PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH PEMERINTAH VS KOMUNITAS LOKAL: UPAYA MENCARI TITIK TEMU (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
TITANIA AULIA I34070052
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT Many efforts in saving the forest resources has been done by the government to avoid a decline in forest resources. One of them is the expansion of Halimun Salak conservation area with the forestry ministerial decree No.175/Kpts-II/2003, that decree sets forth changes in regional function of ex Perum Perhutani or ex protected forest and the limited production forests around the conservation area TNGH become Halimun Salak Mountain National Park (TNGHS). Under this decree, communities within the region can not occupy the area within the region of TNGHS. This is the case that can causes conflict. In addition, to get the resolution of the conflict, there is collaborative management that involving all stakeholders. The purpose of this study are to describe and analyze: (1) pattern of forest resource management that has been done by the government and local communities, (2) The perception of stakeholders (government, society, and NGOs) to forest resources, (3) the relation between perception of socio-economic and the characteristics of local communities on forest resources, and (4) The perception of stakeholders about the management forestry recources connected with the collaborative management model (top-down and bottom up) as a result of conflict resolution. The results showed a difference in the forest resources management between the government and local communities. There is a relationship to the perception of socio-economic characteristics. Differences in perception among stakeholders (government, local communities, and NGOs) have led to conflict, so it takes a conflict resolution, the collaborative management. Perceptions of government forest resource management program produces Model Kampung Konservasi (MKK), while the public perception in Kampung Nyungcung had been fasilitated by the NGOs to make Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK). Difference perception between stakeholders (government, local communities, and NGOs) have led to conflict, thats why we need a resolution of the conflict, called the management of collaborative. Keywords: forest management, perception, collaborative management model
RINGKASAN TITANIA AULIA. I34070052. PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH PEMERINTAH VS KOMUNITAS LOKAL: UPAYA MENCARI TITIK TEMU (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Dibawah bimbingan HERU PURWANDARI Upaya penyelamatan sumberdaya hutan dilakukan pemerintah untuk menghindari penurunan sumberdaya hutan. Salah satunya adalah perluasan kawasan konservasi Halimun Salak dengan ditetapkan SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003. Surat keputusan tersebut menetapkan perubahan fungsi kawasan eks Perum Perhutani atau eks hutan lindung dan hutan produksi terbatas disekitar TNGH menjadi kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Berdasarkan SK tersebut, masyarakat yang berada di dalam kawasan tidak dapat menempati kawasan TNGHS. Hal inilah yang menyebabkan konflik. Untuk meresolusi konflik dilakukan suatu pengelolaan kolaboratif yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan dan menganalisis: (1) Pola pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh pemerintah dan komunitas lokal, (2) Persepsi pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat, dan LSM) terhadap sumberdaya hutan, (3) Hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan persepsi komunitas lokal pada sumberdaya hutan, dan (4) Persepsi pemangku kepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan berhubungan dengan perbedaan pengelolaan kolaboratif (bersifat top down dan bottom up) sebagai upaya mencari titik temu. Penelitian dilaksanakan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) sesuai hasil diskusi dengan pihak RMI- The Indonesian Institute for Forest and Environment. Unit analisis penelitian adalah individu yang menggarap lahan di kawasan Eks Perum Perhutani. Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 orang dari setiap kampung, sehingga jumlah responden keseluruhan sebanyak 60 orang. Responden dipilih dengan teknik pengambilan sampel secara acak (random sampling).
4
Analisis data mencakup: (1) pengolahan data: tabulasi silang dan (2) analisis statistik inferensial: korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan dalam pengelolaan sumberdaya hutan antara pemerintah dan komunitas lokal. Terdapat hubungan karakteristik sosial ekonomi terhadap persepsi komunitas lokal. Persepsi pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya hutan adalah lahan yang menjadi perluasan TNGHS merupakan lahan negara. Lahan negara tidak dapat dijadikan hak milik masyarakat. Persepsi masyarakat menganggap bahwa hutan tersebut telah diwariskan sejak nenek moyang mereka untuk digarap dan dimiliki. Persepsi LSM, perluasan kawasan TNGHS belum terdapat batas yang jelas antara lahan pemerintah dan lahan yang digarap oleh masyarakat. Peta partisipatif dibuat oleh masyarakat dengan didampingi pihak LSM untuk menunjukkan batas wilayah antara pemerintah dan masyarakat agar terlihat jelas, sehingga tidak terjadi tumpang tindih lahan. Perbedaan persepsi antara pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas lokal, dan LSM) telah menyebabkan konflik, sehingga dibutuhkan suatu resolusi konflik sebagai upaya mencari titik temu, yaitu pengelolaan kolaboratif. Model pengelolaan kolaboratif ini merupakan persamaan persepsi antara pemerintah, masyarakat, dan LSM. Persepsi pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya hutan menghasilkan program Model Kampung Konservasi (MKK) yang bersifat top down, sedangkan persepsi masyarakat di Kampung Nyungcung dengan difasilitasi LSM menghasilkan Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) yang bersifat bottom up.
Kata kunci: pengelolaan sumberdaya hutan, persepsi, model pengelolaan kolaboratif
PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH PEMERINTAH VS KOMUNITAS LOKAL: UPAYA MENCARI TITIK TEMU (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
TITANIA AULIA I34070052
SKRIPSI Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
LEMBAR PENGESAHAN DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Titania Aulia Nomor Mahasiswa : I34070052 Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul Skripsi : Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Pemerintah vs Komunitas Lokal: Upaya Mencari Titik Temu (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) dapat diterima sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui Dosen Pembimbing
Heru Purwandari, SP, MSi NIP. 19790524 200701 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003 Tanggal Lulus Ujian: _____________________
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH PEMERINTAH VS KOMUNITAS LOKAL: UPAYA MENCARI TITIK TEMU (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.
Bogor, September 2011
TITANIA AULIA I34070052
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Titania Aulia dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 1989. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, pasangan Dr. Ir. Tatag
Budiardi, MSi dan Dr. Ir. Kurnia Suci Indraningsih, MSi.
Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah SDN Pengadilan 2 Bogor tahun 1995-2001, SMP Negeri 4 Bogor tahun 2001-2004, dan SMA Negeri 1 Bogor tahun 2004-2007.
Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor melalui jalur masuk USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif dalam Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai staf Divisi Advertising and Multimedia pada tahun 20082010. Penulis juga menjadi anggota kepanitiaan dalam beberapa kegiatan kemahasiswaan di IPB antara lain FRESH oleh HIMASIERA tahun 2008, Bukti Cinta Lingkungan (BCL) oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEMA tahun 2009, Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat tahun 2009, serta Konser Amal dengan tema “Kami Peduli, Kamu..?” tahun 2010 oleh HIMASIERA. Penulis mengikuti kegiatan Go Field IPB tahun 2009 dan magang di Greenpeace tahun 2010. Penulis aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Sosiologi Pedesaan pada semester ganjil dan semester genap (semester 5-8) pada tahun ajaran 2009/2010 dan 2010/2011. Pada tahun 2011, penulis menjadi pendamping peserta kegiatan Pesta Petani Muda Indonesia (Pestani) yang merupakan program kerjasama Kodam III Siliwangi dengan Institut Pertanian Bogor dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga skripsi dengan judul “Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Pemerintah vs Komunitas Lokal: Upaya Mencari Titik Temu (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)” ini dapat diselesaikan. Skripsi ini memaparkan tentang pengelolaan sumberdaya hutan antara pemerintah dan komunitas lokal di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari yang memicu terjadinya konflik, sehingga terdapat pengelolaan kolaboratif yang berbeda di kedua kampung tersebut. Penulis menyampaikan terima kasih kepada para pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya.
Bogor, September 2011
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: (1)
Ibu Heru Puwandari, SP, MSi selaku dosen pembimbing dan pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan selama ini.
(2)
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA selaku dosen penguji utama atas saransaran perbaikan yang telah diberikan.
(3)
Ir. Sutisna Riyanto, MS selaku dosen penguji Wakil Departemen Sains KPM atas saran-saran perbaikan yang telah diberikan.
(4)
Bapak, Ibu, dan Adik Febi yang telah memberikan dorongan moril, doa, saran, dan motivasi.
(5)
Kang Ceceng-RMI yang telah membantu dalam tukar pikiran dan meminjamkan literatur selama penulisan skripsi.
(6)
Bapak Hendri Ketua RW 02, Bapak Usup, dan responden Kampung Cisangku, serta Bapak Sarkib Ketua RW 05, Bapak Ismail Ketua RW 06, Kang Gapuy, Teh Eli, Teh Yanti, dan responden Kampung Nyungcung yang telah membantu dalam pemberian informasi.
(7)
Bapak Yosi dan Bapak Ujang, petugas Resort Gunung Botol yang telah memberikan data dan informasi pada penelitian ini.
(8)
Rahmad Saleh teman satu bimbingan, sahabat-sahabatku (Intan, Eka, Kiki, Dian, Icha, Akira, Aris, Dewi, Ayu, Risma, Fadhil, Fitrah, Ilmy, dan Yudi), serta teman-teman di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 44 yang telah memberikan saran, doa, dan motivasi.
(9)
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.
Bogor, September 2011 Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah .................................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 4 1.4 Kegunaan Penelitian .................................................................................... 4
BAB II
KERANGKA TEORITIS ................................................................................... 6 2.1 Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 6 2.1.1 Pengelolaan Sumberdaya Hutan ....................................................... 6 2.1.2 Hak Kepemilikan .............................................................................. 8 2.1.3 Persepsi ............................................................................................. 11 2.1.4 Lapisan Masyarakat .......................................................................... 13 2.1.5 Konflik .............................................................................................. 14 2.1.6 Pemangku Kepentingan yang Terlibat ............................................. 16 2.1.7 Pengelolaan Kolaboratif ................................................................... 18 2.2 Kerangka Pemikiran .................................................................................... 19 2.3 Hipotesis ...................................................................................................... 21 2.4 Definisi Operasional .................................................................................... 21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN ......................................................................... 24 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................... 24 3.2 Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 24 3.3 Teknik Analisis Data .................................................................................... 26
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................................... 27 4.1 Profil Desa Malasari .................................................................................... 27 4.1.1 Letak Geografis dan Keadaan Alam ................................................. 27 4.1.2 Keadaan Penduduk ........................................................................... 28 4.1.3 Profil Kampung ................................................................................ 30 4.1.4 Karakteristik Sosial Ekonomi Komunitas Lokal .............................. 31 4.2 Profil Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ......................................... 33 4.3 Sejarah Penggarapan Lahan di Desa Malasari ............................................ 35
xi
BAB V
PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN ................................................. 37 5.1 Pola Pengelolaan Sumberdaya Hutan versi Pemerintah ............................. 38 5.2 Pola Pengelolaan Sumberdaya Hutan versi Komunitas Lokal ........................................................................................................... 40 5.3 Ikhtisar ....................................................................................................... 44
BAB VI
46 PERSEPSI PEMANGKU KEPENTINGAN ..................................................... 46 6.1 Persepsi Pemerintah ................................................................................... 6.2 Persepsi Komunitas Lokal ......................................................................... 47 6.2.1 Persepsi Komunitas Lokal pada Sumberdaya Hutan .............................................................................................. 47 6.2.2 Persepsi Komunitas Lokal terhadap Hak, Kewajiban, dan Alokasi Peranan .................................................. 49 6.3 Persepsi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ....................................... 61 62 6.4 Konflik Akibat Perbedaan Persepsi ........................................................... 64 6.5 Ikhtisar .......................................................................................................
BAB VII
HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DENGAN PERSEPSI KOMUNITAS LOKAL PADA PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN ..................................... 66 7.1 Keterkaitan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Persepsi Komunitas Lokal ......................................................................... 66 7.2 Ikhtisar ....................................................................................................... 68
69 BAB VIII MODEL PENGELOLAAN KOLABORATIF .................................................. 8.1 Hubungan Persepsi antara Pemangku Kepentingan pada Pengelolaan Sumberdaya Hutan terhadap Model Pengelolaan Kolaboratif ............................................................................ 69 8.2 Model Kampung Konservasi (MKK) ........................................................ 70 8.3 Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) ........................................ 74 8.4 Ikhtisar ....................................................................................................... 78 BAB IX
PENUTUP .......................................................................................................... 80 9.1 Kesimpulan ................................................................................................ 80 9.2 Saran .......................................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 82 LAMPIRAN ....................................................................................................... 85
DAFTAR TABEL Nomor
Tabel 1 Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Halaman
Seperangkat Hak Terkait dengan Kedudukan (Bundles of Rights Associated with Positions) ...........................................
10
Luas Lahan dan Persentasenya Menurut Pemanfaatan Lahan/ Penggunaan Tanah di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2010 ..........................................................
27 VV
Jumlah Penduduk Menurut Struktur Umur dan Jenis Kelamin di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2010 ........................................................................................
28
Jumlah Penduduk dan Persentasenya Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2010 ..........................................................
29
Jumlah Penduduk dan Persentasenya Menurut Mata Pencaharian di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2010 ...........................................................
30
Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Karakteristik Sosial Ekonomi Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ..........................................................
32
Jumlah dan Persentase Penduduk Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Menurut Persepsi terhadap Pengelolaan Sumberdaya Hutan (Hak, Kewajiban, dan Alokasi Peranan), 2011 ...........................................................
48
Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Jenis Kelamin di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ..........................................................
50
Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Jenis Kelamin di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ........................................
50
Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Jenis Kelamin di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 .....................
51
xiii
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15
Tabel 16
Tabel 17
Tabel 18
Tabel 19
Tabel 20
Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 .......................................
52
Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 .......................................
53
Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 .....................
53
Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Tingkat Pendapatan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 .......................................
54
Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Tingkat Pendapatan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ...................
55
Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Tingkat Pendapatan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ....................
55
Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Luas Lahan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ......................................................
56
Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Luas Lahan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 .......................................
57
Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Luas Lahan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ........................................
57
Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 .....
58
xiv
Tabel 21
Tabel 22
Tabel 23
Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ........................................................................................
59
Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ..........................................................
60
Nilai Koefisien Korelasi Tingkat Pendapatan, Luas Lahan, dan Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan yang Berhubungan dengan Persepsi Komunitas Lokal di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ....................
66
DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar 1
Halaman Kerangka Pemikiran .............................................................
20
DAFTAR LAMPIRAN □ Nomor
Halaman
Lampiran 1
Peta Desa Malasari ............................................................
86
Lampiran 2
Peta Kampung Cisangku ...................................................
87
Lampiran 3
Peta Kampung Nyungcung ...............................................
88
Lampiran 4
Peta Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak ......
89
Lampiran 5
Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011 .....................
90
Lampiran 6
Sampling Frame Penggarap Lahan di Kawasan Eks Perum Perhutani Kampung Cisangku, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 2011 .........................................................................
91
Sampling Frame Penggarap Lahan di Kawasan Eks Perum Perhutani Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 2011 ..................................................................................
92
Hasil Uji Korelasi Nonparametrik Rank Spearman di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung ...............
93
Lampiran 7
Lampiran 8 Lampiran 9
Perjanjian Kerjasama pada Model Kampung Konservasi (MKK) ..............................................................................
94
Lampiran 10 Dokumentasi Penelitian .....................................................
100
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan sumberdaya alam, salah satunya berupa sumberdaya hutan. Hutan merupakan salah satu aset potensial pembangunan nasional yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Selain itu, hutan memiliki manfaat ekologi, dan sosial budaya. Untuk itu, hutan semestinya dapat dikelola, dikembangkan, dan dimanfaatkan dalam arti eksploitasi secara tepat untuk kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam UndangUndang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 telah dinyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Negara mempunyai wewenang untuk membuat kebijakan terhadap pengelolaan hutan. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan luas hutan di Indonesia, dari sebesar 93,92 juta hektar pada tahun 2003 (Departemen Kehutanan 2005) menjadi 90,13 juta hektar pada tahun 2006 (Departemen Kehutanan 2008). Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan yang dicanangkan oleh negara tidak sesuai dalam pengelolaan sumberdaya hutan untuk memakmurkan masyarakat. Negara memaksa untuk menempatkan posisinya sebagai sumber puncak dari hukum, hak dan aturan, serta memonopoli semua kewenangan, kekuasaan dan penyelenggaraan negara. Fay dan Sirait (2001) dalam Lynch dan Harwell (2006) menyatakan, bahwa negara mengklaim sebagai pengelola tunggal yang sah atas segala kekayaan dan sumber-sumber alam dalam suatu wilayah, serta menggunakan kekuasaannya untuk mendahulukan pembangunan ekonomi yang seringkali
mengabaikan,
bahkan
mengorbankan
nasib
dan
kepentingan
masyarakat yang bermukim sekitar hutan. Salah satu pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh pemerintah berupa taman nasional yang berfungsi sebagai kawasan pelestarian alam yang dikelola oleh balai taman nasional dibawah pengawasan langsung dari pemerintah pusat. Berawal dari kawasan Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas 40.000 hektar yang sejak tahun 1935 ditetapkan pertama kali menjadi salah satu
2
taman nasional.
Penetapan tersebut didasari atas Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992, di bawah pengelolaan sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Selanjutnya pada tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan kawasan TNGH resmi dipisah dari TNGP dan dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Ditjen PHKA, Departeman Kehutanan. Atas dasar perkembangan kondisi kawasan di sekitarnya, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut yang terus terdesak akibat berbagai kepentingan masyarakat dan pembangunan, serta adanya desakan dan harapan berbagai pihak untuk melakukan penyelamatan kawasan konservasi Halimun Salak yang lebih luas, maka ditetapkan SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003. Surat ketetapan tersebut menetapkan perubahan fungsi kawasan Eks Perum Perhutani atau eks hutan lindung dan hutan produksi terbatas disekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS 2008). Hanafi et al. (2004) menyatakan, bahwa sebelum terdapat pembagian “kekuasaan” pengelolaan hutan, semua Kawasan Ekosistem Halimun dikelola oleh Departemen Kehutanan. Selama dalam pengelolaan Departemen Kehutanan, penduduk masih mempunyai akses terhadap hutan dan segala sumberdayanya. Tetapi setelah Perum Perhutani dan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditentukan sebagai pengelola kawasan hutan, semua akses masyarakat di kawasan hutan menjadi terbatas akibat banyaknya peraturan yang harus ditaati. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 282 Tahun 1992, areal hutan di Halimun seluas 40.000 hektar dikelola secara zonasi. Dalam konsep zonasi – walaupun kenyataan di lapang menunjukkan bahwa batas masing-masing zona masih belum jelas – keberadaan berbagai kampung beberapa desa dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menjadi persoalan. Upaya konservasi hanya memfokuskan pada perlindungan berbagai jenis flora dan fauna. Balai TNGHS telah berusaha “membina” masyarakat di kampung-kampung tersebut agar bersedia pindah keluar kawasan TNGHS. Secara sosio-historis sebagaimana yang dikemukakan para tetua (kakolot) bahwa nenek moyang/
3
leluhur telah mendiami kawasan TNGHS sejak tahun 1940-an, jauh sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Pada kenyataannya saat ini, kampungkampung tersebut masih memikul status “kampung ilegal” yang sewaktu-waktu dapat diusir. Pihak TNGHS tidak berdaya untuk menegakkan kepentingan konservasi. Kondisi ini menggambarkan ketidakadilan dalam arena konservasi. Salah satu permasalahan penetapan Taman Nasional (TN) adalah proses penetapannya yang tidak melibatkan semua pemangku kepentingan. Kawasan TN ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah nasional dan dikelola langsung oleh Kementerian Kehutanan/Balai Taman Nasional. Lembaga yang berwenang untuk mengelola TN seringkali tidak mampu mengelola secara efektif dan tidak mampu menegakkan hukum. Akibatnya, pelanggaran hukum di kawasan konservasi seringkali dibiarkan. Semua TN mengalami eksploitasi atau perambahan sumberdaya alam di dalam kawasan konservasi. Kegiatan ini kadang-kadang dilakukan oleh pendatang yang tertarik pada sumberdaya alam yang berada di dalam TN. Demikian halnya masyarakat yang semenjak lama tinggal di kawasan konservasi, kadang-kadang juga melakukan aktivitas tersebut. Suatu TN tidak bisa dikelola layaknya sebuah pulau pelestarian alam di tengah kegiatan pembangunan. Semua saling terkait dan saling mempengaruhi (Moeliono et al. 2010). Kasus yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Desa Malasari telah menyebabkan konflik, sehingga diperlukan suatu resolusi konflik. Salah satu upaya mencari titik temu yang dapat dilakukan untuk resolusi konflik adalah dengan mekanisme pengelolaan kolaboratif. Pengelolaan kolaboratif ini melibatkan semua pemangku kepentingan, yang terdiri dari pemerintah, komunitas lokal, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pengelolaan kolaboratif dilakukan agar terdapat kesepakatan bersama dalam mengelola sumberdaya hutan, sehingga dapat mencegah timbulnya konflik kembali. Model pengelolaan kolaboratif yang terdapat di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung berbeda walaupun kedua kampung tersebut terletak di desa yang sama, yaitu Desa Malasari. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan persepsi antar pemangku kepentingan. Pengelolaan kolaboratif di Kampung Cisangku bersifat top down, sedangkan Kampung Nyungcung bersifat bottom up.
4
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang mengenai pengelolaan sumberdaya hutan, maka beberapa permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Bagaimana pola pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh pemerintah dan komunitas lokal? 2) Bagaimana persepsi pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas lokal, dan LSM) terhadap pengelolaan sumberdaya hutan? 3) Bagaimana hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan persepsi komunitas lokal pada pengelolaan sumberdaya hutan? 4) Bagaimana persepsi pemangku kepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan berhubungan dengan perbedaan pengelolaan kolaboratif (bersifat top down dan bottom up) sebagai upaya mencari titik temu?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparkan, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis: 1) Pola pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh pemerintah dan komunitas lokal. 2) Persepsi pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas lokal, dan LSM) terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. 3) Hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan persepsi komunitas lokal pada pengelolaan sumberdaya hutan. 4) Persepsi pemangku kepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan berhubungan dengan perbedaan pengelolaan kolaboratif (bersifat top down dan bottom up) sebagai upaya mencari titik temu.
1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah: 1) Bagi akademisi Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran mengenai model pengelolaan kolaboratif yang menguntungkan semua stakeholder agar
5
dapat memanfaatkan sumberdaya hutan dengan tetap menjaga kelestarian hutan demi keseimbangan lingkungan. 2) Bagi masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat meningkatkan wawasan masyarakat dan mengubah pola pikir menuju pengelolaan sumberdaya hutan yang baik agar tidak memicu konflik terutama dengan pihak pemerintah. 3) Bagi pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merancang upaya pengelolaan kolaboratif dengan melibatkan pemangku kepentinganyang terkait. 4) Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Hasil penelitian ini diharapkan agar peran LSM dapat menjadi jembatan (liason officer) bagi pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan agar tidak memicu konflik seperti yang telah terjadi selama ini dan bersikap netral terhadap setiap keadaan.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Moniaga (1998) menjelaskan bahwa berdasarkan pelaku dan sistem yang
diterapkan, secara sederhana saat ini kita dapat membagi adanya tiga sistem pengelolaan hutan yang berkembang di Indonesia, yaitu: (1) Sistem Negara: menempatkan negara sebagai pemeran utama dalam menetapkan sistem pengelolaan hutan dan hukum termasuk hak-hak di dalamnya. Sistem ini dapat dilihat dalam pengelolaan hutan di dalam wilayah yang ditetapkan sebagai “kawasan hutan” dan wujud hak-hak penguasaan hutan, taman nasional, cagar alam, hak penguasaan hutan tanaman industri, hutan kemasyarakatan, dan pengelolaan kawasan penyangga; (2) Sistem Hutan Kemasyarakatan: menempatkan masyarakat adat dan atau komunitas lokal lainnya merupakan pemeran utama dalam menetapkan sistem pengelolaan dan hukum yang dikembangkan. Sistem ini dapat ditemui di seluruh Indonesia dengan ciri-ciri antara lain adanya sistem wana-tani yang kompleks, lembaga adat dan adat yang mengatur, adanya aspek budaya yang kompleks dan wilayah adat tertentu. Dalam beberapa kelompok masyarakat adat terdapat komoditas tertentu yang secara ekonomis dominan, misalnya damar di Krui, karet Kalimantan Barat dan rotan di Kalimantan Timur; serta (3) Sistem Pengelolaan Hutan “campuran”: menempatkan pihak ketiga (biasanya Lembaga Swadaya Masyarakat baik dalam negeri maupun dari luar negeri dan atau lembaga-lembaga pemerintah asing) yang mengupayakan penggabungan sistem negara dan sistem yang ada di masyarakat. Model ini dapat ditemui, misalnya di SFDP-Sanggau, beberapa lokasi kerja WWF di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Pengusahaan hutan Pulau Jawa dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan tidak berjalan secara optimal. Pengelolaan hutan yang sentralistik telah memisahkan keberadaan masyarakat dengan sumberdaya hutan yang telah menjadi sumber mata pencaharian, sehingga masih kurang memberikan peluang
7
kepada masyarakat sekitar hutan dan pemangku kepentingan untuk dapat mengakses sumberdaya hutan. Pihak pengelola kawasan hutan di Pulau Jawa (Perum Perhutani) maupun pihak lainnya sering menilai bahwa masyarakat sekitar hutan adalah salah satu pihak yang dapat menyebabkan kerusakan hutan dan lahan di Pulau Jawa melalui pencurian dan penjarahan kayu secara besar-besaran. Pada faktanya, pengelolaan sumberdaya hutan di Pulau Jawa yang dilakukan oleh Perum Perhutani belum dilaksanakan secara maksimal karena kebijakan masih sentralistik dan lebih menekankan pada profit oriented. Kebijakan yang diterapkan ini tidak sesuai dengan kondisi lapang, tidak mengakar pada permasalahan yang terjadi dalam masyarakat (Suwarno 2004). Sebuah karakteristik pengelolaan hutan selama Orde Baru adalah perubahan tekanan dari ekstraksi kayu ke hutan tanaman. Kayu dianggap bernilai ekonomi, maka fungsi ekonominya berubah, dan diklasifikasikan kembali dari hutan produksi ke hutan konservasi. Jika kayu sudah menipis (dan belum habis), kawasan tersebut tidak dianggap lagi sebagai hutan yang produktif; seringkali kawasan ini kemudian difungsikan menjadi pertanian perkebunan sebagai sarana untuk “rehabilitasi”. Fungsi ini menegaskan perbedaan definisi antara negara dan komunitas lokal tentang produksi dan fungsi karena hutan bekas tebangan mungkin masih produktif bagi komunitas lokal dan menyimpan banyak manfaat untuk kehidupan mereka (Lynch dan Harwell 2006). Hampir seluruh kawasan hutan di Kawasan Ekosistem Halimun dikelola oleh Perum Perhutani dan TNGH (Taman Nasional Gunung Halimun). Di Desa Malasari, sebagian masyarakat desa mendefinisikan hutan sebagai suatu tempat yang ditumbuhi banyak pohon secara alami (tidak ada intervensi manusia dalam hal penyebaran dan keanekaragaman tumbuhan di hutan tersebut). Sebagian lagi mendefinisikan hutan sebagai suatu tempat yang ditumbuhi banyak pohon secara alami maupun budidaya. Perekonomian di Kawasan Ekosistem Halimun sebagian besar merupakan perekonomian subsisten dari sumberdaya hutan yang aksesnya semakin terbatas (Hanafi et al. 2004). Moniaga (1998) menjelaskan tentang perbedaan sistem pengelolaan hutan yang berkembang di Indonesia saat ini berimplikasi pada banyaknya konflik yang terjadi di lapangan. Perbedaan sistem pengelolaan hutan sangat terkait juga
8
dengan perbedaan sistem hukum yang berkembang dan hal ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan hukum dan politik. Adimihardja (2008) juga mengungkapkan, hingga kini masih terjadi pandangan berbeda antara pemerintah dan masyarakat adat dan lokal dalam pengelolaan hutan, maka sering terjadi ketegangan-ketegangan di antara keduanya. Pengembangan model pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat adat dan lokal perlu mempertimbangkan sistem pengetahuan dan teknologi yang dikuasai masyarakat adat dan lokal di sekitar kawasan tersebut.
2.1.2
Hak Kepemilikan Ostrom (1990) dalam Tadjudin (2000) menyatakan mengenai kepemilikan
sumberdaya dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia dikategorikan menjadi: (1) Sumberdaya milik negara. Rujukan formal tentang penguasaan sumberdaya hutan dalam tataran dunia legal di Indonesia berinduk pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Konstitusi itu disusun dengan tujuan untuk menciptakan keteraturan dan kedisiplinan. Para negarawan Indonesia pada tahun 1945, sudah menyadari agar hutan tidak dipersepsikan oleh warga-negaranya sebagai suatu properti terbuka karena akan menimbulkan anarkisme dan kekacauan. Hutan dan kawasan hutan itu “bukan merupakan dan tidak bisa dialihkan menjadi” milik pribadi/swasta. Dengan demikian, ”dikuasai oleh negara” itu secara tegas menunjukkan bahwa hutan dan kawasan hutan itu merupakan sumberdaya publik; (2) Sumberdaya milik swasta. Secara hukum tidak ada sumberdaya hutan yang dimiliki oleh swasta, yang ada adalah hak penguasaan sumberdaya hutan oleh swasta. Swasta merasa bahwa sumberdaya hutan itu sebagai miliknya seakanakan hutan itu sebagai bidang tanah yang dilekati sertifikat hak milik, sehingga mereka menuding siapa pun (masyarakat) yang memasuki konsesinya sebagai pengganggu (Jessup dan Peluso, 1990 dalam Tadjudin, 2000). Kebijakan privatisasi itu didorong oleh tujuan untuk memaksimumkan
9
pendapatan negara dalam kondisi negara itu memiliki kemampuan yang terbatas untuk mengusahakan hutan. Ditinjau dari nilai absolutnya, adalah benar bahwa kebijakan ini telah memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap pendapatan negara; serta (3) Sumberdaya milik masyarakat. Bila dibanding dengan pemerintah dan swasta, masyarakat merupakan anak tiri dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan. Meski secara obyektif perundang-undangan yang ada mengkebiri hak-hak masyarakat dalam konteks hak adat dan sejenisnya, namun dalam hal mengakomodasikan hak masyarakat “lainnya”, perundang-undangan yang ada sebenarnya masih memberikan ruang gerak yang memadai. Menurut McKean (1996) dalam Tadjudin (2000), properti masyarakat merupakan hal yang sangat cocok untuk diterapkan dalam masalah pengelolaan hutan, paling tidak dalam masyarakat itu terdapat tata nilai dan budaya yang mendukung proses kooperasi sebagai alat untuk meresolusi konflik, jika sumberdaya itu mengalami tekanan. Ostrom dan Schlager (1996) menyatakan bahwa setiap hak yang dipegang individu, terdapat aturan yang memberikan hak atau memerlukan tindakan pada hak kepemilikan karena hak diartikan sebagai tindakan individu untuk dapat menerima hubungan pada individu lainnya sebagai sesuatu “barang”. Jika seseorang memiliki hak, yang lainnya memiliki tugas sepadan untuk mengamati hak itu. Tugas individu menerima tindakan yang berarti individu lainnya dapat, harus, atau tidak harus menerima hubungan dengan lainnya dan kepemilikan lainnya. Penggunaan sumberdaya milik bersama, yang paling relevan dalam hak kepemilikan dalam tingkat operasional adalah hak akses dan menangkap. Seseorang yang memiliki hak akses dan memanfaatkan atau mungkin tidak memiliki hak yang lebih luas diizinkan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan bersama. Perbedaan hak dalam tingkat operasional dan hak atas keputusan bersama adalah penting. Ini merupakan perbedaan penggunaan hak dan partisipasi dalam definisi hak ke depannya untuk digunakan. Kewenangan untuk menyusun hak tingkat operasional ke depannya adalah apa yang membuat hak pilihan bersama sangat kuat. Jika diperhatikan untuk sumberdaya bersama, hak kepemilikan kolektif meliputi pengelolaan, eksklusi, dan pengalihan.
10
Tabel 1
Seperangkat Hak Terkait dengan Kedudukan (Bundles of Rights Associated with Positions)
Hak (Rights)
Owner
Proprietor
Claimant
X X
X X
X X
X
X
X
X
X
Akses (Access) Memanfaatkan (Withdrawal) Mengelola (Management) Eksklusi (Exclusion) Pengalihan (Alienation)
Authorized user X X
Authorized entrant X
X
Sumber: Schlager dan Ostrom (1996)
Tipe hak kepemilikan, yaitu: (1) hak akses: hak untuk memasuki area dan menikmati manfaat nonsubtraktif; (2) hak memanfaatkan: hak untuk mendapatkan sumberdaya; (3) hak mengelola: hak untuk menyusun aturan operasional pemanfaatan; (4) hak eksklusi: hak untuk memutuskan siapa yang mendapat hak akses dan bagaimana hak dapat dipindahkan; serta (5) hak pengalihan: hak untuk menjual atau menyewa semuanya atau sebagian dari hak bersama. Menurut Tauchid (2009), pengertian umum mengatakan bahwa hak milik tanah bagi rakyat Indonesia berarti hak untuk mengerjakan dan melakukan hak itu sebagai kepunyaan sendiri, dengan dibatasi oleh undang-undang dan hukum adat yang berlaku: (1) Menghormati hak wilayah desa atau daerah; (2) Menghormati kepentingan milik tanah lainnya; serta (3) Menghormati hukum adat yang berlaku mengenai tanah, umpamanya kewajiban memberikan kesempatan ternak orang lain masuk ke dalam sawah atau ladang pada waktu tidak ada tanamannya (bero). Menurut Domein Verklaring tanah milik rakyat adalah kepunyaan Negeri. Maka, hak milik rakyat dikatakan sebagai hak memakai saja yang biasa disebut “erfelijk individueel gebruikscrecht” (hak memakai turun-temurun), tetapi biasa disebut ” erfelijk individueel bezitsrecht” (hak milik perseorangan turun-temurun). Pada kenyataannya, si pemilik itu berhak menjual, menggadaikan, menyewakan,
11
memberikan kepada orang lain, mewariskan baik dengan hukum waris maupun dengan wasiat (testamen). Tanah milik perseorangan bisa juga dinamakan tanah yasan (membuat sendiri) yang berasal saat membuka hutan di zaman dahulu untuk dirinya dan untuk keturunannya. Hak membuka tanah adalah hak nenek moyang atas tanah yang belum dibuka yang biasa dikatakan tanah “pusaka”, sebagai hubungan warisan (pusaka) nenek moyang yang dulu membuka hutan.
2.1.3
Persepsi Menurut DeVito (1997), persepsi adalah proses yang menjadikan seseorang
sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra manusia. Persepsi mempengaruhi rangsangan (stimulus) atau pesan apa yang diserap dan apa makna yang diberikan kepada mereka ketika mereka mencapai kesadaran. Litterer dalam Asngari (1984) berpandangan bahwa ada keinginan atas kebutuhan manusia untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat hidupnya, dan mengetahui makna dari informasi yang diterimanya. Desiderado (1976) dalam Rakhmat (1999) mengemukakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli indrawi (sensori stimuli). Menafsirkan makna informasi indrawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori. Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah pengindraan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Adapun perbedaan persepsi antara satu orang dengan orang lainnya disebabkan oleh lima faktor antara lain: (1) perhatian (rangsangan yang ada di sekitar kita tidak ditangkap secara sekaligus, tetapi hanya difokuskan pada beberapa obyek saja), (2) set (harapan seseorang akan rangsangan yang akan timbul), (3) kebutuhan (kebutuhan-kebutuhan sesaat atau yang menetap akan mempengaruhi persepsi orang tersebut), (4) sistem nilai, seperti adat istiadat, kepercayaan yang berlaku dalam suatu masyarakat
12
berpengaruh pula pada persepsi, dan (5) ciri kepribadian, misalnya: watak, karakter dan kebiasaan akan mempengaruhi persepsi (Sarwono 2002). Menurut Wibowo (1988) dalam Effendi (2002) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang dapat menimbulkan perbedaan antara persepsi seseorang dengan persepsi orang lain meliputi beberapa hal sebagai berikut: (1) Faktor pengalaman. Semakin banyak pengalaman yang dimiliki seseorang mengenai obyek-stimulusnya sebagai hasil dari seringnya kontak antara perseptor dan obyek, maka semakin tinggi pula veridikalitasnya. Pengayaan pengalaman ini dapat pula terjadi karena kontak-kontak dengan obyek-obyek stimulus yang serupa. (2) Faktor intelegensia. Semakin tinggi intelegensia seseorang atau semakin cerdas orang yang bersangkutan semakin besar kemungkinan ia akan bertindak lebih obyektif dalam memberikan penilaian atau membangun kesan mengenai obyek stimulus. (3) Faktor kemampuan menghayati stimuli. Setiap orang dalam taraf yang berbeda-beda, memiliki untuk menangkap perasaan orang lain sebagaimana adanya. Kemampuan ini dinamakan empati. (4) Faktor ingatan. Daya ingat seseorang juga menentukan veridikalitas persepsinya. (5) Faktor disposisi kepribadian. Disposisi kepribadian diartikan sebagai kecenderungan kepribadian yang relatif menetap pada diri seseorang. (6) Faktor sikap terhadap stimulus. Sikap secara umum dapat dinyatakan sebagai suatu kecenderungan yang ada pada diri seseorang untuk berpikir atau berpandangan, berperasaan dan berkehendak, dan berbuat secara tertentu terhadap suatu obyek. (7) Faktor kecemasan. Seseorang yang dicekam oleh kecemasan karena sesuatu hal yang berkaitan dengan obyek-stimulusnya akan mudah dihadapkan pada hambatan-hambatan dalam mempersepsi obyek tersebut. Kecemasan dapat menyebabkan seseorang melakukan macam-macam hal untuk mengatasi keadaan di dalam dirinya. (8) Faktor pengharapan. Faktor ini merupakan kumpulan dari beberapa pengaharapan yang bersumber dari adanya asumsi-asumsi tertentu mengenai
13
manusia, perilaku dan ciri-cirinya, serta pada taraf tertentu diyakini kebenarannya. Persepsi juga bergantung pada: (1) pendidikan seseorang, (2) kedudukannya dalam strata sosial, (3) latar belakang sosial budaya, (4) usia, dan sebagainya.
2.1.4 Lapisan Masyarakat Menurut Sorokin (1959) dalam Soekanto (2000), kata stratification berasal dari stratum (jamaknya strata yang berarti lapisan). Social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. Soekanto
(2000)
mengungkapkan bahwa
setiap
masyarakat
harus
menempatkan individu-individu pada tempat-tempat tertentu dalam struktur sosial dan mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai akibat penempatan tersebut. Apabila semua kewajiban selalu sesuai dengan keinginan individu dan sesuai pula dengan kemampuan-kemampuannya, maka persoalannya tidak akan terlalu sulit untuk dilaksanakan. Pada kenyataannya kedudukan dan peranan tertentu sering memerlukan kemampuan dan latihanlatihan dan hal itu tidak selalu sama. Adanya sistem lapisan masyarakat sekaligus memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat, yaitu penempatan individu dalam tempat-tempat yang tersedia dalam struktur sosial dan mendorongnya agar melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kedudukan serta peranannya. Pada umumnya warga lapisan atas (upper-class) tidak terlalu banyak apabila dibandingkan dengan lapisan menengah (middle class) dan lapisan bawah (lower class). Lapisan atas tidak hanya memiliki satu macam saja dari apa yang dihargai oleh masyarakat. Kedudukannya yang tinggi itu bersifat kumulatif. Artinya, mereka yang mempunyai uang banyak, akan mudah sekali mendapatkan tanah, kekuasaan dan mungkin juga kehormatan. Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai
14
untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah sebagai berikut: (1) Ukuran kekayaan. Barangsiapa yang memiliki kekayaan paling banyak termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya, dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-cara mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya; (2) Ukuran kekuasaan. Barangsiapa yang memiiki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan atasan; (3) Ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan/atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini, banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa; serta (4) Ukuran ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetapi ukuran tersebut kadang-kadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat negatif. Ternyata ukuran bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar kesarjanaannya. Hal yang demikian memacu segala macam usaha untuk mendapat gelar, walau tidak halal. Ukuran di atas tidaklah bersifat limitatif karena masih ada ukuran-ukuran lain yang dapat digunakan. Akan tetapi ukuran-ukuran di atas menentukan sebagai dasar timbulnya sistem lapisan dalam masyarakat tertentu.
2.1.5 Konflik Fisher et al. (2000) menyatakan bahwa konflik (conflict) adalah sesuatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat. Pengertian konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan
15
sumberdaya. Konflik akan selalu dijumpai dalam kehidupan manusia atau kehidupan masyarakat sebab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia melakukan berbagai usaha yang dalam pelaksanaannya selalu dihadapkan pada sejumlah hak dan kewajiban. Kata konflik seringkali mengandung konotasi negatif, yang cenderung diartikan sebagai lawan kata dari pengertian kerjasama, harmoni, dan perdamaian. Konflik bukanlah sesuatu yang dapat dihindari atau disembunyikan tetapi harus diakui keberadaannya, dikelola, dan diubah menjadi sesuatu kekuatan bagi perubahan positif (Fuad dan Maskanah 2000). Tipe-tipe konflik menuntun ke berbagai bentuk kemungkinan intervensi. Terdapat empat tipe konflik yang masing-masing memiliki potensi dan tantangannya sendiri. Pertama, tanpa konflik, dalam kesan umum adalah lebih baik. Namun, setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai, jika mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif. Kedua, konflik laten yang sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. Ketiga, konflik terbuka adalah yang berakar dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Keempat, konflik di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena
kesalahpahaman
mengenai
sasaran
yang
dapat
diatasi
dengan
meningkatkan komunikasi (Fisher et al. 2000). Pemetaan konflik merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan dengan pihak lainnya. Ketika masyarakat yang memiliki berbagai sudut pandang berbeda memetakan situasi mereka secara bersama, mereka saling mempelajari pengalaman dan pandangan masing-masing (Fisher et al. 2000). Menurut Fuad dan Maskanah (2000), kebanyakan konflik mempunyai sebab ganda, sebagai kombinasi dari masalah hubungan antar pihak yang bertikai dan mengarah pada konflik yang terbuka. Konflik seringkali terlihat sangat rumit, sehingga dapat mendefinisikan pusat situasi kritisnya, permasalahan pokoknya, atau penyebab pertikaiaannya dengan mengamati dan memahami pihak-pihak
16
yang bertikai. Pemetaan konflik dengan mengelompokkannya dalam ruang-ruang konflik dengan kriteria-kriteria di bawah ini: (1) Konflik data, terjadi ketika orang mengalami kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana atau mendapat informasi yang salah atau tidak sepakat mengenai data apa saja yang relevan atau menerjemahkan informasi dengan cara yang berbeda atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda; (2) Konflik kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik yang berdasarkan kepentingan terjadi karena masalah yang mendasar atau substantif, masalah tata cara atau masalah psikologis; (3) Konflik hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi atau stereotipe, salah komunikasi atau tingkah laku yang negatif (repetitif); (4) Konflik nilai, disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian, entah itu hanya dirasakan atau memang ada. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya; serta (5) Konflik struktural, terjadi ketika adanya ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain.
2.1.6 Pemangku Kepentingan yang Terlibat Menurut Tadjudin (2000), istilah stakeholder (pemangku kepentingan) dalam pengelolaan sumberdaya hutan diintroduksikan oleh negara-negara donor, termasuk para donor yang mendukung Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Manajemen kolaboratif sekurang-kurangnya melibatkan lima stakeholder yang saling berinteraksi dan memiliki hak dan tujuan individual yang berbeda. Mereka berkedudukan sederajat dan didorong agar mampu mengakomodasikan tujuantujuan individualnya menjadi tujuan kolektif yang disepakati bersama.
17
Kelima stakeholder tersebut adalah masyarakat, pemerintah, swasta, hutan, dan lembaga penyangga. Keberadaan kelima stakeholder tersebut berbeda pada setiap kasus pengelolaan hutan. Namun, secara umum terdapat dua bentuk, yaitu: kelima stakeholder itu ada yang akan dijumpai dalam pengelolaan hutan produksi dan hutan tanaman industri dan hanya terdapat empat stakeholder tanpa kehadiran swasta. Kasus seperti ini akan dijumpai dalam pengelolaan hutan lindung, hutan suaka, hutan taman nasional, dan juga pada hutan rakyat. Pengertian dari kelima stakeholder tersebut sebagai berikut: (1) masyarakat adalah penduduk yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan, yang kehidupan ekonomi, sosial, dan budayanya bergantung pada keberadaan sumberdaya hutan. Masyarakat di sini tidak sekedar dipandang sebagai rumah tangga (household) yang dalam konsep ekonomi ditetapkan sebagai sosok yang memiliki fungsi tujuan untuk memaksimumkan utilitas, melainkan juga dipandang sebagai entitas bisnis yang memiliki fungsi tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi sebesar-besarnya; (2) pemerintah adalah lembaga-lembaga pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, tidak terbatas pada satu departemen teknis yang mengurus masalah hutan. Fungsi tujuan pemerintah adalah memaksimumkan pelayanan; (3) swasta adalah badan usaha yang bidang bisnisnya adalah pendayagunaan sumberdaya hutan. Fungsi tujuan swasta adalah memaksimumkan keuntungan ekonomi; (4) lembaga penyangga merupakan lembaga swadaya masyarakat dan lembagalembaga kemasyarakatan lainnya yang memiliki kepedulian terhadap masalah pemberdayaan masyarakat dan kelestarian lingkungan hutan; serta (5) hutan dipandang sebagai entitas hidup yang berhak untuk memiliki anatomi, sifat, ciri, dan status tertentu. Hutan tidak sekedar dipandang sebagai sumberdaya yang boleh diekstrak aliran-manfaatnya, melainkan dipandang juga sebagai entitas-hidup (subyek) yang memiliki hak-hak yang sederajat dengan stakeholder lainnya.
18
2.1.7 Pengelolaan Kolaboratif Menurut
Julia
dan
Yaffee
(2000)
dalam
Suporahardjo
(2005),
perkembangan pendekatan kolaborasi mulai muncul sebagai respon atas tuntutan kebutuhan akan manajemen pengelolaan sumberdaya yang baru, demokratis, lebih mengakui perluasan yang lebih besar atas dimensi manusia dalam mengelola pilihan-pilihan, mengelola ketidakpastian, mengelola kerumitan dari potensi keputusan dan membangun kesepahaman, dukungan, kepemilikan atas pilihanpilihan bersama. Pendekatan kolaborasi sering disebut sebagai “jembatan” (bridges) untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya. Oleh karena itu, kolaborasi banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak dalam konflik multi pihak. Istilah collaborative management (pengelolaan secara kolaboratif) dalam bahasa Inggris sering digunakan secara bergantian dengan berbagai istilah lainnya, seperti co-management (pengelolaan secara kemitraan), participatory management (pengelolaan partisipatif), joint management (pengelolaan bersama), shared
management
(pengelolan
berbagi),
multistakeholder
management
(pengelolaan multipihak) atau round-table management (pengelolaan meja bundar). Dalam bentuk aslinya, pengelolaan kolaboratif merupakan proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam berbagai kegiatan pengelolaan, termasuk pengembangan visi bersama, belajar bersama, dan penyesuaian praktek-praktek pengelolaan (Kusumanto et al. 2006). Pokok-pokok pikiran Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005) tentang lima ciri penting yang menentukan proses kolaborasi, yaitu: (1) Membutuhkan keterbukaan karena dalam kolaborasi antara stakeholder harus saling memberi dan menerima (give and take) untuk menghasilkan solusi bersama. Hal ini tidak akan tercapai bila satu dengan yang lain bersengketa bekerja secara mandiri/terpisah. Pada tahap awal kolaborasi penting ada kesadaran dan perhatian terhadap cara dimana kepentingan stakeholder dirangkai dan alasan mengapa antara stakeholder membutuhkan satu dengan yang lain (saling ketergantungan) untuk menyelesaikan masalah; (2) Menghormati perbedaan dan menjadikan sumber potensi kreatif untuk membangun kesepakatan;
19
(3) Peserta dalam kolaborasi secara langsung bertanggung jawab untuk pencapaian kesepakatan tentang suatu jalan keluar. Tidak seperti dalam pendekatan litigasi atau peraturan (regulation), yaitu peran penengah/ mediator (pengadilan, lembaga pemerintah, legislator) merencanakan jalan keluar yang dipaksakan kepada stakeholder. Kesepakatan dalam kolaborasi, para pihak keputusan dibebankan kepada mereka sendiri. Ketika terjadi kolaborasi berbagai stakeholder dengan persepsinya masing-masing yang khas atas masalah harus bernegosiasi; (4) Membutuhkan satu jalan keluar yang disepakati untuk arahan interaksi di antara stakeholder di masa depan. Perlu ada kontrak baik formal maupun informal tentang ciri pertukaran di kemudian hari antara stakeholder mengenai apa yang akan dicapai selama kolaborasi; serta (5) Membutuhkan kesadaran bahwa kolaborasi sebagai suatu proses, maka akan menjadi sebagai resep. Memandang kolaborasi sebagai suatu proses, maka akan menggambarkan penyebab dan pengembangan kolaborasi. Oleh karena itu, kolaborasi dapat dipikirkan sebagai suatu forum yang bersifat temporer dan berevolusi untuk menyelesaikan suatu masalah.
2.2 Kerangka Pemikiran Karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang dapat mempengaruhi persepsi dikategorikan menjadi jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, luas lahan, dan pengalaman mengelola sumberdaya hutan. Berdasarkan karakteristik sosial ekonomi tersebut akan mempengaruhi persepsi komunitas lokal pada sumberdaya hutan. Persepsi berkaitan dengan hak dan kewajiban serta alokasi peranan. Perbedaan persepsi antar pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas lokal, dan LSM) dapat menimbulkan konflik. Fisher et al. (2000) menyatakan bahwa konflik adalah sesuatu kenyataan hidup, tidak terhindaran dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Konflik ini dapat dilihat dari tipe konflik, pemetaan konflik, dan pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya. Bila telah dilakukan analisis mengenai konflik tersebut, maka dapat diketahui akar permasalahan dari konflik yang terjadi. Selanjutnya,
20
dibutuhkan suatu resolusi konflik untuk mendapatkan bentuk penyelesaian yang akan dilakukan atas sejauhmana persamaan persepsi dari kedua belah pihak. Salah satu bentuk penyelesaian konflik ini adalah pengelolaan kolaboratif. Menurut Kusumanto et al. (2006), pengelolaan kolaboratif merupakan proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam berbagai kegiatan pengelolaan, termasuk pengembangan visi bersama, belajar bersama, dan penyesuaian praktek-praktek pengelolaan. Model pengelolaan kolaboratif yang digunakan pada setiap lokasi berbeda, sehingga mencari tahu apa yang menyebabkan perbedaan model pengelolaan kolaboratif tersebut di lokasi penelitian (Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung) dengan menentukan proses kolaborasi yang dilakukan sesuai pernyataan Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005).
Karakteristik sosial ekonomi: - Jenis kelamin - Jenis pekerjaan - Tingkat pendapatan - Luas lahan - Pengalaman mengelola sumberdaya hutan
Persepsi LSM pada pengelolaan sumberdaya hutan - Hak dan kewajiban - Alokasi peranan
Persepsi komunitas lokal pada pengelolaan sumberdaya hutan - Hak dan kewajiban - Alokasi peranan
Persepsi pemerintah pada pengelolaan sumberdaya hutan - Hak dan kewajiban - Alokasi peranan
Keterangan: : hubungan searah : hubungan dua arah : kualitatif Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Konflik - Tipe konflik - Pemetaan konflik - Pemangku kepentingan yang terlibat
Resolusi Konflik - Analisis akar permasalahan - Model pengelolaan kolaboratif
21
2.3 Hipotesis Hipotesis penelitian yang diajukan, yaitu: (1) Terdapat hubungan antara karakteristik sosial ekonomi terhadap persepsi komunitas lokal pada pengelolaan sumberdaya hutan. (2) Terdapat hubungan persepsi antara pemangku kepentingan pada pengelolaan sumberdaya hutan dengan model pengelolaan kolaboratif.
2.4 Definisi Operasional Definisi operasional peubah dimaksudkan untuk memberikan batasan yang jelas, sehingga memudahkan dalam melakukan pengukuran. Definisi operasional dan pengukuran peubah dalam rencana penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Karakteristik sosial ekonomi merupakan ciri-ciri yang melekat pada setiap
individu dalam suatu komunitas lokal. Peubah ini meliputi: jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, luas lahan, dan lama pengalaman mengelola sumberdaya hutan. (a) Jenis kelamin adalah identitas biologis individu yang terbagi atas dua kategori, yaitu laki-laki dan perempuan. (i) Laki-laki
: Kategori 1
(ii) Perempuan
: Kategori 2
(b) Jenis pekerjaan adalah profesi yang menopang kehidupan individu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. (i)
Petani
: Kategori 1
(ii)
Buruh tani
: Kategori 2
(iii) Non Pertanian : Kategori 3 (c) Tingkat pendapatan adalah jumlah rupiah yang diperoleh individu sebagai hasil dari bekerja sesuai dengan jenis pekerjaan dalam satuan rupiah per waktu (tahun). (i)
Rendah
: Rp 3.600.000,00 – Rp 9.599.000,00
(ii)
Sedang
: Rp 9.600.000,00 – Rp 15.599.000,00
(iii) Tinggi
: Rp 15.600.000,00 – Rp 21.600.000,00
22
(d) Luas lahan adalah luasnya lahan yang dikelola oleh individu dalam satuan hektar. (i)
Sempit
: 0,01 – 0,54
(ii)
Sedang
: 0,55 – 1,08
(iii) Luas
: 1,09 – 1,63
(e) Pengalaman mengelola sumberdaya hutan adalah lamanya individu dalam mengelola sumberdaya hutan yang dihitung dalam satuan waktu (tahun). (i)
Rendah
: 3 – 18
(ii)
Sedang
: 19 – 34
(iii) Tinggi
: 35 – 50
(2) Persepsi komunitas lokal adalah penilaian komunitas lokal terhadap
keinginan atas kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat hidupnya, dan mengetahui makna dari informasi yang diterimanya. Pengukuran persepsi menggunakan skala Likert: 1 (tidak sesuai), 2 (kurang sesuai), 3 (sesuai), dan 4 (sangat sesuai), kemudian data dikategorikan menjadi tiga, yaitu kategori rendah: skor 10-14, kategori sedang: skor 15-19, dan kategori tinggi: skor 20-25. (a) Persepsi komunitas lokal terhadap hak adalah penilaian komunitas lokal terhadap sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undangundang, aturan, dan sebagainya), kekuasaan yg benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat. (b) Persepsi komunitas lokal terhadap kewajiban adalah penilaian komunitas lokal terhadap sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal yang harus dilaksanakan). (c) Persepsi komunitas lokal terhadap alokasi peranan adalah penilaian komunitas lokal terhadap aspek dinamis dari kedudukan, apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan. (3) Persepsi pemerintah adalah penilaian pemerintah terhadap keinginan atas
kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat hidupnya, dan mengetahui makna dari informasi yang diterimanya.
23
(4) Persepsi LSM adalah penilaian LSM terhadap keinginan atas kebutuhan untuk
mengetahui dan mengerti dunia tempat hidupnya, dan mengetahui makna dari informasi yang diterimanya. (5) Konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang
disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya. (a) Tipe konflik adalah menuntun ke berbagai bentuk kemungkinan intervensi yang masing-masing memiliki potensi dan tantangannya sendiri. (b) Pemetaan konflik adalah pengelompokkan dalam ruang-ruang konflik yang menggunakan kriteria-kriteria tertentu dengan mengamati dan memahami pihak-pihak yang bertikai. (c) Pemangku kepentingan yang terlibat adalah pihak yang saling berinteraksi dan memiliki hak dan tujuan individual yang berbeda. (6) Resolusi konflik adalah menangani sebab-sebab konflik dan berusaha
membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama di antara kelompokkelompok yang bermusuhan. (a) Analisis akar permasalahan adalah mencari tahu pokok permasalah yang ditimbulkan akibat perbedaan persepsi. (b) Model pengelolaan kolaboratif adalah model yang dibuat pada proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam berbagai kegiatan pengelolaan, termasuk pengembangan visi bersama, belajar bersama, dan penyesuaian praktek-praktek pengelolaan.
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Lampiran 1-3). Lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) sesuai hasil diskusi dengan pihak RMI- The Indonesian Institute for Forest and Environment dikarenakan: (1) Desa Malasari termasuk ke dalam perluasan kawasan Taman Nasional Halimun-Salak (Lampiran 4). (2) Terdapat konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan. (3) Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung memiliki model pengelolaan kolaboratif yang berbeda. Ciri khas penelitian ini dibandingkan dengan penelitian yang lain adalah terdapat model pengelolaan kolaboratif yang berbeda di kedua kampung tetapi masih dalam satu desa. Dalam satu desa terdapat model pengelolaan kolaboratif yang berbeda, yakni di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung. Model pengelolaan kolaboratif di Kampung Cisangku berupa Model Kampung Konservasi (MKK) yang bekerjasama dengan pemerintah (TNGHS) dan bersifat top down. Pada Kampung Nyungcung, model pengelolaan kolaboratif berupa Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) dengan difasilitasi oleh pihak LSM yang bersifat bottom up. Penelitian dilaksanakan dalam waktu satu bulan (Lampiran 5). Kegiatan penelitian meliputi pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian.
3.2 Teknik Pengumpulan Data Penelitian dirancang dengan menggunakan metode survai yang bersifat deskriptif
korelasional (Singarimbun dan Effendi 1989). Pengumpulan data
dilakukan selama satu bulan pada bulan April 2011.
25
Data yang dikumpulkan mencakup data primer (data kuantitatif maupun data kualitatif) dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pertanyaan terstruktur berupa kuesioner yang ditanyakan langsung kepada responden agar mendapatkan jawaban yang akurat dan wawancara mendalam kepada informan. Informasi dari sumber lain sebagai data pendukung atau untuk verifikasi. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber, yaitu Kantor Desa Malasari, Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTNW) II, Kabupaten Bogor, Resort Gunung Botol, Departemen Kehutanan, RMI, serta dokumen-dokumen dan pustaka yang berhubungan dalam menunjang penelitian. Populasi penelitian adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciricirinya akan diduga (Palte 1978 dalam Singarimbun dan Effendi 1989). Populasi dalam penelitian ini adalah semua individu yang menggarap lahan di kawasan Eks Perum Perhutani. Jumlah anggota masyarakat yang merupakan populasi di Kampung Cisangku adalah 232 orang (3 RT) dan Kampung Nyungcung adalah 184 orang (RT 02 RW 05 dan RT 04 RW 06). Unit analisis penelitian ini adalah individu yang menggarap lahan di kawasan Eks Perum Perhutani. Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 orang dari setiap kampung, sehingga jumlah responden keseluruhan sebanyak 60 orang (Lampiran 6 dan Lampiran 7). Setiap kampung diambil sebanyak 15 orang laki-laki dan 15 perempuan. Jumlah penggarap lahan di Kampung Cisangku diambil sebanyak 30 orang dengan masing-masing 10 orang pada tiap RT. Pada Kampung Nyungcung dipilih RT 02 RW 05 sebanyak 15 orang, sedangkan di RW 06 dipilih RT 04 sebanyak 15 orang. Responden dipilih dengan teknik pengambilan sampel secara acak (random sampling). Pengambilan sampel tersebut dilakukan pada 30 orang tersebut pada setiap kampung. Informan merupakan pihak yang memberikan keterangan tentang diri, keluarga, pihak lain, dan lingkungannya yang dilakukan dengan teknik bola salju (snowball sampling). Informan dalam penelitian ini adalah aparatur desa (ketua RW dan ketua RT) setiap kampung, tokoh masyarakat, dan perwakilan instansi terkait (petugas Resort Gunung Botol).
26
3.3 Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial berupa korelasi Rank Spearman (Lampiran 8). Analisis deskriptif dilakukan melalui statistika deskriptif, yaitu statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat generalisasi hasil penelitian. Analisis data deskriptif dilakukan dengan menyajikan data melalui tabulasi silang. Teknik analisis inferensial dilakukan dengan statistik inferensial, yaitu statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan membuat kesimpulan yang berlaku umum. Analisis statistik inferensial menggunakan korelasi Rank Spearman untuk mengkorelasikan dua data yang mempunyai gejala ordinal. Pengolahan data menggunakan bantuan piranti lunak (software) SPSS 16.0 dan Microsoft Excel 2007. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis antar variabel yang konsisten.
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Profil Desa Malasari 4.1.1 Letak Geografis dan Keadaaan Alam Desa Malasari terletak di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Luas wilayah Desa Malasari adalah 7.762,22 hektar. Temperatur rata-rata sekitar 22-30oC. Curah hujan rata-rata per tahun adalah 2.500-3.000 mm. Desa Malasari terletak pada ketinggian antara 600-1800 m dari permukaan laut (dpl). Desa Malasari memiliki empat dusun, 12 RW, dan 44 RT. Secara administratif, Desa Malasari dengan batas-batas sebelah utara berbatasan dengan Desa Cisarua dan Curug Bitung, sebelah timur berbatasan dengan Desa Bantar Karet, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Propinsi Banten, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Kiara Sari, Kecamatan Sukajaya. Jarak dari Desa Malasari ke ibukota Kecamatan Nanggung adalah 17 kilometer, sedangkan menuju ibukota Kabupaten Bogor adalah 68 kilometer. Tabel 2 Luas Lahan dan Persentasenya Menurut Pemanfaatan Lahan/Penggunaan Tanah di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2010 Pemanfaatan lahan/penggunaan tanah Perumahan pemukiman dan pekarangan Sawah Ladang/Huma Perkebunan swasta Kolam Sungai Jalan Situ Pemakaman/kuburan Perkantoran Lapangan olah raga Tanah/bangunan /industri Tanah/peribadatan Tanah/bangunan Pendidikan Tanah pengangonan Lain-lain penggunaannya oleh TNGHS dan PERHUTANI Jumlah Sumber: Data Monografi Desa Malasari (2010)
Luas lahan (ha) 72 95 65 971,22 3 5 52 2 5 2 7 2 5 4 2 6 470 7 762,22
Persentase (%) 0,93 1,22 0,84 12,51 0,04 0,06 0,67 0,03 0,06 0,03 0,09 0,03 0,06 0,05 0,03 83,35 100,00
28
Luas lahan yang dimanfaatkan oleh masyarakat (dapat dilihat pada Tabel 2) tidaklah seluas lahan yang dimanfaatkan oleh TNGHS dan PERHUTANI serta perkebunan swasta yang mencapai 95,86 persen dari jumlah pemanfaatan lahan di Desa Malasari. Adanya ketimpangan lahan ini menyebabkan masyarakat sulit memanfaatkan lahan sekitar 2,06 persen (sawah dan ladang/huma) padahal mata pencaharian utamanya sebagai petani. Berdasarkan lahan yang dimanfaatkan oleh masyarakat, dibuatlah sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan sosial dan ekonomi. Peruntukan terbanyak adalah mushala sebanyak 42 buah karena mayoritas penduduk Desa Malasari beragama Islam (Data Monografi Desa Malasari, 2010).
4.1.2 Keadaan Penduduk Jumlah penduduk Desa Malasari adalah 7.955 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 4.059 jiwa dan perempuan sebanyak 3.896 jiwa. Jumlah Kepala Keluarga (KK) adalah 2.417 KK. Sebaran penduduk menurut struktur umur dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah Penduduk Menurut Struktur Umur dan Jenis Kelamin di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2010 Kelompok Umur 0–4 5–9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 – 69 ≥ 70 Jumlah
Jumlah Jiwa Laki-laki Perempuan 478 340 274 375 423 390 330 286 242 149 249 148 134 148 93 4 059
Sumber: Data Monografi Desa Malasari (2010)
468 397 285 351 500 370 279 250 215 156 215 120 121 88 81 3 896
Jumlah 946 737 559 726 923 760 609 536 453 305 464 268 255 236 174 7 955
29
Pada Tabel 4 diketahui, bahwa mayoritas tingkat pendidikan penduduk Desa Malasari adalah tamat SD. Persentase dari penduduk yang tamat SD adalah 58,62 persen (4.663 jiwa). Hal ini dikarenakan sarana dan prasarana pendidikan SLTP dan SLTA belum terdapat di Desa Malasari. Desa Malasari hanya memiliki bangunan SD. Siswa SLTP Terbuka yang bersekolah menggunakan gedung SD yang telah selesai dipakai oleh siswa SD. Pembelajaran dilakukan pada siang hari. Selain itu, sumberdaya manusia (SDM) untuk mengajar masih kurang. Tabel 4 Jumlah Penduduk dan Persentasenya Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2010 Tingkat Pendidikan
Jumlah (Jiwa)
Persentase (%)
SD SLTP SLTA Akademi/sarjana muda Perguruan tinggi/sarjana Tsanawiyah Aliyah Pesantren salafiah Pesantren modern Tidak/belum sekolah
4 663 563 267 52 9 217 46 165 5 1 968
58,62 7,08 3,36 0,65 0,11 2,73 0,58 2,07 0,06 24,74
Jumlah
7 955
100,00
Sumber: Data Monografi Desa Malasari (2010)
Mata pencaharian utama penduduk Desa Malasari adalah petani. Sebaran penduduk berdasarkan mata pencaharian ditampilkan pada Tabel 5. Persentase untuk mata pencaharian petani adalah 44,04 persen (3.503 jiwa) karena sebagian besar penduduknya memiliki sawah dan ladang/huma (lahan milik) untuk digarap. Akan tetapi, lahan di desa tersebut semakin sempit akibat banyak lahan yang telah dijual kepada pihak luar padahal lahan tersebut masih produktif untuk digarap karena jarang pewaris lahan tersebut mau melanjutkan pekerjaan sebagai petani atau buruh tani. Selain itu, lahan paling luas telah dikuasai oleh pihak TNGHS dan Perum Perhutani serta perkebunan swasta. Pada umumnya, pekerjaan bertani dan buruh tani hanya dilakukan oleh orang tuanya, sedangkan sebagian besar para remaja bekerja sebagai penambang emas ilegal (gurandil) karena dianggap menghasilkan keuntungan dibandingkan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Pekerjaan sebagai gurandil hanya
30
dilakukan oleh laki-laki. Hal ini dikarenakan tempat untuk mencari emas tersebut sangatlah jauh dan dingin (gunung). Pekerjaan gurandil hanya berlaku musiman dan biasanya dilakukan secara berkelompok. Akan tetapi, pekerjaan ini membutuhkan resiko yang tinggi, baik dalam keselamatan maupun finansial. Tabel 5 Jumlah Penduduk dan Persentasenya Menurut Mata Pencaharian di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2010 Mata Pencaharian Petani Buruh tani Pedagang Pegawai negeri Pensiun/purnawirawan Peternak Swasta karyawan kebun Pengrajin Tukang bangunan Penjahit Tukang las Tukang ojek Bengkel Seniman Lain-lain (tukang batu, kerajinan –sukwan) Tidak/belum bekerja
kayu
Jumlah
Jumlah (Jiwa)
Persentase (%)
3 503 873 317 2 6 320 875 53 45 7 2 137 10 12 41
44,04 10,97 3,98 0,03 0,08 4,02 11,00 0,67 0,57 0,09 0,03 1,72 0,13 0,15 0,52
1 752
22,02
7 955
100,00
Sumber: Data Monografi Desa Malasari (2010)
4.1.3 Profil Kampung Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung berada dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) akibat dilakukannya perluasan lahan untuk kawasan konservasi setelah penyerahan lahan yang dilakukan oleh Perum Perhutani kepada TNGHS. Letak Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung dipisahkan oleh hutan dan perbukitan dengan puncak gunung, yaitu kawasan pintu masuk menuju TNGHS. Kampung Cisangku memiliki batas-batas wilayah, yaitu sebelah barat berbatasan dengan Kampung Cerewed, Desa Kiara Sari, sebelah utara berbatasan
31
dengan Kampung Teluk Waru, Desa Curug Bitung, sebelah timur berbatasan dengan Kampung Nyungcung, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Malasari. Kampung Cisangku hanya terdapat 1 RW, yaitu RW 02 yang terdiri atas 3 RT. Penduduk di Kampung Cisangku adalah 472 jiwa dengan jumlah lakilaki sebanyak 248 jiwa dan perempuan sebanyak 224 jiwa. Luas Kampung Cisangku mencapai 176,281 hektar (Data Monografi Desa Malasari, 2010). Batas-batas Kampung Nyungcung adalah sebelah barat berbatasan dengan Kampung Cisangku, sebelah utara berbatasan dengan Kampung Parigi, Desa Cisarua, sebelah timur berbatasan dengan Kampung Pabangbon, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Babakan Jengkol. Kampung Nyungcung terdapat dua RW, yaitu RW 05 dan RW 06. Pada RW 05 terdapat 3 RT dan RW 06 terdapat 6 RT. Jumlah penduduk di RW 05 adalah 586 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 308 jiwa dan perempuan sebanyak 278 jiwa sedangkan di RW 06 adalah 913 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 476 jiwa dan perempuan sebanyak 437 jiwa (Data Monografi Desa Malasari, 2010). Luas Kampung Nyungcung mencapai 399,195 hektar. Penggunaan lahan dibagi oleh masyarakat, seperti: lahan garapan (SPPT) seluas 46,194 hektar, pemukiman (SPPT) seluas 8,966 hektar, lahan GG (tanah desa) seluas 6,712 hektar, dan lahan pemakaman seluas 2,750 hektar. Beberapa bagian lahan yang pengelolaannya dikuasai oleh pihak lain, seperti: lahan yang masih terdapat pohon pinusnya seluas 24,730 hektar dikelola oleh pihak Perum Perhutani yang sekarang dialihfungsikan oleh pihak TNGHS, lahan konservasi seluas 74,440 hektar oleh TNGHS, pertambangan bentonit oleh PT SGI seluas 4,050 hektar, dan lahan tumpang tindih antara masyarakat dan pihak lain seluas 234,121 hektar (RMI, 2007).
4.1.4 Karakteristik Sosial Ekonomi Komunitas Lokal Karakteristik sosial ekonomi masyarakat dibagi lima, yaitu jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, luas lahan, dan pengalaman mengelola sumberdaya hutan. Akan tetapi, jenis kelamin responden tidak dimasukkan dalam Tabel 6 karena pengambilan jumlah responden di setiap kampung sama, yaitu 30 orang (15 laki-laki dan 15 perempuan).
32
Tabel 6 Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Karakteristik Sosial Ekonomi Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 Kampung Cisangku Peubah
Kampung Nyungcung
Kategori n
%
n
%
Jenis Pekerjaan Pertanian Buruh Pertanian Non Pertanian
21 5 4
70,00 16,67 13,33
22 1 7
73,33 3,33 23,33
Jumlah
30
100,00
30
100,00
22 5 3
73,33 16,67 10,00
26 2 2
86,66 6,67 6,67
30
100,00
30
100,00
0 23 7
0 76,67 23,33
23 3 4
76,67 10,00 13,30
30
100,00
30
100,00
9 16 5
30,00 53,33 16,67
17 9 4
56,67 30,00 13,33
30
100,00
30
100,00
Tingkat Pendapatan Rendah Sedang Tinggi
Rp (Juta/th) 9,60-9,59 9,60-15,59 15,60-21,60
Jumlah Luas Lahan Sempit Sedang Luas
Hektar 0,01-0,54 0,55-1,08 1,09-1,63
Jumlah Pengalaman Mengelola Hutan Rendah Sedang Tinggi
Tahun 3-18 19-34 35-50
Jumlah
Keterangan: n = jumlah, * = buruh gunung, buruh bangunan, warung, berjualan gorengan
Jenis pekerjaan masyarakat paling banyak terdapat pada bidang pertanian, yaitu sebagai petani (Tabel 6). Jenis pekerjaan ini dipilih oleh mereka karena terdapat lahan yang dapat digarap, baik berupa sawah, ladang, maupun kebun. Lahan ini dapat berupa lahan milik, lahan sewa, dan lahan garapan yang berada di kawasan Eks Perum Perhutani. Menurut masyarakat, lapisan sosial pada dua kampung ini diukur berdasarkan ukuran kekayaan yang dilihat berdasarkan tingkat pendapatan dan luas lahan. Tingkat pendapatan yang besar dapat terlihat dari bentuk rumah, kendaraan pribadi, dan peralatan elektronik. Luas lahan sebagai pelengkap ukuran kekayaan bagi kampung ini.
