The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
RELEVANSI TRANSFER PEMERINTAH PUSAT DENGAN UPAYA PAJAK DAERAH (Studi pada Pemerintah Kabupaten dan Kota Se Jawa) Oleh: Priyo Hari Adi1 Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana Abstract The objective of the research is to find the influence of central government transfer to the regional tax efforts during the implementation of regional autonomy. Some research founds that there were no improvement of regions governments’ self-reliance during the autonomy era. The regions have strong dependence to the central government in funding their expenses. The result shows that there is no significant influence of the central government transfer to the tax effort. This result indicates that regions prefer not to optimize their local revenue resources in order to get the central government transfer in larger amount. Keywords : Central Government Transfer, Local Revenue, Tax Effort
1
Email :
[email protected];
[email protected]
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
PENDAHULUAN Pelaksanaan otonomi daerah yang ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (dalam perkembangannya kedua regulasi ini diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004 dan UU No 33 tahun 2004) menjadi babak baru terkait dengan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Daerah (kabupaten dan kota) diberikan kewenangan yang lebih luas dalam mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki. Mardiasmo (2005) menyatakan bahwa daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi dari pemerintah pusat, tetapi dituntut untuk mengembangkan kreatifitas dan inovasi dalam mengoptimalkan potensi yang selama ini (sebelum otonomi) dapat dikatakan terpasung. Adanya kewenangan yang dimiliki ini memberikan konsekuensi adanya tuntutan peningkatan kemandirian daerah (Sidik, 2002). Daerah diharapkan mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi (peningkatan kesejahteraan masyarakat). Untuk itu, pemerintah daerah seyogyanya lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal, melakukan alokasi yang lebih efisien pada berbagai potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan publik (Lin dan Liu, 2000; Mardiasmo, 2002 dan Wong, 2004). Peningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal lebih cepat terwujud dan pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja (kemampuan) keuangan daerah. Hal ini berarti, idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah (Adi, 2007).
2
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
Salah satu kendala yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah adalah adanya disparitas (kesenjangan) fiskal antar daerah. Hasil penelitian Nanga (2005), Adi (2006) menunjukkan adanya perbedaan kesiapan daerah memasuki era otonomi ini. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah pusat memberikan bantuan (transfer) kepada pemerintah daerah, salah satunya pemberian Dana Alokasi Umum (DAU). Daerah yang mempunyai kemampuan fiskal rendah akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang relatif besar, sebaliknya daerah yang mempunyai kemampuan fiskal tinggi akan mendapat DAU dalam jumlah yang kecil. Pemberian DAU ini diharapkan benar-benar dapat mengurangi disparitas fiskal horizontal, daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Daerah diharapkan mampu mengalokasikan sumber dana ini pada sektor-sektor produktif yang mampu mendorong adanya peningkatan investasi di daerah dan juga pada sektor yang berdampak pada peningkatan pelayanan publik, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kontribusi publik terhadap pajak (misal : membayar pajak atau retribusi). Kemandirian daerah menjadi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya kapasitas fiskal daerah, dan pada gilirannya tanggungan pemerintah untuk memberikan DAU bisa lebih dikurangi. Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa dalam perkembangannya daerah tidak menunjukkan adanya peningkatan kemandiran. Penelitian Susilo dan Adi (2007), serta Setiaji dan Adi (2007) memberikan fakta empirik tidak adanya peningkatan kontribusi (share) PAD terhadap belanja daerah. Daerah justru lebih mengandalkan sumber pendanaan lain dalam pembiayaan. Abdullah dan Halim (2003) memberikan bukti bahwa DAU mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap belanja daerah daripada pengaruh PAD terhadap belanja daerah. Daerah cenderung mempertahankan 3
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
penerimaan DAU dikarenakan jumlahnya yang sangat besar daripada mengupayakan peningkatan pendapatan sendiri. Pemberian DAU yang seharusnya menjadi stimulus peningkatan kemandirian daerah, justru direspon berbeda oleh daerah. Daerah tidak menjadi lebih mandiri, semakin bergantung pada pemerintah pusat. Adi (2007) memberikan indikasi kurang seriusnya daerah dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki, lebih mengandalkan penerimaan DAU yang bersifat hibah. Bisa jadi sebagai pertimbangan praktis upaya ini lebih dipilih daripada meningkatkan PAD secara signifikan, namun disisi lain sebagai konsekuensinya DAU yang diterima menjadi lebih kecil. Dengan kata lain pemberian DAU ini justru memberikan dampak negatif terhadap peningkatan upaya pajak (tax effort) daerah. Pemberian DAU yang semula bertujuan untuk mengurangi disparitas horizontal, justru menjadi disinsentif bagi daerah untuk mengupayakan peningkatan kapasitas fiskal. Upaya pajak menjadi lebih rendah, harapan adanya peningkatan kemandirian daerah justru menjadi semakin jauh. Berdasarkan gambaran latar belakang dapat diambil persoalan penelitian sebagai berikut : Bagaimanakah dampak pemberian transfer pemerintah pusat (DAU) terhadap Upaya Pajak (tax effort) daerah ?
TELAAH TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Transfer Pemerintah Pusat (Dana Alokasi Umum) dan Upaya Pajak (Tax Effort) Pelaksanaan otonomi daerah menimbulkan persoalan baru terkait dengan adanya perbedaan kesiapan daerah memasuki era ini. Adi (2006) menunjukkan paling tidak terdapat
2 (hal) penting yang menyebabkan adanya perbedaan ini, yaitu pertama
adanya perbedaan kapasitas fiskal antar daerah (adanya disparitas fiskal horizontal) dan 4
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
kedua adanya perbedaan kemampuan manajerial dalam mengelolan berbagai sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya manusia, sumber daya alam maupun dana. Untuk mengatasi persoalan pertama pemerintah memberikan dana perimbangan berupa dana transfer ke pemerintah daerah (intergovernmental transfer), yang salah satunya dikenal dengan Dana Alokasi Umum (DAU). DAU merupakan dana hibah murni (grants) yang kewenangan penggunaanya diserahkan penuh kepada pemerintah daerah penerima.
UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah memberikan pengertian bahwa : Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah, untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi Dari definisi ini paling tidak dapat disimpulkan bahwa DAU merupakan sarana untuk mengatasi ketimpangan fiskal antar daerah dan disisi lain juga sebagai sumber pembiayaan daerah. Hal ini berarti pemberian DAU lebih diprioritaskan pada daerah yang mempunyai kapasitas fiskal rendah. Daerah yang mempunyai kapasitas fiskal tinggi justru akan mendapat jumlah DAU yang lebih kecil, sehingga diharapkan dapat mengurangi disparitas fiskal antar daerah dalam memasuki era otonomi. Penelitian yang dilakukan Brodjonegoro dan Vasques (2002) membuktikan bahwa pemberian DAU secara signifikan menurunkan disparitas penerimaan per kapita. Hal ini ditandai dengan turunnya koefisien variasi
variabel itu yang dari 1,90 (pada tahun 2000)
menjadi 1,18 pada tahun 2001 dan menjadi 0,9 pada tahun 2002. Upaya pajak (tax effort) seringkali diidentikkan dengan tekanan fiskal (fiscal stress).
Otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kemandirian daerah, yang
dindikasikan dengan meningkatnya pendapatan sendiri (PAD). Pemerintah cenderung
5
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
menggali potensi penerimaan pajak untuk meningkatkan penerimaan daerahnya (Shamsub dan Akoto, 2004). Upaya Pajak (Tax Effort) adalah upaya peningkatan pajak daerah yang diukur melalui perbandingan antara hasil penerimaan (realisasi) sumbersumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan potensi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah. Tax effort menunjukkan upaya pemerintah untuk mendapatkan pendapatan bagi daerahnya dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki. Potensi dalam pengertian ini adalah seberapa besar target yang ditetapkan pemerintah daerah dapat dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut. Upaya pajak merupakan aspek relevan bila dikaitkan dengan tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan kemandirian daerah. Kemandirian daerah seringkali diukur dengan menggunakan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), dimana pajak daerah dan
retribusi daerah menjadi komponen PAD yang memberikan kontribusi yang sangat besar. Pelaksanaan otonomi daerah direspon secara agresif oleh pemerintah daerah dengan menerbitkan perda-perda terkait
dengan pajak maupun retribusi daerah.
Penelitian Stine (2003) menunjukkan adanya pertambahan perda pajak/retribusi yang signifikan dibanding sebelum otonomi daerah. Fakta ini menunjukkan adanya respon yang sangat agresif untuk segera meningkatkan penerimaan sendiri, khususnya pajak maupun retribusi daerah. Transfer Pemerintah Pusat (DAU) : Apakah Menstimulasi Upaya Pajak Daerah ? Transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan fenomena umum, terlebih pada negara yang menerapkan desentralisasi fiskal. Pemberian transfer ini selain ditujukan untuk mengatasi disparitas horizontal -dikarenakan adanya kesenjangan fiskal- juga ditujukan untuk menjamin tercapainya standar pelayanan
6
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
publik (Simanjuntak dalam Sidik dkk, 2002). Pemberian transfer dalam jangka pendek berfungsi untuk mengatasi ketidaksiapan fiskal daerah dalam berbagai pembiayaan daerah. Pemberian transfer didasarkan pada kapasitas fiskal daerah, semakin tinggi kapasitas fiskal daerah, maka transfer yang diterima menjadi semakin rendah. Kebijakan ini disatu sisi bisa mengatasi ketidakseimbangan fiskal horizontal, namun disisi lain justru bisa menyebabkan kemalasan fiskal daerah (Nanga, 2005). Daerah tidak terpacu untuk meningkatkan potensi lokalnya, dengan meningkatkan PAD, dikarenakan hal ini bisa berimbas pada penurunan penerimaan DAU. Transfer pemerintah pusat (dhi DAU) seharusnya menjadi insentif bagi daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskalnya. Nagathan dan Sigvagnanam (1999) dalam Kuncoro (2008) memberikan fakta empirik bahwa pemberian transfer yang terencana justru memberikan pengaruh negatif terhadap upaya pengumpulan pajak di tingkat lokal (daerah). Fenomena kemalasan fiskal semacam ini bisa jadi disebabkan adanya kebijakan yang kurang menguntungkan, yaitu adanya pengurangan transfer pemerintah pusat apabila daerah mengalami peningkatan kapasitas fiskal. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pemerintah berupaya melakukan perbaikan terhadap formulasi DAU dengan tujuan untuk lebih memenuhi rasa keadilan, pemerataan serta merangsang kapasitas dan potensi pendapatan asli daerah (Samhadi, 2005).
Dalam era otonomi, PAD idealnya menjadi komponen utama pembiayaan
daerah (Setyawan dan Adi, 2008). Transfer pemerintah pusat diharapkan dapat menjadi sumber pembiayaan daerah untuk menggali berbagai potensi lokal yang dimiliki untuk peningkatan PAD. Hasil penelitian Adi (2007) dan Setiaji dan Adi (2007) menunjukkan fakta empirik yang menarik, yaitu selama era otonomi PAD mengalami peningkatan yang 7
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
sangat signifikan dibanding dengan periode sebelum otonomi, namun demikian kontribusi PAD terhadap pembiayaan daerah justru mengalami penurunan yang berarti. Temuan ini memberikan indikasi penting adanya peningkatan pembiayaan daerah yang sangat tinggi. Peningkatan PAD yang tinggi, diimbangi pemerintah dengan melakukan alokasi belanja yang lebih tinggi, sehingga pada gilirannya pemerintah daerah bisa memperoleh transfer pemerintah pusat yang semakin tinggi. Studi yang dilakukan oleh Gramlich (1987) menemukan bahwa ketika terjadi pemotongan tranfer pemerintah pusat, pemerintah lokal akan meningkatkan pajak-pajak lokal untuk mengatasi kekurangan pembiayaan. Riset Stine (1994) justru menemukan hal yang berbeda; ketika terjadi penurunan transfer yang mengalami penurunan tidak hanya pengeluaran lokal, tetapi juga penerimaan sendiri (own revenue). Stine (1994) mengemukakan argumen yang rasional terkait dengan hal ini bahwa penurunan transfer menyebabkan turunnya dukungan pembiayaan kegiatan yang ditujukan untuk peningkatan pajak. Turunnya dukungan pembiayaan kemudian diantisipasi dengan peningkatan harga-harga layanan publik di tingkat lokal. Hal ini justru menjadi kontraproduktif dikarenakan tidak menyebabkan terjadinya kenaikan pendapatan sendiri. Penerimaan sendiri justru mengalami penurunan karena publik merespon negatif peningkatan harga-harga layanan publik. Pemberian transfer pemerintah pusat diharapkan dapat menjadi pendorong peningkatan upaya peningkatan PAD. Daerah menjadi lebih leluasa melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi dalam rangka peningkatan PAD, baik melalui pajak maupun retribusi daerah dikarenakan adanya dukungan pembiayaan yang memadai. Bisa jadi harga layanan publik yang ditawarkan lebih rendah daripada biaya yang dikeluarkan (pemerintah memberikan harga bersubsidi), namun demikian kebijakan ini 8
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
justru mempunyai dampak positif terhadap penerimaan daerah. Sebagai contoh retribusi untuk berbagai perizinan usaha; tarif retribusi izin yang rendah akan menjadi insentif tumbuhnya investasi, dunia usaha menjadi semakin berkembang, perekonomian masyarakat menjadi semakin baik dan pada gilirannya hal ini dapat meningkatkan daya dukung publik dalam pembiayaan daerah (baca : membayar pajak atau retribusi) Dari pemaparan ini, dapat ditarik hipotesis penelitian sebagai berikut : Hipotesis : Transfer pemerintah pusat (DAU) memberikan pengaruh positif terhadap upaya pajak daerah
METODE PENELITIAN Populasi, Sampel dan Data Penelitian ini mengambil populasi kabupaten dan kota se-Jawa.Sampel diambil dengan menggunakan purposive sampling, yaitu pada kabupaten dan kota yang tidak mengalami pemekaran dan data yang tersedia lengkap selama periode pengamatan, yaitu tahun 2002 sampai dengan 2005 Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Laporan Realisasi APBD. Data diperoleh melalui akses internet (download) dari portal Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (www.djpk.depkeu.go.id) Teknik Analisis Upaya pajak (Tax Effort) diukur dengan membandingkan realisasi penerimaan PAD dengan Potensi PAD (yang diukur dari anggaeran terkait. Oleh Soekanto (1999) upaya pajak diformulasikan sebagai berikut : Upaya Pajak = Realisasi PAD Potensi PAD 9
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
Alat analisis pengujian hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi sederhana berikut ini : Y = a + bX, dimana Y merupakan upaya pajak daerah dan X menunjukkan transfer pemerintah pusat (DAU). Dalam penelitian ini komponen PAD yang diperhitungkan adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Pemilihan dua komponen PAD ini didasarkan pada argumentasi bahwa dari berbagai komponen PAD, kedua komponen inilah yang bersifat pungutan kepada publik. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Variabel Penelitian dalam tahun Pengamatan Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa selama tahun 2002 – 2005 terjadi peningkatan Dana Alokasi umum (lihat tabel 1). Hal ini menarik untuk dicermati dikarenakan kenaikan DAU setiap tahun tidak dibarengi dengan kenaikan upaya daerah dalam peningkatan PAD, khususnya untuk upaya pajak daerah maupun upaya retribusi daerah. Data olahan menunjukkan terjadi fluktuasi upaya daerah dalam peningkatan sumber penerimaan daerah ini. Hal menarik lain adalah ternyata dalam tahun 2002 upaya pajak pemerintah kabupaten dan kota menunjukkan angka tertinggi dibanding tahun-tahun sesudahnya. Fakta empirik ini memberikan indikasi agresivitas pemerintah daerah dalam peningkatan pendapatan asli daerah, khususnya melalui pajak daerah dan retribusi daerah. Indikasi ini tidak selamanya benar, mengingat tingginya upaya pajak ini bisa jadi karena daerah terlalu pesimis dalam penetapan anggaran untuk penerimaan sendiri. Daerah belum bisa menakar secara pasti potensi yang dimiliki, sehingga dalam tahapan awal, anggaran penerimaan ditetapkan relatif pesimis, namun dalam
10
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
perkembangannya bisa jadi terjadi peningkatan penetapan anggaran, daerah lebih optimis dan rasional dalam penetapan anggaran, akibatnya deviasi (penyimpangan) terhadap realisasi menjadi semakin kecil (hal ini berarti ratio upaya pajak juga menjadi semakin kecil). TABEL 1 PERKEMBANGAN DANA ALOKASI UMUM DAN UPAYA PAJAK (2002 - 2005) Mean DANA ALOKASI UMUM (dalam jutaan)
UPAYA PAJAK TOTAL (Pajak Daerah Retribusi Daerah)
UPAYA PAJAK DAERAH
UPAYA RETRIBUSI DAERAH
PROPINSI
TAHUN
BANTEN
2002
217,761.120
1.203
1.237
1.858
2003
259,994.145
1.055
1.136
1.054
2004
277,012.000
1.182
1.310
1.132
2005
303,748.250
1.057
1.142
1.022
Rerata
264,628.879
1.124
1.206
1.266
2002
309,489.019
1.154
1.287
1.111
2003
365,878.742
1.090
1.189
1.107
2004
370,852.350
1.067
1.113
1.084
2005
395,819.169
1.149
1.148
1.134
Rerata
360,509.820
1.115
1.185
1.109
2002
219,318.668
1.221
1.329
1.178
2003
246,999.986
1.115
1.213
1.075
2004
257,846.950
1.076
1.101
1.061
2005
266,488.586
1.068
1.068
1.072
Rerata
247,663.548
1.120
1.178
1.096
2002
253,034.467
1.214
1.293
1.255
2003
275,649.616
1.185
1.345
1.080
2004
284,717.195
1.170
1.447
1.042
2005
296,458.824
1.126
1.144
1.118
Rerata
277,465.025
1.174
1.307
1.124
2002
211,923.333
1.209
1.394
1.100
2003
234,756.667
1.115
1.100
1.122
2004
237,319.000
1.155
1.096
1.176
2005
246,924.667
1.109
1.051
1.125
Rerata
232,730.917
1.147
1.160
1.131
2002
248,419.803
1.202
1.306
1.227
2003
281,707.007
1.126
1.235
1.085
2004
290,744.251
1.112
1.217
1.071
2005
305,151.951
1.104
1.111
1.098
Rerata
281,505.753
1.136
1.218
1.120
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
JAWA TIMUR
DI YOGYAKARTA
RERATA
Sumber : Data Sekunder (diolah)
Terkait dengan itu, untuk memastikan pesimis tidaknya penganggaran PAD ini, perlu diperhatikan bagaimana pertumbuhan penganggaran daerah apakah menunjukkan 11
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
perkembangan yang mencolok (yang mengindikasikan daerah lebih optimis dalam penetapan anggaran) atau sebaliknya. Sehingga bisa dipastikan apakah fluktuasi upaya pajak lebih disebabkan karena faktor teknis penganggaran atau faktor lain. Kontribusi DAU dan PAD terhadap Pendapatan Daerah Data empirik menunjukkan masih adanya ketergantungan pembiayaan yang cukup besar terhadap Dana Alokasi Umum (DAU). Kontribusi PAD dalam periode pengamatan masih sangat rendah, tertinggi 11,7% pada tahun 2005, dengan total kenaikan kontribusi sebesar 2% selama 4 tahun ini (dari 9,7% menjadi 11,7%). (lihat gambar 1)
70.0%
68.0%
69.5%
66.9%
65.5%
DANA ALOKASI UMUM PENDAPATAN ASLI DAERAH LAIN-LAIN PENERIMAAN
60.0%
50.0%
40.0%
30.0%
23.5%
22.8%
21.1%
20.0% 20.0%
10.0%
9.7%
10.5%
10.9%
11.7%
0.0% 2002
2003
2004
2005
GAMBAR 1 : KONTRIBUSI TIAP KOMPONEN PENERIMAAN DAERAH
Meskipun memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan daerah, dalam 4 (empat) tahun pengamatan kontribusi DAU mengalami penurunan. Fakta empirik ini memberikan indikasi positif, disaat peran transfer dari pemerintah pusat mengalami 12
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
penurunan, daerah mengimbangi dengan menaikkan peran pendapatan sendiri (PAD). Hal menarik lain yang perlu dicermati adalah meningkatnya peran penerimaan lain (diluar DAU dan PAD) dalam 3 tahun terakhir pengamatan (2003 – 2005). Penerimaan lain seringkali luput dari prioritasi daerah dalam mencari sumber-sumber pembiayaan daerah, sebagai contoh dana bagi hasil pajak (pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas bumi dan bangunan). Meskipun merupakan kewenangan pemerintah pusat, pemungutan pajak ini memerlukan sinergi antara pemerintah daerah setempat dengan kantor pelayanan pajak agar lebih optimal. Semakin tinggi penerimaan pajak-pajak ini di satu daerah, maka besarnya bagi hasil juga akan semakin tinggi. Realitas menunjukkan bahwa tingkat pengumpulan pajak (tax collection ratio) di Indonesia masih rendah yaitu sebesar 12,9% (lihat hasil penelitian Bahana – www.bahana.co.id )2. Potensi penerimaan pajak sangat tinggi, namun upayaupaya peningkatan penghimpunan pajak, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi bisa jadi belum optimal. Hal ini sebenarnya memberikan peluang penerimaan daerah yang lebih besar daripada penerimaan sendiri yang saat ini berhasil dihimpun oleh pemerintah daerah. Bisa jadi, hal ini jauh lebih efektif daripada terus mengupayakan penerimaan pajak maupun retribusi daerah yang justru semakin membebani publik. Variasi pajak yang harus dibayar semakin dikurangi, namun di sisi lain penerimaan pemerintah menjadi semakin tinggi.
2
Dirjen Pajak, Darmin Nasution (2008) mengemukakan ratio pengumpulan pajak berkisar antara 13,514%. Kisaran yang tidak terlalu jauh berbeda dengan hasil penelitian Bahana. Rasio ini masih lebih rendah dibanding rasio rata-rata negara Asia yang berkisar 19 – 20%.
13
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
Hasil Pengujian Hipotesis Untuk memastikan pengaruh transfer pemerintah pusat terhadap upaya pajak daerah dilakukan pengujian dengan menggunakan alat analisis regresi sederhana. Hasil pengujian dirangkum dalam tabel 2 berikut ini : TABEL 2 RANGKUMAN PENGUJIAN HIPOTESIS PENGARUH DANA ALOKASI UMUM TERHADAP UPAYA PAJAK Coefficients
Intercept Dana Alokasi Umum
t Stat
P-value
1,195
34,329
0,000
-2,0839E-07
-1,816
0,075
R Square
0,055
Sumber : Data Sekunder (diolah)
Tabel 2 pengujian menunjukkan besarnya koefisien determinasi (R2 ) sebesar 0,055. Koefisien ini menunjukkan hanya 5,5% variasi upaya pajak daerah diitentukan oleh Dana Alokasi Umum, sedangkan selebihnya (94,5%) ditentukan oleh faktor lain. Peran DAU relatif kecil dalam menentukan besarnya upaya pajak daerah. Tabel 2 menunjukkan
adanya pengaruh negatif terhadap upaya daerah, namun demikian
pengaruh negatif ini tidak signifikan (lihat p value sebesar 0,075; lebih besar dari 0,053). Hasil penghitungan ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa
Transfer pemerintah pusat (DAU) memberikan pengaruh positif terhadap
upaya pajak daerah tidak terbukti. Hasil penelitian menunjukkan transfer pemerintah pusat justru menjadi diinsentif bagi daerah dalam meningkatkan upaya pajak. Meskipun tidak signifikan namun terdapat kecenderungan bahwa ketika DAU yang diterima semakin tinggi maka upaya pajak pemerintah kabupaten dan kota justru menjadi semakin rendah. Hasil 3
Pada taraf signifikansi 10%, DAU memberikan pengaruh negatif yang signifikan terhadap upaya pajak daerah.
14
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
penelitian ini menunjukkan bahwa daerah masih mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap transfer pemerintah pusat. Hasil penelitian ini mendukung temuan Nagathan dan Sigvagnanam (1999) dalam Kuncoro (2008) yang menunjukkan bahwa pemberian transfer yang terencana justru memberikan pengaruh negatif terhadap upaya pengumpulan pajak di tingkat lokal (daerah). Bisa jadi, hal ini dipicu oleh kebijakan pemberian DAU yang menimbulkan kemalasan fiskal daerah (Nanga 2005). Ketika kapasitas fiskal daerah menjadi semakin tinggi maka DAU yang diterima akan menjadi semakin kecil. Hal inilah yang kemungkinan dihindari, daerah lebih memilih tidak mengalami peningkatan fiskal daripada mendapat potongan DAU dalam jumlah yang besar. Hasil penelitian ini juga semakin menguatkan sinyalemen Adi (2007) yang mengindikasikan kurang seriusnya daerah dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Daerah lebih mengandalkan penerimaan DAU yang bersifat hibah. Menarik untuk dicermati, terlebih bila dikaitkan dengan perkembangan peran PAD (lihat gambar 1). Daerah bisa jadi mengalami peningkatan fiskal (peningkatan PAD), namun disisi lain dalam upaya untuk mempertahankan DAU, daerah meningkatkan kebutuhan fiskalnya (baca : belanja daerah) dalam jumlah yang cukup signifikan. Kemungkinan lain, hal ini bisa juga disebabkan peningkatan kapasitas fiskal daerah menyebabkan daerah lebih bersikap optimistik dalam penganggaran pajak daerah maupun retribusi daerah, akibatnya ratio upaya pajak juga bisa menjadi semakin rendah. SIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa transfer pemerintah pusat tidak memberikan pengaruh positif terhadap upaya pajak daerah. DAU justru memberikan 15
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
pengaruh negatif pada upaya pajak daerah (pada taraf signifikansi 10%).
Hasil
penelitian ini bertentangan dengan penelitian Stine (1994) yang menyatakan bahwa ketika terjadi penurunan transfer maka penerimaan sendiri juga akan mengalami penurunan atau sebaliknya. Hasil penelitian ini justru mendukung temuan Nagathan dan Sigvagnanam (1999) dalam Kuncoro (2008) yang menunjukkan pengaruh negatif transfer pemerintah pusat terhadap pengumpulan pajak di daerah. Temuan penelitian ini memberikan implikasi penting terkait dengan kebijakan pemberian DAU saat ini. Kebijakan pemberian transfer diindikasikan tidak mendorong daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskal, tetapi justru sebaliknya. Daerah menunjukkan
ketergantungan
yang
lebih
tinggi
terhadap
pemerintah
pusat.
Kemandirian daerah yang menjadi tujuan otonomi daerah justru semakin jauh dari harapan. Pemerintah pusat perlu memformulasi kebijakan pemberian DAU yang benarbenar dapat menjadi insentif bagi peningkatan kapasitas fiskal daerah namun disini lain tetap bisa mengatasi persoalan konvergensi fiskal horizontal. Mengingat DAU lebih bersifat hibah yang kewenangan pengeluarannya diserahkan penuh kepada daerah, maka terdapat kecenderungan upaya untuk mempertahankan dana hibah ini. Daerah bisa jadi meningkatkan kebutuhan fiskalnya dengan cara meningkatkan anggaran belanjanya. Oleh karena itu, perubahan pola belanja daerah ini perlu dicermati, apakah lebih menekankan perubahan pada belanjabelanja modal yang berkaitan langsung dengan peningkatan pelayanan publik atau pada belanja-belanja rutin yang selama ini oleh banyak kalangan dinilai terjadi inefisiensi dalam pemanfaatannya.
16
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
DAFTAR PUSTAKA Adi, Priyo Hari. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal Kritis. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga _____________ 2006. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah (Studi pada Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali). Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang. _____________ 2007. Kemampuan Keuangan Daerah dan Relevansinya dengan Pertumbuhan Ekonomi. The 1st National Accounting Conference. Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Brodjonegoro, Bambang dan Jorge Martines Vasques. 2002. An Analysis of Indonesia’s TransferSystem : Recent Performance and Future Prospect. George State University. Andrew Young School of Policy Studies. Working Paper. Gramlich, Edward.1987. Federalism and Federal Deficit Reduction. National Tax Journal 40. No.3. Hal : 299 - 313 Kuncoro, Haryo. 2007. Fenomena Flypaper Effect pada Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi X. Makassar. Lin, Justin Yifu dan Zhiqiang Liu. 2000. Fiscal Decntralization and Economic Growth in China. Economic Development and Cultural Change. Chicago. Vol 49. Hal : 1 – 21. Mardiasmo, 2002. Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah:. Makalah. Disampaikan dalam seminar pendalaman ekonomi rakyat. Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Penerbit Ghalia Indonesia. Setiaji, Wirawan dan Priyo Hari Adi. 2007. Peta Kemampuan Keuangan Daerah Sesudah Otonomi Daerah : Apakah Mengalami Pergeseran?. Simposium Nasional Akuntansi X. Makassar. Shamsub, Hannarong., Joseph B Akoto. 2004. State and Local Fiscal Structures and Fiscal Stress. Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial Management, Vol 16, No 1 Hal: 40-61. Sidik, Machfud. 2002. Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah. Makalah disampaikan Acara Orasi Ilmiah. Bandung. 10 April 2002. Stine, William. 1994. Is the Local Government Revenue Response to Federal Aid Symmetrical ? Evidence From Pennsylvania County Government in an Era of Retrenchment. National Tax Journal 47. No. 4. Hal : 799-816 Susilo, Gideon Tri Budi dan Priyo Hari Adi. 2007. Analisis Kinerja Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi
17
The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008
Daerah (Studi Empiris di Propinsi Jawa Tengah). Konferensi Penelitian Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik Pertama. Surabaya. Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah. Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Wong, John D. 2004. The Fiscal Impact of Economic Growth and Development on Local Government Capacity. Journal of Public Budgeting., Accounting and Financial Management. Fall. 16.3. Hal : 413 – 423.
18