23
BAB II KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENCATATAN KELAHIRAN
A. Pengertian Umum Pencatatan sipil merupakan hak dari setiap Warga Negara Indonesia dalam arti hak memperoleh akta autentik dari pejabat negara. Masih jarang penduduk menyadari betapa pentingnya sebuah akta bagi dirinya dalam menopang perjalanannya dalam "mencari kehidupan". Segala hal yang terjadi berkaitan dengan kependudukan ini harus dicatatkan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil seperti masalah perkawinan, kematian, status anak, kelahiran, dan lainnya. Dalam hal kelahiran, akta ini sangat diperlukan karena anak yang lahir tanpa akta kelahiran ia akan memperoleh kesulitan pada saat ia memasuki pendidikan. Pengertian pendaftaran penduduk sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk, disebut bahwa pendaftaran penduduk adalah kegiatan pendaftaran dan/ atau pencatatan data penduduk beserta perubahannya, Perkawinan, Perceraian, Kematian, dan Mutasi Penduduk, Penerbitan Nomor Induk Kependudukan, Nomor Induk Kependudukan Sementara, Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan Akta Pencatatan Penduduk serta Pengelolaan Data Penduduk dan Penyuluhan. 23 Universitas Sumatera Utara
24
B. Sejarah Pencatatan Sipil di Indonesia Menurut sejarah, Lembaga Catatan Sipil di Indonesia merupakan peninggalan dari Pemerintah Penjajah Belanda yang dikenal dengan nama “Burgerlijke Stana” atau yang dikenal dengan singkatan BS yang berarti: “suatu lembaga yang ditugasi untuk memelihara daftar-daftar atau catatan-catatan guna pembuktian status atau peristiwa penting bagi para warga Negara sepertikelahiran, perkawinan dan kematian. 33 Setiap peristiwa tersebut dicatatakan sebagai bukti mengenai yang dapat digunakan baik bagi yang berkepentingan maupun pihak ketiga. Burgerlijke Stand yang ada di Negara Belanda sendiri sebenarnya berasal dari Perancis. Hal ini terbukti bahwa pada awal 18, Belanda pernah menjadi Negara jajahan Perancis dan lembaga semacam ini telah ada sejak Revolusi Perancis. Dalam pasal 131 Indische Staatsregeling, yang dalam pokoknya adalah sebagai berikut: 1) Hukum Perdata dan Dagang (begitu pula Hukum Pidana serta Hukum Perdata) harus diletakkan dalam Kitab Undang- Undang yang dikodifikasikan; 2) Untuk golongan bangsa Eropa dianut Perundang- Undangan yang berlaku di Negara Belanda ( Asas Konkordansi); 3) Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur Asing ( Tionghoa, Arab dan sebagainya), jika ternyata” kebutuhan kemasyarakatan” mereka menghendakinya, dapatlah peraturan- peraturan untuk Bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka baik
33
Rachmadi Usman, Op. Cit, hlm. 189.
Universitas Sumatera Utara
25
seutuhnya maupun dengan perubahan- perubahan dan juga diperbolehkan membuat peraturan baru bersama, untuk itu harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta untuk kepentingan umum atau kebutuhan masyarakat mereka ( ayat 2); 4) Orang Indonesia Asli dan orang Timur Asing sepanjang mereka belum ditentukan dibawah suatu peraturan bersama dengan Bangsa Eropa diperbolehkan menundukkan diri (Onderwepen) pada hukum yang berlaku untuk Bangsa Eropa. Penundukan diri ini boleh dilakukan baik secara umum maupun dalam perbuatan tertentu saja ( ayat 4); 5) Sebelum Hukum untuk Bangsa Indonesia ditulis dalam Undang- Undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka yaitu Hukum Adat (ayat 6).34 Selanjutnya mengenai Pembagian Penduduk dibagi kedalam tiga golongan, yaitu Golongan Eropa, Timur Asing dan pribumi (Indonesia asli) yang diatur dalam pasal 163 Indische Staatsregeling. Penggolongan itu menghasilkan peraturan yang membedakan penduduk. Pembedaannya tidak terbatas pada penggolongan etnik saja, tetapi termasuk dalam bidang kependudukan yang mana pencatatan kelahiran dibedakan baik dari sisi administrasi maupun agama.
34
Pasal 131 Indische Staatsregeling
Universitas Sumatera Utara
26
Selanjutnya setelah Indonesia merdeka, kelembagaan Dinas Catatan Sipil tersebut berada di bawah otoritas Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Lalu pada tahun 1966, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966 ditujukan kepada Menteri Kehakiman dan Dinas Catatan Sipil yang bersifat nasional, tidak menggunakan Penggolongan Penduduk berdasarkan Pasal 131 dan Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS) pada kantor Catatan Sipil di seluruh Indonesia dan untuk selanjutnya Dinas Catatan Sipil di Indonesia terbuka bagi seluruh Penduduk Indonesia dan hanya antara Warga Negara Indonesia dan Orang Asing. 35 Berdasarkan Instruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor 31/U/IN/12/1966 telah ditetapkan penghapusan pembedaan Golongan Penduduk Indonesia atas Eropa, Timur Asing, dan Bumi Putera dengan pertimbangan bahwa demi tercapainya pembinaan Kesatuan Bangsa Indonesia yang bulat dan homogeny, serta adanya perasaan persamaan nasib di antara sesama Bangsa Indonesia, oleh karena itu perlu segera menghapuskan praktik-praktik yang didasarkan pada penggolongan penduduk tersebut. Dengan terbukanya Kantor Catatan Sipil bagi seluruh penduduk Indonesia, sesuai dengan Surat Edaran bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman Nomor Pemdes 51/1/3 dan nomor J.A.2/2/5 tanggal 28 Januari 1967, untuk daerah-daerah yang belum berlaku Pencatatan Sipil bagi seluruh lapisan masyarakat dinyatakan berlaku ketentuan-ketentuan Pencatatan Sipil
35
Rachmadi Usman, Op.cit, halaman 193
Universitas Sumatera Utara
27
yang terdapat dalam Peraturan Pencatatan Sipil, yang dipublikasikan dalam Staatsblad tahun 1920 Nomor 751 junto Staatsblad tahun 1927 Nomor 564 atau staatblad tahun 1933 Nomor 75 junto Staatsblaad tahun 1936 Nomor 607 dengan ketentuan perbedaan-perbedaan yang ada tidak dipakai lagi. 36 Selanjutnya
pada
tahun
1983
diadakan
penataan
dan
peningkatan
Pembinaan
penyelenggaraan catatan sipil dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat, pemberian kepastian hukum dan keamanan serta ketertiban untuk terwujudnya keutuhan dan kesatuan Bangsa Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 1983, maka secara fungsional Menteri Dalam Negeri sesuai dengan Peraturan Perundang- Undangan yang berlaku, yang dalam kesehariannya ditangani oleh Direktur Jenderal Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah. Adapun kewenangan dan tanggung jawab di bidang Catatan Sipil dimaksud, sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat 2 Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 1983, meliputi : a. Menyelenggarakan Pencatatan dan Penerbitan Kutipan- Kutipan: o Akta Kelahiran; o Akta Kematian; o Akta Perkawinan dan Perceraian bagi mereka yang bukan beragama Islam, dan
36
Ibid, hlm. 194.
Universitas Sumatera Utara
28
o Akta Pengakuan dan Pengesahan Anak. b. Melakukan penyuluhan dan pengemban kegiatan Catatan Sipil. c. Penyediaan bahan dalam rangka perumusan kebijaksanaan di Bidang Kependudukan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa urusan pencatatan sipil, menjadi urusan kewenangan dan tanggung jawab Menteri Dalam Negeri, yang dalam pelaksanaannya terbuka untuk seluruh Warga Negara Indonesia. Sebagai negara yang pernah mengalami masa penjajahan maka pengaturan tentang pencatatan sipil di Indonesia sebelum UU Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) diberlakukan pada tahun 2006 masih menggunakan aturan kolonial Belanda. Sejak Indonesia merdeka, belum pernah mengalami peninjauan kembali untuk diubah/disesuaikan dengan perkembangan hukum di dalam masyarakat. Peraturan Perundang- Undangan mengenai Catatan Sipil pada Zaman Hindia Belanda masih bersifat pluralistis sehingga membagi penduduk menjadi 3 golongan besar yang meliputi : a. Golongan Eropa b. Golongan Indonesia Asli c. Golongan Timur Asing Sedangkan golongan Timur itu sendiri dibedakan lagi menjadi Timur Asing Cina dan bukan Cina. Pasal 163 jo pasal 131 Indische Staatblad rejeling merupakan dasar hukum daripada aneka ragamnya peraturan-peraturan catatan sipil yang berlaku di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
29
Secara garis besar aturan tentang Catatan Sipil dapat dibagi kedalam dua periode yaitu masa Sebelum Kemerdekaan dan masa Setelah Kemerdekaan. 1. Pencatatan Kelahiran Pada Masa Orde Lama Deklarasi universal tentang Hak Asasi Manusia tahun 1948 menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk diakui sebagai manusia di manapun di depan hukum. Secara lebih tegas Konvensi Hak Anak pada tahun 1989 pasal 7 menyatakan bahwa anak akan dicatat segera setelah kelahirannya (oleh negara) dan sejak dilahirkan ia berhak untuk memperoleh nama dan kewarganegaraan dan sejauh dimungkinkan untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya. Dengan demikian, pencatatan kelahiran merupakan pengakuan negara atas eksistensi dan hak sipil seorang anak yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, asal-usul keluarga dan kewarganegaraannya. Pencatatan kelahiran merupakan awal personalitas hukum dan status keperdataan seseorang secara universal dan juga merupakan hal yang sangat penting untuk melindungi identitas pribadi yang sah serta hak-hak lainnya. Pencatatan kelahiran juga sangat berguna bagi pemerintah. Manfaat pencatatan kelahiran bagi Pemerintah adalah: Pertama, Pemerintah mempunyai data demografi akurat untuk perencanaan pembangunan. Kedua, Pemerintah dapat melaksanakan tertib Administrasi Kependudukan. Ketiga, Pemerintah dapat mengalokasikan Dana dan Sumber Daya Manusia lebih akurat dan tepat. Keempat, Pemerintah dapat membangun Good Governance.
Universitas Sumatera Utara
30
Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan tegas dalam pasal 28 menyebutkan bahwa pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah, agar setiap keluarga yang memerlukannya mudah mengurus pembuatan akta, pemerintah harus memberikan pelayanan sampai ke tingkat Desa. Pada masa sebelum Indonesia mereka berlaku aturan Kolonial Belanda, yang membagi penduduk ke dalam 3 golongan yaitu 37 : •
Reglement Catatan Sipil bagi Bangsa Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan Golongan Eropa, diatur dalam Staatsblad 1849 No. 25 yang diundangkan tanggal 10 Mei 1849.
•
Reglement Catatan Sipil bagi Bangsa Tionghoa dan keturunannya diatur menurut Staatsblad 1917 No. 130 jo Staatsblaad 1919 No. 81 dan perubahan- perubahannya yang diundangkan tanggal 1 Mei 1919.
•
Reglement Catatan Sipil bagi Bangsa Indonesia, diatur menurut Staatsblad 1920 No.751 jo Staatsblad 1927 No.564 yang diundangkan tanggal 15 Oktober 1920.
•
Reglement Catatan Sipil bagi Bangsa Indonesia yang beragama Kristen yang tinggal di wilayah Jawa, Madura, Minahasa, Ambon, Saparua, dan Banda kecuali Pulau Teun, Nila dan Serupa yang diatur dalam Staatsblad 1933 No.75 jo Staatsblad 1936 No.607.
37
Instruksi Presidium Kabinet No. 314/4/IN/12/1966 tentang penghapusan penggolongan penduduk dan Kantor Catatan sipil terbuka bagi seluruh penduduk Indonesia;
Universitas Sumatera Utara
31
2. Pencatatan Kelahiran Pada Masa Orde Baru Sampai Sekarang Pada masa setelah Indonesia Merdeka sampai dengan masa sekarang berlaku peraturan sebagai berikut 38: a. Instruksi Presidium Kabinet No.341/4/IN/12/1966; b. Undang- Undang No.4 tahun 1961 tentang perubahan nama keluarga; c. Keputusan Presidium Kabinet No. 127/4/Kep/12/1966 tentang ganti nama WNI ynag memakai nama Cina; d. Undang- Undang Administrasi Kependudukan. Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, maka baru pada tahun 2006 negara mempunyai aturan pencatatan sipil yang bersifat nasional. Dengan demikian sebelum tahun 2006, Indonesia masih memakai aturan Kolonial Belanda. Padahal sesuai dengan pertimbangan yang terdapat instruksi Presidium Kabinet No. 314/4/IN/12/1966, sudah direncanakan pengaturan tentang pencatatan sipil di dalam perundang- undangan.
38
Instruksi Presidium Kabinet No. 314/4/IN/12/1966 tentang penghapusan penggolongan penduduk dan Kantor Catatan sipil terbuka bagi seluruh penduduk Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
32
C. Hak Identitas Berdasarkan Konvensi Hak Anak dan Undang- Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Akta Kelahiran merupakan hak identitas seseorang sebagai perwujudan Konvensi Hak Anak (KHA) dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Akta kelahiran bersifat universal, karena hal ini terkait dengan pengakuan Negara atas status keperdataan seseorang. Latar belakang dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ( UUPA) adalah karena Indonesia menjamin kesejahteraan tiap- tiap warga Negara Indonesia, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan Hak Asasi Manusia seperti yang termuat dalam Undang- Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang
Hak
Anak.
Undang-
Undang
ini
menegaskan
bahwa
pertanggungjawaban orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Sehingga, jika seorang anak manusia yang lahir kemudian identitasnya tidak terdaftar maka kelak akan menghadapi berbagai masalah yang akan berakibat pada Negara, Pemerintah dan Masyarakat. Dalam perspektif Konvensi Hak Anak, Negara harus memberikan pemenuhan hak dasar kepada setiap anak, dan terjaminnya perlindungan atas keberlangsungan, tumbuh kembang anak. 39
39
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung, PT. Citra Widya, 2009), hlm. 24.
Universitas Sumatera Utara
33
Posisi seorang anak sebagai Warga Negara Indonesia diatur dalam Konstitusi UUD 1945, terdapat dalam pasal 28 B ayat 2 yaitu bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selain itu dalam Undang- Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Republik Indonesia tepatnya dalam pasal 5 dikatakan bahwa setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. Hak-hak Anak di berbagai Undang-Undang, antara lain UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, jelas menyatakan akta kelahiran menjadi hak anak dan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhinya. D. Pencatatan Kelahiran di Indonesia Dalam Undang – Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan tepatnya pasal 27 dikatakan bahwa : 1. Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. 2. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pejabat pencatatan sipil mencatatkan pada register akta kelahiran dan menerbitkan kutipan akta kelahiran.
Universitas Sumatera Utara
34
E. Syarat Pencatatan Kelahiran 1. Pencatatan Kelahiran yang terjadi di Indonesia Dalam pasal 51 Undang- Undang Nomor 25 tahun 2008 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil dikatakan bahwa setiap pencatatan kelahiran yang terjadi di Indonesia dicatatkan kepada instansi pelaksana dimana tempat terjadinya kelahiran, pencatatan kelahiran yang dimaksud dengan memperhatikan: a. Tempat domisili ibunya bagi penduduk Warga Negara Indonesia; b. Diluar tempat domisili ibunya bagi penduduk Warga Negara Indonesia c. Tempat domisili ibunya bagi Penduduk Orang Asing; d. Diluar tempat domisili ibunya bagi Penduduk Orang Asing; e. Orang Asing pemegang Izin Kunjungan; f. Anak yang tidak diketahui asal- usulnya atau keberadaan orangtuanya. 2. Pencatatan Kelahiran di Luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Dalam pasal 59 Undang- Undang Nomor 25 tahun 2008 dikatakan bahwa kelahiran warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia dicatatkan pada instansi yang berwenang di Negara setempat. Kelahiran Warga Negara Indonesia yang telah dicatatkan, dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia dengan memenuhi syarat: a. Bukti pencatatan kelahiran di Negara setempat ;
Universitas Sumatera Utara
35
b. Fotokopi Paspor Republik Indonesia orangtua; dan c. Kutipan Akta Perkawinan/ Buku Nikah atau bukti tertulis Perkawinan Orangtua. Pencatatan kelahiran dilakukan dengan cara: a. Warga Negara Indonesia mengisi formulir pelaporan Kelahiran dengan menyerahkan dan/ atau menunjukkan persyaratan kepada Pejabat Konsuler; b. Pejabat konsuler mencatat laporan kelahiran Warga Negara Indonesia dalam daftar Kelahiran Warga Negara Indonesia dan memberikan surat bukti Pencatatan Kelahiran dari Negara setempat. Dalam hal Negara setempat tidak menyelenggarakan Pencatatan Kelahiran bagi orang asing, Pencatatan Kelahiran Warga Negara Indonesia dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia. Pencatatan Kelahiran dilakukan dengan memenuhi syarat berupa : a. Surat Keterangan Lahir dari penolong kelahiran; b. Fotokopi Paspor Republik Indonesia orangtua; c. Kutipan Akta Perkawinan/ buku nikah atau bukti tertulis perkawinan orangtua. Pencatatan kelahiran dilakukan dengan cara:
Universitas Sumatera Utara
36
a. Warga Negara Indonesia mengisi formulir Pencatatan Kelahiran dengan menyerahkan dan/ atau menunjukkan persyaratan- persyaratan yang tertera kepada Pejabat Konsuler; b. Pejabat Konsuler mencatat dalam Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban menyampaikan data kelahiran kepada Instansi Pelaksana melalui departemen yang bidang tugasnya meliputi urusan Pemerintahan dalam Negeri. Instansi pelaksana yang menerima data kelahiran mencatat dan merekam ke dalam Database Kependudukan. Warga Negara Indonesia setelah kembali ke Indonesia melapor kepada Instansi Pelaksana atau UTPD Instansi Pelaksana di tempat domisili dengan membawa alat bukti pelaporan/ pencatatan kelahiran dari Luar Negeri. 3. Pencatatan Kelahiran di atas Kapal Laut atau Pesawat Terbang Dalam pasal 63 paragraf 3 Undang- Undang Nomor 25 tahun 2008 dikatakan bahwa kelahiran anak warga Negara Indonesia diatas kapal laut atau pesawat terbang di dalam atau di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia diberikan Surat Keterangan Kelahiran oleh Nahkoda Kapal Laut atau Kapten Pesawat terbang.
Universitas Sumatera Utara
37
4. Pencatatan Kelahiran yang melampaui Batas Waktu Untuk masyarakat Eropa masa tenggang waktu pencatatan kelahiran diatur dalam pasal 37 dan pasal 38 Reglemen Pencatatan Sipil dikatakan bahwa tenggang waktu pencatatan kelahiran apabila pencatatan sipilnya terpisah oleh laut atau jaraknya lebih dari sepuluh pal dan dalam pasal 38a Reglemen dikatakan bahwa apabila pencatatan kelahiran lewat dari tenggang waktu yang sudah ditetapkan maka hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan Pengadilan Negeri dari tempat pemohon. Untuk masyarakat Tionghoa tetapi dalam waktu Pencatatan Kelahiran yang jaraknya lebih dari sepuluh pal sama dengan peraturan yang ditetapkan untuk golongan Eropa, namun pada peraturan untuk golongan Tionghoa diatur dalam pasal 50 Reglemen. 40 Mengenai Pencatatan Kelahiran yang melampaui batas waktu diatur juga dalam UndangUndang Nomor 25 tahun 2008 tepatnya pasal 64 dan pasal 65. 41 Dalam pasal 64 dikatakan bahwa Pencatatan Pelaporan Kelahiran yang melampaui batas waktu 60 (enam puluh) hari sampai dengan 1 (Satu) tahun sejak tanggal kelahiran, dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai persyaratan pencatatan kelahiran setelah mendapatkan persetujuan Kepala Instansi Pelaksana.
40
Rahmadi Usman, op.cit hlm. 207 Undang- Undang Nomor 25 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. 41
Universitas Sumatera Utara
38
Hal ini maksudnya adalah bahwa pencatatan kelahiran yang terlambat untuk Peristiwa Kelahiran yang terjadi tidak dapat dilakukan secara langsung tetapi harus melaporkan dulu ke Instansi Pelaksana yang dalam hal ini adalah Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bahwa telah terjadi peristiwa kelahiran beberapa tahun yang lalu. Pelapor harus menyertakan alasan - alasan yang menyebabkan kelahiran tersebut tidak didaftarkan dan apabila alasan tersebut dapat diterima oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil barulah dapat dilaksanakan pendaftaran Peristiwa Kependudukan dan Akta dapat dikeluarkan. Dalam pasal 65 dikatakan bahwa pencatatan pelaporan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal kelahiran, dilakukan dengan ketentuan mengenai Persyaratan Pencatatan Kelahiran setelah mendapatkan penetapan Pengadilan Negeri. Dalam pasal ini jelas dikatakan bahwa pencatatan kelahiran yang terjadi lewat batas waktu yang telah ditetapkan maka penduduk tersebut harus melapor ke Pengadilan untuk mendapatkan keputusan apakah pendaftaran peristiwa kelahiran tersebut masih dapat dilakukan atau tidak, namun sejalan dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XI/2013 tentang Akta Kelahiran, maka Pasal 65 tidak lagi digunakan dan pendaftaran kependudukan bagi yang melampaui batas waktu dapat dilakukan hanya dengan keputusan Kepala Instansi Pelaksana setempat yang dalam hal ini adalah Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Universitas Sumatera Utara
39
F. Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pendaftaran Kelahiran Yang Melampaui Batas Waktu Awalnya pendaftaran kelahiran harus dilakukan 60 hari sejak terjadinya proses Kelahiran, namun dengan berbagai pertimbangan maka Mahkamah Konstitusi mengeluarkan peraturan bahwa pengurusan akta kelahiran tidak lagi harus melalui pengadilan. Masyarakat tidak perlu lagi mengurus akta kelahiran ke pengadilan walaupun mengalami keterlambatan. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan gugatan UU Administrasi Kependudukan terkait pengurusan akta kelahiran apabila mengalami keterlambatan lebih dari 60 hari. 42 Pasal 32 ayat 2 Undang- Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang berisikan: 1. Pelaporan Kelahiran sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1) yang melampaui batas waktu 60 ( enam puluh) hari sampai dengan 1 (satu) tahun sejak tanggal kelahiran, pencatatan dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Kepala Instansi Pelaksana setempat. 2. Pencatatan Kelahiran yang melampaui batas waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri. 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai Persyaratan dan Tata Cara Pencatatan Kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dalam Peraturan Presiden.
42
Putusan sidang Mahkamah Konstitusi Nomor 18 /PUU-XI/2013 tentang Akta Kelahiran
Universitas Sumatera Utara
40
Dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XI/2013 secara singkat dijelaskan mengenai pertentangan antara Pasal 32 Undang- Undang Tahun 2006 dengan Undang- Undang Republik Indonesia 1946 yang diantaranya adalah sebagai berikut: 43 1. Pasal 32 ayat 2 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kata 'persetujuan' dalam pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai 'keputusan'.” 2. Frasa “sampai dengan satu tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 3. Pasal 32 ayat (2) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 4. Frasa “ dan ayat (2)” dalam pasal 32 ayat 3 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal itu terjadi karena ketidaksiapan untuk menghadapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta menimbulkan dampak terjadinya berbagai masalah pembangunan yang kompleks. Dengan menimbang Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 yang menyatakan bahwa pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang 43
http://www.tribunnews.com/2013/04/30/mk-hapus-peran-pengadilan-dalam-pembuatan-akte-kelahiran, diakses tanggal 6 Maret 2014
Universitas Sumatera Utara
41
menyaksikan dan / atau membantu proses kelahiran dan pasal 27 ayat 4 Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui dan orangtuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran anak tersebut dibuat berdasarkan keterangan orang yang menemukannya.” 44 Pasal 28 ayat 1 Undang- Undang nomor 23 Tahun 2002 menyatakan bahwa pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan atau desa. Berdasarkan ketentuan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan akta kelahiran merupakan kewajiban pemerintah di bidang Administrasi kependudukan yang diselenggarakan dengan sederhana dan terjangkau. Pada sisi lain, setiap penduduk wajib melaporkan setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa yang dialaminya termasuk kelahirannya Menurut Mahkamah Konstitusi, keterlambatan melaporkan kelahiran yang lebih dari satu tahun harus dengan penetapan pengadilan akan memberatkan masyarakat. Keberatan tersebut bukan saja bagi mereka yang tinggal jauh didaerah pelosok tetapi juga bagi mereka yang tinggal di daerah perkotaan. Lagipula, sebagaimana telah dipertimbangkan diatas, proses di pengadilan bukanlah proses yang mudah bagi masyarakat awam sehingga dapat mengakibatkan terhambatnya hak-hak Konstitusional Warga Negara terhadap kepastian hukum.
44
Undang- Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Universitas Sumatera Utara
42
Dalam pasal 32 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan berbunyi pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 tahun dilaksanakan berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri. Atas berbagai pertimbangan matang, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus pasal itu, kini pengurusan akta sepenuhnya ditangan pemerintah lewat petugas catatan sipil. Ketua Mahkamah Agung (MA) menindaklanjuti kebijakan dari MK tersebut dengan mencabut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 tahun 2012 terkait pedoman pencatatan akta kelahiran. Maka itu, bagi masyarakat ataupun orangtua yang terlambat mengurus akta kelahiran (usia diatas 1 tahun), mulai tanggal 1 Mei 2013 tidak perlu lagi mengurus hingga ke Pengadilan Negeri, tetapi cukup langsung urus saja di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. 45
45
Putusan sidang Mahkamah Konstitusi Nomor 18 /PUU-XI/2013 tentang Akta Kelahiran.
Universitas Sumatera Utara