33
Berdasarkan Tabel 6, lapisan atas dikategorikan memiliki tingkat pendapatan yang tinggi dibandingkan lapisan menengah dan bawah. Lapisan atas biasanya lebih sedikit dibandingkan lapisan menengah dan bawah. Hal ini terlihat jelas di dua kampung tersebut. Luas lahan biasanya menggambarkan pelapisan sosial. Akan tetapi, lahan dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya, sehingga lahan yang dimiliki semakin sempit dan tidak akan bertambah luas dikarenakan wilayah kampung termasuk ke dalam kawasan TNGHS dan terdapat kawasan yang tidak dapat dibuka lahannya. Pengalaman mengelola sumberdaya hutan di Kampung Cisangku termasuk kategori sedang dan pada Kampung Nyungcung termasuk kategori tinggi. Pengalaman ini berkaitan dengan usia karena mereka melakukan hal tersebut pada usia sekitar 20-an tahun. Semakin usia bertambah, semakin lama dalam mengelola sumberdaya hutan. 4.2 Profil Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Secara geografis TNGHS terletak pada 106012‟58” BT-106045‟50” BT dan 06032‟14” LS-06055‟12” LS. Secara topografi, mempunyai ketinggian berkisar antara 500-2.211 meter di atas permukaan laut (m dpl). Kawasan ini secara administratif terletak dalam tiga wilayah, yaitu Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Hutan alam di kawasan TNGHS terbagi menjadi tipe hutan dataran rendah (100-1.000 m dpl) yang sebagian besar merupakan Zona, Collin (500-1.000 m dpl), hutan hujan pegunungan bawah atau sub montana (ketinggian 1.000-1.500 m dpl) dan hutan hujan pegunungan tengah atau hutan montana (ketinggian 1.5002.000 m dpl). Khusus di Gunung Salak juga ditemukan ekosistem alpin (lebih dari 2.000 m dpl) dan ekosistem kawah yang memiliki vegetasi spesifik. Lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga diketahui hidup di hutan alam dalam TNGHS, meliputi 391 marga dari 119 suku. Hutan tanaman di dalam kawasan TNGHS terdapat di areal yang sebelumnya berstatus sebagai kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani, diantaranya adalah hutan tanaman Rasamala (Altingia excels), Pinus (Pinus merkusii), Damar (Agathis sp.), dan Puspa (Schima
34
wallichii). Selain hutan tanaman, terdapat areal yang telah menjadi hutan garapan masyarakat dengan berbagai jenis tanaman budidaya, antara lain: padi, pisang, ketela pohon, jagung, dan cabai. Selain itu, juga ditemukan, berbagai jenis tanaman buah-buahan dan tanaman hutan yang dibudidayakan oleh masyarakat antara lain durian, nangka, melinjo, pala, alpukat, mangga, aren, kelapa, sengon, dan kayu afrika (manii) (TNGHS, 2008). Penunjukan Gunung Halimun, Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasan hutan di sekitarnya sebagai salah satu taman nasional di Indonesia, karena kawasan ini mempunyai karakteristik kawasan pegunungan yang masih memiliki ekosistem hutan hujan tropis di Jawa. Kawasan ini selain berfungsi sebagai kawasan tangkapan air juga merupakan habitat satwa yang unik, seperti Owa Jawa, Elang Jawa dan Macan Tutul. Secara historis TNGHS (Taman Nasional Gunung Halimun-Salak) sudah menjadi kawasan lindung dalam tradisi budaya masyarakat. Secara administrasi sama halnya taman nasional lain di Indonesia, TNGHS lahir dari perkembangan perubahan beberapa status yaitu (1) Tahun 1924-1934 status sebagai hutan lindung di bawah pemerintah Belanda dengan luas mencakup 39.941 hektar, (2) Tahun 1935-1961 status cagar alam di bawah pengelolaan pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/ Djawatan Kehutanan Jawa Barat, (3) Tahun 1961-1978 status cagar alam di bawah pengelolaan Perum Perhutani, (4) Tahun 1979-1990 status cagar alam di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I, (5) Tahun 1990-1992 status cagar alam dikelola oleh Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, (6) Tahun 1992-1997 status taman nasional di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, (7) Tahun 1997-2003 status taman nasional di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun setingkat Eselon III, dan (8) Tahun 2003 status penunjukkan kawasan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seluas 113.357 hektar (merupakan penggabungan kawasan lama TNGH dengan Eks hutan lindung Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut, dan hutan produksi sekitarnya) (TNGHS 2008).
35
4.3 Sejarah Penggarapan Lahan di Desa Malasari Sekitar Tahun 1945-an, masyarakat di sekitar kawasan hutan mulai membuka hutan, lalu menanaminya dengan sawah untuk kebutuhan sehari-hari. Pembukaan hutan dilakukan karena masyarakat menganggap bahwa lahan itu milik nenek moyang mereka setelah penjajah tidak menduduki kawasan tersebut. Sebelum Tahun 1945-an, telah ada pemukiman, namun belum mendapatkan hak untuk menggarap karena masih dikuasai oleh penjajah. Masyarakat juga mengetahui bahwa tidak semua kawasan hutan dapat dibuka karena mereka masih mempercayai mitos-mitos dari para leluhurnya. Sekitar Tahun 1978, Perum Perhutani menanam tanaman pinus di lahan garapan milik masyarakat. Pihak Perum Pehutani tidak peduli mengenai lahan yang digunakan milik siapa (sebelumnya rata-rata lahan ditanami sawah oleh masyarakat). Perum Perhutani beranggapan memiliki hak atas lahan tersebut karena masyarakat tidak memiliki sertifikat tanah, sehingga kekuatan masyarakat untuk merebutnya tidak cukup kuat. Masyarakat juga merasa takut dalam melakukan perlawanan untuk meminta hak mereka. Pada zaman Orde Baru tersebut, mereka hanya bisa pasrah dengan kondisi seperti itu dan merelakan lahan yang telah mereka garap bertahun-tahun diserahkan kepada pihak Perum Perhutani. Masyarakat tidak mendapatkan keuntungan dengan adanya penanaman pohon pinus tersebut karena daun yang berguguran tidak dapat dijadikan bahan pembuat pupuk bahkan membuat tanah menjadi tandus. Pernyataan di atas diperkuat dalam Hanafi et al. (2004) bahwa Perusahaan Hutan Negara yang disahkan sejak tahun 1961 melalui Peraturan Pemerintah No. 17-30 Tahun 1961 ini mulai beroperasi di Jawa Barat pada Tahun 1978 yang dilegitimasi melalui PP No. 2 Tahun 1978 tentang pendirian Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Tiga Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Perum Perhutani Unit III mengelola kawasan hutan seluas 26.063,35 hektar dengan komoditi beberapa pohon rimba terutama pinus. Penetapan kawasan produksi ini, banyak hutan primer, sawah, dan kebun garapan masyarakat dikonversi secara sepihak yang berakhir pada konflik yang terkait (1) pertambahan penduduk yang pesat serta (2) akses penduduk terhadap hutan dan hasil hutan terbatas atau bahkan tidak lagi memiliki akses sejak hutan dianggap milik Perum Perhutani.
36
Berdasarkan UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 dan UU Konservasi dan Pengelolaan Sumberdaya Hayati No. 5 Tahun 1990 melalui SK Menhut No. 282 Tahun 1992, pemerintah menetapkan kawasan ekosistem Halimun yang sejak Tahun 1924 oleh pemerintah kolonial Belanda ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Kemudian, pada tahun 1979 oleh pemerintah Indonesia ditetapkan sebagai kawasan cagar alam-sebagai kawasan konservasi yang pengelolaannya dilakukan oleh UPT Balai Taman Nasional. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 bahwa secara geografis TNGH terletak di antara 6037‟-6051 LS dan 106021‟-106038 BT dengan kawasan seluas 40.000 hektar yang tersebar di Kabupaten Lebak, Propinsi Banten seluas 14.487 hektar, dan 25.513 hektar di Kabupaten Bogor dan Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan yang baru, yaitu No. 175/Kpts-II/2003, kawasan TNGH diperluas menjadi 113.357 hektar dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003, Desa Malasari masuk ke dalam wilayah TNHG-S, sehingga tidak diperbolehkan ada masyarakat di
dalamnya.
Namun
dalam
perkembangannya,
akhirnya
pemerintah
mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional merinci sistem dan kriteria zonasi dalam TN meliputi zona sebagai berikut: 1) zona inti, 2) zona rimba, 3) zona pemanfaatan, 4) zona tradisional, 5) zona rehabilitasi, 6) zona religi, budaya dan sejarah, dan 7) zona khusus. Penetapan zona khusus dikarenakan terdapat masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut dan memanfaatkan lahan yang ada untuk digarap dalam menunjang kebutuhan sehari-hari sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional (Permenhut 2006).
BAB V POLA PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN
Sumberdaya hutan sering dikatakan sebagai common property (properti terbuka) yang dapat diakses oleh siapapun. Bagi pemerintah, berdasarkan pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya hutan merupakan sumberdaya milik negara karena sesuai dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 diperkuat dengan UU No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Sumberdaya hutan tidak dapat dikuasai oleh satu pihak tertentu, namun dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak sesuai peraturan yang berlaku. Berbeda dengan pandangan masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa pengelolaan sumberdaya hutan lebih baik dilakukan oleh masyarakat karena masyarakat lebih mengetahui bagaimana kondisi hutan dan tidak mungkin merusak hutan karena hutan merupakan salah satu tempat bergantung untuk kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadikan masyarakat menggangap bahwa hutan merupakan sumberdaya milik masyarakat. Moniaga (1998) menjelaskan bahwa berdasarkan pelaku dan sistem yang diterapkan sistem pengelolaan hutan yang terdapat di antara Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung adalah sistem pengelolaan hutan “campuran”. Sistem pengelolaan hutan “campuran” mengupayakan penggabungan sistem negara dan sistem yang ada di masyarakat yang menempatkan pihak ketiga (biasanya Lembaga Swadaya Masyarakat baik dalam negeri maupun dari luar negeri dan atau lembaga-lembaga pemerintah asing). Sistem pengelolaan hutan campuran ini dilakukan demi mewujudkan kelestarian hutan beserta flora dan fauna lainnya di sekitar kawasan TNGHS dengan tidak mengabaikan masyarakat di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung yang termasuk ke dalam wilayah TNGHS. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang turut membantu sebagai fasilitator adalah RMI, The World Agroforestry Centre (ICRAF). Sistem pengelolaan hutan campuran dilakukan di lahan garapan Eks Perum Perhutani yang dinyatakan lahan kosong dan kritis. Masyarakat dapat menggarap lahan tersebut dan memanfaatkan hasil hutan tersebut sesuai kesepakatan yang telah dibuat.
38
5.1 Pola Pengelolaan Sumberdaya Hutan versi Pemerintah Pada tahun 1978, Perum Perhutani memasuki wilayah Desa Malasari. Pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani dengan menanam pohon pinus karena pohon pinus digunakan untuk keperluan produksi. Akhirnya, hutan tersebut menjadi hutan produksi. Sebelumnya, lahan yang telah digarap oleh masyarakat langsung diambilalih oleh pihak Perum Perhutani tanpa adanya ganti rugi, sehingga masyarakat kehilangan hak untuk menggarap. Hal ini disebabkan karena belum adanya sertifikat tanah yang membuktikan bahwa lahan garapan tersebut milik masyarakat. Suwarno (2004) juga menyatakan bahwa kebijakan Perum Perhutani masih sentralistik dan lebih menekankan profit oriented dibandingkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan. Pihak Perum Perhutani sering menilai bahwa masyarakat sekitar hutan adalah salah satu pihak yang dapat menyebabkan kerusakan hutan dan lahan di Pulau Jawa melalui pencurian dan penjarahan kayu secara besar-besaran. Menurut Lynch dan Harwell (2006), pada saat Orde Baru adanya perubahan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi karena kawasan ini tidak lagi sebagai hutan yang produktif. Pada kenyataannya, saat rezim Orde Baru, kawasan ini belum berubah dari hutan produksi menjadi hutan konservasi. Kawasan hutan masih tetap merupakan hutan produksi sampai sekitar tahun 2003 (Orde Reformasi) mengalami perubahan. Pada tahun 2003 inilah terjadi perluasan Taman Nasional Gunung HalimunSalak (TNGHS) dan pihak Perum Perhutani mengalihfungsikan kawasannya kepada TNGHS. Perluasan ini berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.175/KptsII/2003 yang telah menetapkan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan mengubah kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, dan Hutan Produksi Terbatas. Seluas 113.357 hektar pada kelompok hutan Gunung Halimun yang terletak di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 56 /Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional telah merinci sistem dan kriteria zonasi dalam TN meliputi zona sebagai berikut:
39
(1) Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas, (2) Zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. (3) Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dinamfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. (4) Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan
pemanfaatan
tradisional
oleh
masyarakat
yang
karena
kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam. (5) Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang dikarenakan mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan. (6) Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasional yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. (7) Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Pedoman zonasi taman nasional bertujuan untuk mewujudkan sistem pengelolaan taman nasional yang efektif dan optimal sesuai dengan fungsinya. Jenis tanaman yang ditanam oleh TNGHS adalah jenis tanaman keras asli (kayu), seperti pohon rasamala, pohon puspa, pohon damar, pohon pasang, pohon hurung, dan sebagainya selain dari pohon pinus yang masih belum ditebang oleh Perum Perhutani. Penanaman ini dimaksudkan agar menjaga hutan tetap lestari
40
serta flora dan fauna yang terdapat di dalamnya tidak menjadi punah. Fungsi adanya tanaman keras adalah mencegah adanya bencana alam, seperti banjir, hutan gundul, dan pengikisan lapisan tanah serta melindungi flora dan fauna yang terdapat di dalam hutan agar tidak punah.
5.2 Pola Pengelolaan Sumberdaya Hutan versi Komunitas Lokal Masyarakat menganut prinsip gunung kayuan, lamping awian, lebak sawahan, legok balongan, dan datar imahan dalam menggarap lahan. Arti dari prinsip ini adalah gunung ditanami pohon/kayu, tebing/tanah yang miring ditanami bambu, dataran rendah dibuat sawah, legok/cekungan digunakan untuk kolam, dan tanah yang datar dijadikan rumah/pemukiman. Masyarakat lokal memiliki suatu keyakinan dalam menjaga hutan, yaitu leuweung hejo masyarakat ngejo yang artinya jika hutan hijau (lestari), masyarakat dapat makan (makmur dan sejahtera). Masyarakat Kampung Cisangku membagi lahan menjadi tiga bagian, yaitu leuweung tutupan, leuweung dudukuhan, dan leuweung bukaan, sedangkan masyarakat di Kampung Nyungcung membagi lahan menjadi empat bagian, yaitu leuweung larangan, leuweung dudukuhan, leuweung sarerea, dan lahan lembur (kampung). a. Leuweung Tutupan atau Leuweung Larangan Leuweung tutupan maupun leuweung larangan memiliki makna yang sama. Masyarakat dilarang menebang pohon di kawasan ini karena merupakan area penyangga dari adanya bencana alam, seperti banjir, hutan gundul, dan pengikisan lapisan tanah lalu sebagai tempat penyerapan air, sehingga tidak boleh ada hutan yang gundul. Bagi masyarakat yang masih memiliki kepercayaan yang kuat, hutan ini masih dianggap sakral, sehingga bagi masyarakat yang melanggar aturan (menebang pohon sembarangan tanpa izin) akan terkena kabendon (malapetaka). Leuweung tutupan maupun leuweung larangan dapat diartikan sebagai zona inti menurut versi TNGHS. b. Leuweung Dudukuhan Leuweung dudukuhan merupakan hutan alam atau hutan sekunder dengan pemanfaatan terbatas. Masyarakat boleh memanfaatkan areal ini sebagai kebun talun. Kebun talun adalah kebun yang terdiri dari tanaman kayu dan buah-buahan
41
yang beraneka ragam. Leuweung dudukuhan merupakan lahan garapan masyarakat yang terdapat di lahan Eks Perum Perhutani dan tidak dapat dijadikan hak milik. Hak menggarap lahan di kawasan Eks Perum Perhutani dinamakan hak pakai. Jenis tanaman kayu keras yang ditanam oleh masyarakat adalah pohon jeunjing dan afrika diselingi oleh tanaman buah-buahan. Jarak antar pohon seharusnya sekitar 3x4 meter, namun dengan lahan yang tidak terlalu luas, masyarakat menanam pohon dengan ukuran 2x2 meter atau 2x3 meter. Jenis pohon afrika apabila ditebang, maka akan muncul tunas yang baru, sehingga tidak diperlukan penanaman bibit kembali. Berbeda dengan pohon jeunjing, apabila ditebang harus menanam bibit yang baru. Pohon afrika dapat tumbuh di tempat yang bagaimana saja, berbeda dengan pohon jeunjing yang harus di tempat tertentu (suhu dingin dan banyak curahan air). Penanaman pohon sejenis ini hanya untuk kebutuhan jangka panjang, sehingga dinamakan tanaman tahunan. Penebangan pohon dilakukan dengan tebang pilih tanaman dan tidak melebihi batas lahan yang telah digarap. Sistem tebang pilih dilakukan agar lahan tidak menjadi gundul. Bila mereka menebang satu pohon, maka harus menanamnya kembali sebanyak sepuluh. Penebangan pohon dilakukan sekitar 4-5 tahun. Oleh sebab itu, masyarakat tidak menanam jenis tanaman kayu, seperti pohon rasamala dan pohon puspa karena mereka beranggapan adanya kemungkinan lahan tersebut akan diklaim milik TNGHS bila ditanam pohon rasamala maupun pohon puspa. Kayu yang telah ditebang dijual kepada tengkulak. Biasanya para tengkulak berkeliling di sekitar lahan garapan milik masyarakat maupun lahan garapan di Eks Perum Perhutani. Harga kayu yang dijual oleh masyarakat berkisar antara Rp 15.000,00 sampai Rp 100.000,00 yang berdiameter 10 - 25 cm. Tanaman selingan (buah-buahan), seperti durian, rambutan, mangga, jambu, nangka, pisang, dan sebagainya disebut juga tanaman musiman dikarenakan tanaman ini hanya berbuah pada musim-musim tertentu, sehingga masyarakat menanam beraneka ragam jenis buah-buahan. Penanaman buah-buahan agar masyarakat mendapatkan penghasilan setiap bulannya, tidak bergantung pada jenis tanaman kayu keras.
42
Tanaman selingan ini hanya untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Bila ada hasil panen yang berlebih, mereka akan menjualnya di sekitar kampung atau memberikannya kepada tetangga. c. Leuweung Sarerea Leuweung sarerea adalah areal hutan yang telah ditanami pohon pinus oleh pihak Perum Perhutani. Leuweung sarerea berfungsi untuk kebutuhan umum bagi masyarakat, seperti kayu digunakan untuk pembuatan masjid, panti jompo, jembatan, dan sebagainya. Masyarakat berkewajiban mengganti pohon pinus yang telah ditebang tersebut dengan jenis tanaman rimba campuran (tanaman kayu keras dan tanaman buah-buahan) agar masyarakat dapat memanfaatkan hasilnya. d. Leuweung Bukaan atau Lahan Lembur Leuweung bukaan atau lahan lembur merupakan areal hutan yang telah dibuka oleh masyarakat dan dikelola untuk membuat sawah, kebun maupun ladang serta pemukiman. Leuweung bukaan atau lahan lembur merupakan zona khusus menurut versi TNGHS. Leuweung bukaan atau lahan lembur ini biasanya telah menjadi lahan milik (dapat disewakan, diperjualbelikan, dan sebagainya). Akan tetapi, lahan milik ini tidak memiliki sertifikat tanah. Masyarakat hanya memiliki bukti kepemilikan tanah berupa Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT). Bagi masyarakat, leuweung bukaan atau lahan lembur harus dihormati karena masyarakat harus bersyukur dengan adanya pemberian dari sanghyang jeung dangiang. Bila masyarakat akan memanen hasil di sawah, maka mereka melakukan ritual atau ngariung dengan membawa sesajen berupa nasi, ayam bekakak, dan rujak. Ritual ini dimaksudkan untuk meminta izin kepada sanghyang jeung dangiang agar hasil bumi yang telah diperoleh dapat bermanfaat bagi mereka sesuai dengan aturan yang berlaku di masyarakat. Masyarakat menyebutnya sebagai mipit kudu amit, ngala kudu menta. Ritual ini dilakukan selama 1-2 jam di lahan garapan milik. Bila ada masyarakat yang tidak melakukannya akan terkena kabendon (malapetaka) karena dianggap tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan. Sekitar 2-3 tahun sebelumnya, panen padi yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Cisangku tidak berhasil karena adanya hama (babi hutan dan monyet)
43
yang merambah lahan garapan mereka. Menurut pernyataan Bapak Krd (43 tahun): “… Babi hutan dan monyet tidak boleh dibunuh oleh masyarakat kata TNGHS karena babi hutan dan monyet itu hewan yang dilindungi. Seharusnya, TNGHS punya inisiatif buat penangkaran untuk babi hutan biar saling untung antar keduanya. Pihak TNGHS seharusnya memperjuangkan kesejahteraan masyarakat di samping hutan yang harus dilestarikan.” Akhirnya, mereka memasok beras dari luar kampung padahal biasanya mereka dapat memenuhi kebutuhan pangan dari sawah yang digarap. Sebelum terjadi pemasokan beras, masyarakat dapat memanen padi dua kali dalam setahun. Penghasil beras terbanyak di Kampung Cisangku adalah Bapak Usup dan Bapak Mirza yang dapat mencapai sekitar 4 ton dalam satu tahun. Begitu pula dengan hasil kebun atau ladang yang ditanami dapat dipanen saat musimnya. Mereka mencari pendapatan selain dari bidang pertanian bahkan ada yang menjual sawahnya untuk dijadikan modal hidup, seperti modal untuk warung. Adapula sawah yang telah kering ditanami oleh pohon bahkan ada yang dibiarkan terlantar begitu saja (menjadi semak belukar). Masyarakat di Kampung Nyungcung belum merasakan gagal panen seperti yang terjadi Kampung Cisangku. Masyarakat menanam padi biasanya dilakukan dua kali dalam setahun. Jenis benihnya adalah benih lokal antara lain super, BTN, borneng, rangrian, sadam, terong, dan cere. Hasil panen (padi kering) biasanya diikat dalam bentuk pocong. Lalu, terdapat semacam lumbung padi yang dinamakan leuit yang hanya dimiliki secara pribadi di kampung ini. Jumlah leuit yang ada hanya sedikit karena sudah jarang dipakai oleh pemiliknya. Hal ini dikarenakan hasil panen yang ada biasanya hanya cukup untuk 3-4 bulan saja. Bila ada hasil panen yang berlebih, biasanya mereka memiliki lahan yang cukup luas. Hasil panen tersebut akan dijual di sekitar kampung tersebut atau ada tengkulak yang mengambilnya untuk dijual ke luar. Tanaman yang ditanam di kebun milik masyarakat adalah tomat, cabai, kangkung, dan sebagainya, sedangkan tanaman yang ditanam di ladang, seperti jagung, singkong, dan sebagainya. Hasil tanaman ini biasanya untuk dikonsumsi sendiri.
44
Masyarakat tidak melakukan kegiatan pertanian pada hari Jum‟at karena dianggap sakral dan tabu (pamali) bila melakukannya. Hari Jum‟at merupakan hari yang pendek untuk melakukan kegiatan dan waktunya untuk beribadah bagi umat Islam (salat Jumat). Pemukiman masyarakat biasanya telah menjadi lahan milik walaupun mereka hanya memiliki SPPT. Namun di daerah Simagrib dan Gege, Kampung Nyungcung, daerah pemukiman, sawah, dan sebagainya belum mendapatkan izin untuk menjadikan lahan tersebut sebagai lahan milik karena masih berada di kawasan Eks Perum Perhutani. Selain pemukiman, terdapat lahan garapan berupa sawah, kebun maupun ladang di kawasan Eks Perum Perhutani yang belum dapat dijadikan lahan milik, sehingga mereka belum mendapatkan SPPT. Masyarakat di daerah Simagrib dan Gege berupaya agar lahan yang telah menghidupi mereka selama ini dapat dijadikan lahan milik. Menurut Schlager dan Ostrom (1996), hak atas lahan garapan di Eks Perum Perhutani bagi masyarakat termasuk ke dalam hak mengelola (management right) karena mereka hanya dapat mengelola sumberdaya hutan tanpa dapat menjual atau menyewakan lahan kepada pihak lain, namun hasil dari sumberdaya hutan dapat dijual, seperti kayu, buah-buahan, dan sebagainya. Berbeda dengan lahan milik yang termasuk hak pengalihan (alienation right) karena lahan dapat diperjualbelikan atau disewakan kepada pihak lain. 5.3 Ikhtisar Sistem pengelolaan hutan yang terdapat di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung adalah sistem pengelolaan hutan “campuran” dengan mengupayakan penggabungan sistem negara dan sistem masyarakat yang menempatkan pihak ketiga (biasanya Lembaga Swadaya Masyarakat dan atau lembaga-lembaga pemerintah asing). Kawasan hutan masih tetap merupakan hutan produksi sampai sekitar Tahun 2003 (Orde Reformasi) mengalami perubahan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi karena perluasan kawasan TNGHS. Hal ini dikarenakan jumlah hutan yang ada di Indonesia mengalami penurunan setiap tahunnya, sehingga perlu adanya upaya pelestarian hutan termasuk flora dan fauna di dalamnya.
45
Pengelolaan sumberdaya hutan menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional telah merinci sistem dan kriteria zonasi dalam TN meliputi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah, dan zona khusus. Penggunaan pedoman zonasi ini agar tidak terjadi kesalahan dalam penerapan tata guna lahan di lapang dan dapat dijelaskan kepada masyarakat mengenai zonasi tersebut. Masyarakat menganut prinsip gunung kayuan, lamping awian, lebak sawahan, legok balongan, dan datar imahan dalam menggarap lahan. Masyarakat lokal juga memiliki suatu keyakinan dalam menjaga hutan, yaitu leuweung hejo masyarakat ngejo yang artinya jika hutan hijau (lestari), masyarakat dapat makan (makmur dan sejahtera). Masyarakat Kampung Cisangku membagi lahan menjadi tiga bagian, yaitu leuweung tutupan, leuweung dudukuhan, dan leuweung bukaan, sedangkan masyarakat di Kampung Nyungcung membagi lahan menjadi empat bagian, yaitu leuweung larangan, leuweung dudukuhan, leuweung sarerea, dan lahan lembur (kampung). Pada dasarnya, pemahaman tersebut sangat selaras dengan pembagian zonasi yang dilakukan oleh pemerintah. Pemahaman yang mendalam tersebut telah melahirkan terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari oleh masyarakat. Kondisi ini menjadi dasar bagi kolaborasi pengelolaan hutan agar dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat namun tetap terus menjaga kelestarian hutan tersebut. Hak atas lahan garapan di Eks Perum Perhutani bagi masyarakat termasuk ke dalam hak mengelola (management right) karena mereka hanya dapat mengelola sumberdaya hutan tanpa dapat menjual atau menyewakan lahan kepada pihak lain. Berbeda dengan lahan milik yang termasuk hak pengalihan (alienation right) karena lahan dapat diperjualbelikan atau disewakan kepada pihak lain. Pengelolaan sumberdaya hutan bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat.
BAB VI PERSEPSI PEMANGKU KEPENTINGAN
6.1 Persepsi Pemerintah Pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan aturan yang berlaku bagaimana hutan agar tetap terjaga kelestariannya. Salah satu aturannya adalah UU No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Pada tahun 2003 inilah dikeluarkan SK Menteri Kehutanan No.175/KptsII/2003 yang menyatakan bahwa masyarakat tidak dapat bermukim dan menggarap lahan yang berada di dalam kawasan TNGHS setelah adanya pengalihfungsian kawasan dari pihak Perum Perhutani. Perluasan kawasan dan adanya perubahan hutan produksi menjadi hutan lindung dilakukan karena semakin menipisnya hutan di Indonesia, sehingga perlu upaya pelestarian hutan. Setelah itu, dikeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional yang menyatakan mengenai zona khusus tempat masyarakat dapat bermukim dan memanfaatkan lahan di dalam kawasan tersebut. Persepsi pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya hutan adalah lahan yang menjadi perluasan TNGHS merupakan lahan negara. Bahkan pemerintah menanyakan kepada masyarakat, sampai kapan masyarakat ingin menggarap di lahan negara tersebut. Lahan negara tidak dapat dijadikan hak milik untuk masyarakat, sehingga masyarakat hanya memiliki Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) yang belum dianggap kuat secara hukum menurut kepemilikannya. Bahkan ada pihak dari masyarakat yang telah mengusut masalah lahan ini ke pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pihak TNGHS menginginkan agar lahan garapan di Eks Perum Perhutani yang kritis ditanami jenis tanaman keras, seperti pohon rasamala, puspa, manglid, ganitri, dan sebagainya dengan diselingi tanaman buah-buahan agar masyarakat memiliki penghasilan setiap bulannya, selain mengandalkan tanaman keras. Tanaman
keras
ini
dapat
diperjualbelikan,
namun
lahan
diperjualbelikan oleh masyarakat. Menurut Bapak Ujn (30 tahun):
tidak
dapat
47
“ … Ada beberapa warga tidak mau menanam pohon yang diminta pemerintah di lahan garapan mereka yang kosong soalnya mereka takut diusir padahal sebenarnya ada zona-zona seperti zona khusus yang tidak akan mengganggu kehidupan mereka. Petugas kehutanan juga kurang, sehingga bingung mengadakan sosialisasi dengan masyarakat, jadi masyarakat kurang tahu tentang zona.” Pihak TNGHS juga mendengar isu bahwa TNGHS mengembangbiakkan babi hutan, monyet, dan macan untuk mengusir masyarakat dari kawasan hutan secara perlahan. Pihak TNGHS menyangkal pernyataan tersebut. Pemerintah tidak melarang masyarakat untuk membunuh babi hutan yang berada di luar kawasan. Pihak TNGHS hanya menginginkan adanya keseimbangan ekosistem yang berbasis rantai makanan. Bila populasi dari hewan tersebut melebihi kapasitas, maka diperlukan penanganan khusus agar ekosistem menjadi stabil. Saat ini pengamanan hutan relatif aman dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab (free-rider). Pihak TNGHS menganggap illegal logging telah jarang dilakukan karena masyarakat memiliki peraturan kampung. Mereka menyadari adanya masyarakat di dalam kawasan merupakan suatu keuntungan bagi pihak TNGHS karena masyarakat akan menjaga kelestarian hutan dan mengamankan hutan dari pihak-pihak tertentu karena masyarakat membutuhkan hutan untuk bertahan hidup. Bila terdapat masyarakat yang melakukan pelanggaran, maka akan dikenakan sanksi yang berlaku di kampung tersebut sesuai kesalahan yang telah diperbuatnya. 6.2
Persepsi Komunitas Lokal
6.2.1 Persepsi Komunitas Lokal pada Pengelolaan Sumberdaya Hutan Persepsi masyarakat menganggap bahwa hutan telah diwariskan sejak nenek moyang mereka untuk digarap dan dimiliki. Bagi masyarakat, tidak semua masyarakat mengetahui zona versi pemerintah karena masyarakat memiliki zona versi masyarakat sendiri yang diberitahukan secara turun temurun. Masyarakat juga menganggap pemerintah menjadikan masyarakat sebagai musuh karena masalah hak atas lahan. Masyarakat menghindari konflik yang ada dengan pemerintah, tetapi hal ini sulit untuk dilakukan karena adanya perbedaan persepsi antara pihak pemerintah dan masyarakat.
48
Hak adalah sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya), kekuasaan yg benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat. Kewajiban adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal yang harus dilaksanakan). Soekanto (2000) menyatakan bahwa peranan adalah aspek dinamis dari kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan. Tabel 7 Jumlah dan Persentase Penduduk Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Menurut Persepsi terhadap Pengelolaan Sumberdaya Hutan (Hak, Kewajiban, dan Alokasi Peranan), 2011
Peubah Hak Rendah Sedang Tinggi Jumlah Kewajiban Rendah Sedang Tinggi Jumlah Alokasi Peranan Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Kategori Skor 10-14 15-20 21-25 Skor 10-14 15-20 21-25
Kampung Cisangku n %
Kampung Nyungcung n %
Jumlah Responden n %
8 17 5 30
26,7 56,6 16,7 100,0
6 17 7 30
20,0 56,7 23,3 100,0
14 34 12 60
23,3 56,7 20,0 100,0
0 15 15 30
0 50,0 50,0 100,0
1 7 22 30
3,3 23,4 73,3 100,0
1 22 37 60
1,7 36,6 61,7 100,0
11 19 0 30
36,7 63,3 0 100,0
9 16 5 30
30,0 53,3 16,7 100,0
20 35 5 60
33,3 58,4 8,3 100,0
Skor 10-14 15-20 21-25
Keterangan: n = jumlah
Masyarakat di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung memiliki tingkat persepsi pada kategori sedang mengenai hak mereka (Tabel 7). Sebagian besar masyarakat belum mengetahui hak penggarapan lahan dalam kawasan TNGHS karena mereka hanya mengetahui hak kepemilikan lahan dan pembagian zona yang telah ditetapkan oleh pihak TNGHS masih belum jelas, sehingga masih
49
terdapat tumpang tindih lahan dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan. Hal ini dikarenakan informasi yang diberikan oleh TNGHS belum mencakup seluruh masyarakat yang berada dalam kawasan TNGHS. Pihak TNGHS memberikan informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan kawasan TNGHS kepada pihak dalam perwakilan masyarakat Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung yang nantinya informasi tersebut harus disebarkan kepada anggota masyarakat lainnya agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam informasi. Persepsi mengenai kewajiban di Kampung Cisangku memiliki jumlah yang sama pada kategori sedang (50 persen) dan tinggi (50 persen), sedangkan Kampung Nyungcung memiliki tingkat persepsi yang tinggi (73,3 persen) terhadap kewajiban. Masyarakat mengganggap bahwa hutan merupakan tempat bergantung untuk kehidupan, sehingga mereka berkewajiban melestarikan hutan dari ancaman pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Masyarakat juga menanam kembali dengan tanaman-tanaman keras dan buah-buahan pada lahan yang kritis agar tidak terjadi bencana alam yang berdampak langsung bagi kehidupan mereka. Pada dua kampung tersebut memiliki tingkat persepsi dengan kategori sedang terhadap alokasi peranan. Hal ini dikarenakan saat mengelola sumberdaya hutan telah terdapat pembagian peran dan pengambilan keputusan antara laki-laki dan perempuan walaupun masih didominasi oleh laki-laki. Pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan (sama), tidak ada yang lebih berat maupun lebih ringan karena untuk menopang kehidupan dibutuhkan pendapatan dari berbagai pihak dalam keluarga.
6.2.2 Persepsi Komunitas Lokal Terhadap Hak, Kewajiban, dan Alokasi Peranan Teknik pengolahan data untuk karakteristik sosial ekonomi (jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, luas lahan, dan pengalaman mengelola sumberdaya hutan) terhadap persepsi komunitas lokal di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung dinyatakan dengan menggunakan tabulasi silang (Tabel 822).
50
Tabel 8 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Jenis Kelamin di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 Kampung Cisangku (%)
Kampung Nyungcung (%)
Jenis Kelamin
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
Laki-laki
33,33
10,00
6,67
3,33
33,33
13,33
Perempuan
40,00
6,67
3,33
16,67
23,33
10,00
Pada Tabel 8 ditunjukkan bahwa persepsi mengenai hak antara laki-laki dan perempuan di Kampung Cisangku relatif sama. Hal ini memberikan gambaran bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki pemahaman terhadap hak relatif rendah. Kesadaran masyarakat Kampung Cisangku terhadap hak dalam penggarapan lahan yang dianggap masyarakat sebagai warisan secara turun temurun, mengelola hutan untuk kebutuhan sehari-hari, serta mengetahui batasan lahan antara pihak TNGHS dan masyarakat. Sebaliknya, di Kampung Nyungcung pemahaman terhadap hak relatif lebih baik, diiindikasikan dari persentase laki-laki (33,33 persen) dan perempuan (23,33 persen) berada pada kategori sedang. Bahkan pemahaman laki-laki terhadap hak relatif lebih baik dibanding perempuan. Ini berarti masyarakat telah mendapatkan hak mereka walaupun belum sepenuhnya terealisasi dari pemerintah (pihak TNGHS). Masyarakat membutuhkan hak mereka bukan hanya sekedar pembicaraan saja akan tetapi dapat dipenuhi oleh pihak TNGHS. Tabel 9 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Jenis Kelamin di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 Kampung Cisangku (%)
Kampung Nyungcung (%)
Jenis Kelamin
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
Laki-laki
0
33,33
16,67
3,33
6,67
40,00
Perempuan
0
43,33
6,67
0
16,67
33,33
Persepsi komunitas lokal antara laki-laki dan perempuan di Kampung Cisangku mengenai kewajiban terlihat bahwa persentase laki-laki (33,33 persen) yang berada pada kategori sedang relatif lebih rendah dibanding perempuan
51
(43,33 persen), seperti tercantum pada Tabel 9. Pada kategori tinggi, persentase laki-laki (16,67 persen) relatif lebih tinggi daripada perempuan (6,67 persen). Hal ini berarti bahwa laki-laki lebih menyadari tanggung jawabnya dalam melaksanakan kewajiban dibandingkan perempuan. Bila dibandingkan dengan kondisi di Kampung Nyungcung tampak bahwa persentase tertinggi baik laki-laki (40,00 persen) maupun perempuan (33,33 persen) berada pada kategori tinggi. Laki-laki yang cenderung sering mengelola sumberdaya hutan, sehingga mengetahui pekerjaan yang perlu dilakukan dalam mengelola sumberdaya hutan. Pemahaman masyarakat mengenai kewajiban berada pada kategori tinggi karena kesadaran terhadap lingkungan sekitar hutan bermanfaat bagi kepentingan bersama untuk dijaga kelestariannya. Jika masyarakat menebang pohon, maka masyarakat akan menanam kembali. Setiap penebangan satu pohon, diharuskan oleh pihak TNGHS untuk menanam kembali dengan sepuluh tanaman jenis tanaman keras dan tanaman buah-buahan. Masyarakat juga berkewajiban untuk menjaga hutan dengan cara mencegah dari adanya illegal logging yang terjadi di kawasan tersebut. Penerapan di lapangan adalah pada saat ada orang yang tidak dikenal, masyarakat menanyakan siapa yang meminta penebangan pohon di kawasan tersebut untuk mencegah illegal logging. Para tengkulak juga sering berkeliling untuk mencari pohon yang akan ditebang dan masyarakat telah mengidentifikasi orang-orang yang menjadi tengkulak. Bila tengkulak masuk ke kawasan hutan, masyarakat telah mengetahui bahwa tengkulak hanya mengambil kayu yang telah mendapatkan izin untuk ditebang. Tabel 10 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Jenis Kelamin di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 Kampung Cisangku (%)
Kampung Nyungcung (%)
Jenis Kelamin
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
Laki-laki
16,67
23,33
10,00
16,67
30,00
3,33
Perempuan
13,33
26,67
10,00
13,33
23,33
13,33
52
Pada Tabel 10 terlihat bahwa persepsi masyarakat dapat dikatakan hampir setara antara laki-laki dan perempuan. Persentase antara laki-laki dan perempuan pada setiap kategori dalam alokasi peranan dengan perbedaan yang tidak terlalu tajam di Kampung Cisangku. Persentase paling tinggi terdapat pada perempuan di Kampung Cisangku (26,67 persen) dan laki-laki di Kampung Nyungcung (30,00 persen) dengan kategori sedang. Hal ini menjelaskan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya hutan telah terdapat pembagian peran dan pengambilan keputusan antara laki-laki dan perempuan walaupun masih didominasi oleh lakilaki. Pihak perempuan juga dapat mengelola sumberdaya hutan dan mengambil keputusan, namun atas persetujuan dari pihak laki-laki. Tabel 11 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 Kampung Cisangku (%)
Kampung Nyungcung (%)
Jenis Pekerjaan
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
Pertanian
23,33
40,00
10,00
13,33
46,67
13,33
3,33
10,00
3,33
0
3,33
0
0
6,67
3,33
6,67
6,67
10,00
Buruh Pertanian Non Pertanian
Pada Tabel 11 dipaparkan bahwa persepsi mengenai hak pada jenis pekerjaan pertanian, buruh pertanian, dan non pertanian berbeda. Hal ini menjelaskan bahwa persepsi jenis pekerjaan pertanian di Kampung Cisangku (40,00 persen) dan Kampung Nyungcung (46,67 persen) lebih tinggi daripada buruh pertanian dan non pertanian dalam kategori sedang. Masyarakat yang berada pada sektor pertanian menganggap bahwa hak yang selama ini diberikan untuk dapat menggarap lahan sesuai dengan kebutuhan. Masyarakat merasakan adanya ketidakjelasan status lahan, sehingga dianggap “tumpang tindih” peruntukan lahan. Masyarakat menganggap bahwa lahan tersebut milik masyarakat sekitar hutan. Hal ini berbeda pandangan dengan pihak TNGHS yang mengklaim bahwa lahan hutan adalah milik negara dan masyarakat hanya dapat menggarap tanpa memiliki lahan itu. Masyarakat juga merasa ketakutan bahwa suatu saat akan diusir karena hak menggarap lahan akan dicabut. Wilayah Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung termasuk dalam kawasan TNGHS.
53
Tabel 12 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 Kampung Cisangku (%)
Kampung Nyungcung (%)
Jenis Pekerjaan
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
Pertanian
0
33,33
40,00
3,33
16,67
53,33
Buruh Pertanian
0
13,33
3,33
0
0
3,33
Non Pertanian
0
3,33
6,67
0
6,67
16,67
Tabel 12 menjelaskan bahwa persepsi tentang kewajiban pada jenis pekerjaan pertanian pertanian termasuk dalam kategori tinggi, baik Kampung Cisangku (40,00 persen) dan Kampung Nyungcung (53,33 persen) di antara jenis pekerjaan lain (buruh pertanian dan non pertanian). Masyarakat pada pekerjaan pertanian lebih memahami dalam pengelolaan sumberdaya hutan, sehingga timbul kesadaran terhadap kewajibannya untuk menjaga kelestariannya. Jika masyarakat tidak melakukan kewajiban, maka hutan yang menjadi tempat bergantung hidup dapat menjadi ancaman bagi kehidupan. Seperti dampak penebangan pohon yang tidak mengikuti aturan akan menyebabkan terjadinya bencana alam (banjir, hutan gundul, pengikisan lapisan tanah). Pada jenis pekerjaan lain (buruh pertanian dan non pertanian) masih rendah kesadaran terhadap kewajiban dalam pengelolaan hutan. Kondisi ini disebabkan masyarakat yang melakukan pekerjaan tersebut jarang memanfaatkan hutan untuk pemenuhan kehidupan keluarga. Kelompok ini cenderung mencari nafkah dengan berjualan di warung maupun keliling, buruh gunung (penambang emas ilegal/gurandil), buruh bangunan ke luar wilayah. Tabel 13 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 Kampung Cisangku (%)
Kampung Nyungcung (%)
Jenis Pekerjaan
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
Pertanian
16,67
56,67
0
26,67
36,67
10,00
Buruh Pertanian
13,33
3,33
0
0
3,33
0
0
3,33
6,67
6,67
13,33
3,33
Non Pertanian
54
Pada Tabel 13 ditunjukkan bahwa persepsi mengenai alokasi peranan pada jenis pekerjaan pertanian, buruh pertanian, dan non pertanian berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa persepsi pekerjaan pertanian lebih tinggi dibandingkan pekerjaan yang lain. Pemahaman masyarakat dengan pekerjaan pertanian di Kampung Cisangku (56,67 persen) dan Kampung Nyungcung (36,67 persen) berada pada kategori sedang. Kondisi ini dikarenakan masyarakat menyadari alokasi peranan merupakan hal yang penting dan terkait dengan laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan sumberdaya hutan.
Tabel 14 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Tingkat Pendapatan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 Tingkat Pendapatan Rp (juta/tahun) 3,60 - 9,59
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
23,33
40,00
10,00
16,67
50,00
20,00
9,60 - 15,59
3,33
10,00
3,33
3,33
3,33
0
15,60 - 21,60
0
6,67
3,33
0
3,33
3,33
Kampung Cisangku (%)
Kampung Nyungcung (%)
Persepsi sebagian besar masyarakat Kampung Cisangku terhadap hak (Tabel 14) berdasarkan tingkat pendapatan, termasuk pada kategori sedang. Persepsi tertinggi terdapat pada tingkat pendapatan kurang dari Rp 9,6 juta/tahun, baik di Kampung Cisangku (40,00 persen) dan Kampung Nyungcung (50,00 persen) berada pada kategori sedang. Hal ini berarti bahwa dalam persepsi mengenai hak, masyarakat menginginkan agar haknya tidak dicabut dalam penggarapan lahan karena masyarakat bergantung kepada lahan tersebut relatif cukup tinggi. Pemerintah juga telah memberikan hak penggarapan lahan yang terletak di Eks Perum Perhutani kepada masyarakat. Jika lahan tersebut diambil, maka kegiatan masyarakat yang terkait dengan pemanfaatan lahan (pengambilan kayu, penanaman tanaman semusim/tahunan) akan mengalami kehilangan sumber pendapatan dan kesulitan mencari mata pencaharian lainnya.
Masyarakat
berupaya agar lahan yang telah digarap tidak dituntut kembali oleh pemerintah.
55
Tabel 15 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Tingkat Pendapatan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 Tingkat Pendapatan Rp (juta/tahun) 3,60 - 9,59
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
0
33,33
40,00
3,33
20,00
63,33
9,60 - 15,59
0
13,33
3,33
0
3,33
3,33
15,60 - 21,60
0
3,33
6,67
0
0
6,67
Kampung Cisangku (%)
Kampung Nyungcung (%)
Pada Tabel 15 dijelaskan mengenai persepsi terhadap kewajiban tertinggi pada tingkat pendapatan kurang dari Rp 9,6 juta/tahun dengan kategori tinggi, baik di Kampung Cisangku (40,00 persen) dan Kampung Nyungcung (63,33 persen). Hal ini dikarenakan masyarakat memiliki tanggung jawab yang tinggi terhadap kesepakatan bersama dalam mengelola sumberdaya hutan (menanam kembali pohon yang telah ditebang, mencegah pihak lain melakukan pembalakan liar/illegal logging). Masyarakat memperoleh manfaat setelah kewajiban dipenuhi, seperti hasil tanaman yang telah ditanam dapat dijual untuk mendapatkan uang dalam memenuhi kebutuhan hidup yang lain atau dikonsumsi sendiri oleh masyarakat.
Tabel 16 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan berdasarkan Tingkat Pendapatan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 Tingkat Pendapatan Rp (juta/tahun) 3,60 - 9,59
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
6,67
3,33
0
20,00
50,00
16,67
9,60 - 15,59
13,33
3,33
0
0
3,33
3,33
15,60 - 21,60
56,67
16,67
0
3,33
3,33
0
Kampung Cisangku (%)
Kampung Nyungcung (%)
Tabel 16 memaparkan persepsi terhadap alokasi peranan tertinggi terdapat pada kategori rendah dengan tingkat pendapatan lebih dari Rp 15,6 juta/tahun di Kampung Cisangku (56,67 persen) dan tingkat pendapatan kurang dari Rp 9,6 juta/tahun di Kampung Nyungcung (50,00 persen) pada kategori sedang. Pada
56
masyarakat Kampung Cisangku dalam pembagian peran dan pengambil keputusan tidak melibatkan perempuan karena pendapatan utama dan sampingan yang hanya diperoleh dari pekerjaan laki-laki telah dianggap mencukupi kebutuhan hidup. Berbeda dengan masyarakat di Kampung Nyungcung yang tingkat pendapatan kurang dari Rp 9,6 juta/tahun. Laki-laki membutuhkan peran perempuan (sebagai buruh tani, membuka usaha warung, maupun menjual gorengan) untuk mendukung pendapatan rumah tangga karena kurangnya pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki (sebagai petani, buruh tani, kuli bangunan, kuli panggul, maupun buruh gunung/gurandil). Tabel 17 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Luas Lahan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 Luas Lahan (hektar)
Kampung Cisangku (%)
Kampung Nyungcung (%)
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
0,01-0,54
23,33
43,33
6,67
16,67
43,33
16,67
0,55-1,08
0
10,00
10,00
0
6,67
3,33
1,09-1,63
3,33
3,33
0
3,33
6,67
3,33
Pada Tabel 16 ditunjukkan persepsi terhadap hak yang tertinggi, yaitu berdasarkan luas lahan sempit (kurang dari 0,55 hektar) dengan kategori sedang berada di dua kampung dengan persentase yang sama sebesar 43,33 persen. Luas lahan yang sempit berpengaruh terhadap hak masyarakat dengan persepsi dalam kategori sedang yang menunjukkan bahwa kebutuhan hidup mereka bergantung pada lahan yang digarap. Walaupun masyarakat hanya memiliki lahan milik dan menggarap lahan garapan di Eks Perum Perhutani yang tidak terlalu luas, namun lahan bagi masyarakat sangatlah penting untuk menunjang kehidupan. Masyarakat mempertahankan hak untuk menggarap lahan walaupun mereka merasa cemas suatu saat pihak pemerintah akan mengambil hak masyarakat pada lahan garapan beserta lahan milik dikarenakan wilayah kampung termasuk ke dalam kawasan TNGHS.
57
Tabel 18 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Luas Lahan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 Kampung Cisangku (%)
Kampung Nyungcung (%)
Luas Lahan (hektar)
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
0,01-0,54
0
40,00
33,33
3,33
16,67
56,67
0,55-1,08
0
6,67
13,33
0
0
10,00
1,09-1,63
3,33
3,33
0
0
6,67
6,67
Persepsi terhadap kewajiban tertinggi terdapat pada luas lahan sempit dengan kategori sedang di Kampung Cisangku (40,00 persen) dan kategori tinggi di Kampung Nyungcung (56,67 persen). Hal ini dikarenakan masyarakat memiliki kewajiban
untuk
menjaga
sumberdaya
hutan
selain
memanfaatkannya
(penebangan pohon dilakukan secara tebang pilih, menanam pohon yang telah ditebang, dan mencegah dari adanya pembalakan liar/illegal logging). Luas lahan masyarakat yang digarap tidaklah luas (sempit), tidak sebanding dengan luas kawasan TNGHS, sehingga berpengaruh kepada masyarakat dalam mengakses sumberdaya hutan. Kewajiban masyarakat adalah melindungi sumberdaya hutan dari kerusakan yang pernah terjadi, sehingga masyarakat berperan penting dalam menjaga kelestarian sumberdaya hutan karena masyarakat yang bersentuhan langsung terhadap hutan dan memperoleh manfaat dari hutan tersebut. Tabel 19 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Luas Lahan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 Kampung Cisangku (%)
Kampung Nyungcung (%)
Luas Lahan (hektar)
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
0,01-0,54
23,33
50,00
0
26,67
33,33
16,67
0,55-1,08
10,00
10,00
0
0
10,00
0
1,09-1,63
3,33
3,33
0
3,33
10,00
0
Tabel 19 menjelaskan luas lahan yang sempit memiliki persentase tertinggi pada dua kampung tersebut (50 persen di Kampung Cisangku dan 33,33 persen Kampung Nyungcung) dengan kategori sedang. Luas lahan yang sempit
58
mengindikasikan bahwa laki-laki dan perempuan harus berperan serta dalam menggarap lahan. Perempuan dapat mengambil peran dan mengambil keputusan untuk menggarap lahan di tempat lain walaupun laki-laki yang memberikan keputusan akhir. Tabel 20 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 Pengalaman Mengelola Hutan (tahun)
Kampung Cisangku (%)
Kampung Nyungcung (%)
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
3-18
6,67
13,33
10,00
10,00
36,67
13,33
19-34
16,67
33,33
3,33
6,67
10,00
10,00
35-50
3,33
10,00
3,33
3,33
10,00
0
Persentase tertinggi terdapat pada kategori sedang dengan pengalaman mengelola sumberdaya hutan selama 19-34 tahun sebesar 33,33 persen di Kampung Cisangku dan pengalaman mengelola sumberdaya hutan selama 3-18 tahun sebesar 36,67 persen di Kampung Nyungcung (Tabel 20). Masyarakat yang pengalaman mengelola sumberdaya hutannya sekitar 19-34 tahun di Kampung Cisangku memiliki persepsi yang sedang terhadap hak karena masyarakat hanya ingin tetap dapat mengelola sumberdaya hutan tersebut. Hal ini juga sama dengan Kampung Nyungcung yang ingin tetap mempertahankan pengelolaan sumberdaya hutan yang telah dilakukan secara turun temurun. Masyarakat tidak ingin kehilangan hak untuk menggarap karena masyarakat menganggap bahwa lahan garapan telah diwariskan secara turun temurun, sehingga masyarakat memiliki hak untuk mengelolanya. Persepsi terhadap kewajiban tertinggi terdapat pada pengalaman mengelola sumberdaya hutan sekitar 3-18 tahun yang memiliki kategori tinggi di Kampung Nyungcung sebesar 50 persen, sedangkan pada Kampung Cisangku memiliki kategori sedang dan tinggi dengan persentase yang sama, yaitu 26,67 persen pada pengalaman mengelola sumberdaya hutan 19-34 tahun, serta tidak adanya persepsi dengan kategori rendah (0 persen). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 21.
59
Masyarakat di Kampung Cisangku dengan pengalaman mengelola sumberdaya hutan selama 19-34 tahun merasa memiliki hutan, sehingga mereka menjalankan kewajibannya untuk menjaga hutan agar tetap lestari dengan cara tebang pilih pohon yang akan ditebang, menanam kembali pohon yang telah ditebang, serta mencegah dari adanya illegal logging. Begitupula dengan masyarakat di Kampung Nyungcung walaupun mereka belum lama mengelola sumberdaya hutan, namun mereka telah menjalankan kewajiban untuk melestarikan hutan. Tabel 21 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 Pengalaman Mengelola Hutan (tahun)
Kampung Cisangku (%)
Kampung Nyungcung (%)
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
3-18
0
16,67
13,33
0
10,00
50,00
19-34
0
26,67
26,67
0
6,67
20,00
35-50
0
6,67
10,00
3,33
6,67
3,33
Pada Tabel 22 dipaparkan mengenai pengalaman mengelola sumberdaya hutan yang sedang memiliki kategori sedang sebesar 43,33 persen di Kampung Cisangku dan pengalaman mengelola sumberdaya hutan yang sedang memiliki kategori sedang sebesar 33,33 persen di Kampung Nyungcung terhadap alokasi peranan. Bagi masyarakat di Kampung Cisangku semakin lama dalam mengelola sumberdaya hutan telah mempengaruhi bagaimana peranan antara laki-laki dan perempuan walaupun masih didominasi oleh laki-laki. Berbeda dengan Kampung Nyungcung yang berawal dari pengalaman yang relatif kurang lama, namun masyarakat telah menyerahkan keputusan kepada perempuan atas persetujuan dari laki-laki. Kondisi ini menggambarkan adanya peran perempuan lebih besar di Kampung Nyungcung daripada Kampung Cisangku.
60
Tabel 22 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 Pengalaman Mengelola Hutan (tahun)
Kampung Cisangku (%)
Kampung Nyungcung (%)
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
3-18
20,00
10,00
0
13,33
33,33
13,33
19-34
10,00
43,33
0
10,00
13,33
3,33
35-50
6,67
10,00
0
6,67
6,67
0
Kampung Cisangku Lahan seluas 76 hektar di kawasan Eks Perum Perhutani yang terletak di Kampung Nyungcung digarap oleh masyarakat. Namun, 50 hektar ini telah dijadikan jenis tanaman rimba campuran dengan bekerjasama oleh pihak TNGHS. Lahan ini ditanami dengan jenis tanaman keras (tanaman tahunan) dengan diselingi oleh tanaman buah-buahan (tanaman musiman) yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sisa lahan seluas 26 hektar masih tetap digarap oleh masyarakat. Lahan tersebut ada yang berupa sawah maupun ditanam jenis tanaman keras dan tanaman buah-buahan. Masyarakat berencana agar luas lahan sekitar 76 hektar ini dapat dijadikan lahan milik karena semakin terbatasnya lahan milik dengan meningkatnya jumlah penduduk di Kampung Cisangku. Lahan garapan tidak dapat dijual, namun dapat diwariskan ke generasi berikutnya. Akan tetapi, pihak TNGHS tidak dapat memenuhi permintaan masyarakat untuk dijadikan lahan milik dikarenakan lahan tersebut milik negara dan masyarakat hanya mendapatkan hak untuk menggarapnya. Pihak TNGHS juga tidak menginginkan adanya perluasan dari lahan garapan tersebut. Kampung Nyungcung Lahan seluas 234,121 hektar merupakan lahan tumpang tindih antara masyarakat dan pihak lain. Masyarakat Kampung Nyungcung ingin kejelasan dari adanya perluasan kawasan TNGHS, sehingga menyebabkan terdapat lahan yang tumpang tindih. Padahal masyarakat telah menggarap lahan tersebut sejak nenek
61
moyang mereka, sehingga lahan tersebut diwariskan kepada mereka termasuk lahan milik. Masyarakat juga tidak ingin diusir dari kawasan TNGHS karena mereka tidak tahu harus pindah kemana dan mereka ingin hak atas lahan dapat dijadikan lahan milik secara hukum yang berlaku.
