BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Kehidupan tari Indonesia memiliki eksistensi yang terus berkembang dalam keberadaannya. Perkembangan pada kehidupan tari memang tidak dapat dielakkan, bahkan semakin beragam dan kaya dalam keberadaannya. Kekayaan tari di Indonesia mempunyai keberagaman luar biasa yang didasarkan pada teritori dan letak geografisnya.
Teritori
yang
terbentang
atas
gugusan
pulau
menyimpan keberagaman etnis-etnis yang tinggal dan berkembang di dalamnya. Hal ini turut ditekankan oleh Edi Sedyawati yang mengatakan demikian. Keberagaman tari di Indonesia memunculkan beragam gaya dan ciri khas yang menunjukkan suatu kebiasaan tari tertentu, yang membedakannya dengan perkembangan tradisi dan kebiasaan tari tertentu.1 Dari pernyataan Edi tersebut, dapat diketahui bahwa keberagaman tari dengan gaya dan ciri khasnya memberikan gambaran atas kehidupan etnis tertentu.
1Edi
1991), 5.
Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan. (Jakarta; Sinar Harapan,
2
Setiap etnis memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal adat-istiadat, bahasa, dan norma kehidupan. Ketiga hal tersebut membuat bentuk dan ragam tari dari etnis yang satu dengan yang lain
berbeda.
Implikasi
ketiga
hal
tersebut
jelas
misalnya
membedakan bentuk antara tari gambyong dari Jawa dan tari piring dari Minangkabau. Selain ketiga hal substansial tersebut, aturan-aturan yang mentradisi dari generasi sebelumnya (empu tari) turut membentuk gaya di pelbagai daerah, hal ini berkaitan dengan konsep yang dikemukakan oleh Humardani. 2 Kebutuhan adat dan sistematika pengaturan segitiga kebudayaan di atas (adat-istiadat, bahasa, dan norma kehidupan), semakin berkembang dengan adanya sistem tari tradisi, ilmu dan teknologi yang berkembang. Pengaturan ini, turut membedakan
konsep,
filosofi,
serta
intensitas,
yang
turut
mempengaruhi perkembangan masyarakat di tiap etnis. Alhasil, tari berpotensi menjadi salah satu faktor penunjang dari pembentukan nilai kesukuan, pengaturan dan kehidupan masyarakat.
2 SD. Humardani, Kumpulan Kertas tentang Kesenian. (Surakarta; ASKI Surakarta, 1982),9-11. Menjelaskan bahwa aturan pokok dari generasi sebelumnya yang dianggap nenek moyang atau empu tari membentuk gaya yang beragam dari berbagai daerah.
2
3
Hal tersebut berkaitan dengan proses membentuk sebuah gaya dalam tari. Secara epistimologis, Rahayu Supanggah menjelaskan atas apa yang dikenal dengan gaya, menurutnya demikian, Gaya merupakan kekhasan atau kekhususan yang ditandai oleh ciri fisik, etnik dan atau sistem kerja (garap) yang dimiliki oleh personal, kelompok atau kawasan (budaya) tertentu yang diakui eksistensinya dan berpotensi untuk mempengaruhi individu, kelompok dan bahkan kawasan (budaya, kesenian dan karawitan) lainnya.3 Pernyataan Supanggah secara tersirat menjelaskan bahwa gaya menjadi nilai yang spesial dan spesifik dari sebuah kebudayaan (etnik) yang terbentuk karena alasan budaya yang kuat. Di sisi lain, keberagaman gaya merupakan wujud kreativitas masyarakat yang didasarkan pada kontekstual kehidupannya, dan dalam tari, proses ini adalah kunci terpenting yang menjadi ungkapan
dan
mediasi
personal
dalam
pencapaian
aktivitas
kreativitasnya. Alma M. Hawkins, seorang ahli tari dan koreografi dari Amerika Serikat, menyebut demikian. Kreativitas tidak dihasilkan oleh adanya peniruan, penyesuaian, atau pencocokan terhadap pola-pola yang telah dibuat sebelumnya. Kreativitas menyangkut pemikiran
3 Rahayu Supanggah. Botehekan Karawitan I. (Surakarta: STSI Surakarta, 2002),137.
3
4
imajinatif: merasakan, menemukan kebenaran.4
menghayati,
menghayalkan
dan
Pernyataan Hawkins ini perlu diperhatikan lebih lanjut, karena beragamnya perbedaan tari di setiap tempat, tingkat kreativitas juga berada sejajar dalam mengarungi perbedaan dan keberagamannya. Ketika tari mendapatkan porsi yang penting dalam unsurunsur kebudayaan, proses kreativitas ini secara definitif merupakan sebuah proses pencarian arti dan jati diri untuk sebuah kebaruan dan pengertian yang baru. Hal ini diungkap oleh Edi Sedyawati yang menyatakan demikian. Pada perkembangan muktakhir, kreativitas adalah bentuk pelestarian dinamis terhadap warisan budaya sebelumnya; dengan melestarikan eksistensinya dan dengan membuka segala peluang untuk perubahan dan perkembangan kreatif.5 Dari pernyataannya, ia mengungkap bahwa kreativitas merupakan wujud pelestarian dari warisan budaya, sehingga pemikiran akan penggerusan tradisi menjadi semakin kecil kemungkinannya. Kreativitas berkesenian yang semakin meluas dan beragam, membuktikan bahwa seniman tari dapat berkarya seperti yang mereka inginkan. Pada beberapa periode perkembangan kreativitas 4
Alma M. Hawkins, Bergerak Menurut Kata Hati; Metoda Baru dalam Menciptakan Tari. Terj. oleh I Wayan Dibia (Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2003), 15-17. 5 Edi Sedyawati, Keindonesian dalam Budaya. Dialog Budaya: Nasional dan Etnik, Peranan Industri Budaya dan Media Massa, Warisan Budaya dan Pelestarian Dinamis. (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008), 290.
4
5
tari dari masa ke masa telah membuktikan keberagaman dan keseriusan
pembuatnya.
Sebagai
contoh
nyata,
di
masa
pemerintahan Orde Baru, ketika Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1968, ia membentuk Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ/1970) yang berlokasi di sebuah komplek taman budaya, yang kemudian diberi nama Taman Ismail Marzuki (TIM). Bertolak dari masa kreativitas ini, Sal Murgiyanto menyatakan pendapatnya demikian. Unlike their predecessors, Bagong Kusudiardjo, Sardono W. Kusumo, Retno Maruti, and Huriah Adam do not think of themselves as preservers but as creators. In Indonesia, the picture is not one of conflict between the preserver of tradition and the cretive artists; it is rather a picture of preservation of tradition through the constant recreation of it. Berbeda dengan para pendahulunya, Bagong Kusudiardjo, Sardono W. Kusumo, Retno Maruti, dan Huriah Adam tidak menganggap dirinya sebagai preservator tapi lebih sebagai pencipta. Di Indonesia, wacana yang terjadi bukan konflik antara preservasi budaya dengan kreativitas seniman namun lebih pada preservasi budaya melalui re-kreasi konstan dari budaya tersebut.6 Dengan begitu, keberadaan Taman Ismail Marzuki di Jakarta memunculkan
seniman-seniman
tari
berbakat,
seperti:
Bagong
Kussudiarja, Sardono W. Kusumo, Retno Maruti, dan Huriah Adam.
6 Sal Murgiyanto, “Moving between Unity and Diversity: Four Indonesian Choreographers”. (Disertasi Ph.D di New York University. New York. 1991) 474.
5
6
Tokoh-tokoh inilah yang kemudian menjadi cikal bakal kreativitas yang diiringi kemuncululan TIM, bahkan lahirnya tari kontemporer di Indonesia. Awal 1970-an, ketika Sardono W. Kusumo mementaskan karya Samgita Pancasona dan kemudian Dongeng dari Dirah, merupakan awal berdirinya Dewan Kesenian Jakarta. Merupakan juga lahirnya tari kontemporer Indonesia seiring dengan lahirnya Pekan Penata Tari Muda pada tahun 1978 dan festival-festival tari di era-era berikutnya. Proses kreatif seniman tari angkatan muda atau generasi lulusan pendidikan seni di Indonesia bermunculan di beberapa kota seperti Surakarta dan di Yogyakarta. Beberapa tempat belajar kesenian didirikan, Surakarta berdiri Akademi Seni Karawitan Indonesia pada tahun 1964 dan Pusat Kesenian Jawa Tengah pada tahun 1970 (ASKI/PKJT); di Yogyakarta terdapat Pusat Latihan Tari (PLT) Bagong Kussudiarja tahun 1958, Contemporary Dance School Wisnoe Wardhana (CDSW) tahun 1950-an, serta lembaga pendidikan formal kesenian di Indonesia pada era Orde Baru (ASTI, ASKI). Munculnya kantong-kantong kesenian di kedua tempat tersebut ditegaskan dalam pernyataan Umar Kayam tentang tradisi dan kontemporer,
yang
diperkuat
oleh
Sal
Murgiyanto
dengan
menyatakan demikian.
6
7
Dance change in Indonesia accurs alongside the transformation of its culture. This culture change occurs along two main lines; first, the transformation from a colony with diverse culture areas under local rules into an independent nation-state, and second , from an economically developing country into an imagined modern and industrial one, or as Kayam puts it, “from an agraric-feudal into a modern-democratic society. Perubahan seni tari di Indonesia berjalan seiring dengan transformasi kebudayaannya. Perubahan kebudayaan ini terjadi dalam dua koridor; Pertama, transformasi dari sebuah koloni yang terdiri dari beragam etnik yang dikuasai oleh satu kekuatan lokal menjadi sebuah negara yang merdeka, dan kedua, dari negara yang tadinya masuk ke dalam kategori negara berkembang menjadi sebuah negara yang diproyeksikan modern dan industrial, atau seperti yang dinyatakan oleh Kayam, “dari gari-feudal menjadi masyarakat demokratismodern”. 7 Definisi kontemporer yang terbentuk dari tari tradisi dalam berbagai bentuk di pelbagai suku membawa perkembangan kreativitas tari kontemporer di Indonesia menjadi semakin bekembang pesat. Selain tari kontemporer Indonesia diperkaya oleh kreativitas yang didasarkan keberagaman suku, tari kontemporer turut dibentuk atas dasar perasaan kritis. Hal ini dinyatakan oleh Sal Murgiyanto bahwa
tradisi
dapat
“dipertanyakan’’
kembali
dalam
dunia
kontemporer. Pernyataan Sal ini senada dengan pernyataan Peter Burger tentang seni avant-garde sebagai era diversity bahwa setiap ungkapan/karya seni mempunyai kedudukan yang sama, posisi yang
7
Sal Murgiyanto, 1991. 424
7
8
sejajar untuk saling mengisi dalam keterbukaan dan perbedaan. 8 Perspektif ini menjadi kekuataan bagi penari-penari seperti Wisnoe Wardana, Bagong Kussudiardjo, dan Gendhon Humardani dalam proses kreativitas mereka untuk mengembangkan tradisi. Tari “kontemporer” di kala itu memang menyimpan pesona baru, tetapi bukanlah sesuatu yang tunggal dalam berkembang. Sal Murgiyanto mengatakan demikian. Pada saat yang bersamaan, substansi kontemporer bukanlah satu-satunya konsep pengembangan bentuk dari tari tradisi, ada pula yang berubah dan berkembang menjadi tari rakyat dan tetap dalam wacana klasik.9 Pernyataan Sal tersebut menjadikan dunia tari semakin beragam, dan
secara
tersirat
kesenian
kontemporer
belum
sepenuhnya
diterima masyarakat luas. Pernyataan Umar Kayam tentang seni kontemporer semakin membuka
wawasan
atas
keberadaan
akan
keanekaragaman.
Munculnya pendekatan kontemporer yang tidak sama dengan seni tradisi pada konteks kreativitas, acapkali dapat membuat bentuknya berubah tetapi muncul dalam wujud yang menyerupai. Menurut Kayam, kelaziman yang ada pada nilai tradisi tidak membeku, akan
8
Peter Burger. Theory of the Avant-Garde. (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984). 17 9 Sal Murgiyanto, “Subur Kang Sarwo Tinandur, Mas Kayam dan Tari Kontemporer Indonesia”, dalam Umar Kayam dan Jaringan Semiotik, Aprinus Salam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 258.
8
9
tetapi terus berkembang seiring perkembangan modernisasi dan kebutuhan integritas keduanya. Selain
kreativitas
10
dalam
tradisi
yang
membuat
perkembangannya semakin beragam, terdapat unsur lain yang tidak kalah pentingnya dalam dunia kontemporer, yakni eksperimentasi. Eksperimentasi yang didasarkan pada perkembangan tradisi dan keragaman, membuat substansi kontemporer semakin berkembang dan kaya dalam proses kreatif dan eksperimentasinya. Hal ini dibahas oleh Sal Murgiyanto atas perkembangan tari kontemporer di Indonesia, dengan fokus empat tokoh tari kontemporer, yakni: Huriah Adam, Retno Maruti, Sardono W. Kusumo, dan Bagong Kussudiardja. Sal Murgiyanto menyatakan demikian. The four choreographers discussed in this disertation all began their career as traditional dancers. At home, with different degrees of intensity, they were taught to appreciate the values of their respective traditions, which function as a collective relational base and a conventional context for their creative activities. Having grown up around the time of proclamation of independence, however, the choreographersare no strangers to the value of freedom of the individual and the idea of progress. Their creative power is combination with the potentialities resident in their tradition and improvement of the pre-existing tradition. Keempat koreografer yang dibahas di dalam disertasi ini semua memulai perjalanan karirnya sebagai penari tradisional. Di kampung halamannya, dalam level intensitas yang beragam, mereka diajarkan untuk menghargai serta 10 Aprinus Salam, Umar Kayam dan Jaringan Semiotik. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 14
9
10
menghormati nilai-nilai tradisi yang berfungsi sebagai dasar kolektif yang saling berkaitan dan konteks konvensional dalam aktivitas kreatif mereka. Karena hidup di masa perjuangan kemerdekaan, para koreografer ini sangat akrab dengan nilainilai kebebasan individu dan gagasan-gagasan kemajuan. Kekuatan kreatif mereka adalah mengkombinasikan potensi tradisi dengan cara memperluas dan mengembangkan tradisi yang sudah ada sebelumnya. 11 Hal ini dapat diartikan bahwa Bagong mampu membuat komposisi tari baru dari hasil editing gerak tari dan ragam tari nusantara dan menjadikannya sebuah gaya khas dari Bagong Kussudiardja, terlebih karya tarinya setelah belajar menari kontemporer di Amerika, pada dasawarsa 1990-an, turut bemunculan karya-karya tari kontemporer dengan koreografernya. Hal ini terjadi seiring pesatnya ajang festival tari nasional dan internasional (Indonesian Dance Festival) yang digelar. Terdapat perkembangan
yang membanggakan, ketika persinggungan tari
tradisi dengan modernisasi dan globalisasi menciptakan sebuah rujukan
pencarian
atau
pencapaian
identitas
seniman
tari
kontemporer dan karya kreatifnya. 12 Proses ini berlanjut ketika seniman-seniman tari Indonesia didukung oleh Sal Murgiyanto (selaku pendiri IDF yang juga seorang kritikus dan peneliti tari di Indonesia) tampil dalam kancah pertunjukan tari, baik di ajang
11Sal 12
Murgiyanto, 1991, 474. Sal Murgiyanto, 1998, 252.
10
11
festival maupun workshop tari di Asia, Eropa, maupun Amerika Serikat. Disertasi Sal Murgiyanto yang berjudul Moving Between Unity and Diversity: Four Indonesian Choreographers dari program doktoral Performance Studies di New York University, menjadi landasan utama penulis dalam memetakan lahirnya tari kontemporer di Indonesia. Pentingnya disertasi Sal Murgiyanto karena dapat membantu penulis dalam mendefinisikan tari kontemporer di Indonesia; memetakan secara melihat
historis;
melihat perkembangan proses kreativitas; dan
perubahan
yang
terjadi
dari
karya
tari
kontemporer
Indonesia. Dalam disertasinya, Sal mencermati asal usul tari kontemporer sejak awal kehadiran istilah dan bentuk tarinya. Dari penelitiannya, dapat disimpulkan bahwa tari kontemporer berasal dari Amerika Serikat seusai masa kejayaan tari modern. Sedangkan kelahiran dan perkembangan
tari
kontemporer
di
Eropa,
ditandai
dengan
terbentuknya Performing Arts Research and Training Studios (PARTS), sebuah institusi non pemerintah yang diprakarsai oleh koregrafer Anne Teresa De Keersmaeker di Belgia, serta beberapa institusi lain sebagai pencetus munculnya tari kontemporer di Eropa. Disertasi ini juga melacak dan meneliti perkembangan tari kontemporer di Asia
11
12
(seperti: India, Jepang, Thailand, dan Singapore). Bertolak dari pemetaan yang dilakukan pada disertasi Sal Murgiyanto, disertasi penulis diharapkan akan dapat menemukan definsi tari kontemporer untuk pencapaian subtansi tari kontemporer Indonesia. Disertasi ini juga memaparkan dan memperhatikan padanan kata “tari kontemporer Indonesia” dengan “tari kontemporer yang ada di Indonesia”. Alhasil beberapa istilah dan wujud dari tarian baru yang tercipta pada keadaan masa kini atau dikenal dengan new dance, dapat menemukan kualifikasi atas beberapa wujud dan istilah dari genre ini. Batasan kontemporer yang mencipta tari-tarian baru karena pergolakan suatu hal, telah memperjelas perbedaan dan kesamaan antara tari kontemporer Indonesia dengan tari kreasi baru atau tarian baru. Harapan dari disertasi ini adalah mempertegas posisi kajian pertunjukan yang dibatasi oleh dua kutub yang sangat berbeda: ritual atau efficacy, dan teater atau intertaiment. Bertolak dari pernyataan
Sal
Murgiyanto
yang
menyatakan
bahwa
tari
kontemporer Indonesia banyak berkembang dari seni tradisi yang hadir dalam berbagai bentuk rakyat maupun klasik.
13
penulis
mempercayai bahwa walaupun bentuk keduanya berorientasi pada
13
Sal Murgiyanto, 1998, 257.
12
13
perkembangan, tekstual dan kontekstual, tari kontemporer yang ada di Indonesia adalah wujud kreativitas, profesionalisme, pendidikan, kritik, dan pengelolaannya. Dengan
demikian,
menentukan
posisi
tari
kontemporer
Indonesia adalah subjek penting dalam disertasi ini. Konteks tari kontemporer dalam ranah seni pertunjukan mempunyai perbedaan paham dengan konteks dari post-modern dan avant-garde. Seperti yang diungkap Michael Kirby, bahwa dalam batasan tari post-modern, persoalan kebentukan bukanlah elemen yang esensial, yang menjadi ciri khas adalah adanya keputusan-keputusan, tujuan, rencana, skema, aturan, dan konsepsi atau masalah.14 Perbedaan dan sudut pandang kreatif ini juga menjadi bahasan penting dalam disertasi ini. Disertasi ini bermula dari munculnya informasi penting tentang Wisnoe Wardhana yang notabene adalah tokoh tari “kontemporer” Indonesia, dimana pada tahun 1951, ia telah membuka dan mendirikan Contemporary Dance School Wisnoe Wardana. Hal ini memberikan informasi serta menginspirasi penulis untuk meneliti cikal bakal munculnya istilah tari kontemporer yang merupakan wujud
perubahan,
perkembangan
dan
pengaruh
tari
Modern
Amerika. Seperti yang dituliskan oleh Sal Murgiyanto, demikian. 10. Michael Kirby, “The Drama Review” Post-Modern Dance Issue, Editor, (B.DeBoer. San Francisco. 1975), 75-124.
13
14
Pertemuan pertama tari modern Amerika terjadi pada tahun 1925, ketika rombongan Ruth St. Denis mengadakan pementasan di Jakarta. Hal inilah yang menjadi cikal bakal pergesekan dan pengenalan tari kontemporer di Indonesia pada umumnya. Pihak Indonesia hanya terkesan memasok dan mengilhami, sementara Ruth banyak terilhami dengan eksotisme Indonesia.15 Walaupun, dalam argumentasi Sal Murgiyanto yang membatasinya sebagai proses Orientalisme, yaitu pihak Indonesia hanya terkesan memasok dan mengilhami, sementara Ruth banyak terilhami dengan eksotisme Indonesia. Perkembangan serta perubahan bentuk dan kreativitas tari kontemporer Indonesia, juga tidak terlepas dari munculnya beberapa tokoh tari kontemporer, seperti: Martinus Miroto, Boi G. Sakti, Sukarji Sriman, Ery Mefri, Elly Luthan, dan Mugiyono Kasido di era tahun 1990-an. Eksistensi dan peran penting juga terdapat pada nama-nama seperti Ben Suharto, Deddy Luthan, Tom Ibnur, Wiwik Sipala, Sunarno, Wahyu Santoso Prabowo, I Nyoman Chaya, I Wayan Dibya, Suprapto Suryodarmo serta masih banyak nama lain. Hal ini menunjukkan
perkembangan
yang
signifikan
pada
perubahan
bentuk serta keativitas tari kontemporer Indonesia.16
15 Sal Murgiyanto, “Tari, Wayang, dan Gamelan Seabad Lewat”, Makalah Seminar Seni Pertunjukan, Taipei (1999), 18. 16 Sal Murgiyanto, “Between Tradition and the Modern”. (Ballet International/Tanz Aktuell, 1996), 40-42.
14
15
Perkembangan dan perubahan turut disadari dari disertasi Sal Murgiyanto yang telah menempatkan capaian dan posisi penting tentang tari kontemporer di Indonesia. Sehingga disertasi Sal Murgiyanto menjadi acuan dan referensi penting dalam disertasi ini. Disertasi ini dimulai dengan sedikit mengulas eksistensi seniman tari yang terdapat dalam disertasi Sal Murgiyanto, seperti capaian artistik dan eksistensi seniman tari dari Sardono W. Kusumo, Retno Maruti, Huriah
Adam
serta
Bagong
Kussudiardjo.
Tokoh-tokoh
dalam
disertasi ini akan diteruskan hingga beberapa seniman tari pada era 1990-an, yaitu: Martinus Miroto (Yogyakarta), Mugiyono Kasido (Surakarta), Hartati (Jakarta), Jecko Siompo (Jakarta), dan Eko Supriyanto (Surakarta). Jika
dilakukan
komparasi,
pencapaian
individual
dan
perkembangan penata tari Sardono W. Kusumo dari Surakarta akan sangat berbeda dengan koreografer dari Surakarta era tahun 1990-an Mugiyono Kasido. Alhasil akan timbul pertanyaan terkait keberadaan penari tersebut dimana telah mengalami perkembangan, perubahan ataukah kemunduran. Dengan demikian, objek penelitian akan diteliti
dan
dijabarkan
secara
detail
dengan
menggunakan
pendekatan dan empat faktor indikasi, yakni: sebagai berikut.
15
16
(1) Kondisi seniman (penyaji dan pencipta), (2) Tingkat apresiasi penonton/masyarakat, (3) Kehadiran lembaga atau institusi penyelengara, dengan hadirnya produser, presenter atau festival, (4) Adanya pakar dan kritikus tari yang handal. Kriteria inilah yang mempertegas atas adanya perkembangan dan perubahan dari penelitian disertasi ini. Alhasil, kecenderungan dari disertasi ini adalah mengamati perjalanan karir perkembangan tari kontemporer Indonesia melalui lima penata tari Indonesia yang tidak hanya melalui bentuk, tetapi juga konsep keyakinan seniman, seperti:
konsep
berkesenian,
keyakinan,
serta
profesionalisme
mereka. Disertasi ini memberikan kriteria dan indikasi penting pada kelima penata tari di era 1990an tersebut, yakni: kreativitas dan inovasi. Kreativitas dan inovasi merupakan aspek yang sangat penting dalam tari kontemporer Indonesia. Kreativitas dari lima koreografer Indonesia ini tidak hanya dilihat dari ranah pencarian bentuk-bentuk baru yang eksotis, tetapi temuan dalam menawarkan nilai-nilai baru, pemaknaan baru, estetika baru, dan sensibilitas baru. Penawaran nilai-nilai baru ini menjadi acuan penting dalam menemukan proses kreatif dari penata tari terpilih (Miroto, Mugiyono,
16
17
Hartati,
Jecko
dan
Eko),
sehingga
penemuan
perkembangan,
perubahan serta keyakinan proses kreatif para penata tari ini dapat menjadi rujukan bagi generasi selanjutnya. Sikap profesional para penata tari menjadi sangat penting, tidak hanya secara praktis untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi sikap profesional dengan memiliki ketrampilan teknis di atas rata-rata, kemampuan kreatif, kepekaan estetik, kehidupan dan kemanusiaan, serta inteligensi atau cerdas, sangat dibutuhkan. Pertemuan logika praktis ekonomi dan logika profesional dari penata tari
berkorelasi
dengan
penemuan
definisi
dan
bentuk
tari
para
penata
tari
kontemporer Indonesia. Nilai,
sikap,
dan
jiwa
profesionalisme
memberikan ruang yang berarti bagi perkembangan tari kontemporer di Indonesia. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa nama individu dari seniman lebih mengemuka daripada nama kelompok, dalam hal ini Indonesia. Profesionalisme penari memang menjadi hal yang sangat substansial dalam keberadaan tari itu sendiri. Sebagai contoh para
penari
yang
mencapai
puncak
gemilang
karena
jiwa
profesionalisme, seperti Sardono W. Kusumo yang telah menerima Prince Clause Award pada tahun 2003, Martinus Miroto bekolaborasi bersama Peter Selars dan Ong Keng Sen (Sutradara muda dari
17
18
Amerika Serikat dan Singapura), tidak hanya itu, sejumlah seniman Asia seperti: Wen Hui, Min Tanaka, mengadakan kolaborasi lintas budaya dengan Mugiyono Kasido dari Indonesia. Penari dan penata tari muda Danang Pamungkas alumnus Intitut Seni Indonesia Surakarta menjadi penari di grup tari professional Cloud gate II di Taiwan. Tidak dipungkiri betapa seniman tari kontemporer Indonesia kini telah membaur dengan dunia.17 Profesionalisme dari penari tidak serta merta terbentuk dengan sendirinya, terdapat latihan dan praktik yang berulang-ulang. Salah satu faktor yang membuat profesionalisme semakin terbentuk adalah munculnya beberapa kegiatan tari. Kegiatan tari seperti, Pekan Penata Tari Muda tahun 1978-1984, Indonesian Dance Festival pada tahun 1992-kini, Arts Summit Indonesia (1995-2013), serta ajang festival tari nasional maupun internasional yang hingga akhirnya tercipta
di
berbagai
pelosok
tanah
air,
turut
menyuburkan
tumbuhnya tari kontemporer di Indonesia dan jiwa profesionalisme penari. Keterjalinan yang terbentuk atas jaringan individual seniman tari Nasional dengan seniman tari Internasional dalam ajang-ajang festival
17
tari
memungkingkan
terbentuknya
prospek
kerjasama,
Sal Murgiyanto, 1998, 264.
18
19
kolaborasi serta independent study, seperti halnya Miroto dengan Pina Bausch dan Peter Sellars. Tidak hanya itu, terdapat program pertukaran mahasiswa atau seniman tari Indonesia dengan Amerika Serikat atau Eropa, seperti: Linda Humar yang mengikuti program belajar di sekolah Alvin Ailey di kota New York dan Ben Suharto di UCLA Amerika Serikat. Hal lainnya seperti jejaring antara institusi dan grup tari seperti ASKI/PKJT dengan program proyek provinsi Jawa Tengah, dan beberapa lainnya, juga memberikan informasi sekaligus kajian yang perlu diteliti seiring dengan perkembangan tari kontemporer di Indonesia. Munculnya festival-festival tari, prospek jejaring, pertukaran mahasiswa, kolaborasi dan ajang pergelaran kreativitas
tari
ini
menjadi
objek
penting
dalam
menguak
permasalahan disertasi ini. Disertasi ini juga menjabarkan betapa pentingnya peran dan dukungan awal lahirnya institusi-institusi resmi yang terkait dengan tari dan proses kreatif. Sebagai contoh, kehadiran Dewan Kesenian Jakarta yang mencetuskan Pekan Penata Tari Muda (1978-1984), yang
menghasilkan
nama
dan
tokoh-tokoh
pembaharu
tari
kontemporer Indonesia. Proyek pengembangan Pusat Kesenian Jawa Tengah atau PKJT dan ASKI di Surakarta oleh Sedyono (Gendhon) Humardani yang menggali dan merevitalisasi berbagai bentuk seni
19
20
tradisi serta penciptaan karya-karya tari baru dengan bahan tari atau repertoar tari tradisi yang berorientasi masa kini. Munculnya perguruan tinggi seni pertama yang dibuka pemerintah pada tahun 1963, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) di Yogyakarta, hingga lahirnya institusi resmi pemerintah lain dan perubahan status menjadi perguruan tinggi kesenian seperti: ISI Padang Panjang, STSI Bandung,
STKW
Surabaya,
IKJ
Jakarta,
ISI
Yogyakarta,
ISI
Surakarta, serta ISI Denpasar. Keberadaan
institusi-institusi
ini
penting
karena
telah
memberikan ruang dan kontribusi dalam perkembangan, perubahan bentuk, serta kreativitas tari kontemporer di Indonesia. Perihal institusi juga dianggap penting serta menjadi objek peneliti karena tidak
hanya
kemunculannya
sebagai
ruang
akademis
dan
profesionalitas, tetapi sangat berpengaruh pada perubahan dan perkembangan kreativitas dari kebudayaan dan seni pertunjukan Indonesia. Pengklasifikasian atas era terdahulu yang merujuk pada konteks sejarah dan perkembangan, dan merunutnya pada realitas yang terjadi kini dan di masa yang akan datang, menjadi nilai yang penting
karena
faktor-faktor
tersebut
sangat
mempengaruhi
perkembangan, perubahan bentuk dan kreativitas tari kontemporer
20
21
Indonesia. Terlebih ketika tari kontemporer Indonesia diposisikan dari sisi perspektif kebudayaan dalam lingkup yang luas, dan mengerucut pada ekspresi kreatif individu sebagai pengkarya yang bergelut dengan kreativitas, eksplorasi, dan eksperimentasi. Melihat perkembangan yang terjadi kini, campur tangan pemerintah, beberapa sumber dana dan sponsor turut berupaya dalam mengembangkan dan meningkatkan hasil kreativitas serta intelektualitas seniman dan peneliti. Disertasi ini juga menyinggung, menganalisis dan meneliti prespektif sekolah kesenian atau tari dengan
menggunakan
sedikit
perbandingan
dengan
beberapa
konservatori atau sekolah tari yang berada di mancanegara. Hal ini dilakukan untuk memberikan ruang instrospeksi terhadap sistem pendidikan kesenian/tari, sekolah tari dan konservatori tari di Indonesia. Kembali pada permasalahan pelabelan yang dibawa oleh penata tari, nilai keindonesian atau menjadi Indonesia berubah menjadi nilai individu. Hal ini dapat diartikan bahwa nama-nama tokoh tari secara perlahan bergeser tidak hanya mewakili konteks nasionalisme kewarganegaraan, tetapi juga kreativitas pribadi yang tidak lagi mewakili sebuah etnis tertentu atau eksotisme terkait
21
22
dengan label kedaerahan atau kesukuan. 18 Hal itu pun terjadi di konservatori di Amerika Serikat dan Taiwan, hal-hal representasi menjadi persoalan pada konteks konservasinya. Contoh tersebut menjadi modal penting dalam disertasi ini, sehingga tersirat tatangan yang besar atas perbedaan yang signifikan dari tari kontemporer di Indonesia. Tari kontemporer Indonesia mempengaruhi perkembangan proses belajar mengajar di sekolah, akademi dan institusi seni. Tantangan ini sempat menjadi wacana penting dari perkembangan tari kontemporer di seluruh dunia, seperti: munculnya London Contemporary Dance School/Theatre 1967, wadah Japan Contemporary Dance Network 1998 di Jepang, pemahaman koreografi mutakhir di Belgia/Brussels dengan adanya P.A.R.T.S (the Performing Arts Research and Training Studios) 1995, SNDO (School for New Dance Development) 1975 di Amsterdam, Folkwang Hochschule di Jerman 1963, Chandralekha 1984 di India. 19
Berkaca dari yang terjadi di beberapa tempat, hal ini akan memberikan
informasi
terkait
perkembangan
mutakhir
atas
kreativitas tari kontemporer, dan bagaimana pengaruhnya pada tari 18 Edi
Sedyawati (dalam Philip Yampolsky), Perjalanan Kesenian Indonesia Sejak Kemerdekaan: Perubahan dalam pelaksanaan, isi, dan profesi. (Jakarta; PT Equinox Publishing, 2006),167. 19 Wawancara dengan Sardono W. Kusumo di Solo tanggal 12 Juni 2013
22
23
kontemporer di Indonesia. Tari kontemporer dimaknai sebagai wujud pluralis: dari perspektif sosial, ekonomi, politik, dan religi, seperti yang telah diungkap oleh R.M. Soedarsono dalam bukunya yang berjudul
Seni
Pertunjukan
dari
Perspektif
Politik,
Sosial,
dan
Ekonomi.20 Redefinisi seniman dalam konteks tari adalah perihal tubuh, yang
kini
kontekstual
berkembang
dan
yang
Seperti
ada.
berubah
dengan
layaknya
menyesuaikan
tradisi
yang
terus
berkembang, tubuh dan profesionalitas penari menjadi modal kuat dalam koreografi yang diciptakan, karena pada dasarnya kreativitas kekaryaan tari adalah jiwa dan kerangka. Dalam relasi etnisitas, beradaptasi
dengan
realitas
global
yang
berbeda
budaya
dan
berkolaborasi atasnya, merupakan wujud penghargaan atas konteks profesionalisme dan kolaborasi yang dilakukan. Indonesian Dance Festival, ajang festival yang diprakarsai Sal Murgiyanto dan beberapa seniman tari seperti Dedy Luthan, Tom Ibnur, Nungki Kusumastuti dan Maria Darmaningisih, yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun membuktikan bahwa kehidupan tari kontemporer di Indonesia semakin bergairah. Keberlanjutannya pun terbukti dari karya-karya yang tercipta, dan terus menorehkan nama 20 R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan dalam Prespektif Ekonomi.(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), 17-27.
Politik,
Sosial,
23
24
di beberapa ajang festival tari dunia seperti, American Dance Festival, Jacob
Pillows
Dance
Festival,
Bates
Dance
Festival,
Asian
Contemporary Dance Festival, serta festival bergengsi lainnya di Eropa.21 Disertasi ini berfokus pada mencermati konsep-konsep yang dapat bermanfaat bagi para penari dan koreografer tari kontemporer. Disertasi ini memberikan pemahaman atas kelanjutan proses belajar mengajar di dunia pendidikan seni, sebagaimana penulis adalah staf pengajar tari dan koreografi di Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia di Surakarta. Harapan ini, didorong oleh keinginan kuat
penulis
kontemporer
untuk di
lebih
Indonesia
membuka serta
wawasan
hubungannya
tentang
dalam
tari
konteks
profesionalisme individu, pendidikan intelektual dan akademis, serta kesenimanan.
B. Rumusan Masalah Bertolak dari pemahaman yang telah dibangun dalam disertasi Sal Murgiyanto, dimana telah dijelaskan bukti perintisan awal dari pertumbuhan, perkembangan, serta identifikasi pada identitas tari kontemporer di Indonesia sejak awal generasi pertama hingga pada
21
Sal Murgiyanto, 1998, 266
24
25
tahun 1990-an, disertasi ini bermaksud mengupas tari kontemporer di Indonesia paska 1990 hingga 2008. Dengan demikian, disertasi ini mengulas konteks indetifikasi, pemetaan, perkembangan, perubahan serta kreativitas. Disertasi ini berhubungan erat dengan perumusan sikap profesional individu kreator tari, kritikus serta institusi pendukung, paska tahun 1990. Adapun rumusan masalah yang dicermati, sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan ide/gagasan dan perubahan bentuk serta kreativitas terjadi pada tari kontemporer Indonesia periode 1990-2008? 2. Elemen-elemen
apakah
yang
berpengaruh
pada
munculnya
profesionalisme individu dan Institusi sekolah kesenian/tari, dalam perspektif seni pertunjukan sebagai wacana analistis tari kontemporer di Indonesia? 3. Bagaimanakah kreativitas
perkembangan
tari
kontemporer
dan
perubahan
Indonesia
bentuk
sebagai
serta
wacana
pemerkokoh posisi tari kontemporer di Indonesia di ajang tari kontemporer internasional?
25
26
C. Tujuan dan Manfaat Disertasi Disertasi identitas tari dipetakan
ini
bertujuan
untuk
memaparkan
kontemporer Indonesia.
sejarah,
meneliti
serta
Dari
definisi
disertasi
memaparkan
ini
dan dapat
perkembangan,
perubahan dan kreativitas dalam tari kontemporer Indonesia yang berhubungan erat dengan aspek profesionalitas individu seniman. Perkembangan
dan
perubahan
ini
terkait
dangan
keterlibatan
institusi baik secara formal maupun non formal. Disertasi ini diharapkan
dapat
menjadi
rujukan
pencarian
identitas
tari
kontemporer di Indonesia. Sehingga tujuan dari disertasi ini dapat dielaborasi menjadi, 1. Memahami, mendeskripsikan dan menginterpretasikan tari kontemporer
Indonesia
dalam
konteks
munculnya
profesionalisme personal dan institusi sekolah kesenian atau sekolah tari. 2. Memahami,
mendeskripsikan,
menemukan
perkembangan,
gagasan, perubahan bentuk serta kreativitas tari kontemporer Indonesia era 1990-2008. 3. Mengetahui dan memahami geliat perkembangan tari yang nampak dari forum-forum tari di berbagai kota di Indonesia sebagai insfrastruktur, yang erat hubungannya dengan porsi
26
27
dan
posisi
tari
kontemporer
Indonesia
pada
ajang
tari
kontemporer internasional.
D. Tinjauan Pustaka Tari kontemporer di Indonesia bukanlah kajian baru dalam dunia akademis seni Indonesia. Kajian ini telah banyak dikupas, terutama
oleh
Sal
Murgiyanto.
Berawal
dari
pengalaman
Sal
Murgiyanto sebagai penari dan koreografer dengan latarbelakang tari tradisi Jawa, tulisan-tulisannya di beberapa surat kabar, majalah, buku serta makalah seminar nasional dan internasional adalah rujukan utama yang menjadi tinjauan pustaka dalam disertasi ini. Selain, Sal Murgiyanto, terdapat beberapa tulisan dan kajian ilmiah tentang tari kontemporer di Indonesia, akan tetapi beberapa di antaranya lebih menitikberatkan pada unsur kesenian kontemporer, atau budaya kontemporer secara umum.
Berikut ini beberapa
tulisan ilmiah yang menjadi tinjauan pustaka dari disertasi ini. Moving
between
Unity
and
Diversity:
Four
Indonesian
Choreographers, disertasi Ph.D dari Sal Murgiyanto pada tahun 1991 adalah tinjauan pustaka terpenting dalam melacak kelahiran dan awal perkembangan tari kontemporer di Indonesia. Ia membahas secara rinci konteks sejarah dan budaya secara umum, serta secara
27
28
khusus berfokus pada sejarah, dedikasi, dan kiprah empat seniman tari kontemporer, yaitu Bagong Kussudiarja, Retno Maruti, Sardono W. Kusumo, dan Huriah Adam. Tulisannya turut mengungkap proses perubahan,
permasalahan,
dan
harapan
tari
kontemporer
di
Indonesia dengan segala bentuk pluralitas dan keberagaman tari. Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial dan Ekonomi, tulisan R.M Soedarsono (2003), buku ini merupakan sumber wajib bagi para peneliti seni pertujukan yang akan memperdalam kajian aspek-aspek
kontekstual
dalam
seni
pertunjukan.
Beberapa
pendekatan digunakan dalam membahas setiap pengaruh yang berakibat pada aspek politik, sosial, dan ekonomi. Hal-hal yang merupakan wilayah non-seni diimplementasikan lewat sentuhan metodologis, sehingga mampu menjadi wilayah pencermatan tajam akan perkembangan seni. Theory of the Avant-Garde (Theory & History of Literature) buku dari Peter Burger yang dicetak pada tahun 1984.
Buku ini
mengelaborasi tentang seni yang berada di dalam institusi dengan segala konsepnya. Burger menyatakan bahwa status sosial dalam seni berfungsi sebagai prestis dalam kehidupan masyarakat. Hal ini akan
menghasilkan
koneksi
antara
kerja
seni
individual
sejarahnya. Konsep Peter Burger dalam seni adalah
dan
institusi
28
29
menghasilkan frame work, dimana hasil dari sebuah karya seni merupakan hasil dari yang memproduksi dan yang menerima. Selain itu,
Burger
menyatakan
bahwa
status
sosial
memberikan
kesempatan pada seni untuk melihat pertunjukan lebih dalam dan cakupan apresiasi yang lebih luas. Burger berpendapat bahwa seni kontemporer siap dijual pada konteks eksperimentasinya. Buku ini membuka kesempatan pada landasan teori seni kontemporer, dimana keterbukaan akan keberagaman atas perbedaan menjadi konteks yang majemuk. Buku ini berperan penting dalam mengungkap keberlanjutan era modern dance, dimana salah satu poin yang dibicarakan adalah ketika koregrafer ballet ternama Vaslav Nijinsky menggelar karya berjudul The Rite of Spring 1913. Karya ini adalah karya tari yang sangat terkenal, karena pada saat itu, Nijinsky, seorang koreografer balet ternama, menantang idealisme penonton akan idealnya sebuah tontonan seni yang seharusnya menghasilkan demonstrasi besar. Pada saat itu penonton hadir dengan harapan untuk melihat stereotip pertunjukan ballet yang indah dan aman, tetapi yang mereka saksikan sangat bertolak belakang dan yang mereka tidak inginkan.
29
30
Sebelum muncul modern dance, ballet selalu saja dikategorikan sebagai
high
art
dan
memiliki
nuansa
imperialistis
(yang
berhubungan dengan kerajaan) yang merupakan seni tinggi dalam konteks keukasaan dan keukatan budaya raja. Masyarakat Barat melihat ballet, opera, dan musik klasik sebagai kunci untuk membandingkan atas hadir dan lahirnya seni-seni lain, yakni: tradisi dan etnik. Fifty
Contemporary
Choreographers,
ditulis
oleh
Martha
Bremser pada tahun 1999. Buku ini mendeskripsikan secara singkat 50 koreografer kontemporer terkenal di Eropa dan Amerika Serikat yang tidak hanya dari ballet tetapi juga pada post modern. Bremser juga menulis esai-esai kritikal, biografi pendek, dan karya-karya lain yang telah dibuatnya. Buku ini memberikan konteks deskriptif tentang gaya dari masing-masing koreografer dalam konteks tari kontemporer di panggung seni pertunjukan. Tango and the Political Economy of Passion, ditulis oleh Martha E. Savigliano (1995). Buku ini bertutur tentang perjalanan Tango sebagai salah satu kesenian tari di Argentina yang termarginalkan. Sampai akhirnya Tango melanglang-buana ke Asia, Eropa, dan Amerika Serikat. Dengan berbagai penjelasan akademis, buku ini memberikan perspektif baru tentang kajian etnografi ditinjau dari sisi
30
31
sosial, politik, dan ekonomi. Martha dan eksplorasi dalam buku ini menggaris bawahi bahwa national identity dalam konteks studi kebudayaan dan studi tari sangat diperlukan pada masa interdisiplin ini. Bahwa studi tari tidak hanya terbatas pada permasalahan kebudayaan dan nasionalisme, tetapi juga studi tentang feminisme, postcolonialisme, dan teori ekonomi. Buku ini mengungkap persoalan tari sebagai ruang politik yang dapat membuka mata dunia tentang peradaban dan kemanusiaan. Buku ini merupakan contoh yang teliti, luas dan detail tentang perjalanan sebuah karya tari, karya yang akhirnya menjadi sangat identik dengan negara asalnya, Argentina. Hanuman, Tarzan, Homo Erectus, tulisan Sardono W. Kusumo pada tahun 2004. Buku ini adalah catatan pribadi Sardono W. Kusumo seorang maestro tari dan koreografer tari kontemporer Indonesia yang pada awal karirnya banyak mengundang kontroversi. Sardono
melakukan
perjalanan
budaya
ke
berbagai
pelosok
Indonesia seperti Nias, Kalimantan Timur, Bali, Toraja dan Papua. Dalam buku ini, secara gambling ia menyoroti aspek kehidupan sehari-hari dan secara intens mengamati keberadaan masyarakat dan
budayanya.
Tulisan
ini
merupakan
wacana
tulisan
yang
memadukan antara etnografi dari ilmu antropologi, yang tidak hanya mengungkap kehidupan tari, tetapi juga budaya dan masyarakat
31
32
pendukungnya. Buku ini adalah tinjauan wacana intelektual dan kesenimanan. Exhausting Dance, Performance and the politic of movement, tulisan Andre Lepecki tahun 2006 ini membahas perubahan yang signifikan dalam seni pertunjukan tari dalam kurun waktu 30 tahun (awal 1990-an sampai 2006) di Eropa dan Amerika Serikat. Di dalam bagian pengantar, penulis menjabarkan hasil kerja kreatif dari beberapa koreografer yang mentrasnformasi pemahaman tentang tari beberapa koreografer seperti Jerome Bel (Prancis), Juan Dominguez (Spanyol), Trisha Brown (A.S), La Ribot (Spanyol), Xavier Le Roy (Prancis/Jerman) dan Vera Mantero (Portugal) serta seniman visual dan performance artist: Bruce Nauman (A.S) dan William Pope (A.S). Transformasi dan pemahaman tentang tari yang sudah bergerak banyak dipengaruhi oleh bidang seni rupa (visual arts), performance arts dan teori-teori kritikal (critical theory). Pemahaman tari yang sebelumnya terjadi di Amerika Serikat dan Eropa lebih mengacu pada tari yang tidak berasal dari balet klasik, hal ini merupakan wujud penolakan atas formalitas-formalitas tari yang berasal dari balet klasik. Pioner tari modern seperti Isadora Duncan, Martha Graham, Doris Humphrey, dan lainnya telah mendefinisikan tari yang lebih menguatkan pada praktik-praktik dan
32
33
teknik individualisme. Perkembangannya pun berlanjut seperti yang diungkapkan Sally Banes, bagaimana kemudian tari modern menjadi istilah ekslusif yang dapat menjadi kesatuan dalam setiap pentas teatrikal seni pertunjukan yang berangkat dari ballet maupun hiburan pop. Dari tinjauan pustaka yang telah dilakukan, tidak terdapat permasalahan yang sama dengan permasalahan yang ada di dalam disertasi ini. Disertasi ini merupakan karya yang orisinal dan dapat dipertanggung jawabkan. Disertasi ini juga memiliki perbedaan yang signifikan dengan beberapa buku yang sudah dilampirkan pada bagian awal sub-bab ini, seperti dalam disertasi ini, walaupun bertolak dari disertasi Sal Murgiyanto, tetapi objek penelitian dalam disertasi ini berjumlah lima orang yang dielaborasikan dalam eksistensi karya, pengalaman tubuh dan kiprah kepenariannya. Dalam mengupas permasalahan, teori yang digunakan turut berbeda dengan penelitian biografi pada umumnya. Dalam disertasi ini, penulis turut memaparkan peran institusi dalam perkembangan seni tari kontemporer di Indonesia.
33
34
E. Landasan Teori Hal ini berhubungan dengan pelbagai upaya dalam menjawab pertanyaan pada rumusan masalah. R.M Soedarsono dalam bukunya Metodelogi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, mengatakan bahwa bidang seni tari sudah saatnya menentukan metodenya sendiri sebagai bagian dari pemantapan disiplin disertasi tari.22 Hal ini dikarenakan seni tari sebagai disiplin keilmuan, memerlukan pemikiran yang peka dan rumit. Menurut R. M. Soedarsono, pendekatan multidisiplin memungkinkan sebuah fenomena seni dikaji dengan menggunakan pisau analisis dari bidang ilmu lain.
23
Bertolak dari pendapat Soedarsono, maka penulis menggunakan beberapa pisau analisis dari beberapa bidang ilmu lain. Pisau analisis yang pertama digunakan adalah pendekatan dan landasan
teori
etnokoreologi.
Etnokoreologi
merupakan
sebuah
wacana multidisipin yang mengedepankan data kualitatif. Melalui pernyataan R.M. Soedarsono, istilah etnokoreologi untuk menyebut konsep seni yang diteliti adalah tari etnis. 24 Istilah koreologi itu sendiri, pertama-tama muncul dari lontaran Gertrude Prokosch Kurath
pada
awal
tahun
1960-an.
Dalam
pendekatan
yang
22 R.M
Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001), 14-16. 23 R. M. Soedarsono, 2001, 26. 24 R. M. Soedarsono, 2001, 26.
34
35
dipilihnya, Kurath menekankan pengkajian terhadap budaya tari etnik
non
Barat
yang
berdasarkan
teks
kebudayaan
dalam
melahirkan budaya tari tersebut. 25 Istilah lain yang diperkenalkan lebih awal dalam disiplin tari adalah koreologi atau choreology, namun hal itu tidak cukup kuat sebagai alasan yang diujikan sebagai metodologi. Semula istilah ini tidak banyak dikenal oleh kalangan pemerhati dan peneliti tari. Istilah etnokoreologi sejak awal tidak pernah terlepas dari pendekatan antropologi. Alhasil dari pernyataan tersebut, pemahaman etnokoreologi yang
diartikan
sebagai
penelusuran
tari
etnis
menjadi
basis
penganalisisan data. Secara lebih jelas, I Made Bandem juga telah mengaplikasikan studi etnologi terhadap tari Bali dari dua teori milik Franzisca Boas dan G.P. Kurath. Dari sudut pandang Boas, etnologi tari
merupakan
kajian
mengenai
bentuk
kebudayaan
dan
kemasyarakatan yang diungkap melalui media tari; atau fungsi tari dalam
kebudayaan.
Kurath
yang
mem-padankan
istilah
ethnochoreography dan dance ethnology mengartikannya sebagai
25 Periksa Joan D. Frosch, Dance Ethnography: Tracing the Weave of Dance in the Fabric of Culture dalam Sondra Horton Freleigh dan Penelope Heinstein eds.,Researching Dance: Evolving Modes of Inquiry (Pittsburgh: University of Pittsburg, 1999) 250-254.
35
36
kajian tentang tari etnis pada suatu kebudayaan, baik terkait dengan fungsi serta kedudukannya.26 Konsep etnokoreologi semakin jelas ketika dipadukan dengan konsep antropologi tari Anya Peterson Royce yang mengartikan tari sebagai penggambaran dan pembandingan suatu masalah, seperti kompleksitas pada adat-istiadat, guna menjelaskan gejala perilaku manusia.
27
Penulis
menggunakan
artian
etnokoreologi
sebagai
pemecahan permasalahan dalam kajian tari itu sendiri. Tari tidak dipandang sebagai objek yang tunggal, tetapi secara detail penulis menggunakan etnokorelogi dalam membahas dan menelusuri tari kontemporer secara kontekstual. Terlebih secara detail, penulis turut menggunakan notasi Laban. Hal ini dilakukan untuk memperluas pemahaman, merujuk pada saran Ann Hutchinson dalam bukunya Labanotation: The System of Analyzing and Recording Movement.28 Buku penting dan monumental R.M Soedarsono adalah perintis pendekatan ethnokoreologi dengan spesifikasi wilayah kajian Wayang Wong Gaya Yogyakarta, hal ini disebabkan penyusunan sistem analisis dan pendekatan berdasarkan metode perbandingan yang
26
I Made Bandem, Etnologi Tari Bali. (Yogyakarta: Kanisisus, 1996),21. Anya Peterson Royce. Antropologi Tari, Terj. F.X. Widaryanto. (Bandung:STSI Press Bandung, 2007), 40-41. 28 Ann Hutchinson, Labanotation: The System of Analizing and Recording Movement. (New York: A Theatre Art Book, 1997). 6 27
36
37
multidisiplin, sehingga dapat menunjukkan status ritual kenegaraan dalam seni Wayang Wong tersebut.29 Sejak buku Wayang Wong karya Soedarsono dipublikasikan tahun 1984, sebenarnya sudah muncul awal perintisan displin kajian tari. Buku ini merupakan pustaka yang memiliki bobot etnokoreologis dalam pendekatannya. Buku Jennifer Lindsay lebih jelas lagi mengungkapkan persoalan studi etnokoreologi di Indonesia pada tahun 1981 dengan Klasik, Kitsch, Kontemporer. Melalui pencermatan tentang sebuah eksplorasi bentuk kajian Wayang Wong dan seni karawitan Jawa, buku ini menempatkan studi perbandingan tehadap gaya penyajian sebagai bahan utama pendekatan etnokoreologi. Sifat
pendekatan
etnokoreologi
yang
telah
digagas
oleh
Soedarsono adalah upaya pemantapan sebuah disiplin baru sebagai ranah
dance
studies.
30
Dengan
demikian,
etnokoreologi
akan
membantu penulis dalam menganalisis gerakan tari, idiom tari, idiom gerak, pengkajian yang menghubungkan tari sebagai sebuah teks dan kontekstual yang holistik.
29Periksa
R.M Soedarsono, Wayang Wong : The State Ritual Dance Drama in The Court of Yogyakarta, (Yogyakarta: Gaja Mada Univesity Press, 1984, 1990, dan edisi bahasa Indonesia, 1997), 46-50. 30 R.M Soedarsono., “Penegakan Etnokoreologi sebagai sebuah Disiplin”. Dalam R.M Pramutomo ed. Etnokoreologi Nusantara (batasan kajian, sistematika, dan aplikasi keilmuannya) (Surakarta: ISI Press, 2007), 1-13.
37
38
Pendekatan
sejarah
berorientasi
pada
cikal
bakal
dan
perintisan masa dan tokoh tari kontemporer Indonesia. Buku dan disertasi Sal Murgiyanto turut menjadi bahan kajian dalam melacak munculnya tari kontemporer di Indonesia. Kasus periodisasi dan buku
Penjelasan
Sejarah
oleh
Kuntowijoyo,
tidak
terkecuali
Pengantar Ilmu Sejarah (1995), Metodologi Sejarah (1994) oleh penulis yang sama, juga menjadi pilar pendekatan pada disertasi ini. Hal ini dilakukan untuk melacak tari kontemporer Indonesia dari perubahan, perkembangan, serta kreativitasnya. Landasan teori Sosiologi, juga berhubungan erat dengan lahirnya kreativitas tari. Perubahan kreativitas tidak akan terjadi tanpa lahirnya perubahan masyarakat sosial pendukungnya. Kajian sosiologi
dibutuhkan
permasalahan
yang
dalam ada
disertasi
pada
ini
masyarakat
untuk
membahas
sebagai
sebuah
keterjalinan pada siklus hidup manusia. Dengan demikian, untuk membahas secara sosiologi, penulis menggunakan analisis dari tokoh besar Sosiologi, yakni Pierre Bourdieu. Di dalam bukunya yang berjudul Outline of a Theory Practice, Bourdieu menjelaskan bahwa Praktik,
Habitus,
Capital
dan
Field
merupakan
satu
keterhubunganan yang saling terjalin satu dengan lainnya. Dalam penelitiannya, Bourdieu mangatakan bahwa seluruh kehidupan
38
39
sosial pada dasarnya bersifat praktik, karena berada dalam ruang dan waktu, serta tidak secara sadar diatur dan digerakkan. Jenkins seorang yang mengkaji Bourdieu, menyatakan bahwa, menurut Bourdieu: demikian. The practical mastery of the logic or of the imminent necessity of a game—a mastery acquired by experience of the game, and one which works outside conscious control and discourse in the way that, for instance, techniques of the body do.31 Penguasaan praktis dari logika dari permainan penguasaan diperoleh oleh pengalaman dari permainan, dan satu yang bekerja di luar kendali kesadaran dan wacana, misalnya, teknik yang tubuh lakukan. Praktik berada pada field, dan praktik tidak terjadi begitu saja. Praktik merupakan wujud habitus dan modal yang dibuktikan di dalam field. Habitus menurut Bourdieu merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis yang tidak harus selalu disadari, yang kemudian menjadi sumber penggerak dalam lingkungan sosial tertentu.32 Konsep habitus yang dikembangkan oleh Bourdieu dalam bukunya The Logic of Practice menjelaskan bahwa habitus merupakan “a system of durable, transposable dispositions which functions as the
31
Richard Jenkins. Pierre Bourdieu “Key Sociologists”. (London: Routledge, 1992), 42. 32 Pierre Bourdieu. The Logic Of Practice, Terj. Richard Nice. (Stanford: Stanford University Press, 1990), 53.
39
40
33
Disposisi
praktik.
Habitus
generative basis of structured, objectively unified practices”. menjadi
semakin
semakin
kuat
terstruktur
dalam
dengan
keberadaanya
adanya ketika
disposisi
tersebut
terbentuk. Berhubungan
dengan
praktik
itu
sendiri,
Bourdieu
menjelaskan: sebagai berikut. … all cultural practices (museum visits, concert-going, reading, etc.), and preferences in literature, painting or music, are closely linked to educational level (measured by qualifications or length of schooling) and secondarily to social origin. The relative wieght of home background and of formal education (the effectiveness and duration of which are closely dependent on social origin) varies according to the extent to which the different cultural practices are recognized and taught by the educational system, and the influence of social origin is strongest – other things being equal – in ‘extra-curricular’ and avant-garde culture.34 (Semua praktek-praktek budaya (seperti: kunjungan ke museum, menonton pertunjukan, membaca, dll), dan preferensi dalam karya sastra, lukisan atau musik; terkait erat dengan tingkat pendidikan (diukur dengan kualifikasi atau durasi sekolah) dan lingkungan sosial. Latar belakang rumah dan pendidikan formal (efektivitas dan durasi yang sangat bergantung pada asal-usul sosial) bervariasi sesuai dengan praktek-praktek budaya yang diakui dan diajarkan oleh sistem pendidikan, dan pengaruh asal sosial paling kuat - hal lain dianggap sama dalam budaya 'ekstra kurikuler' dan budaya avant-garde.) Praktik kultural dalam jenis apapun sangat berkaitan dengan pendidikan dan lingkungan sosial. Keterkaitan antara pengetahuan 33
Pierre Bourdieu. 1990, 53. Pierre Bourdieu, Distinction: a Social Critique of the Judgement of Taste, (London: Routledge, 1994), 1-2. 34
40
41
yang diperoleh
secara
non-formal
dan formal
menjadi sangat
bervariasi, tergantung pada tingkat praktik kultural yang dikenal melalui sistem pendidikan. Bourdieu meyakini bahwa asal-usul yang terbentuk dari lingkungan sosial memiliki pengaruh yang paling kuat pada pengetahuan (modal) seseorang. Pendidikan formal memberikan konsep-konsep analisis dan klasifikasi karya seni, tetapi tidak dapat memberikan
kompetensi
khusus
atau
‘kemahiran’
estetik
(connoisseur). Pemahaman ini sangat erat kaitannya dengan para penari dalam karya dan sumber karya mereka. Terkait dengan hal ini, Bourdieu menjelaskan kompetensi spesifik atau ‘kemahiran’ estetik sebagai berikut. The competence of the ‘connoisseur’, an unconscious mastery of the instruments of appropriation which derives from slow familiarization and is the basis of familiarity with works, is an ‘art’, a practical mastery which, like an art of thinking or an art of living, cannot be transmitted solely by precept or prescription. Learning it presupposes the equivalent of the prolonged contact between disciple and master in a traditional education, i.e., repeated contact with cultural works and cultured people.35 (Kompetensi 'penikmat', sebuah penguasaan ketidaksadaran instrumen dari apropriasi yang berasal dari sosialisasi yang bergerak lambat, dan merupakan dasar dari keakraban dengan karya-karya, merupakan 'seni', penguasaan praktis yang, seperti seni berpikir atau seni hidup, tidak dapat ditularkan hanya dengan ajaran atau resep. Belajar itu bertujuan sebagai penyetaraan dengan kontak antara murid dan guru dalam pendidikan tradisional, yaitu, pemanggilan 35
Pierre Bourdieu, 1994, 1-2.
41
42
kembali dengan berbudaya.)
karya-karya
budaya
dan
orang-orang
Dari pemahaman Bourdieu, seperti halnya seni berpikir, kompetensi khusus atau “kemahiran estetik” merupakan ‘seni’ yang merujuk pada penguasaan praktik yang tidak dapat diajarkan hanya melalui sistem pendidikan atau sekolah. Kemahiran estetik ini hanya dapat diperoleh melalui kebiasaan melakukan pengalaman-pengalaman konkrit dan interaksi secara terus-menerus dengan karya budaya dan orang-orang yang memiliki budaya itu. Menurut penulis pemahaman habitus dalam lingkup sosiologi dapat menjadi pemecah permasalahan yang ada dalam disertasi ini. Sitem habitus ini memunculkan kreativitas tari kontemporer yang didalangi oleh para koreografer muda di tanah air. Hal ini sangat berpengaruh pada tingkat perubahan dan perkembangan masyarakat sekitar dan pendukungnya. Aspek sosiologi sangat erat hubungannya dengan penelitaian ini, sehingga sangatlah memungkinkan jika pendekatan dan landasan teori ini digunakan. Disertasi ini hanya mungkin terselesaikan dengan pendekatan multidisiplin, yakni etnokoreologi yang dipadukan dengan sistem analisis kontekstual, dan habitus dalam menelaah praktik kelima orang penari dan eksistensinya. Disertasi ini menguji seberapa jauh perkembangan tari kontemporer pada penyajian bentuk atau genre 42
43
seni pertunjukan tari. Penggunaan pendekatan sejarah digunakan untuk memperjelas pemetaan tari kontemporer Indonesia yang ditunjukan sebagai akibat keragaman dan perbedaan tari-tarian di Indonesia.
