RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat I.
PEMOHON Assosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang diwakili oleh Ir. H. Isran Noor, MSi dan Drs. H. Rachmat Yasin, MM, masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Jenderal APKASI. KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 21 Februari 2014.
II.
OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU 41/1999) terhadap UUD 1945.
III.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon
menjelaskan,
bahwa
ketentuan
yang
mengatur
kewenangan
Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang adalah: 1. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap
Undang-Undang
Dasar,
memutus
sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. 2. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undangundang (UU) terhadap UUD RI Tahun 1945”. 3. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. 4. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan, “Dalam hal suatu UndangUndang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”. 5. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan Pemohon. IV.
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Pemohon adalah badan hukum yang berbentuk perkumpulan (vereneging) yang didirikan dengan Akta Notaris Aryanti Artisari Nomor 9 tanggal 6 Januari 2012 yang telah disahkan sebagai badan hukum oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU.50.AH.01.07 Tahun 2012 tanggal 5 April 2012. Pemohon sah bertindak mewakili kepentingan anggotanya yang mempunyai hak-hak konstitusional yang diatur dan diberikan oleh UUD 1945. Anggota APKASI adalah pemerintah daerah kabupaten seluruh Indonesia berdasarkan stelsel pasif (Pasal 9 Anggaran Dasar). Dengan demikian, tanpa memohon menjadi anggotapun, pemerintah kabupaten seluruh Indonesia akan secara otomatis menjadi anggota APKASI. Masalah hutan adalah topik yang sering dibicarakan
dan
memerlukan
kejelasan
kewenangan
pengelolaan
sehingga
Pemohon mewakili kepentingan para anggotanya, mengajukan pengujian norma UU 41/1999. Kerugian konstitusional Pemohon dikarenakan tindakan Pemerintah dan Menteri Kehutanan yang diberikan kewenangan oleh pasal-pasal dalam UU 41/1999 untuk menyelenggarakan pemerintahan di bidang kehutanan yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah daerah. V.
NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI A. NORMA MATERIIL Norma yang diujikan, yaitu:
-
Pasal 4 ayat (2) UU 41/1999 (2) “Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk: a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan”.
-
Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 41/1999 (3) “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. (4) Apabila
dalam
perkembangannya
masyarakat
hukum
adat
yang
bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah”. -
Pasal 8 ayat (1) UU 41/1999 (1) “Pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus”.
-
Pasal 14 ayat (1) UU 41/1999 (1) “Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan”.
-
Pasal 18 ayat (1) UU 41/1999 (1) “Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat”.
-
Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU 41/1999 (1) “Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu”. (2) “Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai
strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” -
Pasal 38 ayat (3) dan ayat (5) UU 41/1999 (3) “Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui
pemberian
izin
pinjam
pakai
oleh
Menteri
dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan” (5) “Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. -
Pasal 50 ayat (3) huruf g UU 41/1999 (3) “Setiap orang dilarang: g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri”
-
Pasal 66 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 41/1999 (1) “Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah. (2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu: − Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum”. − Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945 (2) “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
(5) “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. − Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 (1) “Hubungan wewenang antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. (2) “Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang”. − Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
VI. ALASAN-ALASAN PEMOHON UNDANG-UNDANG A QUO BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945 1. Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
(NKRI)
sejatinya
secara
normatif
konstitusional, adalah negara kesatuan berbentuk republik. Di tengah keragaman yang begitu besar, NKRI jelas tidak mungkin menyelenggarakan kekuasaan negaranya secara sentralistik. Kewenangan diberikan kepada daerah-daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di daerahnya haruslah adil. 2. Sebagian besar hutan di Indonesia berada di wilayah kabupaten, terutama di daerah luar Jawa. Para bupati yang ada di daerah di mana hutan itu terletak, lebih mengetahui keadaan hutan di daerahnya dibanding Presiden Republik Indonesia dan Menteri Kehutanan. Secara tiba-tiba, Menteri Kehutanan menyatakan bahwa lahan kampung tempat masyarakat adat tinggal selama ratusan tahun adalah merupakan bagian dari kawasan hutan lindung, tanpa ada ganti rugi. Masyarakat adat dan pemerintah daerah kabupaten setempat tidak diajak bicara dalam mengambil keputusan tersebut. Menteri Kehutanan menetapkan kebijakan tersebut berdasarkan Pasal 5 UU 41/1999. 3. Pasal 4 ayat (1) UU 41/1999 yang berbunyi
“Semua hutan di dalam wilayah
Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dan berdasarkan esensi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, tidak berarti bahwa kewenangan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kehutanan mutlak menjadi kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana tercermin dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, b, dan c UU 41/1999 sehingga Pasal 4 ayat (2) huruf a, b, dan c UU 41/1999 bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. 4. Semangat pengaturan dalam UU 41/1999 bersifat sentralistik dimasa transisi Orde Baru sehingga Pasal 4 ayat (2) huruf a, b, dan c UU 41/1999 bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945. Sejauh mengatur kewenangan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah memanfaatkan sumber daya alam hutan, norma UU 41/1999 tidak memberikan pengaturan kewenagan yang adil dan selaras antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, malahan memberikan monopoli kewenangan pada Pemerintah Pusat, padahal hutan ada di daerah, bukan di pusat. 5. Pasal 66 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 41/1999 bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945 serta Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 karena berdasarkan perubahan UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang kehutanan bukan lagi kewenangan Pemerintah Pusat. 6. UU 41/1999 disahkan pada tanggal 30 September 1999 dan diundangkan pada hari yang sama. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa UU 41/1999 dibentuk sebelum adanya Perubahan UUD 1945. Karena itu, cukup beralasan untuk menyimpulkan bahwa semua norma di dalam UU 41/1999, sejauh memberikan kewenangan penuh pada Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan tidaklah merujuk pada norma Pasal 18A ayat (2) UUD 1945. VII. PETITUM 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan kata “Pemerintah” dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 8 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), dan kata “Menteri” dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 50 ayat (3) huruf g, dan Pasal 66 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Menyatakan kata “Pemerintah” Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 8 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), dan kata “Menteri” Pasal 38 ayat (2), Pasal 38 ayat (5), Pasal 50 ayat (3) huruf g dan Pasal 66 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat 4. Memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya.
Catatan: − Perubahan pada norma yang diujikan, yaitu pada Pasal 38 ayat (2) menjadi Pasal 38 ayat (3). − Perubahan pada Petitum. a. Permohonan Awal 1. Menyatakan Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 8 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 50 ayat (3) huruf g, dan Pasal 66 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Menyatakan Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 8 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 38 ayat (5), Pasal 50 ayat (3) huruf g dan Pasal 66 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat 3. Memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya. b. Perbaikan Permohonan 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan kata “Pemerintah” dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 8 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), dan kata “Menteri” dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 50 ayat (3) huruf g, dan Pasal 66 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Menyatakan kata “Pemerintah” Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 8 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), dan kata “Menteri” Pasal 38 ayat (2), Pasal 38 ayat (5), Pasal 50 ayat (3) huruf g dan Pasal 66 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat 4. Memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya.