1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Pada umumnya
setiap
kelompok
masyarakat
memiliki
tahapan perkembangan kehidupan ekonomi yang berbeda-beda. Menurut
Rostow,
masyarakat
secara
memiliki
umum
rangkaian
pertumbuhan
tahapan
yaitu
ekonomi
masyarakat
tradisional; pra kondisi untuk tinggal landas; tinggal landas; perjalanan menuju kematangan dan masa konsumsi berjumlah besar.1 Menurut Juyuf M. Colter, karakteristik kehidupan pada tahapan masyarakat tradisional terletak pada sektor pertanian.2 James C. Scott menyatakan produksi pertanian hanya untuk kebutuhan konsumsi atau memenuhi kebutuhan minimum dan belum
memaksimalkan
penghasilan
atau
keuntungan.
Pada
tingkatan tersebut kebutuhan akan pinjaman belum berkembang.3
Rostow, “The Stage of Economic Growth”, The Economic History Review, Second Series, Vol. XII, No. I (1959), hlm. 1-11.; Lihat pula Juyuf M. Colter, “Masalah Perkreditan Dalam Pembangunan Pertanian”, dalam Faisal Kasryno (penyunting), Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984), hlm. 305. 1W.W.
2Juyuf
M. Colter, loc. cit.
C. Scott, Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 19-20. 3James
2
Pada tahapan peralihan dari masyarakat yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau konsumsi ketahapan produksi komersial,
teknologi
mulai
masuk
sehingga
kebutuhan
masyarakat yang sebelumnya hanya terbatas untuk kebutuhan konsumsi, telah mulai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan barang-barang
lain
dan
sarana
produksi.
Pada
tahap
ini,
kebutuhan pinjaman untuk berproduksi semakin diperlukan oleh masyarakat.4 Jika dikaitkan dengan pendapat Samuel L. Popkin, menunjukkan bahwa masyarakat petani tidak hanya berproduksi untuk memenuhi kebutuhan minimum, namun mulai memenuhi kebutuhan maksimum sebagai
investasi jangka panjang.5 Pada
tahap komersial, masyarakat berproduksi untuk kepentingan pasar dengan tujuan keuntungan.6 E.K. Fisk menyatakan, dalam ekonomi pedesaan yang betulbetul murni subsistensi, kredit tidak memiliki peranan. Akan tetapi ketika semakin meluasnya ekonomi yang didasarkan atas pertukaran, berkembangnya produksi untuk keperluan pasar,
M. Colter, loc.cit; Lihat pula, E.K. Fisk, “Ahli Ekonomi Barat dan Ekonomi Pedesaan di Asia Tenggara”, Budiono dan Peter McCawley (ed.), Bunga Rampai Ekonomi Mikro: KumpulanKumpulan Karangan Mengenai Penerapan Teori Ekonomi Mikro, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1976), hlm. 191. 4Juyuf
L. Popkin, The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam, (Berkeley: University of California Press, 1970), hlm. 4. 5Samuel
6
Juyuf M. Colter, loc.cit.
3
maka kebutuhan akan kredit tumbuh dengan cepat.7 Pada daerah-daerah yang proses transisi atau peralihan yang telah mencapai
tahap
berlangsung,
lanjut,
masih
atau
tampak
proses
ciri-ciri
transisinya
kelembagaan
masih
pedesaan.
Proses perubahan dan perkembangan faktor-faktor kelembagaan, seperti lembaga perkreditan yang melandasi transisi organisasi dan kehidupan ekonomi pedesaan ke arah kehidupan ekonomi pertukaran. Salah satu faktor kelembagaan yang dimaksud yaitu lembaga perkreditan.8 Pendapat-pendapat di atas mendorong untuk melakukan penelitian tentang pengelolaan keuangan di pedesaan Buleleng Bali dalam kurun tahun 1873 hingga tahun 1934, antara lain proses ketika masyarakat pedesaan mengenal uang sebagai bagian dari kehidupan ekonomi, uang sebagai alat pembayaran dan uang sebagai standar nilai. Ketika masyarakat telah mengenal uang dan membutuhkan uang dalam berbagai kebutuhan kehidupan, maka
Fisk, loc.cit. Menurut Pandu Suharto, di pedesaan Indonesia hingga akhir abad XIX, walaupun pertanian untuk mencukupi kebutuhan sendiri, yang pada prinsipnya di luar sistem pertukaran dan tidak untuk menghasilkan keuntungan, tetapi bukan berarti pertukaran dengan menggunakan uang sama sekali tidak dikenal oleh petani. Di pasar desa, uang digunakan sebagai alat pertukaran. Pandu Suharto, Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat. (Jakarta: LPPI, 1988), hlm. 2. 7E.K.
Fisk, loc.cit. Berdasarkan catatan redaksi, E.K. Fisk memiliki pengalaman praktek bertahun-tahun dalam masalah pembangunan pedesaan di Malaysia. 8E.K.
4
akan
berkaitan
dengan
lembaga
ekonomi
sebagai
sarana
peminjaman. Membahas tentang ekonomi desa tidak hanya dikaitkan dengan kemiskinan, namun desa merupakan sumber ekonomi yang sangat besar bagi negara,9 dan ekonomi desa sebagai penyangga kelangsungan hidup bangsa.10 Setiap rezim yang berkuasa di Indonesia hampir selalu menyatakan akan berusaha membangun desa, karena desa sebagai basis pembangunan dan sumber data perencanaan pembangunan.11 Oleh karena desa diasumsikan sebagai sumber ekonomi bagi negara, maka pemerintah Indonesia membangun infrastruktur ekonomi pedesaan dengan pengembangan usaha ekonomi desa
9Bambang
Purwanto, “Sejarah Ekonomi Desa: Antara Eksploitasi dan Kesempatan”, dalam jurnal Dinamika Pedesaan dan Kawasan, Volume I No. 1 Agustus 2001, (Yogyakarta: Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, 2001), hlm. 1. 10Soegijanto
Padmo, “Pembangunan Masyarakat Pedesaan Dalam Perspektif Historis”, dalam Agus Suwignyo (dkk), Sejarah Sosial (di) Indonesia: Perkembangan dan Kekuatan, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 2011), hlm. 80. 11Lihat,
W.P. Soehoed, “Kebijakan Pemerintah Dalam Pembangunan Pedesaan” dalam Parsudi Suparlan (ed.), Pembangunan Yang Terpadu Berkesinambungan (Jakarta: Balitbangsos Depsos RI, 1994), hlm 34-35, 44; Lihat juga Arbi Sanit, “Pembangunan dan Pedesaan” dalam Arbi Sanit (ed.), Strategi Pembangunan yang Berawal dari Desa, (Jakarta: Universitas Nasional, 1983), hlm. 4; Lihat pula Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
5
dan
mendirikan
perkreditan
desa.12
Selain
itu,
melakukan
modernisasi lembaga keuangan pedesaan, seperti lumbung desa dan koperasi.13 Pada tahun 1946, modernisasi lembaga keuangan dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan mendirikan Bank Rakyat Indonesia (BRI).14 Dalam perkembangan selanjutnya, agar dapat menjangkau wilayah pedesaan, maka pada tahun 1973 Bank Rakyat Indonesia mengembangkan BRI Unit Desa.15
12H.H.
Siagian, “Pembangunan Infrastruktur Pedesaan”, Loekman Sutrisno dan Farae Umaya, Pemerataan dan Kemiskinan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995), hlm. 138-139. W.P. Soehoed, loc.cit; Lihat juga Arbi Sanit, loc.cit. Berdasarkan tingkat formalitasnya, lembaga bentukan pemerintah daerah termasuk dalam lembaga keuangan mikro formal. Lincolin Arsyad, Lembaga Keuangan Mikro: Institusi, Kinerja dan Sustanabilitas, (Yogyakarta: Andi, 2008), hlm. 83-84. 13Lihat,
14Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Tanggal 22 Pebruari No 1 Tahun 1946, bahwa BRI merupakan bank pemerintah yang sebelumnya bernama Algemeene Volkscredietbank dan Syomin Ginko. Wilayah kerja BRI meliputi seluruh Indonesia. Termuat dalam Bank Rakyat Indonesia, Seratus Tahun Bank Rakyat Indonesia 1895-1995, (Jakarta: PT. Bank Rakyat Indonesia, 1995), hlm. 31. 15Berdasarkan
Instruksi Presiden RI No 4 Tahun 1973 Tanggal 5 Mei 1973. Ibid., hlm. 61. Sebagai perbandingan, tahun 1954 pemerintah India membangun perbankan modern yang menjangkau wilayah pedesaan. Salah satunya Reserve Bank of India yang dalam aktivitas perbankan menjangkau daerah pedesaan yang tidak memiliki lembaga bank. Beban bunga atas pinjaman sesuai dengan berbagai macam skala prioritas. Hasil temuan Burgess dan Pande, menunjukkan bahwa ekspansi perbankan ke wilayah yang tidak memiliki bank berkontribusi terhadap sektor bisnis kecil, terjadi peningkatan tenaga kerja non agrikultural; Lihat Mihir Shah, Rangu Rao, PS Vijay Shankar, “Rural Credit in 20th Century India: Overview of History and Perspectives”, Eeconomic and Political Weekly, Vol. 4 No. 15 (2007), hlm. 1.355.
6
Akan tetapi kinerja BRI Unit Desa dianggap belum efektif dan belum sepenuhnya mencapai sasaran yang diharapkan. Hal ini karena pendirian lembaga keuangan dengan pola pengelolaan dari atas tanpa melihat situasi, kondisi serta budaya tempat lembaga keuangan didirikan. Selain itu, prosedur dan persyaratan yang rumit, lokasi lembaga keuangan yang jauh dari tempat tinggal penduduk desa, juga menjadi pembatas bagi masyarakat pedesaan
untuk
memanfaatkan
lembaga
kredit
bentukan
pemerintah.16 Dengan demikian tampak bahwa
desa hanya sebagai
sasaran atau objek kebijakan pemerintah dan mengabaikan kemampuan masyarakat desa yang telah memiliki kemampuan dalam
mengelola
keuangan
melalui
lembaga
desa
ataupun
organisasi lainnya. Oleh karena itu, beberapa pemerintah daerah di Indonesia mendirikan lembaga keuangan yang disesuaikan dengan kemampuan yang telah dimiliki oleh masyarakat pedesaan dalam mengelola keuangan, seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Barat.
16Edy
Suandi Hamid, “Pendahuluan: Rekaman Dari Seminar“, dalam Mubyarto dan Edy Suandi Hamid (penyunting), Kredit Pedesaan di Indonesia, (Yogyakarta: BPFE, 1986), hlm. 4-6; Tentang BRI Unit Desa sebagai salah satu bentuk keuangan mikro yang mengembangkan kredit usaha pedesaan, lihat Mubyarto, Keuangan Mikro Kulonprogo, (Yogyakarta: Aditya Media dan Pustep UGM, 2004), hlm. 1.
7
Pada tahun 1970, di Propinsi Jawa Tengah didirikan Badan Kredit
Kecamatan
(BKK)
yang
beroperasi
di
daerah-daerah
pedesaan di Jawa Tengah. Dalam BKK, jaminan dalam pinjam meminjam tidak mutlak harus ada, namun lebih ditentukan oleh karakter peminjam.17 Tahun 1980 berdiri Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur. Lembaga kredit KURK, pada awal berdirinya beroperasi di Madura dan selanjutnya dikembangkan di daerah-daerah lainnya di Jawa Timur.18 Tahun 1972 di Sumatra Barat didirikan Lumbung Pitih Nagari (LPN). Lumbung Pitih Nagari merupakan lembaga perkreditan di tingkat desa di Sumatera Barat. LPN diarahkan untuk tumbuhnya simpan pinjam yang didasarkan atas azas kekeluargaan. Dalam LPN ‘jaminan’ dalam pinjaman diperoleh dari tetua (datuk) si peminjam.19 Pemerintah
Daerah
Bali
juga
salah
satu
yang
mengembangkan lembaga keuangan pedesaan yang disesuaikan dengan situasi, kondisi serta kepentingan masyarakat sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat pedesaan. Di Bali, pada
17Lihat
Subardjo Darmojuwono dan Pengestu Subagyo, “Badan Kredit Kecamatan di Jawa Tengah”, dalam Mubyarto dan Edy Suandi Hamid (penyunting), op.cit., hlm. 17-36. 18Moeljarto
Tjokrowinoto dan Dumairy, “Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur”, dalam Mubyarto dan Edy Suandi Hamid (penyunting), ibid., hlm. 53-65. 19Loekman
Soetrisno dan Gunawan Sumodiningrat, “Lumbung Pitih Nagari di Sumatera Barat”, dalam Mubyarto dan Edy Suandi Hamid (penyunting), ibid., hlm. 37-52.
8
tahun 1984 mulai dikembangkan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang sesuai dengan sistem keuangan yang telah berlangsung di masyarakat. Hal ini dilakukan pada saat Ida Bagus Mantra terpilih menjadi Gubernur Bali periode 1983-1988.20 Pada masa itu pengelolaan keuangan pedesaan khususnya dalam perkreditan, mendapat perhatian serius. Gubernur secara mandiri dan intensif melakukan
dialog
dengan
pihak
swasta
tentang
lembaga
perbankan yang tepat dibangun di daerah pedesaan sehingga dapat diterima oleh masyarakat pedesaan.21 Hal itu dilakukan untuk menemukan formula lembaga keuangan pedesaan, yang sesuai dengan sistem keuangan pedesaan yang telah berlangsung
20Gubernur
Ida Bagus Mantra menjabat sebagai Gubernur Bali selama dua periode yaitu tahun 1978-1983 dan periode 19831988. 21Pihak
swasta yang melakukan hal itu yaitu I Wayan Gatha tokoh perbankan dan selaku pendiri PT BPR Sripartha Group. I Wayan Gatha merupakan pencetus ide tentang cikal bakal bagaimana agar masing-masing desa adat memiliki usaha dalam bentuk lembaga keuangan. Pada tanggal 19 Agustus 1980, ide itu disampaikannya kepada Gubernur Bali Prof. Dr. Ida Bagus Mantra ketika diundang dalam upacara pemelaspas MAI Bank Pasar Sri Partha. Ide itu ditanggapi positif oleh gubernur dan ditindaklanjuti sehingga terbentuklah Lembaga Perkreditan Desa. Oleh karena idenya itu, pada tanggal 28 Pebruari 2013, I Wayan Gatha mendapat perhargaan ‘Perama Budaya Bidang Ekonomi’ dari walikota Denpasar, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra. Dikutip dari Bali Post, “BPR Ashi Serahkan Hadiah”, tanggal 15 Maret 2013. www.balipost.co.id; Cf. Tim Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra: Biografi Seorang Budayawan 1928-1995, (Denpasar: Upada Sastra, 1998), hlm. 115-126; Tentang perkembangan dan sistem kerja LPD lihat juga Lincolin Arsyad, op.cit., hlm. 114-140.
9
di masyarakat dan juga mampu menerima pembaharuan dalam perbankan modern. Keseriusan Gubernur telah menghasilkan satu produk lembaga pengelolaan keuangan desa, dengan penetapan Perda membentuk Lembaga Perkreditan Desa (LPD).22 Dalam LPD diusulkan satu sistem sinergi antara sistem tradisional dengan metode modern, sehingga melahirkan kebijakan satu formula pelaksanaan
ekonomi
pedesaan
yang
menunjukkan
sebuah
kemampuan lokal yang mampu menyerap dan bersaing dengan sistem perbankan modern. Lembaga Perkreditan Desa diharapkan dapat berperan sebagai lembaga keuangan yang mampu membantu mengelola keuangan pedesaan.23 Sistem yang diterapkan oleh Lembaga Perkreditan Desa sebagai lembaga keuangan, bukan sesuatu yang 22Pendirian
LPD diatur dalam Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali No. 972 Tahun 1984; Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun 1988 Tentang: Lembaga Perkreditan Desa; Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Lembaga Perkreditan Desa. 23LPD
sebagai lembaga keuangan, sudah dianggap mendukung kegiatan ekonomi kerakyatan dan sangat dirasakan oleh masyarakat desa adat. IGN Sudiarsa, “Modal LPD perlu Diperkuat,” dalam Denpost, Selasa, 9 Januari 2007, hlm. 3; Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memuji LPD sebagai lembaga keuangan mikro yang tumbuh dalam masyarakat. LPD dianggap telah membantu banyak penduduk Bali dalam mendapatkan pelayanan jasa keuangan formal dan memberikan kontribusi bagi ekonomi masyarakat Bali. Bali Post, “SBY Puji Kiprah LPD”, Selasa, 28 September 2010, hlm. 16 dan Wid, “SBY Puji LPD di Bali”, Bisnis Bali, Selasa, 28 September 2010, hlm 1, 11.
10
baru bagi masyarakat desa. Pada umumnya di desa sudah dikenal dan telah dilaksanakan oleh lembaga desa, banjar mengenai cara menabung, sistem meminjam dan bentuk jaminan sebagai bentuk kepercayaan, sistem bunga. Berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali No. 972 Tahun 1984, tentang pendirian Lembaga Perkreditan Desa, maka tahun berikutnya didirikan LPD pada beberapa desa pada delapan kabupaten dan satu kota madya di Bali, salah satunya di Kabupaten Buleleng. Tahun 1985 di Buleleng didirikan LPD di Desa Tamblang Kecamatan Kubu Tambahan, di Desa Julah Kecamatan Tejakula dan Desa Pejarakan Kecamatan Grokgak. Sejak tahun 1985 hingga tahun 2002, telah berdiri hampir merata di desa-desa di Buleleng. Pada periode itu berdiri 165 LPD pada 9 kecamatan.24 Fakta ini menarik untuk meneliti sistem pengelolaan keuangan di desa-desa di Buleleng, dari tahun 1873 sampai 1934. Kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan Buleleng pada abad XIX, hidup dari hasil pertanian sawah maupun hasil kebun. Hasil produksi tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan sendiri namun telah menjadi komoditas perdagangan, baik antar wilayah
24Sembilan
kecamatan di Kabupaten Buleleng yaitu kecamatan Buleleng, Sukasada, Sawan, Tejakula, Kubu Tambahan, Banjar, Busung Biu, Seririt dan Grokgak. Sumber data tentang LPD diperoleh dari Biro Ekonomi dan Pembangunan Propinsi Bali.
11
kerajaan maupun ke luar Bali.25 Ternak sapi dan babi yang terkenal
berkualitas
terbaik
juga
menjadi
komoditas
bagi
pedagang, yang diekspor ke Singapura melalui Pabean Buleleng.26 Di desa-desa yang termasuk kawasan Buleleng bagian timur terdapat lahan sawah yang membentang di wilayah desa-desa Penarukan, Bungkulan Sangsit, Tejakula, Jinengdalem, Sawan, Jagaraga, dan Menyali. Desa-desa kawasan tanah tegal, terutama kebun jeruk dan kopi, membentang di desa-desa Buleleng timur bagian pedalaman seperti di Desa Tajun dan Bondalem.27 Bagi masyarakat pesisir, mata pencaharian utama sebagai nelayan. Selain sebagai nelayan, juga menekuni sebagai pedagang kecil sebagai tambahan mata pencaharian, terutama pedagang ikan kering dan garam. Daerah Tejakula, Bondalem, Gretek dan
sumber pipil berangka tahun 1836, yang menunjukkan bahwa barang-barang dagangan yang dibawa ke luar dari Pabean Buleleng, seperti kedelai, minyak kelapa, bawang. Lihat Penelitian Ida Bagus Sidemen tahun 1993, Kode Penelitian: 001/IBS/PNRI/1993. Nomor peti:17; nomor naskah: L. 338; judul peti: pangeling-eling; isi asli: surat pas/izin berangkat; jenis lontar: pipil; ukuran: panjang 27 cm dan lebar 3.6 cm. 25Berdasarkan
Van Bloemen Waanders, Aanteekeningen Omtrent de Zeden en Gebruiken der Balinezen, Inzonderheid die van Boeleleng, (Batavia: Lange & Co, 1859), hlm. 94. 26P.L.
27Gambaran
geografis tersebut di atas diperoleh dari Adatrechbundels XXXVII, passim; Lihat juga J.H. Boeke, BatasBatas Dari Masjarakat Pedesaan Indonesia, (Djakarta: Bhratara, 1971), hlm. 32; Juga berdasarkan hasil temuan naskah pipil yang menunjukkan daerah-daerah tanah kebun dan daerah sawah.
