Draft to be discussed
Kertas Posisi Advokasi
Dari Busan, Durban, hingga Rio Peranan Organisasi Masyarakat Sipil di tengah Perubahan Paradigma Pembangunan Global Syamsul Ardiansyah © Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum, 2012 Bayang-bayang krisis ekonomi sepertinya masih terlihat kuat dalam kancah perundingan mengenai pembangunan pada tingkat global. Para pemimpin dunia masih berupaya mencari resep memulihkan krisis ekonomi yang paling relevan dengan sistem ekonomi pasar yang saat ini masih saja mengalami berbagai guncangan hebat. Bayangan ini setidaknya terlihat dari hasil Forum Tingkat Tinggi ke-4 di Busan, Korea Selatan tentang Efektivitas Bantuan yang dikenal dengan “Busan HLF4” dan Konferensi Para Pihak ke17 (COP 17) tentang Perubahan Iklim di Durban, Afrika Selatan. Hasil-hasil Busan HLF4 dan COP 17 inilah yang sepertinya akan menentukan seperti apa wajah kesepakatan dan kompromi yang akan diraih pada pertemuan Rio+20 yang akan diselenggarakan di Rio de Jeniero pada 2022 Juni 2012 yang akan datang. Tentu saja kita bertanya-tanya tentang apa benang merah yang menghubungkan pertemuanpertemuan global tersebut? Apa kira-kira implikasi yang akan terjadi? Dan seperti apa langkah yang perlu kita lakukan sebagai masyarakat, khususnya organisasi masyarakat sipil dalam menyikapi perkembangan wacana pembangunan di masa yang akan datang. Untuk itu, kami berupaya memberikan ulasan tentang pertemuan-pertemuan tersebut, disertai dengan analisis terhadap proses dan hasil, dengan harapan dapat memberikan gambaran ringkas tentang arah politik pembangunan global di masa yang akan datang. Ulasan ini dimaksudkan sebagai input untuk diskusi yang harapannya bisa bergulir dan menghasilkan poin-poin tindakan yang perlu dilakukan bersama dalam ranah advokasi kebijakan pembangunan global. Busan Busan HLF4 adalah perundingan tingkat global membahas efektivitas bantuan dalam rangka menata arsitektur bantuan pembangunan guna mengefektivkan kemitraan pembangunan tingkat global sebagai salah-satu prasyarat pencapaian MDGs. Pertemuan ini adalah kelanjutan dari pertemuan-pertemuan dalam konteks “financing for development” yang telah dimulai di Monterrey, Mexico pada tahun 2002, kemudian dilanjutkan ke Roma tahun 2003, di Paris, Perancis yang melahirkan “Deklarasi Paris tentang Efektivitas Bantuan” pada 2005, dan Accra, Ghana yang menghasilkan “Agenda Aksi Accra (AAA)” tahun 2008. 1 1
Lihat O ECD. “The Paris Declaration on Aid Effectiveness and The Accra Agenda for Action”
Draft to be discussed
Sejatinya, HLF4 Busan membahas pencapaian-pencapaian dari kesepakatan-kesepakatan sebelumnya, khususnya pemenuhan Lima Prinsip Deklarasi Paris (yakni ownership, alignment, harmonization, mutual accountability, dan managing for result) serta AAA, khususnya dalam hal penguatan kepemilikan negara berkembang, penghapusan bantuan mengikat (tied aid), perubahan “conditionality”, dan memperkuat “aid predictability”. Akan tetapi, bahan-bahan yang sudah disajikan OECD untuk menilai perkembangan pencapaian Lima Prinsip Deklarasi Paris dan progres kesepakatan AAA kurang menjadi perhatian utama sejak bergesernya perhatian negara-negara peserta HLF4 kepada isu-isu “baru”, seperti pemanfaatan kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation), penguatan peran sektor swasta untuk pembangunan melalui skema public private partnership, dan upaya negaranegara OECD menarik China, India, Brazil, dan Afrika Selatan untuk menjadi “donor baru” guna mengisi kelemahan negara-negara donor tradisional dalam memenuhi komitmen pendanaan untuk pembangunan global. Tarik-menarik kepentingan dan re-orientasi pembangunan global tercermin dalam Global Partnership for Effective Development Cooperation2 sebagai “outcome document”. Dokumen tersebut lebih banyak berisi hasil-hasil kesepakatan yang kompromis, tanpa output komitmen yang jelas. China dan India yang digadang-gadang menjadi kandidat aktor pembangunan global sempat mengancam menarik diri dari kesepakatan karena tidak bersedia menerapkan prinsipprinsip dan komitmen-komitmen efektivitas bantuan sebagaimana yang disepakati dalam HLF sebelumnya. Ancaman China dan India cukup meresahkan negara-negara donor tradisional karena jika China dan india menarik keluar dari perjanjian, maka kewajiban mereka untuk menanggung biaya pembangunan global akan semakin besar. Padahal, sampai saat ini pun negara-negara donor masih belum sanggup memenuhi komitmen mengalokasikan 0.7 dari GNP-nya untuk pembangunan global. 3 Kesepakatan bisa diraih setelah HLF4 sepakat mencabut ketentuan “mandatory” menjadi “voluntary”, yang berarti China dan India dapat menerapkan prinsipprinsip dan komitmen-komitmen efektivitas bantuan secara sukarela. Alotnya perundingan dalam rangka menarik partisipasi China dan India dalam skenario pembangunan global menyebabkan kesepakatan-kesepakatan lain, yang dihasilkan dalam HLF sebelumnya, kurang mendapat perhatian. Busan Global Partnership tidak lagi mengungkit-ngungkit soal penghapusan kondisionalitas, bantuan yang mengikat, dll yang sebenarnya menguntungkan negara-negara miskin di dunia. Dengan kata lain, kompromi di Busan juga menguntungkan negara-negara donor tradisional untuk berkelit dari perjanjian yang sebelumnya telah mereka tandatangani. Bahkan, sebagaimana yang tengah disiapkan oleh Uni Eropa, kecenderungan dari negara-negara donor saat ini adalah mengurangi secara resmi bantuan pembangunan luar negeri, khususnya kepada
2 3
Lihat “Global Partnership for Effective D evelopment Cooperation”. Lihat Gleneagl es Commitment
Draft to be discussed Negara-negara yang dipandang telah meningkat dari Low Middle Income Countries (LMICs) menjadi Upper Middle Income Countries (UMICs).4 Tidak hanya pada negara, pengurangan komitmen bantuan juga diarahkan pada sektor-sektor penting, seperti kesehatan. Khususnya mengenai sektor kesehatan, meski telah menjadi sektor yang paling progresif dalam mengimplementasikan efektivitas bantuan di sektor kesehatan, namun bantuan untuk kesehatan justru tidak lagi diprioritaskan. Padahal, sebagaimana dilaporkan oleh OECD Task Team on Health as Tracer Sectors, disampaikan kemajuan positif dalam implementasi efektivitas bantuan di sektor kesehatan. International Health Partnership and related initiatives (IHP+) telah mendemonstrasikan peningkatan pada sektor perencanaan, budgeting, penguatan system nasional dan peningkatan sumberdaya yang dialokasikan. Fokus pada isu pertumbuhan dan perdagangan telah menyingkirkan perhatian pada pemimpin dunia terhadap tingginya gap pembangunan global dalam hal kesehatan. Hal ini semakin tampak dari dibatalkannya pendanaan ronde ke-11 dari Global Fund to Fight HIV/AIDS, Tuberculosis and Malaria yang kurang mendapatkan perhatian dalam HLF4 Busan.
Durban Konferensi Para Pihak ke-17 tentang Perubahan Iklim di Durban diselenggarakan pada 28 November-9 Desember 2011. Mandat utama dari perundingan ini adalah merampungkan penyusunan kerangka komitmen baru pasca Protokol Kyoto mengenai penurunan emisi sebagaimana telah dituangkan dalam Bali Roadmap 2007. 5 Fenomena yang terjadi di Durban, hampir mirip dengan yang terjadi di Busan. Di Durban, secara umum, terdapat tiga kekuatan besar yang saling berseteru, yakni Uni Eropa dan Negara-negara kepulauan yang menghendaki adanya komitmen penurunan baru; kemudian Amerika Serikat, Kanada, dan sekutunya yang menolak proposal Uni Eropa tentang penurunan emisi; serta China dan India yang juga tidak menghendaki adanya komitmen penurunan emisi sebagaimana diusulkan Uni Eropa namun dengan argumentasi yang berbeda dengan posisi AS, Kanada, dan sekutunya. COP17 di Durban menghasilkan “Durban Platform for Enhanced Action”.6 Untuk mengimplementasikan Durban Platform dibentuk Kelompok Kerja yang bersifat ad hoc yang akan memulai pekerjaan pada 2012 dan menghasilkan outcome for adoption pada tahun 2015 dan mulai diterapkan pada 2020. Outcome pasca Protokol Kyoto yang dihasilkan akan berupa “a protocol, another legal instrument or an agreed outcome with legal forced” dan akan “applicable to all parties”. Berdasarkan teks-teks dalam Durban Platform, kesepakatan baru yang akan diraih akan didasarkan pada area of interest negara-negara berkembang sebagaimana tertuang dalam Bali Per 1 Januari 2014, Indonesia bes erta 18 negara lainny a telah dipu tuskan untuk tidak lagi mendapatkan bantuan bilateral dari Uni Eropa. Keputusan ini diambil karena ke -19 negara tersebut telah menjadi upper middle income countri es dan tel ah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. 5 Lihat UNFCCC. “Bali Roadmap” 6 Lihat UNFCCC. “Durban Platform for Enhanced Action” 4
Draft to be discussed Roadmap, seperti adaptasi, finance, transfer teknologi, dan pembangunan kapasitas. Namun kandungan utama kesepakatan baru tersebut tertuju pada regime mitigasi global baru, yang mana sebenarnya tidak banyak menguntungkan negara berkembang dan pengambangan komitmen penurunan emisi global negara-negara maju. Durban Platform tetap berpegang pada Protokol Kyoto namun oleh banyak pihak, termasuk kalangan CSO dari Indonesia menilai kesepakatan dalam Durban Platform sangat kompromistis, menggantung, dan sarat dengan keengganan politik untuk bersama-sama menurunkan emisi karbon demi menyelamatkan bumi dari kerusakan akibat bencana iklim. Jepang, Rusia, dan Kanada bersama dengan Amerika Serikat menyatakan keluar dari ronde kedua Protokol Kyoto. Negara-negara tersebut lebih memilih menggunakan mekanisme individual dan tidak lagi menekankan collective aggregate target dalam hal penurunan emisi. Hanya tinggal Uni Eropa yang bertahan dan kemungkinan Protokol Kyoto hanya mencakup penurunan sebesar 15% dari emisi global. Penyebab dari mundurnya komitmen Jepang, Rusia, Kanada, dan Amerika Serikat dari perjanjian global pengurangan emisi tidak terlepas dari beban krisis ekonomi yang pada saat ini diderita oleh mayoritas negara-negara yang masuk dalam kategori Annex I. Krisis utang yang melanda Amerika Serikat—yang sebenarnya juga berdampak cukup besar terhadap Eropa—semakin melumpuhkan kemampuan negara adidaya dalam membiayai program-program pengurangan emisi sebagaimana ditetapkan dalam Protokol Kyoto. Dalam rangka mempertahankan hegemoni politik internasional, AS tetap mengandalkan industry persenjataan dan teknologi tinggi yang karenanya menyebabkan ketergantungan pada konsumsi sumber-sumber energy tidak terbarukan, khususnya minyak dan gas. Jepang misalnya, negara yang dalam beberapa tahun belakangan ini terjerembab dalam resesi ekonomi tidak lagi mampu memanggul kewajiban pengurangan emisi setelah tahun lalu dihantam krisis kebocoran nuklir akibat tsunami Maret 2011. Krisis ini memaksa negara tersebut mengevaluasi strategi ketahanan energinya, yang sebagian besar ditopang oleh pembangkit energy bertenaga nuklir, dan kembali menggunakan sumber-sumber energy tidak terbarukan seperti sumber energy berbahan fosil, khususnya minyak. Jepang tidak berani berspekulasi atas tingginya ketergantungan terhadap nuklir—dan berupaya kembali ke sumber energy fossil—demi keluar dari kubangan resesi. Secara logika, gagalnya pencapaian kesepakatan dalam hal mitigasi perubahan iklim global seharusnya diikuti dengan penguatan inisiatif adaptasi perubahan iklim. Namun asumsi ini sulit dipenuhi karena tidak ada komitmen yang tegas tentang mekanisme pendanaan adaptasi perubahan iklim secara global. Nasib komitmen $100 milyar untuk Global Climate Fund pada tahun 2020 masih belum jelas. Perubahan Iklim sebagai isu utama yang dibahas di Durban dalam COP17 yang lalu sudah jelas membawa dampak yang cukup berat bagi kesehatan global. 7 Namun perhatian atas dampak kesehatan akibat perubahan iklim masih berupa ulasan di atas kertas yang belum terimplementasikan di lapangan. Kapasitas Negara-negara, khususnya Negara-negara miskin 7
Lihat WHO. Protecting Heal th from Climate Change, World Health Day 2008.
Draft to be discussed dan kepulauan untuk menanggulangi dampak buruk perubahan iklim terhadap kesehatan masih sangat rendah. Berdasarkan asesmen yang diselenggarakan WHO terhadap Rencana Adaptasi Perubahan Iklim Nasional 8, diketahui bahwa 39 dari 41 rencana adaptasi nasional yang direview menekankan bahwa kesehatan adalah salah-satu sektor yang terdampak akibat perubahan iklim, namun dari 39 rencana adaptasi nasional tersebut, hanya 9 negara yang memiliki hasil asesmen yang komprehensif mengenai kerentanan perubahan iklim terhadap kesehatan. Sekitar 30 dari 41 rencana adaptasi nasional memasukkan intervensi kesehatan ke dalam usulan tindakan yang dibutuhkan, namun hanya 8 dari 30 rencana adaptasi nasional tersebut yang memiliki scenario intervensi yang layak. Dari 41 rencana adaptasi nasional tersebut terdapat 459 proyek yang diprioritaskan, namun hanya 50 atau sekitar 11% yang focus pada kesehatan. Dilihat dari aspek pembiayaan, biaya keseluruhan proyek tersebut mencapai US$1,852,726,528 dan hanya US$57,777,770 atau hanya 3% yang diarahkan pada sektor kesehatan. Data ini menunjukkan lemahnya kapasitas negara-negara miskin dan kepulauan dalam hal adaptasi perubahan iklim dalam skala nasional. Dengan kata lain, dibutuhkan perhatian yang lebih besar untuk meningkatkan kapasitas, baik dalam hal kebijakan maupun pendanaan, negara-negara tersebut untuk selamat dari ancaman perubahan iklim. Berkurangnya komitmen pengurangan emisi yang disertai dengan tidak adanya komitmen untuk memperbesar dukungan pada rencana adaptasi akan berarti musibah yang tiada tara bagi rakyat di Negaranegara miskin dan kepulauan.
Rio Berangkat dari hasil-hasil kesepakatan yang mengecewakan yang dihasilkan Busan HLF4 dan COP17 Durban, kini masyarakat dunia menatap Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Pembangunan yang Berkelanjutan (United Nation Conference on Sustainable Development) yang akan diselenggarakan di Rio de Jeniero, Brazil pada 20-22 Juni 2012. Pertemuan ini disebut sebagai Rio+20, dalam rangka memperingati 20 tahun KTT Bumi yang juga diselenggarakan di Rio pada tahun 1992. Pertemuan di Rio yang akan datang, akan menilai sejauh mana pencapaian-pencapaian yang telah diraih dalam rangka pelaksanaan kesepakatan Rio 1992 dan Rio+10 di Johannesburg, Afrika Selatan 2002, serta menentukan strategi global dalam rangka pembangunan berkelanjutan di masa yang akan datang. Hasil kesepakatan dalam Rio+20 diprediksi akan mempengaruhi format agenda pembangunan global pasca MDGs 2015. 9 Pada saat ini, telah beredar draft dokumen kesepakatan (“zero draft”) dengan judul “The Future We Want”. Dokumen tersebut mengulas kesepakatan-kesepakatan kunci yang kemungkinan akan dihasilkan dalam Rio+20. Selain “renewing political commitment” yang berisi reafirmasi prinsip-prinsip Rio, menilai kemajuan dan hambatan, serta strategi pelibatan aktor-aktor besar Lihat WHO. “Overview of heal th considerations wi thin National Adaptation Programmes of Action for climate change in least developed countries and small island states”. WHO. Geneva. June 2010. 9 Lihat Chee Yoke Ling. “The Rio D eclaration on Environment and D evelopment: An Assessment”. Third World Network, Malaysia. 8
Draft to be discussed dunia, zero draft Rio+20 juga memberikan ulasan tentang Green Economy dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan, serta Kerangka Kerja Institusional untuk Pembangunan Berkelanjutan (Institutional Framework for Sustainable Development). Dokumen yang disebut “zero draft” berjudul “The Future We Want” adalah draft deklarasi para pemimpin negara dan pemerintahan yang sebenarnya tidak berbicara atas dasar kepentingan rakyat miskin di dunia. Berdasarkan tinjauan terhadap dokumen tersebut, tidak ada suatu keinginan dari para pemimpin untuk meninjau dan menyelesaikan berbagai krisis yang disebabkan oleh kekeliruan system kapitalis yang menjadi penyebab meningkatnya kemiskinan, kelaparan, ancaman iklim, krisis sumberdaya, krisis financial dan krisis ekonomi, serta krisis dalam tata pemerintahan global. Alih-alih mengoreksi penyebab krisis ekonomi, zero draft deklarasi justru memperkuat sistem ekonomi eksploitatif yang menjadi penyebab krisis tersebut. 10 Dokumen “The Future We Want” juga tidak memperjelas visibilitas dari Hak Asasi Manusia sebagai kerangka fundamental pembangunan pasca MDGs. Konsepsi “keberlanjutan” (sustainability) yang ditekankan oleh zero draft deklarasi tersebut cenderung pada “keberlanjutan pertumbuhan”, bukan “keberlanjutan kemanusiaan” yang selama ini sebenarnya telah tergerus oleh konsepsi-konsepsi ekonomi berorientasi pada pertumbuhan. Tidak ada jaminan bagi keadilan dan kesetaraan (fairness and equity) sebagaimana ditekankan dalam Deklarasio Rio 1992. Dengan logika yang masih berpegang pada konsep “trickle-down effect”, deklarasi Rio yang akan datang diperkirakan akan semakin memperlebar kesenjangan, memperburuk kemiskinan dan kelaparan, melipatgandakan penderitaan bagi perempuan, dan mempertinggi kerentanan lingkungan akibat eksploitasi yang berlebihan. Benang Merah Ada beberapa benang merah yang menghubungkan hasil HLF4 Busan dengan COP17 Durban yang kemungkinan memberikan warna terhadap hasil kesepakatan yang akan diraih di Rio pada bulan Juni 2012 yang akan datang. Pertama, baik HLF4 Busan maupun COP17 Durban, sama-sama tidak menghasilkan poin-poin kesepakatan yang substansial dalam rangka merampungkan misi utamanya. Di Busan, perdebatan tentang bagaimana menarik keikutsertaan China dan India untuk menjadi aktor pembangunan global baru telah menyebabkan menghilangnya isu-isu penting sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Paris 2005 dan Agenda Aksi Accra 2008 dalam rangka menata arsitektur pembangunan global yang adil dan berkelanjutan. Sementara di Durban, polemik tentang perlu tidaknya memperpanjang dan meningkatkan komitmen pengurangan emisi justru menyebabkan berkurangnya komitmen pengurangan emisi global pasca mundurnya Jepang, Rusia, dan Kanada. Alotnya perdebatan hingga diketoknya palu kesepakatan pada detik-detik akhir perundingan menyebabkan tidak adanya waktu yang leluasa untuk menindaklanjuti komitmen-komitmen yang telah lebih dulu diambil atau memperbesar komitmen dalam rangka menyeimbangkan 10
Lihat “The Future They Want; A Critique of the Rio+20 Zero Draft”.
Draft to be discussed dengan tantangan global terkini, baik dalam hal bantuan pembangunan maupun perubahan iklim. Alhasil, kompromi yang diraih, baik di Busan maupun di Durban, sama-sama membahayakan pada masa depan kemanusiaan. Kedua, kompromi yang terjadi di Busan maupun di Durban sama-sama dilatari oleh ancaman krisis yang melanda dunia. Seperti diketahui, pada saat ini Amerika Serikat dan Uni Eropa dihadapkan pada krisis ekonomi yang cukup berat, yang mengancam keseimbangan fiskal dan kelangsungan pembangunan di negara-negara tersebut. Upaya mitigasi krisis melalui rangkaian perundingan G20 sepertinya tidak memberikan hasil yang signifikan, khususnya sejak masalahmasalah pokok dalam fondasi ekonomi pasar dunia, tidak mendapatkan koreksi yang signifikan. Reformasi IMF dan Bank Dunia sebagaimana diusulkan beberapa negara anggota G20 justru menghasilkan penguatan posisi kedua lembaga keuangan internasional tersebut. Di sisi lain, buntunya perundingan Putaran Doha WTO semakin membuka peluang terjadinya perang dagang dan proteksionisme yang justru akan memperburuk keseimbangan ekonomi dunia. Sementara pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang dialami China, India, Brazil, dan Indonesia sepertinya belum bisa diharapkan mampu mengisi kesenjangan pembangunan global sejak negara-negara yang masuk dalam kategori “new emerging economies” tersebut justru menjadi rumah bagi milyaran penduduk dunia yang hidup dalam kemiskinan. Harapan akan adanya kerjasama yang kohesif antar negara dibayang-bayangi oleh keharusan mengoreksi strategi pembangunan nasional sehingga orientasi pada pembangunan global tidak bisa banyak diharapkan. Dunia dihadapkan pada meningkatnya ketidakpastian. Ketiga, meningkatnya tanggungjawab negara berkembang. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi China, India, Brazil, Afrika Selatan, dan Indonesia serta stabilitas ekonomi dari negaranegara penghasil minyak seperti Saudi Arabia, memunculkan asumsi tentang akan adanya pelimpahan tanggungjawab global dari Utara ke Selatan. Negara-negara Selatan, khususnya yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan bisa menggantikan peranan dari negara-negara Utara, baik dalam hal perluasan pasar, pembangunan global maupun mitigasi perubahan iklim. Meningkatnya tuntutan terhadap negara-negara berkembang “ekonomi baru” tidak serta-merta diikuti dengan menguatnya posisi tawar negara-negara tersebut dalam perundinganperundingan internasional maupun dalam tata-kelola perekonomian global. Tuntutan untuk memperbesar posisi tawar negara ekonomi baru dalam badan-badan keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan IMF masih cenderung artifisial. Baik Eropa maupun Amerika Serikat masih sama-sama enggan melepaskan kepemimpinan mereka atas IMF dan Bank Dunia kepada negara-negara berkembang. Hal inilah yang menyebabkan negara-negara ekonomi baru cenderung membatasi kontribusinya dalam pembangunan global pada tingkat knowledge sharing dan kerjasama selatan-selatan yang otonom dan voluntary. Keempat, peranan sektor swasta. Khususnya Busan Global Partnership dan “zero draft” Rio+20 secara spesifik menyebutkan adanya komitmen untuk memperkuat peranan sektor swasta dalam rangka menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth) untuk pembangunan. Peranan sektor swasta dipuji-puji sebagai “engine of growth” atas kontribusinya menciptakan lapangan kerja dan menopang pertumbuhan ekonomi. Puji-pujian ini cenderung
Draft to be discussed aneh dan tidak berdasarkan pada fakta bahwa sektor inilah yang sebenarnya paling rentan pada saat ini. Krisis moneter Asia Timur 1997-98 dan krisis financial 2008-09 tidak terlepas dari kontribusi negatif sektor swasta terhadap pembangunan ekonomi global. Kedua krisis yang terjadi dalam rentang satu dekade tersebut sesungguhnya diakibatkan oleh pecahnya gelembung capital finance setelah buntunya industri manufaktur dalam menopang hasrat esensial kapitalisme, yakni meraup keuntungan. Kedua krisis tersebut berdampak buruk pada sektor publik. Krisis moneter 1997-98 misalnya, telah melahirkan fenomena “bail-out” melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang secara esensial merupakan skema untuk menarik triliunan rupiah dari sumber-sumber pendanaan publik—dari APBN—untuk mengganti kerugian akibat spekulasi financial yang dilakukan swasta. Pada krisis finansial 2008-09, skema serupa juga diterapkan oleh Bank Sentral Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk mengganti kerugian sektor swasta akibat pecahnya gelembung capital yang melanda sektor perbankan dan jasa keuangan di Amerika Serikat dan Eropa. Bailout yang diterapkan di Amerika Serikat dan Uni Eropa tidak hanya menyebabkan berkurangnya pendanaan untuk pelayanan publik, tetapi juga melahirkan krisis fiskal yang sangat besar dan merugikan masyarakat. Besarnya beban krisis fiskal menyebabkan beberapa negara—seperti Yunani—terpaksa di-“bailout” dengan menggunakan sumber-sumber pendanaan multilateral dari IMF dan Bank Dunia, yang jika belajar dari Indonesia, melahirkan konsekuensi politik yang tidak kecil. Karenanya, memberikan ruang kepada sektor swasta tanpa memaksanya melakukan koreksi, justru akan memperburuk wajah masa depan dunia. Kelima, masyarakat sipil dan filantropi dunia. Khususnya dalam Busan Global Partnership, terdapat sebuah artikel yang cukup berharga bagi masyarakat sipil. Artikel tersebut tertuang dalam paragraph 22. Artikel tersebut berbunyi: “Organisasi masyarakat sipil (CSO) memainkan peran penting dalam memungkinkan masyarakat menuntut hak-haknya, dalam mempromosikan pendekatan berbasis-hak, dalam membentuk kebijakan pembangunan dan kemitraan, dan dalam mengawasi pelaksanaannya. Mereka (CSO) juga menyediakan layanan di wilayah yang saling melengkapi dengan (layanan) yang disediakan oleh negara.” Artikel ini adalah buah dari hasil kerja keras organisasi-organisasi masyarakat sipil (CSO) dalam memperjuangkan pengakuan formal atas kedudukannya sebagai aktor pembangunan yang dirintis sejak HLF3 di Accra, Ghana. Jika menyimak artikel tersebut, masyarakat sipil diposisikan sebagai penyeimbang dan promoter pembangunan berdasarkan pendekatan hak (right based approach) dan pengisi gap pemerintah dalam menyediakan layanan bagi masyarakat. Selain karena telah selama bertahun-tahun berperan sebagai mitra negara-negara donor dalam mengimplementasikan program-program dan komitmen-komitmen pembangunan secara global, pengakuan terhadap peran serta masyarakat sipil saat ini juga dilatarbelakangi oleh munculnya fenomena-fenomena seperti Soros Foundation dan Open Society Foundation yang
Draft to be discussed didanai pialang raksasa George Soros dan Bill and Melinda Gates Foundation yang didanai oleh pemilik Microsoft, Bill Gates. Kedua lembaga filantropi tersebut memiliki kemampuan finansial yang barangkali melebihi kemampuan financial rata-rata negara berkembang. Hal ini menyebabkan dunia tidak bisa menganggap remeh kontribusi dan kapasitas organisasiorganisasi masyarakat sipil dalam pembangunan global. Yang menjadi masalah, pengakuan atas peran penting organisasi masyarakat sipil tidak diikuti dengan adanya komitmen yang tegas tentang lingkungan sosial politik yang kondusif bagi masyarakat sipil untuk mengimplementasikan peranannya dalam pembangunan global. Di berbagai negara, organisasi-organisasi masyarakat sipil masih kerap dihadapkan pada kondisi yang sangat sulit. Sebagian organisasi masyarakat sipil harus bekerja dibawah ancaman kekerasan yang dilakukan negara atau actor-aktor yang bertikai. Selain itu, khususnya di Selatan, tidak ada satu pun negara yang memberikan dukungan financial yang memadai untuk tumbuhnya masyarakat sipil. Karenanya, agenda berikut yang menjadi penting dilakukan adalah mendorong adanya enabling environment untuk masyarakat sipil yang lebih banyak bertumpu pada ruang politik di tingkat nasional, ketimbang tingkat global. Hal ini tidak mudah, mengingat pada tingkat global, pemerintah nasional yang kerap menjadi sasaran advokasi masyarakat sipil, masih ditempatkan sebagai pihak yang memiliki otoritas tunggal untuk mengejewantahkan konsep “ownership”. Penafsiran sempit terhadap konsep “ownership” inilah yang menjadi senjata yang kerap digunakan untuk mengeringkan (dry-up) keberlangsungan masyarakat sipil, yang mana untuk tetap hidup, masyarakat sipil dipaksa “berkoalisi” dengan pemerintah dan agenda pemerintah yang seharusnya mereka awasi dan kritik. Paradigma Baru? Dengan menyimak fenomena-fenomena di atas, “paradigma baru pembangunan global” yang disebut-sebut menjadi roh dari berbagai perundingan internasional belakangan ini, sesungguhnya hanya berisi pergeseran, pengaburan, dan pelemahan komitmen-komitmen global untuk pembangunan berkelanjutan. Barangkali, kesimpulan ini masih terburu-buru, mengingat dinamika proses hingga— setidaknya—sampai pada tersusunnya framework baru pembangunan global pasca MDGs 2015 atau Kesepakatan Baru tentang Perubahan Iklim dan konsepsi-konsepsi pembangunan yang akan datang, masih tengah berlangsung. Namun jika menyimak pada trajektori pertemuanpertemuan yang sudah berlangsung sebelumnya, kita semua pantas untuk pesimis. Berarti tugas dan tanggungjawab yang perlu dihadapi di masa yang akan datang—khususnya oleh masyarakat sipil—untuk mewujudkan pembangunan yang berkeadilan dan merata masih sangat besar dan mungkin justru semakin besar. Di samping tantangan-tantangan yang cukup besar, akibat semakin mengentalnya fundamentalisme pasar dalam polemik pembangunan global, ada celah kecil yang barangkali perlu dicermati dan dimanfaatkan oleh masyarakat sipil. Celah itu adalah adanya pengakuan tentang eksistensi dan peranan organisasi-organisasi masyarakat sipil sebagai aktor pembangunan sebagaimana tertuang dalam paragraph 22 Global Partnership for Effective Development Cooperation. Celah ini bisa dimanfaatkan untuk memperlebar posisi dan pengaruh
Draft to be discussed organisasi masyarakat sipil dalam perundingan-perundingan mengenai pembangunan pada tingkat global. Namun celah itu akan sia-sia jika para aktivis organisasi masyarakat sipil tidak memahami peranan-peranan utama yang harus dimainkan di tengah berbagai tantangan yang harus dihadapi baik dalam konteks nasional maupun internasional. Bagi masyarakat sipil, solidaritas dan kerjasama—baik pada tingkat nasional maupun internasional—adalah hal yang mutlak dilakukan. Dalam konteks berjuang mempromosikan pembangunan yang berkeadilan dan lestari, masyarakat sipil perlu segera menyegarkan kembali posisi dan perannya. Tantangan terdekat bagi masyarakat sipil adalah mendesak PBB untuk membuka ruang dialog yang lebih luas bagi masyarakat sipil dalam KTT Rio+20 yang akan datang. Tantangan lain yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menjaga keseimbangan politik di tingkat nasional di tengah semakin sempitnya ruang demokrasi dan semakin kerasnya upaya donor yang berkeinginan mendorong adanya koalisi antara pemerintah dan masyarakat sipil dalam mendorong pelaksanaan konsepsi pembangunan yang masih cacat dan penuh dengan bias kepentingan privat multinasional. Kecerdasan politik dalam memanfaatkan celah di tengah dinamika arus yang “tidak menguntungkan” seperti inilah kunci utama keberlangsungan peranan organisasi masyarakat sipil dalam kancah pembangunan global di masa yang akan datang.##
Bacaan-bacaan yang disarankan: - Global Partnership for Effective Development Cooperation - Istanbul Principles on CSO Development Effectiveness - Siem Reap Consensus on International Framework for CSO Development Effectiveness - Durban Platform for Enhanced Action - Laporan Publik COP 17 – Durban Platform dan Keselamatan Rakyat Indonesia - The Future We Want – zero draft Rio+20 - The Future They Want – A Critique of the Rio+20 Zero Draft - A Joint Submission by Aprodev and ACT Alliance to the Rio+20 zero draft preparation