BAB II KAJIAN LITERATUR
2.1.
Fenomena Gempa Bumi Planet bumi mempunyai struktur tertentu, yaitu kerak bumi, lapisan
selubung, dan inti bumi yang dapat memicu terjadinya dinamika dari bagian dalam bumi yaitu tektonik dan vulkanik. Dinamika ini memberi dampak pada banyak hal, antara lain pergeseran kerak bumi yang berakibat pembentukan berbagai jenis pegunungan dan cekungan sedimen. Fenomena pergeseran kerak bumi, pertemuan (tumbukan lempeng), serta peristiwa vulkanik dapat menyebabkan terjadinya gempa. 2.1.1
Efek gempa bumi Besar kecilnya kerusakan dan/atau korban akibat bencana Gempa di
perkotaan sebenarnya merupakan efek sekundair dari kejadian Gempa bumi. Seperti kita ketahui bahwa kejadian gempa akan memberikan efek langsung dan efek sekunder. Efek langsung kejadian gempa bumi biasanya terjadi pada daerah yang relatif dekat dengan pusat gempa, seperti patahan, lipatan lapisan (lempengan bumi), beberapa gempa tidak juga menimbulkan kerusakan di bagian permukaan tanah. Variasi kerusakan akibat bencana gempa bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yakni faktor alam dan faktor buatan (perencanaan dan perancangan bangunan dan/atau kota). Sebagian besar kerusakan akibat gempa bumi lebih banyak disebabkan karena efek sekunder gempa. Efek sekunder terjadi karena adanya gerakan susulan yang
Universitas Sumatera Utara
dapat mencapai pada wilayah yang lebih luas, yang menyebabkan kerusakan yang relatif besar. Menurut J. Louie (1996), Efek sekundair ini antara lain seismic shaking, landslides, liquefaction, fissuring, settlement, triggering of aftershocks and additional earthquakes. Efek gempa baik langsung maupun sekunder dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu karakteristik gempa, magnitude, type, lokasi dan kedalaman pusat gempa, kondisi geologi akan mempengaruhi jarak dari pusat gempa, lintasan seismic, tipe lapisan tanah dan kelembapannya, kondisi masyarakat mengantisipasi gempa, kualitas konstruksi, kesiapan masyarakat, serta waktu terjadinya gempa. Dalam peristiwa gempa bumi empat golongan kerusakan utama akibat gempa yaitu: 1.
Ground shaking, adalah gerakan tanah akibat gempa yang merupakan unsur utama penyebab keruntuhan struktur.
2.
Liquefaction, kehilangan strength pada pasir yang jenuh air akibat pembebanan siklik. Kondisi ini menyebabkan penurunan dan pergerakan lateral dari pondasi. Yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi lokasi yang berpotensi liquefaction dengan menghindari pembangunan diatasnya, atau cara lain membuat fondasi dalam sehingga terhindar dari liquefaction.
3.
Bidang patahan (fault rupture), Ini pergerakan patahan akibat gempa. Pergerakan dapat vertikal maupun horizontal.
Universitas Sumatera Utara
4.
Landslide, Sering kali terjadi sebagai akibat dari terjadinya gempa. Perlu dihindari pembangunan di atas lereng atau di kaki dari lereng.
2.1.2 Bencana alam geologi Gempa bumi, terutama gerakan tanah yang kuat adalah contoh dari pembebanan siklik yang tidak beraturan yang meliputi sebuah cakupan yang utuh dari karakteristik dan regangan geser serta karakteristik perilaku tanah dalam region. Konsekwensi pada tanah deposit seperti liquifaksi dan kegagalan lereng, atau penurunan yang besar dalam kaitan dengan lahan densification, dapat mengakibatkan kerusakan yang fatal pada bangunan didaerah itu. Dengan begitu, didaerah seismic, kebutuhan akan analisis yang rasional dan perkiraan-perkiraan objektif yang memiliki resiko harta dan kehidupan bukan hanya kebutuhan akademis. Proses gempa tektonik secara diagramatis terlihat pada gambar 2.1 menunjukkan pertemuan dua lempengan mengalami subduksi yang menyebakan terjadinya gempa tektonik.
Gambar 2.1 Proses Subduksi Akibat Pertemuan Dua Lempeng Sumber: Subarya, dkk, 2006 2.2. Pengertian Resiko Bencana Berdasarkan potensi bencana dan tingkat kerentanan yang ada, maka dapat diperkirakan resiko ‘bencana’ yang akan terjadi di perkotaan Indonesia tergolong tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Resiko bencana pada wilayah perkotaan Indonesia yang tinggi tersebut disebabkan oleh potensi bencana yang dimiliki wilayah-wilayah tersebut yang memang sudah tinggi, ditambah dengan tingkat kerentanan yang sangat tinggi pula. Sementara faktor lain yang mendorong semakin tingginya resiko bencana ini adalah menyangkut pilihan masyarakat. Banyak penduduk yang memilih atau dengan sengaja tinggal di kawasan yang rawan terhadap bencana dengan berbagai alasan seperti kesuburan tanah, atau kesempatan lainnya yang dijanjikan oleh lokasi tersebut. Secara umum bencana dapat didefinisikan sebagai kejadian luar biasa yang terjadi secara perlahan ataupun secara tiba-tiba, dimana masyarakat yang mengalaminya harus merespon dengan tindakan yang luar biasa. Menurut definisi ISDR (2004) yang dimaksud dengan bencana adalah adanya gangguan yang luar biasa terhadap suatu tatanan masyarakat yang menyebabkan kerugian kepada masyarakat luas, baik berupa materi, maupun kerusakan lingkungan dan melebihi kemampuan dari masyarakat tersebut untuk mengatasi bencana yang menimpanya dengan sumber daya yang dimiliki.
Konsep pengertian bencana dapat diformulasikan dalam hubungan suatu persamaan Resiko Bencana (R) sebagai fungsi dari ancaman atau bahaya (A), kerentanan (K), dan kemampuan/ketahanan (m), dimana keterkaitan masing-masing faktor tersebut diperlihatkan pada persamaan: R=
A K m
……………………………….(2.1)
Dari persamaan di atas dapat ditarik kesimpulan umum bahwa resiko bencana merupakan hasil dari tindakan langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan ancaman dan kerentanan yang bergantung pada kemampuan/ketahanan dari suatu
Universitas Sumatera Utara
tantangan
lingkungan
juga
kemasyarakatannya
dalam
menghadapi
dan
menanggulangi ancaman dan kerentanan tersebut. 2.2.1. Resiko (risk) Resiko dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan yang dapat menyebabkan kerugian baik itu berupa materi, korban nyawa, kerusakan lingkungan, atau secara umum dapat diartikan sebagai kemungkinan yang dapat merusak tatanan sosial, masyarakat dan lingkungan yang disebabkan oleh interaksi antara ancaman dan kerentanan. Indonesia sebagai suatu kawasan dimana tingkat ancaman bahaya dan kerentanan yang cukup tinggi serta kemampuan untuk bertahannya relatif cukup rendah maka Indonesia dapat dikatakan sebagai suatu kawasan dengan tingkat resiko bencana yang cukup tinggi. Tingkat
resiko
suatu
wilayah
bergantung
hal-hal
berikut
Alam/geografi/geologi (kemungkinan terjadinya fenomena), kerentanan masyarakat yang terpapar terhadap fenomena bencana alam, Kerentanan fisik daerah (kondisi dan banyaknya bangunan), konteks strategis daerah, kesiapan masyarakat setempat untuk tanggap darurat. 2.2.2. Ancamana/bahaya (hazard) Bahaya atau ancaman dapat didefinisikan sebagai suatu kejadian atau kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, kerugian materi atau korban jiwa. Berdasarkan waktu kejadiannya, faktor bahaya dibedakan menjadi (MPBI, 2004):
Universitas Sumatera Utara
1. Tiba-tiba/tidak terduga (gempa bumi, tsunami, dll). 2. Bertahap, terduga dan teramati (wabah penyakit, aktivitas gunung merapi, dll). 3. Periodik, terduga dan teramati (banjir, pasang surut, kekeringan, dll). 2.2.3. Faktor kerentanan (vulnerability) Kerentanan dapat artikan sebagai suatu kondisi yang menentukan bilamana bahaya alam (natural hazard) yang terjadi dapat menimbulkan bencana alam (natural disaster). Kerentanan menunjukkan nilai dari potensi kerugian pada suatu wilayah akibat bencana alam, baik itu nilai lingkungan, materi, korban jiwa, tatanan sosial dan lainnya. Jenis-jenis kerentanan dapat dilihat berikut ini (PRNMB, DIKTI, 2004): (1) kerentanan sosial, (2) kerentanan kelembagaan, (3) kerentanan sistem, (4) kerentanan Ekonomi, (5) kerentanan lingkungan, (6) kerentanan akibat praktik-praktik yang tidak bersifat pembangunan berkelanjutan. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa ancaman bahaya alam akan menjadi bencana alam apabila terjadi pada suatu wilayah yang memiliki tingkat kerentanan yang tinggi. Resiko pada dasarnya berkaitan dengan kondisi kerentanan dari faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang perlu dikaji dan diolah (ISDR, 2004). Sedangkan yang dimaksud dengan manajemen resiko dimana tujuan utamanya adalah untuk meminimalisir kerentanan terhadap ancaman yang ada melalui peningkatan individu, institusional serta kapasitas sosial yang rentan. Kerentanan merupakan gambaran dari kondisi fisis, sosial, ekonomi serta lingkungan, hal ini dibentuk secara kontinyu dari perilaku, kebiasaan, budaya, sosial-
Universitas Sumatera Utara
ekonomi dan pengaruh politik terhadap individu, rumah tangga, komunitas dan lingkungan. Pada gambar 2.2 diperlihatkan 4 komponen yang merupakan faktor kerentanan yang berbeda, di tunjukkan oleh area irisan dari 4 lingkaran tersebut memperlihatkan keempat aspek tersebut saling berinteraksi satu sama lainnya.
Fisik
Lingkungan
Sosial
Ekonomi
Gambar 2.2 Interaksi antara faktor kerentanan (ISDR, 2004) Berdasarkan definisi dari ISDR (2004), kerentanan dikelompokan menjadi 4 faktor, yaitu: 1. Fisik, faktor kerentanan fisikal pada umumnya merujuk pada perhatian serta kelemahan atau kekurangan pada lokasi serta lingkungan terbangun. Hal ini dapat diartikan sebagai wilayah terbuka atau tempat yang sangat rentan terkena bahaya. Kerentanan fisik dapat ditunjukkan oleh misalnya tingkat kepadatan penduduk, permukiman terpencil, lokasi, desain serta material yang
dipergunakan
untuk
infrastruktur
dan
perumahan,
kondisi
geomorfologi area terbangun serta elemen fisis lainnya. 2. Sosial, elemen yang berkaitan dengan faktor kerentanan sosial adalah yang
berhubungan dengan kehidupan individu, komunitas, dan masyarakat pada
Universitas Sumatera Utara
umumnya. Hal tersebut termasuk aspek yang berkaitan dengan tingkat melek huruf dan pendidikan, jaminan keamanan dan ketenangan, jaminan hak asasi manusia, sistem pemerintahan yang baik, persamaan sosial, nilai sosial positif, ideologi dan lain-lain. Selain itu isu gender, kelompok usia, akses ke fasilitas kesehatan juga merupakan elemen kerentanan sosial. Fasilitas fisik dalam komunits, seperti keterbatasan infrastruktur dasar, misalnya sediaan air bersih dan sanitasi, fasilitas kesehatan, hal tersebut juga dapat meningkatkan kerentanan sosial. Kearifan lokal serta kebiasaan atau tradisi dapat menjadi bagian untuk meningkatkan kapabilitas sosial.
3. Ekonomi, tingkat kerentanan ekonomi sangatlah bergantung pada status ekonomi dari masyarakat, komunitas serta tingkat diatasnya. Selain itu jumlah kaum miskin, komposisi jumlah perempuan yang tidak berimbang dan para manula juga akan meningkatkan kerentanan ekonomi, karena kelompok ini dianggap paling rentan apabila terjadi bencana, karena pada umumnya kelompok ini memiliki keterbatasan kemampuan dalam upaya recovery akibat bencana. Ekonomi yang lemah pada umumnya akan meningkatkan tingkat kerentanan ekonomi. Selain itu keterbatasan akses terhadap Infrastuktur pendukung perekonomian seperti akses jalan, perbankan, pasar juga berpengaruh pada tingkat kerentanan ekonomi. 4. Lingkungan (ekologi), aspek kunci dari kerentanan lingkungan termasuk didalamnya peningkatan penurunan sumberdaya alam serta status degradasi sumberdaya. Dengan kata lain kekurangan dari resilience dalam sistim
Universitas Sumatera Utara
ekologi serta terbuka terhadap zat beracun serta polutan berbahaya, merupakan elemen penting dalam membentuk kerentanan lingkungan. Dengan meningkatnya kerentanan lingkungan seperti berkurangnya biodiversity, penurunan mutu tanah atau kelangkaan air bersih akan dengan mudahnya mengancam jaminan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi masyarakat yang bergantung pada produksi lahan, hutan serta lingkungan laut untuk mata pencahariannya.
2.3. Karakteristik Kota yang Rawan Bencana Gempa 2.3.1 Pengertian dan jenis-jenis bencana Bencana dapat diartikan sebagai suatu kejadian yang tiba-tiba atau musibah besar yang mengganggu susunan dasar dan fungsi normal dari suatu masyarakat atau komunitas. Bencana juga dapat dimaknai sebagai suatu kejadian atau serangkaian kejadian yang memberi, meningkatkan jumlah korban atau kerusakan atau kerugian harta benda, infrastruktur, pelayanan-pelayanan yang penting atau sarana kehidupan pada satu skala yang berada di luar kapasitas normal dari komunitas-komunitas (Coburn et.al, 1994). Secara sporadis bencana muncul masih dalam koridor penjelasan ilmiah namun prediksi bencana merupakan satu misteri ilmiah. Bencana datangnya tidak terduga, sehingga yang paling diutamakan adalah proses minimalisasi bencana dan bagaimana cara menanggulangi sehingga bisa dilakukan tindakan preventif. Bencana alam, dilihat dari penyebabnya dapat dibedakan atas sedikitnya tiga jenis yaitu: (1) bencana geologis, (2) klimatologis dan (3) ekstra-terestrial. Bencana alam geologis merupakan bencana alam yang disebabkan oleh gaya-gaya yang berasal dari dalam bumi meliputi
Universitas Sumatera Utara
gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi. Bencana alam klimatologis adalah bencana yang ditimbulkan oleh cuaca yang sudah dapat diprediksi kedatangannya, arah, dan lokasi yang akan dilanda bencana. Bencana alam ekstra-terestrial adalah bencana yang terjadi akibat hantaman meteor atau benda dari angkasa luar yang kedatangannya tidak dapat diprediksi (Brahmantyo dan Puradimaja, 2005). Pengertian gempa bumi menurut Boen dalam Sudibyakto (2000) adalah suatu gejala fisik yang ditandai dengan bergetarnya bumi dengan berbagai intensitas, getaran-getaran tersebut terjadi karena terlepasnya suatu energi secara tiba-tiba. Namun gejala-gejala geologis tersebut juga dapat berakibat terjadinya bencana geologis lainnya selain gempa bumi seperti gunung meletus, tanah longsor, banjir dan juga tsunami. Gempa bumi bisa disebabkan oleh berbagai sumber, antara lain: (1) letusan gunung berapi (erupsi vukalnik), (2) tubrukan meteor, (3) ledakan bawah tanah (seperti uji nuklir), dan (4) pergerakan kulit Bumi (Rusydi, 2004). Di bawah lempengan bumi ada magma yang bergerak. Gerakan ini menghasilkan gaya yang dirasakan oleh lempengan terutama pada daerah sambungan antar lempeng. Gerakan ini membuat tanah di atasnya dan juga magma di bawahnya bergetar. Getaran ini akan diteruskan sampai ke permukaan tanah yang disebut gempa bumi (Rusydi, 2004). Bencana alam gempa bumi sampai sekarang belum bisa diprediksikan secara akurat karena pengetahuan kita pada how the earthquake happens hanya sanggup memprediksi gempa dengan orde presisi ratusan atau bahkan ribuan tahun.
Universitas Sumatera Utara
Bencana yang mungkin terjadi setelah gempa bumi adalah tanah longsor, banjir dan kebakaran. (Eisner and Gallion, 1994). 2.3.1. Kondisi geoteknik dan geologis kota rawan bencana gempa Kondisi fisik kota yang rawan bencana gempa disebabkan oleh keadaan geoteknik dan geologis kota tersebut yang dilalui oleh jalur patahan. Wilayah Indonesia dipengaruhi oleh zona pertemuan empat lempeng besar dunia yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, Pasifik dan Philipina. Pengaruh dari pertemuan lempeng dunia ini kepada kondisi seismik tektonik kawasan Indonesia menjadikan wilayah Indonesia memiliki kerawanan yang tinggi (Wardani, et.al, 2005). Sesungguhnya kemungkinan terjadinya gempa bumi dapat diprediksikan walaupun tempat dan waktu kejadian belum bisa dipastikan, dengan mengetahui sejarah kegempaan yang terjadi di suatu wilayah dapat diprediksikan masa pengulangan gempa selanjutnya. Masa pengulangan terjadinya gempa-gempa besar dari beberapa penelitian memperlihatkan kurun waktu ratusan tahun pada lokasi yang sama (Canahar, et.al, 2005). Dengan mengetahui sejarah kegempaan yang ada, daerah yang dulunya pernah mengalami gempa dapat mempersiapkan daerahnya untuk menghadapi gempa yang dapat datang kapan saja.
2.4. Konsep Kota yang Adaptif dan Berbasis Mitigasi Bencana Konsep dasar penataan ruang adalah untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan aman dari bencana, untuk itu di setiap wilayah rawan bencana perlu dilengkapi: fasilitas perlindungan baik berupa bentuk alami maupun bangunan, jalur
Universitas Sumatera Utara
penyelamatan menuju ketempat yang lebih aman dan tempat aman untuk penyelamatan dapat berupa bangunan, alami dan lain-lain (Djauhari Noor, 2007). Hancur dan terkoyaknya fisik kota akibat bencana alam seperti gempa bumi, banjir dan lain-lain yang membawa kesengsaraan penghuni kota tidak dapat begitu saja kita menyalahkan fenomena alam tersebut. Namun yang perlu kita salahkan adalah diri kita sendiri yang mengembangkan atau membuat fisik kota menjadi tidak adaptif terhadap bencana alam seperti disebutkan di atas. Pengembangan kota sebaiknya tidak hanya dikembangkan berdasarkan aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural saja, namun sebaiknya kota juga dikembangkan berdasarkan aspek kebijakan teknis sebagai berikut: 1. Struktur bangunan dan sistem infrastruktur di perkotaan sebaiknya dikembangkan dengan sistem tahan terhadap gaya lateral atau gempa bumi. 2. Penyediaan ruang-ruang terbuka dan jauh dari kemungkinan runtuhnya bangunan yang lebih banyak sebagai tempat berlindung dan tempat penyelamatan ketika terjadi gempa bumi. 3. Vegetasi sebagai tata hijau kota sebaiknya dipilih model tanaman keras yang tidak mudah tumbang. 4. Air hujan harus diberikan ruang yang cukup agar dapat menyerap dalam tanah sehingga menjadi cadangan air tanah dan selebinya dibuang dengan saluran bebas sampah dengan dimensi yang cukup agar tidak menimbulkan banjir.
Universitas Sumatera Utara
Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa resiko bencana selain terkait dengan fenomena alam yang bersifat given juga sangat berhubungan dengan proses pembangunan yang dilakukan oleh manusia. Disatu sisi keberadaan ancaman bencana alam menempatkan pembangunan menjadi beresiko, tetapi di sisi lain, pembangunan yang dilakukan oleh manusia dapat menimbulkan atau membangkitkan resiko bencana, tetapi sebaliknya ada juga pembangunan yang dilakukan oleh manusia yang dilakukan sesuai dengan karakter suatu kawasan dapat mengurangi resiko bencana. Berdasarkan pemikiran tersebut maka perencanaan pembangunan sebaiknya dilakukan untuk menghindari dan mengurangi ancaman bencana yang ada. Banyak kasus khususnya di Indonesia, dimana pembangunan wilayah tanpa melalui perencanaan yang baik dan menyeluruh dapat menimbulkan/memacu tingginya tingkat resiko bencana, khususnya untuk ancaman bencana geologi dikawasan daerah patahan. Pembangunan di kawasan patahan yang tidak terencana dengan baik dan khas sebagai satu kawasan yang unik dapat meningkatkan tingkat kerentanan kawasan tersebut, dimana dengan semakin berkembangnya kawasan tersebut otomatis dibarengi oleh proses urbanisasi dan konversi lahan yang tidak terkendali secara keseluruhan, sangat mengundang resiko bencana untuk kawasan tersebut. Kebijaksanaan Mitigasi perkotaan merupakan suatu kerangka konseptual yang disusun untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana terutama di daerah perkotaan. Mitigasi bencana meliputi pengenalan dan adaptasi terhadap bahaya alam buatan manusia, serta kegiatan berkelanjutan untuk mengurangi atau
Universitas Sumatera Utara
menghilangkan resiko panjang, baik terhadap kehidupan manusia maupun harta benda. Tujuan utama dari penyusunan kebijaksanaan mitigasi bencana perkotaan adalah mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi penduduk perkotaan, seperti korban jiwa, kerugian ekonomi dan kerusakan sumber daya alam, sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan perkotaan, meningkatkan
pengetahuan
masyarakat
perkotaan
dalam
menghadapi
serta
mengurangi dampak/resiko bencana, sehingga masyarakat dapat hidup bekerja dengan aman. 2.5. Sistem Kota 2.5.1 Aksesibilitas dan mobilitas Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan mudah atau susahnya lokasi tersebut dicapai melalui suatu sistem jaringan (Tamin, 1997). Faktor yang menyatakan tingkat aksesibilitas adalah waktu tempuh, meskipun ada juga yang menyatakan dengan faktor jarak. Suatu tempat yang berjarak jauh belum tentu dapat dikatakan mempunyai aksesibilitas rendah atau sebaliknya, karena terdapat faktor lain dalam menentukan aksesibilitas yaitu waktu tempuh. Dari sisi jaringan transportasi, kualitas pelayanan transportasi pasti berbeda-beda baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Terkait dengan jalur evakuasi, tidak ada ketentuan yang baku tentang ukuran jalur evakuasi namun secara umum yang harus diperhatikan adalah apakah jalur
Universitas Sumatera Utara
tersebut dapat dilalui dengan baik dan cepat, untuk jalur evakuasi di luar bangunan hendaknya bisa memuat dua kendaraan jika saling berpapasan tidak menghalangi proses evakuasi. Kemudian ada tempat pengungsian sementara yang merupakan tempat aman dan tempat pengungsian akhir. Yang menjadi perhatian tentang jalur evakuasi adalah jalur evakuasi cukup lebar bisa dilewati 2 kendaraan atau lebih, harus menjauh dari sumber ancaman dan efek dari ancaman, harus baik dan mudah di lalui, harus disepakati bersama oleh masyarakat, aman dan teratur. 2.5.2
Pola permukiman dan alokasi lahan Pertumbuhan kota, selain memberikan dampak positif bagi kesejahteraan
masyarakat juga dapat menyebabkan bencana karena mendorong lebih banyak orang yang tinggal di wilayah yang berbahaya dan rentan bencana. Pendatang dan penduduk kumuh rentan terutama karena mereka sering bertempat tinggal ditempat yang berbahaya seperti di kanal atau pinggiran saluran dan sering tidak memiliki pelayanan dasar yang memadai (Inoghuci, 2003). Sebagaimana kota di Indonesia, pola permukiman penduduk cenderung berada di sepanjang pinggir jalan dan di sepanjang bantaran sungai dan umumnya membentuk kelompok-kelompok bangunan hunian maupun tempat usaha yang cenderung tidak teratur. Hal ini tidak terlepas dari kehidupan sosial budaya penduduk. Munculnya pola pemukiman yang mengabaikan bahaya dan berada di kawasan rawan bencana, dan juga berada pada daerah dataran rendah yang terlalu dekat dengan kemiringan lereng yang curam karena pada kawasan tertentu gempa
Universitas Sumatera Utara
bumi yang terjadi dapat disertai dengan longsor atau banjir, memberikan resiko yang besar ketika terjadi bencana (Eisner and Gallion,1994). Budaya masyarakat Indonesia khususnya kaum petani yang menetap di wilayah rawan bencana tentunya memerlukan pemahaman sosial dan antropologi budaya lokal agar strategi penempatan pemukiman mereka di daerah bebas ancaman gempa berhasil dengan efektif. Secara teoritis luasan kawasan penggunaan lahan telah terpolakan dalam’’teori tata guna lahan perkotaan’’. Teori ini mencakup atas penggunaan lahan bagi perumahan, industri, perbelanjaan/niaga dan sebagainya. Pola tata guna lahan ini dikemukaan oleh B.W. Burgess dengan teori ’’pola konsentrik/terpusat (consentric zone theory)”, Hummer Hoyt dengan ’’teori sektor (sector theory)’’ dan R.D. Mc Kenzic dengan teori ’’pusat lipat ganda (multiple nuclei theory). Mereka membuat suatu pola penggunaan lahan di perkotaan. Teori-teori tersebut digambarkan seperti pada gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.3 Pola Tata Guna Lahan Sumber: Kivell, Philip, 1993 Pada gambar 2.3 dapat dijelaskan pola jalur terpusat (consentrdic zone) oleh Burgess menjelaskan bahwa penggunaan lahan di perkotaan mempunyai atau pola
Universitas Sumatera Utara
bahwa pusat kota merupakan sumbu yang dikelilingi (dilingkari) oleh lahan-lahan yang sesuai dengan penggunaannya. Pola consentric zone dapat diterangkan sebagai berikut: 1.