12
Kubutambahan sebagai penghasil garam yang cukup besar dan dijual ke daerah Bangli, Badung dan Tabanan.28 Dalam perkembangan politik, tahun 1855 Kerajaan Buleleng berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda dengan menempatkan seorang kontrolir berkedudukan di Buleleng dan menjadi
bagian
residensi
Banyuwangi.29
Perkembangan
selanjutnya, tahun 1860 di Singaraja ditempatkan seorang asisten residen.30 Penempatan seorang pejabat tinggi orang Belanda, yang disertai dengan pemilihan lokasi pusat pemerintahan, telah menunjukkan mulainya pengaruh sistem pemerintahan modern Belanda terhadap Kerajaan Buleleng. Usaha pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai seluruh Bali,
secara
bertahap
meningkatkan
status
pejabatnya
di
Singaraja dan memperkuat Singaraja sebagai pusat pemerintahan sipil dan militer. Tahun 1882, Bali dan Lombok ditetapkan 28Mengenai
daerah penghasil dan pedagang garam, dapat dilihat dari laporan C.J. Grader, Nota van Toelichtingen Betreffende het in te stellen Zelfbesturend Landschap Boeleleng, 1936, hlm. 8; lihat pula Adatrechbundels XXXVII, op.cit., hlm. 17, 36, 59. Utrecht, Sedjarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok, (Bandung: Sumur Bandung, 1962), hlm. 217; Willard A. Hanna, Bali Profile: People, Events, Circumstances (1001-1976), (New York: American Universities Field Staff, 1976), hlm. 60; J. Paulus, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, tweede druk (Leiden: E.J. Brill, 1917), hlm. 110; C. Lekkerkerker, Bali en Lombok, (Amsterdam: Blankwaardt & Schoonhoven, 1920), hlm. XVII; Regerings-Almanak Voor Nederlandsch-Indie 1882, eerste gedeelte, (Batavia: Landsdrukkerij, 1881), hlm. 48. 29E.
30
E. Utrecht, loc.cit.; J. Paulus, loc.cit.
13
menjadi sebuah keresidenan Bali Lombok, di bawah pemerintahan seorang residen berkedudukan di Singaraja.31 Pada awal tahun 1901, sebagai salah satu dari pelaksanaan politik etis, pemerintah Hindia Belanda mengenalkan sistem dan lembaga keuangan Barat di wilayah Hindia Belanda, termasuk di Buleleng. Di Buleleng, pemerintah Hindia Belanda mengenalkan lembaga keuangan modern pada masyarakat pedesaan dengan pendirian beberapa lembaga keuangan. Tahun 1913 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Dessabank di daerah pedesaan,32 dilanjutkan dengan pendirian Boelelengsche Credietbank tahun 191533 dan Balische Volksbank pada tahun 1916.34 Secara bertahap
pemerintah
Hindia
Belanda
mengenalkan
institusi
keuangan modern cara Hindia Belanda, terutama pada sistem
31Tentang
penetapan residensi Bali Lombok termuat dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie No.194; Besluit van den Gouverneur-General van Nederlandsh-Indie van 4 Mei 1882 no. 2; Surat keputusan tentang penetapan residensi Bali Lombok dimuat juga dalam Regerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie 1883. Eerste Gedeelte. (Batavia: Landsderukkerij, 1882), hlm. 72; E. Utrecht, op.cit., hlm. 226-227; Willard A. Hanna, op.cit., hlm. 61.; J. Paulus, op.cit., hlm. 110. Memorie van Overgave van den Resident Bali en Lombok, 1932, hlm. 132. 32Beeuukers, 33Jaarveslag
over 1916 van de Boelelengsche Credietbank te Singaraja, hlm. 4-10. Balische Volksbank dimuat dalam Javasche Courant No. 3, 9 Januari 1920, hlm. 28-29. 34Pendirian
14
pengelolaan
agar
mudah
diterima
dan
dilaksanakan
oleh
masyarakat pedesaan.35 Dari fakta-fakta di atas, maka sangat penting untuk mengetahui tingkat kemampuan desa-desa di Buleleng dalam pengelolaan keuangan di tengah-tengah modernisasi lembaga ekonomi pada masa pemerintah Hindia Belanda. Juga untuk mengetahui
keberlanjutan
atau
tidak
berlanjut
pengelolaan
keuangan. B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian Menurut Sumitro Djojohadikusumo, pemerintahan Barat sangat pengaruh besar terhadap masyarakat Indonesia dalam peralihan ke ekonomi uang. Adanya perdagangan terbuka turut mempengaruhi peralihan tersebut ketika uang berfungsi sebagai alat pembayaran.36 Pernyataan Sumitro tersebut menarik untuk diteliti lebih lanjut khususnya tentang pengaruh pemerintahan Barat dan perdagangan dalam peralihan ke ekonomi uang di pedesaan Buleleng serta uang menjadi bagian dari transaksi ekonomi dan keuangan di pedesaan Buleleng.
35Ida
Bagus Sidemen, “Perkembangan Lembaga Kredit Tradisional di Bali Abad XIX-Awal Abad ke XX (1837-1927)”, Laporan Penelitian (Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana, 1995), hlm. 79. Sumitro Djojohadikusumo, Kredit Rakyat Di Masa Depresi, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 2 dan 5. 36Lihat
15
Didasarkan pada asumsi, ketika uang telah menjadi bagian dari transaksi ekonomi akan berkaitan dengan pengelolaan uang yang dilakukan oleh institusi desa dan modernisasi institusi keuangan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pernyataan di atas menarik untuk diteliti lebih lanjut, yang didasarkan
permasalahan
pokok
berkaitan
dengan
tingkat
kemampuan pedesaan Buleleng dalam mengelola keuangan, di tengah-tengah kekuasaan kolonial dan modernisasi lembaga keuangan, pada tahun 1873 hingga tahun 1934. Pertanyaan penelitian yang perlu diajukan untuk menjawab permasalahan pokok di atas, yaitu: (1) Bagaimana latar belakang politik dan ekonomi Kerajaan Buleleng, sejak mulai kontak dengan Hindia Belanda sampai dengan Kerajaan Buleleng berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda. (2) Bagaimanakah kehidupan ekonomi masyarakat desa serta kondisi sosiologi desa pada masa itu? (3) Bagaimanakah sistem dan bentuk pengelolaan keuangan yang berlangsung pada masyarakat pedesaan? (4) Siapakah yang berperan dalam pengelolaan keuangan? (5). Mengapa keberadaan lembaga
keuangan
modern
tidak
menghilangkan
sistem
pengelolaan keuangan pedesaan? (6). Bagaimanakah respons masyarakat
ketika
pemerintah
institusi keuangan modern?
Hindia
Belanda
membangun
16
Tahun 1873 digunakan sebagai batas awal cakupan waktu penelitian, karena dalam tahun itu sudah ditemukan adanya kekuasaan kolonial yang berpengaruh terhadap ekonomi desadesa di Buleleng. Kondisi ini ditandai dengan ditemukannya transaksi keuangan yang berlangsung di pedesaan Buleleng, yang berbentuk sumber lokal, yang dilegalkan dalam bentuk surat menyurat yang berangka tahun 1873. Dalam surat menyurat itu, dituliskan kalimat cucukan ring dane tuan besar yang artinya orang kepercayaan beliau tuan besar.37 Dalam sumber berbahasa Belanda, sejak tahun 1860, Buleleng telah diputuskan menjadi wilayah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di bawah penguasa seorang asisten residen yang berkedudukan di Singaraja. Dengan kondisi seperti itu, maka yang dimaksud istilah cucukan ring dane tuan besar adalah asisten residen, yang dijabat oleh orang Belanda. Data ini digunakan menguatkan alasan cakupan awal penelitian. Tahun 1934 digunakan sebagai batas akhir penelitian, karena dalam tahun itu telah muncul tanggapan sebagai respons masyarakat desa atas pendirian Dessabank Patemon Buleleng. 37Yang
dimaksud dengan kalimat di atas oleh penulis sumber lokal, adalah pejabat tertinggi pemerintah Hindia Belanda. Hasil penelitian Ida Bagus Sidemen Tahun 1993. Nomor Koleksi: 006/IBS/PNRI/1993. Nomor peti: 43; nomor naskah: L. 34; judul peti: surat tanah; isi asli: meminjam uang dan bunga dibayar dengan padi; jenis lontar: pipil; ukuran: panjang 42 cm dan lebar 3,5 cm. Dalam pipil tersurat tahun Saka 1795.
17
Dessabank Patemon merupakan institusi keuangan modern yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pendirian dan aktivitas Dessabank Patemon menggunakan aturan yang dimiliki oleh desa.38 Ruang lingkup operasionalnya dalam lingkup desa. Sistem operasional Dessabank tidak terlalu jauh berbeda dengan sistem dan cara-cara pengelolaan keuangan yang dijalankan oleh lembaga tradisional pedesaan.39 Bagian yang menarik dari kajian ini adalah cara kerja atau sistem pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh lembaga desa, banjar, organisasi (sekeha) serta sistem transaksi keuangan yang merupakan bagian dari pengelolaan keuangan antar perorangan, yang berkaitan dengan meminjam dan gadai, yang diketahui oleh pejabat
desa
maupun
pejabat
kerajaan.
Selain
itu
juga,
berdasarkan atas kepercayaan bahwa lembaga keuangan desa diyakini akan dapat mendukung proposisi tentang ketahanan lokal pedesaan,
terhadap
pengaruh
modern
yang
dibawa
oleh
pemerintah Hindia Belanda. Dalam pendirian institusi keuangan modern dan mengenalkan sistem pengelolaan keuangan modern, yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan bergerak mengikuti sistem dan cara-cara pengelolaan keuangan serta mengikuti peraturan yang telah berlangsung di masyarakat. 38Beeuukers, 39Ibid.
op.cit, hlm. 132.
18
Penelitian ini hanya fokus pada aspek sistem kelembagaan, sedangkan
dalam
aspek
lain
yaitu
dampak
ekonomi
dari
pengelolaan keuangan bagi masyarakat dan lembaga akan menjadi penelitian yang menarik bagi peneliti selanjutnya. Ketika memilih desa-desa di Buleleng sebagai lingkup spasial penelitian, sangat dipengaruhi oleh latar belakang historis wilayah Kerajaan Buleleng. Pemerintah Belanda telah memilih Singaraja yang merupakan ibu kota Kerajaan Buleleng sebagai pusat
kedudukan
Penetapan
ini
Hindia
Belanda
menunjukkan
di
bahwa
Bali
dan
Lombok.40
intensitas
saling
mempengaruhi antara penjajah dengan pribumi lebih kuat bila dibandingkan dengan desa-desa dalam wilayah kerajaan lainnya di Bali. Oleh karena itu, desa-desa di wilayah Buleleng sangat kuat 40Pada
awal Bali-Lombok menjadi sebuah keresidanan, berdasarkan Staatsblad van Nenderlandch-Indie No. 124 Staatsblad van Nederlandsch-Indie Over Het Jaar 1882, (Batavia: Landsdrukkerij, 1883), afdeeling Buleleng terbagi dalam 18 distrik yaitu Pengastulan, Sukasada, Panji, Buleleng, Panarukan, Jinengdalem, Kubu Tambahan, Bondalem, Tejakula, Patemon, Banjar Ambengan, Tangguwesia, Den Carik, Tukad Mungga, Sangsit, Bungkulan, Sudaji, Sawan dan Pakisan. Tahun 1883 yang dimuat dalam Regerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie 1883 Eerste Gedeelte, (Batavia: Landsdrukkerij, 1882), hlm. 72, afdeeling Buleleng terbagi dalam 16 distrik yaitu Pengastulan, Sukasada Panji, Buleleng, Panarukan, Jinengdalem, Kubu Tambahan, Bondalem, Tejakula, Patemon, Banjar Ambengan, Tangguwesia, Tukad Mungga, Sangsit, Sudaji, Sawan dan Pakisan. Pada tahun-tahun berikutnya terjadi penggabungan distrik; Dalam De Kat Angelino, Memorie van Overgave van de Onderafdeeling Boeleleng, tahun 1920, hlm. 58, wilayah Buleleng terbagi dalam 8 distrik yaitu, Tejakula, Kubutambahan, Sawan, Jinengdalem, Buleleng, Sukasada, Banjar dan Pengastulan.
