BAB I PENGANTAR
1.1.
Latar Belakang Desentralisasi kewenangan pemerintah pusat dalam lima tahun terakhir telah
diakui oleh banyak pihak telah membawa dampak positif bagi pemerintahan daerah. Hal ini diantaranya adalah mulai meningkatnya contoh sukses (best practices) sebagai salah satu upaya untuk perbaikan pelayanan terhadap masyarakat dan juga kembalinya kearifan lokal yang melemah pada masa orde baru. Kajian-kajian tentang otonomi daerah telah dilakukan untuk terus memperbaiki sistem yang ada selama ini. Bila dilihat dari transformasi regulasi otonomi daerah mulai dari UU No. 5 Tahun 1974 hingga yang terbaru adalah UU No. 32 Tahun 2004, cara pandang sentralisasi telah bergeser menjadi desentralisasi. Berlakunya undang-undang ini mendorong pemerintah daerah untuk lebih banyak mengambil keputusan dengan tujuan memperpendek mata rantai pengambilan keputusan sehingga terjadi efisien waktu. Dengan demikian, hal ini berdampak tidak hanya pada pembiayaan namun juga peningkatan kesempatan daerah untuk meningkatkan kapasitasnya dalam mengembangkan potensi daerah. Keterbatasan kapasitas anggaran dan SDM yang menuntut pemerintah melakukan prioritasi pembangunan menjadikan perumahan menjadi sektor yang kurang mendapat perhatian bagi sebagian besar pemerintah daerah.1 Kebijakan perumahan yang dikembangkan oleh pemerintah pun masih belum berorientasi pada kesejahteraan masyarakat karena prioritas yang lebih tinggi belum tercapai, padalah kebutuhan akan
1
Hasil wawancara Asisten Deputi Kemenkokesra pada FGD Kesejahteraan atas Papan, Kemenkokesra, Agustus 2012.
1
papan sama pentingnya dengan sandang dan pangan, Prayitno, Fenat dan Paramita (2012: 43) menyebutkan: ‘…pada dasarnya, seluruh dokumen dan aturan hukum baik internasional maupun nasional yang menjadikan rumah sebagai bagian dari HAM memuat satu pesan yang sama dan konsisten, yaitu bahwa rumah ... tidak dipandang sebagai komoditas yang pengadaannya dilempar kepada mekanisme pasar... karena ... rumah pada hakikatnya merupakan bagian dari kebutuhan primer/dasar yang dibutuhkan semua orang untuk dapat hidup secara layak.’ 2 Bidang perumahan merupakan bidang yang kompleks, terfragmentasi dan bersifat multi-dimensi. Hal ini yang memicu terjadinya miskoordinasi antar berbagai pihak. Sistem perumahan diistilahkan kompleks karena mencakup intervensi dalam modal manusia (human capital), modal fisik (physical capital), dan modal sosial (social capital). Kompleksitas masalah perumahan ini dapat meliputi permasalahan tanah, infrastruktur,
keamanan
bermukim,
pembiayaan
perumahan
dan
konstruksi.
Permasalahan ini menjadi lebih rumit karena pemerintah Indonesia memandang perumahan cenderung sebagai bagian dari kebijakan infrastruktur3, hal ini berbeda dengan teori Goodin (2001 : 43) dan Nugroho (2012 : 30) yang menyebutkan bahwa perumahan merupakan bagian dari kebijakan sosial. Fenomena yang menarik adalah terdapat beberapa pemerintah daerah, meskipun dalam jumlah yang kecil, menggunakan paradigma perumahan sebagai bagian dari kebijakan sosial (kemiskinan dan kesehatan), yang dengan paradigma ini, pemerintah daerah tersebut menunjukkan keberhasilan. Perbedaan cara pandang inilah yang menentukan diversifikasi organisasi pemerintah daerah di bidang perumahan. Hal ini menjadikan penelitian mengenai kebijakan
2
Prayitno, Budi., Mahditia Paramita dan A.S. Fenat, 2012, Perlindungan Hak Bermukim MBR dan Warga Miskin Perkotaan, Kementerian Koordinator Bidang KesejahteraanRakyat Republik Indonesia, Jakarta. 3 Hasil analisis dari struktur organisasi kementerian dan pemerintah daerah terhadap bidang perumahan dan Kementerian/Dinas Pekerjaan Umum
2
perumahan dibutuhkan sebagai rujukan dalam formulasi kebijakan perumahan di Indonesia. Paradigma lain yang menghambat pembangunan perumahan adalah pandangan bahwa perumahan adalah persoalan privat yaitu masing-masing rumah tangga mengusahakan kebutuhan perumahan secara mandiri. Paradigma ini mengakibatkan alokasi anggaran pusat dan daerah, dan alokasi kapasitas SDM menjadi makin terbatas. Penjelasan apakah perumahan merupakan urusan publik atau privat dijelaskan dengan dasar hukum UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, PP No. 21 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, dan PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Di antara dua puluh enam urusan wajib pemerintah daerah, terdapat urusan perumahan. Jika peraturan-peraturan tersebut ditelaah lebih dalam, disebutkan bahwa
urusan perumahan adalah tugas baik
pemerintah maupun pemerintah daerah untuk melakukan pembinaan, penyelenggaraan, pemeliharaan dan perbaikan. Pembinaan di sini meliputi perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Sedangkan penyelenggaraan perumahan meliputi perencanaan perumahan, pembangunan perumahan, pemanfaatan perumahan, dan pengendalian perumahan. UU No.1 Tahun 2011 pasal 54 ayat 1 menjelaskan bahwa pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Berdasar penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perumahan menjadi urusan publik bila menyangkut MBR dan menjadi urusan privat jika masyarakat tersebut dapat mengakses pasar perumahan.
3
Catatan sejarah menunjukkan bahwa perhatian pemerintah untuk menyediakan dan menata pemukiman telah dimulai sebelum pembentukan NKRI.4 Sejak Pemerintahan Hindia-Belanda, perumahan sudah mulai ditata dengan meletakkan rumah-rumah milik keluarga dan pejabat Belanda di lokasi strategis sedangkan keluarga pribumi dimukimkan di lokasi yang lebih menjorok. Walaupun tidak berprinsip keadilan dan menguntungkan kelas sosial tertentu, program ini menunjukkan bahwa isu perumahan telah menjadi perhatian sejak zaman penjajahan, puluhan tahun silam. Meskipun telah mendapat perhatian dalam ranah pengambilan kebijakan di Indonesia, persoalan perumahan belum menunjukkan hasil yang signifikan. Di tingkat yang paling sederhana, pemerintah tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah (backlog) yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2004 kebutuhan rumah berkisar 5,4 juta unit sedangkan tahun 2010 meningkat dua kali lipat lebih menjadi 13,6 juta unit (Kompas, 2011). Artinya, sampai hari ini masih banyak keluarga di Indonesia yang tidak dapat mengakses rumah sesuai dengan kemampuan daya belinya. Akibatnya, sebuah rumah menjadi sangat padat karena dihuni oleh anggota keluarga yang banyak, tata kota yang buruk karena pemukiman tanpa izin muncul secara liar, sampai dengan persoalan kesehatan karena masih banyak warga yang mendiami pemukiman dengan fasilitas dasar yang minim. Selain kapasitas pasokan yang kurang mencukupi, luasan permukiman kumuh yang terus meningkat dari 54.000 ha (2004) 57.000 ha (2009), dan 59.000 ha (2011).5 Meskipun dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 2011 penyelenggaraan perumahan sudah didelegasikan ke pemerintah daerah, pada pelaksanaannya pemerintah daerah banyak bergantung pada alokasi dana pemerintah pusat karena keterbatasan anggaran (investasi
4
Hasil wawancara dengan Staf Direktorat Pengembangan Permukiman, Kementerian Pekerjaan Umum, 17 April 2012 5 Data Kementerian Perumahan Rakyat (data yang tersedia), 2013
4
besar yang mempengaruhi perekonomian daerah). Kondisi ini diperburuk dengan kondisi bahwa pemerintah pusat lebih banyak memusatkan perhatiannya pada kebijakan yang kurang strategis. Banyak peran-peran yang dapat dititipteruskan ke pemerintah daerah dengan tingkat keberhasilan lebih tinggi namun dilakukan oleh pemerintah pusat yang mengakibatkan pemborosan anggaran, misalnya dalam program peningkatan kualitas rumah (BSPS), program rumah susun, program penanganan permukiman kumuh, dll. Pemerintah provinsi pun pada kondisi ini kurang dioptimalkan keberadaannya. Jika dilihat dari anggaran subsidi, alokasi anggaran perumahan meningkat drastis dari subsidi Rp 800 miliar pada 2008, subsidi Rp 2,6 triliun pada 2009, subsidi Rp. 9,19 triliun pada 2011, hingga Rp. 9,5 triliun pada 2012. Meskipun demikian, ketersediaan perumahan tetap saja masih belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Perumahan dan pemukiman merupakan bidang yang memiliki karakteristik kompleks, terfragmentasi, dan multidimensional sehingga dalam pengelolaannya sangat rawan terjadi miskoordinasi antar berbagai pihak. Sistem perumahan diistilahkan kompleks karena mencakup intervensi dalam modal manusia, modal fisik, dan modal sosial. Miskoordinasi pembangunan perumahan yang terjadi secara umum di Indonesia dapat dilihat dari perbedaan antara desain kebijakan dan penerapannya, dan sistem kerja kaku dan membelenggu. Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) masih belum sesuai dengan kondisi finansial, dan adanya dasar hukum yang lemah merupakan contoh empiris kesenjangan desain dan implementasi kebijakan perumahan tersebut. Pada tataran empiris, sistem kerja yang kaku dan membelenggu dalam tata kelola perumahan dipicu oleh kompleksitas sistem perumahan yang meliputi banyak aspek dalam pertanahan, infrastruktur (sarana dan prasarana dasar), pembiayaan, tata ruang, perizinan,
penyediaan
perumahan
(pertimbangan
pasokan
dan
permintaan),
5
pemberdayaan masyarakat dan pemangku kewajiban yang terfragmentasi dan mudah terjadi duplikasi peran. Hal ini diperburuk dengan proses administrasi dan tata kelola yang kaku yang dapat dilihat pada jenis ragam sektor terkait yang dilaksanakan secara berbeda. Hal lain yang penting dalam pengelolaan perumahan adalah program yang dilaksanakan sangat berorientasi proyek, tidak fleksibel sesuai kebutuhan, dan kurang sesuai antara skema pembiayaan pemerintah, masyarakat, dan swasta. Selain itu, masalah perumahan terlalu dipandang sebagai proses pembangunan fisik dan hanya menjadi bagian dari infrastruktur sehingga aspek lain yang bersifat mendesak seperti pembinaan, administrasi, dan bimbingan teknis seolah menjadi hal yang terabaikan. Tumpang-tindihnya kebijakan perumahan pada kenyataannya terlihat begitu nyata dengan adanya 19 K/L pada institusi pusat dengan masing-masing peranannya yang muncul secara bersamaan dengan berbagai parameter dan program yang berbeda. Kondisi empiris ini menjadi penyebab utama kesenjangan tugas pokok dan fungsi pemerintah pusat dalam mengemban mandat terkait pembangunan perumahan seperti yang disebutkan oleh Prayitno, Fenat dan Paramita (2012: 11): ‘… selama ini kebijakan perumahan didekati secara parsial dan jangka pendek. Paradigma yang digunakan masih tentang pasokan, bukan hak masyarakat untuk memiliki tempat tinggal. Tidak ada tahapan yang jelas dalam perencanaan kebijakan perumahan, tidak pula dinaungi suatu desain penciptaan sistem perumahan yang jelas dan terukur. Praktik selama ini, berbagai kementerian dan lembaga terkait mempunyai program perumahan masing-masing sehingga mengakibatkan tumpang-tindih, ketidakharmonisan, dan mencuatnya ego sektoral.’ Penelitian awal mengindikasikan adanya involusi kepranataan institusional pada relasi pemerintah pusat dan daerah penanggung jawab bidang perumahan. Jalur koordinasi pusat-daerah belum optimal sehingga terlihat semakin memicu terbentuknya
6
mata rantai yang hilang antara kebijakan perumahan pusat dan daerah.6 Berdasar permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah dan masyarakat, dapat terlihat pentingnya penelitian tentang kebijakan pengelolaan perumahan seperti yang dimaksudkan dalam disertasi ini. Studi tentang inovasi dalam kebijakan telah dilakukan dalam konteks negara maju, seperti studi inovasi dalam kebijakan oleh Osborne & Gaebler (1995: 2) yang memperkenalkan konsep New Public Management (NPM) yang mendorong efektivitas dan efisiensi serta Denhardt & Denhardt (2003: 5) yang mengembangkan New Public Service (NPS) yang berusaha memunculkan semangat demokrasi, partisipasi, dan mementingkan kepentingan publik. Perubahan cara pandang untuk memperbaiki kualitas memiliki esensi bahwa inovasi dalam kebijakan diperlukan agar kebijakan memiliki kemampuan membawa perubahan ke arah yang diharapkan secara cepat, merata, efektif dan efisien, dan menjawab permasalahan yang dihadapi. Eksplorasi inovasi pada kebijakan dalam konteks negara maju telah mulai banyak dilakukan di negara-negara berkembang yang sedang mengalami masa transisi desentralisasi. Indonesia adalah salah satu dari negara tersebut. Karena itulah, kajian tentang inovasi dalam kebijakan di Indonesia seperti yang dimaksudkan dalam penelitian ini perlu dilakukan.
1.2.
Pertanyaan Penelitian Inisiasi desentralisasi kebijakan perumahan telah dilakukan dalam skala kecil dan
pemerintah kabupaten/kota telah melakukan langkah-langkah seefektif mungkin dalam hal produk kebijakan perumahannya. Akan tetapi, permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah di Indonesia terhadap krisis papan masih belum dapat diselesaikan 6
Hasil observasi diskusi terarah pada Rapat Koordinasi Kegiatan Dekonsentrasi Kemenpera, Agustus 2011
7
sampai saat ini. Berdasar latar belakang yang telah disampaikan, pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimanakah bentuk inovasi pemerintah daerah dalam kebijakan perumahan di era desentralisasi? 2. Apa determinan pemicu terjadinya inovasi pemerintah daerah dalam kebijakan perumahan di era desentralisasi?
1.3.
Keaslian Penelitian Penelitian mengenai kebijakan perumahan di Indonesia sangat minim ditemukan
dalam jurnal dan tulisan ilmiah7. Penelitian tentang kebijakan perumahan di Indonesia belum banyak dilakukan, akumulasi data lapangan masih minim, dan pengetahuan para penentu kebijakan pun belum mencukupi untuk menjadi orang kunci8. Penelitian tentang inovasi dalam kebijakan perumahan dilakukan oleh Barbara Wake Carrol dan Ruth J.E. Jones pada tahun 2000 tentang the road to innovation, convergence or inertia: devolution in housing policy in Canada. Penelitian ini membahas tentang kebijakan perumahan di Canada mulai tahun 1945. Tulisan ini menghasilkan penelitian mengenai perubahan kebijakan, inovasi, konvergenitas, pembelajaran kebijakan, dan warisan kebijakan dalam menggambarkan fase-fase yang terjadi dalam perubahan kebijakan perumahan Pemerintah Canada. Penelitian tentang kebijakan perumahan dilakukan oleh Siregar (2006) mengenai Identifying Policy Networks in the Development of Indonesian Housing Policy. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah bahwa penelitian ini lebih pada analisis kebijakan yang terjadi dalam kurun waktu 2007 – 2012 sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Siregar pada tahun 2005. Perbedaan lain adalah bahwa penelitian 7 8
Hasil wawancara pakar perumahan, Desember 2011 Hasil wawancara dengan Kepala Biro Perencanaan Kemenpera, Februari 2012.
