19
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sebagai Negara yang berkembang, Indonesia terus melaksanakan
pembangunan di segala bidang, yaitupembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya,
hukumdaln
untukmencerdaskan
lain-lain.
kehidupan
Pembangunan
bangsa
dan
untuk
tersebut
bertujuan
mensejahterakanrakyat
Indonesia secara adil dan makmur. Salah satuusaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsadalam hal mensejahterakan rakyat secara adil dan makmur yaitudengan menggali sumber dana yang berasal dari dalamnegeri berupa pajak, pajak digunakan untuk membiayaipembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama,pajak dipungut dari wajib pajak dan menjadisalah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Seperti yang dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 menjelaskan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan penjelasan
diatas
bahwa
Pemungutan
pajak
menganut
asas
legalitas
artinyapemungutan pajak tersebut ditentukan dahulu di dalamundang-undang. Pajak merupakan penyumbang terbesar dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), lebih dari 70% penerimaan negara berasal dari pajak.Karena sumbangsih pajak yang begitu besar sehingga menjadikannya
20
sebagaiprimadona dalam menopang keuangan dan perekonomian negara.Peranan pajak yang begitu besar membuat pemerintah terus menggalih potensi-potensi yang dapat dikenakan pajak. Saat ini pemerintah mulai melirik sektor swasta memiliki potensi yang besar untuk pemasukan pajak. Sesuai dengan usulan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, aturan baru itu akan menyasar sektor usaha kecil yaitu dari Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), yakni yang mempunyai omset Rp 300 juta-Rp 4,8 miliar per tahun. (“Setelah Target Selalu Meleset” Tempo,13 Januari 2013,108). Direktur Jenderal Pajak pada saat itu yaitu Fuad Rachmany menyatakan Peraturan baru ini dibuat karena alasan sangat tidak adil bila para pengusaha dengan omset diatas Rp 300 juta itu tidak dipajaki. Ia membandingkan dengan buruh dan pekerja dengan gaji diatas pendapatan tidak kenak pajak senilai Rp 15.840.000 per tahun,yang juga langsung dipotong pajak padahal pengusaha kecil itu jauh lebih kaya dari pada buruh dan sangat banyak pembukuan dari pengusaaha kecil yang tidak jelas.. (“Setelah Target Selalu Meleset” Tempo,13 Januari 2013,109). Kerena alasan pembukuan dari pengusaha yang tergolung UKM tidak tercatat secara terperinci, mempermudah dan penyederhanaan aturan pajak, tertib administrasi, memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan Negara diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 diterbitkan tanggal 12 Juni Tahun 2013 dan mulai diterapkan pada tanggal 1 Juli Tahun 2013. Berdasarkan
21
ketentuan ini, bagi wajib pajak yang memenuhi kriteria dikenakan Pajak final denga tarif 1% dari perederan bruto setiap bulan. Wajib pajak yang dimaksud adalah wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan yang tidak dalam bentuk badan usaha tetap (BUT), tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan
pekerjaan
bebas
dengan
peredaran
bruto
tidak
melebihiRp4.800.000.000,00 (empatmiliar delapan ratus juta rupiah) dalam1 (satu) tahun pajak. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 adalah termasuk dalam Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 yang bersifat final. Berdasarkan peneltian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan diberbagai daerah bahwa PP 46 telah memberikan dampak positif terutama dari sisi penerimaan maupun sisi pertumbuhan wajib pajak. Berikut salah satu hasil jurnal penelitian yang telah dilakukan di malang : “On July 1, 2013, government has authenticated the PP No. 46 Year 2013 representating the MSMEs tax expenses. In order to help the middle and small industrial economics activity, the government give the taxation facility to small scale Taxpayer (MSMEs) with the tax final rate 1% which imposed to the shares of circulation bruto up to Rp 4,8 bilions a year. This research aimed to describe the implementation of MSMEs tax expenses based on PP No. 46 Year 2013 and its contribution to PPh Pasal 4 Ayat (2) in the work region of Tax Service Office Pratama South Malang. This research used a descriptive method. The results of this research showed that the average contribution of PP No. 46 Year 2013tax for the revenue of PPh Pasal 4 Ayat (2) during the five months since the implementation of PP No. 46 Year 2013 is amounted to 6.51% with criteria very less. Although the monthly amount of MSMEs tax revenue continues to increase.
22
While the growth rate of the amount of taxpayers PP No. 46 Year 2013 is continuing to increase every month” (Astri Corry N DS. 2013. Pengaruh Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Terhadap Tingkat Pertumbuhan Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil Menengah Dan Penerimaan Pajak Pasal 4 Ayat (2) Pada KPP Pratama Malang Selatan). Dari hasil jurnal penelitian tersebut bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 telah efektif dilaksanakan sehingga baik dari sisi penerimaan dan pertumbuhan telah kelihatan kemajuannya dengan jangka waktu belum satu tahun terlaksana. Apakah penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini juga mempunyai hasil yang sama di Kantor Pelayanan Pajak Pratama lainnya yang wilayah kerjanya meliputi daerah-daerah masing-masing. Maka dari itu penulis ingin melakukan penelitian yang sama di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam. Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP) Lubuk Pakam adalah salah satu instansi pemerintah dibidang pelayanan perpajakan yang berada dibawah naungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I.Di bawah Kanwil DJP Sumut 1 Wilayah kerja KPP Pakam adalah wilayah terluas nomor 2 setelah KPP Binjai yaitu terdiri dari 22 kecamatan. Namun wilayah kerja KPP Pakam yang terdiri dari 22 kecamatan tersebut tersebar di beberapa wilayah yang cukup sulit, selain ada yang jauh dari jangkauan juga adanya wilayah yang terpecah-pecah.Penerimaan pajak tahun 2014 pada KPP Pakam mencapai 95% yaitu dengan nilai sekitar Rp 1,26 Triliun dari target sebesar Rp 1,325 T. Diwilayah kerja KPP Pakam dapat dikatakan masih banyak potensi penerimaan pajak yang dapat terus digalih, salah satunya adalah sektor UMKM.
23
Sebelum penulis melakukan pengamatan, di salah satu wilayah kerja KPP Pakam yaitu kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli serdang sangat banyak terdapat usaha-usaha yang dapat dikategorikan sebagai UMKM belum terdaftar sebagai wajib pajak. Mungkin saja kejadian serupa juga terjadi di kecamatan-kecamatan lain yang berada d wilayah kerja KPP Lubuk Pakam. Apakah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 yang telah diberlakukan sejak tanggal 1 Juli Tahun 2013 dapat menggarap potensi sektor UMKM
dan dapat mencapai tujuan sesuai dengan pemberlakuan peraturan
tersebut. Karena alasan tersebut sehingga penulis tertarik untuk mengambil judul“ Dampak Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Terhadap Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Dan Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 Ayat 2 Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam”.
1.2
Rumusan Masalah Perumusan masalah yang menjadi fokus perhatian peneliti adalah :
1.
Bagaimana dampak pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 terhadap wajib pajak UMKM?
2.
Bagaimana dampak pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 terhadap penerimaan PPh pasal 4 ayat 2?
24
1.3
Tujuan Penelitian Dari permasalahan penelitian yang telah dirumuskan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah : 1.
Mengetahuidampak pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 terhadap wajib pajak UMKM
2.
Mengetahui dampak pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 terhadap penerimaan PPh pasal 4 ayat 2
1.4
Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti, sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, dan kemampuan untuk menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah berdasarkan kajian-kajian teori dan aplikasi yang diperoleh dari Program Studi Ekstensi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Univerumah sakititas Sumatera Utara. 2. Bagi instansi terkait, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna atas pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 demi mencapai tujuan yang semula direncanakan dari penerbitan peraturan pemerintah ini. 3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik langsung maupun secara tidak langsung bagi kepustakaan Program Studi Ekstensi Ilmu Administrasi Negara.
25
1.5
Kerangka Teori Studi kepustakaaan berkaitan dengan kajian teoritis dan referensi lain yang
terkait dengan nilai, budaya, norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti. (Sugiyono, 2007:14) 1.5.1 Kebijakan Publik 1.5.1.1 Definisi Kebijakan Publik Banyak alasan atau definisi mengenai kebijakan publik. Setiap definisitersebut memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena setiap ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda pula. Para ilmuwan politik yang ada pada masa lampau umunya berminat terhadap proses-proses politik seperti proses legislatif,proses pemilu, dan unsur-unsur sistem politik, seperti kelompok kepentingan atau pendapat umum. Adapun beberapa definisi kebijakan publik menurut para ahli yaitumenurut Chandler dan Plano (Keban,2008:60) adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya Suwitri dalam Suaedi dan Wardiyanto (2010:138),kebijakan publik adalah serangkaian tindakan berupa pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam rangka mencapai tujuan negara yang merupakan kepentingan publik dengan memperhatikan input yang tersedia, berdasarkan usulan dari seseorang atau kelompok orang didalam pemerintahan atau diluar pemerintahan. Dari sejumlah definisi yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwasannya kebijakan publik merupakan serangkaian kegiatan
26
atau proses dalam mengatasi masalah publik yang didalamnya mengandung konsep atau nilai nilai yang selaras dengan konsep dan nilai yang dianut oleh masyarakat. Pembagian jenis-jenis kebijakan publik berdasarkan pada dua kategori menurut Nugroho (2004 :54-57) yaitu : 1. Berdasarkan maknanya, bahwa kebijakan publik adalah hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk tidak dikerjakan atau dibiarkan. Pembagian menurut kategori ini mengahasilkan tiga jenis kebijakan publik yaitu: a. Kebijakan publik yang dibuat oleh legislatif atau disebut sebagai kebijakan publik yang paling tertinggi. b. Kebijakan publik yang dibuat dalam bentuk kerjasama antara legislatif dan eksekutif. c. Kebijakan publik yang dibuat oleh eksekutif saja. 2. Kebijakan alokatif dan distributif, kebijakan kedua ini biasanya berupa kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan anggaran atau keluaran publik
1.5.1.2 Proses Analisis Kebijakan Publik Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan didalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut aturan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan (William Dunn,
27
2003:22). Sedangkan aktivitas perumusan masalah, peramalan (forecasting), rekomendasi kebijakan, pemantauan (Monitoring), dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual. Dalam memecahkan masalah yang dihadapi kebiijakan publik, Dunn mengemukakan beberapa tahap analisis yang harus dilakukan,yaitu : 1.
Penetapan Agenda Kebijakan (agenda setting) Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda. Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru. Perumus kebijakan harus difasilitasi berupa dukungan sosial, dukungan politik, dukungan budaya.
2.
Formulasi Kebijakan Dalam tahap formulasi kebijakan,, peramalam dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan terjadi dimasa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu.
3.
Adopsi Kebijakan Pada tahap adopsi kebijakan, pengambil kebijakan terbantu dalam rekomendasi yang membuahkan pengetahuan yang relevan dengan
28
kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. 4.
Implementasi kebijakan Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevam dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambi sebelumnya terhadap pengambil kebijakan pda tahap implementasi kebijakan. Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggung jawab pada setiap tahap kebijakan. Proses implementasi membutuhkan fasilitasi seperti tim, lembaga, peraturan, sumber daya.
5.
Evaluasi Kebijakan Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar dihasilkan.
1.5.2 Implementasi Kebijakan Salah satu tahap penting dalam sebuah kebijakan adalah implementasi . karena pada tahap ini, kebijakan diterapkan dan diukur sejauh mana kebijakan tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan mencapai tujuantujuan kebijakan yang diinginkan. Implementasi menurut Meter dan Horn (Winarno,2007:102) lebih mengarah pada batasan dalam implementasi yang diiprentasikan sebagai: tindakan yang dilakukan oleh individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta
29
yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Menurut Mazmanian dan Sabatier (Wahab,2004:68) yang dimaksud dengan implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Teori-teori diatas menyimpulkan bahwasannya Implementasi merupakan proses yang kompleks yang melibatkan berbagai aktor serta menggunakan berbagai sumber daya dalam pelaksanaanya dan dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu, selain itu implementasi merupakan tahapan yang krusial dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses kebijakan. Bagaimanapun baiknya suatu kebijakan jika tidak diimplementasikan tidak akan menimbulkan dampak atau tujuan yang diinginkan. Seperti yang dikemukakan oleh Hoogerwerf yang menjelaskan “Agar suatu kebijakan dapat memberikan hasil yang diharapkan, maka kebijakan itu harus dilaksanakan. Pelaksanaan kebijakan dapat didefinisikan sebagai pengggunaan sarana-sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan yang dipilih dan ingin direalisasikan” (Hoogerwerf, 1982:57) Tahap Implementasi dilaksanakan setelah kebijakan dirumuskan, seperti dikemukakan oleh Winarno bahwasannya “Implementasi terjadi hanya setalah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut” (Winarno, 2007:102). Proses implementasi lebih lanjut dijelaskan oleh Mazmanian & Sabatier dalam Widodo yang mengemukakan bahwa “Implementasi adalah pelaksanaan
30
keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan” (Widodo, 2008:88). Dari kedua teori tersebut dapat dijelaskan bahwasannya dalam pelaksanaan suatu kebijakan hanya dapat diterapkan jika sudah terdapat dasar hukum yang memayungi kebijakan tersebut dan setiap pelaksana kebijakan bertindak ataupun tunduk kepada petunjuk-petunjuk yang ada pada dasar hukum tersebut dalam rangka mentransformasikan kebijakan tersebut. Dalam implementasinya sendiri tidak terlepas dari berbagai kendala yang timbul akibat proses yang rumit dan kompleks, kendala tersebut menjadi penghambat dalam keberhasilan suatu implementasi bahkan dapat menyebabkan gagalnya implementasi tersebut. Karakteristik masalah merupakan salah satu dari tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi seperti yang dikemukakan oleh Mazamanian dan Sabatier dalam Subarsono yang mengidentifikasi Karakterisitik masalah yang terdiri atas : 1.
Kesulitan
Teknis.
Tingkat
kesulitan
teknis
dari
masalah
yang
bersangkutan, sifat dari suatu msalah itu sendiri akan mempengaruhi mudah tidaknya suatu program diimplementasikan. 2.
Keragaman perilaku kelompok sasaran. Hal ini berarti bahwa suatu program akan relatif mudah diimplementasikan apabila kelompok sasaranya homogen. Sebaliknya apabila kelompok sasarannya heterogen, maka implementasi program akan relatif lebih sulit.
3.
Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi. Sebuah program relatif akan sulit diimplementasikan apabila sasaranya mencakup semua populasi.
31
Sebaliknya sebuah program relatif mudah diimplementasikan apabila jumlah kelompok sasarannya tidak terlalu besar. 4.
Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan. Sebuah program bertujuan memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan relatif lebih mudah diimplementasikan daripada program yang bertujuan untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat. (Subarsono, 2008:95-96) Sementara itu Wahab menjelaskan bahwasannya suatu kebijakan gagal
dimplementasikan karena disebabkan oleh faktor-faktor berikut : 1.
Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan tidak mau bekerja sama dalam kebijakan tersebut;
2.
Pihak-pihak yang terlibat tersebut telah bekerja secara tidak efisien atau setengah hati;
3.
Pihak-pihak yang terlibat tidak menguasai permasalahan yang dihadapi;
4.
Kemungkinan permasalahan yang dihadapi di luar jangkauan kekuasaan pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi tersebut. (Wahab, 2012:59) Dari berbagai hal diatas, dapat diketahui banyak kendala yang dapat
menghambat keberhasilan dari pelaksanaan atau kebijakan, sehingga kebijakan yang dibuat sebelum diputuskan dan dilaksanakan harus direncanakan dengan matang sehingga peramalan yang dibuat mampu memprediksi kendala ataupun masalah yang mungkin timbul. Sebuah implementasi agar efektif memerlukan berbagai ketepatan, Nugroho (2009 : 521) merinci prinsip ketepatan yang perlu dipenuhi dalam hak keefektifan kebijakan antara lain :
32
1.
Ketepatan kebijakan. apakah kebijakannya sendiri sudah tepat. Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan.
2.
Ketepatan pelaksanaan. Ketepatan dalam hal pelaksana atau aktor dari implementasi kebijakan yang akan dilaksanakan. Ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah dan masyarakat/swasta, dan implementasi kebijakan yang diswastakan.
3.
Ketepatan target. Ketepatan target berkaitan dengan tiga hal yaitu pertama, apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, tidak tumpang tindih dengan intervensi lain, dan tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan lain. Kedua kesiapan
kondisi target untuk
diintervensi, ketiga apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui implementasi kebijakan sebelumnya. 4.
Ketepatan Lingkungan. Terdiri atas dua lingkungan yaitu lingkungan kebijakan yaitu interaksi diantara lembaga perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan dengan lembaga lain yang terkait. Serta lingkungan eksternal kebijakan yang terdiri atas persepsi publik atas kebijakan, interpretasi lembaga strategis dalam masyarakat, dan individu-individu tertentu yang memiliki peran penting dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.
33
1.5.3
Evaluasi Kebijakan
1.5.3.1
Definisi Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan publik dilakukan untuk menilai sejauhmana keefektifan kebijakan publik untuk dipertanggungjawabkan kepada publiknya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi dibutuhkan untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Menurut Winarno (2008:225) bila kebijakan dipandang sebagai suatu pula kegiatan yang berurutan, maka evaluasi kebijakan merupakan tahap akhir dalam proses kebijakan. Kemudian menurut Muhadjir dalam Widodo (2008:112) evaluasi kebijakan publik merupakan proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat membuahkan hasil, yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan atau target kebijakan publik yang ditentukan. Dalam Bingham dan Felbinger,Howlet dan Ramesh (1995) dalam Nugroho (2011:676-677) mengelompokan evaluasi menjadi tiga, yaitu : a. Evaluasi administratif, yang berkenaan dengan evaluasi sisi administratif anggaran, efisiensi, biaya dari proses kebijakan di dalam pemerintah yang berkenaan dengan : 1) effort evaluation, yang menilai dari sisi input program yang dikembangkan oleh kebijakan 2) Performance evaluation, yang menilai keluaran dari program yang dikembangkan oleh kebijakan.
34
3) adequacy of performance evaluation atau effectiveness evaluation , yang menilai apakah program dijalankan sebagaimana yang sudah ditetapkan. 4) effeciency evaluation, yang menilai biaya program dan memberikan penilaian tentang keefektifan biaya tersebut. 5) process evaluation, yang menilai metode yang dipergunakan oleh organisasi untuk melaksanakan program. b. Evaluasi judical, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan hukum tempat kebijakan diimplementasikan, termasuk kemungkinan pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika, aturan administrasi negara, hingga hak asasi manusia. c. Evaluasi politik, yaitu menilai sejauh mana penerimaan konstituten politik terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan. Sedangkan menurut Dane (wibawa, 1994) menyebutkan ada dua tipe evaluasi kebijakan, yaitu : a. Sumative evaluation, adalah penilaian dampak dari suatu program. Disebut juga dengan evaluasi dampak (out come evaluation). b. Formative evaluation, adalah penilaian terhadap proses dari program, disebut pula evaluasi proses. Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup susbtansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebiajakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evalusai kebijakan bisa meliputi tahap perumusan
35
masalah-masalah
kebijakan,
program-program
yang
diusulkan
untuk
menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
1.5.3.2
Fungsi dan Tujuan Evaluasi Kebijakan Sebagai salah satu tahapan dalam proses kebijakan, evaluasi memiliki
fungsi dan tujuan. Menurut Wibawa dalam Nugroho (2009 : 541-542), evaluasi kebijakan publik memilik empat fungsi, yaitu: 1.
Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hungungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi masalah ,kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2.
Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
3.
Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.
4.
Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-ekonomi dari kebijakan tersebut. Beberapa ahli juga mengemukakan tentang tujuan-tujuan dari evaluasi,
Subarsono (2008 : 120) merinci beberapa tujuan dari evaluasi antara lain sebagai berikut :
36
a.
Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.
b.
Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat diketahui derajad diketahui berapa biaya dan manfaat suatu kebijakan.
c.
Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan. Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur berapa besar dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu kebijakan.
d.
Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.
e.
Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian target.
f.
Sebagai bahan masukan (input) unutk kebijakan yang akan datang. Tujuan akhir evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik. Oleh karena itu evaluasi kebijakan, pada prinsipinya digunakan untuk
mengevaluasi empat asek dalam proses kebijakan publik (Wibawa, yuyun, agus, 1994:35), yaitu : 1) proses pembuatan kebijakan 2) proses implementasi 3) konsekuensi kebijakan 4) efektifitas dampak kebijakan
37
1.5.3.3
Tahapan dan Kendala Evaluasi Kebijakan Evaluasi dalam pelaksanaanya memiliki tahapan atau langkah-langkah
yang dapat dilakukan agar dapat berjalan secara sistematis. Evaluasi dengan ilmiah merupakan evaluasi yang mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk menjalankan evaluasi kebijakan dibandingkan dengan tipe evaluasi lain (Winarno, 2007 : 169). Edward A. Suchman di sisi lain lebih masuk ke sisi praktis dengan mengemukakan tujuh langkah dalam evaluasi kebijakan (Winarno, 2007 : 169), yaitu : 1.
Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi.
2.
Analisis terhadap masalah.
3.
Deskripsi dan standardisasi kegiatan.
4.
Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi.
5.
Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab lain.
6.
Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak. Menurut Suchman, mendefinisikan masalah merupakan tahap paling
penting dalam evaluasi kebijakan.Setelah masalah didefinisikan dengan jelas maka tujuan-tujuan dapat disusun dengan jelas pula. Oleh karena itu, ia juga mengidentifikasi beberapa pertanyaan operasional untuk menjalankan riset evaluasi seperti : 1.
Apakah yang menjadi isi dari tujuan program ?
2.
Siapa yang menjadi target program ?
3.
Kapan perubahan yang diharapkan terjadi ?
4.
Apakah tujuan yang ditetapkan satu atauan banyak (unitary or multiple) ?
38
5.
Apakah dampak yang diharapkan besar ?
6.
Bagaimanakah tujuan-tujuan tersebut dicapai ? Langkah-langkah tersebut dibuat agar suatu evaluasi dapat efektif
dengan berjalan secara sistematis. Pada pelaksanaanya sendiri, evaluasi tidak terlepas dari kemungkin timbulnya masalah atau kendala. Hal ini disebabkan evaluasi juga merupakan proses yang kompleks, sehingga kendala atau masalah tersebut dapat menghambat pelaksanaan evaluasi tersebut. Anderson dalam Winarno (2007 : 175-179) mengidentifikasi enam masalah yang akan dihadapi dalam proses evaluasi kebijakan. a.
Ketidakpastian atas tujuan-tujuan kebijakan. Bila tujuan-tujuan dari suatu kebijakan tidak jelas atau tersebar, maka kesulitan yang timbul adalah menentukan
sejauh
mana
tujuan-tujuan
tersebut
telah
dicapai.
Ketidakjelasan biasanya berangkat dari proses penetapan kebijakan. b.
Kausalitas. Terdapat kesulitan dalam melakukan penentuan kausalitas antara tindakan-tindakan yang dilakukan terutama dalam masalah-masalah yang kompleks. Seringkali ditemukan suatu perubahan terjadi, tetapi tidak disebabkan suatu tindakan atau kebijakan.
c.
Dampak kebijakan yang menyebar. Tindakan-tindakan kebijakan mungkin mempengaruhi kelompok-kelompok lain selain kelompok-kelompok yang menjadi sasaran kebijakan. Hal ini sebagai akibat dari eksternalitas atau dampak yang melimpah yakni suatu dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pada keadaan atau kelompok selain mereka yang menjadi sasaran kebijakan.
39
d.
Kesulitan-kesulitan dalam memperoleh data. Kekurangan data statistik dan informasi-informasi lain yang relevan akan menghalangi para evaluator untuk melakukan evaluasi kebijakan.
e.
Resistensi
pejabat.
Para
pejabat
pelaksana
program
mempunyai
kecenderungan untuk tidak mendorong studi-studi evaluasi, menolak memberikan data, atau tidak menyediakan dokumen yang lengkap. f.
Evaluasi mengurangi dampak. Berdasarkan alasan tertentu, suatu evaluasi kebijakan yang telah dirampungkan mungkin diabaikan atau dikritik sebagai evaluasi yang tidak meyakinkan. Hal inilah yang mendorong mengapa suatu evaluasi kebijakan yang telah dilakukan tidak mendapat perhatian yang semsetinya bahkan diabaikan, meskipun evaluasi tersebut benar.
1.5.3.4
Pendekatan Evaluasi Kebijakan Evaluasi kebijakan publik memiliki tipe dan pendekatan yang beragam
dan berbeda, tergantung dari pada tujuan ataupun sudut pandang dari para evaluator yang akan melakukan evaluasi. Dunn (2003 : 611-612) membagi pendekatan evaluasi berdasarkan analisis lintas dampak antara lain : 1.
Evaluasi Semu. Evaluasi semu (Pseudo Evaluation)adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap individu. Asumsi utama dari evaluasi semu adalah bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai merupakan sesuatu yang dapat terbukti sendiri (self evident)atau tidak kontroversial.
40
2.
Evaluasi
Formal.
Evaluasi
formal
merupakan
pendekatan
yang
menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi mengevaluasi hal tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah dimumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi utama dari evaluasi formal adalah bahwa tujuandan target diumukan secara formal adalah merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau nilai kebijakan program. 3.
Evaluasi
Keputusan
pendekatan
yang
Teoritis.
Evaluasi
menggunakan
keputusan
metode-metode
teoritis
adalah
deskriptif
untuk
menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam pelaku kebijakan. Asumsi dari evaluasi teoritis keputusan adalah bahwa tujuan dan sasaran dari perilaku kebijakan baik yang dinyatakan secara formal maupun secara tersembunyi merupakan ukuran yang layak terhadap manfaat atau nilai kebijakan dan program.
Tabel 1.1 : Pendekatan Evaluasi Manurut William Dunn PENDEKATAN TUJUAN
Evaluasi Semu
Menggunkan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid tentang hasil kebijakan
ASUMSI
BENTUK BENTUKUTAM A Ukuran manfaat atau 1. Eksperimental nilai terbukti dengan sosial sendirinya atau tidak 2. Akuntansi controversial sistem sosial 3. Pemeriksaan sosial 4. Sintesis riset dan praktik
41
Evaluasi Formal
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan program kebijakan Evaluasi Menggunakan metode Keputusan deskriptif untuk Teoritis menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan. Sumber : Dunn (2003:612)
1.5.3.5
Tujuan dan sasaran dari pengambil kebijakan dan administrator yang secara resmi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal ataupun diam-diam merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai.
1. Evaluasi perkembangan 2. Evaluasi eksperimental 3. Evaluasi proses retrospektif 4. Evaluasi hasil retrospektif 1. Penilaian tentang dapat tidaknya evaluasi 2. Analisis utilitas multiatribut
Bentuk Analisis Kebijakan Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat
dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Keduanya baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn (2000:117) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan publik,yaitu: 1.
Analisis Kebijakan Prospektif. Analisis kebijakan prospektif yang berupa produksi dan tranformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan (ex ante). Analisis kebijakan disini merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif,
42
diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan. 2.
Analisis Kebijakan Retrospektif. Analisis kebijakan retrospektif adalah sebagai penciptaan dan tranformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Evaluasi proses retrospektif, yang cenderung dipusatkan pada masalah-masalah dan kendala-kendala yang terjadi selama implementasi kebijakan dan program. Evaluasi retrospektif lebih menggantungkan pada deskripsi ex post facto tentang kegiatan aktivitas program yang sedang berjalan, yang selanjutnya berhubungan dengan keluaran dan dampak.
3.
Analisis kebijakan yang terintegrasi. Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil.
1.5.3.6
Model Evaluasi Kebijakan
Menurut Wayne Parsons (2008:549-552), ada dua macam model evaluasi kebijakan yang digunakan yaitu : 1. Evaluasi Formatif Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan ketika kebijakan atau program yang sedang diimplementasikan merupakan analisis tentang “seberapa jauh sebuah program diimplementasikan dan apa kondisi yang bisa meningkatkan keberhasilan implementasi”. Pada fase implementasi memerlukan evaluasi “formatif” yang akan memonitor cara dimana sebuah program dikelola atau diatur untuk menghasilkan umpan balik yang bisa berfungsi untuk meningkatkan proses implementasi.
43
Rossi dan Freeman dalam buku Parsons mendeskripsikan model evaluasi ini sebagai evaluasi pada tiga persoalan : a. Sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang tepat b. Apakah penyampaian pelayanannya konsisten dengan spesifikasi desain program atau tidak. c. Sumber daya apa yang dikeluarkan dalam melakukan program 2. Evaluasi Sumatif Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur bagaimana kebijakan atau program secara aktual berdampak pada problem yang ditanganinya. Model evaluasi ini pada dasarnya adalah model penelitian komparatif yang mengukur beberapa persoalan yaitu : a. Membandingkan sebelum dan sesudah program diimplementasikan b. Membandingkan dampak intervensi terhadap satu kelompok dengan kelompok lain atau antara satu kelompok yang menjadi subjek intervensi dan kelompok lain yang tidak (kelompok kontrol) c. Menbandingkan apa yang terjadi dengan apa yang mungkin terjadi tenpa intervensi d. Atau membandingkan bagaimana bagian-bagian yang berbeda dalam satu wilayah mengalami dampak yang berbeda-beda akibat dari kebijakan yang sama.
1.5.3.7
Kriteria Evaluasi Kebijakan Evaluasi
kebijakan
publik,
dalam
tahapan
pelaksanaannya
menggunakan pengembangan beberapa indikator untuk menghindari timbulnya bias serta sebagai pedoman ataupun arahan bagi evaluator. Kriteria-kriteria
44
yang ditetapkan menjadi tolak ukur dalam menentukan berhasil atau tidaknya suatu kebijakan publik. Nugroho (2009 : 536)
menjelaskan bahwasannya
evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik.William N. Dunn (2003 : 429-438) mengemukakan beberapa kriteria rekomendasi kebijakan yang sama dengan kriteria evaluasi kebijakan, kriteria rekomendasi kebijakan sebagai berikut : Tabel 1.2 : Kriteria Evaluasi Kebijakan Tipe Kriteria
Pertanyaan
Ilustrasi
Efektifitas
Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?
Unit pelayanan
Efisiensi
Seberapa banyak usaha yang diperluka untuk mencapai hasil yang diinginkan?
Unit biaya Manfaat bersih Rasio biaya-manfaat
Kecukupan
Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah?
Perataan
Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda?
Responsivitas
Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu?
Konsistensi dengan survai warga negara
Ketepatan
Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?
Program publik harus merata dan efisiensi
Sumber : William N. Dunn, 2003, Pengantar Ana
Biaya tetap (masalah tipe I) Efektivitas tetap (masalah tipe II) Kriteria Pareto Kriteria kaldorHicks Kriteria Rawls
45
Kriteria-kriteria diatas merupakan tolak ukur atau indikator
dari
evaluasi kebijakan publik. Karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka pembahasan dalam penelitian ini berhubungan dengan pertanyaan yang dirumuskan olleh William N.Dunn untuk setiap kriterianya. Untuk lebih jelasnya setiap indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.
1) Efektivitas Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas disebut juga hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Apabila pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar dari pada organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari tujuan-tujuan tersebut. Willian N. Dunn dalam bukunya yang berjudul pengantar Analisis Kebijakan Publik : Edisi Kedua, menyatakan bahwa : “Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan,atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya” (Dunn,2003 :429). Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal, tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu.
46
Menurut pendapat Cambell yang dikutip oleh Richard M. Steers dalam bukunya Efektivitas Organisasi menyebutkan beberapa ukuran dari pada efektivitas, yaitu : 1.
Kualitas artinya kualitas yang dihasilkan oleh organisasi;
2.
Produktivitas artinya kuantitas dari jasa yang dihasilkan;
3.
Kesiagaan yaitu penilaian menyeluruh sehubungan dengan kemungkinan; dalam hal penyelesaian suatu tugas khusus dengan baik;
4.
Efisiensi merupakan perbandingan beberapa aspek prestasi terhadap biaya untuk menghasilkan prestasi tersebut;
5.
Penghasilan yaitu jumlah sumber daya yang masih tersisa setelah semua biaya dan kewajiban dipenuhi;
6.
pertumbuhan adalah suatu perbandingan mengenai eksistensi sekarang dan masa lalunya;
7.
Stabilitas yaitu pemeliharaan struktur, fungsi dan sumber daya sepanjang waktu;
8.
Kecelakaan yaitu frekuensi dalam hal perbaikan yang berakibat pada kerugian waktu;
9.
Semangat kerja yaitu adanya perasaan terikat dalam hal pencapaian tjuan, yaitu melibatkan usaha tambahan, kebersamaan tujuan dan perasaan memiliki;
10. Motivasi artinya adanya kekuatan yang muncul dari setiap individu untuk mencapai tujuan;
47
11. Kepaduan yaitu fakta bahwa para anggota organisasi saling menyukai satu sama lain, artinya bekerja sama dengan baik, berkomunikasi dan mengkoordinasikan; 12. Keluwesan adaptasi artinya adanya suatu rangsangan baru untuk mengubah prosedur standar operasinya, yang bertujuan untuk mencegah keterbekuan terhadap rangsangan lingkungan; (Dalam Steers,1985:46-48) Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan diatas, maka ukuran efektivitas merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai sasaran dan tujuan yanag akan dicapai.
2) Efisiensi Jika bicara mengenai efisiensi maka kita akan membayangkan hal penggunaan sumber daya (resources) secara optimum untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Maksudnya adalah efisiensi akan terjadi jika penggunaan sumber daya diberdayakan secara optimum sehingga suatu tujuan akan tercapai. William N. Dunn berpendapat bahwa : “Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi,adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terkahir umunya diukur dari ongkos moneter. Efisieni biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisiensi.” (Dunn,2003:430)
Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses kebijakan
48
terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini berarti kegiatan telah melakukan pemborosan dan tidak layak untuk dilaksanakan.
3) Kecukupan Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah dicapai sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal. William N. Dunn mengemukakan bahwa kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah (Dunn,2003 :430) Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kecukupan masih berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi. Hal ini, dalam kriteria kecukupan menekankan pada kautnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.
4) Perataan Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai arti dengan keadilan yang diberikan dan diperoleh sasaran kebijakan publik. Willian N.Dunn menyatakan bahwa kriteria kesamaan (equity) erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat (Dunn, 2003:434). Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usaha secara adil didistribusikan. Suatu program tertentu
49
mungkin dapat efektif,efisiensi, dan mencukupi apabila biaya-manfaat merata. Kunci dari perataan yaitu keadilan atau kewajaran.
5) Responsivitas Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai tanggapan sasaran kebijakan publik atas penerapan suatu kebijakan. Menurut William N.Dunn, responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok
masyarakat
tertentu
(Dunn,
2003:437).
Suatu
keberhasilan kebijakan dapat dilihat melalui tanggapan masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah terlebih dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu kebijakan akan dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak kebijakan sudah mulai dapat dirasakan dalam bentuk positif berupa dukungan ataupun wujud yang negatif berupa penolakan. Dunn pun mengemukakan bahwa: “Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya (efektivitas,efisiensi,kecukupan,kesamaan) masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan”(Dunn,2003:437) Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan, preferensi, dan
nilai
dari
kelompok-kelompok
efektivitas,efisiensi,kecukupan, dan kesamaan.
tertentu
terhadap
kriteria
50
6) Ketepatan Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan pada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuab tersebut. William N.Dunn menyatakan bahwa kelayakan (Appropriateness) adalah: “Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak. Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan tersebut”. (Dunn, 2003:499) Artinya ketepatan dapat diisi oleh indikator keberhasilan kebijakan lainnya (bila ada). Misalnya dampak lain yang tidak mampu diprediksi sebelumnya baik dampak tak terduga secara positif maupun negatif atau dimungkinkan alternatif lain yang dirasakan lebih baik dari suatu pelaksanaan kebijakan sehingga kebijakan bisa lebih dapat bergerak secara lebih dinamis.
1.5.3.8
Metode Evaluasi Menurut Finsterbusch dan Motz dalam Subarsono (2005:128), untuk
melakukan evaluasi terhadap program yang telah diimplementasikan, ada beberapa metode evaluasi yang dapat dipilih yakni : 1.
Single program after-only, yaitu informasi diperoleh berdasarkan keadaan kelompok sasaran sesudah program dijalankan
2.
Single program befora-after, yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan perubahan keadaan sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan.
3.
Comparative after-only, yairu informasi yang diperoleh berdasarkan keadaan sasaran dan bukan sasaran program dijalankan.
51
4.
Comparative before-after, yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan efek program terhadap kelompok sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan.
Tabel 1.3 : Metodologi untuk Evaluasi Program Jenis Evaluasi
Pengukuran kondisi kelompok sasaran Sebelum Sesudah
Kelompok
Single Program After-Only
Tidak
Ya
Tidak Ada
Keadaan Kelompok sasaran
Single Program Before-After
Ya
Ya
Tidak Ada
Comparative After-Only
Tidak
Ya
Ada
Comparative Before-After
Ya
Ya
Ada
Perubahan Kelompok sasaran Keadaan kelompok sasaran dan kelompok kontrol Efek program terhadap kelompok sasaran dan kelompok kontrol
Kontrol
Informasi yang diperoleh
Sumber : Subarsono (2005:130)
1.5.3.9
Evaluasi Dampak Sebelumnya telah disebutkan bahwa evaluasi kebijakan adalah suatu
untuk menentukan dampak dari kebijakan pada kondisi-kondisi kehidupan nyata. Dampak adalah perubahan kondisi fisik maupun sosial sebagai akibat dari Output kebijakan. Akibat dari Output kebijakan ada dua macam yakni : 1. Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok sasaran (baik akibat yang diharapkan atau tidak diharapkan) dan akibat tersebut mampu menimbulkan pola perilaku baru pada kelompok sasaran (impact).
52
2. Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok sasaran, baik yang sesuai dengan yang diharapkan atau tidak dan akibat tersebut tidak mampu menimbulkan perilaku baru pada kelompok sasaran (effects). Evaluasi
dampak
merupakan
usaha menentukan
dampak
atas
implementasi kebijakan yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok di luar sasaran atau tujuan kebijakan. Menurut
Lester dan
Stewart
dalam
Winarno
(2002:170-171),
setidaknya ada tigal hal yang dapat dilakukan oleh seseorang evaluator didalam melakukan evaluasi kebijakan publik, yaitu: pertama, evaluasi kebijakan mungkin menjelaskan keluaran-keluaran kebijakan, misalnya pekerjaan, uang, materi yang diproduksi, dan pelayanan yang disediakan. Keluaran ini merupakan hasil yang nyata dari adanya kebijakan, namun tidak memberi makna sama sekali bagi seorang evaluator. Kedua, evaluasi kebijakan barangkali mengenai kemampuan kebijakan dalam memperbaiki masalah-masalah sosial, misalnya usaha untuk mengurangi kemacetan lalu lintas atau tingkat kriminallitas. Dan ketiga, evaluasi kebijakan barangkali menyangkut konsekuensi-konsekuensi kebijakan dalam bentuk policy feedback, termasuk didalamnya adalah reaksi dari tindakan-tindakan pemerintah atau pernyataan dalam sistem pembuatan kebijakan atau dalam beberapa pembuat keputusan.
53
Pada sisi yang lain, Thomas R. Dye dalam Winarno (2002: 171-173) menyatakan dampak dari suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi dan semuanya harus diperhitungkan dalam membicarakan evaluasi. 1. Dampak kebijakan pada masalah-masalah publik dan dampak kebijakan pada orang-orang yang terlibat. 2. Kebijakan-kebijakan mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok diluar sasaran atau tujuan kebijakan. 3. Kebijakan mungkin akan mempunyai dampak pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan dimasa yang akan datang. 4. Evaluasi juga menyangkut unsur yang lain, yakni biaya langsung yang dikeluarkan untuk membiayai program-program kebijakan publik. 5. Dimensi yang terakhir dari evaluasi kebijakan adalah menyangkut biayabiaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat atau beberapa anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik. Sekalipun dampak yang sebenarnya dari suatu kebijakan mungkin sangat jauh dari yang diharapakan atau diinginkan, tetapi kebijakan tersebut pada dasarnya mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang penting bagi masyarakat.
1.5.3.10 Model Evaluasi Yang Digunakan Peneliti Didalam penelitian ini, peneliti akan melakukan evaluasi dampak dengan menggunakan model Single Program After-Only. Peneliti hendak melihat perubahan keadaan kelompok sasaran sesudah Peraturan pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 diimplementasikan.
54
1.5.4 Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan dalam Resmi (2013:74) adalah pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau badan yang berkenaan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak.Pajak penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting. Adapun beberapa jenis pajak penghasilan yaitu Pajak Penghasilan Pasal 21, pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, pasal 26, Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 4 Ayat (2).
1.5.4.1 Subjek Pajak Penghasilan Subjek pajak penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan pajak penghasilan. Subjek pajak akan dikenakan pajak penghasilan apabila menerima atau memperoleh penghasilan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Jika subjek pajak telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif maka disebut sebagai wajib pajak. Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Adapun yang menjadi subjek pajak meliputi : 1.
Subjek Pajak Orang Pribadi, orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia.
2.
Subjek Pajak Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. Warisan yang belum terbagi sebagai satu
55
kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris.Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak penggantik dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. 3.
Subjek Pajak Badan. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau nadan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma,kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
4.
Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT). Bentuk Usaha Tetap adalah yang dipergnakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badana yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa : 1. Tempat kedudkan manajemen, 2. Cabang perusahaan 3. Kantor perwakilan 4. Gedung kantor 5. Pabrik 6. Bengkel
56
7. Gudang 8. Ruang untuk promosi dan penjulan 9. Pertambangan dan penggalian sumber alam 10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi 11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan 12. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan. 13. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
1.5.4.2 Objek Pajak PenghasilanDan Bukan Objek Pajak Penghasilan Objek pajak adalah segala sesuatu (barang, jasa, kegiatan,atau keadaan) yang dikenakan pajak.Objek apajak penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun (Resmi,2013:80). Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokan menjadi : 1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya. 2.