19
bersentuhan langsung dengan pengaruh modern yang dibawa oleh kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Selain itu secara geopolitik dan geografis, wilayah Kerajaan Buleleng berkuasa atas wilayah Jembrana. Kondisi luas wilayah penelitian seperti ini, diharapkan lebih memperkuat temuan tentang dampak modernisasi dalam pengelolaan keuangan di pedesaan, dalam wilayah Kerajaan Buleleng. Desa-desa yang menjadi wilayah penelitian berada di Distrik Sawan, Banjar, Buleleng, Sukasada, Pengastulan, Tejakula dan Kubutambahan.41 Desa Bungkulan, Krobokan, Suwug, Menyali, Sangsit, Jagaraga (termasuk Distrik Sawan); Desa Padang Kling, Banyuning, Pemaron,
Penataran, Pabean,
Tanah
Panglatan,
Won
(Tenaon),
Banyumala,
Petandakan, Jinengdalem,
Panarukan (Distrik Buleleng); Desa Tamblang, Banjar Tegal, Depaa, Tajun (Distrik Kubutambahan); Desa Sambangan, Desa Silang Jana, Desa Sukasada (termasuk Distrik Sukasada); Desa Jo Anyar,
Tanggu
Wisia,
41Nama-nama
Patemon
(Distrik
Pengastulan);
Desa
desa tersebut di atas, berdasarkan temuan sumber pipil dan wilayah distrik dilihat dalam C.J. Grader, Nota van Toelichtingen Betreffende het in te stellen Zelfbesturend Landschap Boeleleng, 1936, hlm. 55-66; mengenai wilayah distrik di Buleleng, untuk lebih jelas lihat dalam lampiran 1; dalam pipil tertulis palemahan untuk menyebutkan nama wilayah, baik desa maupun distrik. Dalam pipil, kata palemahan ada yang berarti distrik, ada tertulis palemahan dengan menulis nama subak dan nama desa, ada pula hanya nama subak saja.
20
Bondalem (Distrik Tejakula), Desa Bangkangan, Desa Kayu Putih, Temukus (Distrik Banjar). C. Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian Hasil penelitian ini bertujuan Menemukan
pola
pengelolaan
antara lain
keuangan
untuk: (1)
pedesaan
yang
mencerminkan sudut pandang ekonomi untuk menunjukkan bahwa pedesaan Buleleng memiliki daya ketahanan lokal yang mampu beradaptasi melalui proses seleksi terhadap pengaruh institusi keuangan modern; (2) Menemukan sumber lokal sebagai data baru untuk menulis sejarah ekonomi masyarakat; (3) Menjelaskan reaksi dan kemampuan adaptasi sistem pengelolaan keuangan pedesaan Buleleng terhadap berkembangnya institusi keuangan modern; (4) Menjelaskan adanya strategi adaptasi oleh institusi keuangan modern terhadap sistem ekonomi pedesaan, agar dapat memanfaatkannya sebagai ujung tombak melakukan kontak interaksi dengan masyarakat, terutama yang berbentuk lembaga; (5) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbang bagi historiografi Indonesia, khususnya perspektif baru dan substansi baru dalam sejarah ekonomi sosiologis. Hasil penelitian ini, sangat diharapkan dapat bermanfaat antara lain: (1) Untuk pengelolaan keuangan pedesaan masa depan, yang mengarah pada kemandirian ekonomi; (2) Bagi
21
pemerintah dalam merencanakan dan menerapkan kebijakan pengelolaan keuangan oleh lembaga keuangan, baik untuk masa kini maupun rencana masa datang, seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Bali, dengan perda tentang Lembaga Perkreditan Desa. Dalam hal pendirian lembaga dan sistem
pengelolaan
masyarakat
keuangan,
pedesaan,
agar
dapat
sebaiknya
diterima
pemerintah
oleh selalu
mempertimbangkan tentang sebuah usaha menyesuaikan dengan tradisi dan kemampuan lokal yang telah dimiliki oleh masyarakat. Ada hubungan timbal balik dan saling adaptasi antara lembaga keuangan pedesaan dengan lembaga keuangan modern bentukan pemerintah; (3) Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah, dalam menemukan, merencanakan dan menerapkan kebijakan ekonomi, khususnya dalam kebijakan pengelolaan keuangan
lokal.
Desa
sebagai
sasaran
dan
ujung
tombak
pengelolaan keuangan untuk masyarakat, diharapkan selalu menjadi dasar pertimbangan, sehingga kebijakan dari hilir ke hulu dan sebaliknya dapat berjalan seimbang, selaras dan serasi. D. Tinjauan Pustaka Sejak disusun sampai dengan penelitian ini berhasil, telah ditemukan beberapa hasil penelitian yang mendahului, tentang
22
pengelolaan keuangan di pedesaan Bali. Ada beberapa penelitian tentang Buleleng, yang lebih fokus tentang politik ketika Buleleng berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Ada hasil penelitian tentang Bali, tidak membahas secara spesifik tentang pengelolaan keuangan, namun berkaitan dengan ekonomi desa. Ada beberapa penelitian tentang Bali walaupun secara spesifik tidak membahas tentang keuangan, namun hasil penelitiannya sebagai pustaka rujukan penelitian. Hasil penelitian-penelitian di bawah ini yang telah mendorong peneliti untuk meneliti lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan di pedesaan Buleleng. Penelitian
tentang
Buleleng
(Singaraja)
yang
berjudul
Sejarah Sosial Bali Kota Singaraja, yang disusun oleh A.A. Gde Putra Agung, dkk.42 Hasil penelitian ini lebih menekankan sejarah sosial dalam kurun waktu 1900-1950, dari periode kolonial hingga pasca kemerdekaan. Hasil penelitian ini memberikan gambaran umum kehidupan ekonomi masyarakat Buleleng khususnya pada periode kolonial. Hasil penelitian tentang pengelolaan keuangan pedesaan di Bali, yaitu penelitian yang telah dilakukan oleh Ida Bagus Sidemen,
yaitu
“Uang
dan
Kredit:
Rekronstruksi
Historis
Pengelolaan Keuangan Pedesaan oleh Lembaga Kredit Tradisional Gde Putra Agung, dkk, Sejarah Sosial Bali Kota Singaraja, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1984). 42A.A.
23
di
Bali
1837-1927”.43
Hasil
penelitian
mendapat
apresiasi
Gubernur Bali Ida Bagus Mantra. Selain hasilnya telah dilaporkan kepada Toyota Foundation, juga dimanfaatkan oleh sebuah bank swasta nasional untuk menyusun program kredit masuk desa. Objek studinya terpusat pada masalah perkreditan, utang piutang dan gadai. Lokasi penelitian mencakup beberapa desa di Kerajaan Buleleng, Kerajaan Klungkung dan Kerajaan Karangasem. Oleh karena wilayah penelitian yang cukup luas yang meliputi tiga wilayah, sehingga belum melakukan analisis yang mendalam dan juga belum tampak perbedaan atau kesamaan pengelolaan keuangan antara ketiga wilayah tersebut. Walaupun demikian, hasil penelitian Ida Bagus Sidemen menjadi jalan bagi penulis lebih khusus untuk meneliti pengelolaan keuangan di desa-desa Buleleng. Studi pengelolaan keuangan di Buleleng yang dilakukan lebih ilmiah karena menggunakan kerangka konseptual dan metode lebih luas dan dalam. Selain itu, studi ini menemukan sumber lebih intensif.
43Laporan
penelitian belum diterbitkan dan yang digunakan adalah salinan naskah laporan “Perkembangan Lembaga Kredit Tradisional di Bali Abad XIX-Awal Abad ke XX (1837-1927)” Disponsori oleh The Toyota Foundation Grant No. 93-I-001 Tahun 1993-1995.
24
Hasil penelitian yang berkaitan dengan uang yang pernah beredar di Bali yaitu karya yang dihasilkan oleh Stephen De Meulenaere yang berjudul Revaluing Uang Kepeng as a Medium of Local
Exchange
in
Bali
(Bali
Version).44
Stephen
melihat
kemampuan pemerintahan tradisional Bali dari sudut pandang mata uang yang menunjukkan bahwa sirkulasi uang kepeng melekat dan sentral dalam pemerintahan tradisional masyarakat Bali, baik di dalam subak, pemaksan maupun di dalam sekeha. Salah satu isu yang menarik yang dimunculkan Stephen yang berkaitan dengan usaha membangun kemandirian ekonomi lokal yaitu dengan cara menciptakan mata uang lokal sebagai sarana pertukaran lokal. Menurutnya peredaran uang kepeng tidak akan membuat inflansi. Hal itu berdasarkan hasil temuan masa kini yang menunjukkan lebih dari 5.000 masyarakat lebih dari 30 negara
di
dunia
menggunakan
uang
lokal
sebagai
media
pertukaran lokal dan tidak menunjukkan dampak negatif atas ekonominya dan sebaliknya menyehatkan ekonomi lokal sehingga memberikan kontribusi yang sehat pula bagi ekonomi nasional. Karya lain yang berkaitan dengan uang pernah beredar di Bali yaitu karya dari Ida Bagus Sidemen yang berjudul Nilai
44Stephen
DeMeulenaere yang berjudul “Revaluing Uang Kepeng as a Medium of Local Exchange in Bali (Bali Version)”, Asia Coordinator, Strohalm Foundation for Integrated Economics (Holland) 2006/2007.
25
Historis Uang Kepeng.45 Karya ini secara jelas memaparkan antara lain mengenai sejarah dan jenis-jenis mata uang; nilai ekonomis dari uang kepeng sebagai satuan nilai, alat transaksi, barang komoditas.
Tesis
dari
Sidemen
menunjukkan
bahwa
sejak
masyarakat Bali mulai memasuki ekonomi uang, maka uang kepeng berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah. Hasil penelitian tentang Bali dari sudut pandang sejarah kebudayaan telah dilakukan oleh I Nyoman Wijaya, yang hasilnya dalam bentuk disertasi dengan judul “Mencintai Diri Sendiri: Gerakan Ajeg Bali dalam Sejarah Kebudayaan Bali 1910-2007”.46 I Nyoman Wijaya meneliti konsep kebudayaan yang dimaknai sebagai adat dan agama leluhur yang harus diajegkan dan sekaligus didisartikulasikan. Kesimpulannya adalah gerak sejarah ajeg Bali disebut dengan spiral prawrethi, suatu gerak spiral yang bergerak ke kanan, bukan berputar pada sumbunya. Oleh karena sifatnya yang dinamis, maka gerakan politik kebudayaan Bali tidak disebut dengan istilah ajeg Bali melainkan rajeg Bali. Rajeg bermakna keteguhan, kekokohan, kemantapan, keseimbangan, kepatuhan, stabilitas dan perbaikan. Kesimpulan I Nyoman Wijaya tentang rajeg dalam kaitannya kebudayaan Bali, telah turut Bagus Sidemen, Nilai Historis Uang Kepeng, (Denpasar: Larasan Sejarah, 2002). 45Ida 46I
Nyoman Wijaya, “Mencintai Diri Sendiri: Gerakan Ajeg Bali dalam Sejarah Kebudayaan Bali 1910-2007”, (Disertasi), (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2009).
26
mendorong peneliti, apakah kemampuan pengelolaan keuangan di pedesaan Buleleng sifatnya dinamis dan adaptif ketika berada di bawah kekuasaan kolonial dan di tengah-tengah modernisasi lembaga keuangan. Karya Henk Schulte Nordholt yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Bali Benteng Terbuka 19952005.47 Sesuai dengan judul karyanya, Bali Benteng Terbuka justru
yang
karikatur
menarik
dan
peneliti
gambar
dan
sampul
dengan
ilustrasi
bukunya
yang
berupa dapat
diinterpretasikan bahwa Bali sebagai wilayah benteng yang terbuka. Henk Schulte Nordholt melihat dilema Bali sebagai benteng terbuka tidak dapat dipecahkan, karena perekonomian terbuka dan identitas kultural tertutup. Karya ini dengan konsep Bali benteng terbuka telah mendorong peneliti untuk melihat pedesaan Buleleng pada tahun 1873-1934 ketika Buleleng berada di bawah pemerintah Hindia Belanda hingga pendirian lembaga keuangan modern. Karya Sumitro Djojohadikusumo berjudul Kredit Rakyat Dimasa Depresi.48 Sumitro menjelaskan operasional dari lembaga perkreditan pemerintah Hindia Belanda. Sumitro antara lain Schulte Nordholt, Bali Benteng Terbuka 1995-2005 (terj.), (Denpasar: Pustaka Larasan-KITLV, 2007). 47Henk
Djojohadikusumo, Kredit Rakyat Dimasa Depresi (Jakarta: LP3ES, 1989). 48Sumitro
27
memaparkan
tentang
Dessabank
di
Buleleng,
yang
dalam
mekanisme pengoperasiannya diserahkan kepada desa yang disesuaikan dengan ikatan desa dan sepenuhnya menjadi urusan intern desa yang bersangkutan. Tujuannya agar lembaga ini diterima oleh masyarakat desa. Kesimpulannya adalah kredit yang diberikan oleh lembaga perkreditan lebih bersifat statis, hanya untuk
mempertahankan
suatu
kesejahteraan.
Kredit
belum
bersifat dinamis yaitu untuk meningkatkan atau menaikkan tingkat hidup. Pandangan Sumitro tentang perkreditan pada masa kolonial, dapat digunakan sebagai acuan instrumen pendekatan sejarah ekonomi sosiologis, untuk menemukan gejala yang mirip atau sama pada desa-desa di Buleleng pada tahun 1873-1934. Karya MG. Sulistyawardhani, yang berjudul Kredit Rakyat: Suatu Studi Pendahuluan Pada Awal Abad XX di Jawa,49 menggambarkan awal muncul dan perkembangan lembaga kredit rakyat. Walaupun memberikan gambaran secara umum dengan wilayah Jawa yang sangat luas, namun hasil penelitiannya telah mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang lembaga desa dalam mengelola keuangan dan administrasi transaksi keuangan di wilayah Buleleng. Sulistyawardhani, Kredit Rakyat: Suatu Studi Pendahuluan Pada Awal Abad XX di Jawa, (Yogyakarta: Kalika, 2000). 49MG.
28
Hasil penelitian yang menggambarkan utang piutang dan lembaga kredit pada masa orde baru yaitu karya disertasi Heru Nugroho berjudul “The Embeddedness of Money, Moneylenders dan Moneylending in Javanese Town”, yang diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul Uang, Renternir dan Hutang Piutang di Jawa.50 Studi kasusnya dalam masyarakat Bantul Yogyakarta. Konsepnya mengenai institusi keuangan finansial formal dan informal. Dalam pelaksanaannya keduanya tidak terpisah secara kaku tetapi kadang-kadang memiliki hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan,
seperti
bank
memberikan
pinjaman
kepada rentenir. Bank-bank pemerintah dianggap sering gagal untuk
mengembangkan
hubungan
personal
dengan
para
nasabahnya, karena prosedur yang terlalu birokratis dan otoritas para pegawai yang bersifat elitis. Pendapat Heru Nugroho tersebut di atas sebagai pandangan, ketika membahas pendirian lembaga keuangan modern oleh Pemerintah Hindia Belanda di Buleleng. Hasil penelitian yang memaparkan sistem ekonomi telah dilakukan oleh Clifford Geertz yang berjudul Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi di Dua Kota Indonesia.51 Dua kota yang dimaksud yaitu Mojokuto-Jawa Timur dan TabananNugroho, Uang, Renternir dan Hutang Piutang di Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001). 50Heru
Geertz, Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi di Dua Kota Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit Indonesia Raya, 1973). 51Clifford
29
Bali. Di daerah Tabanan, Geertz menemukan bahwa perekonomian berkaitan erat dengan organisasi desa, seperti koperasi di Tabanan yang tumbuh dari ikatan-ikatan tradisional yang mendekati independen seperti firma. Geertz menyatakan bahwa organisasi yang disebut dengan sekeha yang merupakan kelompok sosial yang
dibentuk
untuk
mencapai
tujuan
tertentu,
misalnya
keagamaan, ekonomi. Tesis Geertz adalah organisasi (sekeha) merupakan
suatu
pranata
yang
sudah
berurat
akar
pada
masyarakat Bali, ikatan yang dijalankan secara rasional dan saling percaya, sifatnya seperti firma. Hasil penelitian Geertz menjadi salah satu karya yang menggiring penelitian di pedesaan Buleleng. Hasil beberapa penelitian tersebut di atas, telah membantu memberikan konsep pokok mengenai pendirian sebuah lembaga keuangan pedesaan masa kini, yang sebaiknya menyesuaikan dengan
budaya
lokal
masyarakat,
agar
lembaga
keuangan
direspons oleh masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, hasil penelitian
dan
formulasi
tentang
pengelolaan
keuangan
di
Buleleng diharapkan sesuai dengan jalan pikiran teoritik para peneliti tersebut di atas. E. Kerangka Konseptual Tingkat kemampuan pedesaan Buleleng dalam pengelolaan keuangan, di tengah-tengah kekuasaan kolonial dan modernisasi
30
lembaga ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda, dilihat dari sudut pandang sejarah ekonomi sosiologis. Menurut D.H. Burger, membahas kehidupan ekonomi ada kaitan erat dengan faktor-faktor sosiologis. Menulis sejarah ekonomi tanpa mengabaikan latar belakang masyarakatnya.52 Oleh karena itu, pendekatan ekonomi digunakan untuk membahas sistem pengelolaan keuangan di pedesaan yang dilakukan oleh desa, banjar maupun organisasi ekonomi; membahas uang menjadi bagian dari aktivitas ekonomi dan transaksi keuangan pedesaan serta pengaruh institusi lembaga keuangan Pemerintah Hindia Belanda terhadap sistem pengelolaan keuangan di pedesaan. Menurut
Peter
Termin,
sejarah
ekonomi
lama
lebih
menganalisis kerja internal dari lembaga ekonomi dan sejarah ekonomi baru menganalisis pengaruh lembaga ekonomi terhadap ekonomi yang berjalan. Masalah-masalah pokok dalam sejarah ekonomi baru dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu masalah pertumbuhan ekonomi; lembaga ekonomi (perbankan atau lembaga keuangan); kebijakan pemerintah.53 Burger, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jilid 1. (Djakarta: Negara Pradnjaparamita, 1962), hlm. 4. 52D.H.
53Pertanyaan
dalam sejarah ekonomi lama berkaitan dengan lembaga ekonomi antara lain bagaimana ekonomi itu diorganisir? siapa yang mengendalikan dan memajukan? Bagaimana ekonomi itu berubah? Lihat Peter Termin (ed.), New Economic History, (Middlesex: Penguin Books, 1973), hlm. 9-15.
31
Dalam menganalisis pengelolaan keuangan di pedesaan Buleleng, baik yang dilakukan oleh lembaga desa, banjar, sekeha maupun antar perorangan, akan dijelaskan dengan memadukan keduanya
karena
dua
hal
itu
saling
berkaitan.
Pertama,
menganalisis kerja internal dari sistem pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh lembaga tradisional di Buleleng. Kedua, menganalisis
pengaruh
institusi-institusi
keuangan
modern
pemerintah Hindia Belanda seperti Dessabank, Boelelengsche Credietbank dan Balische Volksbank, terhadap sistem pengelolaan keuangan desa dan respons masyarakat terhadap pendirian lembaga keuangan Hindia Belanda. Dari sudut pandang ekonomi, pengelolaan keuangan termasuk dalam ekonomi mikro, karena menyelidiki aktivitas ekonomi dari salah satu unit ekonomi.54 Menurut John Hicks, ada dua tipe aktivitas ekonomi yaitu customary economy dan command economy. Aktivitas ekonomi dalam tipe customary economy yaitu ekonomi biasa atau sudah terjadi sebagaimana dibiasakan. Tipe customary economy juga menyangkut kebutuhan dan penyediaan ekonomi. Tipe command economy yaitu ekonomi yang dipimpin, diatur dengan organisasi dan sistem. Tipe command economy juga menyangkut kebutuhan 54Unit-unit
ekonomi mikro antara lain, sikap konsumen, pemilik sumber-sumber ekonomi, arus barang dan jasa; evolusi penentuan harga dan sumber-sumber produktif. Lihat Kadariah, Teori Ekonomi Mikro, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1977), hlm. 1.
32
dan gerak ekonomi. Diantara kedua tipe itu terdapat tipe campuran
yaitu
feodalisme
dan
birokrasi
klasikal.
Dalam
feodalisme peranan atau ciri customary economy lebih dominan, sedangkan dalam birokrasi klasikal elemen command economy lebih dominan karena komponen kepemimpinan lebih kuat dalam mengatur ekonomi. Mengikuti teori Toynbee tentang challenge and response, maka pada saat muncul tantangan maka akan terjadi transformasi dari custom ke command dan sebaliknya jika tidak ada tantangan, maka ekonomi akan berjalan biasa.55 Berkaitan dengan pendapat John Hicks, mengelola uang di pedesaan Buleleng sebagai salah satu bagian dari aktivitas ekonomi,
baik
tipe
customary
economy
maupun
command
economy. Di pedesaan Buleleng, aktivitas mengelola uang secara komunal yang biasa dilakukan oleh warga desa pada setiap rapat (sangkepan) dan tertuang dalam peraturan tingkat desa (awigawig). Transaksi keuangan sebagai bagian dari pengelolaan keuangan, dilakukan antar warga desa maupun antara warga desa dengan orang asing, diatur oleh Kerajaan Buleleng dalam bentuk peraturan tingkat kerajaan (paswara) yang berangka tahun 1876 (1768 tahun Saka). Peraturan tingkat kerajaan berlaku bagi semua lapisan masyarakat di seluruh wilayah Buleleng.
John Hicks, A Theory of Economic History, (LondonOxford-New York: Oxford University Press, 1969), hlm, 21-22. 55Sir
33
Peraturan kerajaan, terutama mengatur berkaitan dengan pinjam meminjam dan gadai antar perorangan, yang harus termuat dalam surat resmi yang disertai dengan stempel tanda sah. Berkaitan dengan hal tersebut, diatur prosedur lelang terhadap jaminan, pejabat yang berhak melaksanakan lelang, dan hukuman
utang
piutang
apabila
peminjam
tidak
mampu
membayar lunas utangnya.56 Dalam paswara tidak dijelaskan lebih rinci mengenai bentuk sanksi dalam utang piutang. Dapat diduga hukuman utang piutang yang berlaku sesuai dengan peraturan (awig-awig) yang berlaku pada masing-masing desa. Dalam
membahas
pengelolaan
keuangan
di
pedesaan
Buleleng, baik yang dilakukan oleh lembaga desa, banjar maupun antar perorangan, ada dua kerangka konseptual yang digunakan yaitu konsep pengelolaan, uang dan bunga uang. Dalam kaitannya dengan uang, yang dibahas mengenai awal monetisasi di pedesaan Buleleng yaitu proses uang menjadi bagian dari ekonomi desa, fungsi uang dan perluasan penggunaan mata uang. Dari sudut pandang ekonomi, pengelolaan atau manajemen merupakan (organizing), 56Hasil
proses
perencanaan
pengarahan
dan
(planning),
kepemimpinan
pengorganisasian (leading)
serta
Penelitian Ida Bagus Sidemen tahun 1993. Nomor koleksi: 037/IBS/PNRI/1993. Nomor peti: naskah belum masuk nomor katalog; isi asli: paswara Raja Buleleng; jenis lontar: pipil.
34
pengawasan
(controling).57
Manajemen
keuangan
merupakan
semua aktivitas yang berhubungan dengan perolehan, pendanaan dan pengelolaan keuangan dengan tujuan antara lain laba atau keuntungan.58 Dana yang dikumpulkan dari sumber-sumber keuangan penggunaan
ekstern yang
dan
dialokasikan
berbeda-beda.59
untuk Konseptual
kepentingan mengenai
manajemen keuangan lebih mengkhusus pada suatu perusahaan. Walaupun demikian, kerangka tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa pengelolaan keuangan di pedesaan Buleleng dilaksanakan secara komunal oleh lembaga banjar, desa ataupun sekeha. Dalam hal ini ada proses perencanaan keuangan yang dilakukan oleh lembaga desa atau banjar, pada saat rapat rutin setiap 35 hari. Lembaga desa atau banjar merupakan organisasi,
Hani Handoko, Manajemen, Edisi II, (Yogyakarta: BPFE, 1990), hlm. 6-11. James C. Van Horne dan John M. Wachowicz, Jr, Prinsip-Prinsip Manajemen Keuangan, (terj.), (Jakarta: Salemba Empat, 2005), hlm. 3; Henry Faizal Noor, Investasi, Pengelolaan Keuangan Bisnis dan Pengembangan Ekonomi Masyarakat, (Jakarta: Indeks, 2009), hlm. 36; Sabar Warsini, Manajemen Keuangan, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2003), hlm. 2; Lihat juga Manahan P. Tampubolon, Manajemen Keuangan (Finance Management): Konseptual, Problem & Studi Kasus, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 1. 57T.
58Ibid.
Fred Weston and Eugene, Managerial Finance, (USA: Holt-Saunders International Editions, 1981), hlm. 2; Cf. J. Fred Weston dan Eugene, Manajemen Keuangan (terj.), (Jakarta: Erlangga, 1988), hlm. 3; Lihat juga J. Fred Weston dan Thomas E. Copeland, Manajemen Keuangan, (terj.), (Jakarta: Binarupa Aksara, 1995), hlm. 6. 59J.
35
pemimpin yang ditingkat desa disebut klian desa dan ditingkat banjar disebut klian banjar. Pengawasan pelaksanaan pengelolaan keuangan berdasarkan aturan desa (awig-awig). Lembaga desa atau banjar pada umumnya memiliki dana atau kekayaan yang berasal dari milik bersama.60 Dana ini dikelola untuk kepentingan desa atau banjar dan dapat dipinjamkan kepada anggota banjar. Dana atau kekayaan milik bersama antara lain berasal dari iuran wajib, tabungan, biaya pengganti kerja wajib, denda dan dari bunga pinjaman.61 Monetisasi dari sudut pandang ekonomi keuangan, yaitu uang yang digunakan dalam bertransaksi, uang masuk dalam sirkulasi
uang.
Monetisasi
yaitu
memberikan
nilai
standar
terhadap uang, pemberlakuan uang sebagai mata uang dan melegalkan penggunaan uang.62
60Dalam
Bahasa Bali, dana atau kekayaan milik bersama yang disebut dengan raja duwe. bahasa Bali iuran wajib disebut peturunan; tabungan disebut cingkrem; biaya pengganti kerja wajib disebut pengampel; denda disebut dengan dedosan dan bunga pinjaman disebut dengan putran jinah. 61Dalam
Guritno, Kamus Ekonomi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1976), hlm. 166; Clarence L. Barnhart (ed.), The American College Dictionary, (New York: Iarper & Brothers Publishers, 1957), hlm. 785; Lihat The New Oxford Illustrated Dictionary, (England: Bay Books and Oxford University Press, 1978), hlm. 1.091; Clarence L. Barnhart (ed.), The American College Dictionary, (New York: Iarper & Brothers Publishers, 1957), hlm. 785; Lihat The New Oxford Illustrated Dictionary (England: Bay Books and Oxford University Press, 1978), hlm. 1.091. 62T.
36
Menurut Sumitro Djojohadikusumo, uang berfungsi sebagai alat pembayaran, sebagai alat hitung dan sebagai satuan hitung. Ada dua fungsi yang penting yang berkaitan dengan uang menjadi bagian dari ekonomi yaitu fungsi uang sebagai alat pembayaran dan sebagai satuan hitung. Ketika uang sebagai satuan hitung akan terkait erat dengan perkreditan karena dalam transaksi kredit ada unsur waktu ketika memberi dan menerima kembali.63 Fungsi uang sebagai alat pembayaran, berkaitan erat dengan berlangsungnya peralihan dari sistem ekonomi tanpa uang kepada sistem ekonomi uang. Monetisasi di pedesaan berlangsung ketika
uang
memegang
peranan
penting
bagi
masyarakat
pedesaan. Pemerintah Hindia Belanda menetapkan pembayaran kewajiban pajak, yang sebelumnya dibayar dengan hasil panen, kemudian ditetapkan dibayar dengan uang.64 Perubahan tersebut
Djojohadikusumo, op.cit., hlm. 1-9; Tentang fungsi uang sebagai alat atau satuan hitung, lihat L.J. Zimmerman, Sedjarah Pendapat-Pendapat Tentang Ekonomi (terj.), (Bandung-‘sGravenhage: Vorkink-Van Hoeve), hlm. 89; Jefferson, The Encyclopedia Americana, (New York-Chicago-Washington, D.C., 1956), hlm. 344-345; Chambers’s Encyclopaedia Volume IX, (London: George Newnes Limited, 1959), hlm. 485-486; William T. Couch (ed.), Collier’s Encyclopedia, (New York: P.F. Collier & Son Corporation, 1950), hlm. 83-84; Komarudin, Uang di NegaraNegara Berkembang, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 394-396. 63Sumitro
64Sumitro
Djojohadikusumo, op.cit., hlm. 1-9.
37
turut berperan dalam penggunaan dan perluasan peredaran uang di masyarakat pedesaan.65 Proses peralihan dari sistem ekonomi tanpa uang ke ekonomi uang, berpengaruh pada kebutuhan akan uang tunai dan menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Untuk mengatasi kebutuhan akan uang dalam memenuhi kebutuhan hidup,
maka
meminjam
merupakan
alternatif
yang
umum
dilakukan oleh masyarakat.66 Meminjam uang dapat dilakukan antar anggota masyarakat, meminjam kepada orang Tionghoa maupun
meminjam
dengan
memanfaatkan
fasilitas
kredit
pemerintah.67 Menurut Pandu Suharto, abad XIX di pedesaan Indonesia, uang pada umumnya hanya berfungsi menjadi alat penukar dan penghitung nilai. Dalam fungsinya itu, maka peredaran uang dianggap belum meresap dalam ekonomi masyarakat pedesaan. Ketika uang menjadi alat untuk memenuhi berbagai kebutuhan
Suharto, Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat, (Jakarta: LPPI, 1988), hlm. 13; Lihat pula Pandu Suharto, “Tabungan ....”,op. cit., hlm. 188; Harry Seldadyo Gunardi (ed.) (dkk), Kredit Untuk Rakyat: Dari Mekanisme Arisan Hingga BPR, (Bandung: Akatiga, 1994), hlm. 23. 65Pandu
Harry Seldadyo Gunardi (ed.) (dkk), op. cit., 27; Jan.T.M. van Laanen, “Diantara De Javasche Bank dan Ceti-Ceti Cina. Perbankan dan Kredit di Indonesia pada Zaman Kolonial, dalam Anne Booth dan Willian J.O. Malley (ed.), Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 351. 66Lihat
67Jan.T.M.
van Laanen, loc.cit.
38
dan kewajiban, serta semakin luas peredaran uang di dalam masyarakat, maka uang dianggap telah meresap dalam kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan.68 Dengan demikian, monetisasi di pedesaan terjadi ketika uang menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan dan kewajiban, sehingga uang meresap dalam ekonomi masyarakat. Di Buleleng, sejak tahun 1821 (tahun Saka 1743), uang telah menjadi bagian dari ekonomi desa. Hal ini berdasarkan temuan pipil yang tertua, isinya tentang surat transaksi jual beli sawah di Desa Krobokan (termasuk Distrik Sawan) menggunakan uang kepeng sebagai alat pembayaran.69 Dalam konsep manajemen keuangan modern, ada hal yang dalam istilah ekonomi disebut dengan nilai waktu dari uang. Dengan kata lain disebut dengan bunga uang. Salah satu nilai waktu dari uang yaitu nilai akan datang. Nilai akan datang adalah nilai akan datang dari sejumlah uang sekarang yang dihitung dengan membungakan nilai sekarang dengan tingkat bunga yang 68Pandu
Suharto, “Tabungan Dalam Ekonomi Pedesaan” dalam Marjanto Danusaputro, et al (ed.), Monetisasi Pedesaan: Bunga Rampai Keuangan Pedesaan, (Jakarta: LPPI, 1991), hlm. 187-188; Tentang fungsi uang secara umum di pedesaan yaitu sebagai alat tukar, alat penghitung nilai dan penyimpan nilai, lihat juga Syamsuddin Mahmud, “Ekonomi Moneter di Indonesia”, dalam Hendra Esmara (ed.), Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 216-217. 69Hasil
penelitian Ida Bagus Sidemen tahun 1993. Nomor koleksi: 023/IBS/PNRI/1993. Nomor peti: 42; nomor naskah: KB. 2; judul peti: naskah ditemukan di luar peti; isi asli: surat jual beli (padol); jenis lontar: pipil.
39
diharapkan selama periode tertentu.70 Ada penghitungan tingkat bunga dan bunga dibayar dalam bentuk uang. Dalam pengelolaan keuangan tradisional di pedesaan yang berkaitan dengan meminjam maupun gadai telah ada perhitungan bunga pinjaman, baik yang dilakukan oleh desa, banjar, organisasi ekonomi maupun antar perorangan. Dalam sumber pipil yang isinya mengenai transaksi meminjam antara orang desa dengan orang Tionghoa yang diketahui oleh pejabat kerajaan atau pejabat desa, ditemukan dengan jelas beban bunga atas pinjaman. Dalam sumber pipil pembayaran bunga pinjaman dinyatakan dengan kata bulan Bali dan bulan Jawa. Setiap bulan Bali dihitung menurut kalender Bali yaitu setiap 35 hari, yang dinyatakan antara lain dengan istilah memanak sasih bali; keni anak bulan bali; maputra ngesasih bali. Setiap bulan Jawa dihitung menurut kalender Masehi setiap 30 hari, yang dalam sumber pipil dinyatakan antara lain dengan istilah nganakin bulan jawa; memutranin bulan jawa; nganakin jinah asasih jawa. Dengan demikian, pemberi pinjaman sudah
menghitung
nilai
uang
yang
akan
datang
dengan
perhitungan bunga yang tergantung pada besarnya pinjaman.
S. Sundjaja dan Inge Barlian, Manajemen Keuangan Dua, (Klaten: Intan Sejati, 2007), hlm. 3; Lihat pula James C. Van Horne dan John M. Wachowicz, Jr, op.cit., hlm. 60. 70Ridwan
40
Berdasarkan temuan sumber pipil, ada bunga pinjaman yang dibayar dengan uang dan ada yang dibayar dengan hasil panen sawah berupa padi. Selain itu juga, ada bunga pinjaman yang dapat dibayar dengan buah kelapa, ternak babi, bahan atap rumah, bahkan juga dengan kerja wajib. Pinjaman berupa uang dan pembayaran bunga dengan bukan uang kartal, nilainya selalu disamakan dengan nilai uang kartal. Seperti yang berlaku di Desa Sukasada, Distrik Sukasada, pinjaman yang sudah menggunakan uang Hindia Belanda, selain pembayaran bunga pinjaman dapat dibayar dengan uang, namun juga dapat dibayar antara lain dengan padi, buah kelapa dan ternak babi.71 Mekanisme pengelolaan keuangan di pedesaan Buleleng seperti meminjam, gadai, jual beli lahan, diatur oleh lembaga. Menurut
Faisal
Kasryno,
kelembagaan
pedesaan
berupa
kelembagaan perkreditan, kelembagaan hubungan kerja dan kelembagaan penguasaan tanah. Kelembagaan sebagai suatu perangkat aturan yang mengatur dan dipatuhi oleh masyarakat. Aturan-aturan yang ditetapkan oleh lembaga, akan menentukan kerja sama antar anggota masyarakat dalam memanfaatkan
71Adatrechtbundels
XXIII: Java en Bali. (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1924), hlm. 339-340.
41
sumber daya serta dalam menentukan hak dan kewajiban masingmasing anggota.72 Penyelenggaraan
pengelolaan
keuangan
di
pedesaan
Buleleng, melibatkan peran elite, baik pejabat desa, kerajaan, pejabat pemerintah Hindia Belanda maupun elite perantara. Menurut Pareto yang termasuk elite adalah (1) semua yang berstatus sebagai pejabat tinggi yang diangkat oleh kerajaan, keturunan bangsawan desa yang pernah menjadi penguasa desa; (2) penduduk desa yang dianggap terpelajar sesuai dengan zamannya; (3) orang-orang yang berperan dalam bidang agama dan (4) orang-orang kaya yang berpengaruh terhadap masyarakat desa.73 Menurut Kuntowijoyo, para pejabat birokrat kerajaan dan desa yang termasuk dalam elite birokrat, seperti patih, mantri.74 Menurut
Bottomore,
kelas
yang
memerintah
yang
memiliki
72Faisal
Kasryno, “Kerangka Analisa Ekonomi Pembangunan Pedesaan”, dalam Faisal Kasryno (penyunting), Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984), hlm. 28; Tentang kelembagaan ekonomi lihat juga Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, (Yogyakarta: BPFE, 2000), hlm. 247-249. Vilfredo Pareto, The Rise and Fall of The Elites, (New Jersey: The Bedminister Press, 1968), hlm. 8; Bandingkan dengan T.B. Bottomore, Elites and Society (Baltimore-Maryland: Penguin Book, 1967), hlm. 22-24. 73Lihat
Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 257259; 217; Lihat juga Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, (Yogyakarta: Bentang, 1994), hlm. 62. 74Kuntowijoyo,
42
kekuasaan disebut sebagai elite. Orang asing yang statusnya dianggap sama seperti para elite ini, terutama orang-orang Tionghoa dapat disebut sebagai golongan elite.75 F. Metode dan Tinjauan Sumber Metode
sejarah,
menjadi
instrumen
pertama
yang
diaplikasikan sebagai perangkat kerja dalam usaha menemukan dan memformulasikan data historis yang diperoleh dari sumber, dengan kategori sumber primer dan sekunder, sumber tertulis maupun lisan.76 Data historis yang berhasil ditemukan, dalam penggunaannya, diusahakan yang berasal dari sumber primer tertulis yang terdapat dalam bentuk arsip yang ditemukan dalam lembaga arsip milik negara seperti Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta, Perpustakaan Gedong Kirtya Singaraja-Bali, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Istimewa Yogyakarta, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta (Hatta Corner),
75T.B.
Bottomore, op.cit., hlm. 36-37.
76Contoh
penerapan beberapa metode sejarah dalam kerja seorang sejarawan dapat dilihat dalam G.J. Garraghan, S.J, A Guide of Historical Method, (New York: Fordham University Press, 1957), hlm. 33; G.J. Reiner, History Its Purpose and Method, (New York: Harper & Row Publisher, 1965), hlm. 178-188. Pedoman penggunaan metode sejarah dalam proses rekonstruksi sejarah dapat juga dilihat pada Sherman Kent, Writing History, (New York: Appleton-Century-Crafts, Education Division Meredith Corporation, 1966), hlm. 12-73; Cf, F.N. McCoy, Researching and Writing in History, (Berkeley Los Angeles-London: University of California Press, 1974), hlm. 8-67.
43
Perpustakaan
Sono
Budoyo
Daerah
Istimewa
Yogyakarta,
Perpustakaan Pedesaan Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, Perpustakaan Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, Perpustakaan Denpasar
Fakultas
Bali,
Ilmu
Perpustakaan
Budaya
Universitas
Universitas
Sanata
UdayanaDharma-
Yogyakarta, Perpustakaan Dinas Kebudayaan Propinsi Bali dan perpustakaan pribadi milik Ida Bagus Sidemen. Sumber-sumber
primer
yang
digunakan
antara
lain
Memorie van Overgave oleh beberapa orang pejabat Belanda, yang isinya tentang naskah serah terima ketika terjadi pergantian pejabat dalam pergantian pejabat pemerintahan Hindia Belanda, yang ditemukan di Arsip Nasional RI di Jakarta dan Perpustakaan Gedong Kirtya Singaraja-Bali. Sumber berupa Overgave
memberikan
informasi
mengenai
Memorie van
berbagai
aspek
kehidupan masyarakat seperti, politik, ekonomi, budaya, adat. Juga ditemukan sumber yang lain dalam bentuk staatblaad dalam rentang waktu 1830-an sampai dengan 1920-an. Sumber ini pada umumnya memberikan data historis tentang surat keputusan (besluit) dalam berbagai macam bidang, seperti yang berjudul binnenlands bestuur yang memberikan informasi tentang struktur pemerintahan Hindia Belanda di daerah jajahannya. Sumber primer
yang
lainnya
berjudul
regeeringsalmanak,
yang
memberikan data tentang lembaga dan pejabat pemerintahan
44
Hindia Belanda pada daerah jajahannya di Indonesia, khususnya di keresidanan Bali-Lombok. Nama-nama wilayah yang tertera dalam sumber kolonial maupun sumber lokal, ditulis kembali dan telah disesuaikan dengan ejaan Bahasa Indonesia yang telah disempurnakan. Melalui pendekatan historiografi lokal Bali, ditemukan sumber-sumber primer dalam bentuk surat-surat segel yang berbahan daun lontar masih berlidi. Sumber lokal yang berbentuk pipil, ditemukan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Dalam klasifikasi historiografi lokal Bali, sumber lokal dalam bentuk pipil, diyakini memiliki bobot historis yang paling utuh, bila dibandingkan dengan sumber lokal yang lain.77
Alasannya
karena dalam sumber pipil hampir selalu disuratkan tanggal, bulan dan tahun Saka, ada saksi perorangan maupun dari pejabat yang berwenang, lokasi penulisan yang dapat dilacak, isinya yang objektif, dan harus dilegalisasi oleh pejabat kerajaan.78 Sebagian besar pipil yang telah ditemukan, ada jejak stempel pengesahan
77Ida
Bagus Sidemen, “Historiografi Tradisional Bali 1”, Jilid 1, Jilid 2, Jilid 3. Naskah belum diterbitkan. (Denpasar: Tungtunging Gesing Asrami, 2009). 78Ida
Bagus Sidemen, “Historiografi Tradisional Bali 3”, Naskah belum diterbitkan. (Denpasar: Tungtunging Gesing Asrami, 2009), hlm. 389-392.
45
pada lontar pipil, namun hampir seluruhnya tidak dapat dibaca karena bekas stempelnya telah memudar. Sumber berupa pipil ditulis menggunakan aksara Bali, berbahasa Bali yang dapat dengan mudah dimengerti oleh rakyat.79 Dalam penelitian di Perpustakaan Nasional ditemukan 115 pipil yang menunjukkan lokasi desa-desa di wilayah Buleleng. Sejumlah 100 pipil
isinya antara lain mengenai surat pas (izin
bepergian), transaksi pinjam meminjam dan gadai antar orang Bali maupun antara orang Bali dengan orang Tionghoa, transaksi jual beli tanah sawah atau kebun. Sejumlah 4 pipil
surat tanda bukti
ukur dan membayar penghasilan (wupti) dengan lokasi subak Mbung Mas dengan tahun 1880 (tahun Saka 1802) dan tahun 1881 (tahun Saka 1803) berjumlah 8 pipil tentang catatan atau nota belanja untuk kepentingan upacara agama Hindu dan sejumlah 3 pipil tentang perjanjian mengerjakan sawah. Sumber dalam bentuk pipil yang diperoleh dari tahun 1882 (tahun Saka 1808) hingga 1892 (tahun Saka 1818). Sumbersumber pipil yang tidak berangka tahun namun isinya sangat penting untuk dijelaskan, maka peneliti membandingkan dengan sumber yang berangka tahun. Untuk memudahkan membaca
79Menggunakan
aksara Bali, berbahasa Bali yang dapat dengan mudah dimengerti oleh rakyat, disebut dengan kepara atau lumrah.
46
isinya, peneliti memberikan kode 1a untuk halaman pertama dan 1b untuk halaman kedua. Dalam pipil, isi transaksi tersurat pada kedua permukaan atau halaman lontar (bolak balik, halaman 1a dan 1b), dan ukurannya berbeda-beda. Pada umumnya, halaman 1a dan 1b ditulis tiga atau empat baris. Pada halaman 1a termuat jejak stempel dan halaman 1b termuat tahun Saka dan nama pejabat yang mengesahkan, baik tersurat maupun tersirat. Sebagian besar pipil ditemukan jejak stempel, namun lebih banyak yang tidak terbaca. Pada umumnya transaksi yang tertuang dalam pipil terdapat saksi yang menyaksikan dan turut bertanggung jawab atas transaksi yang telah dilakukan. Sumber-sumber
pipil
yang
telah
ditemukan
dilakukan
transliterasi ke dalam huruf Latin dan terjemahan ke dalam bahasa
Indonesia.
Pada
tahap
selanjutnya
diberikan
kode
penelitian untuk memudahkan dalam menggunakannya. Sumbersumber pipil ditemukan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, peneliti memberikan kode penelitian, seperti contoh: 011/4/PNRI/JKT/PT 46 L 11**/05.2013. Penjelasannya sebagai berikut: 011 merupakan pipil urutan kesebelas setelah dilakukan transliterasi; angka 4 merupakan pipil urutan keempat ketika awal ditemukan di PNRI; PNRI merupakan singkatan dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia; JKT merupakan singkatan dari Jakarta; PT 46 L 11** merupakan kode dari katalog Perpustakaan
47
Nasional
Republik
Indonesia;
05.2013
merupakan
waktu
pelaksanaan penelitian. Kode 05 merupakan bulan Mei dan kode 2013 merupakan tahun 2013. Dalam kode penelitian, peneliti juga menyertakan data fisik pipil yang telah ditemukan, seperti ukuran panjang dan lebar. Isi pipil dapat dianalisis dari berbagai aspek, dan yang dikutip hanya berkaitan dengan fokus penelitian ini. Ketika isi pipil yang dikutip untuk digunakan dalam menjawab permasalahan, maka isi yang tersurat ditebalkan, baik dalam transliterasi maupun dalam bahasa Indonesia. Sumber pipil yang telah ditemukan dan digunakan dalam penulisan, ada yang merupakan koleksi pribadi Bapak I Nengah Warka dan I Nengah Warki; koleksi Bapak Tuges, dari Desa Tenganan Dauh Tukad Karangasem-Bali. Penelitian dilakukan bulan Maret tahun 2013. Selain sumber-sumber lokal hasil penemuan peneliti sendiri, juga digunakan sumber-sumber tradisional hasil penelitian Ida Bagus Sidemen berjumlah 47 lembar.80 Penelitian telah dilakukan pada tahun 1993 di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Jakarta. Isi transaksi di dalam pipil, hampir sama dengan temuan
80Untuk
membantu membaca dengan lebih benar, peneliti menggunakan informan kunci yang mampu membaca aksara Bali pada lontar dan mampu pula menerjemahkan dengan baik dan benar ke dalam Bahasa Indonesia.
48
peneliti pada tahun 2013, namun berbeda tahun serta desa atau lokasi terjadinya transaksi. Sumber-sumber sekunder yang mendukung sumber primer, berupa buku-buku yang telah diterbitkan, artikel yang dimuat dalam koran, majalah maupun jurnal. Sumber lisan diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa narasumber yang berkompeten dalam bidangnya. Hal ini dilakukan untuk memperkuat kebenaran dan otensitas sumbersumber tertulis yang telah ditemukan di perpustakaan. Salah satunya, wawancara dilakukan dengan narasumber I Gusti Bagus Sudiastra,
yang
pernah
menjabat
sebagai
klian
desa
adat
Bungkulan Buleleng dari tahun 1980-1991 dan saat ini sebagai ketua Kerta Desa Bungkulan. G. Sistematika Penulisan Pembahasan dalam disertasi ini disajikan dalam bentuk tematis dengan tetap memperhatikan aspek kronologis. Sebagai bab
pengantar,
menguraikan
latar
belakang,
beberapa
permasalahan dan tujuan penelitian, dilanjutkan dengan Bab II yang membahas perkembangan politik dan ekonomi Kerajaan Buleleng, yang diawali dengan berdirinya Kerajaan Buleleng, hubungan Kerajaan Buleleng dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Bali, hingga Kerajaan Buleleng berada di bawah pemerintahan
49
Hindia Belanda. Hal ini penting karena perkembangan politik berpengaruh pada perkembangan ekonomi. Selain membahas Buleleng dari sudut pandang politik dan ekonomi, juga mengenai gambaran umum masyarakat dan kebudayaan serta pertumbuhan penduduk di Buleleng. Bab-bab berikutnya merupakan elemenelemen analisis dalam menjelaskan pengelolaan keuangan di desadesa Buleleng. Menjelaskan desa-desa di Buleleng, dilihat dari sudut pandang
wilayah
(batas),
masyarakat,
maupun
struktur
pemerintahan desa. Hal ini untuk menjelaskan ruang lingkup desa yang menjadi objek penelitian. Berkaitan dengan pemerintahan desa,
juga
dibahas
mengenai
peradilan
desa
yang
dapat
menyelesaikan perkara pidana maupun perdata dalam lingkup desa. Bahasan terakhir dalam Bab III dan sekaligus sebagai pengantar
Bab
IV
yaitu
uraian
tentang
sumber
ekonomi
masyarakat desa berkaitan dengan mata pencaharian sebagai sumber kehidupan, kegiatan menabung dan organisasi ekonomi yang muncul di desa. Tiga bab berikutnya menguraikan tentang mekanisme, bentuk pengelolaan keuangan yang berlangsung pada masyarakat, yang diselenggarakan oleh lembaga komunal, antar perorangan, serta pendirian lembaga keuangan modern yang diselenggarakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pembahasan Bab IV diawali
50
dengan
monetisasi,
untuk
menjawab
pertanyaan
kapan
pengelolaan uang menjadi bagian dari ekonomi masyarakat pedesaan;
bagaimana
sistem
pengelolaan
keuangan
yang
berlangsung di masyarakat Buleleng. Di pedesaan Buleleng, ada pengelolaan keuangan yang diselenggarakan secara komunal oleh lembaga desa atau banjar dan ada transaksi keuangan yang berlangsung
antar
perorangan.
Pengelolaan
keuangan
yang
diselenggarakan secara komunal oleh lembaga desa atau banjar untuk
kepentingan
pinjaman
kepada
komunal warga
desa.
dan
juga
menyelenggarakan
Transaksi
keuangan
antar
perorangan, yaitu pinjam meminjam dan gadai, baik antar warga desa maupun antara warga desa dengan orang Tionghoa, yang administrasi
transaksinya
tertuang
dalam
bentuk
pipil.
Administrasi transaksi keuangan yang berlaku antar perorangan, berdasarkan peraturan kerajaan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan transaksi meminjam akan dibahas dalam bab ini, seperti tujuan atau pemanfaatan pinjaman, sistem bunga dan sistem pembayaran pinjaman. Dalam transaksi gadai, dibahas beberapa sistem gadai yang berlaku umum di desa-desa di Buleleng. Menjawab permasalahan tentang peran elite, dari pejabat desa, pejabat kerajaan hingga pejabat kolonial dalam pengelolaan keuangan pedesaan, dijelaskan dalam Bab V. Dalam bab ini juga menjelaskan sejauh mana peran orang Tionghoa dalam transaksi
51
keuangan pada masyarakat pedesaan. Sebagai klimaks dari pembahasan pengelolaan keuangan adalah pendirian lembaga keuangan modern yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada awal abad XX, dengan pendirian Dessabank, Boelelengsche Credietbank dan Balische Volksbank dan membangun jaringan hingga
meresap
ke
pedesaan.
Usaha
yang
dilakukan
oleh
pemerintah Hindia Belanda mendapat respons dari masyarakat pedesaan. Hal tersebut di atas dipaparkan dalam Bab VI, yang menjawab mengapa keberadaan lembaga keuangan modern tidak menghilangkan
sistem
pengelolaan
keuangan
pedesaan
dan
bagaimana respons masyarakat terhadap lembaga keuangan modern.
Seluruh
disimpulkan
dalam
pembahasan Bab
VII
dalam
dengan
bab-bab
sebelumnya
menjawab
pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan dalam pengantar.