8
ini
adalah
mengenai
desentralisasi
kebijakan
perumahan
sedangkan
Siregar
mengidentifikasi jejaring kebijakan dalam pengembangan perumahan yang merupakan sebagian dari penelitian ini. Penelitian tentang kebijakan pemerintah tentang perumahan telah dilakukan oleh beberapa peneliti akan tetapi penelitian seperti penelitian ini belum pernah dilakukan.Tentang masalah keterjangkauan perumahan masyarakat miskin juga diteliti oleh Park Miseon (2010). Dalam tulisannya tentang Housing Choice Voucher Program, Miseon menunjukkan keefektivan suatu kebijakan perumahan dalam pemberian subsidi yang bertujuan mengurangi kemiskinan dan segregasi ras dalam bentuk voucher. Penelitian oleh Im Gon Cho (1997) tentang keterjangkauan perumahan bagi masyarakat imigran miskin di daerah suburban-urban di Amerika Serikat. Dengan metode kuantitatif, Cho berpendapat bahwa adanya sistem pemerintahan yang terintegrasi (unifikasi) antara daerah suburban dan urban, para imigran tetap tidak terkurangi standar pelayanannya. Penelitian yang sama dengan Cho juga dilakukan oleh William Bernard Brueggeman (1970) dalam bukunya berjudul The Impact of Private Construction and Government Housing Programs in A Local Housing Market. Dengan mengambil lokasi di Colombus, Ohio AS tahun 1968-1969, penelitian tersebut memberikan teori tentang tingkat subsidi paling efektif yang diberikan untuk warga miskin yang membangun rumah sesuai dengan harga pasar rumah di daerah tersebut. Meskipun penelitian ini juga mempertimbangkan keterjangkauan masyarakat miskin dan tingkat subsidi yang paling efektif untuk perumahan, penelitian ini berbeda dengan penelitian Boate, Cho dan Brueggeman. Perbedaannya adalah pada tahap kebijakan yang dianalisis, penelitian Boate, Cho dan Brueggeman adalah pada tahap evaluasi kebijakan atau dampak kebijakan dari salah satu program di Amerika Serikat sedangkan penelitian ini
9
merupakan pada tahap formulasi kebijakan. Selain itu, kedua penelitian berbeda pada lokasi penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Eko Budiardjo (1987) adalah juga mengenai perumahan untuk homeless di Semarang dengan fokus pada penyediaan perumahan bagi warga miskin kota. Studi kasus yang diangkat dalam penelitian tersebut adalah Yayasan Sosial Sugiyapranata (YSS) dan kota Semarang. Penelitian oleh Eko Budiardjo adalah pada tahap evaluasi kebijakan, berbeda dengan penelitian ini. Masa dilakukannya penelitian Budiardjo pun tidak pada masa otonomi daerah sehingga konteks dan tantangan yang dihadapi pun berbeda dengan penelitian ini. Penelitian kebijakan perumahan di Indonesia dengan konteks yang beda banyak dilakukan oleh peneliti lain James L. Cobaan (1993) tentang Government Housing Policy in Indonesia 1900-1940 dengan fokus kebijakan perumahan oleh pemerintah di daerah jajahandengan fokus pada tahap evaluasi implementasi kebijakan. Penelitian Cobaan berusaha untuk mengatasi persoalan perumahan sebagai isu urban di Indonesia mulai mengemuka ketika memasuki abad 20, ketika pertumbuhan makin meningkat terutama antara warga Eropa sebagai penjajah dan penduduk lokal sebagai warga jajahan. Penelitian ini berbeda pada masa kebijakan yang dianalisis yaitu penelitian Cobaan pada tahun 1900 – 1940, sedangkan penelitian ini pada masa otonomi daerah di Indonesia yaitu pada tahun 2008–2012. Pada tingkat kebijakannya, penelitian Cobaan pada pemerintah pusat sedangkan penelitian ini pada pemerintah daerah. Penelitian mengenai penyediaan tanah untuk pembangunan rumah susun sederhana di Surakarta juga dilakukan oleh Nur Hayati dan Sudjito (2004) yang fokus penelitiannya pada proses formulasi kebijakan pemerintah daerah. Walau lokasi studi kasusnya adalah Surakarta yang juga salah satu lokasi yang dipilih dalam penelitian ini, penelitian Nur Hayati dan Sudjito berfokus pada era pembagian wewenang pemerintah
10
pusat dan daerah yang pada saat itu belum ada PP 38 tahun 2007 tentang pembagian wewenang pusat dan daerah. Dengan demikian penelitian mereka berbeda dengan penelitian disertasi ini. Salah satu penelitian terkait formulasi kebijakan perumahan yaitu penelitian Jim Schuyt (1994) dengan judul Housing Experiments in the Netherlands: Policy and Practice
yang
meneliti
tentang
pengambilan
kebijakan
dengan
eksperimen
pembentukan The Steering Committee for Experiments in Housing (SEV). Tugas lembaga adalah menginisiasi pembiayaan secara profesional melalui advokasi perumahan kepada lembaga terkait dan memberi dukungan terhadap eksperimen pemberlakuan program perumahan di Belanda dengan fokus pada transfer ilmu pengetahuan pada inovasi program perumahan di Belanda. Penelitian Schuyt berbeda dengan penelitian ini baik dari segi lokasi maupun intervensi dan usaha yang dilakukan terhadap bidang amatan. Penelitian tentang kebijakan perumahan juga dilakukan oleh Ismet S. Hasan (1998) tentang kebijakan perumahan dengan studi kasus rumah susun di DKI Jakarta. Meskipun penelitian tersebut mengenai kebijakan perumahan, penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini. Perbedaan dengan penelitian ini selain pada lokasi penelitian,
penelitian
Hasan
mengkaji
kebijakan
pemerintah
pusat
yang
diimplementasikan di daerah sedangkan penelitian ini mengkaji formulasi dan implementasi kebijakan oleh pemerintah daerah. Penelitian terkait dengan desentralisasi dan kinerja pelayanan publik juga dilakukan oleh Ambar Widaningrum (2008) mengenai desentralisasi dan dinamika kinerja pelayanan kesehatan. Penelitian ini menganalisis respons kebijakan, kapasitas daerah, dan kinerja sektor kesehatan yang tidak terlepas dari kelembagaan dan kapasitas aktor yang teribat. Walau penelitiannya berfokus pada studi kasus kesehatan, penelitian
11
kebijakan ini mempunyai kesamaan dengan peningkatan kinerja pelayanan publik dengan meneliti respon kebijakan terhadap pelaksanaan desentralisasi dalam sektor kesehatan. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Mohammad Thahir Hening (2011), penelitian Hening dengan tema peran redesain organisasi dalam meningkatkan kinerja pelayanan investasi di kota Makassar. Penelitian Hening mempunyai kesamaan dalam kebijakan yang dilakukan terkait dengan organisasi layanan publik namun masih berbeda lokasi dan jenis layanan publik yang diberikan. Marja C. Hoek-Smit pada tahun 2001 meneliti tentang kebijakan dan strategi kebijakan perumahan di Indonesia. Penelitian tersebut merupakan masukan teknis bagi Pemerintah Indonesia yang fokus pada pembiayaan perumahan dan pengaturan kelembagaan perumahan di tingkat nasional. Penelitian tersebut memberikan kontribusi pada strategi kebijakan perumahan pemerintah Indonesia, rancangan peningkatan kualitas pasar perumahan, sistem pembiayaan perumahan, program bantuan teknis bidang perumahan yang efektif dan kelembagaan pemerintah bidang perumahan yang efisien. Penelitian tersebut memberikan kontribusi besar pada penelitian ini terutama dalam memberikan penjelasan tentang strategi perumahan nasional khususnya dalam policy-shaping pemerintah pusat. Pada tahun 2005, Hoek-Smit kembali melakukan penelitian bekerjasama dengan Kementerian Negara Perumahan Rakyat dalam rangka merumuskan kebijakan menggerakkan pasar perumahan di Indonesia dalam proyek HOMI (Housing Market in Indonesia) yang berjudul The Housing Finance Sector in Indonesia. Pada tahun 1999, Jan Van Weesep meneliti tentang Housing Policy: The Link between Welfare and Economic Development. Penelitian tersebut penting dalam penelitian disertasi ini khususnya yang menyangkut hubungan antara kebijakan perumahan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
12
Meskipun berkaitan dengan tingkat kemampuan aksesibilitas masyarakat dengan kebijakan perumahan, ketiga penelitan tersebut diatas berbeda dengan penelitian ini. Terkait tentang kebijakan perumahan, Michael Mintrom dari Universitas Michigan melakukan penelitiannya terhadap aktor kebijakan di Amerika Serikat pada 1997. Penelitian tersebut memberikan pandangan mengenai proses inovasi dalam kebijakan dan difusi inovasi. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan erat antara kekuatan SDM atau aktor pengambil kebijakan dengan efektivitas kebijakan tersebut dengan cara memperkuat peningkatan kualitas SDM sebagai aktor pemicu adanya inovasi dalam kebijakan. Meskipun penelitian dalam disertasi ini juga menyangkut masalah kebijakan perumahan, penelitian keduanya berbeda. Dalam disertasi ini, aktor juga diteliti dalam keterikatannya dengan formulasi dan implementasi kebijakan pemerintah daerah tetapi faktor-faktor lain yang memberi kontribusi terhadap kebijakan juga diteliti. Tentang inovasi dalam kebijakan perumahan dibuat oleh Peter A. Dunn dalam penelitiannya yang berjudul Government Policy Innovations and Trends in Barrier-Free Housing, Accessible Transportation and Personal Support. Dunn (1997) juga mengkaji kebijakan yang menyangkut masalah kebijakan perumahan oleh pemerintah daerah seperti yang dimaksudkan dalam penelitian ini. Akan tetapi dalam beberapa hal penelitian tersebut berbeda dengan yang dimaksudkan dalam penelitian ini. Disamping penelitian tersebut mengambil kasus di Kanada, penelitian ini mengambil kasus di negara berkembang. Disamping itu, penelitian Dunn (1997) tersebut mengkhususkan pada aksesibilitas perumahan bagi penyandang cacat terkait dengan transportasi dan fasilitas pendukungnya. Penelitan yang memberikan kontribusi besar dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Corianne Payton Scally dalam disertasinya di tahun
13
2007 berjudul States, Housing and Innovation: The Role of State Housing Finance Agencies. Disertasi tersebut meneliti tentang peran lembaga pembiayaan perumahan pemerintah negara bagian di Amerika. Penelitian ini menjelaskan proses bagaimana peran besar Housing Finance Agencies dalam implementasi kebijakan pembiayaan perumahan. Peran tersebut adalah sebagai lembaga peminjam, administrator dan redeveloper untuk mewujudkan pembiayaan perumahan yang terjangkau. Penelitian ini memberikan kontribusi dalam meneliti bagaimana determinan-determinan pada lingkungan organisasi HFA ini penting dalam mempengaruhi lembaga terkait dalam memotivasi (memicu) inovasi. Lembaga ini selain mengkoordinir para peneliti bidang perumahan dan perencana kawasan permukiman, juga mengkoordinir beberapa lembaga pemerintah, pendidik, pengambil kebijakan, dan organisasi nirlaba (non profit) pada bidang ini. Faktor-faktor tersebut adalah persepsi publik terhadap krisis perumahan, konteks kebijakan pemerintah bagian, political leadership, kelompok pemerhati, sumber daya, struktur organisasi, perilaku staf dan rentensi, dan hubungan dengan tingkat nasional. Selain lokasi penelitian berbeda, penelitian yang berfokus pada negara maju tentunya sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia khususnya dalam keterjangkauan pembiayaan perumahan seperti yang dimaksudkan dalam penelitian ini. Penelitian tentang hal yang sama juga dilakukan oleh Corianne Payton Scallybersama dengan Victoria Bassolo (2008) tentang State Innovation in Affordable Housing Policy. Penelitian tersebut sama dengan penelitian dalam disertasi ini karena keduanya menyangkut kebijakan pemerintah daerah. Keduanya juga menyangkut permasalahan keterjangkauan dan aktor pengambil kebijakan. Perbedaan dengan disertasi ini terletak pada lokus penelitian. Bassolo dan Scally mengambil kasus negara bagian, yang dalam struktur pemerintah Indonesia dikategorikan sebagai provinsi,
14
sedangkan penelitian ini dalam skala yang lebih kecil lagi, yaitu pemerintah kabupaten/kota, yang menurut struktur Amerika Serikat setingkat dengan regency. Perbedaan lokus penelitian ini mempengaruhi perbedaan pada metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, dapat dikatakan penelitian ini tidak sama dengan dengan penelitian Bassolo dan Scally. Penelitian ini menggunakan resensi buku “Politik Pembangunan Perumahan Rakyat di Era Reformasi” karya Zulfi Syarif Koto (2011). Pengalaman Koto selama menjadi birokrat dan pendiri lembaga non pemerintah menguatkan pemikiran-pemikiran kebijakan perumahan yang tertuang dalam buku ini. Buku ini membahas bagaimana formulasi kebijakan perumahan terjadi secara formal dan informal, kinerja pembangunan perumahan, bentuk kemitraan yang telah dilakukan, peran para pemangku kepentingan (stakeholders), dan ide-ide dalam desain politik pembangunan perumahan rakyat di masa depan.
1.4.
Tujuan Penelitian Berdasar permasalahan penelitaian diatas maka dirumuskan tujuan utama yang
ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu menghasilkan analisis mengenai inovasi dalam kebijakan perumahan pemerintah daerah di era desentralisasi. Tujuan utama ini diperinci dalam tiga tujuan spesifik, yaitu: 1) Mengidentifikasi bentuk inovasi dalam kebijakan perumahan yang dilakukan oleh pemerintah
daerah
dengan
mengetahui
upaya
pemerintah
daerah
dalam
melaksanakan desentralisasi 2) Menganalisis faktor-faktor pemicu terjadinya inovasi dalam kebijakan perumahan pemerintah daerah
15
1.5.
Kerangka Pemikiran Teoritis Sub bab ini berisi mengenai teori-teori yang terkait dengan penelitian mengenai
inovasi dalam kebijakan pemerintahan perumahan pemerintah daerah. Teori-teori terkait yang dibahas meliputi teori-teori dalam kebijakan publik dan inovasi dalam kebijakan, konsep perumahan, dan konsep desentralisasi. 1.5.1. Kebijakan Publik dan Inovasi dalam Kebijakan 1.5.1.1. Kebijakan Publik dan Perumusan Kebijakan Hampir setiap negara di dunia dihadapkan pada berbagai dilema dalam melakukan pelayanan publik. Di satu sisi, pemerintah dituntut untuk menjamin kesejahteraan setiap warga negara dan di sisi lain pemerintah menghadapi keterbatasan sumber dana. Jaminan kesejahteraan yang merupakan tanggung jawab pemerintah adalah jaminan kebutuhan dasar seperti pelayanan kesehatan, perumahan, transportasi, air minum, fasilitas sosial, pendidikan, dan lain-lain. Sumber daya negara yang mengalami
keterbatasan
tersebut
adalah
kapasitas
SDM,
kondisi
finansial,
organisasional, maupun sistem desentralisasi sangat terbatas untuk memenuhi dan menghadirkan kesejahteraan tersebut. Kebijakan publik menurut Jenkins (1978) adalah serangkaian keputusan yang saling terkait yang diambil oleh aktor politik atau kelompok aktor mengenai tujuan dan sarana untuk mencapai situasi khusus, yang pada prinsipnya, keputusan sebaiknya berada dalam kekuasaan para aktor tersebut. Berbeda dengan Thomas R. Dye (1995:2), kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan perubahan yang dihasilkan. Menurut Nugroho (2014:32), kebijakan publik adalah kebijakan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan – keputusan untuk mengatur kebutuhan publik untuk mencapai misi bangsa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan publik adalah keputusankeputusan untuk mengatur kebutuhan publik dalam tujuan dan sarana, dan usaha 16
bertujuan untuk perubahan dalam mencari solusi yang terbaik bagi publik di masa depan. Flynn (1990:38) menjelaskan bahwa suatu pelayanan publik yang dikelola pemerintah secara hierarki umumnya cenderung bercirikan terlalu birokratis, terlalu gemuk, boros, dan performanya kurang. Pergeseran peranan dan fungsi pemerintah daerah di Indonesia sesuai dengan berlakunya UU No 22 Tahun 1999 tentunya menuntut perbaikan pelayanan publik terutama di kawasan padat huni yang lebih berkualitas, karena keterlibatan masyarakat di kawasan padat huni yang bersifat lokalitas atas prakarsa sendiri sangat strategis dan menentukan kualitas pelayanan yang diterima. Meningkatkan kualitas pelayanan publik tentunya tidak mudah dilakukan. Selama ini, kualitas pelayanan publik cenderung ditentukan oleh pemerintah selaku representasi negara atau penyedia, bukan bersama-sama antara penyedia dengan pengguna, pelanggan, klien, atau warga negara. Jadi, peningkatan kualitas tersebut sangat tergantung pada peningkatan visi, misi, strategi, dan operasional pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahannya. Dalam konteks pemerintah daerah penyelenggaraan kegiatan tersebut, pada umumnya pemerintah daerah bekerja sama dengan pihak-pihak lain sehingga pada umumnya pelayanan publik juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti mekanisme pasar, tata kelola yang baik, dan kehidupan demokrasi masyarakatnya. Dengan demikian, pemerintah daerah dituntut untuk turut melaksanakan
pembangunan
secara
komprehensif,
mengembangkan
prinsip
demokratisasi, melibatkan pihak swasta, dan menerapkan manajemen publik yang berkualitas serta berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itulah pemerintahan yang efektif dibutuhkan dalam rangka menghasilkan berbagai kebijakan publik yang mampu mengakselerasi peran para pemangku kepentingan lain seperti
17
pihak-pihak dari sektor privat, para pelaku usaha, dan organisasi masyarakat sipil dalam pengelolaan urusan-urusan publik. Istilah kebijakan publik memiliki makna yang sangat berbeda dengan pengambilan keputusan maupun kebijakan individu dalam kehidupan sehari-hari. Pengambilan keputusan dan kebijakan sehari hari pada kenyataannya merujuk pada serangkaian alternatif yang siap dipilih berdasarkan prinsip-prinsip tertentu sedangkan kebijakan publik lebih mengarah pada suatu keputusan yang memperbolehkan hal-hal yang dilarang berdasarkan alasan-alasan tertentu seperti pertimbangan kemanusiaan, keadaan gawat, dan lain sebagainya (Keban, 2004:55). Sebagai suatu produk, kebijakan publik selalu dipandang sebagai serangkaian kesimpulan sedangkan rekomendasi dianggap sebagai suatu proses. “Sebagai suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses tawar-menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasi” (Keban, 2004:55). Menurut Nugroho (2004:161), kebijakan pada prinsipnya adalah melakukan berbagai tindakan intervensi. Suatu kebijakan publik akan tidak bermakna apa pun jika tidak ada implementasi kebijakan yang bersifat baik. Implementasi kebijakan publik merupakan aspek penting dalam menelaah suatu proses kebijakan secara menyeluruh. Jadi, dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan alat ukur dalam menguji tindakan sebuah kebijakan di lapangan. Menurut Nugroho (2004:158), “implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar kebijakan dapat mencapai tujuannya.” Di sisi lain, Donald Van Meter dan Carl Van Horn menawarkan suatu model dasar yang mempunyai enam variabel yang membentuk ikatan antara kebijakan dan pencapaian. Model ini, seperti diungkapkan oleh Van Meter dan Van Horn, tidak hanya menentukan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat mengenai kepentingan-kepentingan, tetapi juga menjelaskan hubungan antara variabel bebas.
18
Menurut analisis Winarno (2004:109-110),
Van Meter dan Van Horn
mengajukan enam faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik yaitu, pertama, ukuran dasar dan tujuan kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini digunakan untuk menilai sejauh mana ukuran dasar dan tujuan kebijakan yang telah direalisasikan. Kedua adalah sumber-sumber kebijakan karena sumber-sumber kebijakan menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau stimulan lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif. Faktor ketiga yang menjadi indikator keberhasilan kebijakan publik adalah komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan karena implementasi akan berjalan efektif bila ukuran dan tujuan dipahami oleh individu-individu yang bertanggung jawab dalam pencapaian kebijakan. Dengan demikian, sangat penting untuk memberikan perhatian yang besar kepada kejelasan ukuran dasar dan tujuan implementasi. Faktor keempat adalah karakteristik badan-badan pelaksana. Karakteristik pembagian kerja yang merata, adanya formalisasi yang tinggi, dan adanya jenjang karier bagi para pegawai mempengaruhi keefektifan kinerja organisasi. Faktor berikutnya, yaitu faktor kelima, adalah kondisi ekonomi, sosial, dan politik. Kondisi yang dimaksud adalah kondisi yang berlangsung dalam suatu negara seperti gejolak sosial, ekonomi, dan politik yang secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap formulasi dan implementasi kebijakan baru. Faktor keenam adalah sikap dan perilaku pelaksana. Penerapan kebijakan akan berjalan efektif apabila orang yang menerapkan kebijakan memiliki sikap positif yang mendukung kebijakan tersebut secara penuh. Menurut teori New Public Value (Moore, 1995: 21; Moore & Khagram, 2004:76; O’Flynn, 2005:11; Alford & Hughes, 2008:132), kebijakan yang efektif dan efisien dilihat dari masukan, proses, hasil langsung, hasil tidak langsung, dan dampak.
19
Kebijakan publik yang efektif dan efisien merupakan produk kebijakan yang adaptatif dengan kondisi zaman sesuai dengan kebutuhan dan mementingkan pola jaringan antar level pemerintahan, lembaga, pemangku kepentingan, dan masyarakat, dan memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat. Keberhasilan dalam formulasi kebijakan pada otonomi daerah terletak pada keberhasilan dalam memilih alternatif-alternatif solusi yang menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan (Jones, 1970:22). Dalam sudut pandang perumusan kebijakan publik, menurut Jones (1970:1345), tahap memformulasikan kebijakan ini tidaklah sederhana karena suatu kebijakan yang gagal akan berpengaruh pada seluruh lingkar rangkaian kebijakan. Dalam kaitan dengan hal ini, terdapat lima hal yang harus diperhatikan. Pertama, formulasi kebijakan tidak dapat dibatasi aktornya. Artinya, tidak ada satu pun kelompok yang dapat memonopoli proses yang sedang berjalan. Kedua, memformulasikan kebijakan haruslah dilakukan dengan pendefinisian permasalahan dengan jelas karena sering kali proses formulasi harus dilaksanakan tanpa pendefinisian masalah yang jelas sehingga para aktor harus meraba-raba sendiri alternatif yang sesuai. Kejelasan masalah ini sangat menentukan pilihan alternatif-alternatif kebijakan yang akan diambil. Ketiga, proses formulasi sering kali dilakukan dalam jangka waktu yang lama karena penelitianpenelitian mengenai alternatif kebijakan mencakup hal yang kompleks yang sering tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu harian, mingguan, atau bulanan. Sering kali, panjangnya proses formulasi ini dipandang sebagai bentuk ketidakefisiensian tahapan formulasi, khususnya yang terjadi secara praktis di era desentralisasi. Namun, ada pandangan lain yang mengatakan bahwa efisiensi dan efektivitas kebijakan tidak ada kaitannya dengan panjangnya proses formulasi kebijakan tersebut. Keempat, formulasi kebijakan bukanlah hal yang netral karena kepentingan kelompok sering diatasnamakan kepentingan publik. Proses formulasi kebijakan bukanlah monopoli sekelompok orang,
20
seperti orang-orang yang duduk di pemerintahan saja. Tahapan formulasi adalah konstelasi politik yang memungkinkan setiap aktor berkompetisi untuk memenangkan kepentingannya atas nama publik. Kelima, formulasi kebijakan tidak pernah mencapai titik sempurna karena pasti terdapat bagian yang hilang atau tidak dapat dilaksanakan karena keterbatasan sumber daya, fasilitas maupun kapasitas perumus, pelaksana, dan calon penerima kebijakannya. Aktor-aktor dalam formulasi kebijakan secara sederhana dapat dibagi ke dalam dua kelompok (Jones, 1970:76; Parsons, 2005:54; Dwiyanto, 2002:22). Kelompok pertama adalah aktor-aktor orang dalam yang terdiri dari para birokrat dan pejabat publik sedangkan kelompok kedua adalah aktor-aktor yang berada di luar lingkaran pemerintah seperti pebisnis, lembaga swadaya masyarakat, asosiasi, media, dan lain sebagainya. Kelompok pertama mempunyai kewenangan mengambil keputusan sehingga mereka menentukan proses formulasi kebijakan yang sedang berjalan sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang berkepentingan atas kebijakan yang memasukkan kepentingan mereka dalam proses formulasi dan seluruh tahapan kebijakan. Aktor-aktor tersebut, baik dalam kelompok pertama maupun kedua, selama mempunyai kepentingan atas kebijakan akan saling mempertahankan kepentingannya dengan mengatasnamakan untuk kepentingan publik sehingga pihak yang memegang kendali juga menjadi pengendali terhadap aktor lain yang berpengaruh terhadap kebijakan ini. Proses formulasi kebijakan dapat dibedakan menjadi tiga tipe. Pertama, proses formulasi yang dilakukan dengan mengulang kebijakan sebelumnya. Proses formulasi ini bersifat pengulangan saja karena sudah digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sama di periode sebelumnya, dan akan terus digunakan untuk menyelesaikan masalah yang serupa. Kedua, proses formulasi yang mengadopsi pola yang sama untuk
21
menyelesaikan masalah serupa di lain wilayah dengan terlebih dahulu dilakukan penyesuaian dengan kondisi wilayah setempat. Tipe formulasi kebijakan yang ketiga adalah proses formulasi yang sama sekali baru. Formulasi ini hadir sebagai alternatif solusi yang pertama dicobakan untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Proses formulasi bukanlah sekadar usaha mengurai masalah dalam rangka mencari alternatif solusi melainkan suatu proses yang membutuhkan kecermatan dalam mendefinisikan masalah, mencari alternatif solusi, dan memahami konteks dan kapasitas masyarakat yang akan menerima implementasi kebijakan. Kesalahan dalam proses formulasi kebijakan akan mengakibatkan gagalnya pemecahan masalah dengan baik meskipun proses tersebut telah mencari solusi pemecahan masalah. Oleh karena itu, aktor formulasi kebijakan harus mengelola organisasinya dengan baik dengan meningkatkan kapasitas awak birokrasi, pemangku kebijakan, media, dan pebisnis. Hal ini bertujuan agar formulasi tidak dibentuk untuk kepentingan tertentu selain kepentingan publik dan alternatif solusi dari permasalahan dapat diandalkan dan dapat menyelesaikan masalah dengan menggunakan sumber daya yang ada dan cocok dengan kewilayahan pengguna kebijakan (Keban, 2004; Komariah & Triatna, 2005). Dalam menghasilkan kebijakan publik yang efektif, berbagai gagasan tentang strategi diformulasikan. Salah satu teori dalam kebijakan publik adalah teori yang dikemukakan oleh Robert dan King (1996:35-46) yang pada dasarnya mengajukan pendapat bahwa suatu gagasan tidaklah dapat diandalkan apabila tidak mendapat kepercayaan dan dukungan dari para pemangku, pelaku, objek kebijakan, dan tidak sesuai dengan kapasitas sumber daya yang tersedia. Oleh karena itu, sebuah gagasan harus dirancang secara matang agar dapat diimplementasikan sehingga menjadi kebijakan yang inovatif yang membawa dampak yang signifikan. Perubahan dari gagasan
menjadi
sebuah
kebijakan
terjadi
melalui
empat
tahapan
yang
22
berkesinambungan. Karena sifatnya yang berkesinambungan, kebijakan haruslah dijalankan sebaik mungkin agar efektif dan efisien (Peltz & Munson, 1982: 231; Poole & van de ven, 1989: 367). Patton dan Sawicki (1986:2), dengan menggunakan model rasional dalam menjelaskan siklus kebijakan, menjelaskan bahwa formulasi kebijakan terdiri dari enam tahap yaitu: (1) merincikan permasalahan kebijakan, (2) mengevaluasi kriteria, (3) mengidentifikasi alternatif kebijakan, (4) mengevaluasi alternatif kebijakan, (5) memilih kebijakan yang paling sesuai, kemudian yang terakhir (6) melaksanakan kebijakan yang terpilih. Ketika lembaga eksekutif dinyatakan sebagai pihak yang berperan atas proses implementasi kebijakan, terjadilah dikotomi yang saling bertentangan antara politik dengan administrasi dalam fungsi pemerintah mengingat peran lembaga eksekutif dilaksanakan ketika proses politik pembuatan kebijakan telah selesai dilakukan. Dikotomi politik-administrasi ini dalam perkembangan fokus dan lokus administrasi negara menjadi sesuatu yang kurang relevan karena permasalahan dan kepentingan publik senantiasa memerlukan peranan legislasi dari lembaga eksekutif dalam pengagendaan masalah, formulasi kebijakan, implementasi, dan evaluasi. Fungsi lembaga legislatif ini dilaksanakan secara bersamaan dengan fungsi lembaga eksekutif dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bentuk penyediaan pelayanan publik. Adanya wacana bahwa lokus administrasi negara terdiri dari masalah publik dan kepentingan publik, maka fungsi pemerintah yang dilaksanakan oleh organ eksekutif dan legislatif adalah menentukan pemecahan masalah dan memenuhi kebutuhan publik melalui proses penyelenggaraan pelayanan. Dalam fungsi penyelenggaraan barang publik melalui proses pelayanan publik, menurut Hudiyanto (2004: 14), masalah yang klasik dihadapi pemerintah adalah keputusan untuk menentukan kuantitas barang publik, kualitas barang publik, dan kelompok sasaran (penerima manfaat).
23
Secara makro, relasi eksekutif-legislatif merupakan representasi bentuk pemerintah. Kegiatan pemerintah di bidang proses pembuatan kebijakan hanya dapat terbentuk ketika eksekutif-legislatif membentuk rangkaian kesepakatan pengagendaan masalah publik dalam agenda pemerintah (Tsebillis, 2002: 67). Syarat terbentuknya rangkaian antara eksekutif dan legislatif dalam proses pembentukan kebijakan publik menunjukkan bahwa secara struktural, lembaga eksekutif dan legislatif memiliki relasi horizontal atau seimbang. Relasi vertikal yang terbentuk antara posisi pemerintah pusat dan pemerintah daerah karena pemerintah pusat secara struktural vertikal memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding pemerintah daerah. Gambar 1.1 Relasi Eksekutif-Legislatif
Sumber: Tsebellis (2002 :67)
Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah hubungan secara menyeluruh antara setiap satuan unit pemerintahan di tingkat pusat dengan unit-unit pemerintahan daerah (Kansil dan Kansil, 2008: 129). Kondisi struktural vertikal dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tetap berlangsung meskipun telah ada regulasi yang mengatur posisi otonom pemerintah daerah melalui proses desentralisasi. Hal ini dapat dilihat dalam bagan berikut. Menurut Keban (2008: 133), konsepsi birokrasi yang ideal Weber struktur organisasi pemerintah diidentifikasi dengan karakteristik: (1) hierarki otoritas yang
24
memiliki hubungan atas bawah dan rantai komando, (2) pembagian tugas pekerjaan yang jelas berdasarkan kompetensi dan spesialisasi fungsional, (3) adanya sistem aturan, regulasi, dan prosedur, (4) adanya suatu aturan hukum yang tidak mengenal hubungan pribadi, (5) adanya sistem prosedur kerja yang menggunakan standarisasi metode, (6) adanya seleksi dan promosi pegawai berdasarkan kompetensi manajerial dan teknis, dan (7) otoritas dan kekuasaan hanya berlaku di kantor atau tempat kerja, di mana posisi dan jabatan bukan milik individu yang bersangkutan melainkan institusi yang mempekerjakannya. Konsepsi birokrasi ideal Weber tersebut menuai banyak kritik karena menimbulkan kecenderungan pembentukan struktur organisasi yang kaku dan memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan pemimpin terhadap bawahan. Dalam perkembangan wacana tentang struktur organisasi, dikenal teori yang disebut dengan Parkinson Law atau raising pyramid yang menjadi penyakit dalam penataan struktur kelembagaan pemerintahan. Patologi Parkinson law (Evers dan Schiel, 1900: 228) diindikasikan dengan pengumuman struktur organisasi yang disebabkan ketidakseimbangan antara kuantitas aparat pelaksana tugas pemerintahan dengan beban kerja yang dibebankan. Meskipun dalam berbagai literatur sering disebutkan bahwa kepentingan politis pemerintah yang lebih menonjol dibandingan dengan kepentingan manajerial sebagai faktor utama yang melatarbelakangi munculnya parkinson law, pada kenyataannya dalam implementasi otonomi daerah, ketika terjadi pelimpahan tugas dan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, secara otomatis penambahan beban kerja tersebut akan diikuti dengan penambahan organ struktur pemerintahan. Dalam proses perumusan kebijakan, legitimasi menjadi proses akhir. Melalui tahapan legitimasi tersebut, kebijakan publik memiliki kekuatan hukum sehingga
25
bersifat formal dan mengikat. Nugroho (2008: 62) menjelaskan kronologi pembentukan kebijakan publik yang terlegitimasi dan berkekuatan hukum adalah hasil akhir dari tahapan proses politik, proses kebijakan, dan proses pembentukan hukum. Tahapan tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut. Gambar 1. 2. Keterkaitan Kebijakan Publik dan Hukum
Sumber: Nugroho (2012 : 62)
Berdasar gambar di atas, dapat dilihat bahwa proses politik merupakan tahapan kesepakatan politik untuk mengagendakan suatu masalah dalam agenda latar kebijakan. Proses politik ini selalu mengawali rencana perumusan kebijakan publik mengingat kebijakan publik tidaklah sekadar sebagai suatu produk teknokratis, melainkan juga produk politik. Selanjutnya, proses kebijakan lebih cenderung bersifat teknokratis karena pada tahapan ini, secara umum penentuan alternatif keputusan dan kebijakan ditentukan dengan sangat metodologis. Pasca proses kebijakan, dilakukanlah tahapan proses pembentukan hukum yang bercirikan adanya pengakuan legitimasi secara internal terhadap kebijakan. Proses pembentukan hukum dapat dipahami sebagai upaya awal dalam formalisasi kebijakan publik sebelum kebijakan publik tersebut memasuki tahapan kebijakan publik sebagai hukum.
26
1.5.1.2. Inovasi dan Difusi Inovasi Kotsemir dan Abroskin (2013 : 8) membedakan antara inovasi dan invensi. Mereka merangkum aspek inovasi sebagai berikut: 1) inovasi sebagai sesuatu yang baru 2) inovasi sebagai proses melakukan penciptaan sesuatu yang baru 3) inovasi sebagai instrumen dalam melakukan penciptaan sesuatu yang baru 4) inovasi sebagai kondisi atau lingkungan dalam menciptakan sesuatu yang baru 5) inovasi sebagai gagasan atau konsep sesuatu yang baru 6) inovasi sebagai kemampuan manusia untuk melakukan sesuatu yang baru 7) inovasi sebagai sebuah proses perubahan. Jadi, inovasi berbeda dengan invensi karena inovasi ditekankan pada proses penerapan inovasi. Hal ini sama dengan yang dikatakan oleh Robertson (1967:14-19) bahwa inovasi adalah proses yang dengan proses tersebut suatu gagasan, perilaku, atau hal yang baru atau yang berbeda dengan bentuk yang ada diterapkan atau dipraktikkan. Mengambil dari konsep yang ditawarkan oleh Cooper (1998: 1) dan Gopala dan Damanpour (1997: 224), Kotsemir dan Abroskin menggarisbawahi bahwa inovasi adalah suatu proses yang mendorong adanya perubahan. Menurut Joseph Schumpeter (1942), inovasi merupakan suatu cara baru melalui penghancuran kreatif (creative destruction). Dekonstruksi kreatif dalam hal ini para aktor meninggalkan kebijakan yang lama dengan menghancurkan gagasan atau cara lama tersebut terlebih dahulu lalu membuat yang baru. Penelitian Schumpeter kemudian dikembangkan pada awal abad 20 yang menjelaskan menghasilkan pemikiran bahwa inovasi merupakan pendorong pembangunan sosial dan ekonomi dengan menekankan pada kekuatan dalam berkreasi
27
dan proses penghancuran9. Mark Dodgson (2008) menjelaskan inovasi menjadi kreasi gagasan baru dalam kebijakan sebagai produk yang termasuk implementasi melalui pendekatan ilmiah, teknologi, politik, sosial, organisasi dan aktivitas ekonomi. Meskipun Kotsemir, Abroskin, Robertson, Schumpeter, dan Dodgson berasal dari disiplin ekonomi, konsep tentang inovasi dapat dijadikan acuan penelitian ini. Teori inovasi dalam kebijakan publik dalam penelitian ini menyangkut dua jenis, yaitu teori inovasi organisasi dan inovasi dalam kebijakan pemerintah. Berdasarkan jenis tingkatannya, inovasi organisasi terdiri atas empat tipe, yakni: (1) tipe inovasi organisasi, (2) tipe organisasi, (3) lingkup inovasi, dan (4) tingkat keinovasian pada prosesnya. Hal ini merupakan perpaduan antara ilmu administrasi publik, bisnis, sosiologi, ilmu sosial, dan ilmu terkait lainnya (Kimberly dan Evanisko, 1981: 45; Rogers, 1995: 20). Dalam literatur-literatur tersebut, organisasi dijelaskan sebagai wujud sosial yang memiliki tujuan dan sistem prosedur dengan batasan tertentu. Dengan kata lain, organisasi merupakan sekumpulan orang yang bekerja bersama-sama dengan struktur tertentu dan sistemnya. Dalam tataran praktis, ketika dihadapkan pada kesulitan untuk melaksanakan proses pelayanan publik dengan baik, strategi pemecahan masalah tersebut dapat dimaknai sebagai inovasi. Walker (1969: 112), misalnya, mendeskripsikan inovasi sebagai sebuah program atau kebijakan baru yang diterapkan oleh sebuah negara. Inovasi adalah satu bentuk pendekatan yang membedakan negara tradisional dan negara modern, khususnya dalam hal pengelolaan sumber daya. Selanjutnya, kata “inovasi” dijelaskan dengan konsep perubahan dalam bernegara dari kondisi satu ke kondisi yang lain yang ditujukan untuk berkontribusi dalam peningkatan keefektifan dari organisasi yang mengadopsi (Damanpour, 1991: 556). Inovasi dilakukan untuk mengisi 9
Marchionini G, Rimer BK, Wildemuth B. Evidence base for personal health record usability: final report to the National Cancer Institute. Chapel Hill, NC: University of North Carolina, 2007
28
kesenjangan dalam organisasi untuk mencapai tujuan dan memenuhi tuntutan atau mengalahkan kompetisi antar organisasi sejenisnya (Zaltman, Duncan, dan Holbek, 1973: 4). Beberapa teori mengatakan bahwa inovasi adalah penemuan yang pertama kali dengan ide baru; adopsi setelahnya merupakan imitasi (Mansfield, 1963: 122; Pierce dan Delbecq, 1977: 3). Teori lain yang bertentangan yaitu inovasi merupakan tingkatan dalam proses dari inisiasi, adopsi, dan implementasi inisiasi tersebut. Dalam inisiasi tiap sektor, mengadopsi penemuan yang nontradisional apakah ditemukan di luar organisasi ataupun di dalam organisasi tersebut (Mohr, 1969: 113). Beberapa pakar organisasi meyakini bahwa ketika konsep organisasi dimaknai sebagai seperangkat sistem unit kerja, inovasi organisasi tersebut seharusnya akan muncul melalui hubungan relasional antar tiap-tiap unit dalam organisasi tersebut. Sebagai satu kesatuan organisasi, pemerintah mengenal adanya berbagai hubungan kerja formal antara unit satu dengan unit yang lain (Kansil dan Kansil, 2005: 126). Inovasi dalam kebijakan publik sangat terkait dengan inovasi organisasi karena yang dibentuk melalui kesatuan unit-unit formal organisasi kebijakan publik terbentuk setelah organisasi terbentuk. Diskursus mengenai inovasi organisasi menjadi sangat modern dan berkaitan erat dengan kemampuan penyesuaian diri organisasi terhadap berbagai perubahan lingkungan, khususnya lingkungan eksternal. Pandangan Robbin (1997:245) tentang pentingnya organisasi memiliki kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan melalui inovasi organisasi telah menunjukkan bahwa inovasi organisasi memiliki peran yang sangat mendesak dalam memastikan dinamika perkembangan organisasi. Inovasi organisasi menjadi langkah awal untuk memastikan pergerakan arah perkembangan organisasi telah sesuai dan berbanding lurus dengan dinamika perkembangan lingkungan sosial, ekonomi, politik, maupun budaya.
29
Inovasi dalam kebijakan tidak akan berarti apa-apa jika tidak mampu diterapkan dengan baik. Desain inovasi yang telah ada dan diprediksi mampu menjawab kebutuhan masyarakat tidak akan dianggap berhasil jika masyarakat sebagai penerima dampak tidak mau mengadaptasi karena tidak yakin dengan keampuhannya (Robinson, 2009: 41). Oleh karena itu, dalam proses formulasi kebijakan, sangat penting untuk memberikan jaminan bahwa desain dapat diadopsi dengan baik oleh penerima dampak kebijakan atau kelompok sasaran atau dalam penelitian ini adalah MBR. Tujuannya adalah agar inovasi tidak berhenti sebagai desain semata karena tidak dapat diadaptasi dan tercampur dengan baik, karena inovasi dinyatakan gagal atau berhasil jika telah diterapkan kepada penerima dampak sekaligus sebagai penilai kebijakan itu sendiri. Desain formulasi kebijakan harus ditujukan untuk menjawab persoalan utama penyelenggaraan perumahan jaminan akses agar tidak lagi muncul kebijakan yang salah sasaran. Desain ini juga harus mencakup proses difusi inovasi dalam kebijakan kepada masyarakat yang perlu diketahui dalam memahami terjadinya inovasi dalam kebijakan. Hal ini perlu agar penerima dampak merasa yakin bahwa kebijakan tersebut dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi, dan akan diterapkan dengan baik. Secara teoretis dipercaya bahwa inovasi dalam kebijakan yang paling ideal adalah inovasi yang terdifusi atau lebih lazim disebut difusi inovasi. Menurut Rogers (2003: 235), difusi inovasi adalah proses mengomunikasikan inovasi melalui berbagai cara dalam periode waktu tertentu kepada sebuah anggota kelompok sosial. Inovasi adalah ide yang akan diadaptasi oleh sekelompok masyarakat. Oleh karena itu, proses difusi ini tidaklah mudah dan dapat berlangsung dalam waktu yang singkat karena keberhasilan inovasi diukur dari seberapa banyak orang yang mengadaptasinya dan seberapa banyak pihak yang menjadikan inovasi tersebut sebagai metode menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Roger (2003: 235) mengemukakan
30
faktor-faktor yang dapat mendukung keberhasilan difusi inovasi. Menurutnya, terdapat empat faktor yang menjadi kunci keberhasilan difusi inovasi. Faktor-faktor tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Kesatuan elemen difusi inovasi tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut. Kelemahan teori ini adalah pada konteks kebijakan dan pada konteks Indonesia, belum terbukti apakah sesuai dan cukup untuk menjadi perangkat teori yang digunakan dalam penelitian ini. Terkait dengan kebijakan perumahan, belum ada yang menggunakan teori ini sehingga referensi pun menjadi terbatas. Gambar 1.3. Elemen Difusi Inovasi
(Produk) Inovasi
• • • •
Ide Desain Objek Program
Kondisi Sosial
Dimensi Waktu
•
(Model) Komunikasi
• •
Uji coba dalam kelompok terbatas Adaptasi kebijakan ke kelompok yang lebih luas Radical change
Sumber: Roger (2003 : 235)
Elemen difusi inovasi yang dijelaskan pada gambar di atas adalah tentang beberapa hal pokok. Pertama adalah produk inovasi yang akan dikembangkan, baik berupa ide, desain, objek maupun programnya. Sebuah program dapat dikatakan inovatif apabila program tersebut membawa keuntungan atau dapat menyelesaikan masalah, sedangkan ide yang inovatif haruslah kompatibel dengan situasi yang ada, dan dapat diukur tingkat keberhasilannya kepada penerima dampak—anggota kelompok sosial. Dalam kaitan ini, ide inovasi terlebih dahulu haruslah diamati dalam basis
31
masyarakat terbatas untuk melihat tingkat kompleksitasnya, risiko yang mungkin dihadapi sehingga muncul ukuran yang tepat apakah produk inovasi dapat disebarkan ke komunitas yang lebih luas lagi. Kedua adalah mengomunikasikan produk inovasi yang ada kepada kelompok sosial yang menjadi objek inovasi. Komunikasi ini ditujukan agar setiap orang memiliki pemahaman yang sama tentang ide inovasi dan meyakini bahwa produk yang ada mampu
menjawab
tantangan
yang
selama
ini
dihadapi,
dan
kemudian
mengaplikasikannya. Model komunikasi yang digunakan terdiri dari dua jenis; satu, melalui media massa yang difokuskan sebagai wadah bertukar pengetahuan dan penyamaan perspektif. Dua, melalui komunikasi interpersonal. Cara ini dilakukan dalam rangka mengubah kebiasaan komunitas sedikit demi sedikit. Komunikasi yang terjalin di antara penerima dampak juga dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi yang berharga bagi formulator kebijakan. Ketiga adalah dimensi waktu dalam pelaksanaan difusi inovasi kepada masyarakat. Dimensi waktu adaptasi inovasi dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama adalah menguji coba inovasi tersebut dalam kelompok terbatas untuk kemudian memutuskan apakah formula yang ada dapat diterapkan kepada masyarakat sosial yang lebih luas atau tidak. Dalam periode ini, yang pertama dilakukan adalah berbagi pengetahuan dalam kelompok terbatas, kemudian mengajak mereka untuk mengadaptasi produk inovasi. Jika diterima, produk tersebut akan diterapkan kepada kalangan yang lebih luas lagi sehingga akhirnya akan muncul kesimpulan apakah program tersebut dapat dikatakan gagal atau berhasil. Periode selanjutnya adalah proses mengadaptasikan kebijakan terhadap kalangan yang lebih luas. Dari segi keluasan penerimaan dampak, terdapat empat kelompok sosial yang menerima difusi inovasi, yaitu: (1) para inovator yang menciptakan produk kebijakan; (2) mengadaptasi kebijakan yang pertama kali
32
mencoba inovasi yang telah didesain. Kelompok ini kemudian meluas dan dikenal sebagai mayoritas awal pengguna kebijakan; (3) kelompok sosial mayoritas yang mengikuti jejak pendahulunya; dan (4) kelompok orang-orang yang terisolasi yang mengikuti program karena keyakinan mereka bahwa program tersebut akan dapat berhasil mengubah kehidupan mereka. Dalam kaitan ini, kebijakan dinyatakan memberi dampak secara meluas apabila orang-orang yang terisolasi tersebut mulai mengikuti program inovasi yang telah didesain karena yakin akan membawa dampak yang mengubah hidup mereka. Periode terakhir adalah waktu yang dibutuhkan hingga setiap unsur merasa membutuhkan perubahan yang drastis dalam model difusi inovasi. Kelompok sosial yang menerima difusi inovasi tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut. Gambar 1.4. Proses Adopsi Kebijakan Sampai Terjadi Inovasi
Innovator: Pendahulu (going first)
Early Adopters: following close behind
Early Majority: early falling in the middle
Late Majority: late falling in the middle
Laggards: bringing up the rear
Sumber: Roger (1995:45)
Keempat adalah elemen yang penting dalam mendukung iklim difusi inovasi dalam sebuah kelompok sosial adalah kondisi sosial. Situasi ini menjadi penting karena lingkungan dan organisasi sosial adalah unit yang berhubungan satu sama lain dalam mencapai tujuan utama. Lingkungan sosial adalah pendukung sekaligus tantangan bagi terciptanya situasi inovatif. Apabila lingkungan kondusif, maka inovasi akan berjalan optimal dan menjawab akar masalah yang dihadapi (Putnam et al, 1993: 12; Basolo &
33
Scally, 2008: 36). Proses difusi inovasi merupakan komponen penting yang dapat menjadi tolok ukur apakah sebuah kebijakan dapat diimplementasikan secara terukur. Perhatian terhadap empat elemen difusi inovasi adalah peta untuk memahami apakah inovasi yang ada gagal atau berhasil membawa sebuah perubahan yang drastis dalam kebijakan—dalam kasus ini menjawab persoalan jaminan akses penyelenggaraan perumahan bagi MBR. Gambar 1.5. Hambatan Inovasi
Sumber: Albury (2003:31) Proses inovasi dapat terkendala berbagai hal, menurut Albury (2003:31), hambatan inovasi meliputi: (1) budaya tidak menyukai resiko yang bertentangan dengan sifat inovasi yang beresiko tinggi dan sarat akan kegagalan; (2) ketergantungan terhadap figur tertentu yang memiliki kinerja tinggi, oleh karena pegawai pemerintah kebanyakan menjadi follower maka jika figur tersebut hilang maka akan terjadi stagnasi dan kemacetan kerja; (3) periode anggaran yang terlalu pendek dan administrasi kurang fleksibel; (4) teknologi ada, terhambat budaya dan penataan organisasi; (5) tidak adanya penghargaan atau insentif; (6) keengganan menutup program yang gagal; (6) teknologi ada namun terhambat oleh penghargaan atau insentif. 34
1.5.1.3. Inovasi dalam Kebijakan Pemerintah Teori mengenai inovasi dalam kebijakan pemerintah mayoritas dilakukan pada negara federal dan sangat terkait dengan teori inovasi organisasi. Menurut Walker (1969: 881), inovasi dalam kebijakan pemerintah adalah program atau kebijakan yang baru dalam pemerintahan yang diadopsi pada program lama walau banyak telah diadopsi oleh berbagai pemerintah yang lain. Walker mulai dengan meneliti inovasi dalam kebijakan pada 88 program di satu negara bagian Amerika Serikat yang berjudul The Diffusion of Innovations among the American States. Walker meneliti para pemimpin di negara bagian yang melakukan adopsi kebijakan dalam bentuk program baru yang kemudian diimplementasikan. Penelitian inovasi dalam kebijakan selanjutnya dilakukan oleh Gray (1973: 1) tentang hak masyarakat sipil, kesejahteraan, dan pendidikan. Penelitian Gray ini kemudian diikuti Grupp dan Richard (1975: 27) yang melakukan penelitian mengenai difusi kebijakan dalam beragam jenis kebijakan. Penelitian inovasi tentang kebijakan sejak tahun 1970an dan 1980an menjadi makin banyak. Bassolo dan Scally (2008: 741) mengajukan pemikiran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya inovasi dalam kebijakan. Menurut mereka, faktor-faktor tersebut ditentukan oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal adalah birokrasi seperti kecukupan anggaran dan struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) sedangkan faktor-faktor eksternal adalah otonomi daerah dan aktivitas kelompok pemerhati. Seperti halnya yang telah dijelaskan di atas, inovasi adalah menghadirkan sebuah gagasan baru berupa program atau kebijakan dalam sebuah konteks meskipun gagasan tersebut merupakan gagasan lama atau sudah pernah diterapkan di konteks ruang dan waktu yang lain.
