Bab II: DARI KELAHIRAN HINGGA PENGUTUSAN
Kegiatan pembelajaran 1. KELAHIRAN DAN PENGASUHAN MUHAMMAD
Nabi Muhammad saw dilahirkan pada tahun gajah, tahun dimana pasukan gajah dibawah pimpinan raja Abrahah atau Abraham al-Asyram dari Yaman berusaha menyerang Mekkah dan menghancurkan Ka‟bah. Lalu Allah menggagalkan dengan mu‟jizat yang mengagumkan, sebagaimana diceritakan di dalam al-Qur‟an. Menurut riwayat yang paling kuat jatuh pada hari Senin malam 12 Rabi‟ulawal, beberapa ahli sejarah yang memperkirakan hari itu sekitar tanggal 20-22 April 571M.
Muhammad adalah anak dari Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hisyam bin Abdi Manaf bin Quraisy bin Kilab bin Murrah bin Ka‟ab bin Lu‟ay bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nazar bin Mu‟iddu bin Adnan. Bila dilanjutkan, maka silsilah ini akan sampai pada garis keturunan Ismail bin Ibrahim a.s. Sedangkan ibunda Muhammad adalah Aminah binti Wahab bin Abdul Manaf bin Zuhra, - pemimpin suku Zuhra yang mempunyai kedudukan terhormat. Abdullah dan Aminah bertemu dalam garis keturunan Qushay, tokoh terhormat di dataran Arab saat itu. Tetapi Muhammad dilahirkan dalam keadaan yatim, karena bapaknya yaitu Abdullah bin Abdul Muthallib telah meninggal ketika ibunya mengandungnya tiga bulan.
Silsilah Nabi Muhammad (versi Ibn Ishaq, yang dikutip dari Muhammad Hussein Heikal)
Qushayy (lahir 400M) | +----------------------+----------------------+ | | | 'Abd'l-'Uzza 'Abd Manaf 'Abd'd-Dar | (lahir 430M) | | | +----------+-----------+----------+ Asad | | | | | Muttalib Hasyim Naufal 'Abd Syams | (lahir 464M) | Khuwailid | Umayya | 'Abd'l-Muttalib | +----+----+ (lahir 497M) Harb | | | | 'Awwam Khadijah | Abu Sufyan | | | Zubair | Mu'awiya | +--------+----------+-------+--+-----------+----------+ | | | | | | Hamzah 'Abbas 'Abdullah Abu Lahab Abu Talib Harith (lahir 545M) | | +----------+----------+ | | | | MUHAMMAD 'Aqil 'Ali Ja'far (lahir 570M) | | | +---+---+ | | | Muslim Hasan Husain
Sebagaimana tradisi Arab waktu itu, bayi disusukan kepada orang lain yang diupah. Sambil menunggu jasa perempuan penyusu itu, Muhammad disusui oleh Tsuwaiba, seorang budak perempuan Abu Lahab. Muhammad sepersusuan melalui budak ini dengan Masruh anak Abu Lahab, Hamzah bin Abdul Muthallib, Abu Salamah bin Abdul Asad Al Makhzumi. Lalu datanglah pada keluarga ini seorang wanita Bani Sa‟d bin Bakar, bernama Halimah binti Dzu‟aib, isteri dari Al Haris bin Abdul Uzza. Muhammad menyusu padanya dan menjadi saudara sepersususan dengan keluarga Al Haris bin Abdul Uzza. Dalam berbagai buku siroh dijelaskan bahwa kondisi bani Sa‟d saat itu sedang paceklik. Tetapi kedatangan bayi Muhammad membawa keberkahan yang luar biasa bagi keluarga Halimah, bahkan kambing-
kambing mereka yang kurus pun tumbuh gemuk dengan susu yang banyak keluar untuk diperas. Di bani Sa‟d inilah Muhammad kecil mengalami peristiwa pembukaan dadanya oleh Malaikat (Mubarokfury:2010:48)
Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'd sampai mencapai usia lima tahun, menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia mengatakan kepada teman-temannya kemudian: "Aku yang paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga Sa'd bin Bakr." Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga ibu Halimah dan keluarganya, Muhammad pun senantiasa menghormati keluarga Bani Sa‟d ini, mengingat mereka dan memperlakukan mereka sebagai keluarga, bahkan hingga akhir usianya.
Setelah dikembalihan pada keluarga Abdul Muthallib, Muhammad kecil diasuh ibunya yang ternyata tak berumur panjang. Pada usianya menginjak enam tahun, Aminah membawa anaknya itu ke Medinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar. Mereka ditemani Umm Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah sudah bersiap-siap akan pulang. Ia dan rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa' ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu.
Ummu Aiman membawa Muhammad kecil itu pulang ke Mekah dan menyerahkannya kepada Abdul Muthallib, sang kakek yang mengasuhnya sepenuh sayang. Akan tetapi,
ternyata tumpahan kasih ini pun tak berlangsung lama karena di usia delapan tahun, kembali ia kehilangan orang yang menyayanginya. Abdul Muthallib menghembuskan nafas terakhirnya dengan berwasiat agar Muhammad diasuh oleh Abu Thalib, salah seorang anaknya yang dikenal santun dan penyayang.
Di bawah asuhan sang paman, Muhammad dirawat dengan sempurna, dilindungi dari semua hal yang mengganggunya, bahkan hingga masa kenabian pun, Abu Thalib setia berdiri di sisi Muhammad untuk melindunginya. Ia tumbuh dengan baik, berkawan, bekerja menggembala, berlatih berdagang, berorganisasi, dan bersosialisasi bersama Abu Thalib. Ia menjadi pribadi yang berhati mulia, jujur, bermartabat dan tak pernah terjerumus dalam perilaku jahiliyah. Keluhuran budinya pun dikenal di kalangan pemuda sebangsanya. Diantara peristiwa penting masa pertumbuhan Muhammad bersama Abu Thalib:
a. Menggembala kambing yang melatihnya lebih banyak merenung dan berpikir, berkontemplasi tentang permasalahan yang ada di sekitarnya. Saat dewasa, Muhammad menyebutkan bahwa "Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing." Dan katanya lagi: "Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad." Sebagai penggembala, ia menemukan suatu tempat yang serasi untuk pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam demikian itu, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua itu. (Hussein Heikal, 1993) Di satu sisi, ia belajar mencari rejeki, belajar mengelola sekelompok hewan, menguasai dan membuat mereka tunduk seperti yang diharapkan.
b. Perjalanan ke Syam. Muhammad di usia 12 tahun memulai pelajaran berdagang bersama kafilah ke luar wilayah yang lebih jauh. Ia mengikuti sang paman, merasakan pelatihan berdagang. Ada cerita kemukjizatan yang muncul disini,
diantaranya tentang awan berarak yang melindunginya. Pelatihan berdagang ini pada masa selanjutnya menjadikan awal pertemuan Muhammad dengan Khadijah binti Khuwailid yang kelak menjadi isterinya.
c. Pertemuan dengan Buhaira. Masih dalam perjalanan ke Syam ini, kelompok dagang Abu Thalib dengan Muhammad bersamanya, bertemu dengan Buhaira. dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.
d. Perang Fijar. Di usianya menjelang enam belas, Bani Qurays dan Kinanah terlibat persengketaan yang berlanjut pada peperangan dengan pihak Qais Ailan. Sengketa dan perang ini terjadi di bulan haram, yang biasanya merupakan bulan suci bagi masysarakat Arab. Muhammad remaja bertugas mengumpulkan anak panah dan memberikan pada pasukan yang berperang.
e. Hilful Fudhul. Adalah perjanjian persekutuan penduduk Makkah untuk saling menjaga agar membela yang teraniaya, melawan yang dhalim, dan menyatukan langkah untuk kekuatan persatuan penduduk Mekkah. Perjanjian ini amat berkesan bagi Muhammad dan mejadi pembelajaran baginya.
Beberapa Ibroh
1) Allah menghendaki ia lahir yatim, sehingga memutuskan pendapat bahwa ia bijak karena didikan ayahnya. Ia belajar dari banyak orang yang ada di sekitarnya,
keramahan Bani Sa‟d, kharisma kepemimpinan Abdul Muthallib, dan kerja keras Abu Thalib.
2) Ada tanda nubuwah dalam kelahiran dan pengasuhannya: peristiwa hancurnya tentara Abrahah, runtuhnya balkon kisra, kebun dan ternak keluarga bani Sa‟d yang tiba-tiba subur, pembelahan dada, awan yang berarak, hingga kesaksian pendeta Bahira.
3) Pelatihan life skill dengan menggembala kambing dan terlibat dalam kafilah dagang. Ini adalah pembelajaran berharga bagi remaja seusianya sehingga ia siap menjadi orang dewasa yang unggul, mandiri, bisa berusaha, dan rajin berkarya.
4) Aktif di permasalahan sosial, sebagaimana yang ditunjukkan dalam perang Fijar dan kehadirannya dalam perjanjian hilful fudhul. Pelibatan sosial ini penting bagi perkembangan kepemimpinan di masa depan.
Kegiatan Pembelajaran II PERNIKAHAN: BERKELUARGA DAN BERMASYARAKAT 1. Pernikahan dengan Khadijah Khadijah binti Khuwailid adalah seorang wanita empatpuluh tahun, pedagang yang kaya dan dihormati. Berasal dari Keluarga Banu Asad, ia pernah menikah dua kali dengan lelaki dari Bani Makhzun yaitu pertama dengan Atiq bin A‟idz at Tamimi dan yang kedua dengan Abu Halah at-Tamimi yakni Hindun bin Zurarah. Dalam menjalankan perdagangannya, ia dibantu ayahnya Khuwailid dan beberapa orang kepercayaannya. Sejak menjanda, beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Pada suatu saat, dikabarkan bahwa Khadijah akan mengirimkan dagangan ke Syam. Ia membutuhkan banyak tenaga. Mendengar hal itu, Abu Thalib segera menghubungi Muhammad yang menginjak dua puluh lima tahun, untuk melamar bekerja pada perdagangan Khadijah. Muhammad yang pemalu merasa sungkan bila ia datang ke Khadijah yang belum dikenalnya. Akhirnya, Khadijah yang telah mendengar atas reputasi kejujuran Muhammad, mengirim utusan kepada Muhammad agar mau bekerja untuknya dengan upah senilai empat ekor unta, dua kali lipat dari nilai yang biasa ia berikan pada karyawannya yang lain. Muhammad menerima tawaran itu, dan siap bekerja untuk membawa perdagangan Khadijah. Dengan ditemani Maisarah, orang kepercayaan Khadijah, Muhammad membawakan barang dagangan yang lebih baik dari apa yang dibawakan kepada orang lain. Sedangkan saat pulang, Muhammad membelanjakan barang-barang di Syam yang bagus dan laku di pasaran Makkah. Dalam perjalanan ini Muhammad berhasil membawa keuntungan yang berlipat ganda. Selama perjalanan tersebut Maisarah menjadi saksi atas perilaku pemuda yang telah cukup dikenal sebagai Al Amin ini. Ia sangat mengagumi akhlak dan
kejujuran Muhammad, yang kemudian ia laporkan kepada Khadijah. Khadijah menjadi makin tertarik pada kejujuran dan keagungan akhlak pemuda itu. Jiwa kesucian dalam diri Khadijah mengarahkannya untuk menemui Waraqah bin Naufal, pamannya yang dikenal pemeluk agama hanif. Darinya, Khadijah mendapat kepastian bahwa Muhammad adalah calon Nabi pembimbing masyarakat yang dibangkitkan dari tanah Arab. Ia berkata, “saatnya sudah tiba Khadijah, dan kau akan menikah dengan orang yang paling mulia di muka bumi.” (Ja‟far Subhani, 2002:131) Berbagai ramalan pendeta hanif, dan pengetahuan tentang keagungan diri Muhammad membuat Khadijah membulatkan hati menyatakan hasratnya untuk menikah dengan Muhammad. Ia menyatakan hal itu melalui perantaraan Nafisah binti Muniyah. Muhammad pun menyetujuinya, kemudian ia menyampaikan hal itu kepada pamanpamannya. Setelah itu, mereka meminangkan Khadijah untuk Nabi saw dari paman Khadijah, Amr bin Asad. Dengan duapuluh ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammad melangsungkan perkawinannya itu, dan kemudian ia pindah ke rumah Khadijah dalam memulai hidup barunya itu sebagai suami-isteri. Mereka mengarungi bahtera rumah tangga nan bahagia di Makkah. Dari pernikahan yang berbahagia ini lahirlah enam orang putra putri. Muhammad menemukan dalam diri Khadijah teladan wanita terbaik, wanita yang subur dan penuh kasih yang menyerahkan seluruh dirinya kepadanya. Khadijah mendapatkan seorang suami sebagaimana yang ia dambakan. Yang jujur, berhati mulia, dan penuh kasih sayang. Dalam kehidupan mereka, Khadijah membebaskannya dari urusan harta, melanjutkan aktivitas perdagangan seperti semula, dan membiarkannya dalam perenungan dan tafakkur saat ia membutuhkannya. Bersama mereka telah lahir enam anak-anak yaitu al-Qasim At Thohir dan Abdullah atThayyib, dua lelaki yang meninggal di waktu kecil mereka; serta empat puteri-puteri yaitu Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah.
Banyak kisah indah dalam perkawinan mereka sehingga acapkali -saat Muhammad telah menjadi Rasulullah-, ia memuji keagungan Khadijah sebagai bagian dari penghuni syurga. Khadijah juga menjadi sasaran kecemburuan dari Aisyah, meski mereka tak pernah tinggal seatap. Muhammad dan Khadijah hidup dalam kedudukan yang terhormat di mata masyarakat, dan diliputi dengan harta yang cukup. Ia mengisi waktu dengan berdagang, bertafakkur, bermasyarakat, dan senantiasa terbebas dari perilaku kejahiliyahan sebagaimana yang dilakukan orang-orang sekitarnya. 2. Muhammad Al Amin dalam Kehidupan Bermasyarakat Disamping kehidupan keluarganya yang bahagia, Muhammad adalah warga masyarakat yang baik dan aktif. Kedudukan dan kehormatan dirinya tidak mengurangi pergaulannya dengan masyarakat. Ia bergaul, memuliakan tetangga dan teman temannya. Bekerjasama dalam urusan kemasyarakatan, bersenda-gurau bersama mereka, tetapi tanpa pernah bohong pada mereka. Karenanya, ia makin dikenal sebagai Al Amin. Pada usia 35 tahun, Mekkah mengalami banjir besar yang merusak banyak bangunan, termasuk Ka‟bah yang disekelilingnya banyak dipenuhi berhala. Muhammad dan para pembesar suku-suku Quraisy beserta penduduk bahu membahu membangun tempat suci itu, membangun kembali Ka‟bah. Sudut-sudut Ka'bah itu oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali. Akan tetapi, kesatuan mereka terusik saat sampai pada penempatan Hajar Aswad, batu hitam yang amat dimuliakan di sudut timur Ka‟bah yang menjadi wilayah kerja Bani Abd'd-Dar dan Bani 'Adi. Bani Abdud Dar dan Bani Adi bersepakat takkan membiarkan kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan yang besar ini. Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama yang hampir saja menimbulkan pertikaian dengan kabilah lain yang ada saat itu.
Abu Umayya bin'l-Mughira dari Banu Makhzum, adalah orang yang tertua di antara mereka, dihormati dan dipatuhi. Setelah melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka: "Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa ini.” Tepat saat itu, mereka melihat Muhammad melintasi pintu itu, sehingga mereka berseru: "Ini al-Amin; kami dapat menerima keputusannya." Muhammad melihat aroma pertikaian meruncing di majelis itu, maka ia minta penjelasan sebabnya. Setelah mendengar latar belakang kejadiannya, Muhammad berpikir sejenak, lalu ia meminta sehelai kain yang dihamparkannya. Batu mulia itu diletakkannya di tengah hamparan kain, dan ia meminta empat kepala kabilah Quraisy bekerjasama mengangkat di ujung kainnya ke tempat seharusnya batu itu diletakkan. Setelah sampai di dekat posisinya, Muhammad dengan tangannya sendiri mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan. Makin hormatlah penduduk Mekkah atas keagungan pribadinya, dan makin mencuatlah gelar Al Amin melekat pada dirinya di hadapan bangsa Quraisy. Muhammad dikenal sebagai seorang lelaki yang paling jujur, paling lurus akhlaknya, paling setia memegang amanahnya. Demikian kesaksian An Nashir bin Al haris. (Hamka, 1981: 149) Beberapa Ibrah: 1) Allah mempertemukan Muhammad dengan Khadijah dengan perencanaan sempurna sebagai Sang Maha Perencana. Kejujuran, kecerdasan dan sifat amanah Muhammad bersinergi dengan kehanifan dan kekayaan Khadijah, sebagai pondasi risalah yang bakal diembannya kelak. Sinergi inilah yang disiapkan Allah untuk pembentukan masyarakat baru dalam naungan tauhid. Inisiatif pembentukan sinergi seperti ini, tidak harus dimulai dari pihak laki-laki, tetapi bisa diusulkan dari perempuan.
2) Pernikahan monogami Muhammad (25) dengan Khadijah (40) yang bertahan selama 28 tahun hingga wafatnya Khadijah, menjadi bukti bahwa Muhammad bukan seorang pecandu seksual sebagaimana yang digambarkan sebagian pembenci Muhammad. Sebagai pemuda yang tampan, terkenal dan dihormati, tak sulit baginya mencari selain Khadijah. Tetapi, ia tak melakukan itu. 3) Kebijaksanaan yang ditunjukkan Muhammad dalam menyelesaikan sengketa Ka‟bah menunjukkan kelasnya sebagai calon pemimpin baru yang diterima di seluruh lapisan masyarakat. Kecerdasan dan sikap bijaksananya dalam menyelesaikan konflik kemasyarakatan menunjukkan kesiapan Muhammad sebagai pengembanan risalah. 4) Gelar Al Amin yang disandangnya, menandakan ia memiliki bobot nilai yang sangat dimuliakan. Masyarakat tidak pernah meragukan kejujurannya apabila berbicara, ketinggian akhlaknya apabila bergaul, dan keikhlasannya apabila dimintai bantuan melakukan sesuatu. Hal ini membuktikan kepada kita, bahwa kedengkian dan keangkuhanlah yang telah menguasai hati mereka sehingga mereka mendustakan, memusuhi dan manghalau dakwah yang disampaikannya.
Kegiatan Belajar 3 WAHYU KENABIAN 1. Uzlah, tahannus, ikhtila’, dan tahannuf Uzlah adalah mengasingkan diri, ikhtila’ adalah menyendiri sama makna dengan tahannus , dan tahannuf adalah meluruskan diri, kembali pada sifat hanif, yang lurus. Mendekati usia empat puluh tahun, kehidupan keluarga Nabi sudah mencapai titik harmoni. Kehidupan duniawinya tercukupi, penghasilan, keuangan, rumah dan kendaraan sudah tersedia. Anak-anaknya pun sudah menikah dan berkeluarga, tinggal si bungsu Fatimah. Kebiasaan Muhammad untuk merenung dan berfikir sebagaimana yang dilakukan saat remaja sambil menggembala kambing, semakin bertambah. Mulailah muncul kecenderungan untuk melakukan ‘uzlah, senang untuk melakukan ikhtila’ (menyendiri)). Sebagaimana kebiasaan orang-orang Arab masa itu bahwa ulama mereka melakukan perenungan dan menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan dengan beribadah dan berdoa, mengharapkan diberi pengetahuan. Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan tahannuf dan tahannuts. Di puncak Hira‟, nama sebuah gunung yang terletak di sebelah barat laut kota Mekkah terletak sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri dan tahannuts. Di tempat ini rupanya Muhammad mendapat tempat yang paling baik guna mendalami pikiran dan renungan dirinya. Juga di tempat ini ia mendapatkan ketenangan serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri, ingin mencari jalan mencari ma'rifat serta mengetahui rahasia alam semesta. Ia menyendiri dan bertahannuf selama beberapa malam. Kadang sampai sepuluh malam, kadang lebih dari itu, sampai satu bulan bila memasuki bulan Ramadhan. Kemudian beliau kembali
ke rumahnya sejenak hanya untuk mengambil bekal baru untuk melanjutkan ikhtila’nya di gua Hira‟. Setidaknya ada dua hal yang menjadi bahan perenungan Muhammad di gua Hira. Pertama adalah perenungan dengan segala kesyukuran pada penciptanya atas semua kehidupan yang telah dijalaninya. Ia lahir dalam keyatiman, kemiskinan, dan ternyata ia hidup dalam perlindungan dan kini ia berkecukupan. Di usia matangnya ia telah mendapatkan segala yang diinginkan. Pasangan hidup yang setia, anak-anak yang berbakti, rumah tinggal yang menyenangkan, kendaraan yang mengantarkannya kemana-mana, penghasilan yang lebih dari cukup. Dalam setiap karunia yang didapatkannya, sangat memungkinkan timbulnya sejumlah penyakit
hati
seperti
sombong, „ujub (bangga diri), dengki, riya‟, dan cinta dunia, kesemuan penyakit itu dapat menguasai jiwa , merasuk ke dalam hati, dan menimbulkan kerusakan di dalam bathin manusia. Penyakit-penyakit ini hanya dapat ditepis dengan banyak melakukan ikhtila’ secara rutin untuk merenungkan hakekat dirinya, dari yang tiada apa-apa. Tahannus ini menghilangkan sifat sombong dan riya‟, mengingatkannya kecilnya diri di hadapan pencipta
atas
alam semesta. Ia pun semakin menginginkan
kedekatan dengan sang pencipta dan merindukan ma‟rifah atasNya. Perkara kedua yang difikirkannya adalah perenungan keadaan masyarakat sekelilingnya yang tak henti dari sengketa dan budaya yang tidak menyejukkan mata. Muhammad merasakan betapa masyarakat sekitarnya jauh dari kelurusan hati. Perenungan yang menginginkan adanya perubahan kebaikan dalam masyarakatnya. Muhammad senantiasa bersama masyarakat, sehingga ia sangat memahami banyak gejolak di masyarakatnya. Mudahnya mereka berselisih paham dan bertikai, cara kehidupan mereka, menjadi pemikirannya yang mendalam untuk mengadakan perubahan. Tapi bagaimana caranya, Muhammad merenungkannya dalam keheningan
tahannus di gua hira ini. Begitulah hari-hari Muhammad di usia kematangannya, ia isi dengan banyak uzlah ke gua hira‟, hingga akhirnya wahyu turun kepadanya.
2. Wahyu Pertama Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah r.a. menceritakan cara permulaan wahyu, ia berkata :
.... ...
„Wahyu pertama diterima oleh Rasulullah saw dimulai dengan suatu mimpi yang benar. Dalam mimpi itu beliau melihat cahaya terang laksana fajar menyingsing di pagi hari. Kemduian beliau digemarkan (oleh Allah) untuk melakukan khalwah („uzlah). Beliau melakukan khalwat di gua Hira‟ melakukan ibadah selama beberapa malam, kemudian pulang kepada keluarganya (Khadijah) untuk mengambil bekal. Demikianlah berulang kali hingga suatu saat beliau dikejutkan dengan datangnya kebenaran di dalam gua Hira‟. Pada suatu hari datanglah Malaikat lalu berkata, “Bacalah“. Beliau menjawab, “Aku tidak dapat membaca.“ Rasulullah saw menceritakan lebih lanjut, Malaikat itu lalu mendekati aku dan memelukku sehingga aku merasa lemah sekali, kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi, „Bacalah!“ Aku menjawab, “Aku tidak dapat membaca.“ Ia mendekati aku lagi dan mendekapku, sehingga aku merasa tidak berdaya sama sekali, kemudian aku dilepaskan. Ia berkata
lagi, “Bacalah!“ Aku menjawab, “Aku tidak dapat membaca.“ Untuk yang ketiga kalinya ia mendekati aku dan memelukku hingga aku merasa lemas, kemudian aku dilepaskan. Selanjutnya ia berkata lagi,“ Bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan .. menciptakan manusia dari segumpal darah...“ dan seterusnya. Rasulullah saw segera pulang dalam keadaan gemetar sekujur badannya menemui Khadijah lalu berkata, “Selimutilah aku ... selimutilah aku...“ Kemudian beliau diselimuti hingga hilang rasa takutnya. Setelah itu beliau berkata kepada Khadijah, “Hai Khadijah, tahukah engkau mengapa aku tadi begitu ?“ Lalu beliau menceritakan apa yang baru dialaminya . Selanjutnya beliau berkata : „Aku sesungguhnya khawatir terhadap diriku (dari gangguan makhluk jin ) Siti Khadijah menjawab : Tidak! Bergembiralah ! Demi Allah sesungguhnya tidak akan membuat anda kecewa. Anda seorang yang suka menyambung tali keluarga, selalu menolong orang yang susah, menghormati tamu dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran... Beberapa saat kemudian Khadijah mengajak Rasulullah saw pergi menemui Waraqah bin Naufal, salah seroang anak paman Siti Khadijah. Di masa jahiliyah ia memeluk agama Nasrani. Ia dapat menulis huruf Ibrani, bahkan pernah menulis bagian-bagian dari Injil dalam bahasa Ibrani. Ia seorang yang sudah lanjut usia dan telah kehilangan penghilatannya. Kepadanya Khadijah berkata : „Wahai anak pamanku, dengarkanlah apa yang hendak dikatakan oleh anak- lelaki saudaramu ( yakni Muhammad saw )“. Waraqah bertanya kepada Muhammad saw,“ Hai anak saudaraku, ada apakah gerangan ?“ Rasulullah saw , kemudian menceritakan apa yang dilihat dan dialami di dalam gua Hira‟. Setelah mendengar keterangan Rasulullah saw Waraqah berkata :“ Itu adalah Malaikat ynag pernah diutus Allah kepada Musa. Alangkah bahagianya seandainya aku masih muda perkasa ! Alangkah gembiranya seandainya aku masih hidup tatkala kamu diusir oleh kaummu! Rasulullah saw bertanya,“ Apakah mereka akan mengusir aku?“ Waraqah menjawab ,“Ya“ Tak seorangpun yang datang membawa seperti yang kamu bawa kecuali akan diperangi. Seandainya kelak aku masih hidup dan mengalami hari yang kaan kamu hadapi itu, pasti kamu kubantu sekuat tenagaku.“ Sebuah masa telah berubah. Muhammad tak lagi manusia biasa. Ia adalah Rasulullah, utusan Allah. Dan orang yang pertama membenarkannya adalah isteri tercintanya. Untuk beberapa waktu lamanya Rasulullah saw tidak menerima wahyu sampai beberapa waktu kemudian, wahyu turun kepadanya secara kontinyu. Jadilah kini ia seorang Nabi, utusan dari tanah Arab yang dinantikan dan dijanjikan.
3. Beberapa Ibroh 1) Keharusan muhasabah dan bertafakkur Belajar dari peristiwa uzlahnya Rasulullah, menjelaskan kepada kita bahwa seorang Muslim belumlah akan cukup sempurna keislamannya hanya dengan akhlak-akhlak
yang
mulia
dan
melaksanakan
segala
macam
ibadah.
Kesempurnaan itu akan didapatkannya dengan waktu-waktu „uzlah dan khalwah (menyendiri) untuk mengadili diri sendiri, menghitung diri (muhasabbah ‘an nafsi) misalnya dengan mendirikan shalat malam di saat manusia yang lain terlelap dalam tidurnya. Dalam kesunyian kesendirian bersama Allah, akan mempermudah baginya untuk merasakan pengawasan Allah dan merenungkan fenomena-fenomena alam semesta yang menjadi bukti keagungan Allah. Hikmah dari program „uzlah ini ialah, bahwa tiap jiwa manusia memiliki sejumlah penyakit hati yang bisa ia kenali lebih mendalam dengan merenungkan fenomenafenomena keagungan Allah, hari akhir, pengadilan, besarnya rahmat dan pedihnya siksaan Allah. Dengan perenungan yang lama dan berulang-ulang tentang hal-hal tersebut, maka penyakit-penyakit yang melekat pada jiwa manusia akan berguguran. Hati menjadi hidup dengan cahaya kesadaran dan kejernihan. 2) Kepastian adanya ujian bagi orang beriman Firman Allah mengenai kepastian datangnya ujian bagi orang beriman, sejalan dengan berita dari Waraqah bin Naufal yang mengabarkan bahwa sudah menjadi kepastian setiap penyeru kebaikan pasti akan ditentang bahkan diusir kaumnya. Ini menjadikan kesiapan seorang muslin untuk menata hati dengan teguh, menguatkan langkah dengan tekad kuat untuk senantiasa dekat dengan Allah, dan siap menghadapi segal ujian yang bakal datang.
3) Kehebatan seorang isteri shalihah Perilaku yang ditunjukkan oleh Khadijah saat Muhammad pulang dengan kegalauan hati adalah petunjuk sangat jelas bagi seorang isteri saat menghadapi suaminya yang tengah mengalami masalah. Khadijah yang penuh rasa kasihsayang, adalah tempat ia melimpahkan rasa damai dan tenteram kedalam hati yang besar itu, hati yang sedang dalam kekuatiran dan dalam gelisah. Ia tidak memperlihatkan rasa kuatir atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan pandangan penuh hormat. Ia selimuti suaminya, ia hadirkan ketenangan yang dibutuhkan, ia beri kesejukan yang diharapkan, dan ia tenteramkan suaminya dalam masalah yang dihadapi. Ia bicarakan sesuatu yang positif yang menguatkan hati pasangannya. Tak cukup dengan itu, istri shalihah segera mencarikan alternatif solusi bagi permasalahan yang dihadapi suaminya. Ia cari orang yang ahli di bidangnya untuk memberikan nasehat, sebagaimana Khadijah pergi ke Waraqah bin Naufal, saudaranya. Nampak benar kehebatan diri Khadijah, sehingga tak heran Rasulullah senantiasa mengenangnya, bahkan setelah kewafatannya.