Penghasilan dari usaha dan kegiatan
57
3.
Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
4.
Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah. Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008,
Penghasilan yang termasuk objek pajak adalah : 1) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bisnis, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 2) Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan 3) Laba usaha 4) Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : a.
Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
b.
Keuntungan yang diperoleh perseroan,persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
c.
Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau penggambilalihan usaha
d.
Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi
58
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan e.
Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
5) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya 6) Bungan termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengambilan utang 7) Ddividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi 8) Royalti atau imbalan atas penggunaan hak 9) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta 10) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala 11) Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah 12) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing 13) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva 14) Premi asuransi 15) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terrdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
59
16) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak 17) Penghasilan dari usaha berbasis syariah 18) Imbalan bunga 19) Surplus Bank Indonesia Berdasarkan Pasal 4 Ayat (3) Undang –Undang Nomor 36 Tahun 2008, terhadapa penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan (bukan merupakan Objek Pajak). Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak menurut ketentuan tersebut adalah : 1) Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri keuangan, Sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau pengusaha antara pihak-pihak yang bersangkutan 2) Warisan
60
3) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh Badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal 4) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh. 5) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa. 6) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP Dalam negeri,Koperasi,BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan b. Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima deviden. Kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor 7) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai 8) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidangbidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
61
9) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif 10) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirkan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut a. Merupakan
perusahaan
mikro,
kecil,
menengah,
atau
yang
menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia 11) Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih kanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri keuangan, yaitu : a. Diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi
beasiswa
dalam
rangka
mengikuti
pendidikan
formal/nonformal yang terstruktur baik di dalam negeri maupun luar negeri. b. Tidak mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi, atau pengurus dari wajib pajak pemberi besiswa c. Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah, biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk pembelian buku, dan /atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar.
62
12) Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut 13) Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
1.5.4.3 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu telah terlaksana secara efektif pada tanggal 1 Juli 2013. Adapun maksud dari pemberlakuan Peraturan pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah : 1.
kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan
2.
mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi
3.
Mengedukasi masyarakat untuk transparansi
4.
Memberikan
kesempatan
masyarakat
untuk
kontribusi
dalam
penyelenggaraan negara. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini diterbitkan bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, meningkatnya pengetahuan tentang manfaat perpajakan
63
bagi masyarakat, menciptakan kontrol sosial dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Dengan adanya peraturan pemerintah ini diharapkan penerimaan pajak meningkat sehingga kesempatan untuk mensejahterakan masyarakat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 pada pasal 2 ayat (2) yang dikatakan sebagai wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenakan pajak penghasilan final adalah wajib pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Wajib Pajak orang pribadi atauWajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan 2. Menerima penghasilan dari usaha,tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaanbebas, dengan peredaran brutotidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empatmiliar delapan ratus juta rupiah)dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Meskipun
secara
tidak
langsung
dinyatakan
dalam
peraturan
pemerintah ini, sulit dipungkiri bahwa yang menjadi target pemajakan dalam ketentuan perpajakan baru ini adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Yang tidak termasuk dalam pengertian wajib pajak orang pribadiyang dikenakan dengan Peraturan Pemerintah ini adalah : 1. Menggunakan sarana atauprasarana yang dapat dibongkarpasang, baik yangmenetap maupun tidak menetap;dan 2. Menggunakan sebagian atauseluruh tempat untuk kepentinganumum yang tidak diperuntukkanbagi tempat usaha atau berjualan.
64
Untuk wajib pajak badan yang tidak termasuk dalam Peraturan Pemerintah ini adalah : 1. Wajib Pajak badan yang belumberoperasi secara komersial; atau 2. Wajib
Pajak
badan
yang
dalamjangka
waktu
1
(satu)
tahun
setelahberoperasi secara komersialmemperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00(empat miliar delapan ratus jutarupiah). Berdasarkan peraturan pemerintah ini wajib pajak yang termasuk dalam kategori dikenakan pajak dengan tarif sebesar 1% dan bersifat final. Dasar Pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung pajaknya adalah peredaran bruto setiap bulan. Dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan final berdasarkan ketentuan ini adalah penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas yang diperoleh : 1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris. 2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi,pelawak,bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawati, pemain drama, dan penari. 3. Olahragawan 4. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh dan moderator 5. Pengarang, peneliti dan penerjemah 6. Agen iklan 7. Pengawas atau pengelola proyek 8. Perantara
65
1.5.4.4 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2 Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. (Siti Resmi,2014:74). Subjek pajak dari pajak penghasilan adalah segala sesuatu mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan pajak penghasilan. Undang-Undang Pajak Penghasilan di Indonesia mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya. Ada beberapa jenis Pajak Penghasilan salah satunya adalah Pajak Penghasillan PPh Pasal 4 ayat 2. Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 menjelaskan bahwa PPh 4 ayat 2 adalah salah satu jenis pajak yang bersifat final yang artinya pajak yang telah dipotong tidak dapat dikreditkan. Adapun beberpa jenis penghasilan yang menjadi objek PPh pasal 4 ayat 2 sebagai berikut : 1.
Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya,bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
2.
Penghasilan berupa hadiah undian
3.
Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau penagihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
66
4.
Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan
5.
Penghasilan tertentu laiinya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, dan peraturan perundang-undangan perpajakan lainnya.
Tabel 1.4 . Objek PPh Pasal 4 Aayat (2) dan Tarif NO OBJEK PAJAK Tarif PPh Pasal 4 ayat (2) 1
Diskonto Surat Perbendaharaan Negara (PP No.27/2008)
2
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (PP No.48/1994 stdtd PP No.71/2008) a. Wajib pajak yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau b. Wajib pajak orang pribadi yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan yang jumlah bruto nilai pengalihannya kurang dari Rp 60 jt namun penghasilan lainnya dalam 1 tahun melebihi PTKP c. penghasilan hak atas rumah sederhana dan rumah susun yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
3
Persewaan Tanah dan/atau Bangunan (PP No.29/1996 stdtd PP No.5/2002)
20%
Dasar Perhitungan Diskonto SPN
5%
5%
Jumlah bruto nilai pengalihan (nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak)
1%
10%
Jumlah bruto
67
4
Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI (PP No.131/2000)
20%
Jumlah Bruto Bunga
5
Hadiah Undian (PP No.132/2000)
25%
Jumlah Bruto Hadiah Undian
6
Transaksi saham di Bursa Efek (PP No.41/1994 stdtd PP No.14/1997) a. Bukan saham pendiri b. Saham pendiri
0,1%
7
Penghasilan perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan saham atau Pengalihan Penyertaan Modal Pada Perusahaan Pasangan Usahanya (PP No.4/1995)
0,10%
8
Jasa Konstruksi (PP No.51/2008 stdtd PP No.40/2009) a. jasa pelaksanaan kontruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil b. Jasa pelaksanaan kontruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha c. jasa pelaksanaan kontruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa selain pada huruf a dan b (yang memiliki kualifikasi menengah dan besar) d. Jasa perencanaan kontruksi atau pengawasan kontruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha e. Jasa perencanaan kontruksi atau pengawasan kontruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha
0,1% x Nilai transaksi (0,1% x Nilai Transaksi) + (0,5% x Nilai Saham pasar saat penawaran Umum Perdana Jumlah Bruto Nilai transaksi Penjualan/Pengalihan Penyertaan Modal
2%
Penghasilan Bruto
4%
Penghasilan Bruto
3%
Penghasilan Bruto
4%
Penghasilan Bruto
6%
Penghasilan Bruto
68
9
Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi pribadi (PP No.15/2009)
10%
Jumlah Penghasilan
10
Bunga atau Diskonto Obligasi yang diperdagangkan dibursa efek (PP No.16/2009)
15%
Jumlah Bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan
11
Penghasilan dari Transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa efek (PP No.17/2009 dicabut dengan PP No.31/2011)
12
Dividen orang pribadi dalam negeri (PP No.19/2009)
10%
Jumlah Penghasilan Bruto
13
Penghasilan dari peredaran bruto No.46/2013)
1%
Jumlah Peredaran Bruto
usaha dengan tertentu (PP
Total Penerimaan Sumber : Program Tax Base (Diakses 05 Maret 2015, Pukul 14.00 WIB)
1.5.5 Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah (UMKM) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 usaha mikro,kecil dan menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiiki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
69
2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebiih dari Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) samapi dengan paling banyak Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah) Adapun batasan-batasan mengenai usaha mikro,kecil dan menengah berdasarkan beberapa organisasi yang berlaku : a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, menurut undang-undang ini adalah sebagai berikut : 1. Usaha Mikro, adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah). 2. Usaha Kecil, adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bahkan cabang perusahaan yang dimilki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
70
3. Usaha Menengah, adalah usaha ekonomi produk yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunanlebih dari Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupian) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000 (lima puluh milyar rupiah). b. Badan Pusat Statistik, batasan usaha mikro, kecil dan menengah adalah : 1. Usaha Mikro. Usaha yang memiliki pekerja kurang dari lima orang, termasuk tambahan anggota keluarga yang tidak dibayar. 2. Usaha Kecil. Usaha yang memiliki pekerja lima sampai 19 orang. 3. Usaha Menengah. Usaha yang memiliki pekerja 19 sampai 99 orang. c. Bank Indonesia, batasan usaha mikro,kecil dan menengah adalah : 1. Usaha Mikro.(SK.Direktur BI No.31/24/Kep/DER tanggal 5 Mei 1998) Usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin atau mendekati miskin. Dimiliki oleh keluarga sumber daya lokal dan teknologi sederhana. Lapangan usaha mudah untuk exit dan entry. 2. Usaha Kecil.Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang
71
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan yang paling banyak Rp 500.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000 sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000. 3. Usaha Menengah. (SK Dir.BI No.30/45/Dir/Uk tgl 5 Jan 1997). Omset tahunan kurang dari tiga milyar aset sama dengan lima milyar untuk sektor industri aset sama dengan enam ratus juta diluar tanah dan bangunan untuk sektor non industri manufaktur.
1.6
Definisi Konsep Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan
secara abstrak mengenai kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui konsep kemudian peneliti diharapkan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian (event) yang berkaitan satu dengan yang lain. (Singarimbun, 1997:33). Untuk mendapatkan batasan-batasan yang lebih jelas agar penulis penulis dapat menyederhanakan pemikiran atas masalah yang sedang penulis teliti, maka penulis menemukan beberapa konsep yang digunakan, antara lain : 1.
Evaluasi dampak merupakan usaha menentukan dampak atas implementasi kebijakan yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok diluar sasaran atau tujuan kebijakan.
72
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Adapun tujuan PP 46 Tahun 2013 tersebut yang tercantum pada SE-42/PJ/2013, adalah: a. Memberikan kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan b. Mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi c. Mengedukasi masyarakat untuk transparansi d. Memberikan
kesempatan
masyarakat
untuk
berkontribusi
dalam
penyelenggaraan negara. 3.
Usaha Mikro,Kecil dan Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang buka merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiiki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar
4.
Pajak Penghasillan PPh Pasal 4 ayat 2 berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 menjelaskan bahwa PPh 4 ayat 2 adalah salah satu jenis pajak yang bersifat final yang artinya pajak yang telah dipotong tidak dapat dikreditkan.
1.7
Definisi Operasional Singarimbun (1989:46) menyatakan definisi operasional adalah unsur
penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Definisi operasional ini semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya
73
mengukur suatu variabel. Adapun definisi operasional dari variabel evaluasi dampak kebijakan adalah sebagai berikut : 1. Efektivitas, yaitu pencapaian hasil yang diinginkan : a. Kualitas yang dihasilkan dari program/kebijakan b. Produktivitas (kuantitas dari jasa yang dihasilkan) c. Pertumbuhan adalah suatu perbandingan mengenai eksistensi sekarang dan masa lalunya. d. Motivasi artinya adanya kekuatan yang muncul dari setiap individu untuk mencapai tujuan 2. Efesiensi, yaitu usaha-usaha untuk mencapai hasil yang diinginkan : a. Adanya target pencapaian waktu b. Adanya target pencapaian wajib pajak baru c. Adanya target pencapaian penerimaan pajak b. Tersedianya sumber daya manusia 3. Kecukupan, yaitu adanya pemecahan masalah dari hasil yang diinginkan : a. Kecukupan produktivitas 4. Pemerataan, yaitu keadilan yang diberikan dan diperoleh sasaran kebijakan publik : a. Distribusi hasil yang merata b. Kesamaan yang dirasakan masyarakat khususnya wajib pajak 5. Responsivitas, yaitu dampak kebijakan terhadap pemuasan kebutuhan preferensi atau kelompok tertentu : a. Adanya tanggapan positif b. Adanya kritik
74
c. Adanya saran 6. Ketepatan, yaitu manfaat atau kegunaan hasil yang diinginkan : a. Program ditujukan kepada Pengusaha yang digolongkan UMKM b. Kesesuaian hasil kebijakan dengan tujuan yang diharapkan c. Adanya perubahan yang dialami dari sisi penerimaan dan administrasi perpajakan.
1.8
Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN Dalam hal ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep dan sistematika penulisan.
BAB II
METODE PENELITIAN Bab ini secara umum menguraikan tentang bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, dan teknik analis.
BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini memuat tentang gambaran umum atau karakteristik lokasi penelitian yang mencakup sejarah singkat, visi dan misi, tugas dan fungsi serta struktur organisasi.
BAB IV
PENYAJIAN DATA Bab ini membahas tentang hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan selama penelitian berlangsung dan juga dokumendokumen lainnya yang akan dianalisa.
75
BAB V
ANALISIS DATA Bab ini berisikan tentang kajian dan analisa data yang diperoleh dari lapangan saat penelitian dan memberikan interpretasi terhadap masalah yang diajukan.
BAB VI
PENUTUP Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran dari penulis mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan.