikasi yang makin cepat yang memudahkan turut serta dalam pemasaran, mobilitas tenaga kerja, distribusi barang-barang dan perubahan pola konsumsi. Modernisasi ekonomi pasti diikuti dengan perluasan pengetahuan ilmiah dan inovasi teknologi, pembentukan modal, tingkat pendidikan yang cocok, spesialisasi ekonomi dan kecukupan bahan-bahan mentah, barang produksi dan konsumsi. Model khas modernisasi ekonomi menurut Abraham merupakan formulasi terkenal yang dilakukan oleh Colvin Clark yang melukiskan proses pertumbuhan ekonomi dalam kerangka perubahan proporsional yang besar menuju produksi sekunder serta peningkatan yang layak dalam produksi tertier. Dalam bukunya ini Abraham menyatakan ada dua indeks modernisasi ekonomi yang penting, GNP dan proporsi saham sektor ekonomi dalam GNP. Negara-negara sedang berkembang memiliki pendapatan perkapita rata-rata pertahun 500 dolar atau sekitar 60% penduduk dunia termasuk dalam kategori tersebut. Abraham mencontohkan, ketika Amerika Serikat memiliki pendapatan perkapita 4000 dolar, Haiti hanya mencapai kurang dari 100 dolar. Pada tahun 1965, pendapatan di bangsa-bangsa maju sudah mencapai lebih dari 12 kali
39
negara-negara sedang berkembang dan sesuai dengan rencana pada tahun 2000 perbedaan tersebut mencapai lebih dari 18 kali. Para ilmuwan sosial telah merinci sejumlah teori pertumbuhan untuk menggambarkan proses modernisasi ekonomi. Dalam hal ini Abraham mengajukan dua ahli ekonomi yaitu Karl Bucher dan W.W. Rostow. Bucher telah mengajukan model tiga tahapan, Pertama tahap domestik independen atau perekonomian rumah tangga, kedua perekonomian kota dan yang ketiga perekonomian nasional. Sedangkan Rostow mencakup lima tahap sesuai dengan urutan sejarah: pertama tahap tradisi, kedua tahap transisi, ketiga tahap take off, keempat tahap maturitas, dan terakhir adalah tahap konsumsi tinggi. Abraham berpendapat bahwa asumsi yang melandasi semua teori pertumbuhan merupakan evolusi garis lurus dari stagnasi ekonomi menuju konsumsi massa. Saat ini menurut Abraham, negara-negara sedang berkembang telah mengadopsi salah satu dari dua jalur modernisasi ekonomi: 1. Beberapa jenis sosialisme 2. Perusahaan bebas. Bertitik tolak dari sukses pertama dari perencanaan Rusia dan didasarkan pada komitmen terhadap pandangan keadilan sosial tertentu yang memadai dan bahkan distribusi kekayaan atau reduksi ketimpangan pendapatan, beberapa bangsa sedang berkembang telah mengadopsi bentuk sistem ekonomi dan strategi pembangunan sosialis yang bercirikan adanya suatu badan perencanaan pusat dan peranan aktif pemerintah dalam memajukan perekonomian melalui pembangunan sektor publik yang utama. Burma, India dan Indonesia dipandang sebagai
40
pendukung terkemuka pola masyarakat sosialistis. Jalur kedua modernisasi ekonomi mengarah pada memperkokoh sektor swasta melalui suatu sistem perusahaan bebas yang dikaitkan dengan pengembangan suatu infrastruktur yang mendukung pertumbuhan perusahaan-perusahaan swasta dan usaha-usaha kapitalistik. Korea, Filipina dan Taiwan mengikuti jalur tersebut. Kedua adalah Modernisasi Sosial. Kerangka konseptual modernisasi sosial mencakup modernisasi politik dan psikologis. Namun, menurut Abraham perbedaan tersebut bersifat analitis dan tidak dipertentangkan dengan realitas empiris. Modernisasi sosial meliputi perubahan dalam atribut-atribut sistemik, pola-pola kelembagaan dan peranan-peranan status dalam struktur sosial masyarakat sedang berkembang. Unsur-unsur pokok modernisasi sosial mencakup perubahan sosial yang terencana, sekularisme, perubahan sikap dan tingkah laku, pengeluaran pendidikan umum yang berat, revolusi pengetahuan melalui perluasan sarana komunikasi, instrumen hubungan-hubungan sosial, dan keharusan kontraktual, diferensiasi struktural dan spesialisasi fungsional. Para sosiolog telah menciptakan beberapa tipe model yang ideal untuk menganalisis atribut-atribut sistemik, orientasi nilai dan spesialisasi peranan di dalam masyarakat modern dan pra modern. Pendekatan psikologis terhadap modernisasi menekankan pada perubahan-perubahan sikap dan tingkah laku yang memprakarsai dan juga menopang perkembangan sosio-ekonomis. Modernisasi politik
tercapai
karena perkembangan
efektif infrastruktur
administrasi,
pemerintahan dan birokrasi yang memudahkan kemajuan nasional seperti dibuktikan oleh bangkitnya kepemimpinan politik, perencanaan ekonomi,
41
partisipasi politik massa yang makin membesar, munculnya kelas menengah serta birokrasi nasional. Modernisasi sosial juga diikuti oleh industrialisasi, peledakan urbanisasi, sekularisasi, revolusi harapan yang meningkat, ekpose media massa yang makin besar, stabilitas kependudukan yang relatif, bangkitnya kelas menengah secara besar-besaran serta revolusi budaya yang dahsyat. Buku ini memberikan gambaran yang jelas mengenai Modernisasi dan hubungannya dengan dunia ketiga. Dimana konsep modernisasi dan dunia ketiga dibahas secara mandalam, tetapi buku ini tidak memberikan penjelasan mendalam mengenai negara dunia ketiga yang telah menerapkan modernisasi dalam kehidupannya, padahal buku ini menitikberatkan pembahasannya pada masalah modernisasi di dunia ketiga, buku ini hanya menyebutkan negara-negara dunia ketiga seperti Burma dan Indonesia mengalami masalah modernisasi tetapi tidak dijelaskan secara mendalam. Sebagai contoh dalam buku ini ditulis bahwa tinggal landas yang berhasil tidak sepenuhnya menjamin proses pertumbuhan diri terus menerus secara mulus. Ternyata, ada contoh hambatan balikan setelah terpenuhinya beberapa tahap modernisasi yang cukup maju. Stagnasi ekonomi di Argentina dan keruntuhan politik di Burma dan Indonesia adalah contoh hambatan tinggal landas tersebut, tetapi hambatan yang seperti apa tidak di bahas dalam buku ini. Buku keenam Modernisasi (Pengantar sosiologi pembangunan negaranegara sedang berkembang) yang ditulis oleh J. W. Schoorl (1980). Penulis buku ini adalah guru besar sosiologi di Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda. Beliau pernah menjadi pegawai pemerintahan Belanda, yang ditugaskan di tanah jajahan
42
termasuk Indonesia yang pada waktu itu menjadi kontrolir di Irian Barat pada tahun 1952. Schoorl dalam bukunya ini memandang bahwa modernisasi adalah sebagai gejala sosial dimana menurutnya semua bangsa terlibat dalam proses modernisasi. Manifestasi proses ini pertama kali nampak di Inggris pada abad ke-18 dalam yang disebut revolusi industri. Sejak itu gejala tersebut meluas ke semua penjuru dunia. Mula-mula ke daerah-daerah yang kebudayaannya semacam, yaitu ke Eropa dan Amerika Utara, kemudian ke bagian-bagian dunia yang lain dengan daerah-daerah yang kebudayaannya berbeda sama sekali dengan kebudayaan Eropa. Penyebaran itu dianggap sebagai sesuatu yang begitu biasa, sehingga masyarakat dunia itu sering dibagi menjadi dua kategori: negara maju dan negara sedang berkembang masing-masing terdiri atas negara-negara yang telah mengalami modernisasi dan negara-negara yang sedang mengadakan modernisasi. Dalam pembagian itu tidak disediakan tempat untuk kemungkinan adanya negara yang karena sesuatu hal tidak terlibat dalam proses modernisasi itu. Menurut Schoorl berdasarkan data empirik menunjukkan bahwa semua negara ‘baru’ telah menempuh jalan modernisasi. Dalam rencana pemerintah dari semua negara memang ada rencana-rencana untuk pembangunan sosial, ekonomi atau politik yang dapat dianggap sebagai aspek-aspek modernisasi. Aspek yang paling spektakuler dalam modernisasi ialah pergantian teknik produksi dari caracara tradisional ke cara-cara modern, yang tertampung dalam pengertian revolusi industri. Akan tetapi Schoorl berpendapat proses yang disebut revolusi industri itu hanya satu bagian atau satu aspek saja dari suatu proses yang lebih luas.
43
Modernisasi suatu mayarakat ialah suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Di bidang ekonomi, modernisasi berarti tumbuhnya kompleks industri yang besar-besar, di mana produksi barang-barang konsumsi dan barang-barang sarana produksi diadakan secara massal. Adanya kompleks-kompleks industri mengandung implikasi adanya organisasi-organisasi yang kompleks untuk mendirikan, menyelenggarakan dan mengembangkan aparat produksi itu dan untuk mengadakan pembelian bahan-bahan baku serta untuk penjualan produknya. Adanya spesialisasi produksi secara massal menurut Schoorl itu hanya mungkin karena adanya pasaran nasional dan /atau internasional untuk modal, bahan baku, barang-barang dan tenaga. Kecuali itu perlu adanya sistem kredit secara nasional dan internasional untuk memungkinkan adanya pertukaran langsung secara besar-besaran. Perkembangan industri itu berkaitan dengan perkembangan agraria, yang menyebabkan produksi pekerjaan sebagian kecil penduduk (sampai lebih kurang 5%) cukup untuk keperluan sisa penduduk yang lain, yang bekerja di sektor ekonomi lain. Dengan penerapan metode dan teknik baru dan dengan sangat memperluas ukuran rata-rata usaha tani, produksi agraria pekerja berhasil ditingkatkan secara luar biasa. Dengan sendirinya ini hanya mungkin apabila penduduk yang berasal dari sektor agraria dapat memperoleh pekerjaan di luar pertanian. Dengan berlandaskan perkembangan agraria dan industri itu dapat diciptakan secara luas yang disebut sektor jasa, yang di dalamnya dapat dimasukkan lembaga-lembaga pemerintahan, institut ilmiah dan pendidikan,
44
pemeliharaan kesehatan, fasilitas rekreasi, kesenian dan seterusnya. Sektor ini jelas mempunyai hubungan timbal balik dengan sektor-sektor industri dan agraria. Schoorl berpandangan bahwa perkembangan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ilmu pengetahuan. Revolusi industri dapat terjadi atas dasar revolusi ilmu pengetahuan dan revolusi teknologi yang berkaitan dengan itu. Ilmu-ilmu pengetahuan memegang saham yang amat penting dalam memahami dan memperbaiki berfungsinya masyarakat modern. Suatu masyarakat modern dengan spesialisasi fungsi-fungsinya di semua bidang kehidupan, yang biasanya memerlukan pendidikan dan latihan yang lama, tidak mungkin ada tanpa suatu sistem pendidikan yang luas. Biaya pendidikan juga hanya dapat dipikul oleh suatu sistem produksi yang modern. Mengenai bidang politik Schoorl dalam bukunya ini menyatakan bahwa ekonomi yang modern memerlukan adanya masyarakat nasional dengan integrasi yang baik. Ini berarti bahwa desa-desa, kota dan daerah-daerah itu terikat dalam suatu hubungan negara nasional yang memungkinkan adanya lalu lintas orang dan barang secara bebas. Ini berarti bahwa ada satu pusat untuk memelihara keamanan dan ketertiban dan bahwa ada keseragaman yang besar dalam sistem hukum. Integrasi ini dimungkinkan, karena adanya kemajuan teknik sehingga membawa perluasan yang luar biasa dalam hal komunikasi antardesa, kota dan daerah. Perluasan komunikasi ini yang juga dengan melalui media massa berarti bahwa penduduk seluruhnya secara langsung terlibat dalam kegiatan politik nasional, ini memberi kemungkinan bagi penduduk untuk berpartisipasi dalam kegiatan itu dan itu memang perlu. Keperluan itu juga akibat sifat dinamik dari
45
masyarakat
modern.
Penduduk
dalam
kehidupannya
harus
senantiasa
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan di segala kehidupan. Partisipasi dalam hal menentukan keputusan politik mempermudah penyesuaian diri itu. Aspek-aspek masyarakat modern tersebut
tercermin dalam aspek-aspek tata
kemasyarakatan yang sifatnya lebih umum, yaitu dalam struktur sosial masyarakat. Satu hal yang menarik ialah bahwa berhubung dengan perkembangan ekonomi, sebagian besar dari penduduk tempat tinggalnya tergeser ke lingkungan kota-kota, kehidupan kota membawa masalah-masalah teknik dan organisasi yang sangat khusus. Suatu hal yang menarik dalam buku ini adalah adanya pembahasan mengenai modernisasi dan westernisasi, dalam sub judul buku ini Schoorl mengemukakan pertanyaan besar apakah modernisasi berarti westernisasi?. Menurut Schoorl jika proses modernisasi itu dilihat sebagai suatu proses yang tidak dapat dihindarkan, yang melibatkan semua negara yang ada, maka akan timbul pertanyaan, apakah modernisasi itu juga berarti westernisasi. Apakah negara-negara yang miskin sekarang ini, negara-negara non barat akhirnya akan memiliki pola kebudayaan dan cara hidup yang sama seperti yang dimiliki oleh negara-negara barat yang kaya sekarang ini. Schoorl menganggap negara barat ialah negara yang masuk dalam lingkungan budaya barat, diantaranya adalah negara-negara Eropa, Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru. Dalam hubungannya antara modernisasi dan westernisasi Schoorl memiliki kesimpulan sebagai berikut, pertama pengertian modernisasi itu lebih baik dari westernisasi dan kedua adalah bersama-sama dengan modernisasi itu
46
terjadi suatu proses westernisasi, karena perkembangan masyarakat modern itu terjadi di daerah kebudayaan barat dan tersajikan dalam bentuk barat, sedang bentuk barat itu sering dipandang sebagai satu-satunya kemungkinan yang ada. Buku ini melihat modernisasi sebagai gejala sosial ini dikarenakan penulisnya berasal dari bidang sosiologi sehingga pembahasannya lebih menonjolkan hubungan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain dalam hal ini antara budaya barat dengan budaya masyarakat setempat, sedangkan modernisasi ekonomi tidak banyak di bahas dalam buku ini. Selain itu kurangnya pembahasan negara dunia ketiga yang sedang menjalankan modernisasinya. Buku ketujuh Modernisasi (Masalah model pembangunan), yang ditulis oleh Belling dan Totten (1980). Willard A. Belling merupakan guru besar Hubungan Internasional, University of Southern California, AS. Sedangkan George O. Totten adalah guru besar Ilmu Politik di Universitas yang sama. Dalam buku ini dijelaskan bahwa modernisasi merupakan satu istilah yang menjadi mode setelah Perang Dunia II. Menurut Belling mungkin yang pertama-tama terbayang dalam pikiran orang adalah apa-apa yang berkaitan dengan teknologi zaman sekarang, dengan perjalanan-jetnya, penjelahan antariksanya dan tenaga nuklirnya. Akan tetapi menurut pengertiannya yang umum, perkataan “modern” mencakup seluruh era sejak abad kedelapan-belas, ketika penemuan-penemuan seperti mesin uap dan mesin pemintal meletakkan landasan teknik yang pertama bagi industrialisasi berbagai masyarakat. Tranformasi ekonomi di Inggris bersamaan waktunya dengan gerakan kemerdekaan di jajahan-jajahannya di Amerika dan dengan terbentuknya negara-
47
bangsa (nation-state) dalam kancah Revolusi Perancis. Oleh karena itu maka perkataan “modern” juga membangkitkan asosiasi dengan demokratisasi masyarakat, terutama hancurnya hak-hak istimewa yang turun temurun dan pernyataan tentang persamaan hak-hak warga negara. Di manapun ia terjadi, Belling menyatakan bahwa modernisasi masyarakat lahir dari struktur sosial yang ditandai oleh tidak adanya persamaan dan keadaan itu didasarkan atas ikatan-ikatan kekerabatan, hak-hak istimewa yang turun temurun, dan kekuasaan yang sudah mapan dengan kestabilan yang berbeda-beda. Oleh karena sama-sama menekankan soal urutan tingkatan kedudukan-kedudukan yang diwarisi, masyarakat-masyarakat pra-industri mempunyai persamaan unsurunsur tertentu. Hancurnya ciri-ciri orde lama itu yang mengakibatkan munculnya persamaan. Dengan perkataan modernisasi Belling dalam bukunya ini ingin menunjuk kepada satu tipe perubahan sosial yang berasal dari revolusi industri di Inggris, 1760-1830 dan dari revolusi politik di Perancis 1789-1794, menurut Belling kita dapat menetapkan permulaan dari perubahan-perubahan yang dibahas disini secara berbeda-beda dan sebenarnya hal itu ada baiknya untuk tujuan-tujuan tertentu. Ekspansi Eropa, umpamanya bermula sebelum bagian akhir abad ke-18. Beberapa aspek modernisasi seperti penyebaran senjata modern dapat ditelusuri awal mulanya sampai ke abad ke-15. Demikian pula, peristiwa-peristiwa khas yang mendahului modernisasi dapat ditelusuri sampai ke waktu lampau yang sangat jauh, seperti dalam hal seni mencetak atau lembaga-lembaga perwakilan atau ide-ide tentang persamaan. Namun demikian ada berbagai alasan mengapa
48
sebaiknya diadakan pemisahan antara transformasi masyarakat-masyarakat Eropa beserta reperkusi-reperkusinya di seluruh dunia sejak abad ke-18 dan perubahanperubahan ekonomi dan politik yang terjadi sebelumnya. Ditinjau dari sudut pandangan masyarakat-masyarakat industri di Barat, orang dapat membuat daftar ciri-ciri satu masyarakat yang modern, namun hendaknya kita jangan memandang ciri-ciri yang sudah dilalui oleh masyarakatmasyarakat tersebut sebagai langkah-langkah yang mutlak diperlukan bagi modernisasi. Beberapa atribut modernitas seperti melek huruf atau ilmu kedokteran modern telah muncul atau dimiliki secara terpisah dari atribut-atribut modernitas lainnya. Oleh sebab itu, maka bisa modernisasi berlangsung tanpa menghasilkan modernitas. Lagi pula menurut Belling, proses modernisasi tidaklah universal. Oleh karena dobrakan ekonomi dan politik yang terjadi di Inggris dan Perancis pada akhir abad ke-18 telah menempatkan setiap negara lainnya di dunia pada kedudukan yang relatif terbelakang. Pembagian dunia dalam masyarakatmasyarakat maju dan masyarakat pengikut ini merupakan satu unsur dasar dalam definisi modernisasi. Bagaimanapun sederhananya, pembedaan ini berarti satu pergeseran penting dalam perspektif intelektual. Gengsi tradisional Teori Sosiologi dipandang Belling berawal dari pengaruh-pengaruh yang memancar dari Plato dan dari warisan-warisan filsafat Barat sebagaimana yang ditelusuri oleh Arthur Love joy dalam The Great Chain of Being. Dalam perspektif ini, perubahan berlangsung lambat, berangsur-angsur dan terus-menerus serta merupakan sesuatu yang intrinsik bagi masyarakat-masyarakat yang sedang berubah. Sesuai dengan itu,
49
maka modernisasi dilihat sebagai satu proses seragam yang berkembang sedemikian rupa sehingga di mana pun ia terjadi, ia pada pokoknya akan mengulangi semua ciri yang terdapat pada modernisasi yang terjadi sebelumnya di negara lain. Sebagai satu hal yang untuk sebagian bertentangan dengan pendirian ini, maka perubahan sosial di sini diartikan sebagai selalu terdiri dari perubahanperubahan yang intrinsik dan yang ekstrinsik. Setiap struktur sosial mempunyai corak diferensiasi dalam (internal differentation) dan suasana luar (external setting), perubahan dalam satu sektor tidak dapat terjadi tanpa menimbulkan reperkusi di sektor lainnya, dan ini mempunyai relevansi yang khusus dalam studi tentang modernisasi. Setiap struktur sosial memiliki ciri-ciri kekal yang bisa membantu atau menghambat modernisasi masyarakatnya. Modernisasi bercirikan peningkatan yang sangat tajam dalam kecepatan dan intensitas penerusan ide-ide dan teknik-teknik dari masyarakat-masyarakat maju ke masyarakat-masyarakat pengikut. Dalam kurun waktu sejarah yang relatif singkat tinggal sedikit saja masyarakat-masyarakat yang tetap kebal terhadap pengaruh-pengaruh ekstern itu terhadap struktur sosial mereka. Pandangan ini, yakni yang mensejajarkan struktur intern dan suasana ekstern, disertai dengan tuntutan agar kedua-duanya dianggap sebagai satu kontras yang disengaja dari cara
pendekatan
yang
mempelajari
masyarakat-masyarakat
seolah-olah
merupakan sistem-sistem yang tertutup. Diantara buku yang dijadikan referensi dalam penelitian ini, buku karya Belling dan Totten memiliki peran tersendiri, hal ini dikarenakan buku ini memberikan pandangan yang berbeda dengan buku lain dalam memahami
50
modernisasi. Buku lain yang telah di bahas di atas cenderung memandang modernisasi dari segi ekonomi dan soial sedangkan Belling dalam buku ini memandang modernisasi dari segi politik hal tersebut terjadi karena memang latar belakang penulis sebagai ahli politik hal ini memberikan arti penting bagi peneliti, dengan begitu peneliti bisa lebih mempelajari modernisasi dari berbagai sudut pandang sehingga bisa menunjang penelitian ini. Namun dalam pemaparannya buku ini masih bersifat umum sehingga diperlukan beberapa penyederhanaan dalam memaparkannya, sebagai contohnya dalam buku ini dituliskan bahwa kata modernisasi menunjuk kepada suatu perubahan sosial yang berasal dari Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Politik di Perancis, tetapi buku ini tidak memberikan gambaran yang jelas bagaimana Revolusi tersebut terjadi sehingga bisa disebut sebagai awal dari modernisasi. Buku
kedelapan
Ekonomi
Pembangunan
(Dasar,
masalah
dan
kebijaksanaan) yang ditulis oleh Sadono Sukirno (1985). Ia adalah dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Buku ini dibagi kedalam beberapa bagian besar. Namun yang akan penulis komentarari hanya beberapa bagian saja yang berhubungan dengan tema penelitian kali ini. Dimana bagian pertama membahas mengenai pendapatan perkapita sebagai indeks tingkat kesejahtraan dan lajunya tingkat pembangunan. Dalam bagian ini terdapat pembahasan mengenai penggolongan berbagai negara dimana penggolongan ini didasarkan pada pendapatan perkapita negara terebut. Sukirno dalam bukunya ini menggolongkan negara tersebut kedalam tiga bagian. Bagian masing-masing disebut sebagi negara maju, berkembang dan miskin. Bila pendapatan perkapita
51
negara yang bersangkutan di atas US$ 2000 maka negara tersebut di golongkan kedalam negara maju, jika kurang dari US$ 200 digolongkan sebagai negara miskin, dan jika pendapatan perkapitanya lebih dari US$ 200 negara tersebut digolongkan kedalam negara berkembang, hal ini penulis anggap perlu karena penulis bisa menentukan Indonesia berada di golongan negara mana tentu saja dengan melihat pendapatan perkapita Indonesia pada saat itu. Dalam bukunya ini Sukirno melakukan kajian mengenai tahap tahap pertumbuhan ekonomi tepatnya pada bagian kelima buku ini. Sukirno menyebutkan bahwa salah satu teori mengenai pembangunan ekonomi yang paling banyak mendapat perhatian dan komentar adalah teori tahap-tahap pertumbuhan ekonomi yang dicetuskan oleh Rostow, yang pada mulanya dikemukakan sebagai suatu artikel dalam Economic Journal dan yang kemudian dikembangkannya lebih lanjut dalam bukunya: The Stages Of Economic Growth. Menurut Rostow proses pembangunan ekonomi dapat dibedakan dalam lima tahap dan setiap negara di dunia dapat digolongkan ke dalam salah satu dari kelima tahap pertumbuhan ekonomi yang dijelaskannya. Dalam bukunya tersebut Sukirno mencoba membandingkan antara Rostow dengan analisa Kuznets dan Chenery mengenai perubahan struktur ekonomi dalam proses pembangunan, teori Rostow mengenai tahap-tahap pertumbuhan ekonomi ruang lingkupnya luas. Tetapi analisisnya bersifat lebih umum dari kedua analisa terdahulu, teorinya tidak secara terperinci menganalisa corak perubahan yang terjadi pada sesuatu sektor dalam proses pembangunan. Analisanya lebih dititikberatkan kepada membahas peranan beberapa faktor
52
tertentu dalam menimbulkan pertumbuhan ekonomi dan menganalisa mengenai ciri-ciri perubahan yang tercipta dalam tiap-tiap tahap pembangunan suatu masyarakat. Analisis Rostow didasarkan kepada keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi tercipta sebagai akibat dari timbulnya perubahan yang fundamental bukan saja dalam corak kegiatan ekonomi tetapi juga dalam kehidupan politik dan hubungan
sosial dalam suatu masyarakat.
Dalam membedakan
proses
pembangunan ekonomi menjadi kelima tahap seperti yang dinyatakan di atas, Rostow membuat penggolongannya berdasarkan kepada ciri-ciri perubahan keadaan ekonomi, politik dan sosial yang berlaku. Menurut Rostow pembangunan ekonomi atau transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi suatu masyarakat modern merupakan suatu proses yang berdimensi banyak. Satu hal yang menjadi daya tarik dalam buku ini ialah adanya suatu kajian mengenai kritikan terhadap Teori Rostow oleh para ahli ekonomi, diantaranya Sukirno membahas kritikan dari Kuznets terhadap Teori Rostow. Menurut Kuznets ada sifat-sifat yang diperlukan agar suatu teori tahap-tahap pertumbuhan ada manfaatnya, ia mengatakan bahwa Teori Rostow hanya memiliki sebagian kecil saja dari sifat-sifat tersebut. Kuznets mengatakan bahwa perbedaan di antara berbagai tahap dalam Teori Rostow sangat kabur, hal tersebut didasarkan pada tahap prasyarat untuk mencapai lepas landas dan tahap lepas landas sangat sukar dibedakan karena beberapa ciri-ciri yang dinyatakan terdapat dalam tahap lepas landas sudah berlaku pada tahap sebelumya. Sebagai contoh dalam teorinya Rostow menyatakan bahwa perkembangan dan kenaikan produktivitas sektor pertanian dan perkembangan prasarana akan berlaku pada tahap prasyarat untuk
53
lepas landas, hal ini hanya berlaku apabila tingkat penanaman modal meningkat dengan cepat. Berarti kenaikan penanaman modal yang cepat, yang dinyatakan oleh Rostow sebagai salah satu ciri penting pada tahap lepas landas, sudah berlaku pada masa sebelumnya. Lebih jauh dari itu Sukirno ingin menegaskan kritikan yang terpenting dari Kuznets terhadap Teori Rostow mengenai terbatasnya ciri-ciri dari teori tersebut yang dapat diselidiki kebenarannya secara empiris. Menurut Kuznets sebagian besar dari ciri-ciri dalam tahap-tahap pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan oleh Rostow tidak mudah untuk diuji secara empiris, dan untuk yang dapat diselidiki kenyataan yang diperoleh sangat berbeda dengan yang digambarkan Rostow, sebagai contoh dalam tahap tinggal landas satu-satunya ciri yang dapat diuji secara empiris adalah kenaikan tingkat penanaman modal dari 5% menjadi 10%. Data tingkat penanaman modal di beberapa negara Barat pada waktu mereka mencapai tahap lepas landas menunjukan bahwa tingkat penanaman modal tidak mengalami pertumbuhan secepat seperti yang digambarkan Rostow, yaitu tingkatnya meningkat manjadi dua kali lipat sepanjang masa lepas landas. Secara sederhana dalam buku ini Sukirno menyatakan bahwa Teori Rostow merupakan salah salah satu teori yang banyak menarik perhatian para ilmuan baik dari kalangan ahli Ekonomi maupun Sejarah. Komentar para ahli terhadap Teori Rostow bahkan dikatakan oleh Sukirno jauh lebih panjang daripada teori Rostow itu sendiri. Pada bagian ini Sukirno berpandangan bahwa Rostow tidak dapat dikatakan berhasil, hal ini dikarenakan para pengkritiknya yang mengatakan bahwa secara konseptual dan secara empiris teori tahap-tahap
54
pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh Rostow mempunyai banyak kelemahan. Dengan demikian menurut Sukirno walaupun Rostow berpendapat bahwa teorinya memberikan suatu kerangka dasar analisis yang menggambarkan mengenai sebab-sebab terjadinya proses pembangunan ekonomi dan coraknya sepanjang proses tersebut, pembahasan yang dilakukan oleh para ahli terhadap teorinya pada umumnya sampai pada kesimpulan bahwa teori Rostow memiliki kekuatan analisa yang sangat lemah. Kekurangan buku ini ialah tidak adanya analisis mengenai bagaimana negara dunia ketiga dalam memandang Teori Rostow, padahal teori ini banyak dijadikan kerangka teoritik pembangunan di negara dunia ketiga dalam menjalankan modernisasinya terlepas dari para pengkritiknya. Buku kesembilan Perubahan Sosial Dan Pembangunan yang ditulis oleh Suwarsono dan Alvin Y. So. Suwarsono merupakan sarjana ekonomi sedangkan masternya diperoleh dari Universitas Hawai, Honolulu, USA, untuk jurusan Sosiologi. Alvin Y. So merupakan alumni University of California Los Angles (UCLA) dan pernah menjabat sebagi guru besar Depertemen Sosiologi di Universitas Hawai. Buku ini berisi tentang Teori Modernisasi, Teori Ketergantungan dan Keterbelakangan, Teori Sistem Ekonomi Dunia, serta peubahan sosial sejak dekade 1950-an hingga awal 1980-an. Dalam pembahasannya buku ini juga memberikan penjelasan ringkas mengenai berlakunya salah satu dari ketiga grandtheory (Teori modernisasi, Dependensi, dan Teori Sistem Dunia) tersebut di Indonesia. Buku ini terbagi ke dalam tiga bagian besar. Bagian pertama, menjelaskan tentang Teori Modernisasi,
55
bagian kedua, menjelaskan tentang Teori Ketergantungan dan Keterbelakangan. Sedangkan bagian terakhir menjelaskan tentang Teori Sistem Ekonomi-Dunia. Dari ketiga bagian tersebut yang akan dikomentari hanya pada bagian ketiga saja mengenai Teori Modernisasi yang dianggap memiliki keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan yaitu sepeutar Teori Modernisasi Rostow. Dalam bagian pertama dari buku ini terdapat pembahasan mengenai tahapan pertumbuhan ekonomi dari Rostow dimana terdapat uraian isi dari Teori Rostow tersebut, dan penulis menemukan bahwa isinya sama saja seperti yang telah dituliskan di atas untuk itu penulis akan lebih menyoroti tentang kritikan terhadap Teori Rostow dalam buku ini. Suwarsono dan So menunjukan kenyataan bahwa teori pertumbuhan ekonomi telah lama lahir, sekitar pertenaghan tahun 1950-an termasuk pertumbuhan ekonomi yang di usung Rostow. Pada bagian ini Suwarsono dan So menyajikan pembahasan mengenai pemikiran dan kritikan dari Prof. Sarbini Sumawinata tehadap teori Rostow. Alvin dan So menyatakan bahwa pada tahun 1989 telah terbit di Indonesia satu buku yang sengaja dipersembahkan kepada Prof. Sarbini Sumawinata pada ulang tahunnya yang ke-70, yang diantaranya memuat dua artikel yang secara eksplisit menguji pembangunan ekonomi Indonesia dengan pendekatan Teori Rostow. Salah
satu artikel tersebut ditulis oleh Sumawinata sendiri. Artikel
tersebut secara jelas mencoba melakukan pendekatan analitis situasi ekonomi Indonesia. Dalam artikel tersebut Sumawinata memulai pengamatannya dengan terlebih dahulu mengingatkan tiga syarat mutlak yang menurut Rostow harus
56
dipenuhi jika masyarakat hendak mencapai tahap lepas landas pembangunan ekonominya. 1. Untuk mencapai lepas landas, ekonomi negara memerlukan tingkat investasi produktif paling tidak sebesar 10% dari pendapatan nasional. 2. Pertumbuhan yang tinggi atas satu atau lebih cabang indutri yang sentral. 3. Tumbuh dan berkembangnya kerangka sosial politik yang mampu menyerap dinamika perubahan masyarakat. (Alvin & So, 33: 2006). Dalam buku ini memuat pandangan Sumawinata terhadap syarat di atas. Menurut sumawinata, pembahasan persoalan lepas landas di Indonesia lebih meperhatikan pada syarat pertama, dibanding dua syarat yang terakhir. Padahal jika melihat pada sejarah perkembangan ekonomi Indonesia, justru dua syarat terakhir jauh lebih penting daripada syarat yang pertama, hal ini terjadi karena pada saat terjadi lepas landas ekonomi, masyarakat akan banyak memikul beban dan tekanan yang berat. Suwarsono dan So memberikan kesimpulan dari pendapat Sumawinata terhadap Teori Rostow. Secara sederhana Sumawinata bependapat bahwa masih banyak masalah yang harus ditanggulangi agar Indonesia mampu mencapai tahap lepas landas. Untuk itu, Sumawinata mengingatkan agar perhatian tidak hanya tertuju pada syarat pertama saja tetapi diarahkan kepada syarat kedua dan ketiga. Secara garis besar buku ini telah memberikan satu pandangan yag berbeda dalam menyoroti Teori Rostow, umumnya buku yang lain lebih menitikberatkan pembahasannya pada faktor ekonomi tetapi buku ini lebih menitikberatkan pembahasannya pada perubahan sosial dan politik hal ini terjadi karena latar belakang kedua penulis yang memang memiliki latar belakang ilmu sosiologi. Dengan demikian dari buku ini penulis mendapatkan pandangan mengenai Teori
57
Rostow dari sisi yang berbeda. Kekurangan buku ini ialah tidak adanya pembahasan yang lebih jauh mengenai peranan Teori Rostow dalam pembangunan Indonesia padahal buku ini menyinggung tentang pembangunan Indonesia yang berlandaskan dari Teori Rostow. Buku kesepuluh Teori Sosial dan Pembangunan Indonesia yang ditulis oleh Judistira. K. Garna, seorang guru besar Antropologi dan Sosiologi Universitas Padjajaran (UNPAD). Dalam bukunya ini Garna membagi macammacam Teori Modernisasi menjadi tiga model sebagai berikut: 1. Model Struktural, menekankan pada perubahan struktural (Smelser, Rostow, David Apter dan Gisendat). 2. Model Budaya, Modernisasi, perubahan dalam struktur normatif, khususnya tentang nilai penghambat atau pendorong (Max Weber, Bellah, dan Arnold Rose). 3. Model Psikologi, model yang memberi penekanan terhadap perubahan tingkah laku, sistem kepentingan, dan akibat kepribadian (David McCleland, Joseph Kahl, dan Hages). (Garna, 1999: 11). Garna bahkan dengan terang-terangan menyatakan bahwa Teori Rostow telah mengalami kegagalan ini terlihat dari sub judul dalam bukunya ini yang tertulis Model lepas landasnya Rostow tidak berhasil, ia mengatakan bahwa Teori Rostow sesungguhnya membangun Teori Deterministik dari masyarakat melalui lima tahapan yang dijabarkan Rostow. Menurut Garna berdasarkan Teori Rostow bahwa teori ini memberikan solusi bahwa jika suatu negara hendak mencapai pertumbuhan ekonomi yang otonom, maka negara itu harus mampu melakukan mobilisasi seluruh kemampuan modal dan sumber daya alamnya, sehingga mencapai tingkat investasi produktif sebesar 10% dari pendapatan maksimalnya. Jika tidak, maka pertumbuhan ekonomi yang hendak dicapai tidak akan mampu mengimbangi pertumbuhan penduduk.
58
Menurut Garna membahas mengenai penerapan modernisasi di Indonesia tampak kurang serasi, karena pemahaman akan konsep modernisasi tidak seperti yang dimaksudkan oleh konsep tersebut, karena itu pula landasan berpikir dan penggunaan teori dalam konsep membangun masyarakat dengan modernisasi tampaknya kurang mendasar. Pada saat melangsungkan pembangunan dengan mengacu pada teori Rostow, mungkin terlupakan bahwa teori Rostow itu bisa berlaku apabila keadaan masyarakat yang dibangun itu homogen. Upaya melakukan homogenisasi itu telah dilakukan melalui pembangunan ekonomi, termasuk meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan demikian peningkatan ekonomi selalu dianggap akan mendorong peningkatan kualitas kehidupan pada umumnya. Homogenitas melalui pengembangan ekonomi itu dipaksakan dari kondisi yang heterogen, hal itu menurut Garna kemudian menjadikan pula ketimpangan antar daerah dan antar sektor. Modernisasi
dilihat
sebagai
pertumbuhan
ekonomi
belaka,
yang
melupakan pokok penting dalam kehidupan yaitu pembinaan budaya membangun dalam memenuhi kehendak dari gerak kehidupan tersebut. Kekeliruan lainnya adalah kurang memperhitungkan kondisi objektif masyarakat dalam menerima modernisasi. Salah satu akibat yang terjadi ialah anomi, masyarakat sudah menerima perubahan, tetapi tradisi lama belum atau sukar ditinggalkan, sehingga kehidupan berlangsung diantara dua titik yang membuat kebingungan para pelakunya. Buku ini sebenarya adalah kumpulan dari diskusi-diskusi yang dilakukan pada saat Garna sedang memberikan kuliah, dengan adanya pembahasan
59
mengenai kekeliruan antara Teori Rostow dengan yang diterapkan di Indonesia telah memberikan keunggulan tersendiri buku ini terhadap buku-buku lainnya, namun dalam buku ini pembahasan tentang esensi dari Teori Rostow itu sendiri sangat minim sekali sehingga informasi mengenai Teori Rostow yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada tidak begitu diketahui dengan jelas. Buku kesebelas berjudul Ekonomi Orde Baru yang ditulis oleh Anne Booth dan Peter McCawley (1979). Anne Booth merupakan peneliti di Depertemen Ekonomi yang khusus meneliti tentang kawasan Asia Pasifik pada Australian National University (ANU) di Canbera. Ia menulis desertasi mengenai iuran pembangunan daerah (ipeda) di Indonesia. Selain itu ia juga pernah bekerja di konsultan PPN pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sedangkan Peter McCawley sendiri adalah senior peneliti pada Depertemen Ekonomi ANU dan menjabat sebagai kepala pada proyek yang khusus meneliti tentang perekonomian Indonesia. Ia pernah mengajar di Fakultas Ekonomi Gajah Mada pada tahun 19721974. Berdasarkan latar belakang dua penulis di atas maka tidak diragukan lagi mengenai kualitas mereka dalam menulis buku ini, selain ahli dalam bidang ekonomi mereka pernah bekerja di Indonesia sehingga pengetahuan tentang perekonomian Indonesia khususnya pada masa Orde Baru sangatlah dapat dipertanggung jawabkan. Atas dasar itulah penulis mengambil buku ini sebagai sumber Referensi penulis dalam menyusun skripsi ini. Buku ini sebenarnya terdiri dari sebelas bab, namun penulis hanya akan menguraikan beberapa bab saja yang berhubungan dengan tema penelitian. Pada bab pertama terdapat pembahasan mengenai perekonomian Indonesia sejak
60
pertengahan tahun enam puluhan. Di mana dikatakan dalam buku ini pertengahan dasawarsa 1960-an adalah masa suram bagi perekonomian Indonesia. Tingkat produksi dan investasi di berbagai sektor utama menunjukan kemunduran semenjak tahun 1950. Di awal dasawarsa tersebut defisit anggaran belanja negara mencapai 50% dari pengeluran total negara, penerimaan ekspor menurun dan selama tahun 1964-1966 hiperinflasi melanda negara Indonesia, akabitnya perekonomian Indonesia mengalami keterpurukan. Dalam bukunya ini Booth dan McCawley menyoroti tentang peranan Orde Baru dalam perekonomian Indonesia. Menurut pandangan mereka pemerintah Orde Baru dibawah pimpinan Jenderal Soeharto yang mulai memegang kekuasaan pemerintah pada bulan Maret 1966 memberikan prioritas utama bagi pemulihan roda perekonomian. Sejumlah ekonom dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ditarik sebagi penasehat ekonomi pemerintah, dan beberapa diantaranya menduduki jabatan penting di kabinet. Menjelang tahun 1969 stabilitas moneter sudah tercapai dengan baik dan pada bulan April 1969 Repelita pertama di mulai. Dasawarsa setelah itu digambarkan oleh Booth dan McCwaley penuh dengan peristiwa-peristiwa penting bagi perkembangan di Indonesia, perekonomian tumbuh lebih cepat dan lebih mantap di banding tahun-tahun sebelumnya. Booth dan McCawley berusaha melihat secara menyeluruh apa yang telah berhasil di capai dan apa yang belum bisa dicapai dalam pembangunan Ekonomi Indonesia, dengan mencoba melihat perubahan-perubahan penting yang terjadi sejak tahun 1965 sampai pada tahun Repelita ke dua. Dikatakan dalam buku ini menjelang tahun 1977 perekonomian Indonesia telah mengalami perubahan
61
struktur secara cukup mencolok, sebagai akibat kebijaksanaan pemerintah bersama dengan kenaikan harga minyak. Perubahan dramatis terjadi pada tingkat investasi. Pengeluaran investasi naik 5% pada tahun 1966 menjadi 70% pada tahun 1973. Secara sederhana buku ini merupakan pemikiran Booth dan McCawley yang ingin menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagian merupakan hasil kebijaksanaan pemerintah yang lebih teratur dibandingkan dengan masa sebelumnya, sebagian lagi disebabkan oleh adanya aliran dana yang masuk dari luar negeri yang sangat besar. Pertumbuhan ini telah menghasilkan kemajuan-kemajuan yang berarti, demikian pula dalam sepuluh tahun terakhir kapasitas dan kemampuan administrasi negara menunjukan perbaikan-perbaikan. Tetapi Booth dan McCawley dalam buku ini mengakui bahwa dalam sepuluh tahun pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum dapat menghasilkan perbaikan tingkat hidup bagi sebagian besar penduduk. Pertumbuhan ekonomi selama kurun waktu tersebut atau selama Repelita pertama dan Kedua hanya dinikmati oleh sebagian kecil golongan yang memiliki kedudukan strategis dalam pemerintahan yang menempuh hidup mewah lebih jauh Booth dan McCwaley mengingatkan bahwa dalam keadaan seperti ini keresahan sosial akan manjadi ancaman yang potensial bagi stabilitas politik suatu negara. Dalam akhir tulisannya Booth dan McCawley memaparkan tentang tantangan Indonesia dalam Repelita ketiga dimana dalam tahun-tahun mendatang Indonesia dihadapkan kepada masalah penyesuaian kembali dan reorientasi. Pendapatan dari minyak akan menjadi sumber dana yang penting.
62
Buku ini memberi kontribusi yang penting bagi penulis karena buku ini membahas keseluruhan perekonomian Indonesia dari mulai tahun 1966 sampai berakhir Repelita kedua. Kelebihan buku ini ialah terdapat analisis ekonomi Indonesia, dimana dibalik pertumbuhan ekonomi Indonesia selama Repelita pertama dan kedua ternyata tidak membawa perbaikan kesejahtraan bagi masyrakat banyak dan hanya dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Kekurangan buku ini ialah tidak membahas mengenai aliran dana dari luar itu dalam bentuk seperti apa, dalam bentuk pinjaman luar negeri atau bantuan murni dari negara asing. Dengan demikin penelitian ini diharapkan dapat melengkapi kekurangan tersebut. Buku keduabelas Pembangunan Ekonomi Indonesia (Masalah dan Analisis) oleh Shinichi Ichimura (1989), yang merupakan Direktur Lembaga Hubungan Internasioanal Universitas Internasional Osaka, Jepang. Pada tahun 1969 ia mengunjungi Indonesia sebagai Direktur Pusat Kajian Asia Tenggara yang baru saja dibentuk pada Universitas Kyoto. Riset-riset yang dilakukan oleh Ichimura meliputi survei sosio-ekonomi diberbagai provinsi di Indonesia. Dengan latar belakang penulis tersebut maka buku ini dapat di jadikan sebuah Referensi penulis dalam penelitian ini. Buku ini merupakan kumpulan karya tulis yang komprehensif mengenai perkembangan ekonomi Indonesia sejak akhir tahun 1960-an sampai tahun 1990an yang keseluruhanya mengkaji dan menganalisis masalah-masalah penting perekonomian Indonesia. Buku ini merupakan hasil tambahan usaha bersama ahliahli ekonomi bangsa Indonesia dan Jepang selama bertahun-tahun guna
63
memahami faktor-faktor utama perkembangan perekonomian Indonesia, serta ingin menemukan jalan dan cara yang lebih baik untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia. Pada pembukaan buku ini dibahas mengenai tinjauan umum pembangunan ekonomi Indonesia, pada tahun setelah tahun 1965 perekonomian Indonesia tumbuh dengan cepat. Hal ini membantu mengatasi krisis sosial ekonomi pada awal dasawarsa 1960-an, pertumbuhan ekonomi ini menurut Ichimura disebabkan oleh adanya ledakan harga minyak dunia yaitu pada tahun 1973-1974 dan 19781979. Penerimaan devisa dari ekspor minyak pada tingkat harga yang lebih tinggi diperkirakan sebesar US$ 4,1 milyar per tahun dalam kurun waktu 1973-1974, ini sama dengan kenaikan harga minyak tersebut dari US$ 2 per barel menjadi US$ 11 per barel dikalikan jumlah minyak yang diekspor tiap tahun, yakni sekitar 450 juta per barel per tahun dan sama dengan sekitar US$ 10 milyar pada tahun 1978 dan 1979. Dalam bukunya ini Ichimura menganalisis berbagai kemajuan yang dicapai pemerintah dalam bidang perekonomian. Pada tiap tahap pembangunan ekonomi Indonesia, Repelita yang disusun oleh pemerintah memberikan arah yang tepat pada kebijaksanaan ekonomi makro dan menunjukkan jalan yang harus ditempuh dalam proses indutrialisasi di Indonesia. Khususnya, asas anggaran berimbang merupakan hal yang paling mendasar, yang membedakan kebijaksanaan pemerintah Orde Baru dengan pemerintah Soekarno, hal ini dimungkinkan oleh kerjasama yang erat antara pihak militer dalam pemerintahan dengan kelompok ahli ekonomi yang terlatih dalam bidang ilmu ekonomi modern. Kerjasama ekonomi dalam wadah Inter-
64
Governmental Group on Indonesia (IGGI) juga sangat penting, karena melalui kerjasama
ini
pemerintah
Indonesia
dapat
menjalankan
kebijaksanaan
stabilisasinya dengan segera setelah berhasil mengatasi kekacauan sosial akibat percobaan kudeta tahun 1965. Secara umum buku ini membahas berbagai masalah Indonesia selama kurun waktu 1960-an sampai 1990-an, sehingga informasi mengenai keadaan perekonomian Indonesia pada kurun waktu tersebut banyak diperoleh penulis. Selain itu buku ini memberikan gambaran yang jelas dan lengkap mengenai pencapaian-pencapaian yang diperoleh oleh Indonesia tetapi sayangnya dalam buku ini terdapat ketimpangan pembahasan antara keberhasilan dengan kegagalan dalam perekonomian Indonesia, buku ini lebih menitikberatkan pembahasannya pada pencapaian yang membanggakan padahal pencapaian tersebut hanya dilihat secara garis besarnya saja dimana dibalik pencapaian kemajuan tersebut rakyat Indonesia secara luas tidak mengalami perubahan yang berarti.