Pusat Kota Central Business Distric (CBD) terdiri dari bangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar dan pusat perbelanjaan.
2.
Merupakan jalur alih, yang terdapat rumah-rumah sewaan, kawasan industri dan perumahan buruh.
3.
Jalur wisma buruh yang yang terdapat kawasan perumahan untuk tenaga kerja pabrik/industri (lower class residential).
4.
Jalur madya wisma, yang terdapat kawasan perumahan yang luas untuk tenaga kerja (kantoran) dan kaum madya (medium class residenial).
5.
Di luar lingkaran terdapat jalur ’’pendugdag’’ atau ’’penglajon’’ dimana terdapat masyarakat golongan madya dan golongan atas atau (high class residential).
Teori sektor oleh H. Hoyt dapat diterangkan sebagai berikut: 1.
Sektor ini terdapat pusat kota atau CBD.
2.
Kawasan ini terdapat kawasan industri ringan dan kawasan perdagangan.
3.
Sektor ini dekat dengan pusat kota pada bagian sebelah menyebelahnya terdpata kawasan murbawisma yaitu kawasan tempat tinggal kaum murba atau kaum buruh (low income housing).
Universitas Sumatera Utara
4.
Sektor ini agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan. Terdapat sektor madya wisma atau perumahan kaum madya (middle income housing).
5.
Sektor ini terdapat sektor adiwisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas (high income housing).
Teori pusat lipat ganda atau Multiple Nuclei merupakan teori R.D. Mc kenzic dengan keterangan sebagai berikut: 1.
Pusat kota atau CBD.
2.
Kawasan niaga dan industri ringan.
3.
Kawasan murbawisma, tempat tinggal kualitas rendah.
4.
Kawasan madyawisma, tempat tinggal berkualitas menengah.
5.
Kawasan adiwisma, tempat tinggal berkualitas tinggi.
6.
Kawasan industri berat.
7.
Pusat niaga, perbelanjaan lain di pinggiran.
8.
Upakota (sub urban), untuk kawasan madyawisma dan adiwima.
9.
Upakota (sub urban) kawasan industri.
2.5.3 Jaringan lalan dan struktur ruang kota Pada kota yang memiliki pola jaringan jalan berbentuk grid, untuk kawasan yang memiliki kepadatan tinggi tingkat kemudahan dalam mitigasi sangat sulit hal ini disebabkan pada setiap siku jalan (persimpangan) menjadi titik-titik kemacetan karena penuhnya kendaraan dari setiap blok-blok bangunan yang akan melalui siku jalan dan memperlambat laju kendaraan disana seperti yang terlihat pada gambar 2.4.
Universitas Sumatera Utara
Demikian juga sebaliknya untuk kawasan yang berkepadatan rendah tingkah mitigasinya lebih mudah karena kepadatan lalulintas relatif lebih kecil. Kemudahan dalam proses mitigasi turut menentukan tingkat resiko dan korban yang ditimbulkan ketika suatu daerah dilanda bencana. Jaringan-jaringan yang saling menghubungkan dan memberikan lebih dari satu jalur menuju tempat evakuasi (Coburn, et.al, 1994).
Gambar 2.4 Tingkatan Kesulitan Proses Evakuasi Sumber: Shuici, 2005 Jalur-jalur jalan untuk mitigasi perlu disesuaikan dengan struktur bangunan yang ada sehingga masyarakat dapat mengamankan diri menuju tempat tempat penyelamatan sementara atau permanen dengan cepat (Darwanto, 2005). Pelebaran jalan-jalan di daerah perkotaan yang memiliki kepadatan tinggi untuk memudahkan proses evakuasi (Coburn, et.al, 1994). Selain pelebaran jalan maka perlu adanya jalan-jalan baru dari daerah perkotaan yang memiliki kepadatan tinggi menuju tempat-tempat yang aman. Jalan tersebut merupakan jalan koridor dari pusat kota yang dapat mengurangi titik-titik kemacetan di persimpangan jalan akibat pola jaringan jalan yang berbentuk grid dan kelebihan kapasitas jalan.
Jaringan jalan
pada kota yang rawan bencana gempa sebaiknya direncanakan sebagai satu kesatuan dengan rencana umum tata ruang kota. Rencana tata ruang tersebut mengarah pada
Universitas Sumatera Utara
kelancaran evakuasi serentak dan besar-besaran dengan pola jaringan radial yang lebar dan dilengkapi jalan lingkar yang berlapis-lapis. Kota yang rawan bencana harus ditata ulang dengan jaringan jalan yang mengarah ke upaya mitigasi massal yaitu pola menyebar ke arah daerah yang ditetapkan sebagai area evakuasi dengan jalan raya radial yang dilengkapi dengan jalan lingkar (ring road) secukupnya (Soehartono, 2005). Pengertian jalan sesuai dengan Undang-Undang No. 38 tahun 2004 tentang Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun yang meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalulintas. Pola jaringan jalan merupakan salah satu unsur terpenting dari morfologi kota. Beberapa pola jaringan jalan menurut Northam (dalam Yunus, 2004) adalah sebagai berikut: 1. Sistem pola jalan tidak teratur, pada sistem ini terlihat adanya ketidak teraturan sistem jalan baik ditinjau dari segi lebar maupun arah jalan. Ketidakteraturan ini terlihat pada polajalan yang melingkar-lingkar, lebarnya bervariasi dengan cabang-cabang yang banyak. Ketidakteraturan ini tercipta karena keadaan topografi kota yang mengharuskan demikian. Bagi kota yang tidak mempunyai kendala medan, ketidakteraturan tersebut menunjukkan tidak adanya perencanaan untuk menertibkan unsur-unsur morfologi kotanya dan ini biasanya terjadi pada kota yang baru tumbuh. Sistem pola jalan tidak teratur seperti ditunjukkan pada gambar 2.5.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5 Kota-kota dengan Pola Jalan Tidak Teratur Sumber: Yunus, 2004 2. Sistem pola jalan radial konsentris, dalam sistem ini ada beberapa sifat khusus yaitu mempunyai pola jalan konsentris dan radial, bagian pusatnya merupakan daerah kegiatan utama sekaligus tempat pertahanan terakhir dari suatu kekuasaan, punya keteraturan geometris, serta jalan besar menjari dari titik pusat dan membentuk “asterisk shaped pattern”. Gambar 2.6 merupakan salah satu contoh ideal dari bentuk sistem pola jalan radial konsentris.
Gambar 2.6 Asterisk Shaped Pattern - Palma Nouva, 1593 Sumber: Yunus, 2004 3. Sistem pola jalan bersudut siku atau grid, pada kota dengan sistem pola jalan bersudut siku atau, bagian-bagian kotanya dibagi sedemikian rupa menjadi blok-blok empat persegi panjang dengan jalan-jalan yang pararel
Universitas Sumatera Utara
longitudinal dan transversal membentuk sudut siku-siku. Jalan-jalan utama membentang dari pintu gerbang utama kota sampai pada bagian pusat kota. Sistem ini merupakan pola yang cocok untuk pembagian lahan dan pengembangan kota akan tampak teratur dengan mengikuti pola yang telah terbentuk. Gambar 2.7 berikut adalah contoh sistem pola jalan bersudut siku atau grid.