35
Terdapat tiga tipe tingkatan agar sebuah gagasan dapat disebut sebagai inovasi. Tingkatan ini didasarkan pada sumber gagasan yang digunakan dalam inovasi (Peltz & Munson, 1982: 34). Pertama, orisinalitas, yaitu gagasan yang benar-benar baru yang diciptakan untuk konteks situasi yang sedang dihadapi. Kedua, tingkat adaptasi, yaitu menggunakan gagasan yang pernah diterapkan oleh konteks lain untuk situasi yang sedang kita hadapi. Ketiga, meminjam, yaitu menggunakan gagasan yang pernah diterapkan untuk konteks lain ke dalam situasi yang sedang dihadapkan secara mentah. Roberts dan King (1996: 176) dalam Transforming Public Policy: Dynamics of Policy
Entrepreneurship
and
Innovation
memberikan
indikator
yang
dapat
menunjukkan tercapainya keberhasilan yang disebutnya dengan strategi kebijakan yang inovatif. Indikator-indikator tersebut adalah: 1) Mampu
melakukan
perubahan
yang
drastis
untuk
menyelesaikan
permasalahan kompleks dan tidak hanya mengubah gagasan menjadi sebuah kebijakan saja. 2) Gagasan yang menjadi kunci dari perubahan drastis tersebut dipraktikkan dan ditetapkan menjadi produk hukum yang siap diimplentasikan. 3) Mampu menjamin bahwa kebijakan tersebut berhasil menyelesaikan permasalahan. 4) Institusi/lokasi yang mendapatkan program dari kebijakan tersebut tetap dalam keadaan stabil. Dunn (2007: 11) berpendapat bahwa inovasi dalam kebijakan diperlukan agar memberikan solusi terbaik bagi masalah yang ada di masyarakat. Dunn menemukan bahwa kebijakan inovatif bagi perumahan yang ada di Kanada cenderung tidak berpihak pada orang cacat. Ketika seluruh kebijakan yang dilaksanakan tidak dapat memberikan solusi, pemerintah memiliki inovasi untuk memberikan peran kepada masyarakat untuk
36
berpartisipasi lebih besar terhadap kebijakan. Tindakan ini menghasilkan kebijakan yang akomodatif dengan mendorong prinsip kehidupan yang mandiri. Dengan dikembangkan dan diperluasnya tindakan ini, konsumen memiliki kontrol, fleksibilitas, dan pilihan layanan. Dengan cara ini, keinginan pemerintah Kanada dalam menyetarakan hak-hak penyandang cacat untuk mendapat rumah tanpa perbedaan dapat dikatakan tercapai. Kesimpulan yang diperoleh Dunn (2007:12) adalah bahwa untuk membuat kebijakan yang inovatif, koordinasi antar lembaga pusat dan daerah otonom perlu diperdalam dan menolak pengurangan anggaran untuk perumahan. Diharapkan koordinasi ini dapat mengintegrasikan organisasi konsumen (masyarakat), instansi pemerintah, pihak yang peduli, dan kelompok lainnya. Apabila inovasi dilakukan, diharapkan akan menjamin kehidupan yang baik bagi masyarakat. Penekanan inovasi dalam kebijakan yaitu inovasi dalam kebijakan berbeda dengan perbaikan kebijakan (USAID, 2006). Perbaikan kebijakan (policy improvement) lebih merujuk pada penerapan praktik-praktik kebijakan yang telah dikenal secara luas untuk mendorong perbaikan bertahap (incremental) dalam kualitas pelayanan, jangkauan pelayanan, dan keterlibatan penerima manfaat dalam proses perumusan kebijakan. Sementara, inovasi dalam kebijakan mengacu pada implementasi terobosan kebijakan atau policy leap dalam konteks introduksi teknologi baru, perombakan kelembagaan, maupun praktik-praktik kebijakan yang sebelumnya tidak dikenal atau diterima secara luas (USAID, 2006: 14). Secara konseptual, inovasi dalam kebijakan dapat muncul secara sistemik dalam perumusan kebijakan publik. Analisis model sistem dalam tataran teoritikal dapat digunakan untuk menggambarkan ilustrasi alur pikir munculnya inovasi dalam kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah akibat pensistemasian masukan input, proses, dan output yang dilatarbelakangi berbagai perubahan dan dinamika kebutuhan
37
lingkungan. Model sistem dalam studi perumusan kebijakan publik pertama kali muncul atas pemikiran Easton yang mengkonseptualisasikan relasi input dan output kebijakan yang berlangsung secara dinamis dalam sistem politik. Menurut Easton (1965: 110) sistem kebijakan merupakan suatu nilai dan hubungan timbal balik. Dengan demikian, inovasi dalam kebijakan publik yang digagas pemerintah terbentuk sebagai tanggapan terhadap kebutuhan dan tuntutan lingkungan memiliki konsekuensi logis yang harus ditanggung oleh pihak eksternal yang menginginkan (menciptakan demand) adanya pembentukan kebijakan10. Model ini melihat proses kebijakan dari tiga komponen utama, yaitu input, proses, dan output. Input yang diterima dalam bentuk aliran dari lingkungan yang dimediasi melalui saluran input (partai, media, kelompok kepentingan), dari permintaan di dalam sistem politik (with input), dan konversinya menjadi output dan hasil kebijakan (Parsons, 2008: 24). Sebagai salah satu komponen pembuatan kebijakan, input meliputi tuntutan dan dukungan. Tuntutan secara sederhana dijelaskan sebagai seperangkat kepentingan yang belum dialokasikan secara merata oleh sistem politik kepada sejumlah unit di dalam masyarakat yang dicakup oleh sistem politik. Bentuk dari tuntutan tidak harus berasal dari sistem yang bersifat high politics, seperti peperangan, revolusi, atau trauma sosial, akan tetapi dapat berasal dari bentuk tekanan kehidupan politik normal seperti ekonomi, budaya, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Easton membagi bentuk tuntutan menjadi dua macam, yakni tuntutan yang berasal dari internal (lingkungan intra sosial) dan tuntutan yang berasal dari eksternal (lingkungan ekstra
10
Input kebijakan digambarkan oleh Dye muncul karena adanya dorongan dari intra societal environment (berupa sistem ekologis, sistem biologis, sistem personalitas dan sistem sosial) dan extra societal environment (berupa sistem politik internasional, sistem ekologi internasional dan sistem sosial internasional).
38
sosial)11. Di sisi lain, dukungan merupakan upaya dari masyarakat untuk mendukung keberadaan sistem politik agar terus berjalan. Gambar 1.6. Skema Kotak Hitam Eastonian Sistem Politik
Lingkungan intra-sosial Lingkungan kebijakan secara keseluruhan
Lingkungan Inter-sosial
I N P U T
permintaan
Respon/ masukan
Konversi permintaan menjadi dukung-an luaran Respon/ masukan
P e m b e r i K u a s a
Luaran
Dampak lingkungan eksternal
Sumber: Parsons (2008 : 25)
Umpan balik
Output atau luaran adalah hasil kerja sistem politik yang berasal baik dari tuntutan maupun dukungan masyarakat. Luaran dibagi menjadi dua, yaitu keputusan dan tindakan yang biasanya dilakukan oleh pemerintah. Keputusan adalah pemilihan satu atau beberapa pilihan tindakan sesuai tuntutan atau dukungan yang masuk. Sementara itu, tindakan adalah implementasi konkret pemerintah atas keputusan yang dibuat. Menurut Easton, tugas dari para pembentuk kebijakan adalah mengubah inputs yang berasal dari lingkungan menjadi kebijakan publik yang dirancang mempunyai dampak pada masalah-masalah lingkungan. Umpan balik atau feedback dari dampak kebijakan mempengaruhi input berikutnya dan membentuk tuntutan-tuntutan baru pada sistem politik. 11
David Easton, Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik (terj.), (Jakarta: Bina Aksara. 1988), 117120.
39
Secara ringkas, menurut Dye (1975: 39), model sistem berupaya untuk mendeskripsikan proses perumusan kebijakan publik melalui 6 pertanyaan mendasar yang meliputi: 1) Dimensi apa saja yang menggerakkan tuntutan lingkungan eksternal terhadap sistem politik? 2) Karakteristik penting apa saja yang dimiliki sistem politik sehingga membuatnya mampu
mengubah
tuntutan
lingkungan
menjadi
sebuah
kebijakan
dan
mempertahankannya? 3) Bagaimana pengaruh input lingkungan terhadap sistem politik? 4) Bagaimana pengaruh sistem politik terhadap isi kebijakan? 5) Bagaimana pengaruh input lingkungan terhadap isi kebijakan? 6) Bagaimanakah umpan balik yang tercipta dari kebijakan terhadap lingkungan dan sistem politik? Inovasi dalam kebijakan pemerintah bersifat sangat multidimensional, kebijakan dapat dirumuskan pada seluruh aspek permasalahan publik termasuk dalam aspek lingkungan sosial melalui inovasi dalam kebijakan sosial. Inovasi dalam kebijakan sosial merupakan proses yang penting dalam desentralisasi. Inovasi dapat meningkatkan efisiensi dalam penyediaan sumber daya bagi pelaksanaan kebijakan (efficiency role), memperluas opsi kebijakan (optioning role), dan mempercepat berlangsungnya dampak kebijakan (acceleration role). Perluasan kebijakan, di lain pihak, akan meningkatkan efektivitas dampak kebijakan (impact effectiveness) dengan menggandakan jumlah penerima manfaat dan meminimalisasi kesenjangan kebijakan lintas daerah. Desentralisasi akan secara langsung mempengaruhi kualitas dan kinerja penyediaan pelayanan dasar bagi warga menjadi area kebijakan. Kebijakan yang bersifat sosial menurut Lindenthal (2004), secara umum mencakup kebijakan-kebijakan yang terkait
40
dengan pelayanan kebutuhan dasar (basic services), bantuan sosial bagi kelompok miskin (social assistance), dan berbagai ragam kebijakan jaminan sosial (social protection). Inovasi dalam kebijakan dapat dilihat dari tingkatannya, yakni adopsi dan penemuan kembali (reinvention). Adopsi merupakan proses peniruan terhadap patokan atau benchmark sehingga ada kebaruan dalam kebijakan yang dirumuskan. Sementara itu, konsep reinvention lebih menekankan pada gagasan bahwa inovasi tidak harus merupakan sesuatu yang bersifat baru. Proses reinvention terjadi dalam tahapan implementasi pada teori keputusan inovasi individu. Secara umum, reinvention dilakukan oleh pihak pengguna dan pelaku adopsi kebijakan setelah mengadopsi sebuah produk kebijakan yang telah dijadikan sebagai benchmark. Proses ini terjadi ketika pihak pengguna dan pelaku adopsi kebijakan merasa kebijakan yang tersebut memerlukan perubahan atau modifikasi untuk disesuaikan dengan kebutuhan maupun lingkungan. Suwarno (2008: 64) menekankan bahwa proses reinvention terbagi dalam proses reinvention murni dan proses reinvention semu. Proses reinvention murni menghasilkan inovasi yang mempunyai sesuatu—fitur tambahan—yang baru, yang sedikit membedakannya dengan inovasi sebelumnya. Adopsi merupakan pembaharuan murni yang dilakukan oleh agen-agen perubahan sedangkan reinvention dapat didefinisikan sebagai proses memoles (memberikan kosmetik) produk kebijakan yang sudah ada.
1.5.1.4. Siklus dan Tingkatan Inovasi dalam Kebijakan Pemerintah Dinamika perubahan lingkungan eksternal yang senantiasa dihadapi oleh birokrasi pemerintah mendesain inovasi dalam kebijakan pemerintah sebagai kebutuhan pokok yang senantiasa harus dipenuhi. Perubahan lingkungan eksternal yang selalu
41
diikuti dengan perkembangan kompleksitas hambatan penyusunan kebijakan maupun penyelenggaraan pelayanan publik seharusnya diikuti dengan perkembangan inovasi. Suwarno (2008: 19) merumuskan 6 hal siklus perkembangan inovasi dalam kebijakan pemerintah yang secara alamiah terjadi ketika muncul kompleksitas problem biokrasi bersamaan dengan dinamika perubahan lingkungan eksternal birokrasi pemerintahan. Enam hal tersebut meliputi kebutuhan atau masalah, riset dasar dan aplikatif, pengembangan, komersialisasi, difusi dan adopsi, dan konsekuensi. 1) Kebutuhan atau masalah Siklus pertama dalam perumusan inovasi dalam kebijakan pemerintah adalah menganalisis kebutuhan atau masalah. Analisis kebutuhan atau masalah ini dilakukan untuk memahami metaproblem yang dihadapi oleh birokrasi. Pemahaman terhadap kebutuhan atau masalah merupakan langkah awal untuk menentukan alternatif pemecahan permasalahan dan pemenuhan kebutuhan yang dibentuk dalam proses perumusan inovasi dalam kebijakan tersebut. 2) Riset dasar dan aplikasi Inovasi tidak bisa dipisahkan dengan teknologi, baik dalam artian perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun cara penyelesaian masalah. Sebagai representasi teknologi, inovasi memerlukan riset dasar dan aplikasi. Riset dasar bermakna pengujian terhadap berbagai alternatif solusi, sedangkan aplikasi merupakan upaya untuk mengimplementasikan hasil riset dasar yang dilakukan. 3) Pengembangan Tahapan pengembangan pada lingkup inovasi dalam kebijakan pemerintah bermakna proses implementasi ide-ide baru dalam masalah kebijakan. Istilah pengembangan inovasi ini berbeda dengan pengembangan penelitian yang berarti adanya pelaksanaan penelitian lebih lanjut.
42
4) Komersialisasi Dalam siklus inovasi pada kebijakan di sektor publik, tahapan komersialisasi tidak dilakukan dengan mengomersialisasikan hasil-hasil perumusan kebijakan seperti yang dilakukan di sektor privat. Tahapan komersialisasi dari perumusan inovasi dalam kebijakan pemerintah lebih bermakna sebagai peningkatan (scaling up) yang artinya penyebarluasan produk-produk hasil inovasi tanpa ada tujuan komersial yang bersifat ekonomis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tahapan komersialisasi dalam siklus inovasi pada kebijakan di sektor publik merupakan proses keterbukaan organisasi publik terhadap kemungkinan diadopsinya inovasi dalam kebijakan yang telah dirumuskan tersebut. 5) Difusi dan adopsi Dalam konteks sektor privat, tahapan difusi dan adopsi ditandai dengan diluncurkannya produk ke pasar dan membentuk adanya pilihan bagi konsumen untuk membeli maupun tidak. Sementara itu, dalam konteks organisasi publik, tahapan difusi dan adopsi dapat dilihat dari bentuk program yang dihasilkan dari kebijakan inovatif yang sebelumnya telah dirumuskan oleh para penentu kebijakan. Pada tahap ini kelompok sasaran program diberi keleluasaan untuk memilih berbagai varian pelayanan publik yang ada dalam program yang diimplementasikan tersebut. 6) Konsekuensi Pada tahapan konsekuensi, dampak dari inovasi-inovasi dalam kebijakan akan terlihat. Tahapan konsekuensi memungkinkan dilakukannya monitoring dan evaluasi untuk menilai tingkat terpenuhinya kebutuhan dan terjawabnya masalah yang telah diagendakan dalam agenda setting kebijakan.
43
Dari 6 poin pengembangan inovasi dalam kebijakan yang dirumuskan oleh Suwarno tersebut, dapat dikatakan bahwa inovasi merupakan cara baru yang menggantikan cara lama dalam menghasilkan sesuatu, cara lama yang diadopsi sebagai hal baru pada wilayah geografis yang berbeda, maupun cara lama yang tetap diyakini sebagai resep ampuh dalam mengerjakan sesuatu. 1.5.1.5. Faktor-faktor Pemicu Inovasi dalam Kebijakan Perumahan Dalam penentuan faktor-faktor pemicu inovasi, penelitian ini melihat dalam berbagai variabel, variabel desentralisasi dan otonomi daerah, variabel perumahan yang memicu inovasi. Nordholt dan Klinken, (2007:14-36) mengajukan tiga komponen penentu keberhasilan otonomi daerah, yaitu kapasitas pemimpin di daerah, kapasitas kelembagaan, dan lingkungan. Dalam kaitannya dengan kapasitas individu, pemimpin di daerah menentukan keberhasilan otonomi daerah karena kapasitasnya sebagai sutradara dalam kebijakan di daerah yang dipimpinnya. Kapasitas kelembagaan menyangkut berbagai pihak baik di tingkat eksekutif, legislatif, maupun urusan birokrasi yang seharusnya bekerja secara efektif dan efisien dalam memanfaatkan sumber daya yang ada. Sementara itu, komponen ketiga adalah lingkungan yang kondusif. Hal serupa juga dikemukakan oleh Nordholt dan Klinken, Hikam (1999: 3), Dwipayana dan Eko (2003: 24), dan Blaug dan Schwarzmantel (2000: 56), yaitu bahwa ketiga komponen merupakan kekuatan penentu keberhasilan yang saling terkait karena ketiga komponen tersebutlah yang akan memformulasikan kebijakan.
Inovasi tidak lahir secara tiba-tiba dalam sebuah kebijakan—termasuk dalam urusan penyelenggaraan perumahan. Basolo dan Scally dalam State Innovations in Affordable Housing Policy (2008) menyatakan ada enam faktor yang mempengaruhi tingkat inovasi dalam urusan perumahan di sebuah daerah. Keenamnya terbagi dalam 44
dua tipe; faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah sumber daya dan birokrasi. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi inovasi perumahan adalah perspektif terhadap krisis, aktivitas kelompok kepentingan, otonomi daerah, dan konteks politik yang berkembang. Bagian ini secara khusus akan mengupas keenam faktor tersebut satu per satu. 1.5.1.5.1. Faktor Internal Faktor pertama yang berpengaruh terhadap inovasi perumahan adalah sumber daya (resources). Dalam beberapa kesempatan Basolo dan Scally memasukkan unsur pendanaan sebagai bagian penting dari resource yang mempengaruhi inovasi dalam penyelenggaraan perumahan. Basolo dan Scally menyatakan bahwa ide baru bisa digagas dalam berbagai diskusi kebijakan namun tanpa sumber daya yang memadai ide tersebut akan sulit direalisasikan untuk mengatasi permasalahan sosial (Basolo & Scally, 2008). Maka, kemampuan negara untuk mencari sumber daya baik dari danadana negara, swasta, maupun masyarakat merupakan faktor penting dalam inovasi. Sumber daya termasuk pendanaan yang mendukung terciptanya iklim inovasi dilihat dari tingkat fleksibilitasnya, baik dalam pengumpulan maupun penggunaan dana tersebut untuk program-program perumahan. Sumber daya yang didalamnya termasuk pendanaan tidak selalu didapatkan dari dana himpunan yang disediakan negara. Namun bagaimana negara mampu menghimpun dana dengan melakukan kerjasama bilateral maupun multilateral dengan organisasi donor (Shea, 2008). Metode penghimpunan dana yang jauh lebih mandiri ini merupakan tren pembiayaan perumahan yang bekembang akhir-akhir ini. Disini negara tidak lagi bertugas menyediakan dana namun menghimpun dana dari pendonor untuk menjalankan program perumahan. Jadi, pada dasarnya, fleksibilitas agen-agen negara
45
untuk menghimpun dana berpengaruh bagi inovasi mengingat dana tidak lagi disediakan oleh negara, melainkan diusahakan oleh aparat dan pemimpin negara. Faktor kedua yang mempengaruhi inovasi perumahan adalah birokrasi yang dalam argumentasi Basolo dan Scally didefinisikan sebagai struktur institusional. Struktur
institusional
yang
mendukung
terciptanya
inovasi
adalah
yang
terkoordinasikan antar hirarki (Basolo & Scally, 2008). Semakin terkoordinasikan struktur yang ada maka kemungkinan untuk melakukan inovasi semakin besar. 1.5.1.5.2. Faktor Eksternal Dua faktor internal yaitu sumber daya dan struktur institusional berperan mengubah gagasan menjadi inovasi yang strategis untuk diimplementasi. Namun diluar aktivitas dua faktor itu, inovasi membutuhkan dukungan dari lingkungannya. Dukungan ini oleh Basolo dan Scally diistilahkan dengan faktor eksternal. Faktor pertama yang mendorong munculnya inovasi adalah perspektif terhadap krisis. Gagasan inovasi dalam bidang perumahan atau kebijakan apapun tidak akan muncul apabila tidak ada pengetahuan tentang seberapa pelik permasalahan yang dihadapi (Basolo & Scally, 2008). Perspektif terhadap krisis yang dimaksud dalam konteks ini adalah kemampuan untuk menganalisis permasalahan yang dihadapi. Misalnya tingkat kebutuhan rumah, mekanisme mengakses rumah bagi masyarakat kurang mampu, permintaan pasar terhadap rumah, dan semacamnya. Semakin tinggi pengetahuan atau informasi yang didapat, maka kemungkinan munculnya inovasi akan semakin tinggi pula. Hal ini sejalan dengan fase pertama dalam proses formulasi kebijakan (Corkey et all, 1995). Dimana sebelum menemukan alternatif penyelesaian masalah, stakeholder dan para analis kebijakan harus dapat dengan jelas menguraikan masalah tersebut. Memang pada akhirnya belum tentu masalah dapat didfefinisikan dengan jelas karena keterbatasan informasi dan gap pengetahuan antar stakeholder. Namun perspektif yang 46
sama bahwa ada masalah yang mendesak mengenai perumahan akan dan harus menjadi prioritas untuk diselesaikan menjadi penting. Maka yang penting disamping menganalisis informasi mengenai masalah tersebut adalah menyamakan persepsi bahwa ada masalah berkaitan dengan krisis perumahan dan harus mendapat prioritas untuk diselesaikan. Faktor kedua yang secara eksternal berpengaruh terhadap tingkat inovasi adalah aktivitas kelompok kepentingan. Tugas kelompok kepentingan adalah memberi masukan kepada stakeholder kebijakan mana yang lebih prioritas untuk diambil (Basolo & Scally, 2008). Masukan tersebut dapat diambil dari diskusi dan riset-riset yang dilakukan oleh kelompok ini. Terkadang kelompok kepentingan dapat menjadi agen yang bertugas mempromosikan kepada masyarakat tentang agenda inovasi yang sedang dilakukan oleh negara. Jadi semakin aktif kelompok kepentingan dalam melakukan pekerjaan pemebrdayaan dan riset lapangan, semakin besar pula ia berkontribusi bagi kemunculan inovasi penyelenggaraan perumahan di sebuah daerah. Kelompok kepentingan merupakan bagian dari aktor non negara. Kelompok kepentingan secara istilah diartikan sebagai kelompok yang berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah tanpa ambisi untuk menduduki jabatan publik. Kelompok ini terdiri dari beberapa tipe yang mewakili kepentingan tertentu, kelompok bisnis tertentu, maupun asosiasi profesional (Newton & Van Deth, 2005). Kelompok kepentingan tentu saja mempengaruhi inovasi karena mereka adalah pengawas kebijakan negara, sekaligus partner untuk ikut membantu melihat kebutuhan masyarakat dan memberdayakannya. Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap inovasi kebijakan adalah otonomi daerah. Gagasan yang dimaksud Basolo dan Scally (2008) terkait otonomi daerah adalah keterlibatan daerah untuk mendukung munculnya inovasi. Keterlibatan tersebut dapat berupa inisiasi inovasi yang digagas oleh pemerintah di tingkat daerah. Maupun
47
gagasan inovasi yang diinisiasi pleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah bertugas mengimplementasikannya. Cara mengukur tingkat inovasi yang didorong oleh otonomi daerah adalah dengan melihat resistensi daerah terhadap kebijakan atau inovasi yang diimplementasikan di daerah tersebut. Maka, otonomi daerah tidak hanya diartikan sebagai upaya transfer kewenangan dari pusat ke daerah. Lebih dari itu otonomi daerah adalah sharing otoritas dan sumber daya anatara pemerintah pusat da daerah dalam rangka meningkatkan kualitas kebijakan (Cheema & Rondinelli, 2007). Keterlibatan daerah yang secara langsung mendorong inovasi selain dilihat dari resistensinya juga dapat diamati melalui kapasitas daerah untuk menanggapi permasalahan yang dihadapi—termasuk dalam penyelenggaraan perumahan. Faktor terakhir yang memberi warna pada inovasi penyelenggaraan perumahan adalah konteks politik yang sedang berkembang. Iklim politik yang dianut rezim yang sedang berkuasa merupakan unsur penting dalam inovasi. Stabilitas situasi politik adalah situasi yang dibutuhkan agar pemimpin politik bekerjasama dengan stakeholder dapat menggagas ide inovatif untuk diformulasikan menjadi sebuah kebijakan. Proses pembuatan kebijakan adalah arena yang sarat dengan kepentingan politis. Di dalamnya banyak sekali tekanan yang mengikuti yaitu keterbatasan waktu, sumber daya, konflik kepentingan, opini publik, tekanan media, dan partai oposisi (Newton & Van Deth, 2005). Ditengah banyak sekali tekanan, pemerintahan yang ada tetap harus menghasilkan inovasi kebijakan yang tidak melanggar peraturan dan tetap mampu menjawab
kebutuhan
masyarakat.
Disinilah
kemampuan
pemerintah
untuk
menaklukkan situasi politik dan mengambil resiko agar tetap stabil dibutuhkan. Faktor internal dan faktor eksternal membawa pengaruh signifikan bagi kemunculan inovasi. Faktor-faktor tersebut berkontribusi sesuai derajatnya masingmasing untuk mendorong inovasi. Dalam diagram digambarkan bahwa semakin tinggi
48
derajat yang mampu dicapai maka iklim untuk menghasilkan inovasi menjadi suatu hal yang mungkin. Peta diagram ini memungkinkan pengambil kebijakan untuk melihat faktor pendorong mana yang paling berkontribusi dalam memunculkan inovasi dan fokus untuk mengintervensi faktor tersebut. Penelitian ini selain teori yang disampaikan diatas, juga menggunakan teori Scally seperti yang dijelaskan pada gambar berikut: Gambar 1.7. Faktor Penentu Inovasi Organisasi
individual
organisasi
lingkungan
• umur • status sosial ekonomi • pendidikan • pekerjaan • cosmopolitanism • perilaku terhadap perubahan
• umur • ukuran • sumber daya • kompleksitas • sentralisasi • pembentukan • hierarki • jaringan
• turbulensi • ketidakpastian • heterogenitas • kompetisi • karakteristik masyarakat/klien: ukuran, ras, kekayaan, jenis pekerjaan
Sumber: Scally (1997: 24) 1.5.2. Konsep Kebijakan Perumahan 1.5.2.1. Kebijakan Perumahan Umumnya, perumahan dapat dipandang sebagai aspek yang mempresentasikan kondisi habitat sosial. Kesepakatan mengenai pembangunan perumahan dan pemukiman di dunia dibentuk tahun 1976 di Vancouver Kanada. Glaeser dan Gyourko (2008: 17) menyebutkan bahwa diskursus mengenai perumahan sangat berkaitan erat dengan konsep kemiskinan karena pada kenyataannya kebutuhan perumahan hanya dapat diakses oleh lapisan masyarakat yang memiliki kecukupan sumber daya sedangkan 49
masyarakat yang tergolong dalam kelompok miskin dapat diindikasikan dengan ketiadaan kepemilikan perumahan. Dalam pandangannya tersebut, Glaeser dan Gyourko menekankan pentingnya perencanaan kebijakan perumahan yang komprehensif untuk memastikan bahwa pemerintah selaku representasi negara mampu menyediakan pelayanan publik di bidang perumahan bagi seluruh warga negara. Studi mengenai perumahan mulai muncul pasca Perang Dunia Kedua. Studi tentang perumahan ini mulai booming dibahas di negara-negara Eropa khususnya Skandinavia. Kerusakan pemukiman maupun hilangnya hak masyarakat sipil terhadap kepemilikan perumahan saat Perang Dunia menjadi perhatian besar bagi para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Para aktivis HAM tersebut senantiasa vokal menyerukan agar pemerintah berupaya untuk memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat sebagai bagian dasar dari kebutuhan pokok warga negara. Bahkan secara dinamis, kondisi empiris menunjukkan bahwa kemampuan penyediaan dan pemenuhan kebutuhan perumahan mulai dijadikan sebagai salah satu indikator pencapaian kinerja pemerintah. Di sisi lain, dalam perspektif infrastruktur, perumahan dapat dipandang sebagai ketersediaan hunian yang dilengkapi sarana dan prasarana umum untuk menunjang keberlangsungan hidup masyarakat. Secara umum perspektif infrastruktur selalu mendefinisikan perumahan sebagai aspek fisiologis yang ditandai dengan berbagai fasilitas penunjang yang ada di dalamnya. Perumahan secara sederhana dapat dipahami sebagai sekumpulan rumah yang menjadi bagian dari pemukiman dengan kelengkapan sarana dan prasarana yang menunjang keberlangsungan hidup masyarakatnya. Dalam tataran das sein, perumahan sering kali dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan sosial. Hal ini dinyatakan dengan asumsi bahwa penyediaan perumahan seharusnyaakan meningkatkan kesejahteraan sosial dan sekaligus teraksesnya kebutuhan perumahan oleh publik. Dengan demikian,
50
hal ini menandakan bahwa pola kebijakan sosial telah terarah pada sasaran yang tepat. Pemahaman mengenai studi perumahan bersifat sangat dinamis berbanding lurus dengan transformasi fase empiris penyelenggaraan pembangunan perumahan. Dalam konteks kebijakan publik, Nugroho (2012: 30) menyebutkan bahwa pembangunan perumahan merupakan bagian dari kebijakan publik. Pembangunan perumahan tersebut dilakukan melalui kebijakan politik, sosial, infrastruktur, dan ekonomi. Dan, keempat kebijakan tersebut saling berkaitan satu sama lain. Hal ini dapat dilihat dalam skema berikut. Gambar 1.8. Skema Keterkaitan Kebijakan Publik Kebijakan Sosial
Kebijakan Politik Kebijakan Publik
Kebijakan Infrastruktur
Kebijakan Ekonomi
Sumber: Nugroho (2012 : 30)
Berdasar skema keterkaitan kebijakan publik dengan kebijakan lain di atas, dapat terlihat bahwa proses perumusan, implementasi, sampai dengan evaluasi kebijakan infrastruktur yang pada kenyataanya tidak pernah dapat lepas dari berbagai kebijakan yang ada bidang lain seperti kebijakan politik, kebijakan sosial, dan kebijakan ekonomi.
Indonesia
memandang
kebijakan
perumahan
merupakan
kebijakan
infrastruktur, sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan perumahan tidak bebas nilai, aspek pembangunan perumahan sangat terkait erat dengan masalah politik, sosial, dan ekonomi secara dinamis.
51
Gambar 1.9. Skema Kebijakan Sosial
Sumber: Goodin (2001 : 43)
Kebutuhan terhadap perumahan maupun kebijakan perumahan sebagai respons terhadap kebutuhan perumahan melekat dengan pembangunan sosial. Hal ini dikarenakan perumahan merupakan bagian dari konsep pembangunan, khususnya pembangunan sosial yang dapat dilihat dalam skema pada gambar 1.9. Perumahan merupakan bagian dari kebijakan sosial yang berkembang menurut Goodin (2001 : 43). Goodin menjelaskan bahwa pembangunan perumahan memiliki indikator pendapatan (income), pelayanan publik (public services), dan program khusus (special program). Walau terkait dengan lapisan infrastruktur dan tata ruang kota, lingkup kebijakan perumahan merupakan bagian dari lingkup kebijakan sosial sehingga dalam desain kebijakannya pun menggunakan pendekatan sosial.
1.5.2.2. Permintaan – Pasokan (Demand-Supply) Perumahan Sebagai suatu komoditas, perumahan tidak pernah dapat terlepas dari adanya faktor permintaan (demand) dan pasokan (supply). Dari sudut pandang organisasi perumahan, lingkungan yang ditandai dengan peningkatan kebutuhan rumah yang
52
muncul dari masyarakat mempengaruhi peningkatan respons pemerintah. Hal ini terlihat dari pembenahan perumusan kebijakan pembangunan perumahan. Respons kebijakan perumahan yang dirumuskan pemerintah dapat dikatakan sebagai pasokan terhadap permintaan perumahan dari masyarakat. Secara lebih kompleks, World Bank telah mendeskripsikan sisi permintaan (demand side), pasokan (supply side), dan manajerial sektor kebijakan perumahan yang berisi 3 poin penjabaran sisi permintaan, 3 poin penjabaran sisi pasokan, dan 1 poin penjabaran manajerial sektoral, seperti yang terlihat dalam tabel berikut. Tabel 1. 1. Permintaan-Pasokan Perumahan Sisi Permintaan 1) Pengembangan hak properti (misal pengaturan keamanan bermukim bagi warga di perumahan kumuh dan pengaturan kontrol terhadap tarif rumah sewa) 2) Pengembangan sistem pembiayaan perumahan terutama penjaminan perumahan 3) Penentuan target subsidi Sisi Pasokan 1) Pelayanan infrastruktur untuk penyediaan tanah untuk perumahan 2) Regulasi tanah dan perumahan (termasuk pengenalan audit rutin untuk mengurangi hambatan dalam pembanguna. 3) Meningkatkan lembaga/organisasi dan kompetisi kontraktor dan industri perumahan Pengaturan antar sektor 1) Perubahan bentuk institusi ke dalam bentuk yang sesuai kebutuhan Sumber: Laporan Bank Dunia, 2005: 26
Sisi permintaan atau demand pada tabel diatas dijabarkan oleh UN Habitat dalam 3 aspek, yakni pengembangan hak milik, pengembangan sistem pembiayaan perumahan, dan penargetan subsidi. Dalam aspek pengembangan hak milik, pembuat kebijakan bidang pembangunan perumahan dituntut untuk mampu mengatur masalah kepemilikan hunian di permukiman kumuh dan liar dan menghilangkan kontrol sewa yang bersifat merugikan publik. Selanjutnya, dilakukan pengembangan sistem pembiayaan perumahan melalui proses perumusan kebijakan yang mewadahi berbagai
53
hipotek keuangan. Aspek terakhir yang dicantumkan oleh UN-Habitat dalam sisi permintaan perumahan ini berupa kebijakan penargetan subsidi untuk memastikan bahwa subsidi pembangunan perumahan telah disusun secara tepat sasaran guna memenuhi kebutuhan publik dalam akses perumahan. Kedua, sisi pasokan kebijakan perumahan terdiri dari 3 aspek, yakni penyediaan infrastruktur untuk lahan perumahan, pengaturan pembangunan lahan dan perumahan termasuk pengaturan audit untuk meminimalisir hambatan pembangunan, penguatan organisasi, dan peningkatan daya saing industri bangunan. Konsep perumahan yang tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan dasar manusia untuk meningkatkan taraf hidup menjadi dasar pemikiran pentingnya penyediaan infrastruktur lahan bagi perumahan. Dalam konteks ini, World Bank menyebutkan bahwa infrastruktur penyediaan lahan perumahan seharusnyaakan memberikan ruang bagi penerapan kebijakan pembangunan perumahan. Berikutnya, pengaturan pembangunan lahan, perumahan dan pengaturan audit untuk meminimalisir hambatan pembangunan dijadikan sebagai aspek pertama sedangkan peningkatan daya saing industri bangunan dijadikan sebagai aspek kedua. Ketiga, manajerial sektoral yang digagas oleh Human Settlements Programme adalah perumusan dan implementasi reformasi kelembagaan (reformasi institusional) untuk menunjang keberhasilan pembangunan perumahan. Reformasi kelembagaan menjadi poin penting dalam manajerial sektoral perumahan untuk memberikan kepastian bahwa institusional birokrasi yang dijalankan pemerintah mampu menuju ke arah yang lebih baik. Hal ini menjadi salah satu prasyarat keberhasilan kebijakan pembangunan perumahan. Human Settlements Programme memaparkan bahwa reformasi kelembagaan merupakan desain paling awal yang harus dilakukan untuk pembenahan kinerja policy maker di bidang perumahan. Artinya, manajerial sektoral
54
pembangunan perumahan menjadi terjemahan untuk menempatkan reformasi kelembagaan sebagai bagian dari kebijakan pembangunan perumahan. Frank (1999: 7) menyebutkan bahwa penyebab pasokan perumahan (housing supply) berjalan lebih lamban dibandingkan dengan permintaan perumahan (housing demand) disebabkan adanya kecenderungan bahwa kebutuhan perumahan selalu secara dinamis lebih cepat berkembang dibandingkan dengan kemampuan para pemasok kebutuhan rumah (pemerintah dan pengembang swasta). Perumahan dalam pandangan umum dapat dikatakan sebagai barang esensial yang meskipun mengalami peningkatan harga secara signifikan, tetap menjadi barang yang dibutuhkan oleh masyarakat. Meskipun di sisi lain, pada kondisi tertentu, terdapat kelompok MBR yang mengalami hambatan mengakses kebutuhan perumahan. Dengan melihat tipologi barang kebutuhan yang diklasifikasikan oleh Samuelson (2008: 345), keberadaan rumah kumuh dan tidak layak huni milik MBR merupakan suatu bentuk kebutuhan barang inferior. Hal ini dikarenakan kebutuhan terhadap rumah kumuh dan tidak layak huni akan menurun dan bahkan hilang ketika terjadi peningkatan pendapatan dan laju pertumbuhan ekonomi sosial masyarakat. Dalam pendekatan ekonomi matrik, Hedberg dan Krainer (2012: 7) menjelaskan bahwa lonjakan permintaan perumahan berpengaruh terhadap housing supply. Lonjakan permintaan dan kebutuhan perumahan mengakibatkan harga perumahan menjadi naik. Ketika mekanisme pasar berjalan, maka pemasok (developer) berpotensi meningkatkan ketersediaannya atau pasokannya. Hal ini dikarenakan dalam menjalankan peranannya sebagai housing supply, sektor publik selalu memiliki berbagai pertimbangan khususnya pertimbangan kemampuan keuangan. Keterbatasan dana pemerintah, tidak dapat dipungkiri, akan mengakibatkan terciptanya hambatan baru bagi upaya penyediaan perumahan.
55
Terbentuknya permintaan perumahan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti lokasi, elastisitas harga, kemampuan daya beli, dan kualitas perumahan yang ditawarkan. Dari berbagai varian faktor tersebut, elastisitas harga, menurut Sinai (2007: 5), memberikan dampak yang besar bagi housing demand karena mempengaruhi pembentukan harga yang berkorelasi terhadap permintaan. Sebaliknya, ketika harga tidak elastis, akan ada perubahan permintaan perumahan di perkotaan. Sinai dalam analisisnya ini menyebutkan bahwa tidak elastisnya harga menimbulkan terjadinya penurunan permintaan perumahan khususnya di perkotaan. Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa terdapat kesamaan antara pandangan Sinai dengan Hedberg dan Krainer, yakni penggunaan perspektif ekonomi. Perbedaan mendasar keduanya adalah perspektif ekonomi matrik digunakan oleh Hedberg dan Krainer sedangkan Sinai lebih menggunakan perspektif ekonomi makro.
1.5.2.3. Pembiayaan Perumahan Pembiayaan perumahan merupakan hal yang sangat kompleks dengan konsep yang dapat berbeda di seluruh dunia. Pemahaman “pembiayaan perumahan” di negara yang sudah maju mungkin akan sangat berbeda baik konsep maupun sistemnya dengan pemahaman yang terdapat di negara yang sedang berkembang. Hal ini menandakan bahwa pembiayaan perumahan banyak dipengaruhi oleh beberapa kebijakan yang berbeda di suatu negara, misalnya lingkungan hukum suatu negara, budaya, make up ekonomi, lingkungan peraturan, dan sistem politik. Loïc Chiquier and Michael Lea (2009: 30). Konsep pembiayaan perumahan dan sistem pembiayaan perumahan telah berkembang dari waktu ke waktu. Pada tahun 1980-an, definisi pembiayaan perumahan lebih diutamakan dalam hal pembiayaan hipotek perumahan (residential mortgage
56
finance). Dalam bukunya yang berjudul National Housing Finance Systems, Mark Boleat menegaskan bahwa tujuan dari sistem pembiayaan perumahan adalah untuk menyediakan dana bagi masyarakat yang ingin membeli rumah. Walau sederhana namun cara-cara yang dapat digunakan untuk mencapainya cukup terbatas. Tidak sejalan dengan kesederhanaan dasar tersebut, dibeberapa negara, sebagai akibat dari tindakan pemerintah, sistem pembiayaan perumahan yang sangat rumit telah dikembangkan. Namun demikian, fitur penting dari sistem apapun, kemampuan menyalurkan dana dari investor untuk membeli rumah bagi masyarakat harus tetap terpenuhi (Mark Boleat, 1985). Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah definisi tentang pembiayaan perumahan telah banyak bermunculan. Menurut Peter King (2009:3) pembiayaan perumahan adalah segala hal yang dapat memungkinkan untuk produksi dan konsumsi perumahan. Hal ini mengacu pada dana yang pemerintah gunakan untuk membangun dan memelihara stok perumahan nasional. Selain itu, pembiayaan perumahan juga mengacu pada uang yang kita butuhkan untuk membayar perumahan tersebut, yaitu melalui sewa, pembayaran hipotek, maupun pembayaran tunai. Selain itu, terdapat bentuk lain yang lebih relevan dalam pembiayaan perumahan, yaitu pembiayaan developer, pembiayaan sewa, atau pembiayaan mikro yang diterapkan untuk perumahan. Pembiayaan developer berada dalam bentuk pembayaran uang muka yang tidak diatur oleh pembeli. Pengembang juga seringkali memberikan pembiayaan jangka panjang kepada pembeli melalui penjualan angsuran KPR saat pasar tidak dapat diakses secara langsung. Keuangan mikro perumahan biasanya digunakan untuk melakukan perbaikan rumah atau keperluan perumahan yang bersifat progresif. Pinjaman biasanya diberikan tanpa perjanjian yang sangat mengikat. Meskipun manfaat dari pembiayaan mikro perumahan masih terbatas, kegiatan ini sangat penting bagi masyarakat di sektor
57
informal untuk membiayai perumahan mereka. Chiquier, Loïc and Michael Lea (2009: 32) . Kebijakan pembiayaan pembangunan perumahan menyangkut dua hal. Pertama, menyangkut perkara alokasi dana untuk pembangunan perumahan dan bagaimana menyalurkannya. Kedua, kebijakan untuk menghimpun dana masyarakat bagi pembangunan perumahan. Di Indonesia, pemerintah telah mengalokasikan dana yang ditujukan untuk memfungsikan dan mempengaruhi pasar perumahan. Pemerintah menyalurkan
dana
kepada
bank
sebagai
lembaga
keuangan
untuk
dapat
mempertemukan antara permintaan dan pasokan perumahan. Tugas bank ini adalah untuk memungkinkan kelompok sasaran masyarakat yang berpenghasilan rendah dan menengah bisa memiliki rumah dengan cara mencicil. untuk itu dilaksanakanlah skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sumber dana KPR adalah penyertaan modal dan pinjaman dari pemerintah. Selain itu, sumber dana KPR juga berasal dari likuiditas Bank Indonesia dengan bunga rendah, dana masyarakat yang tersimpan untuk jangka panjang dan pinjaman dari Bank Dunia. Seiring dengan berkembangnya waktu, KPR yang semula identik dengan pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah berubah menjadi pembiayaan perumahan bagi siapa saja yang ingin membeli rumahnya dengan cara mencicil. Untuk mengatasi kelangkaan sumber pembiayaan, pemerintah terus menggali sumber lainnya antara lain pembentukan lembaga lembaga pendanaan pasar sekunder (secondary mortgage fund) dan Tabungan Pekerja Pembangunan Perumahan. Selain itu, pemerintah juga merancang suatu skema pemberian kredit. Beberapa perubahan skema kredit yang diberikan untuk pembiayaan perumahan antara lain adalah subsidi terhadap suku bunga diganti dengan subsidi selisih bunga. Selain itu, subsidi yang semula dikaitkan dengan standar rumah dikaitkan dengan pendapatan penerima kredit dan
58
besarnya kredit. Hal ini dimungkinkan karena semakin maraknya bank yang mulai menyalurkan KPR komersial. Pasar Pembiayaan Perumahan masih berada dalam skala yang cukup kecil di negara-negara yang sedang berkembang. Saldo pinjaman untuk pembiayaan perumahan di wilayah tersebut masih berada pada tingkat yang jauh di bawah negara-negara maju di Eropa. Dalam konteks ini, perlu dicatat bahwa pasar di beberapa negara berkembang seperti Hungaria, Estonia, dan Kazakhstan telah berkembang cepat dengan pinjaman hipotek. Akan tetapi, untuk pasar yang lain masih mengandalkan pada pinjaman berbasis deposito, meskipun pasar hipotek mereka telah tumbuh. Pinjaman hipotek ini erat kaitannya dengan pendanaan pasar sekunder dengan pengendalian resiko. Beberapa negara yang sedang berkembang tersebut tengah berada pada proses transisi dari pinjaman berbasis deposito ke pasar berbasis kredit (pinjaman hipotek). Pelaku pasar di negara-negara berkembang dan transisi dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis pemberi pinjaman, yaitu bank komersial, bank pemberi KPR, lembaga deposito (lembaga kontrak tabungan), lembaga pendanaan nasional (national housing funds). Pasar sekunder atau pendanaan memiliki instrumen yang berbeda-beda di masing-masing negara seperti obligasi hipotek dan skema tabungan kontrak. Pendanaan melalui pasar sekunder dalam ekonomi transisi adalah sebuah konsep yang relatif baru, namun pasar obligasi hipotek tertutup telah berkembang dengan cukup pesat. Saat ini, beberapa negara yang sedang berkembang menggunakan obligasi hipotek untuk pendanaan secara paralel dengan deposito bank, tetapi masih ada juga yang mengandalkan hanya pada tabungan kontrak dan deposito jangka pendek. Obligasi hipotek tertutup adalah skema sekuritisasi di mana obligasi yang didukung oleh hipotek terpilih dikumpulkan oleh pemberi pinjaman yang dijual kepada investor melalui pasar sekunder (pasar obligasi). Sekuritas kredit Mortgage-Backed Securities (MBS) adalah
59
skema sekuriti sekuritas yang didukung oleh hipotek terpilih dikumpulkan oleh pemberi pinjaman yang dijual kepada investor melalui pasar sekunder. 1.5.3. Konsep Desentralisasi Secara historis, konsep desentralisasi mulai populer bersamaan dengan meledaknya popularitas kebijakan privatisasi yang dilakukan di negara-negara Eropa Barat di tahun 1970an. Dalam perkembangannya, desentralisasi di negara-negara berkembang dimulai dilakukan pasca tahun 1970an dan awal tahun 1980an. Pada awalnya, negara-negara yang melakukan desentralisasi bermaksud melakukan perubahan demi menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan produktivitas, atau meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin. Pada awal tahun 1980an, mayoritas negara berkembang menghadapi tantangan keuangan dengan adanya penurunan ekspor dan peningkatan harga energi dan barang impor. Hal ini menjadi faktor pemicu pemerintah untuk meningkatkan cara dalam menggunakan sumber daya terbatas secara efektif. Dalam studi mengenai desentralisasi, para pendukung desentralisasi senantiasa menganggap bahwa desentralisasi akan mampu meningkatkan kekuasaan pemerintahan daerah (Faleti, 2005: 237). Para pendukung tersebut seakan melihat bahwa desentralisasi merupakan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lekat dengan aspek otonomi daerah. Dalam perkembangannya, desentralisasi sering kali diidentikkan dengan otonomi meskipun keduanya memiliki pemaknaan leksikal yang berbeda. Desentralisasi lebih menekankan pada aspek penyerahan wewenang sedangkan otonomi dapat dipahami sebagai kebebasan untuk menyelenggarakan rumah tangga sendiri. Proses desentralisasi telah menempatkan pemerintah daerah sebagai tokoh utama sehingga dalam kajian mengenai desentralisasi, pemahaman tentang pemerintah daerah tidak dapat dilepaskan. 60
Menurut Rondinelli dan Nellis (1986: 101), desentralisasi merupakan prinsip ideologi yang merupakan usaha dalam mewujudkan objektivitas dalam pemerintahan. Dari cara pandang administratif, desentralisasi dapat diartikan sebagai proses pemerintahan yang bertanggung jawab mulai dari perencanaan, pengelolaan, dan peningkatan alokasi sumber daya dari pemerintah pusat ke pelaksana, dari organisasi pemerintah sampai organisasi nonpemerintah. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai situasi ketika barang publik dan pelayanan publik disediakan untuk individu melalui mekanisme pasar. Para ahli pilihan publik (public choice) menekankan bahwa di dalam kondisi yang layak, masyarakat dapat memilih secara bebas dan barang publik tersedia dalam jumlah besar yang menjadikannya ekonomis dan efisien, sehingga banyak lembaga lokal yang berpartisipasi dalam sistem tersebut dan pemerintah pusat hanya sebagai penyedia (Ostrom et a., 1961: 2; Buchanan dan Tullock, 1962: 2). Jadi, desentralisasi terdiri dari beberapa konsep berdasar proses pemindahan tanggung jawab dalam perencanaan, pengelolaan, dan peningkatan alokasi sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah pada seluruh bagian di pemerintahan, swasta, dan lembaga swadaya masyarakat. Tingkatan tanggung jawab yang ditransfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah bervariasi dan sangat tergantung dari jenis lingkupnya, baik dalam perencanaan pembangunan maupun administrasi pembangunan. Tipe desentralisasi menurut Rondinelli dan Nellis (1986: 5) terdiri dari empat aspek, yaitu dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan privatisasi. Pertama, dekonsentrasi adalah proses penyerahan tanggung jawab administrasi pada tingkatan yang lebih rendah antara pemerintah pusat dan badan-badan pemerintah. Sebagian pemerintah lain mendekonsentrasikan tanggung jawabnya dengan membentuk unit koordinasi dengan pemerintah daerah melalui insentif atau kontrak kerja sama. Selain yang telah
61
disebutkan, terdapat berbagai macam bentuk lain dari dekonsentrasi yang dilakukan oleh pemerintah, bahkan sampai dengan formulasi perencanaan pembangunan dengan melibatkan swasta dan masyarakat. Kedua, delegasi merupakan proses pemindahan tanggung jawab yang terkait dengan fungsi atau peran organisasi di luar struktur birokrasi. Dalam bentuk desentralisasi ini, kekuasaan terhadap pemerintahan makin besar dan mandiri pada beberapa peran dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan, di antaranya adalah pengelolaan terhadap eksploitasi, proses, dan penjualan sumber daya alam yang berharga, misalnya mineral dan minyak. Ketiga, aspek devolusi merupakan penguatan legal dan keuangan dari pemerintah daerah di mana aktivitasnya sudah di luar kendali pemerintah pusat. Negara yang telah melaksanakan ini adalah Sudan. Di Sudan, pemerintah provinsi diberi tanggung jawab hampir seluruh fungsi publik selain keamanan nasional, komunikasi antar negara, hubungan luar negeri, perbankan, dan pengadilan. Pada bentuk ini, tingkatan pemerintah daerah yang berada di bawah pemerintah pusat hanya secara formal saja. Namun, pemilihan pemerintah daerahnya masih bervariasi antara dipilih oleh pemerintah pusat maupun secara langsung oleh daerah tersebut. Keempat, aspek privatisasi pemerintah memiliki makna pelepasan tanggung jawabnya ke lembaga terkait dengan memberikan keleluasaan bergerak yang seluasluasnya untuk dijalankan oleh lembaga swasta. Pada kasus tertentu, pemerintah memindahkan tanggung jawab kepada organisasi paralel seperti nasional, industri dan asosiasi perdagangan, organisasi keagamaan, dan organisasi politik. Organisasi paralel ini diberikan tanggung jawab dan kebebasan dalam menjalankan fungsi yang sebelumnya dilaksanakan oleh pemerintah. Pada konsep desentralisasi, jenis ini diartikan sebagai debirokratisasi di mana lebih memungkinkan pengambilan keputusan
62
melalui proses politik yang dipengaruhi oleh banyak pihak dari berbagai kelompok pemerhati dibanding dengan pengambilan keputusan oleh pemerintah melalui legislatif dan eksekutif. Secara praktis, konsep privatisasi ini pada asosiasi organisasi di Asia adalah dengan memberikan kesempatan besar bagi masyarakat swasta untuk berpartisipasi dalam memobilisasi sumber daya lokal, penyediaan informasi mengenai kondisi lokal dan kebutuhan pemerintah, dan menghasilkan pelayanan bagi anggotanya. Menurut Rasyid (1997), otonomi daerah adalah salah satu jawaban untuk meningkatkan pertumbuhan dari tiga aspek kehidupan, yaitu pertumbuhan ekonomi, politik, dan sosial budaya di daerah. Dari segi ekonomi, otonomi daerah memberikan jaminan adanya kelancaran dalam perkembangan ekonomi nasional di tingkat daerah. Di sisi lain, otonomi daerah juga membuka kesempatan bagi daerah dalam memaksimalkan sumber daya yang dimilikinya untuk dikonversikan menjadi peluang peningkatan ekonomi. Dengan kata lain, dengan sistem otonomi ini, daerah mendapat manfaat ekonomi lebih karena masyarakat dan daerah akan dapat meningkatkan pendapatannya. Dalam bidang politik, otonomi daerah membawa pertumbuhan politik di tingkat daerah. Otonomi daerah adalah ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan di tingkat daerah yang demokratis. Ruang ini memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan responsif terhadap daerah dan masyarakat, transparan, akuntabel, dan efektif secara manajerial. Bagi organisasi pemerintahan di tingkat daerah, sistem ini membuka kesempatan untuk mengembangkan pola karier politik dan administrasi secara lebih kompetitif. Dalam aspek sosial dan budaya, kebijakan otonomi daerah membuka peluang bagi daerah untuk menunjukkan identitas aslinya dan tidak terjebak pada pola-pola penyeragaman yang sempat berkembang di masa lampau. Otonomi daerah juga akan
63
membuka harmoni sosial dalam masyarakat karena relasi yang dibangun antara sektorsektor organisasi pemerintah, nonpemerintah, privat, dan masyarakat bersifat lokal. Ketiga hal tersebutlah yang juga menjadi visi penerapan otonomi daerah meskipun terdapat aspek lain dalam pelaksanaan kebijakan ini, yaitu dimaksudkan juga untuk menciptakan pemerataan sumber daya ke seluruh Indonesia. Ketiga aspek keuntungan dalam otonomi daerah sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Cheema & Rondinelli (2007: 336) yang antara lain mengatakan bahwa sistem desentralisasi menguntungkan karena model inilah yang dapat menjamin bahwa kebijakan dapat diakses oleh warga negara secara efektif. Cheema dan Rondinelli memberikan dua alasan mengapa sistem desentralisasi dikatakan efektif. Pertama, desentralisasi mengurangi beban administratif dan hubungan komunikasi dengan birokrasi yang berbelit. Oleh karena itu, dengan melakukan pembagian kerja dan memberikan sedikit kewenangan pada daerah, negara akan mendapatkan keuntungan namun tetap dalam koridor efektif dan efisien, misalnya, dalam melakukan mobilisasi kebijakan nasional untuk lebih dikenal dan dilaksanakan pada tingkat daerah, meningkatkan informasi terkini mengenai kondisi daerah, merencanakan pembangunan daerah secara lebih responsif dan tepat dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan kebijakan. Kedua, desentralisasi dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan sehingga dapat meningkatkan rasa persatuan. Upaya untuk meningkatkan pelayanan pemerintah pusat sering menemukan kesulitan terutama dalam pelaksanaan pelayanan infrastruktur fisik yang membutuhkan monitoring dan evaluasi secara intensif. Pada beberapa negara berkembang termasuk Indonesia, dalam program pembangunan provinsi, sistem desentralisasi menunjukkan peningkatan distribusi sumber daya, partisipasi masyarakat di daerah, peningkatan
64
pelayanan publik sampai dengan desa-desa, peningkatan pemahaman proyek dan pelaksanaan, dan peningkatan kualitas tenaga kerja (Cheema & Rondinelli, 2007: 336). 1.5.4. Konsep Pemerintah Daerah dan Tata Kelola Konsep mengenai pemerintah daerah banyak disebutkan dalam diskursus tentang ilmu kebijakan desentralisasi maupun ilmu politik. Dalam makna umum, pemerintah daerah memainkan peran sebagai wujud penyelenggara pemerintahan di daerah. Davey menyebut pemerintah daerah sebagai pemerintah regional. Menurut Davey (1988: 17), pemerintah regional merupakan pemerintah desentralisasi atau serentetan barang publik yang bertanggung jawab atas usaha penyelenggaraan pelayanan publik dan program-program pembangunan pada tingkat subnasional. Pada tataran praktis era desentralisasi, tanggung jawab pemerintah daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan pelayanan publik dan program-program pembangunan semakin dinamis kendatipun berbagai permasalahan kapasitas pemerintah daerah sering kali mewarnai kebijakannya. Terdapat dikotomi pemahaman mengenai pemerintah daerah antara kaum Marxist dan kaum liberalis. Pemerintah daerah oleh penganut aliran Marxist dinilai sebagai sebuah institusi yang hanya sekadar mereproduksi kehadiran negara dalam rangka menciptakan kondisi yang mendukung bagi proses akumulasi kapital (Dunleavy, 1980: 126-128). Dalam pandangannya tersebut, kaum Marxist secara skeptis melihat bahwa pemerintah daerah merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat, menjadi corong bagi keputusan-keputusan pusat, dan tidak memiliki otonomi untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Sementara itu, kaum liberalis melihat bahwa pemerintah daerah dijalankan secara demokratis dengan mengedepankan aspirasi masyarakat daerah sehingga menyokong proses demokratisasi lokal dan menjadi ruh baru bagi terciptanya demokratisasi di tingkat nasional (Smith, 1985: 19-37). 65
Secara struktural, pemerintah daerah adalah entitas atau wujud penyelenggara pemerintahan yang secara hierarki-struktural berelasi vertikal dengan pemerintah pusat. Dalam arti yang paling sederhana, yang dimaksud dengan governance atau tata kelola pemerintahan yang mengacu pada suatu kelompok pembuat keputusan yang terdiri dari berbagai macam aktor dan organisasi yang menangani masalah-masalah publik. Dalam konteks kenegaraan, kelompok inilah yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Teori pemerintahan kontemporer menentukan perbedaan yang fundamental antara governance (pemerintahan atau tata kelola) dan government (pemerintah). Pemerintah memiliki kewenangan legal untuk bertindak. Kekuasaan yang mereka miliki didasari oleh dasar hukum sehingga mereka mempunyai kuasa untuk memaksa seseorang patuh pada peraturan dan kebijakan yang dibuat. Sementara itu, pemerintahan memiliki konsep yang lebih luas bila dibandingkan dengan pemerintah. Pemerintahan lebih dideskripsikan sebagai cara yang dipilih organisasi untuk terlibat dalam aktivitas tertentu untuk mencapai tujuan bersama yang dilakukan oleh para konstituen. Kerangka pemerintahan berfokus pada pengambilan keputusan secara kolektif di dalam sistem sosial yang telah ada ataupun saat proses internal di dalam organisasi. Keputusan tersebut biasanya terkait dengan isu-isu global dan peraturan yang meregulasi eksekutif lokal atau badan-badan administrasi. Namun sesungguhnya, tidak ada jawaban sederhana untuk menjelaskan apa itu governance atau pemerintahan karena teori dan definisinya tergantung pada konteks. Menurut Hill (2002: 183), pemerintahan mempunyai tiga tingkatan. Pertama, sistem politik-administratif yang secara konstitusional mendesain institusi politik dan administrasi. Di tingkat inilah proses formulasi dan keputusan dibuat, dan perancangan undang-undang dan kebijakan yang kemudian proses kebijakan tersebut dikelola. Kedua, hubungan kelembagaan. Pada tingkatan ini, sistem yang berjalan di suatu negara
66
dikelola agar stabil dan menuju ke arah yang lebih baik. Agar sistem berjalan baik, alur pelaksanaan harus dirancang dan dipatuhi secara konsisten. Selain itu, dibuat pula sistem desain seperti hubungan intra-pemerintahan dan merumuskan kerangka kebijakan menurut pandangan institusi. Tingkatan yang terakhir adalah “street level”atau tingkatan di mana pemerintah langsung bersinggungan dengan rakyatnya. Dalam hal ini, institusi lokal dibentuk agar dapat mengelola hubungan antara pihak lokal dan luar dan dengan demikian dibutuhkan kebijakan implementasi pada tingkatan ini. Esensi pemerintahan terletak pada fokusnya terhadap mekanisme pengaturan, sehingga tidak hanya bertumpu pada kewenangan dan sanksi pemerintah. Kooiman dan Van Vliet (1993: 64) menyebutkan bahwa konsep pemerintahan menitikberatkan pada struktur yang dibentuk atau aturan di dalam badan pemerintahan itu sendiri, sehingga tidak ada pihak luar yang dapat memaksa. Struktur dan aturan itu merupakan buah interaksi antara banyaknya pengaturan dengan aktor-aktor yang saling mempengaruhi. Stoker (1998) menyebutkan bahwa terdapat lima aspek pemerintahan, yaitu yang pertama, pemerintahan diibaratkan sebuah paket kompleks yang di dalamnya terdiri dari banyak institusi dan aktor. Institusi kemudian saling berhubungan satu sama lain sehingga terjadi kompleksitas yang semakin pelik. Di Inggris, pendirian agen atau institusi, organisasi layanan untuk masyarakat, rumah sakit, dan sekolah adalah wujud nyata sebagai bagian dari penyebaran paradigma pembeli-penyedia atau purchaserprovider paradigm. Dengan demikian, perspektif ini membuat sektor swasta dan sukarelawan tertarik untuk terlibat dalam usaha pemerintahan dan strategi pengambilan keputusan. Tanggung jawab yang menjadi tugas eksklusif pemerintah mulai dibagi dalam kontrak keluar (contracting-out) dan atau kerja sama publik-privat (public-privat partnership) kini menjadi bagian dari pelayanan publik.
67
Kedua, pemerintahan harus memiliki kemampuan mengidentifikasi secara jelas lingkup kerja dan bertanggung jawab untuk menangani isu-isu sosial dan ekonomi. Perspektif pemerintahan tidak hanya untuk mengidentifikasi kompleksitas yang meningkat di dalam sistem pemerintahan itu sendiri, tetapi juga bertanggung jawab pada sektor privat dan masyarakat umum.
Ketiga, pemerintahan mengidentifikasi
bahwa lembaga-lembaga yang terlibat dalam aksi kolektif tentunya memiliki ketergantungan kuasa satu sama lain. Ada tiga hal yang menunjukkan adanya ketergantungan kekuasaan. Pertama, saat suatu organisasi berkomitmen untuk bergabung dalam suatu aksi bersama, kemungkinan faktor pendorongnya adalah karena organisasi lain juga melakukan hal yang sama. Jadi dalam relasi antar organisasi atau institusi, terdapat hubungan saling mempengaruhi. Kedua, demi tercapainya tujuan bersama, lembaga-lembaga yang terlibat harus saling menukar sumber dayanya dan menegosiasikan tujuan. Apabila suatu pemerintahan mempunyai tujuan bersama untuk menyejahterakan rakyat, maka berbagai kementerian yang ada di dalamnya harus bekerja sama mewujudkannya. Kementerian dengan fokus yang berbeda harus tetap menjalankan program yang sesuai dengan bidang masing-masing namun tetap bersinergi satu sama lain. Terakhir, hasil yang diciptakan oleh pertukaran sumber daya berbagai lembaga yang terlibat tidak hanya ditentukan oleh sumber daya itu sendiri tetapi aturan yang dipakai dan konteks dari pertukaran itu juga mempunyai pengaruh yang besar. Keempat, pemerintahan dapat dikatakan seperti jaringan aktor-aktor yang secara otonom membentuk self-governing. Bentuk kerja sama yang paling utama di dalam pemerintahan adalah jaringan self-governing. Jaringan itu berhubungan dengan kebijakan bersama dan bentuk-bentuk lain dari fungsi dan isu-isu berbasis kelompok. Kelima, suatu pemerintahan memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi kapasitas
68
yang diperlukan untuk mencapai tujuan tanpa harus bergantung pada kekuatan pemerintah untuk mengatur atau menggunakan kewenangannya. Weber (1930) yang menganggap bahwa birokrasi sebagai organisasi memiliki karakter legal formal karena dilekati dengan aturan-aturan dan prosedur mengikat (legal), dan berjalan dalam rangka mencapai tujuan yang telah disepakati di awal (formal). Dalam hal ini birokrasi sebagai organisasi memiliki enam ciri yaitu terdapat pembagian kerja, terdapat hirarki dalam kewenangan, ada sistem prosedur yang harus ditaati, terdapat sistem hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, dan hubungan antar pribadi yang tumbuh bersifat impersonal. David Osborne dan Ted Gaebler (1992) memperkenalkan konsep pemerintahan wirausaha (entrepreneurial government), yaitu respon organisasi pemerintahan di Amerika Serikat terhadap perubahan lingkungan ekonomi (menuju pasar bebas dunia). Osborne dan Gaebler memperkenalkan prinsip bahwa organisasi pemerintahan yang dikelola organisasi bisnis dengan berfokus pada hasil, otoritas yang terdesentralisasi, mengurangi birokrasi, dan mempromosikan kompetisi di dalam dan di luar pemerintahan. 1.5.5. Kerangka Alur Pikir Melalui sub bab penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teori terkait yang digunakan dalam menganalisis data. Penelitian ini menggunakan teori Rogers (2003: 235) untuk menganalisis aktivitas dan pola inovasi kebijakan perumahan pemerintah daerah; teori Cheema & Rondinelli (2007: 336) tentang sistem desentralisasi; dan teori Scally (1997, 24 : 36) menyebutkan tiga jenis variabel yang menjadi penentu inovasi organisasi, yaitu individu, organisasi, dan lingkungan. Selain itu, penelitian ini menggunakan prinsip keterjangkauan dan kemanfaatan perumahan yang terdiri dari
69
lima variabel yaitu tanah, infrastruktur, keamanan bermukim, pembiayaan, dan konstruksi. Gambar 1.10 Kerangka Teori • Kinerja pembangunan perumahan sangat tertinggal jauh dari capaian • Krisis perumahan belum sepenuhnya dipahami sebagai hal yang mendesak • Kapasitas sumber daya pemerintah masih lemah
Inovasi pemerintah daerah: • Ragam inovasi dalam kelembagaan dan program perumahan: Individu, organisasi, lingkungan Desentralisasi dan Pemerintah Daerah • Tingkat desentralisasi • Peran Pemerintah yang memicu inovasi Kebijakan Perumahan • Analisis historis kebijakan perumahan • Variabel kebijakan perumahan: Tanah, infrastruktur, keamanan bermukim, pembiayaan, & konstruksi
Bentuk inovasi Inovasi pemerintah Pemerintah daerah dalam Daerah dalam kebijakan Kebijakan perumahan
Perumahan
Faktor-faktor pemicu inovasi perumahan
Sumber: Diolah, 2014
Keseluruhan alur pikir penelitian ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Kerangka pikir penelitian ini digunakan sebagai petunjuk logis untuk memastikan proses input telah dilakukan sesuai data, konsep, dan teori sehingga menghasilkan output yang sesuai dengan tujuan dan manfaat penelitian.
1.6. Metode Penelitian Sub-bab ini berisi tentang metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yang meliputi metode pengumpulan data, metode penentuan lokasi penelitian, dan metode analisis data. Penggunaan metode kualitatif digunakan dalam disertasi ini karena dinilai paling sesuai untuk meneliti objek yang bersifat alamiah seperti inovasi
70
pemerintah daerah dalam kebijakan perumahan di era desentralisasi. Penelitian kualitatif memiliki sifat naturalistis sehingga hanya dapat dilakukan pada objek penelitian sosial yang bersifat natural murni dan tidak memberikan ruang bagi manipulasi data (Patton, 2009: 13). Makna sifat penelitian kualitatif ini menunjukkan bahwa jenis penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti objek dan fenomena sosial yang bersifat alami tanpa rekayasa. Hal tersebut senada dengan pandangan Neuman (2013: 559) yang menyebutkan bahwa jenis penelitian kualitatif memberikan kesempatan bagi para peneliti untuk lebih mampu bersikap secara sistematis dan logis dalam memahami peristiwa dan fenomena yang ada di lingkungan sosial.
1.6.1. Metode Penelitian Lapangan 1.6.1.1. Metode Pengumpulan Data Data kualitatif pada penelitian ini memuat fungsi yang sangat strategis karena menjadi sumber dari interpretasi luas yang dilakukan oleh peneliti untuk memahami fenomena sosial dinamika inovasi pemerintah daerah dalam kebijakan perumahan di era desentralisasi, berlandaskan kokoh, dan memuat berbagai penjelasan mengenai prosesproses yang terjadi pada lingkungan setempat yang menjadi objek penelitian. Hal ini sesuai dengan pandangan Bungin (2003: 84) yang menilai bahwa uraian fungsi data kualitatif adalah untuk mempertajam dan memperkaya analisis data dalam proses penelitian kualitatif yang sedang dilakukan. Proses pengumpulan data yang dijalankan dalam disertasi ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menganalisis upaya pemerintah daerah dalam melaksanakan desentralisasi kebijakan perumahan di daerah, bentuk inovasi kebijakan perumahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah di era desentralisasi, dan faktor-faktor pemicu terjadinya inovasi dalam kebijakan perumahan di era desentralisasi.
71
Unsur naturalistis penelitian kualitatif dapat dilihat dari lataralami fenomena atau realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Denzin dan Lincoln (2011: 3-4) menyebutkan bahwa para peneliti kualitatif mempelajari benda-benda di dalam lataralaminya, berupa memahami atau mengintepretasikan fenomena berdasarkan makna-makna yang dilekatkan manusia kepadanya. Pemaknaan yang dilekatkan manusia pada fenomena-fenomena sosial menempatkan peneliti kualitatif sebagai instrumen kunci karena para peneliti kualitatif memiliki keleluasaan untuk menerjemahkan
makna-makna
dalam
fenomena
tersebut
berdasarkan
hasil
pengumpulan data. Mereka mencari jawaban atas berbagai pertanyaan yang menyoroti cara munculnya pengalaman sosial sekaligus perolehan maknanya (Denzin dan Lincoln, 2011:
10-11).
Penelitian
kualitatif
berdiri
sebagai
suatu
pendekatan
yang
memungkinkan untuk melihat suatu fakta dari sebuah realitas yang tidak dapat terungkap secara kuantitatif. Penelitian kualitatif mengeksplorasi sikap, perilaku, dan pengalaman melalui metode wawancara (Dawson, 2010: 15-16). Dalam disertasi ini, peneliti mengumpulkan data kualitatif yang terdiri dari dua macam, yakni data primer dan data sekunder. Menurut Strauss dan Corbin (2009: 7), terdapat 3 unsur utama dalam penelitian kualitatif, yakni data bisa berasal dari berbagai sumber(seperti dari wawancara dan pengamatan), dilakukan prosedur analisis dan intepretasi untuk mendapatkan temuan atau teori, dan laporan secara tertulis dan lisan sebagai hasil penelitian. Ketiga unsur tersebut diterapkan mulai dari tahap pencarian data, kemudian dilanjutkan tahapan pengumpulan data, analisis data, dan diakhiri dengan pelaporan hasil penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah data yang mampu memberikan penjelasan (pemaknaan) terhadap realitas yang diperoleh dari orang kunci (key person), informan kunci (key informan), dan informan.
72
Mashud (2006: 72) menyebut key person sebagai pembuka pintu dalam proses pengumpulan data. Penentuan orang utama dilakukan pada pihak formal dan informal yang memiliki relasi luas dengan pihak-pihak penunjang informasi. Penentuan orang kunci pada penelitian ini dilakukan dengan pemetaan sosial (social mapping) terhadap fokus dan lokus penelitian sehingga menghasilkan gambaran pihak-pihak pangkal yang dinilai mampu berperan dalam proses penelitian kualitatif yang dilaksanakan. Hal ini dikarenakan orang utama berperan penting bagi penelitian kualitatif untuk menghubungkan dan mengarahkan pada sumber informasi (informan dan informan kunci). Orang kunci pada penelitian ini adalah para pakar perumahan yang sangat berpengalaman dalam kiprahnya mengenai desentralisasi, perumahan baik di pemerintah pusat maupun daerah. Penentuan orang kunci adalah pakar yang sering menjadi narasumber (baik pada pembahasan kebijakan maupun di media massa) terutama pada tingkat nasional yang memiliki pengalaman di pemerintah daerah, telah melaksanakan proyek-proyek di daerah, berpengalaman menjabat setingkat eselon dua atau pimpinan tertinggi di lembaganya selama lebih dari tiga tahun, berperan dalam penyusunan undang-undang dan penyusunan dokumen perencanaan dalam perumahan (Rencana Strategi Kementerian/Pemerintah Daerah, Peraturan Presiden/Menteri/ Daerah, Rapat Koordinasi antar Kementerian, dan Rapat Koordinasi antar Dinas). Informan kunci dalam penelitian ini adalah orang-orang yang karena pengetahuannya yang luas dan mendalam tentang komunitasnya dapat memberikan data yang berharga (Oetomo, 2006: 189). Kata kunci pemahaman tentang informan kunci terletak pada keberadaannya dalam suatu komunitas. Artinya, informan kunci adalah bagian dari komunitas yang dijadikan sebagai objek penelitian. Keberadaan informan kunci dalam komunitas inilah yang membuat posisi informan kunci sangat strategis dan menunjang proses pengumpulan data. Penelitian ini menggunakan informan kunci yang
73
memiliki pengetahuan yang mendetail tentang komunitasnya, memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dan kegiatan kesatuan organisasi dalam kegiatan, dan terlibat langsung dalam fenomena yang menjadi objek penelitian. Proses penentuan informan kunci dilakukan melalui pengamatan karakteristik objek penelitian sehingga informan kunci dipilih dari pihak yang berpengaruh dalam komunitas dalam objek penelitian ini. Informan kunci dalam kebijakan perumahan disebut panitia pelaksana, satuan kerja (satker), penanggung jawab program, dan penerima manfaat atau kelompok sasaran. Posisi secara formal belum tentu pihak yang sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan (dapat diselenggarakan secara formal dan informal). Informan kunci mengetahui isu yang utama dalam skema program, diantaranya adalah isu tanah, desain program, dan rapat koordinasi baik dengan internal pemerintah bidang lain atau dengan tingkat yang lebih tinggi. Pemilihan masing-masing lembaga dilakukan dengan metode create-based selection, artinya peneliti berperan untuk menentukan narasumber yang dinilai kompeten dalam memberikan informasi terkait fokus penelitian yang terdiri atas: 1) Kementerian Perumahan Rakyat. Pengumpulan data primer dan sekunder pada Deputi Bidang Pengembangan Kawasan, Deputi Bidang Perumahan Swadaya, Deputi Bidang Perumahan Formal, Deputi Bidang Pembiayaan Perumahan, Biro Perencanaan dan Anggaran, dan Pusat Pembangunan Perumahan. 2) Kementerian Pekerjaan Umum pada Direktur Pengembangan Permukiman 3) Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Perumahan pada Deputi Bidang Perumahan dan Permukiman dan Deputi Bidang koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat.
74
4) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada Direktur Perumahan dan Permukiman 5) Pemerintah Provinsi: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Dinas Pekerjaan Umum, Badan Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial atau Dinas Teknis terkait. 6) Pemerintah Kabupaten/Kota: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Pekerjaan Umum, Badan Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Sosial, Unit Pelayanan Teknis Dinas (UPTD) dan BUMD 7) Asosiasi swasta pengembang yaitu Real Estate Indonesia, dan Asosiasi Perumahan Rakyat Seluruh Indonesia (APERSI), dan Asosiasi Konsultan Pembangunan Perumahan Indonesia (AKPPI) 8) Organisasi Non-Pemerintah yaitu UN-Habitat Indonesia, Yayasan Kotakita, Yayasan Budha Tsuci, Housing Resource Center Indonesia, dan Yayasan Griya Mandiri. 9) Akademisi yang melakukan penelitian dalam pembangunan perumahan dan kebijakan publik yang aktif berkontribusi di Kementerian Perumahan Rakyat dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat 10) Pemerhati perumahan dan para pakar yang didapatkan berdasar rujukan dari penanggung jawab implementasi kebijakan perumahan di Kementerian Rakyat (didapat dengan metode bola salju (snowballing)). Wawancara secara mendalam dalam mengumpulkan data primer dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik observasi. Melalui teknik observasi, penelitian akan diperkaya dengan memahami perilaku dan berupaya untuk memahami makna dari perilaku tersebut (Marshal dan Rossman, 1995: 153). Menurut Moris (1973: 906), dalam melakukan observasi, aktivitas yang dilakukan peneliti adalah mencatat
75
keseluruhan gejala dengan bantuan berbagai instrumen penelitian untuk mencapai tujuan penelitian. Dari pandangan Marshal, Rossman dan Moris tersebut, dapat digarisbawahi bahwa dalam menjalankan teknik observasi, peneliti mencatat berbagai perilaku dan fenomena sosial yang menjadi fokus dan lokus penelitian untuk memahami makna dari realitas sosial tersebut. Teknik observasi dilakukan dalam penelitian ini pada diskusi terarah di Kemenpera, Kemenkokesra, dan KemenPU. Pada tingkat daerah, teknis observasi dilakukan pada diskusi terarah (FGD) di Bappeda dan FGD kegiatan lain terkait bidang perumahan. Hal ini dilakukan untuk mengevaluasi proses perumusan produk kebijakan perumahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah di era desentralisasi. Proses wawancara mendalam terhadap orang utama, informan kunci, dan informan dilakukan dengan instrumen penelitian berupa pedoman wawancara
dan
pengembangannya, atau disebut wawancara semi terstruktur (semi-structured interview). Wawancara semi terstruktur merupakan salah satu bagian dari wawancara mendalam. Weis (1994: 77) menyebutkan bahwa dalam penyelenggaraannya, wawancara semi terstruktur dilakukan dengan membuat penanda yang lazim disebut kisi-kisi pertanyaan sebagai instrumen penelitian. Namun, peneliti tetap melakukan pengembangan atas wawancara tersebut saat berhadapan dengan narasumber. Pandangan Weis ini menegaskan posisi wawancara semi terstruktur sebagai nilai tengah atas proses wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Hal ini mengingat wawancara terstruktur dilakukan dengan modal rincian penanda instrumen penelitian dan pemetaan informan kunci sedangkan wawancara tidak terstruktur dilakukan hanya bermodalkan intuisi metodologis peneliti tanpa sketsa penanda instrumental penelitian. Neuman (2013: 494) menjelaskan adanya perbedaan mendasar penentuan pilihan dari pembagian wawancara terstruktur dan tidak terstruktur, yakni berganti dari
76
batas waktu pelaksanaan penelitian, jenis penelitian, kondisi objek, dan narasumber penelitian. Wawancara untuk keperluan survei menjadi bidang yang tepat untuk melakukan pemilihan terhadap teknik wawancara terstruktur sedangkan wawancara lapangan merupakan bidang yang tepat untuk memilih teknik wawancara tidak terstruktur. Hal menarik dari gagasan Neuman tersebut adalah nilai fleksibel wawancara terstruktur yang dapat digunakan pada kedua kondisi dalam dikotomi tersebut. Penelitian ini menggunakan wawancara semi terstuktur pada wawancara dengan pemerintah dan wawancara tidak terstruktur ketika mengupulkan data terkait proses formulasi kebijakan . Penentuan pilihan penggunaan teknik wawancara terstruktur, semi terstruktur dan tidak terstruktur berpengaruh besar terhadap kualitas data sehingga dapat dikatakan pilihan tersebut berimplikasi terhadap derajat validitas dan keandalan data (Lofland, dkk, 2005: 3-5). Untuk menghindari kesalahan fatal penggunaan teknik wawancara yang kurang tepat, penelitian ini menggunakan unsur yang lebih fleksibel. teknik wawancara semi terstruktur memungkinkan peneliti untuk mendapatkan data yang lebih tajam karena penelitian ini bersifat dinamis. Metode wawancara semi terstruktur dilakukan pada orang utama dan informan utama dengan pertanyaan wawancara yang telah disiapkan yang kemudian dikembangkan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Wawancara ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam bentuk kuesioner, baik secara jarak jauh ataupun langsung, kemudian mencatat jawabannya dengan apa adanya (daftar pertanyaan tertulis pada lampiran III). Melalui metode ini, penelitian dilakukan untuk mengumpulkan data dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian mengenai inovasi pemerintah daerah dalam kebijakan perumahan di era desentralisasi.
77
Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik dokumentasi. Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini difokuskan pada data yang terkait fenomena inovasi pemerintah daerah dalam kebijakan perumahan di era desentralisasi, profil objek pajak, monografi sejarah dan profil perumahan pemerintah daerah baik pada pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, sejarah kebijakan perumahan dan implementasi di daerah yang menjadi lokasi penelitian, dan berbagai data sekunder terkait yang mendukung fokus dan lokus penelitian. Data sekunder dalam bentuk dokumen yang dikumpulkan dalam penelitian ini diperlukan untuk melengkapi pengumpulan data primer dan menjadi pembanding validitas data primer yang telah dikumpulkan. Selain itu, pengumpulan data sekunder bersamaan dengan data primer ini merupakan upaya peneliti untuk memastikan terjadinya triangulasi dalam proses pengumpulan sampai analisis data. Data yang diperoleh dari wawancara dengan para pakar secara langsung, diskusi terarah pada pemangku kepentingan baik di pemerintah pusat maupun pada pemerintah di lokasi penelitian, data sekunder, dan data hasil observasi yang diamati langsung oleh peneliti di lokasi perumahan pada 7 kabupaten/kota, diolah untuk merumuskan mengenai fakta lapangan dengan proses triangulasi. Proses triangulasi ini secara umum banyak dimaknai sebagai tahapan untuk mereduksi berbagai aspek ketidaksesuaian yang peneliti temukan dalam tahapan pengumpulan data. Triangulasi dalam penelitian ini merupakan upaya untuk menerjemahkan data guna memperoleh fakta mengenai kondisi riil fokus dan lokus penelitian. Proses triangulasi penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan sebuah kebenaran metodologis yang dapat diklasifikasi sebagai tipe kebenaran ketahanan (tenacity), kebenaran otoritas, kebenaran berdasarkan teori dan kebenaran berdasarkan pendekatan ilmiah Klinger (1992: 8-9).
78
Gambar 1.11 Metode Pengumpulan Data
Mendengar kan
Mengama ti
Perekaman suara
Data 1
Perekam an visual
Dat a2
Jotted notes
Mewawa ncara Ingatan & emosi
Catatan lapangan
Memilah dan menggolo ngkan Open Coding Axial Coding Selective Coding Menerjem ah-kandan menyelidi ki
Dat a3
Sumber lain
Sumber: diolah dari Ellen (1984 : 2114)
Strategi penelitian yang dipakai dalam disertasi ini diadaptasi dari strategi umum yang digunakan oleh para peneliti deskriptif kualitatif. Dalam penelitian ini, strategi penelitian disusun sebagai gambaran proses panjang pengumpulan data sampai gambaran empiris fakta sosial yang diawali dengan strategi pengumpulan data. Dengan menggunakan standar strategi penelitian deskriptif kualitatif ini, diperoleh 3 macam data penelitian lapangan, yakni (1) data satu berupa data mentah, (2) data kedua berbentuk data hasil rekaman, dan (3) data ketiga berupa dokumen tulis, juga penting dilakukan yaitu dengan mencari data tertulis berupa kutipan-kutipan, dokumen tulis, jawaban tertulis dari kuesioner dan survei, publikasi, laporan, data statistik, dan sebagainya. 1.6.1.2. Metode Penentuan Lokasi Penelitian Lokus penelitian ini secara mendalam pada tingkat kabupaten/kota, pada unit kerja pemerintah terkait kebijakan perumahan (Bappeda dan Dinas Pekerjaan Umum) 79
pada masing-masing 7 lokasi penelitian, pada Kementerian Perumahan Rakyat dan program-programnyai, dan pada Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Lokasi penelitian pada tingkat kabupaten/kota ditentukan berdasar kewenangan paling besar dalam pembangunan di Indonesia adalah pada tingkat kabupaten/kota. Selain itu, kabupaten/kota mengemban misi yang paling berat dibandingkan dengan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Pemilihan kabupaten/kotapada penelitian ini ditentukan berdasarkan tiga alasan, pertama yaitu merupakan pemerintah daerah penerima penghargaan dalam pembangunan perumahan yang dilaksanakan tiap tahun oleh Kementerian Perumahan Rakyat yang diberi nama penghargaan Adi Upaya Puritama. Alasan yang kedua, pemerintah kabupaten/kota yang terpilih merupakan hasil wawancara pakar dalam pembangunan perumahan. Ketiga, hasil kinerja kegiatan dekonsentrasi Kementerian Perumahan Rakyat pada tahun 2011 dalam proses penyusunan dokumen perencanaan pemerintah provinsi. Berdasar alasan penentuan pertama, penghargaan Adi Upaya Puritama, terpilih Kota Pekalongan, Kota Palembang, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Malang, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sleman. Penentuan lokasi berdasar alasan yang kedua adalah hasil wawancara pakar dalam pembangunan perumahan. Pakar yang terpilih adalah pakar yang telah bekerja di bidang perumahan selama lebih dari 20 tahun dan telah melakukan pembinaan pemerintah daerah baik dalam formulasi kebijakan maupun implementasi kebijakan sehingga sangat memahami kabupaten/kota di Indonesia. Berdasar wawancara pakar ini, terpilih Kota Surakarta, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kabupaten Malang, Kota Makasar, Kota Pekalongan, Kabupaten Rembang, Kabupaten Blitar, Kota Sragen, dan Kabupaten Bandung. Selanjutnya, dasar penentuan lokasi penelitian yang ketiga adalah hasil kinerja pemerintah kabupaten/kota yang berperan dan mendukung pemerintah provinsi dalam penyusunan dokumen
80
perencanaan perumahan dalam kegiatan dekonsentrasi Kementerian Perumahan Rakyat pada tahun 2011. Kabupaten/kota yang berkontribusi banyak dalam kegiatan ini adalah Kabupaten Malang, Kota Palembang, Kota Padang, Kota Surabaya, Kota Palangkaraya, Kota Semarang, Kota Bandung, dan Kota Makassar. Pertimbangan lain yang sangat penting, yang menjadi pertimbangan peneliti, adalah pertimbangan akses terhadap data primer, kecukupan akses terhadap data sekunder, dan kecukupan sumber daya dalam penelitian. Berdasar ketiga hal tersebut maka ditentukan lima kabupaten/kota yang terpilih, yaitu Kota Palembang, Kota Pekalongan, Kota Surakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Malang. Khusus Kabupaten Sleman, walau tidak terpilih dengan dasar wawancara pakar dan kinerja dalam kegiatan dekonsentrasi Kementerian Perumahan Rakyat, kabupaten ini dipilih sebagai pembanding data pendukung dengan kemenangannya dalam penghargaan Adi Upaya Puritama. Akan tetapi, disamping kelima kabupaten/kota terpilih, dua kabupaten lain juga diteliti dan digunakan sebagai data pembanding, yaitu kota Kupang dan kabupaten Gorontalo. Penentuan kedua kabupaten ini atas dasar pemikiran bahwa keinovasian suatu pemerintah daerah akan dapat dilihat apabila dibandingkan dengan daerah yang dianggap tidak melakukan inovasi. Lokasi penelitian inovasi pemerintah daerah dalam kebijakan perumahan dapat dilihat dalam peta berikut.
81
Gambar 1.12 Lokasi Penelitian Inovasi dalam Kebijakan Perumahan Pemerintah Daerah di Era Desentralisasi
Gorontalo Palembang Pekalongan Sleman Surakarta Malang
Kupang
Sumber: Diolah, 2014
Sesuai dengan kerangka pemikiran teoretis di atas, kota Kupang dan kabupaten Gorontalo juga digunakan untuk melihat faktor-faktor penghambat inovasi dalam kebijakan perumahan pemerintah daerah. Kedua daerah ini tidak memenangkan penghargaan apapun, namun melaksanakan program Kementerian Perumahan Rakyat. Kabupaten Gorontalo dipilih sebagai wakil daerah yang melaksanakan program pemerintah pusat saja berdasar informasi dari informan. Kota Kupang dipilih selain sebagai keterwakilan wilayah Indonesia Timur namun juga pelaksana program pemerintah pusat dengan dukungan dana yang cukup besar12. 1.6.1.3. Metode Analisis Data Setelah data primer dan sekunder selesai dikumpulkan, tahapan penelitian berikutnya yang dilakukan adalah analisis data. Analisis data menjadi bagian yang sangat penting dalam proses penelitian ilmiah, hal ini dikarenakan melalui proses analisis, berbagai data tersebut diberi arti dan makna yang berguna untuk memecahkan 12
Hasil wawancara dengan Staf Deputi Bidang Pengembangan Kawasan, Kemenpera
82
rumusan masalah penelitian (Nazir, 2005: 346). Pada penelitian deskriptif kualitatif tentang dinamika inovasi pemerintah daerah dalam kebijakan perumahan di era desentralisasi, analisis deskriptif dipilih sebagai teknik analisis data. Teknik analisis deskriptif memiliki keunggulan epistemologis dibandingkan dengan teknik analisis lain. Keunggulan ini berupa lebih diutamakannya sikap kehati-hatian dalam pemahaman tiap-tiap wujud dari fenomena sosial yang ada. Bila dibandingkan dengan teknik analisis induktif, analisis deskriptif dinilai oleh banyak ilmuwan lebih bisa diandalkan dalam proses penelitian deskriptif analisis mengingat dalam analisis deskriptif ini tidak hanya berhenti pada struktur penjelasan, melainkan turut menghasilkan hasil analisis yang lebih komprehensif dalam mendeskripsikan berbagai temuan penelitian lapangan yang telah selesai dilakukan (Huberman dan Milles, 2009: 593). Tindakan awal yang dilakukan dalam analisis deskriptif ini dilakukan dengan kegiatan pengumpulan data yang kemudian dilanjutkan dengan reduksi data, penyajian, dan penarikan kesimpulan. Secara praktis, tindakan pertama analisis deskriptif penelitian ialah memahami berbagai data tentang kebijakan perumahan daerah di era desentralisasi untuk memperoleh informasi mengenai inovasi kebijakan yang telah dikembangkan oleh pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan. Pemahaman data dalam langkah awal analisis deskriptif ini dilakukan untuk mendapatkan deskripsi kondisi umum kebijakan pengelolaan perumahan di daerah pada era desentralisasi. Pemahaman kondisi umum tersebut memiliki nilai keharusan yang mendesak sebagai simultan bagi langkah-langkah analisis data berikutnya. Metode analisis historis atas kejadian dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai peran dan pengalaman pemerintah Indonesia dalam desentralisasi perumahan. Hasil penelitian dengan menggunakan metode ini dijelaskan pada bab 2 dan 3 yaitu tentang analisis evolusi kebijakan perumahan nasional dan analisis tentang
83
desentralisasi dan peran pemerintah dalam kebijakan perumahan untuk mengetahui apakah kebijakan perumahan pemerintah daerah yang dilakukan saat ini tergolong inovatif. Analisis Bab 4 berisi tentang inovasi pemerintah daerah dalam kebijakan perumahan pada masing-masing lokasi penelitian dan Bab 5, berisi tentang analisis faktor-faktor pemicu inovasi pemerintah daerah dalam kebijakan perumahan yang terincikan pada bab 4. Gambar 1.14 Strategi Penelitian Menjawab 3 rumusan masalah
Sumber: Analisis, 2015
Strategi penelitian yang dilakukan dalam penyusunan disertasi pasca pengumpulan data adalah meta data, analisis, penentuan faktor pemicu terjadinya inovasi dalam kebijakan perumahan. Meta data dilaksanakan melalui proses deskripsi formulasi kebijakan perumahan yang disusun berdasarkan kronologis kejadian. Tahapan metadata ini dilanjutkan dengan analisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif. Pasca tahapan analisis, dilakukan penentuan faktor penentu dan proses model untuk menganalisis rumusan masalah berdasarkan fokus dan lokus penelitian.
84
1.6.2. Metode Penelitian Teori Pengumpulan literatur dilakukan dengan pengumpulan jurnal, buku, artikel, dan resensi yang terkait, perkuliah, dan seminar. Jurnal yang terkait dengan penelitian ini yaitu jurnal tentang kebijakan publik, jurnal tentang perumahan, jurnal tentang kebijakan sosial, jurnal tentang perencanaan kota dan wilayah, jurnal tentang humaniora, jurnal tentang pemerintah daerah, dan jurnal tentang inovasi. Jenis literatur yang dikumpulkan meliputi Kebijakan Publik, Inovasi dalam Kebijakan, Konsep Perumahan, dan Desentralisasi dan Pemerintah Daerah. Literatur terkait Kebijakan Publik meliputi Perumusan Kebijakan, Analisis Kebijakan, dan Kewirausahaan Kebijakan. Inovasi dalam Kebijakan Publik meliputi Makna Inovasi, Difusi Inovasi, dan Tingkatan Inovasi. Literatur terkait dengan konsep perumahan terdiri dari definisi dan paradigm kebijakan perumahan, permintaan-pasokan (demand-supply) perumahan, dan pembiayaan perumahan. Literatur terkait lainnya adalah desentralisasi dan pemerintah daerah, meliputi teori desentralisasi dan desentralisasi perumahan. Teori adalah seperangkat konsep atau konstruktif yang berhubungan satu dengan lainnya.
Teori juga sebagai ”mahkota” dari kebenaran dalam ilmu pengetahuan
sehingga mengakibatkannya terbelah menjadi dua, yaitu teori yang berasal dari penelitian akademis (Academical theory), dan teori yang berasal dari pengalaman yang berhasil (the practices) atau lay theory (Schermerhorn, 1993). Analisis teori dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teori Scally yakni dalam teori organisasi dan pembagian peran antara lembaga. Metode interpretatif digunakan untuk menganalisa data sekunder yang didapat di lapangan (instansi pemerintah) dan analisis data dengan komparasi kasus dilakukan pada seluruh lokasi penelitian (7 kabupaten/kota) sehingga menghasilkan konsep inovasi pemerintah daerah dalam kebijakan perumahan (hasil analisis pada bab 4).
85
Penelitian ini menggunakan metode interpretatif menggunakan kebenaran ilmiah.
Menurut Noeng Muhadjir (2001) kebenaran ilmiah terdiri dari kebenaran
kohern bahwa pernyataan dianggap benar jika: pertama, pernyataan tersebut kohern dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar; kedua, kebenaran koresponden, suatu pernyataan dianggap benar jika materi pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut berhubungan atau mempunyai koresponden dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut; ketiga, kebenaran pragmatis, pernyataan dianggap benar jika mempunyai sifat fungsional dalam kehidupan praktis. Penelitian ini mengupayakan kebenaran berdasar pendekatan ilmiah, sehingga kebenaran yang muncul melalui proses pembuktian dan pencarian kebenaran berdasar perkembangan ilmu pengetahuan. Maka, penelitian dapat dipahami sebagai suatu proses yang terencana (Klinger, 1992: 8-9). Penelitian ini menggunakan triangulasi untuk memastikan bahwa penelitian ini telah memuat unsur kebenaran seperti yang diungkapkan Parsons (2005) bahwa penelitian merupakan pencarian atas sesuatu secara sistematis dengan penekanan. Triangulasi menjadi proses yang secara linier diperlukan pada pengumpulan data untuk memastikan bahwa data-data tersebut dapat digunakan sebagai instrumen untuk menjelaskan fakta dari fenomena sosial. Menurut Huberman (1971), proses penelitian ilmiah didorong oleh kepentingan kognitif tertentu. Peranan dominan peneliti sebagai pihak penentu proses triangulasi membuat proses triangulasi sangat sarat kepentingan kognitif tertentu dari peneliti. Kepentingan kognitif peneliti tersebut secara empiris berpengaruh terhadap cara pandang dan keberpihakan penelitian terhadap berbagai perspektif ilmiah. Pandangan Huberman tersebut sekaligus menggarisbawahi bahwa tidak ada unsur bebas nilai dalam triangulasi penelitian, khususnya ketiadaan bebas nilai terhadap pilihan cara pandang dan perspektif ilmiah/keilmuan tertentu.
86
Bentuk desentralisasi kebijakan perumahan sangat beragam di daerah dan di daerah sangat sulit menemukan bentuk terjadinya inovasi dalam pelaksanaan program. Pada tahap formulasi kebijakan, aktivitas didalamnya dilakukan secara paralel dan pendapat penentu kepentingan pun sangat beragam. Data perumahan merupakan data yang disurvei oleh BPS, namun data yang dihasilkan setelah diolah masih dianggap kurang memenuhi kebutuhan para penentu kebijakan.13 Sesuai dengan peraturan perundang-undangan bahwa kementerian teknis terkait dan dinas teknis terkait di daerah memiliki otoritas mengeluarkan data yang sesuai dengan kebijakan dalam lingkup mandat pekerjaannya. Oleh karena itu, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pekerjaan Umum, dan BPS. Kesulitan yang timbul dalam penelitian ini adalah menentukan orang kunci (keyperson) untuk pengumpulan data dan menemukan proses triangulasi pada masingmasing lokasi penelitian dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian yang kemudian dianalisis berdasar teori terkait. Kesulitan ini ditanggulangi dengan mengajukan pertanyaan kepada orang kunci (keyperson) di masing-masing tingkatan pemerintahan dan pada beberapa lembaga pemerintah pada tingkat diatasnya (kementerian dan badan) untuk memberikan rujukan keyperson yang lain. Selain kesulitan tersebut, peneliti juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan data sekunder pembiayaan program terutama pada program yang telah dilakukan lebih dari jangka waktu dua tahun.
1.7. Sistematika Penulisan Disertasi ini terdiri dari 6 bab yang meliputi (1) Pengantar, (2) Analisis historis kebijakan perumahan di Indonesia, (3) Desentralisasi dalam Kebijakan Perumahan di Indonesia, (4) Dinamika inovasi dalam Kebijakan Perumahan di Daerah (5) Determinan 13
Hasil wawancara Staf Biro Perencanaan dan Anggaran Kementerian Perumahan Rakyat pada 8 Juni 2011
87
Inovasi Pemerintah Daerah dalam Kebijakan Perumahan dan, (6) Penutup. Bab 1 disajikan pengantar penelitian yang meliputi latar belakang masalah yang memuat dasar permasalahan pemicu permasalahan penelitian. Selain itu, bab ini berisi pula keaslian penelitian yang memuat penelitian terdahulu, tujuan dan masalah penelitian, tinjauan pustaka, dan landasan teori. Bab 2 merupakan analisis historis tentang kebijakan perumahan di Indonesia. Bab ini berisikan pemahaman konteks kebijakan perumahan dari pemahaman historis. Bab 3 berisikan analisis deskriptif desentralisasi dalam kebijakan perumahan di Indonesia yang menunjukkan konteks desentralisasi kebijakan perumahan. Bab ini berisi tentang uraian analisis kebijakan perumahan di Indonesia, program perumahan pemerintah pusat, analisis lembaga perumahan nasional dan analisis kebijakan perumahan pemerintah provinsi. Bab 4 adalah analisis inovasi pemerintah daerah dalam kebijakan perumahan pada lokasi penelitian. Bab ini merupakan temuan analisis bentuk inovasi dalam kebijakan perumahan yang dirumuskan dalam tujuh sub-bab. Sub-bab pertama merupakan analisis peran pemerintah daerah di era desentralisasi. Bagian ini merupakan dasar pemikiran yang melandasi argumentasi tentang inovasi pemerintah daerah. Lima sub-bab berikutnya adalah temuan kebijakan perumahan pada pemerintah Kota Palembang, Kota Pekalongan, Kabupaten Sleman, Kota Surakarta, dan Kabupaten Malang yang kemudian disarikan pada sub-bab terakhir, pola inovasi dalam kebijakan perumahan pemerintah daerah. Bab 5 membahas mengenai determinan pemicu terjadinya inovasi dalam kebijakan perumahan pemerintah daerah yakni analisis lebih lanjut dari temuan pada bentuk inovasi dalam kebijakan perumahan pemerintah daerah di era desentralisasi. Disertasi ini ditutup dengan Bab 6 yang terdiri dari 3 sub bab, yakni kesimpulan penelitian, refleksi teoritis dan pembatasan penelitian, dan rekomendasi dalam bentuk rekomendasi penelitian dan penelitian kebijakan.
88