BAB I1
TINJAUAN PUSTAKA Sebaran Empirik Perbedaan yang mendasar antara sebaran teoritis dan sebaran empirik adalah bahwa sebaran empirik didasarkan pada data yang merupakan hasil pengamatan yang diperoleh dari dunia nyata, sedang sebaran teoritis lebih I
didasarkan pada asumsi-asumsi matematis. Dalam kenyataan sehari-hari fungsi sebaran yang sebenarnya dari suatu peubah acak hampir pasti tidak diketahui.
Untuk memperoleh gambaran tentang bentuk sebaran tersebut biasanya dilakukan pendugaan. Salah satu cara pendugaan yang sudah teruji cukup baik adalah dengan mengamati beberapa harga dari peubah acak yang bersangkutan dan dari hasil pengamatan ini dibentuk grafii F*(x) yang diharapkan dapat dipergunakan untuk menduga fungsi F(x) yang tidak diketahui. Misal X, ,X, , ...,.. ,X,, adalah peubah acak yang saling bebas dan mempunyai sebaran yang identik, dengan fhgsi sebaran bersama F, dan F, (x,w), x ER, o E
Q, adalah h g s i sebarm empirik dari X, pada n percobaan, maka (Teorema
Glivenko-Cantelli) :
F, (x,o)
= (I/n)
[ jumlah XI(@), X,(o),
...... ,&(a)
yang lebih kecil hau sama dengan x ]
Apabila n cukup besar maka fungsi sebaran empirik akan sama seperti fhgsi sebaran sebenarnya dari populasi.
r
Untuk menguji bahwa dua buah sebaran merupakan sebaran ang sama atau berbeda, bisa dipergunakan statistik T = sup I F*(x) - F(x) X
Hipotesis H, : F(x) = F*(x) ditolak jika T besar (Kolmogorov-Srnirnov).
Pencilan Pola hubungan antara peubah Y dan X yang bersifat linier dapat dirnodelkan dengan persamaan
Y =X
terkecil, akan diperoleh dugaan dari P : b
P ,+ e dan dengan metode kwadrat =
Koefisien determinasi didefrnisikan sebagai
(XTX)-1XTY.
R*
=
SSreg 1 SYY yang
merupakan proporsi keragaman Y yang dapat dijelaskan oleh keragaman X. Nilai R2 antara 0 dan 1. Semakin dekat nilai R2 dengan 1, berarti makin dekat pula titik-titik pengamatan ke persamaan regresinya. Ini berarti persamaan regresinya semakin baik. Bila R2=lberarti semua titik pengamatan akan tepat berada pada persamaan regresi. Idealnya, jika model persamaan regresinya baik, maka model tersebut akan pas untuk semua data. Di dalam kenyataannya bukan tidak mungkm ada satu atau lebih pengamatan yang kelihatannya lain dari pada yang lain. Pengamatan yang tidak mengkuti model yang berlaku bagi mayoritas teman-temannya disebut pencilan. Cara yang paling mudah untuk mengidentifikasi pencilan adalah
dengan melihat sisaannya. Apabila sisaannya besar, maka pengamatan tersebut
dianggap pencilan. Biasanya dipakai sisaan yang sudah dibakukan, yaitu sisaan dibagi dengan simpangan bakunya (standardized residual), ri = ei / Se atau simpangan baku student (studentized residual), yaitu simpangan baku di mana pengamatan ke i tidak diikutsertakan dalam model,
Sebagai patokan kasar, jika lri1>2 atau lti1>2, maka kita harus hati-hati terhadap I
kemunglunan adanya pencilan. Apabila lri1>3 atau lti1>3 maka dapat dipastikan bahwa pengamatan yang bersangkutan adalah pencilan.