Gambar 2.7 Kota-kota dengan Sistem Pola Jalan Bersudut Siku Atau Grid Sumber: Yunus, 2004
2.5.4
Prinsip penataan sirkulasi dan jalan penghubung Prinsip penataan sirkulasi dan jalan penghubung mengacu kepada Peraturan
Menteri No. 06/PRT/M/2006 dan Peraturan Menteri No. 30/PRT/M/2006. Dimana prinsip-prinsip penataan tersebut meliputi:
Universitas Sumatera Utara
1. Kejelasan sistem sirkulasi terkait dengan jaringan evakuasi 2. Mobilitas publik menyangkut: a. Peningkatan kaitan antar sistem pada kawasan perencanaan dengan sistem sirkulasi kawasan sekitar. b. Penciptaan sistem sirkulasi yang mudah diakses sebesar-besarnya oleh publik termasuk penyandang cacat dan lanjut usia (difabel) sehingga memperkaya karakter dan integritas sosial para pemakainya. 2.5.5
Keandalan bangunan rumah tinggal dan lingkungan terhadap bencana Persyaratan keandalan bangunan rumah tinggal dan lingkungan di daerah
rawan benanca gempa meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kemudahan dan kenyamanan. Berikut ini adalah beberapa persyaratan bangunan rumah tinggal dan lingkungan di daerah rawan gempa: 1. Tata letak Tata letak bangunan rumah tinggal dan lingkungan di daerah rawan gempa: a. Struktur bangunan rumah tinggal harus mampu memikul semua beban dan atau pengaruh yang mungkin bekerja selama kurun waktu umur layan bangunan, termasuk pembebanan yang kritis seperti beban gempa dan beban-beban lain.
Universitas Sumatera Utara
b. Tata letak bangunan rumah tinggal untuk daerah rawan bencanan gempa harus diusahakan sederhana, simetris, seragam dan satu kesatuan seperti ditunjukkan pada gambar 2.8.
Gambar 2.8 Tata Letak Bangunan Rumah Tinggal yang Simetris Sumber: Permen PU No. 29/PRT/M/2006 c. Jumlah lantai maksimum 1 lantai, didirikan di atas tanah yang stabil serta denah bangunan simetris dengan dinding penyekat merupakan kotak-kotak tertutup. d. Deretan bangunan dalam satu blok tidak boleh bergandengan hingga lebih dari 60m, setiap 60m panjang blok bangunan harus dipisahkan dengan jalan darurat sebagai akses penyelamatan seperti terlihat pada gambar 2.9. 60 M
J
A
L
A
N
Gambar 2.9 Batas Panjang Blok Bangunan Rumah Sumber: Permen PU No. 29/PRT/M/2006 2. Bangunan dan Jalur Penyelamatan Akibat kejadian gempa dapat menyebabkan kebakaran pada bangunan, oleh karena
itu
lingkungan
permukiman
harus
memperhitungkan
aspek
Universitas Sumatera Utara
penyelamatan,
baik
berupa
bangunan
penyelamatan
maupun
jalur
penyelamatan. Untuk bencana gempa bumi, bangunan penyelamatan dapat memanfaatkan bangunan ibadah, sekolah, balai pertemuan, perkantoran dan bangunan lainnya apabila memiliki konstruksi yang kokoh dapat dicapai dalam waktu 15 menit dan mempunyai radius pelayanan maksimum 2 km dan dapat menampung orang banyak. Dalam konteks bangunan penyelamatan dari bencana gempa dikenal 4 jenis shelter di Jepang yang dikelompokkan ke dalam 2 bagian yakni: pertama temporary shelter, suatu tempat terbuka untuk penampungan sementara, kedua accommodation shelter, suatu tempat tertutup yang mencakup akomodasi untuk penampungan yang lebih lama, (Misumi. J, 1998). Berdasarkan tipologi kawasan yang merupakan daerah rawan bencana khususnya bencana gempa bumi, penyediaan RTH di lingkungan permukiman sangat diperlukan sebagai lokasi evakuasi (Permen PU No. 05/PRT/M/2008). Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk ditunjukkan pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk No.
Unit Lingkungan
Tipe RTH
1
250 jiwa
Taman RT
Luas minimal Unit (m2) 250
2
2.500 iwa
Taman RW
3
30.000 jiwa
4
120.00 jiwa
Luas minimal Kapita (m2)
Lokasi
1,0
di tengah lingkungan RT
1.250
0,5
di pusat kegiatan RW
Taman Kelurahan
9.000
0,3
dikelompokkan dengan sekolah/pusat kelurahan
Taman Kecamatan
24.000
0,2
dikelompokkan dengan sekolah/pusat kecamatan
Sumber: Permen PU No. 05/PRT/M/2008
Universitas Sumatera Utara
Baik RTH publik maupun privat memiliki beberapa fungsi utama seperti fungsi ekologis serta fungsi tambahan, yaitu sosial budaya, ekonomi, estetika/arsitektural. Khusus untuk RTH dengan fungsi sosial seperti tempat istirahat, sarana olahraga dan atau area bermain maupun evakuasi, maka RTH ini harus memiliki aksesibilitas yang baik untuk semua orang, termasuk aksesibilitas bagi penyandang cacat. Berdasarkan tipologi kawasan, arahan fungsi RTH untuk berbagai kawasan tipologi perkotaan dijelaskan seperti pada tabel 2.2 berikut. Tabel 2.2 Fungsi dan Penerapan RTH pada Beberapa Tipologi Kawasan Perkotaan Tipologi Kawasan Perkotaan
Karakteristik RTH Fungsi Utama
Rawan Bencana
Pengamanan wilayah pantai Sosial budaya Mitigasi bencana Konservasi tanah Konservasi air Keanekaragaman hayati Mitigasi/evakuasi bencana
Berpenduduk jarang s.d. sedang
Dasar perencanaan kawasan Sosial
Pantai Pegunungan
Ekologis Sosial Hidrologis Sumber: Permen PU No. 05/PRT/M/2008 Berpenduduk padat
Penerapan Kebutuhan RTH Berdasarkan luas wilayah Berdasarkan fungsi tertentu Berdasarkan luas wilayah Berdasarkan fungsi tertentu Berdasarkan fungsi tertentu Berdasarkan fungsi tertentu Berdasarkan jumlah penduduk Berdasarkan fungsi tertentu Berdasarkan jumlah penduduk
Aksesibilitas ke lokasi RTH sangat penting, karena akan berfungsi sebagai jalur penyelamatan. Untuk konteks jalur penyelamatan, jalur penyelamatan merupakan jalur terpendek keluar lingkungan ke arah jalan lokal dan kolektor maupun ke lokasi RTH, dengan lebar minimal 6 meter. Pada jalur penyelamatan harus dilengkapi dengan rambu-rambup penandaan dan arah penyelamatan, yang mudah terlihat, kuat dan terpelihara.
Universitas Sumatera Utara
Untuk antisipasi bencana kebakaran, dalam lingkungan perumahan harus disediakan jalur evakuasi berupa jalan lingkungan dengan lebar perkerasan jalan minimal 4 meter tanpa hambatan. Akses jalan lingkungan minimal masuk 45 meter ke dalam lingkungan dari jalan masuk utama, harus mudah diakses oleh kendaraan pemadam kebakaran dan sirkulasi petugas pemadam kebakaran. Konsep Taman Rumah Tangga (RT) yang difungsikan sebagai lokasi pengungsian dalam konteks pengungsian sementara dapat menerapkan konsep seperti pada gambar 2.10. Evacuation route
Poskamling, Poskes Pohon Pelindung 12.5m
Pedestrian
20 m R. Genset & MCK
Menara
Gambar 2.10 Konsep Taman RT untuk lokasi evakuasi Sumber: Permen PU No. 29/PRT/M/2006 Fasilitas yang harus dilengkapi untuk Taman RT yang difungsikan sebagai lokasi pengungsian dalam konteks temporary shelter dapat berupa poskamling, pos kesehatan (P3K), gudang penyimpanan tenda-tenda, sumber energi, MCK dan
Universitas Sumatera Utara
sumber air bersih, menara yang diletakkan ditengah lapangan dilengkapi sirene, peralatan telekomunikasi. Konsep ini sesuai dengan Peraturan Menteri PU No. 05/PRT/M/2008 tentang penyediaan dan pemanfaatan RTH di perkotaan berdasarkan tipologi perkotaan, dimana untuk tipologi kawasan rawan bencana maka fungsi utama RTH adalah sebagai sarana mitigasi atau lokasi evakuasi serta. Alasan lainnya mengapa konsep ini lebih tepat adalah terkait dengan kebiasaan manusia yang tidak mau berjalan atau menjangkau suatu lokasi jika lebih dari 400m dan dapat dicapai kurang dari 15 menit. Taman Rukun Tetangga (RT) adalah taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam lingkup satu RT, khususnya untuk keperluan mitigasi bencana yakni sebagai lokasi evakuasi (evacuation area) sesuai dengan tipologi kawasan perkotaan yang rawan bencana, selain fungsi tersebut juga untuk sarana kegiatan sosial di lingkungan RT tersebut. Luas taman ini adalah minimal 1 m2 per penduduk RT, dengan luas minimal 250 m2. Lokasi taman berada pada radius kurang dari 300 meter dari rumah-rumah penduduk yang dilayani. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 70%-80% dari luas taman. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman, juga terdapat minimal tiga pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang (Permen PU No. 05/PRT/M/2008). Selain bangunan penyelamatan yang dapat memanfaatkan untuk kebutuhan pengungsian yang lebih lama (accommodation shelter) berupa bangunan ibadah, sekolah, balai pertemuan, perkantoran dan fasilitas publik lainnya, konsep Taman Evakuasi Bencana dapat diterapkan.
Universitas Sumatera Utara
Konsep ini dilatarbelakangi pengembangan konsep taman bale kambang yang sudah lama dikenal masyarakat tradisional Jawa dan Bali. Konsep ini dikembangkan sesuai kebutuhan antisipasi bencana karena memiliki kelenturan dan kemudahan modifikasi sesuai kondisi dan bentuk lahan di setiap lokasi. Taman memiliki dua bentuk dasar taman dan bale kambang (mengambang/melayang/menggantung). Bale merupakan bentuk tradisional yang biasa digunakan untuk tempat berkumpul, bersantai, atau bersosialisasi di teras rumah. Rancangan taman memiliki nilai artistik, prinsip optimalisasi lahan, multifungsi, menciptakan keteduhan lingkungan, ruang gerak, dan berinteraksi sosial budaya. Pengembangan taman evakuasi bencana mensyaratkan fungsi ekologis, ekonomis, edukatif, evakuasi (ruang penyelamatan bencana banjir, kebakaran, gempa bumi), konservasi energi (suplai energi surya, biogas), dan estetis. Lantai dasar taman dibangun sumur resapan air tersusun dari koral, pasir, pecahan batu bata, ijuk, dan batu belah, seluas 75% dari luas taman. Sisanya 25% berupa tandon air untuk cadangan air bersih pada musim kemarau dan kebakaran. Untuk membangun satu unit Taman Evakuasi Bencana pemerintah cukup membebaskan lahan seluas 500 meter persegi seperti yang terlihat pada gambar 2.11.
Gambar 2.11 Accommodation shelter dengan konsep Taman Evakuasi Bencana Sumber: http://www.itchcreature.com
Universitas Sumatera Utara
Dengan standar kebutuhan ruang setiap orang 1m2 maka untuk ruang evakuasi setiap lantai dapat menampung pengungsi 300-400 orang per lantai atau total 600-800 orang dengan syarat pengungsi tidak membawa banyak barang. Pada lantai satu seluas 400m2, lantai dapat digunakan sebagai ruang evakuasi bencana dan di saat normal dapat difungsikan untuk kegiatan sosial, kegiatan ibadah, balai warga RT/RW, perkawinan, atau pentas seni. Lantai ini dilengkapi fasilitas dapur umum dan toilet bersama. Pada lantai teratas berupa atap rumput seluas 250m2. Fasilitas dapur umum dan toilet bersama dilengkapi panel sel surya untuk menyuplai kebutuhan energi listrik taman dan dapat ditingkatkan kapasitasnya untuk rumah tangga, sangat bermanfaat pada saat bencana terjadi ketika aliran listrik mati total. Sebagian permukaan dinding bangunan taman dapat dipakai untuk layar pemutaran film cerita atau film penyuluhan warga.
2.6
Mitigasi Bencana Mitigasi bencana adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada
tindakan untuk mengurangi dampak dari suatu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Dalam UU No. 24 Tahun 2007, usaha mitigasi dapat berupa prabencana, saat bencana dan pasca bencana. Prabencana berupa kesiapsiagaan atau upaya memberikan pemahaman pada penduduk untuk mengantisipasi bencana, melalui pemberian informasi, peningkatan kesiagaan kalau terjadi bencana ada langkah-langkah untuk memperkecil resiko bencana.
Universitas Sumatera Utara
Penanganan bencana harus dengan strategi proaktif, tidak semata-mata bertindak pascabencana, tetapi melakukan berbagai kegiatan persiapan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana. Berbagai tindakan yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi datangnya bencana dengan membentuk sistem peringatan dini, identifikasi kebutuhan dan sumber-sumber yang tersedia, penyiapan anggaran dan alternatif tindakan, sampai koordinasi dengan pihak-pihak yang memantau perubahan alam. Dalam mitigasi dilakukan upaya-upaya untuk meminimalkan dampak dari bencana yang akan terjadi yaitu program untuk mengurangi pengaruh suatu bencana terhadap masyarakat atau komunitas dilakukan melalui perencanaan tata ruang, pengaturan tata guna lahan, penyusunan peta kerentanan bencana, penyusunan data base, pemantauan dan pengembangan. Gambar 2.12 menunjukkan skema mitigasi bencana versi RedR Australia.
Gambar 2.12 Skema mitigasi bencana DRM Cycle-versi RedR Australia Sumber: LIPI-UNESCO/ISDR-2006 Mitigasi
bencana
merupakan
kegiatan
yang
amat
penting
dalam
penanggulangan bencana karena kegiatan ini merupakan kegiatan sebelum terjadinya
Universitas Sumatera Utara
bencana yang dimaksudkan untuk mengantisipasi agar korban jiwa dan kerugian materi yang ditimbulkan dapat dikurangi. Masyarakat yang berada di daerah rawan bencana maupun yang berada di luar sangat besar perannya, sehingga perlu ditingkatkan kesadarannya, kepeduliannya dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan hidup serta kedisiplinan terhadap peraturan dan norma-norma yang ada. Istilah program mitigasi bencana mengacu kepada dua tahap perencanaan yaitu: Pertama, perencanaan sebelum kejadian untuk manajemen bencana, mencakup aktivitas-aktivitas mitigasi dan perencanaan bencana; Kedua, perencanaan serta tindakan sesudah kejadian, meliputi peningkatan standar teknis dan bantuan medis serta bantuan keuangan bagi korban (Inoghuci et.al, 2003). Dalam mitigasi bencana dilakukan tindakan-tindakan antisipatif untuk meminimalkan dampak dari bencana yang terjadi dilakukan melalui perencanaan tata ruang, pengaturan tata guna lahan, penyusunan peta kerentanan bencana, penyusunan data, pemantauan dan pengembangan. Di negara-negara maju, kesalahan dalam pembangunan diimbangi melalui perencanaan yang matang (Inoghuci et.al, 2003). Informasi tempat pengungsian saat terjadi bencana alam sangat penting sebab penduduk yang menyelamatkan diri saat terjadinya bencana seharusnya tahu kemana mereka harus menyelamatkan diri. Keberadaan rambu-rambu petunjuk arah penyelamatan seperti yang dilakukan di Jepang mutlak diperlukan agar masyarakat tahu jalur yang akan dilaluinya untuk menyelamatkan diri sebelum terjadi bencana. Dengan demikian akan berkurang kepanikan masyarakat pada saat bencana akan terjadi sehingga masyarakat bisa dengan lebih tenang dalam melakukan upaya mitigasi bencana.
