BAB II GEREJA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
2.1 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Istilah pemberdayaan masyarakat sering kali terdengar dalam berbagai wacana tentang peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dalam kepustakaaan terlihat bahwa konsep pemberdayaan (empowerment) pada mulanya ditekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan (power) kepada individu, organisasi atau masyarakat agar menjadi lebih bergairah.1 Secara lebih luas pemberdayaan sering disamakan dengan pengalihan kekuatan dan akses terhadap sumber daya untuk mencari nafkah. Sedangkan pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya merupakan upaya untuk memberikan keberdayaan kepada masyarakat yang merangkum nilai-nilai sosial.2 Selanjutnya memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat terbawah yang tidak mampu untuk melepaskan dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Pemberdayaan adalah proses menghidupkan kembali tatanan nilai, budaya, dan kearifan lokal dalam membangun jati dirinya sebagai individu dan masyarakat.3 Dalam spektrum yang lebih luas memberdayakan masyarakat mengandung makna mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapis bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan disegala bidang.
1
Sunyoto Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),
56. 2 Bnd, Aprillia Theresia dkk, Pembangunan Berbasis Masyarakat: Acuan Bagi Praktisi, Akademisi, dan Pemerhati Pembangunan Masyarakat (Bandung: Alfabeta, 2014), 91. 3 O.M. Anwas, Pemberdayaan Masyarakat di Era Global (Bandung: Alfabeta, 2014), 50.
9
Disamping itu mengandung arti melindungi dan membela dengan berpihak pada yang lemah untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah. Meskipun begitu, menurut Anwas, pemberdayaan tidak sekedar memberikan kewenangan atau kekuasaan kepada pihak yang lemah saja. Dalam pemberdayaan terkandung makna proses pendidikan dalam meningkatkan kualitas individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mampu berdaya, memiliki daya saing, serta mampu hidup mandiri. Mengutip Person, pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya.4 Masyarakat yang perlu diberdayakan adalah kaum buruh, petani, nelayan, orang miskin, dan lain sebagainya baik yang berada di desa maupun di kota. Mereka memiliki potensi atau daya yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk mengembangkan daya itu dengan mendorong, dan membangkitkan kesadaran mereka akan posisi yang dimilikinya. Pemberdayaan tersebut meliputi pula penguatan pranata-pranatanya dan pembaharuan lembaga-lembaga sosial serta pengintegrasiannya ke dalam kegiatankegiatan pembangunan. Demikian pula harus diikuti dengan pananaman nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras hemat, keterbukaan dan tanggungjawab. Masih menurut Anwas, pemberdayaan juga menekankan pada proses dan bukan semata-mata hasil (output) dari proses tersebut. Oleh karena itu ukuran keberhasilan pemberdayaan adalah seberapa besar partisipasi atau keberdayaan yang dilakukan oleh individu atau masyarakat. Semakin banyak masyarakat terlibat dalam proses tersebut, berarti semakin berhasil kegiatan pemberdayaan.5 Maka indikator pemberdayaan seperti yang juga
4 5
O.M. Anwas, Pemberdayaan Masyarakat di Era Global..., 49 O.M. Anwas, Pemberdayaan Masyarakat di Era Global..., 51
10
dikutip Anwas menurut Suharto,6 paling tidak memiliki empat hal, yaitu: merupakan kegiatan yang terencana dan kolektif, memperbaiki kehidupan masyarakat, prioritas bagi kelompok lemah atau kurang beruntung, dan dilakukan melalui program peningkatan kapasitas. Jadi pemberdayaan merupakan proses untuk meningkatkan kapasitas komunitas, termasuk potensi individu, organisasi, dan lingkungan yang dilakukan dalam bentuk pembimbingan kearah pemecahan masalah dan bukan dalam bentuk pemberian solusi siap pakai. Komunitas digugah kesadarannya terhadap masalah yang sedang mereka hadapi dan dampaknya bila masalah tersebut tidak segera diatasi, serta potensi yang mereka miliki atau fasilitasi yang bisa dimanfaatkan, dimotivasi untuk bersedia berupaya mengatasi masalah tersebut, dibantu mengidentifikasi potensi atau sumber daya yang ada pada diri mereka dan lingkungannya, dan dibimbing kearah penemuan solusi yang tepat, serta diberi pendampingan dalam proses penuntasan masalah.
