BAB II PENETAPAN NILAI JUAL OBJEK PAJAK (NJOP) OLEH PEMERINTAH DAERAH DAN PEMERINTAH PUSAT
A. Kewenangan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat Konsep “kewenangan” memang tidak bisa didangkalkan atau ditukar pengertiannya dengan “urusan”, sebagaimana sering dipakai oleh kalangan pejabat di Pusat yang menangani masalah otonomi daerah. Di dalam urusanurusan pemerintahan tertentu itulah terdapat kewenangan-kewenangan yang biasa dilakukan oleh daerah, khususnya berkaitan dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, penganggaran dan evaluasi. Suatu daerah otonom memiliki ciri-ciri yang spesifik, antara lain : 1. Memiliki kewenangan dalam urusan-urusan rumah tangganya. 2. Memiliki sumber-sumber keuangan sendiri. 3. Memiliki aparatur daerah dan kelembagaannya. 4. Memiliki Badan Perwakilan yang dipilih oleh rakyat di daerah. 5. Adanya manajemen pelayanan publik. 6. Adanya pengawasan, supervisi, monitoring dan evaluasi yang efektif.39 Pelimpahan wewenang otonomi yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berdasarkan suatu asas yakni asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata , dan bertanggung jawab. Suatu kewenangan
otonomi
yang
luas
adalah
keleluasaan
daerah
untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua kewenangan bidang
39
Depdagri, Pokok-pokok Pikiran Konsepsi Otonomi Daerah, Jakarta, 2002, hal. 17
35
Universitas Sumatera Utara
36
pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan lainnya yang diatur dalam perUndang-Undangan. Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Jadi yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Otonomi yang bertanggung jawab adalah perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, yakni berupa peningkatan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan dan pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dengan daerah serta antar pemerintah daerah. Dengan otonomi daerah, kewenangan daerah otonomi untuk mengurus daerahnya sesuai dengan keinginan masyarakatnya semakin tinggi. Jika sebelumnya daerah hanya sebagai operator saja dalam pembangunan, maka kini peran daerah meluas menjadi iniciator, planner, fund rising, supervisor
Universitas Sumatera Utara
37
ataupun evaluator. Asumsinya, daerah lebih tahu tentang masalah dan potensi yang ada di daerahnya masing-masing.40 Walaupun peluang untuk melaksanakan otonomi luas telah tercipta, namun ternyata terdapat berbagai kendala yang dihadapi daerah, antara lain aparat Pemerintah Daerah yang profesional belum cukup memadai, baik kuantitas maupun kualitasnya untuk menjalankan kewenangannya dan pertanggung-jawaban atas segala urusan yang sudah diserahkan kepada daerah. Visi untuk memujudkan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik melalui otonomi luas belum sama di antara semua pelaku pembangunan. Koordinasi antar-instansi di daerah masih kurang terselenggara sebagaimana yang diharapkan, apalagi menghadapi perkembangan global yang semakin tajam. Kelembagaan organisasi otonomi daerah belum tertata dengan baik akibat kurangnya pengalaman dan ketergantungan dari pusat yang amat besar. Aparatur pemerintah daerah menggunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Yang dimaksud dengan asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat atau sebagai perangkat pemerintah pusat di daerah. Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wugas dan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan dari daerah ke desa. Dalam prakteknya penyelenggaraan proses desentralisasi secara utuh dan bulat 40
Masyhuri, Dr, Dkk, Kebijakan Pengembangan Daerah Dalam Era Otonomi, Kajian Potensi dan Kendala Pengembangan Ekonomi Daerah, Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (P2E-LIPI)
Universitas Sumatera Utara
38
yang dilaksanakan di daerah kabupaten atau kota. Selain itu juga ada asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di daerah propinsi, daerah kabupaten, daerah kota dan desa. Sebenarnya, masalah desentralisasi pada akhirnya akan bermuara pada masalah perimbangan keuangan yang merupakan sumber penggerak roda pemerintahan daerah. Prinsip otonomi dan kesatuan bangsa serta implikasinya bagi pemerataan pembangunan harus merupakan dasar pertimbangan bagi penyusunan bagi perimbangan keuangan dan pembagian wewenang. Prinsip otonomi memberi wewenang kepada daerah untuk mengurus daerahnya dengan mengandalkan sebagian besar pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah dari sumber keuangannya sendiri, di samping hak untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat. Masing-masing daerah mempunyai potensi yang berbeda-beda, baik sumber daya alamnya maupun tingkat kecerdasan sumber daya manusianya, sehingga mengakibatkan daerah yang kaya bertambah kaya dan sebaliknya daerah miskin menjadi lebih miskin atau dapat di simpulkan bahwa masalah perimbangan keuangan pusat-daerah merupakan masalah yang sarat dengan muatan ketatanegaraan, politik, sosial budaya, ekonomi, dan administrasi negara secara keseluruhan. Dengan diberlakukannya Undang-Undang tentang pemerintah daerah dan Undang-Undang tentang perimbangan keuangan antara pusat pemerintah pusat dan daerah, di harapkan akan memecahkan permasalahan perimbangan pusat-daerah. Walaupun beberapa pihak masih belum puas, karena masih ada tuntutan yang menyebutkan bahwa formula alokasi daerah otonom tersebut
Universitas Sumatera Utara
39
belum mencerminkan keuangan yang lebih menjamin efisiensi dan keadilan serta belum memperhatikan implikasi kebijakan yang akan di timbulkan. Prinsip pemberian otonomi menyelenggarakan pemerintah daerah menurut UU No.12 tahun 2008 adalah : 1. Kewenangan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab bagi daerah kota/kabupaten. Untuk daerah kota/kabupaten kewenangan yang luas memiliki
makna
sebagai
keleluasaan
untuk
menyelenggarakan
pemerintahan yang mencakup kewenangan seluruh bidang pemerintahan kecuali beberapa bidang yang diurus pusat. Kewenangan itu dimiliki kabupaten dan kota secara utuh dan bulat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Otonomi yang nyata artinya
keleluasaan
daerah
untuk
menyelenggarakan
kewenangan
pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serat tumbuh, hidup dan berkembang di daerah tersebut. Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan tanggung jawab sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam bentuk tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam rangka pencapaian tujuan pemberian otonomi, yaitu berupa peningkatan pelayanan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dalam rangka menjaga keutuhan NKRI. 2. Otonomi yang terbatas untuk daerah propinsi yakni propinsi hanya sebagai pengawas kota dan kabupaten dibawahnya tidak turut campur tangan.
Universitas Sumatera Utara
40
Dalam proses penyelenggaraan sistem otonomi daerah kewenangan yang tadinya melekat di pemerintah pusat menjadi kewenangan pemerintah daerah. Selain itu untuk menyelenggarakan sistem otonomi daerah yang sifatnya luas, nyata, dan bertanggung jawab diperlukannya kewenangan dan kemampuan dalam menggali sumber-sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta antar pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota yang itu merupakan salah satu prasyarat dalam sistem pemerintah daerah. Pemerintahan daerah akan dapat terselenggara dengan baik apabila masyarakatnya yakin bahwa mereka adalah bagian dari pemerintahan itu, dan kepentingan mereka dapat terjamin bagi kelanjutan kesejahteraan masyarakat tersebut, dimana hal ini dapat memperkuat pandangan bahwa konsep otonomi seyogyanya berada dalam kerangka acuan pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan demokrasi modern tidak lain dari pemerintahan yang “representative” dan “responsible” serta “legitimate”. Fungsi-fungsi pokok pemerintah dalam demokrasi modern mencakup: pelayanan masyarakat atau public service,
pemberdayaan masyarakat
atau
social
empowerment,
pembangunan masyarakat atau community serta regulasi.41 Adanya otonomi daerah membuat beberapa tugas pemerintah pusat diserahkan pada pemerintah daerah. Dengan demikian ada pula sebagian pendanaan yang diserahkan pada pemerintah daerah. Untuk itu perlu adanya Undang-Undang yang mengatur tentang perimbangan keuangan antara 41
Kaloh DR, Mencari Bentuk Otonomi Daerah (Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Local Dan Tantangan Global), Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
41
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang di atur dalam UU No. 33 tahun 2004. Bagir Manan42 menjelaskan, dimanapun keuangan negara selalu ada dalam kekuasaan pemerintah pusat. Sumber keuangan daerah berasal dari bagian-bagian yang diserahkan pusat kepada daerah atau yang dibenarkan digali oleh daerah. Tanpa penyerahan atau pembenaran oleh pusat, daerah tidak dapat menciptakan sendiri keuangan daerah seperti memungut, meminjam apalagi mencetak uang. Inilah inti hubungan keuangan antara pusat dengan daerah. Keuangan menyangkut kewajiban rakyat banyak, maka segala sesuatu mengenai uang termasuk hubungan keuangan antara pusat dengan daerah harus diatur dengan Undang-Undang . Potensi daerah berbeda-beda, ada daerah yang memiliki financial resources yang cukup bahkan banyak, tetapi kurang pada unsur lain seperti human resources (jumlah dan mutu). Ada pula daerah yang dalam keadaan sebaliknya, memiliki human resources yang memadai tetapi kurang pada financial resources nya. Bahkan mungkin ada daerah yang memiliki dengan cukup kedua sumber tersebut atau kurang untuk kedua-duanya. Apabila tidak diatur secara nasional, dapat terjadi ketidakseimbangan antar daerah. Harus ada mekanisme, baik atas dasar national public policy maupun mekanisme antar daerah, yang memungkinkan aliran-aliran resources antar daerah yang memberi manfaat sebesar-besarnya pada semua daerah. Ketergantungan daerah
42
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII ,2002, hal. 144.
Universitas Sumatera Utara
42
kepada pusat dapat dikatakan bahwa daerah secara keuangan makin tergantung pada pusat. Peningkatan ketergantungan ini terjadi karena beberapa hal. 43 1. Urusan pelayanan yang harus dilaksanakan pemerintah daerah makin luas sesuai dengan perkembangan tugas-tugas negara untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan kecenderungan pusat untuk menyerahkan urusan tersebut kepada daerah. 2. Sumber-sumber keuangan daerah terbatas. Di Indonesia keterbatasan ini terjadi karena belum pernah ada pembaharuan yang mendasar mengenai sumber pendapatan daerah. Berbagai sumber, karena berbagai pengaruh, perkembangan dan keadaan daerah menjadi tidak efektif lagi. 3. Pemerintah Pusat lebih memilih memberikan subsidi daripada menyerahkan sumber pendapatan. Dengan sistem subsidi, daya kendali terhadap daerah dapat terlaksana lebih efektif. HAW.
Widjaja44
berpendapat
bahwa
penyelenggaraan
fungsi
pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber sumber penerimaan yang cukup kepada daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah. Daerah diberi hak untuk mendapatkan sumber keuangan, antara lain berupa kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah sesuai dengan urusan pemerintahan yang diserahkan, kewenangan memungut dan mendayagunakan
43
Ibid, hal. 194-195. HAW. Widjaja, Penyelenggaraan otonomi Di Indortesia (Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, hal.143. 44
Universitas Sumatera Utara
43
pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya, hak untuk mengelola kekayaan di daerah dan mendapatkan sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah mencakup pembagian keuangan secara proposional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah. Pemerintah pada hakikatnya mengemban 3 (tiga) fungsi utama yakni fungsi distribusi, fungsi stabilisasi, dan fungsi alokasi. Fungsi distibusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya efektif dan tepat dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi oleh pemerintah daerah. Yang lebih mengetahui kondisi, situasi, dan kebutuhan masyarakat setempat. Pembagian ketiga fungsi tersebut sangat penting sebagai landasan dalam dalam penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara pusat dan pemerintah daerah. Dalam rangka pelaksanaan otonomi, penyerahan, pelimpahan, dan penugasan
urusan
bertanggungjawab
pemerintah harus
diikuti
kepada
daerah
secara
dengan
pengaturan,
nyata
dan
pembagian,
dan
pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebagai daerah otonomi, penyelengaraan pemerintahan dan pelayanan di lakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Pendanaan dalam kaitannya yang menjadi kewenangan daerah, menggunakan APBD sebagai sumbernya, sedangkan penyelenggaraan kewenangan pemerintah yang menjadi
Universitas Sumatera Utara
44
tanggung jawab pemerintah pusat di biayai dari APBN, baik yang didekosentrasikan kepada Gubernur dan di tugaskan kepada Pemerintah Daerah dan/atau Desa atau sebutan lainnya dalam rangka tugas pembantuan. Hubungan
antara
pusat
dan
pemerintah
daerah
merupakan
pendelegasian yang utuh dan bulat dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Adanya pergeseran wewenang pada era otonomi ini secara perlahan akan menggeser perkembangan dan pembangunan nasional dimasa depan ke daerah-daerah. Penyebaran hasil pembangunan pun akan secara tidak langsung ikut tersebar ke daerah. Harapan inilah yang menjadi tujuan otonomi daerah. Pada prinsipnya, hubungan
fungsi
pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah berdasarkan pada 3 (tiga) prinsip utama, yaitu : prinsip desentralisasi, prinsip dekosentrasi, dan prinsip tugas pembantuan. Ketiga prinsip tersebut juga melandasi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta di evaluasi dengan menerapkan analisis varian terhadap anggaran dan realisasi anggaran yang sesungguhnya. Adanya kebijakan tersebut merupakan upaya pemerintah pusat untuk mendelegasikan wewenangnya kepada daerah guna mengoptimalkan potensi daerah, namun dalam implementasinya banyak faktor yang ikut mempengaruhinya. Dana perimbangan merupakan bagian dari penerimaan pemerintah pusat yang diberikan kepada pemerintah daerah. Dana ini digunakan oleh pemerintah pusat untuk menyeimbangkan hubungan keuangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta hubungan dengan daerah yang lainnya. Jadi yang dimaksud dengan dana perimbangan adalah : dana yang bersumber
Universitas Sumatera Utara
45
dari penerimaan APBD yang dialokasikan kepada pemerintah daerah untuk membiayai
kebutuhan
pemerintah
daerah
dalam
rangka
pelaksanaan
desentralisasi. Salah satu unsur yang terdapat dalam dana perimbangan adalah: bagi hasil pajak dan bukan pajak. Dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Dana Perimbangan adalah : Bagian daerah dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, penerimaan sumber daya alam, dan dana alokasi umum serta dana alokasi khusus.45 Pemerintah pusat menyerahkan sebagian penerimaannya yang diperoleh dari baik penerimaan pajak maupun penerimaan bukan pajak. Bagi hasil pajak maupun bukan pajak meliputi hal-hal berikut ini: penerimaan pertambangan minyak, penerimaan penambangan gas alam, penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), penerimaan sektor pertambangan umum, penerimaan sektor kehutanan,dan penerimaan sektor perikanan. Pembagian hal-hal di atas bisa berbeda dengan yang lainnya hal ini disebabkan oleh signifikansi penerimaan hal-hal tersebut bagi kas negara. Sumber penerimaan yang lebih besar kontribusinya bagi negara masih harus diserahkan kepada pemerintah pusat dalam porsi yang lebih besar. Salah satu pajak dalam negeri adalah Pajak Bumi dan Bangunan, yang memang nilainya relatif kecil dibandingkan dengan pajak lain. Tetapi mempunyai dampak yang lebih luas sebab hasil penerimaan PBB dikembalikan 45
Syaukani.HR, Afan Gaffar, M. Ryaas Rasyid, 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Cetakan I, Pustaka Pelajar.hal. 202-203
Universitas Sumatera Utara
46
untuk pembangunan daerah yang bersangkutan dan merupakan sumber penerimaan pembangunan utama pemerintah daerah, mempunyai wajib pajak (WP) terbesar dibandingkan pajak-pajak lain, dan PBB merupakan satusatunya pajak properti di Indonesia. Penerimaan Negara dari pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 90% (Sembilan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah. Berdasarkan Undang-Undang ini memberikan semangat kepada daerah-daerah untuk meningkatkan semua aspek yang berhubungan dengan Pajak Bumi dan Bangunan. Pajak merupakan penerimaan Negara yang sangat penting. Membayar pajak merupakan kewajiban setiap warga Negara. Besarnya pajak ditetapkan berdasarkan Undang-Undang. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23A UUD 1945 hasil amandemen, bahwa : “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”. Namun demikian masih banyak wajib pajak yang menghindarinya, karena kurang menyadari akan arti dan fungsi pajak khususnya Pajak Bumi dan Bangunan. B. Pajak Bumi dan Bangunan Pajak adalah gejala masyarakat, artinya bahwa pajak hanya terdapat dalam masyarakat. Jika tidak ada masyarakat, tidak akan ada pajak, karena di dalam masyarakat ada kelangsungan hidup dari individu dan kelompok masyarakat tersebut sebagai suatu kelangsungan hidup bernegara. Untuk menjaga langsungan hidup itu diperlukan biaya. Disinilah filosofi pajak yang sesungguhnya, bahwa pajak digunakan sebagai alat untuk pembiayaan
Universitas Sumatera Utara
47
kelangsungan hidup bernegara yang diambil dengan mengurangi penghasilan rakyatnya. 46 Brotodiharjo47 memberi batasan-batasan dari P.J.A. Adriani bahwa pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Pengertian pajak sendiri dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 85 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4740) yang tertuang dalam Pasal 1, sebagai berikut : “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Definisi pajak yang dahulu tidak tercantum dalam UU Nomor 6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sekarang dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 sudah terdapat definisi tentang pajak dan kata “kontribusi” dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 tersebut menggantikan kata
46
Soemitro Rochmat, 2001, Pajak Bumi dan Bangunan (Edisi Revisi), Refika Aditama.
Hal. 1-2 47
Brotodihardjo, Santoso, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Keempat, Bandung: Refika Aditama, Hal. 2
Universitas Sumatera Utara
48
“iuran” pada batasan-batasan dari Prof. Dr. P.J.A. Adriani tentang definisi dari pajak. Menurut Edi Slamet-Syarifuddin48, pajak dapat diartikan sebagai suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif negara atau iuran yang dibayarkan oleh rakyat didasarkan pada Undang-Undang, yang dapat dipaksakan tanpa balas jasa langsung yang dapat ditunjuk. Mainstream pemikiran tersebut telah mendorong para pengelola pajak berlaku kurang mencerminkan semangat berbangsa dan bernegara yang berjiwa demokratis. Dikatakan pula bahwa demokrasi yang berarti kesetaraan dan partisipasi, maka demokrasi perpajakan dimaknai sebagai terbangunnya sistem perpajakan yang menggambarkan adanya kesetaraan antara pemerintah dan masyarakat pembayar pajak, sehingga memungkinkan munculnya partisipasi masyarakat, sejak dari proses pembuatan kebijakan perpajakan, pengumpulan pajak dan pemanfaatan uang pajak. Prinsip dari demokrasi yang paling urgen adalah meletakkan kekuasaan di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa.49 Pembagian kewenangan perpajakan tidak dapat diputuskan secara sepihak hanya oleh Pemerintah Pusat, akan tetapi diperlukan keterlibatan pemerintah daerah guna menghindari terjadinya kontra produktif kebijakan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap konsep pajak oleh para elit birokrasi perpajakan baik di pusat maupun di daerah merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan pembagian kewenangan. Para ekonom perpajakan memberikan
kriteria
terhadap
penanganan
pajak,
yaitu
pajak
yang
48
Edi Slamet, - Syarifuddin Jurdi, 2005, Politik Perpajakan, Membangun Demokrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, ,Hal. 63 49 Ibid, hal. 94
Universitas Sumatera Utara
49
dikategorisasikan dan direkomendasikan untuk dikelola pusat adalah pajak yang secara sifat atau nature-nya bermobilitas tinggi, sedangkan untuk pajak yang sifat atau nature-nya tidak berubah direkomendasikan menjadi pajak daerah. Harus dipertimbangkan pula adanya disparitas fiskal yang berkaitan dengan kapasitas fiskal masing-masing daerah. Disparitas fiskal harus menjadi variabel kebijakan perpajakan, karena akan berkaitan dengan penentuan formulasi pola kewenangan, dan akan berpengaruh terhadap derajat desentralisasi kewenangan serta formulasi transfer dana sepanjang masih diperlukan. Dengan demikian, untuk mencapai tata pengelolaan kewenangan perpajakan yang baik, maka keterlibatan daerah dalam proses pembuatan kebijakan perpajakan tidak dapat diabaikan.50 Timbulnya pajak negara dan pajak daerah adalah tinjauan dari segi siapakah yang berwenang memungut pajak. Dalam hal yang berhak memungut pajak adalah Pemerintah Pusat, jenis-jenis pajak dimaksud digolongkan sebagai Pajak Negara atau Pajak Pusat. Sebaliknya jenis-jenis pajak yang pemungutannya merupakan hak Pemerintah Daerah disebut dengan Pajak Daerah. Selama ini pajak merupakan otoritas yang sah dilakukan oleh pemerintah pusat, sementara daerah masih menjadi kurir pemerintah pusat untuk memungut uang pajak dari rakyat secara langsung. Pola hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah yang didesain dalam konteks politik kooperatif selama ini telah menimbulkan sejumlah riak dan protes dari rakyat
50
Ibid, Hal.118.
Universitas Sumatera Utara
50
di daerah terutama keinginan masyarakat memperoleh keadilan politik ekonomi dan keadilan sosial dari pajak yang telah mereka setorkan ke negara. Untuk menjawab sejumlah protes dan tuntutan daerah, maka negara membuat suatu gebrakan yang dapat dikatakan sebagai gebrakan politik perpajakan dan demokrasi perpajakan, di mana hubungan keuangan pusat dan daerah segera diatur secara lebih jelas menurut kaedah hukum yang disepakati secara politik.51 Dalam
rangka
pembaruan
sistem
pajak
nasional,
maka
diundangkanlah Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 yang mulai berlaku terhitung 1 Januari 1995 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dengan mencabut 7 Undang-Undang perpajakan yang berobyek-kan tanah dan bangunan dengan tujuan untuk meniadakan pajak ganda dan merupakan dasar hukum yang kuat bagi pengenaan pajak obyektif atas tanah dan/ atau bangunan, serta meningkatkan peran wajib pajak dalam hal penyampaian data obyek dan subyek pajak dan pembayaran pajaknya. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak obyektif atau pajak kebendaan karena besar kecilnya pengenaan pajak ditentukan oleh kondisi obyek pajaknya yang berupa bumi dan atau bangunan.52 Sedangkan menurut Rochmat Soemitro, Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta tak bergerak, maka oleh sebab itu yang dipentingkan adalah obyeknya dan oleh karena itu keadaan atau status orang atau badan yang 51
Ibid, hal.64 Suharno, 2003, Potret Perjalanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Direktorat PBB dan BPHTB. Halaman : 57 52
Universitas Sumatera Utara
51
dijadikan subyek tidak penting dan tidak mempengaruhi besarnya pajak. Maka oleh sebab itu pajak ini disebut juga pajak yang obyektif.53 Kedudukan PBB sebagai pajak pusat atau pajak negara tersebut merupakan cerminan negara dalam melakukan fungsinya untuk melayani kebutuhan masyarakat. Dengan luasnya medan tanggung jawab negara, maka negara membutuhkan dukungan finansial dari rakyat. Untuk mengatur hal tersebut maka negara membuat ketentuan yang akan dijadikan pijakan untuk mengimbangi ketimpangan sosial dalam masyarakat dengan pajak. Hal ini ditetapkan dalam Pasal 23A UUD 1945 hasil amandemen, bahwa : “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”. Akan tetapi negara juga mempunyai beban sosial kemanusiaan, dan untuk memenuhinya negara membuat ketentuan untuk mewajibkan warga negara atas dasar kedaulatan menanggung pembiayaan itu sesuai dengan kemampuan. Hal ini sesuai amanat dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat (1), bahwa negara harus memberikan jaminan yang adil kepada rakyat dengan menggunakan uang pajak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. PBB adalah sebagai salah satu sumber pendapatan daerah, dimana pajak tersebut merupakan pajak pusat, sedangkan daerah hanya menerima bagian dari kedua pajak tersebut sebagai dana perimbangan. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 160 ayat (2) huruf a UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 11 ayat (2). Meskipun penerimaan PBB memberikan kontribusi terhadap penerimaan perpajakan yang relatif kecil, namun PBB merupakan sumber penerimaan yang
53
Soemitro Rochmat, Op.Cit, Hal. 5
Universitas Sumatera Utara
52
sangat potensial bagi daerah. Sebagai salah satu jenis pajak langsung, PBB merupakan pajak negara (pusat) yang seluruh hasil penerimaannya dibagikan kepada daerah dengan mekanisme tertentu. Pada dasarnya pengenaan PBB lebih diarahkan pada fungsi distributif, yaitu untuk menciptakan pemerataan, dengan tetap memperhatikan potensi daerah penghasil. Selama ini pengaturan objek pajak, dasar pengenaan pajak, tarif pajak dan teknis PBB di Indonesia diatur dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah tidak terlibat secara langsung dalam hal tersebut. Pemerintah Daerah terlibat dan berperan aktif yaitu pada pelaksanaan pemungutannya. Sebagaimana telah diketahui, PBB di Indonesia merupakan pajak pusat karena pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Pusat, walaupun hasil akhirnya yang berupa penerimaan dikembalikan kepada daerah dengan persentase yang besar. Dalam APBD, penerimaan PBB tersebut dimasukkan dalam kelompok penerimaan bagian daerah dari bagi hasil pajak (revenue sharing) salah satu sumber utama penerimaan daerah. Pajak Bumi dan Bangunan merupakan cara menghimpun dana yang disukai, karena alasan-alasan berikut :54 1. Pemilik tanah menarik manfaat dari investasi pemerintah dalam layanan masyarakat dan prasarana. Karena itu, berdasarkan asas manfaat dalam keuangan negara, pemilik tanah wajib diminta membayar manfaat yang dinikmati itu. PBB adalah suatu cara untuk memungkinkan pemilik tanah 54
Roy Kelly, 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia (Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia), Jakarta: UI Press, Hal. 120
Universitas Sumatera Utara
53
dan/atau penghuni (sampai batas tertentu) dapat memberikan sumbangan sebanding dengan layanan yang dinikmati. 2. PBB dapat sebagai garis pertahanan kedua karena banyak orang yang berhasil menghindari pajak pendapatan. 3. PBB setidak-tidaknya sepintas lalu dari sudut tata usaha tidaklah sesulit seperti pajak pendapatan ataupun pajak-pajak yang lain, karena dasar PBB tampak dan tidak bergerak. Pemilikannya sulit disembunyikan dan tanah yang bersangkutan dapat dijadikan jaminan selama kewajiban pajaknya belum terpenuhi. 4. PBB jika dirancang baik-baik dapat menjadi sumber penerimaan yang besar, stabil dan elastis. Kadar elastisitas tergantung pada sampai seberapa jauh tanah bersangkutan dapat ditaksir dengan teratur dan dapat dinilai menurut harga pasar yang berlaku. 5. PBB dapat juga memperkuat peranan pemerintah daerah, karena membuka peluang dasar pajak yang lebih luas bagi penerimaan pemerintah sendiri. PBB yang efektif akan menciptakan sumber penerimaan yang kuat bagi pemerintah daerah dan memperkecil kebutuhan akan bantuan dari pemerintah pusat. 6. PBB juga dapat membantu mengurangi spekulasi tanah dan mendorong pemilik tanah miliknya sebaik-baiknya. PBB atas nilai pasar akan menyebabkan mahal bagi pemilik tanah untuk membiarkan tanah itu kosong atau kurang dimanfaatkan.
Universitas Sumatera Utara
54
Imbangan pembagian penerimaan PBB diatur melalui PP Nomor 16 Tahun 2000 tanggal 10 Maret 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 34/KMK.03/2005 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta Pasal 18 UU Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan, di mana berdasarkan peraturan tersebut, rincian bagian daerah dari penerimaan PBB adalah sebagai berikut: 1. Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dibagi untuk Pemerintah Pusat dan Daerah dengan imbangan sebagai berikut: a.
10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat;
b.
90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah.
2. Jumlah 10% (sepuluh persen) bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut: a. 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten dan kota; dan b. 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan secara insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.
Universitas Sumatera Utara
55
3. Jumlah 90% (sembilan puluh persen) bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi dengan rincian sebagai berikut: a. 16,2% (enam belas koma dua persen) untuk Daerah Provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi; b. 64,8% (enam puluh empat koma delapan persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota; c.
9% (sembilan persen) untuk Biaya Pemungutan yang dibagikan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan Daerah. Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 90% dari hasil
penerimaan tersebut merupakan penerimaan bagian Daerah yang dibagikan dengan rincian sebagai berikut : a. 16,2% (enam belas koma dua persen) untuk Daerah Provinsi, yang dibagi dengan imbangan: 1. 30% (tiga puluh persen) untuk biaya pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan; 2. 70% (tujuh puluh persen) untuk Daerah Provinsi dan disalurkan melalui rekening Kas Daerah Provinsi;
Universitas Sumatera Utara
56
b. 64,8%
(enam
puluh
empat
koma
delapan
persen)
untuk
Daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan, yang dibagi dengan imbangan: 1. 30% (tiga puluh persen) untuk biaya pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan; 2. 70% (tujuh puluh persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota dan disalurkan melalui rekening Kas Daerah Kabupaten/Kota; c. 9% (sembilan persen) untuk Biaya Pemungutan yang dibagikan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan Daerah. C. Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan Dalam menghitung besarnya pajak terutang terdapat beberapa komponen penting yang harus diketahui, yaitu tarif pajak, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dan rumus untuk menghitung PBB. Uraian masing-masing faktor adalah sebagai berikut :55 1. Tarif pajak adalah 0,5% 2. NJOP atau Nilai Jual Objek Pajak yang berupa tanah (bumi) dan bangunan yang ditentukan melalui : a. Pendekatan perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yaitu suatu pendekatan untuk menentukan Nilai Jual Objek Pajak dengan cara membandingkan dengan harga telah diketahui harga jualnya.
55
Tim Penyusun Dirjen Pajak dan Yayasan Pembinaan Bangsa, Op.Cit, hal. 45-46
Universitas Sumatera Utara
57
b. Pendekatan nilai perolehan baru, yaitu suatu pendekatan untuk menentukan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dengan cara menghitung seluruh biaya, yang dikeluarkan untuk memperoleh/membangun objek pajak dengan mempergunakan unit biaya dari material/komponen bangunan. c. Pendekatan nilai jual pengganti, yaitu suatu pendekatan untuk menentukan Nilai Jual Objek Pajak dengan memperhitungkan hasil prodeuksi/pendapatan objek pajak yang bersangkutan. 3. NJKP atau Nilai Jual Objek Pajak yang besarnya 20%x NJOP. 4. Rumus untuk menghitung PBB adalah sebagai berikut : PBB = 0,5% x 20% x NJOP Sesuai dengan Undang-Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan menyatakan bahwa Nilai Jual Objek Pajak Tidak kena pajak (NJOPTKP) ditetapkan maksimum Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Jika wajib pajak mempunyai lebih dari satu objek pajak maka NJOPTKP hanya dikenakan pada salah satu objek dipilih yang mempunyai nilai jual paling tinggi.56 Untuk kota Banda Aceh Nilai Jual Objek Pajak (NJOPTKP) ditetapkan sebesar Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah).
56
Valentina Sri S dan Suryo, Perpajakan Indonesia, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2003,
hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
58
Berdasarkan peraturan pemerintah, Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dapat ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak. Persentase Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1997 sebagai berikut : 1. 40% (empat puluh persen), untuk : a. Objek pajak perumahan, yang wajib pajaknya perseorangan dengan NJOP bumi dan bangunan sama atau lebih dari Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Ketentuan tidak berlaku untuk objek pajak yang dimiliki, dikuasai atau dimanfaatkan PNS, anggota TNI dan POLRI dan pensiun yang penghasilannya dari gaji. b. Objek pajak perkebunan yang luasnya sama atau lebih besar 25 hektar yang dikuasai oleh BUMN, badan usaha, maupun berdasarkan kerjasama operasional antara pemerintah dan swasta, dan c. Objek pajak kehutanan, tetapi tidak termasuk blok tebangan dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemegang hak penguasaan hutan, pemegang hak pemungutan hasil hutan dan pemegang izin pemanfaatan kayu yang pengenaan PBB nya dilakukan sekaligus dengan pemungutan iuran hasil hutan. 2. 20% (dua puluh persen), untuk objek lainnya.57 Untuk memudahkan penghitungan PBB yang terutang atas suatu objek berupa bumi (tanah) dan atau bangunan perlu diketahui pengelompokan objek pajak menurut nilai jualnya. Pengelompokan objek pajak menurut nilai jualnya
57
Setyawan. S dan Suprapti. E, Perpajakan, Malang: Bayu Publishing, 2004, hal. 294-295.
Universitas Sumatera Utara
59
dikenal dengan klasifikasi bumi (tanah) dan bangunan. Menteri Keuangan diberikan wewenang mengatur klasifikasi bumi (tanah) dan bangunan . Klasifikasi dan besar NJOP bumi ditetapkan berdasarkan lampiran IA dan IB KMK No. 523 tahun 1998, kecuali lebih besar, nilai tersebut di jadikan DPP. Klasifikasi dan besar NJOP bangunan ditetapkan berdasarkan lampiran IIA dan IIB KMK No. 523 tahun 1998, kecuali lebih besar, nilai tersebut dijadikan DPP. Seperti halnya contoh dibawah ini : tanah luas 200 m2 harga jual Rp. 300.000 per m2 dan bangunan luas 100 m2 nilai jual Rp. 1.000.000 per m2. Jadi perhitungannya adalah : harga Rp. 300.000 per m2 berada pada klas 24A. dan nilai jual tanah pada klas 24A adalah Rp. 285.000 per m2. NJOP tanah adalah 285.000 x 200 adalah Rp. 57.000.000. untuk NJOP bangunan adalah harga Rp. 1.000.000 per m2 berada pada klas 2A (902.000 – Rp. 1. 034.000). nilai jual bangunan klas 2A adalah Rp. 968.000 per m2. NJOP bangunan adalah Rp. 968.000 x 100 adalah Rp. 96.800.000. Contoh lain perbandingan dalam penentuan harga menurut harga yang berlaku di masyarakat dengan penghitungan NJOP tersebut yakni pada salah seorang warga Desa Lamlagang, Kecamatan Banda Raya dijalan Lamlagang yakni : Muchtaruddin merupakan wajib pajak atas sebuah rumah tinggal yang memiliki luas tanah 150m2 dan luas bangunan 100m2. Diketahui bahwa harga jual tanah tersebut Rp. 300.000 per m2 dan nilai bangunan adalah Rp. 1.000.000 per m2. Maka NJOP sebagai dasar pengenaan pajak atas objek pajak milik bapak Muchtaruddin dapat dihitung sebagai berikut : Konversi nilai :
Universitas Sumatera Utara
60
-
Harga jual tanah Rp. 310.000 per m2 di konversi masuk dalam kelas A-23 (penggolongan nilai jual permukaan bumi (tanah)/lampiran IA, > Rp. 308.000 s/d Rp. 362.000 per m2 ) dengan nilai jual permukaan tanah (bumi) Rp. 335.000 per m2 dan
-
Nilai bangunan Rp. 1.000.000 per m2 dikonversi masuk dalam kelas A-02 (penggolongan nilai jual bangunan (lampiran IB,) > Rp. 902.000 s/d Rp1.034.000 per m2 dengan nilai bangunan Rp. 968.000 per m2.
Perhitungan NJOP : NJOP bumi : 150 m2 x Rp. 335.000 per m2
= Rp. 50.250.000
NJOP Bangunan : 100 m2 x Rp. 968.000 per m2
= Rp.
96.800.000
+ NJOP Bumi dan Bangunan sebagai dasar pengenaan pajak = Rp. 147.050.000 Untuk menghitung PBB terutang sebagai berikut : NJOP bumi dan bangunan sebagai dasar pengenaan pajak = Rp. 147.050.000 NJOPTKP di Banda Aceh
=Rp.
8.000.000
NJOP bumi dan bangunan sebagai dasar pengenaan pajak =Rp. 139.050.000 NJKP = 20%xRp. 133.550.000
=Rp.
27.810.000
PBB terutang = 0,5%xRp. 27.810.000
=Rp.
133.050
Dari perhitungan diatas maka bapak Muchtaruddin membayar PBB nya sebesar Rp. 139.050.
Universitas Sumatera Utara
61
D. Penetapan NJOP menurut Pasal 6 UU PBB Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang PBB menentukan bahwa yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah nilai jual objek pajak (NJOP). Yang dimaksud dengan NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jualbeli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pajak pengganti.58 NJOP merupakan satu unsur yang mutlak diketahui agar besarnya PBB atas suatu objek pajak dapat ditentukan. Tanpa mengetahui NJOP atas objek pajak dimaksud maka tidak akan mungkin, dihitung besarnya PBB terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak. Karena itu dalam Pasal 6 ayat (2) diatur bahwa besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan dengan perkembangan daerahnya. Hal ini berarti, pada dasarnya penetapan NJOP adalah tiga tahun sekali, namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali. Dalam menetapkan nilai jual, Menteri Keuangan mendengar pertimbangan gubernur serta memperhatikan asas self assessment.59 Selanjutnya
atas
pertimbangan
tersebut,
Menteri
Keuangan
menetapkan klasifikasi NJOP bumi dan bangunan. Klasifikasi NJOP bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya 58 59
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 Marihot Pahala Siahaan, Op.Cit, hal. 78
Universitas Sumatera Utara
62
dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktorfaktor : letak tanah, peruntukan, pemanfaatan, kondisi lingkungan dan lain-lain. Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor : bahan yang digunakan, rekayasa/konstruksi, umur bangunan, dan lain-lain.60 Hasil penilaian baik untuk bumi maupun bangunan selanjutnya diklasifikasikan dan digolongkan berdasarkan NJOP per m2. Untuk bumi terdapat 100 kelas (50 kelas kelompok A dan 50 kelas kelompok B), sedangkan untuk bangunan terdapat 40 kelas (20 kelas kelompok A dan 20 kelas kelompok B). Sebagaimana diatur berdasarkan surat keputusan menteri keuangan nomor 523/KMK.04/1998 tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan PBB yang telah mengatur pokok-pokok sebagai berikut : 1. Standar Investasi adalah jumlah yang diinvestasikan untuk suatu pembangunan dan atau penggalian jenis sumber daya alam atau budi daya tertentu yang dihitung berdasarkan komponen tenaga kerja, bahan, dan alat mulai dari awal pelaksanaan sampai tahap produksi atau menghasilkan. 2. Objek Pajak yang bersifat khusus adalah objek pajak yang letak, bentuk, peruntukan dan atau penggunaannya mempunyai sifat dan karakteristik khusus.
60
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985, Pasal 2 ayat (2).
Universitas Sumatera Utara
63
3. Dalam hal Objek Pajak yang nilai jual per m² nya lebih besar dari ketentuan NJOP maka NJOP yang terjadi di lapangan digunakan sebagai dasar pengenaan PBB. 4. Objek Pajak sektor pedesaan dan perkotaan yang tidak bersifat khusus NJOP ditentukan berdasarkan Nilai Indikasi Rata-rata yang diperoleh dari penilaian secara massal. 5. Untuk objek pajak tertentu yang bersifat khusus, NJOP dapat ditentukan berdasarkan nilai pasar yang dilakukan oleh Pejabat Fungsional Penilai secara individual. Sementara prosedur penentuan NJOP didapatkan dari pengumpulan informasi properti (jual, beli, penawaran, sewa, dan lain-lain). Sumber data didapat dari
PPAT/Notaris, Agen/broker, media massa/iklan, informasi
masyarakat, dan kelurahan. Data ini kemudian diolah untuk dijadikan sebagai dasar penentuan NJOP. Dari sini, diadakan tatap muka dengan masyarakat setempat/kelurahan untuk memberikan penjelasan umum soal dasar penentuan NJOP tersebut dan juga untuk mendapatkan feedback dari warga. Selanjutnya dari pertemuan di keluarahan tersebut akan didapatkan nilai indikasi rata-rata (NIR) yang menjadi acuan dalam menentukan NJOP.61 Jadi, prosesnya penetapan NJOP merupakan proses yang panjang yang melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah desa, Camat, Pemerintah Daerah dan Kantor pelayanan Pajak (KPP). Bahkan sebelum ditetapkan NJOP oleh Menteri Keuangan tersebut terlebih dahulu dilakukan 61
Wawancara dengan Agung Marhaendra, Kasi Ekstensifikasi Perpajakan KPP Banda Aceh, tanggal 11 Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
64
kajian-kajian sosialisasi tentang Zona Nilai Indikasi Rata Rata dan Zona Nilai Tanah untuk menetapkan NJOP. Tujuan utama dilakukan kegiatan ini adalah guna menerima masukan dari berbagai pihak sebelum penetapan PBB dilakukan. NJOP bumi dan DBKB yang akan digunakan untuk menghitung PBB terutang pada suatu wilayah kabupaten/kota ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan. Hal ini dituangkan dalam Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak tentang Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan yang diterbitkan tiap tahun.
Universitas Sumatera Utara