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Pendidikan tinggi adalah salah satu wahana untuk mendidik dan memilih pemimpin bangsa di masa mendatang. Oleh sebab itu seleksi penerimaan mahasiswa baru menjadi sangat penting. Kualitas calon mahasiswa yang diterima akan berdampak langsung pada kualitas pemimpin di masa mendatang (Klitgaard, 1991). Tanpa universitas kelas dunia dengan mahasiswa kelas dunia, harnpi. tidak mungkm bangsa kita mampu bersaing dalam pasar global yang dicanangkan akan berlaku mulai tahun 2020 mendatang. Bahwa saat ini di Indonesia terdapat 12.6% sarjana yang rhenganggur (World Bank, 1994), merupakan satu isyarat bahwa masih banyak lulusan kita yang kualitasnya belum memenuhi persyaratan yang diharapkan oleh pasar tenaga kerja. Padahal persaingan bebas belum lagi dimulai. Kualitas lulusan seperti tersebut di atas tidak mungkin lepas dari kualitas mahasiswa baru yang diterirna. Adanya kelompok-kelompok dari peserta ujian, seperti asal daerah SMTA, status sosial,
bidang studi yang diminatinya dan lain sebagainya, kadang-kadang memberikan suatu kenyataan yang sangat menyedihkan. Indonesia, seperti halnya negaranegara berkembang lainnya, memberi subsidi yang besar terhadap pendidikan tinggi, lebih besar dari subsidi untuk pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Karena sebagian besar mahasiswa perguruan tinggi berasal dari golongan ekonomi menengah ke atas, berarti subsidi yang besar untuk pendidikan tinggi bertentangan dengan pemerataan yang sedang giat-giatnya
kita laksanakan. Hal tersebut masih ditambah dengan adanya kebijakankebijakan lain yang kadang-kadang kurang kamah terhadap golongan ekonomi lemah. Dalam menganalisis data PP1 yang penulis sajikan, Robert Klitgaard menguraikan secara gamblang untung-ruginya memberikan perlakuan khusus, seperti kuota, terhadap kelompok-kelompok dalam masyarakat yang kondisinya h a n g diuntungkan (Klitgaard, 1986). Umpan balik dari Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Perguruan Tinggi kepada Sekolah Menengah Tingkat Atas kadang-kadang malah memperburuk keadaan. Apa yang dipersyaratkan oleh panitia seleksi sering djadikan pedoman untuk menentukan apa yang hams diutamakan dalam pendidikan di sekolah lanjutan. Bahkan apa yang diuji oleh panitia seleksi bisa merubah kurikulum sekolah lanjutan, sehingga kurikulum tersebut tidak cocok untuk sebagian anak didik yang sebenamya tidak akan meneruskan ke pendidikan tinggi (Klitgaard, 1991).
Kehandalan Ujian Seleksi Kehandalan dari suatu ujian seleksi diukur dengan hubungan antara nilai ujian tersebut dengan sesuatu nilai atau kriteria lain yang diukur di kemudian hari. Perhatian utama dalam mempelajari kehandalan tersebut adalah indikator dari kesuksesan yang harus dapat dijelaskan oleh nilai ujian seleksi (Thorndike,
1982). Penelitian tentang kehandalan seperti ini berkaitan erat dengan penafsiran yang tepat dari penggunaan ukuran-ukuran pengujian (Cronbach, 1971). Derajat kehandalan merupakan aspek terpenting dalam setiap ujian. Baik pimpinan perguruan tinggi maupun panitia ujian masuk perguruan tinggi tidaklah secara langsung tertarik pada seberapa hebat calon mahasiswa mengerjakan sod-sod ujian masuk. Mereka lebih tertarik menggunakan nilai ujian untuk memilih calon mahasiswa yang mempunyai peluang paling tinggi untuk berhasil di perguruan tinggi dan dapat menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi sesuai dengan waktu yang 'telah ditentukan. Jadi, secara ti& langsung mereka tertarik pada kehandalan pendugaan dari nilai-nilai ujian masuk perguruan tinggi. Data mengenai kehandalan biasanya dikumpulkan
untuk mendukung pernyataan bahwa suatu ujian berguna untuk suatu maksud tertentu. Apabila ujian digunakan sebagai alat seleksi, seharusnya panitia ujian dapat menyajikan kehandalan pendugaannya dalam bentuk korelasi antara nilai ujian dengan ukuran prestasi di kemudian hari (Angoff, 1988). Biasanya para pendidik
menggunakan hdeks Prestasi Kumulatif (IPK) sebagai ukuran
prestasi di perguruan tinggi (Mehrens dan Lehmann, 1987). Penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia terhadap mahasiswa yang diterima melalui Sipemaru tahun 1984 dan 1985 di 14 Perguruan Tinggi Negeri (UI, ITB, UGM, Unair, USU, Unand, Unila, Unlam, Unhas, Unsrat, Untad, IKIP Malang, IKIP Jakarta dan IKIP Padang) menunjukkan bahwa kehandalan pendugaan dari Sipenmaru unt& Kelompok IPA Non-kependidikan tidak mengecewakan. Tetapi untuk Kelompok IPS dan Kependidikan (baik IPA maupun IPS) hasilnya h a n g menggembirakan. Koefisien korelasi antara IPK dan nilai Sipenmaru sangat bervariasi antara -0.63 sampai dengan 0.63 (Soewondo, et al., 1988). Penelitian yang bersumber pada data mahasiswa baru
tahun 1988 dan 1989 dari 5 universitas anggota SKALU menunjukkan bahwa koefisien korelasi antara IPK dan Nilai Ebtanas Murni berkisar antara 0.48 dan
0.64, sedang koefisien korelasi antara IPK dan nilai UMPTN berkisar antara 0.43 dan 0.65 (Masoem, 1990).
Penelitian dengan data yang mewakili
universitas-universitas di Amerika Serikat telah dilakukan oleh penyelenggara The American College Testing Assessment Program (ACT-AP) dan The Scholastic Aptitude Test (SAT), yaitu dua ujian yang dipakai secara luas di seluruh Amerika. Para peneliti dari College Entrance Examination Board (CEEB, penyelenggara SAT) melaporkan (Donlon, 1984) bahwa hasil penelitian kehandalan pendugaan pada 685 universitas (seluruh Amerika ada lebih dari 3000 universitas) untuk mahasiswa yang diterirna antara tahun 1964 sampai 1981 menunjukkan bahwa nilai SMTA merupakan peubah penjelas terbaik untuk menduga IPK mahasiswa tahun pertama. Di 232 universitas (34% dari 685 universitas tersebut di atas), jika dibadingkan dengan nilai SMTA, nilai total SAT mempunyai andil yang lebih besar dalam menduga IPK mahasiswa tingkat pertama. Keadaan sebaliknya terjadi di 453 universitas (66%). Rataan koefisien korelasi masing-masing adalah 0.48 untuk nilai
SMTA, 0.36 untuk nilai verbal SAT, 0.35 untuk nilai matematika SAT, dan 0.42 untuk nilai total (verbal + matematika) SAT. Penggunaan ketiga peubah penjelas secara bersamaan (nilai SMTA, nilai verbal SAT, dan nilai matematika SAT) untuk menduga IPK memberikan rataan korelasi sebesar 0.55. Kalau diperhatikan rataan koefisien korelasinya, terlihat bahwa penambahan nilai total SAT sebagai peubah penjelas akan memperbesar koefisien korelasi sebesar 0.07 (dari 0.48 menjadi 0.55) dibanding dengaq koefisien korelasi yang diperoleh dari dari dugaan yang hanya menggunaan nilai SMTA saja. Penggunaan nilai SMTA meningkatkan koefisien korelasi sebesar 0.13 (dari 0.42 menjadi 0.55) dari koefisien korelasi yang diperoleh dengan menggunakan nilai SAT saja. Salah satu cara untuk melihat seberapa besar andil dari nilai SMTA dan nilai SAT dalam rnemperoleh dugaan IPK mahasiswa tahun pertama, menurut peneliti tersebut adalah dengan melihat prosentase sumbangannya dalam
persamaan regresi. Untuk keperluan tersebut koefisien persamaan regresi dibakukan, kemudian dihitung proporsi bobot baku dari masing-masing peubah terhadap bobot baku total. Nilai rataan dari besarnya andil untuk nilai verbal SAT, nilai matematika SAT dan nilai SMTA masing-masing adalah 26%, 20%
dan 54%. Dalam penelitian dari College Entrance Examination Board yang lain (Morgan, 1989) dilaporkan bahwa sejak awal tahun 60an sampai dengan pertengahan 70an rataan koefisien korelasi antara nilai SAT dengan IPK tahun pertama di perguruan tinggi naik secara dramatis. Dalam dekade berikutnya kuatnya hubungan tersebut menurun sedikit demi sedikit. Data contoh dari mahasiswa tingkat pertama yang mendaftar di 222 perguruan tinggi dari tahun 1976 sampai dengan 1985 menunjukkan bahwa rataan koefisien korelasi antara nilai SAT dan IPK perguruan tinggi tahun pertama tunrn dari sekitar 0.51 menjadi sekitar 0.47, yaitu p e n m a n sekitar 0.04. Dibanding dengan koefisien korelasi dari model regresi yang hanya menggunakan nilai SAT saja, penambahan peringkat siswa sewaktu di SMTA pada model regresi mengakibatkan kenaikan koefisien korelasi dari 0.13 sampai 0.17. Penelitian yang komprehensif telah dikerjakan oleh American College Testing Program (Sawyer and Maxey, 1979) berdasarkan data yang dikumpulkan dari 260 perguruan tinggi, dari tahun 1972-1973 sampai tahun 1976-1977. Hasilnya menunjukkan bahwa keakuratan dugaan dengan peubah penjelas nilai ACT dan nilai SMTA secara bersama-sama terlihat stabil dalam kurun waktu yang diteliti.