F. Metode Penelitian Penelitian tentang tari kontemporer yang terelaborasi ke dalam bentuk perkembangan dan perubahan bentuk serta kreativitas ini menggunakan
metode
penelitian
kualitatif
dengan
pendekatan
multidisiplin.36 Penelitian kualitatif ini diwujudkan secara deskriptifanalitis. Penelitian kualitatif penulis anggap tepat karena jenis pendekatan
ini
mengkonstruksi
mampu
menggambarkan,
pemahaman
berdasarkan
memaparkan,
dan
data
ada.
yang
Pemaparan dan penjelasan kualitatif membutuhkan kompleksitas dan
variasi
pemahaman.
Kompleksitas
dari
pemahaman
akan
terhubung dengan pendekatan multidisiplin.37 Kekayaan data akan menghasilkan penelitian yang holistik. Alhasil,
untuk
mendapatkan
jawaban
atas
rumusan
permasalahan yang telah disusun, tahap penelitian disusun secara sistematis seperti berikut ini. 36 37
R. M. Soedarsono, 2001, 33-34. R. M. Soedarsono, 2001, 33-34.
43
44
1. Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data, terdapat beberapa usaha yang ditempuh
oleh
penulis
untuk
mendukung
keperluan
penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan melalui: a. Observasi Perubahan dan perkembangan bentuk serta kreativitas dalam tari kontemporer membutuhkan data yang jelas dan pasti, sehingga pengamatan langsung dari peneliti dapat menjadi sumber data yang menarik. Sudah barang tentu observasi yang dilakukan penulis memiliki daya intepretasi dan partisipasi yang kuat, karena penulis juga berkecimpung dalam ranah praktik tari. b. Wawancara Wawancara
dengan
narasumber
dilakukan
untuk
mendapatkan informasi yang jelas mengenai perubahan bentuk
dan
perkembangan
gagasan
yang
terjadi.
Wawancara menggunakan sistem bebas dan terbuka, sehingga
memudahkan
narasumber
untuk
bercerita
tanpa tuntutan layaknya wawancara terstruktur. Penulis hanya
memberikan
pertanyaan
umum
yang
memungkinkan penelusuran jawaban dari narasumber.
44
45
Wawancara memastikan dan menuntun penulis dalam memaparkan data menjadi sumber yang sahih. c. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan dapat membantu pemahaman dan pengetahuan
terkait
data
yang
sudah
tidak
memungkinkan untuk didapatkan kembali. Data tertulis ini memberikan data yang penting dalam penulisan disertasi ini. Studi pustaka ini memberikan penulis data tertulis dan rujukan yang dapat membantu proses penelitian ini. d. Dokumentasi Selain data lisan dan terulis, dokumentasi diperlukan untuk memberikan data yang lebih jelas dalam disertasi ini. Dalam memecahkan permasalahan yang ada, terlebih teori gerak serta konsep estetis koreografis, dilakukan pendekatan
dengan
menekankan
pentingnya
penggunaan perekaman dengan notasi laban dan audio visual.
38 R.M 40/2002), 13
38
Pramutomo.,
“Etnokoreologi”.
(Yogyakarta;
Majalah
Gong
edisi
45
46
2. Penentuan Narasumber Perkembangan dan perubahan membutuhkan data utama dari para narasumber. Narasumber memberikan data yang utama dalam disertasi ini. Penulis menentukan narasumber berdasarkan: kompetensi narasumber; kontinuitas dalam berkarya; karya yang diakui baik di dalam maupun di luar negeri; mewakili sebuah institusi; mempunyai visi dan misi dalam berkarya; mempunyai jiwa idealis dalam berkarya yang tidak hanya didasarkan pada pesanan; meneruskan tari kontemporer Indonesia. Ketentuan yang dibuat ini dilakukan untuk menentukan penari yang serius dan penting untuk generasi ke depan. Narasumber utama dalam penelitian ini adalah: Sardono W. Kusumo, Martinus Miroto, Mugiyono
Kasido,
Hartai,
Jecko
Siompo,
dan
Eko
Supriyanto (penulis). 3. Analisis Data Analisis data sangat dibutuhkan dalam disertasi ini. Proses analisis ini dapat memberikan langkah jitu pada saat melakukan penelitian. Analisis meyakinkan penulis ketika memilih data yang digunakan dan mereduksi data yang sedemikian banyaknya. Analisis data ini mengantarkan
46
47
penulis dalam menemukan kenyataan penelitian berupa data, yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Analisis
data
membuat
penelitian
bersifat
eksplisit dan holistik. Proses
ini
bertujuan
untuk
mengukuhkan
identitas
dan
signifikansi kehadiran tari kontemporer di Indonesia. Eksistensi kreator tari/kepenarian pelaku tari di Indonesia memasuki ranah seni pertunjukan dalam konteks silang budaya dan kolaborasi, intercultural. Tari dalam cakupan dan wacana seni pertunjukan lain seperti: opera kontemporer, drama musikal, seni pop, serta film dan media. Meetode ini memberikan kecermatan pada aspek-aspek artistik yang menunjukkan kualitas perkembangan tari kontemporer Indonesia dalam perubahan bentuk gerak, genre, gaya penyajiannya, serta kreativitasnya.
G. Sistematika Penulisan Disertasi berjudul “Perkembangan Gagasan dan Perubahan Bentuk serta Kreativitas Tari Kontemporer Indonesia (Periode 19902008)”
ini
terdiri
dari
tujuh
bab,
dan
masing-masing
bab
memaparkan sistematika penyelidikan dan sekaligus pemecahan permasalahannya.
47
48
Bab I Berisi pengantar yang menyajikan berbagai hal tentang latar belakang disertasi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat disertasi,
tinjauan
pustaka,
landasan
teori,
metodologi
serta
sistimatika penulisan. Bab II merupakan penelaahan atas definisi tari kontemporer, perbedaannya dengan tari tradisi, klasik, modern, atau istilah tari yang lain. Berisi tentang peristilahan dan gagasan tentang tari
kontemporer,
sejarah,
jejak,
dan
posisi
tari
kontemporer
Indonesia, sehingga dicapai pengertian tentang tari kontemporer secara nyata tentang wujud, gagasan dan spiritnya. Bab III lebih mengarah
kepada
periodisasi
serta
kronologis
munculnya
tari
kontemporer di Indonesia, lebih menitik beratkan pada referensi buku/disertasi
Sal
Murgiyanto,
sehingga
menemukan
puncak-
puncak pencapaian kreativitas. Bab ini mengarah kepada capaiancapaian
kreativitas
koreografer
kontemporer
Indonesia,
dengan
merujuk pada kreativitas gagasan, wujud dan bentuk. Bagian ini lebih melihat periodisasi dari awal tahun 1950-an hingga akhir tahun 1980-an dan selanjutnya pada periodesasi tahun 1980-an sampai 1990-an. Bab IV penelaahan tentang perkembangan dan perubahan bentuk serta kreativitas tari kontemporer di Indonesia, melihat, mencermati,
serta
menitik
beratkan
pada
lima
koreografer
48
49
kontemporer Indonesia: Martinus Miroto (Yogyakarta), Mugiyono Kasido
(Surakarta),
(Jakarta/Papua),
Hartati
dan
Eko
(Jakarta/Padang), Supriyanto
Jecko
Siompo
(Surakarta/Penulis).
Perkembangan dan perubahan bentuk serta kreativitas masingmasing koreografer yang dilihat dari sudut pandang perubahan profesionalisme, hubungan mereka dengan institusi ke individu, serta peran pemerintah sebagai kekuatan identitas nasional. Bab V menjelaskankan secara rinci perkembangan, perubahan bentuk, dan kreativitas tari kontemporer di Indonesia pada periode 1990-2008, serta posisi tari kontemporer Indonesia terkini. Kiprah lima seniman kontemporer Indonesia: Miroto, Mugiyono, Hartati, Jecko dan Eko telah membuktikan kesuksesan jiwa kreatif mereka, bahkan mendapatkan pengakuan dari pentas tari kontemporer dunia. Hal ini menempatkan posisi tari kontemporer Indonesia dalam kancah tari kontemporer dunia, sebagai wacana dan perspektif penting yang tidak hanya memberikan pengaruh internal di tanah air tetapi juga eksternal yakni dunia. Termasuk event-event tari lokal di daerah sebagai infrastruktur perkembangan tari kontemporer di Indonesia Bab
VI
menjabarkan
tari
kontemporer
Indonesia
dan
perkembangan mutakhirnya, perspektif tari kontemporer Indonesia
49
50
dari
bentuk
yang
berhubungan
dengan
kreativitas
dan
kekaryaannya terkini dalam bahasan teoritik, dan mengandung penjabaran dari perspektif institusi (festival tari) dan pendidikan sekolah. Bab ini mengupas dan menganalisis ranah kajian seni pertunjukan di Indonesia dan internasional lewat ajang festival tari internasional yang ada di Indonesia. Selain itu, bab ini juga menjabarkan bagaimana pengaruh dan perkembangan serta hasil produk kreatif tari kontemporer Indonesia yang secara aktif turut serta memberikan konstribusi penting dalam ranah kajian seni pertunjukan pada umumnya. Bab VII adalah bagian penutup, berisi kesimpulan dari seluruh bab yang telah dipaparkan, dan dilengkapi dengan daftar pustaka, Notasi Laban, daftar narasumber, daftar audiografi dan glosarium.
50