2.2 Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Berdasarkan definisi diatas maka pemberdayaan masyarakat dapat dipandang sebagai strategi pembangunan yang bertumpu pada pemihakan mereka yang lemah secara materi dan non materi. Ia lahir sebagi antitesa teradap model pembangunan yang kurang memihak pada masyarakat yang selanjutnya mengarah pada dua hal. Pertama, melepaskan belenggu kemiskinan, dan keterbelakangan. Kedua, memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur ekonomi dan kekuasaan. Sehingga tujuan pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi tidak mampu untuk melepaskan diri dari kemiskinan dan ketidakberdayaan.
6 Suharto Edi, Pekerja Sosial Industri, Corporate Social Responsibility (CSR) dan Community Development (ComDeu), (Makalah, 2006), 10.
11
Menurut Mike Applegarth dan Keith Posner tujuan pemberdayaan adalah untuk memungkinkan organisasi membuka potensi-potensi tersembunyi di dalam dunia tenaga kerja. Artinya setiap tenaga kerja memiliki hak yang sama dalam berkarya dan meraih apa yang mereka inginkan.7 Mengacu pada konsep pemberdayaan di atas, maka tujuan pemberdayaan meliputi tiga hal sebagai berikut: a.
Menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya membebaskan diri dari kebodohan dan kemiskinan sebagai akibat ketidakadilan dan kekerasan.
b.
Membantu masyarakat untuk bisa hidup berorganisasi secara bersama-sama agar dapat
memanfaatkan
peluang pembangunan
melalui
berbagai
program
pembangunan yang dirumuskan secara bersama-sama. c.
Secara bersama mengidentifikasi kebutuhan dan mendayagunakan prasarana sosial dalam memecahkan masalah sosial.
2.3 Modal Sosial (Social Capital) dan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan yang menyentuh pembangunan fisik maupun mental masyarakat dapat mencapai sasaran jika mempertimbangkan realitas masyarakat lokal, memahami bagaimana mereka berpikir dan bertindak sebagai individu dan masyarakat. Gagalnya suatu pembangunan disebabkan karena mengabaikan unsur-unsur lokal seperti, nilai-nilai sosial dan peranan lembaga sosial. Artinya upaya pembangunan harus bisa mengintegrasikan kepentingan masyarakat, karena kegagalan melakukan integrasi melalui pembangunan dapat mengancam kelangsungan hidup masyarakat.8 Sebab unsur-unsur itu akan mendorong proses pembangunan apabila dilihat secara baik. Unsur-unsur itu oleh para ahli dikenal sebagai modal sosial (Sosial Capital). 7 8
Aprillia Theresia dkk, Pembangunan Berbasis Masyarakat …. 150-151. Aprillia Theresia dkk, Pembangunan Berbasis Masyarakat..., 55
12
Menurut Robert Putnam, modal sosial mengacu pada fitur organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi. Modal sosial adalah produktif, yang memungkinkan pencapaian tujuan.9 Sementara menurut Nan Lin, modal sosial berfokus pada sumber daya yang tertanam dalam satu jaringan sosial dan bagaimana sumber daya tersebut dapat menguntungkan setiap individu. Yang dimaksud sumber ialah barang berharga di masyarakat. Sumber daya tersedia dalam bentuk, jenis kelamin, ras, kasta, agama, pendidikan, otoritas pekerjaan. Ketika sumber daya diinvestasikan maka mereka akan menjadi modal sosial.10 Menurut Robert Putnam, bentuk modal sosial adalah kepercayaan yang disebut Alberth Hirschman sebagai “sumber moral” yaitu sumber pasokan yang selalu meningkat ketika digunakan dan menjadi habis jika tidak digunakan. Bentuk-bentuk lain modal sosial adalah jaringan dan norma-norma sosial pada setiap individu yang berfungsi sebagai atribut penggerak struktur dan karena itulah juga memberi manfaat kepada orang lain.11 Jadi modal sosal adalah investasi bagi terselenggaranya pembangunan masyarakat. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat Papua, modal sosial bisa dalam bentuk lembaga gereja, pemerintah daerah, lembaga adat, pemahaman keagaman, kearifan lokal. Modal sosial inilah yang akan difungsikan bagi terselenggaranya pembangunan disegala bidang.
2.4 Model dan Proses Pemberdayaan Pemberdayaan
masyarakat
mengandung
visi
politis
yaitu
memperjuangkan
kepentingan masyarakat. Perjuangan kearah itu memerlukan model dan proses, dengan maksud agar penyelenggaraan pemberdayaan dapat dilakukan secara baik. Maka model pemberdayaan yang digunakan dalam tulisan ini menggunakan model yang ditawarkan oleh
9
Robert D. Putnam, Making Democracy Work: Civic Tradition in Mdern Italy (Pricenton, New Jerse: Princenton University Press, 1993), 167 10 Nan Lin, Social Capital: A Theory of Social Structure and Action (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 11-13 11 Robert Putnam, Making Democracy Work: …., 170.
13
Daniel S. Schipani yaitu model dialetika.12 Model tersebut memperlihatkan refleksi kritis terhadap setiap struktur masyarakat sumber ketidakadilan dan moralitas masyarakat sebagai pendukung pembangunan. Dialektis berarti bagaimana sistem berpikir (teori) harus menjadi praksis. Pemikiran harus menjadi inti pendorong perubahan sosial, maka yang diubah tidak hanya sistem melainkan juga moralitas masyarakat. Dengan demikian pemberdayaan bukan hanya belangsung ditataran bagaimana mengubah sistem tetapi pemberdayaan juga mengenai perubahan perilaku hidup moral-etis tiap individu. Model dialektis semacam diatas, merupakan gerakan moral-etis yang dimulai dari cara berpikir dan perilaku setiap orang, lalu bergerak ke perubahan sosial yang lebih besar. Model dialektis mengandaikan “kerja kolektif” untuk bisa mengubah sistem atau struktur yang tidak adil. Model dialektis Danel S. Schipani, berlangsung dalam tiga proses yaitu, Observasi (Seeking), menilai/mempertimbangkan (judging), bertindak (acting).13 1. Observasi adalah operasi dalam konteks dunia nyata, dengan fokus khusus pada kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat harus dimulai dengan penilaian sosial dan budaya yang cermat terhadap situasi. Selanjutna, analisis tersebut harus berusaha untuk memahami realitas terutama dari perspektif dan kerinduan orang-orang yang mengalami persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami karakter dan juga penyebab ketidakadilan serta memahami sepenuh dan sejelas mungkin sifat dan dinamika kondisi yang menghasilakan, mempertahankan, dan menumbuhkan ketidakadilan.
12
Daniel S. Schipani dalam Jack L. Seymour, Editor, Mapping Christian Education: Approaches to Congregational learning (Nashville: Abingdon Press, 1997), 34 13 Daniel S. Schipani dalam Jack L. Seymour, Editor, Mapping Christian Education: Approaches to Congregational learning …, 33-34.
14
2. Penilaian sebagai bentuk interpretatif dari tahap pertama bertujuan untuk menetapkan orientasi pemberdayaan. Menilai secara interpretatif ini menolong menemukan antara situasi yang dialami dengan struktur sosial, serta personal dan komunal. 3. Bertindak, pada gilirannya, terdiri dari eksplorasi, implementasi, dan mengevaluasi pendekatan operasional yang konsisten berdasarkan harapan masyarakat lokal. Dalam maksud proses yang terakhir, pemberdayaan masyarakat harus meliputi tindakan dan akuntabilitas atau keterbukaan untuk membuka ruang dialog dan saling mengoreksi. Masyarakat berhak menetapkan fokus tindakan dan menetapkan sendiri indikator keberhasilan pembangunan.
2.5 Peran Gereja Dalam Pemberdayaan Masyarakat Gereja hidup, berkembang dan melaksanakan tugas panggilannya ditengah-tengah masyarakat. Itu berarti bahwa gereja merupakan suatu pranata sosial yang melakukan kegiatan pelayanan, yang mempunyai dampak terhadap suatu sistim sosial tertentu. Bagi J.D. Engel, Pelayanan gereja sangat berarti bagi kehidupan masyarakat pada umumnya, jika gereja melakukan fungsinya sebagaimana mestinya.14 Fungsi internal gereja adalah bertanggung jawab terhadap pertumbuhan iman/kerohanian dan kehidupan sosial jemaat dalam gereja, sedangkan fungsi eksternal gereja adalah bertanggung jawab terhadap kehidupan sosial masyarakat secara umum untuk menghadirkan damai sejahtera Allah. Gereja sebagai suatu pranata sosial di tengah-tengah masyarakat dalam fungsi eksternalnya maka gereja lebih tepat berperan sebagai media pembangunan pemberdayaan masyarakat. Peranan gereja menurut Harun Hadiwijono, adanya gereja pertama-tama bukan demi kepentingan gereja itu sendiri, melainkan demi kepentingan Kristus yang memiliki gereja itu sebagi tubuhNya. Oleh karena gereja tidak memiliki tujuan pada dirinya sendiri,
14
J.D. Engel, Gereja dan Masalah Sosial (Salatiga, Tisara Grafika 2007) 1.
15
tetapi pada kerajaan Allah, maka Allah tidak mengambil gereja dari dunia ini melainkan memeliharanya di dalam dunia, agar supaya gereja jangan jatuh ke tangan penguasa dunia ini.15 Menurut Kramer gereja dituntut supaya melayani Allah dengan menyerahkan hidupnya bagi tugas panggilannya, karena Allah menghendaki supaya semua orang selamat. Hanya kedalam dunialah gereja ditempatkan dan berada, oleh karena itu gereja tidak dapat melarikan diri dari dunia, atau hidup secara ekslusif atau hidup hanya untuk diri sendiri. Jadi dapat dikatakan bahwa gereja pertama-tama berada di dunia ini bukan untuk dirinya sendiri, tetapi justru untuk dunia ini.16 Menurut Peter Drucker yang diikuti Weinata Seirin, pentingnya peranan “lembaga sektor ketiga” (third sector institution) dalam masyarakat, yang dapat berfungsi menjembatani
kesenjangan
hidup
dalam
masyarakat,
misalnya
LSM-LSM
yang
diselenggarakan oleh badan keagamaan, termasuk gereja dan kelompok peduli dalam masyarakat yang bergerak secara sukarela dengan komitmen tinggi. 17 Gereja merupakan “hasil” dari kelompok manusia yang terorganisir, yang merupakan suatu pelengkap dalam perkembangan sosial terhadap mereka yang bertumbuh dan berkembang dalam gereja tersebut. Dalam hal ini, gereja memberi kesempatan kepada masyarakatnya untuk mempelajari dan melakukan peran sosial tertentu yang kemudian peran itu dikaitkan dengan peran dalam sistem kerja itu sendiri.18 Lembaga Gereja seharusnya menjadi salah satu pilar pemberdayaan masyarakat yang dapat melakukan dialog demi membangun wacana civil society.19 Pemberdayaan merupakan upaya dalam memberikan kekuasaan atau kewenangan untuk bertindak (to give power or authority to act) dimaksudkan agar tanggung jawab yang di berikan kepada manusia itu 15
Harun Hadiwijono, Inilah Sahabatku (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 145 H. Kramer, Theologi Kaum Awam (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 145 17 Weinata Seirin. Visi Gereja Memasuki Milenium Baru, Bunga Rampai Pemikiran (Jakarta: Gunung Mulia 2002), 17 18 J.D. Engel, Gereja dan Masalah Sosial…, 3. 19 Weinata Seirin. Visi Gereja Memasuki Milenium Baru …., 36. 16
16
mencakup hal bagaimana supaya kuasa yang diberikan Allah itu tidak disalah gunakan untuk memiskinkan orang lain, tetapi untuk melayani dan memberikan keadilan.20 Penegakan keadilan merupakan bagian integral dari karya pewartaan gereja. John Titaley mengemukakan bahwa, dalam konteks Indonesia ada dua tugas panggilan gereja sebagai mitra kerja Allah di dunia ini. Yakni, pertama, tugas untuk memperhatikan mereka yang tertindas, mereka yang kalah dan tertinggal dalam sistem yang manusia sendiri ciptakan; dan tugas kedua adalah gereja menjadi kritis terhadap sistem kemasyarakatan yang berlaku.21 Gereja menekankan bahwa umat makin sadar akan keterkaitan antara fungsi sosial dan masa depannya. Hanya dalam kesetiaan gereja medampingi dan mengarahkan warga dan masyarakatnya, gereja mempunyai makna dan masa depan. Dewasa ini pemahaman dan praktik pekabaran injil telah banyak bergeser kearah kesaksian sebagai pelayanan sosialkemanusiaan bukan lagi ditekankan pada soal keselamatan jiwa secara pribadi saja, melainkan pelayanan yang utuh atas seluruh segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan duniawi bersama kehidupan seluruh ciptaan. Kemajuan gereja bukanlah pada perkembangan organisasi dengan jumlah anggota yang besar serta gedung-gedung yang megah, melainkan pada komitmen dan pelayanan yang di jalankan. Sejarah zaman gereja VOC dan Indische Kerk di Indonesia meninggalkan sedikitnya dua pelajaran penting bagi umat Kristen masa kini. Pertama, gereja tidak boleh terikat atau bergantung pada penguasa, sebab dalam ikatan itu gereja tidak berdaya dan kehilangan kebebasannya. Dampaknya adalah kuasa dinamis injil dikekang. Kedua, gereja yang tidak menjawab masalah-masalah masyarakatnya tidak dapat berkembang, dan hanya menjadi lembaga ritual yang eksistensinya bersifat marjinal.
20
Agustin Adelbert Sitompul dkk, Gereja dan Kontekstualisasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998),
234-235 21 John A Titaley, Dinamika Nasionalisme Indonesia: Panggilan Gereja Dalam Konteks HeterogenitasMasyarakat Indonesia, (Salatiga, Yayasan Bina Darma), 274.
17
Kegiatan sosial pembangunan ekonomi Gereja merupakan pelayanan bagi kesejahteraan sosial ekonomi umat dan masyarakat yang sangat penting dalam ragka pegembangan manusia seutuhnya, rohani maupun jasmani.22Adapun prioritas usaha-usaha sosial ekonomi harus didasarkan pada beberapa norma. Diantaranya yang penting adalah sebagai berikut. 1. Karya sosial ekonomi sekaligus merupakan human investmen pembinaan dan penyadaran. 2. Karya sosial ekonomi harus luas pengaruhnya, mengarah pada penciptaan struktur yang lebih adil. 3. Usaha-usaha pada hakikatnya ditujukan pada pengembangan manusia seutuhnya. 4. Usaha-usaha itu harus melayani kebutuhan nyata masyarakat setempat.
Dimensi sosial ekonomi seharusnya merupakan dimensi yang layak diperhatikan oleh seluruh karya pelayanan gereja baik yang intern maupun ekstern. Dimensi sosial ekonomi adalah dimensi yang menyangkut kehidupan sehari-hari, sekaligus dimensi kehidupan konkret masyarakat. Dengan demikian gejolak masyarakat juga menjadi gejolak Gereja dan keprihatinan masyarakat setempat menjadi keprihatinan gereja. Lewat pelayananya kepada masyarakat, gereja harus berani menggarap dan mendidik bagian unsur terdalam dari manusia-manusianya: nilai-nilai hidup, pola berpikir, motivasi-motivasi dasar serta kecenderungan-kecenderungan lain yang bisa menjadi faktor pendorong kearah kemajuan seperti, kegiatan-kegiatan inovatif masyarakat, keterampilan teknik yang lebih maju, semangat wiraswasta, keuletan dalam bidang usaha, keberanian mengambil resiko, kemampuan melihat jauh ke depan serta hal-hal positif lain yang besifat mendorong ke arah pengembagan masyarakat khususnya menyangkut dimensi sosial ekonomi merupakan hasil 22 Eduard R. Dopo (Editor). Keprihatinan Sosial Gereja, Sebuah Antologi (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 22-23
18
penggarapan unsur-unsur terdalam dari manusianya.23 Dengan demikian Gereja dapat mewujudkan Misi kerajaan Allah di dalam dunia. Misi kerajaan Allah, merupakan misi yang membawa keutuhan kepada kebutuhan yang utuh dari pribadi manusia. Karena itu, misi kerajaan Allah yang dijalankan oleh Gereja adalah misi yang mentransformasi semua aspek kehidupan manusia. Ditegaskan oleh Van Engen, bahwa: “Misi Allah mengandung transformasi yang radikal dari semua aspek kehidupan dan keberadaan. Melalui bukti yang sama, partisipasi di dalam misi Allah termasuk semua aspek dari kehidupan umat Allah, instrument-instrumen manusia”.24 Jadi transformasi, tidak hanya dialami oleh dunia yang menjadi obyek misi, tetapi juga dialami oleh gereja, yang menjadi agen misi kerajaan Allah di dunia. Totalitas kerajaan Allah merupakan mandat Yesus kepada gerejanya. Mandat itu adalah mandat penginjilan dan sekaligus juga mandat pelayanan sosial. Stott mengemukakan bahwa penginjilan dan pelayanan sosial merupakan suatu bagian dari penginjilan, dimana keduanya saling memiliki dan saling bergantungan satu dengan yang lain.25 Namun prioritas utama bukanlah pelayanan sosial, melainkan penginjilan. Sekalipun demikian, gereja tidak boleh mengabaikan pelayanan sosial. Gereja harus merangkul keduanya dalam pelayanannya di segala waktu. Misi gereja dalam mendatangkan suatu dampak yang bersifat menyeluruh di dunia, sehingga “peginjilan” tidaklah dilihat sebagai satu-satunya tugas gereja, sekalipun penginjilan merupakan tugas utama dan pertama gereja. Gereja dipanggil untuk mengaktualisasikan kerajaan Allah dalam seluruh aspek kehidupan manusia di dunia. Pemberitaan injil kerajaan Allah ini akan mempengaruhi dunia dalam semua dimensi kehidupan yang bersentuhan dengan manusia.
Eduard R. Dopo (Editor). Keprihatinan Sosial Gereja, Sebuah Antologi …, 77-80 Stevri Charles Van Engen dalam I. Lumintang, Theolgia & Misiolgia Reformed (Jawa Timur: Departemen Literatur PPII, 2006), 66 25 John R. W. Stott, Christian Mision in the Modern World (London: Intervarsity Press, 1975), 26-27 23 24
19
Gereja tidak hanya dipanggil untuk mendemonstrasikan misinya di dalam dunia politik dan pemerintah, gereja juga dipanggil untuk mendemontrasikan kebenaran dan kedamaian dari kerajaan Allah dalam dunia sosial di atas dunia ini.26 jadi gereja tidak hanya menjadi agen penginjilan, tetapi juga agen kemanusiaan. Sebagai agen kemanusiaan, gereja dipanggil untuk mengerjakan tanggung jawab sosialnya, yaitu berkenaan dengan keterlibatan dalam mengatasi persoalan kemanusiaan dalam terang Firman Tuhan.
2.6 Kesimpulan Jelaslah bahwa pemberdayaan merupakan proses politis yang berlangsung dalam lokus masyarakat. Masyarakat tidak dilihat secara pasif, melainkan dilibatkan langsung dalam proyek pembangunan. Masyarakat tidak dijadikan obyek pembangunan melainkan sebagai penggerak pembangunan itu sendiri. Pembangunan mempertimbangkan dengan sungguhsungguh karakteristik lokal masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dijalankan dalam perspektif pendidikan. Artinya perubahan paradigma berpikir atau penyadaran merupakan bagian terpenting untuk melibatkan semua komponen sosial masyarakat dalam pembangunan. Dengan begitu maka model pemberdayaan dijalankan secara induktif dan dialektis. Masyarakat secara kritis melihat kebutuhannya sendiri yang didukung oleh modal sosial yang ada. Dalam kaitan itu, gereja berperan sebagai fasilitator, memastikan semua elemen masyarakat dapat bergerak untuk mencapai tujuan. Gereja tidak bertindak sebagai ahli pembangunan. Melainkan bersama masyarakat melihat, mempertimbangkan, dan bertindak bersama. Eksistensi gereja terlihat ketika gereja berpihak terhadap semua golongan masyarakat. Gereja tidak dalam kapasitas menghakimi kelompok masyarakat tertentu sebagai sumber
ketidakadilan.
26
Kompentensi
gereja
akan
terlihat
apabila
gereja
mampu
Stevri Charles Van Engen dalam I. Lumintang, Theologia & Misiologia Reformed …, 431.
20
mengidentifikasi struktur sosial penyebab ketidakadilan dan mampu merubahnya dengan tindakan nyata. Gereja dikatakan hidup apabila melihat tanda-tanda zaman, Melihat perubahan masyarakat, dan menjawab semua konsekuensi yang timbul daripadanya. Sebagai modal sosial gereja mengarahkan dirinya ikut berkompetisi memperjuangkan kepentingan bersama. Perjuangan bukanlah sebuah terminologi untuk meniadakan. Melainkan sebuah proses politis terus menerus sampai pada tujuan.
21