Universitas Sumatera Utara
Penerapan informasi yang efektif dan program-program pendidikan, masyarakat dapat menggunakan brosur, instruksi satu lembar, uji coba sistem peringatan secara berkala, informasi media cetak dan elektronik dan lain-lain. Beberapa informasi ini ditujukan bagi institusi-institusi seperti sekolah-sekolah, rumah sakit, fasilitas perawatan-pemulihan, dan komunitas yang tidak bisa berbahasa setempat (para wisatawan). Upaya-upaya informasi dan pendidikan ini penting diadakan secara rutin dan komprehensif. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah kota ditujukan untuk mengurangi kerugian dan kerusakan akibat bencana yang sewaktu-waktu dapat melanda kota. Pemerintah pada daerah yang rawan bencana gempa intensif melakukan simulasi upaya evakuasi dan penyelamatan terhadap bencana. Demikian juga media membantu dengan menayangkan program yang memberi informasi upaya penyelamatan terhadap bencana gempa. Dalam hal bencana yang disebabkan oleh gempa bumi di daerah perkotaan, berdasarkan fakta dan hasil penelitian beberapa pakar, menunjukkan bahwa sebagian besar korban terjadi akibat keruntuhan dan kerusakan bangunan, seperti jatuhnya atap, runtuhnya kolom, hancurnya dinding, dll. Hal ini menunjukkan bahwa upaya mitigasi bencana gempa bumi melalui pengembangan disain rumah tahan gempa sampai saat ini belum sepenuhnya berhasil. Hal lain juga yang menyebabkan korban akibat bencana gempa sangat besar adalah tidak adanya lokasi evakuasi yang mampu memberikan perlindungan bagi
Universitas Sumatera Utara
warga ketika bencana terjadi yaitu berupa bangunan penyelamatan yang telah dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan dalam keadaan darurat. Mitigasi harus memperhatikan semua tindakan yang diambil untuk mengurangi pengaruh dari bencana dan kondisi yang peka dalam rangka untuk mengurangi bencana yang lebih besar dikemudian hari. Karena itu seluruh aktivitas mitigasi difokuskan pada bencana itu sendiri atau bagian/elemen dari ancaman. Beberapa hal untuk rencana mitigasi pada masa depan dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Perencanaan lokasi dan pengaturan penempatan penduduk. 2. Memperkuat bangunan dan infrastruktur serta memperbaiki peraturan (code) disain yang sesuai. 3. Melakukan usaha preventif dengan merealokasi aktiftas yang tinggi kedaerah yang lebih aman dengan mengembangkan mikrozonasi. 4. Mensosialisasikan dan melakukan training yang intensif bagi penduduk didaerah area yang rawan gempa. 5. Membuat sistem peringatan dini di daerah perkotaan yang rawan gempa.
2.6.1
Kesiapsiagaan Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi melalui pengorganisasian yang
tepat dan berdaya guna. Menurut Randolph Kent (1994) kesiapan bencana mencakup peramalan dan pengambilan keputusan tindakan-tindakan pencegahan sebelum munculnya ancaman, didalamnya meliputi pengetahuan tentang gejala munculnya
Universitas Sumatera Utara
bencana, gejala awal bencana, pengembangan dan pengujian secara teratur terhadap sistem peringatan dini, rencana evakuasi atau tindakan lain yang harus diambil selama periode waspada untuk meminimalisir kematian dan kerusakan fisik yang mungkin terjadi. Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari proses manajemen bencana dan di dalam konsep pengelolaan bencana yang berkembang saat ini, peningkatan kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan pengurangan risiko bencana yang bersifat pro-aktif, sebelum terjadinya suatu bencana. Di dalam proses pengelolaan bencana yang direpresentasikan sebagai model siklus, peningkatan kesiapsiagaan merupakan bagian dari proses pengelolaan risiko bencana, seperti diperlihatkan pada gambar 2.13.
Fase pengurangan resiko sebelum bencana terjadi
BENCANA
Fase pemulihan setelah bencana terjadi
Kesiapsiagaan
Tanggap darurat
Mitigasi
Pemulihan
Pencegahan
Pembangunan
Manajemen Risiko
Manajemen Dampak
Gambar 2.13 Kesiapsiagaan dalam Model Siklus Pengelolaan Bencana Model ini memiliki kelemahan karena seolah-olah komponen-komponen kegiatan pengelolaan bencana tersebut berjalan secara sekuensial (berurutan), padahal sesungguhnya tidak demikian. Gambar 2.14 memperlihatkan peranan peningkatan
Universitas Sumatera Utara
kesiapsiagaan terhadap bencana dalam suatu model pengelolaan bencana yang menerapkan konsep kembang susut (expand–contract), yang merepresentasikan secara lebih baik peranan dari berbagai komponen kegiatan pengelolaan bencana yang berjalan secara paralel. KEJADIAN
PENCEGAHAN
MITIGASI
TANGGAP REHABILITASI
PRA-BENCANA
KEJADIAN
KEDARURATAN
PASCA-
Gambar 2.14 Kesiapsiagaan dalam proses manajemen bencana (Model Expand-Contract) Kegiatan tanggap darurat meliputi langkah-langkah tindakan sesaat sebelum bencana, seperti: peringatan dini (bila memungkinkan) meliputi penyampaian peringatan dan tanggapan terhadap peringatan; tindakan saat kejadian bencana, seperti: melindungi/menyelamatkan diri, melindungi nyawa dan beberapa jenis benda berharga, tindakan evakuasi; dan tindakan yang harus dilakukan segera setelah terjadi bencana, seperti SAR, evakuasi, penyediaan tempat berlindung sementara, perawatan darurat, dapur umum, bantuan darurat, survei untuk mengkaji kerusakan dan kebutuhan-kebutuhan darurat serta perencanaan untuk pemulihan segera terhadap infrastuktur kritis, sarana sosial seperti pendidikan dan ibadah.
Universitas Sumatera Utara
2.6.2
Sistem komunikasi dan peringatan dini Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa bencana alam geologi yang menjadi
ancaman di wilayah Kabupaten Tapanuli Utara yang di dalamnya termasuk Kota Tarutung adalah gempa bumi tektonik. Gempa bumi tektonik sulit diprediksi kepastian waktu dan magnitudonya hanya dapat dipetakan daerah patahan serta prakiraan kemungkinannya yaitu berdasarkan sejarah kegempaan serta karakteristik wilayah kegempaan. Namun seperti dijelaskan para ahli bahwa apabila pernah terjadi kegempaan besar yang merusak di suatu kawasan baik satu kali maupun beberapa kali, maka dapat dipastikan bahwa wilayah tersebut rawan terhadap gempa bumi yang paling tidak berkekuatan sama dengan yang pernah terjadi. Artinya wilayah tersebut harus siap menghadapi kejadian gempa bumi serupa atau lebih besar dimasa yang akan datang, karena setiap kejadian gempa bumi pasti berhubungan dengan adanya patahan aktif pada atau sekitar wilayah tersebut dan proses gempa dengan skala magnitudo tertentu mempunyai siklus atau akan selalu berulang dengan kisaran periode ulang tertentu (Natawidjaja, et. all, 1995). Dalam persitiwa bencana alam gempa bumi dapat menimbulkan bencana ikutan seperti tanah longsor seperti di Garut, tsunami di Aceh dan kebakaran di San Francisco AS. Jadi sistem komunikasi dan peringatan dini bertujuan untuk menilai efektivitas sebuah informasi peramalan potensi bencana dapat dikomunikasikan hingga ke tingkat komunitas yang terancam. Sehingga saat terjadi sebuah bencana komunitas memiliki waktu untuk menyelamatkan aset-aset kehidupannya.
Universitas Sumatera Utara
Tantangan yang seringkali muncul dalam sistem peringatan dini adalah bagaimana menterjemahkan informasi teknis menjadi informasi yang mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat, sehingga masyarakat dapat bertindak pada saat yang tepat. Tantangan tersebut sebenarnya dapat di reduksi melalui keterlibatan komunitas yang terancam dan pihak yang berwenang dalam memberikan informasi tersebut. Untuk itu maka sebuah sistem informasi peringatan dini harus memiliki parameter sebagai berikut: pertama menjangkau sebanyak mungkin anggota masyarakat, kedua segera, ketiga tegas, jelas dan tidak membingungkan dan keempat bersifat resmi atau disepakati oleh semua pihak. Sistem peringatan dini biasanya melalui jalur komunikasi yang menginformasikan ramalan ancaman dari suatu lembaga yang berwenang hingga ke satuan kelompok masyarakat terkecil. Penyampaian informasi peringatan dini harus mempertimbangkan hal-hal: 1. Menginformasikan peringatan secara bertingkat ke masyarakat. Setiap perubahan tingkat peringatan bermakna pada peningkatan kewaspadaan yang harus dilakukan masyarakat. 2. Penyeragaman dan kesepakatan informasi mengenai tanda, simbol dan suara baik dari lembaga yang berwenang maupun dari tim siaga desa sehingga semua pihak dapat mengerti dan memahami informasi peringatan dini yang disamapaikan. 3. Menyepakati atau penunjukan terhadap individu yang berwenang di tingkat dusun, desa atau kota untuk membunyikan tanda peringatan dini apabila terjadi ancaman berpotensi menimbulkan risiko.
Universitas Sumatera Utara
4. Penggunaan alat sistem informasi peringatan dini yang tepat guna. Peralatan informasi peringatan dini yang digunakan tidaklah harus berteknologi tinggi dan mahal, yang penting dapat berfungsi efektif dan cepat dalam memberikan informasinya. Disamping itu pemilihan alat peringatan dini harus mempertimbangkan waktu ancaman berlangsung mulai dari sumber ancaman hingga
sampai di areal pemukiman.
Masyarakat pedesaan pada umumnya memiliki alat-alat tradisional yang berfungsi untuk menyampaikan informasi peringatan. 5. Penempatan alat peringatan dan papan informasi di tempat yang strategis sehingga semua orang bisa mengetahui dan mendengarnya. 6. Saran tindakan yang harus dilakukan oleh masyarakat harus konkret dan spesifik, saran mengenai tindakan yang tidak boleh dilakukan masyarakat sehingga dapat mengurangi risiko. 7. Bahasa penyampaian informasi sesederhana mungkin dan dalam bahasa lokal/setempat agar dapat dimengerti seluruh orang. 8. Melakukan latihan simulasi sistem komunikasi dan peringatan dini yang teratur dalam periode tertentu di kawasan yang rawan bencana. Hal ini bertujuan untuk membentuk kebiasaan dan melatih naluri penduduk untuk selalu siap siaga dalam menghadapi ancaman. Disamping itu sebagai kontrol dan penilaian efektivitas dari sistem komunikasi dan peringatan dini yang dilakukan di sebuah kawasan rawan bencana serta pengecekan
Universitas Sumatera Utara
apakah alat komunikasi dan peringatan dini masih berfungsi dengan baik atau tidak. 2.6.3
Arahan mitigasi bencana perkotaan Kepadatan penduduk yang terpusat di perkotaan, ditambah dengan
pertumbuhan penduduknya yang cukup tinggi (proses intensifikasi) menyebabkan daerah perkotaan tersebut menjadi rawan/rentan terhadap bencana. Permintaan lahan untuk
perumahan
dan
indusri
(proses
ekstensifikasi)
juga
menyebabkan
bertambahnya area yang potensial terhadap bencana. Mengingat bahwa mitigasi ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko akibat bencana terhadap manusia dan harta bendanya, maka prioritas perlu diberikan untuk kawasan-kawasan perkotaan yang secara inherent mengandung potensi resiko yang tinggi jika terjadi bencana sebagai akibat akumulasi dari tingkat kerentanan yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan wilayah lain yang secara umum kurang terbangun, dengan potensi bahaya yang dimilikinya. Secara umum dalam prakteknya mitigasi dapat dikelompokkan ke dalam mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan dengan pembangunan konstruksi fisik, sedangkan mitigasi non struktural antara lain meliputi perencanaan tata guna lahan yang disesuaikan dengan kerentanan wilayahnya dan memberlakukan peraturan pembangunan. Mitigasi bencana meliputi pengenalan dan adaptasi terhadap bahaya alam dan buatan manusia, serta kegiatan berkelanjutan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko panjang, baik terhadap kehidupan manusia maupun harta benda. Salah satu
Universitas Sumatera Utara
arahan kebijakan mitigasi perkotaan adalah menitikberatkan pada sosialisasi bencana, dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat. Kebijakan
ini
dilakukan
dengan
program
peningkatan
pengetahuan
masyarakat melalui penyuluhan, diklat maupun sosialisasi. Kebijakan penting lainnya melakukan evaluasi dan merevisi RTRK untuk kawasan terbangun, penerapan kebijakan ini dilakukan melalui program penambahan Ruang Terbuka yang ada dalam rangka memfasilitasi terbentuknya fungsi-fungsi intergrasi sosial masyarakat sekaligus sebagai tempat evakuasi bila terjadi bencana.
2.7
Pengertian Persepsi Masyarakat Persepsi pada dasarnya adalah proses aktif untuk menghasilkan informasi dari
lingkungannya yang dibimbing oleh motivasi dan kebutuhan seseorang. Pada umumnya manusia memberikan perhatian pada sesuatu secara bertahap dan semakin detail sehingga membentuk klasifikasi pengalaman pada dirinya. Gerakan menurut Gibson (1979) merupakan aspek penting dalam persepsi. Sedangkan menurut Sarlito (1992) pengertian persepsi dalam pandangan kontruktivisme adalah kumpulan penginderaan yang diorganisasikan secara tertentu yang dikaitkan dengan pengalaman masa lalu dan dikaitkan pada makna tertentu. Menurut Krech yang dikutip oleh Thoha (1999), dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses kognitif yang komplek dan menghasilkan suatu gambar unik tentang kenyataan yang barangkali sangat berbeda dari kenyataannya. Persepsi adalah sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui panca indra. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda, meskipun mengamati objek yang sama.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Widayatun (1999), yang dimaksud dengan persepsi atau tanggapan adalah proses mental yang terjadi pada diri manusia yang akan menunjukkan bagaimana kita melihat, mendengar, merasakan, memberi serta meraba (kerja indra) di sekitar kita. William James mengatakan, persepsi adalah suatu pengalaman yang terbentuk berupa data-data yang didapat melalui indra, hasil pengolahan otak dan ingatan. 2.7.1
Proses terjadinya persepsi Proses terjadinya persepsi adalah karena adanya objek/stimulus yang
meransang untuk ditangkap oleh panca indra (objek tersebut menjadi perhatian pancaindra), kemudian stimulus/objek perhatian tadi dibawa ke otak. Dari otak terjadi adanya ”kesan” atau jawaban (respon) adanya stimulus, kesan atau respon dibalikkan ke indra kembali berupa ”tanggapan” atau persepsi atau hasil kerja indra berupa pengalaman hasil pengolahan otak. Menurut Thoha ada beberapa subproses dalam persepsi ini, dan yang dapat dipergunakan sebagai bukti bahwa sifat persepsi itu merupakan hal yang komplek dan interaktif. Subproses pertama yang dianggap penting ialah stimulus, atau situasi yang hadir. Mula terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan dengan situasi atau suatu stimulus. Subproses selanjutnya adalah registrasi, interpretasi dan umpan balik. Dalam masa registrasi, suatu gejala yang nampak ialah mekanisme fisik yang berupa penginderaan dan syaraf seseorang terpengaruh, kemampuan fisik untuk mendengar dan melihat akan mempengaruhi persepsi. Dalam hal ini seseorang
Universitas Sumatera Utara
mendengar atau melihat informasi terkirim kepadanya. Mulailah ia mendaftar semua informasi yang terdengar atau terlihat padanya. Setelah terdaftarnya semua informasi yang sampai kepada seseorang, subproses berikut yang bekerja ialah interpretasi. Interpretasi merupakan suatu aspek kognitif dari persepsi yang amat penting. Prosesinterpretasi ini tergantung pada cara pendalaman, motivasi dan kepribadian seseorang. Pendalaman, motivasi dan kepribadian seseorang akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. Disinilah letak sumber perbedaan pertama dari persepsi, dan itulah sebabnya mengapa interpretasi merupakan subproses yang penting. Subproses terakhir adalah umpan balik. Subproses ini dapat mempengaruhi persepsi seseorang. 2.7.2
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi Adapun
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pengembangan
persepsi
seseorang, antara lain: 1. Psikologi: persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di alam dunia ini sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi. 2. Famili: pengaruh yang paling besar terhadap anak-anak adalah familinya. 3. Kebudayaan: kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu faktor yang kuat didalam mempengaruhi sikap, nilai dan cara seseorang memandang dan memahami keadaan di dunia ini. 2.7.3
Persepsi terhadap lingkungan fisik Persepsi seseorang terhadap lingkungan fisik dipengaruhi oleh semua alat
indera yang dimilikinya. Selain itu juga dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman,
Universitas Sumatera Utara
budaya maupun kondisi psikologis. Semua hal tersebut di atas membuat persepsi masing-masing individu berbeda atas suatu objek. 2.7.4
Persepsi sosial Persepsi sosial adalah proses menangkap arti objek-objek sosial dan
kejadian-kejadian yang terjadi dalam suatu lingkungan. Setiap individu memiliki gambaran yang berbeda mengenai realitas di sekelilingnya. Beberapa prinsip penting mengenai persepsi sosial yang menjadi pembenaran atas perbedaan persepsi sosial adalah, (Fisher & Adams) persepsi berdasarkan pengalaman, persepsi bersifat selektif, persepsi bersifat dugaan, persepsi bersifat evaluatif, persepsi bersifat kontekstual. Persepsi merupakan salah satu proses teknis dari bentuk partisipasi masyarakat yang merupakan proses berbagai pengalaman dan analisis terhadap berbagai masalah. Persepsi sosial seseorang akan sangat ditentukan oleh faktor internal dari pribadinya dan faktor lingkungannya.
Universitas Sumatera Utara