6.3 Persepsi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) LSM yang terlibat secara langsung di kawasan ini adalah RMI yang berperan sebagai pendamping masyarakat. LSM sebagai pihak yang memberikan informasi tentang dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003 kepada masyarakat yang wilayah kampungnya masuk ke dalam kawasan TNGHS. Menurut LSM, perluasan kawasan TNGHS belum terdapat batas yang jelas antara lahan pemerintah dan lahan yang digarap oleh masyarakat. Tidak semua masyarakat mengetahui zona versi pemerintah karena biasanya masyarakat memiliki zona versi masyarakat sendiri yang diberitahukan secara turun temurun. Peta partisipatif dibuat oleh masyarakat dengan didampingi pihak LSM untuk menunjukkan batas wilayah antara pemerintah dan masyarakat agar terlihat jelas, sehingga tidak terjadi tumpang tindih lahan. LSM mengganggap bahwa pemerintah ingin mengusir secara perlahan masyarakat yang berada dalam kawasan konservasi. Kurangnya sosialisasi dari pihak pemerintah menyebabkan perbedaan persepsi di pihak masyarakat, sehingga masyarakat menganggap bahwa suatu saat lahan garapan serta lahan milik akan diklaim oleh pemerintah. Masyarakat yang berada dalam kawasan TNGHS hanya ingin haknya untuk menggarap tidak dicabut karena sumberdaya hutan merupakan tempat bergantung masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pihak LSM berpendapat bahwa masyarakat tidak akan melakukan illegal logging karena masyarakat mengetahui bahwa sumberdaya hutan perlu dilestarikan dan bila mereka melakukan illegal logging, maka akan berdampak langsung berupa bencana alam, seperti banjir, hutan gundul, dan pengikisan lapisan tanah. Hal ini dapat merugikan masyarakat karena akan kehilangan harta bendanya bahkan jiwa. Pihak LSM menginginkan agar menyatukan perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat. Akan tetapi, pihak LSM juga mengalami kesulitan
62
karena persepsi pemerintah dan LSM berbeda. Pihak LSM terutama RMI memprioritaskan kepentingan masyarakat karena masyarakat tidak akan merusak dan akan menjaga sumberdaya hutan di sekitar lingkungan mereka, sehingga pihak LSM membantu masyarakat untuk mendapatkan haknya kembali untuk menggarap.
6.4 Konflik Akibat Perbedaan Persepsi Perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat inilah yang memicu timbulnya konflik. Bila mengutip tipe konflik menurut Fisher et al. (2000) yang terjadi adalah konflik laten (yang sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif) karena adanya perbedaan persepsi antara pihak pemerintah dan komunitas lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan serta LSM sebagai pihak fasilitator. Pada saat Perum Perhutani yang mengelola hutan, masyarakat tidak dapat memanfaatkan hasil hutan, seperti tidak dapat mengambil kayu bakar di sekitar kawasan Perum Perhutani karena biasanya terdapat Polisi Hutan (Polhut) yang menjaga hutan tersebut. Adanya pohon pinus yang ditanam juga menimbulkan kerugian bagi masyarakat karena masyarakat sangat sulit mendapatkan air pada musim kemarau. Setelah adanya protes dari masyarakat, Perum Perhutani mengizinkan masyarakat menggarap lahan mereka yang berada di areal Perum Perhutani dengan syarat adanya pajak yang diambil dari masyarakat dan menanam tanaman yang diinginkan oleh Perum Perhutani. Pajak ini dinamakan pajak kolong. Pajak kolong termasuk pajak ilegal yang diambil secara paksa oleh oknum dari pihak Perum Perhutani. Masyarakat merasa sangat dirugikan, akan tetapi masyarakat membutuhkan lahan garapan tersebut agar dapat bertahan hidup. Pajak kolong yang diterapkan sekitar jika lahan terdapat satu gedeng, maka mereka membayar tiga gedeng atau 40:60. Pembagian 40 persen ini untuk masyarakat dan 60 persen untuk Perum Perhutani. Perluasan kawasan yang dilakukan oleh TNGHS telah menimbulkan konflik. Masyarakat belum memahami konsep yang dibuat oleh TNGHS apalagi dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003 yang
63
menyatakan bahwa masyarakat tidak dapat berada di kawasan konservasi padahal masyarakat telah menempati wilayah tersebut sebelum masuknya TNGHS. Masyarakat dianggap sebagai musuh oleh TNGHS karena mereka dianggap sebagai perusak hutan yang menebang pohon secara ilegal. Begitu pula menurut pihak TNGHS yang dianggap musuh bagi masyarakat. Masyarakat berpendapat bahwa selama ini masyarakatlah yang melindungi hutan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab atas penebangan ilegal, namun masyarakat harus diusir dari kawasan. Sosialisasi yang dilakukan oleh TNGHS belum mencakup seluruh masyarakat yang menggarap lahan di setiap kampung Desa Malasari. Masyarakat tidak diizinkan menggarap hutan dan memperluas wilayah garapan di hutan yang sudah ada di dalam kawasan TNGHS. Pada akhirnya, masyarakat diperbolehkan menggarap lahan asalkan tidak memperluas wilayah garapan serta tidak ada penerapan pajak kolong, seperti yang dilakukan oleh Perum Perhutani. Walaupun terdapat pernyataan mengenai masyarakat tidak dapat menempati kawasan yang termasuk perluasan TNGHS, namun akhirnya ditetapkan zona khusus agar masyarakat mendapatkan haknya dalam mengakses lahan garapan. Masyarakat akan melakukan penanaman pohon, bila terdapat hutan yang ditebang dan tidak ditanami pohon kembali. Bila masyarakat diusir dari kawasan TNGHS, maka tidak akan ada yang menjaga kelestarian hutan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab (free-rider), sehingga masyarakat tidak boleh dianggap musuh oleh TNGHS. Masyarakat juga telah diberikan kebebasan untuk menggarap lahan karena mereka memiliki hak untuk itu, namun masyarakat tidak dapat memperluas batas lahan garapan yang telah ada (tidak boleh membuka lahan kembali). Pihak TNGHS yang diwakilkan oleh petugas Resort Gunung Botol juga melakukan giliran untuk menjaga keamanan hutan di empat desa, sehingga agak menyulitkan berpatroli secara rutin di Desa Malasari. Selain itu, masyarakat memerlukan pembinaan dari instansi terkait untuk perekonomian masyarakat (cara bertani yang baik untuk dilakukan) dan diperlukan
sosialisasi
mengenai
zonasi
TNGHS
agar
tidak
terjadi
kesalahpamahaman dalam aturan batas lahan antara TNGHS dan masyarakat. Akan tetapi, sumberdaya manusia yang terbatas dari pihak TNGHS yang dalam
64
hal ini diserahkan kepada pihak Resort Gunung Botol untuk melakukan sosialisasi dan menjaga keamanan hutan di setiap kampung, Desa Malasari. Analisis pemetaan konflik dilakukan dengan mengelompokannya dalam ruang-ruang konflik, yaitu konflik kepentingan dan konflik struktural yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan di kampung ini. Konflik kepentingan terjadi karena adanya suatu persaingan kepentingan antara pihak pemerintah dan masyarakat
dalam
mengelola
sumberdaya
hutan.
Pemerintah
memiliki
kepentingan untuk upaya konservasi sumberdaya hutan karena semakin menipisnya hutan di Indonesia saat ini, sehingga perlu dilestarikan. Masyarakat memiliki kepentingan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa melakukan kerusakan pada sumberdaya hutan. Konflik struktural terjadi karena adanya ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya hutan. Bagi pemerintah, lahan tersebut adalah milik negara dan hanya dapat digarap oleh masyarakat karena keterlanjuran
masyarakat
yang telah
menempati
kawasan
itu
sebelum
dilakukannya perluasan. Bagi masyarakat, mereka memiliki hak untuk menggarap atas lahan tersebut karena lahan itu telah diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka. Sebenarnya, akses dan kontrol sumberdaya hutan saat ini dapat dilakukan oleh kedua belah sesuai kesepakatan bersama. Pemangku kepentinganyang terlibat dalam konflik ini adalah pemerintah, komunitas lokal, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
6.5 Ikhtisar Persepsi pemerintah menyatakan, bahwa lahan yang merupakan perluasan tersebut merupakan lahan negara. Bahkan pemerintah menanyakan kepada masyarakat, sampai kapan mereka ingin menggarap di lahan negara tersebut. Pemerintah merasa bahwa masyarakat menjadikan mereka sebagai musuh karena masalah hak atas lahan. Terkadang masyarakat tidak percaya terhadap apa yang dibicarakan oleh pemerintah. Lahan negara tidak dapat dijadikan hak milik untuk masyarakat, sehingga masyarakat hanya memiliki Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) yang belum dianggap kuat secara hukum menurut kepemilikannya.
65
Teknik pengolahan data untuk karakteristik sosial ekonomi (jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, luas lahan, dan pengalaman mengelola sumberdaya hutan) terhadap persepsi komunitas lokal di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung dinyatakan dengan menggunakan tabulasi silang. Persepsi masyarakat menganggap bahwa lahan tersebut telah diwariskan sejak nenek moyang mereka untuk digarap dan dimiliki. Menurut persepsi LSM, perluasan kawasan TNGHS belum terdapat batas yang jelas antara lahan pemerintah dan lahan yang digarap oleh masyarakat. Tidak semua masyarakat mengetahui zona versi pemerintah karena biasanya masyarakat memiliki zona versi masyarakat sendiri yang diberitahukan secara turun temurun. Peta partisipatif dibuat oleh masyarakat dengan didampingi pihak LSM untuk menunjukkan batas wilayah antara pemerintah dan masyarakat agar terlihat jelas, sehingga tidak terjadi tumpang tindih lahan. LSM mengganggap bahwa pemerintah ingin mengusir secara perlahan masyarakat yang berada dalam kawasan konservasi. Tipe konflik yang terjadi antar pemangku kepentingan adalah konflik laten (yang sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani
secara
efektif).
Pemetaan
konflik
yang
dilakukan
dengan
mengelompokannya dalam ruang-ruang konflik terdapat dua jenis konflik, yaitu konflik kepentingan dan konflik struktural. Konflik kepentingan terjadi karena adanya suatu persaingan kepentingan antara pihak pemerintah dan masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutan. Konflik struktural terjadi karena adanya ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya hutan. Pemangku kepentingan yang terlibat dalam konflik ini adalah pemerintah (TNGHS), komunitas lokal, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
BAB VII HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DENGAN PERSEPSI KOMUNITAS LOKAL PADA PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN 7.1 Keterkaitan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Persepsi Komunitas Lokal Peubah pada karakteristik sosial ekonomi yang digunakan untuk uji korelasi Rank Spearman adalah tingkat pendapatan, luas lahan, dan pengalaman mengelola sumberdaya hutan. Hal ini dikarenakan data dari karakteristik sosial berupa data ordinal, begitu pula dengan persepsi (Tabel 23). Tabel 23 Nilai Koefisien Korelasi Tingkat Pendapatan, Luas Lahan, dan Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan yang Berhubungan dengan Persepsi Komunitas Lokal di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 Kampung Cisangku Peubah Karakteristik Sosial Ekonomi: - Tingkat pendapatan - Luas lahan - Pengalaman mengelola sumberdaya hutan
Hak
Kewajiban
Alokasi peranan
-0,464***
0,001
0,036
-0,358*
-0,079
-0,398**
0,075
-0,046
0,002
0,139
0,301*
-0,086
-0,463**
-0,248
Hak
Kewajiban
0,227
-0,114
-0,036 -0,169
Alokasi peranan
Kampung Nyungcung
Keterangan: ***Nyata pada taraf α = 0,01; ** Nyata pada taraf α = 0,05; *Nyata pada taraf α = 0,10
Karakteristik sosial ekonomi (tingkat pendapatan), terdapat hubungan nyata dan negatif dengan peubah alokasi peranan di masyarakat Kampung Cisangku dengan tingkat kesalahan satu persen (-0,464).
Demikian halnya dengan
masyarakat di Kampung Nyungcung, tingkat pendapatan berhubungan negatif nyata dengan alokasi peranan dengan tingkat kesalahan sepuluh persen (0,358). Ini berarti bahwa hubungan tersebut relatif lemah.
67
Ini berarti semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, maka semakin rendah alokasi peranan. Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam mengelola sumberdaya hutan tidak begitu nyata, karena laki-laki lebih mendominasi dengan mengambil alih seluruh peran tersebut. Pihak perempuan terkadang hanya bekerja di rumah saja yang tidak mendapatkan pendapatan dan tidak diizinkan untuk mengelola sumberdaya hutan. Berdasarkan uji korelasi Rank Spearman, didapatkan bahwa semakin luas suatu lahan yang digarap, maka semakin rendah alokasi peranan (-0,398). Hal ini dikarenakan ada orang lain yang ingin menggarap lahan tersebut dengan kesepakatan yang telah dibuat, sehingga baik laki-laki maupun perempuan dapat melakukannya. Akan tetapi, masih adanya dominasi dari laki-laki untuk mengerjakannya karena mereka berpendapat bahwa ini merupakan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Pada uji korelasi Rank Spearman, pengalaman mengelola sumberdaya hutan berhubungan positif nyata dengan alokasi peran di Kampung Cisangku. Pernyataan ini diartikan bahwa semakin lama dalam mengelola sumberdaya hutan, maka semakin tinggi alokasi peranan (0,301). Masyarakat yang telah lama mengelola sumberdaya hutan akan semakin mengetahui bahwa pekerjaan dalam mengelola hutan dapat dibagi antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh membersihkan rumput dan mengambil kayu bakar dapat dilakukan baik laki-laki maupun perempuan. Pengalaman mengelola sumberdaya hutan berhubungan negatif nyata dengan kewajiban masyarakat di Kampung Nyungcung dalam pengelolaan sumberdaya hutan (-0,463). Semakin tinggi pengalaman, maka semakin rendah kewajiban masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. Salah satu penyebabnya adalah faktor usia yang sudah relatif tergolong tua, sehingga jarang memanfaatkan kawasan hutan. Faktor lainnya adalah lokasi yang berjauhan dari tempat tinggal, sehingga menyulitkan untuk perjalanan dalam melakukan pengelolaan sumberdaya hutan. Kendala lain, ketersediaan transportasi umum yang masih terbatas pada ojeg, sehingga membutuhkan biaya yang relatif mahal untuk mencapai kawasan hutan. Nilai korelasi yang berhubungan nyata dengan peubah pengalaman mengelola sumberdaya hutan, memiliki tingkat kesalahan
68
lima persen pada alokasi peranan di Kampung Cisangku dan sepuluh persen pada persepsi terhadap kewajiban di Kampung Nyungcung yang berada di nilai kurang dari 0,5. Ini berarti bahwa hubungan tersebut relatif lemah.
7.2 Ikhtisar Hasil analisis korelasi Rank Spearman dilakukan untuk memperkuat pernyataan pada karakteristik sosial ekonomi (tingkat pendapatan, luas lahan, dan pengalaman mengelola sumberdaya hutan) terhadap persepsi komunitas lokal. Data karakteristik sosial ekonomi berupa data ordinal, begitu pula dengan persepsi. Berdasarkan hasil analisis korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa karakteristik sosial ekonomi (tingkat pendapatan dan luas lahan), hubungan nyata dan negatif dengan peubah alokasi peranan di masyarakat Kampung Cisangku. Demikian halnya dengan masyarakat di Kampung Nyungcung, tingkat pendapatan berhubungan negatif nyata dengan alokasi peranan. Pengalaman mengelola sumberdaya hutan berhubungan positif nyata dengan alokasi peran di Kampung Cisangku. Pengalaman mengelola sumberdaya hutan berhubungan negatif nyata dengan kewajiban masyarakat di Kampung Nyungcung dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Namun demikian, secara keseluruhan nilai korelasi yang berhubungan nyata, baik pada tingkat kesalahan satu persen, lima persen, dan sepuluh persen masih berada pada nilai kurang dari 0,5. Ini berarti bahwa hubungan tersebut relatif lemah.
BAB VIII MODEL PENGELOLAAN KOLABORATIF
8.1 Hubungan Persepsi antara Pemangku Kepentingan pada Pengelolaan Sumberdaya Hutan terhadap Model Pengelolaan Kolaboratif Terdapat
hubungan
persepsi
antara
pemangku
kepentingan
pada
pengelolaan sumberdaya hutan terhadap model pengelolaan kolaboratif, berupa persamaan persepsi antara pemangku kepentingan. Hal ini terlihat nyata saat terdapat perbedaan model pengelolaan kolaboratif di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari. Pihak LSM dapat melihat kebutuhan masyarakat (memiliki lahan atau menggarap lahan) dan apakah kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya hutan, mampu atau tidak dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat membutuhkan hak atas lahan untuk dapat dikelola tanpa ada aturan yang mengingat. Pihak pemerintah telah membuat kebijakan berupa pedoman zonasi taman nasional, namun belum disosialisasikan kepada masyarakat dengan baik. Pemahaman masyarakat mengenai zonasi tampak terlalu rumit untuk dipamahami bila tidak didampingi oleh petugas. Keberadaan LSM yang memberitahukan mengenai SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003
tentang
perluasan
kawasan
TNGHS
menimbulkan
kemarahan masyarakat. Kondisi tersebut memicu konflik antara pemerintah, masyarakat, dan LSM. Upaya resolusi konflik berupa model pengelolaan kolaboratif merupakan titik temu antara pemerintah, masyarakat, dan LSM. Model pengelolaan kolaboratif dibangun atas kesepakatan antara ketiga pemangku kepentingan, yaitu Model Kampung Konservasi (MKK) antara pihak pemerintah dan masyarakat Kampung Cisangku dan Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) antara pemerintah dan masyarakat Kampung Nyungcung. Model pengelolaan kolaboratif ini bergantung pada sejauhmana peran para pemangku kepentingan dalam proses pembentukannya yang berbeda, meskipun tujuan sama, yaitu masyarakat dapat menggarap lahan sesuai hak mereka serta menjaga kelestarian hutan bersama-sama. Model pengelolaan kolaboratif ini merupakan persamaan persepsi antara pemerintah, masyarakat, dan LSM.
70
8.2 Model Kampung Konservasi (MKK) Sekitar tahun 2003, pihak LSM (RMI) memasuki wilayah Kampung Cisangku. Pihak LSM memberitahukan adanya perluasan kawasan TNGHS dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003 setelah adanya pengalihfungsian kawasan dari pihak Perum Perhutani. Sejak saat itu, masyarakat Kampung Cisangku sering melakukan kegiatan pertemuan dengan LSM yang membahas masalah perluasan ini. Akan tetapi, pengadaan pertemuan ini belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Kampung Cisangku. Lima ciri penting yang menentukan proses kolaborasi menurut Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005) terdapat pada program MKK ini. Pertama, membutuhkan keterbukaan antara stakeholder yang harus saling memberi dan menerima (give and take) untuk menghasilkan solusi bersama. Pada Tahun 2007, TNGHS masuk ke wilayah Kampung Cisangku. TNGHS menawarkan sebuah konsep yang bernama Model Kampung Konservasi (MKK). Pihak TNGHS ingin membuat kesepakatan bersama dengan masyarakat Kampung Cisangku. Masyarakat Kampung Cisangku menyetujuinya karena terdapat banyak manfaat yang akan diterima oleh mereka. Lalu, pihak LSM tidak lagi mendampingi masyarakat Kampung Cisangku karena mereka telah memilih program MKK yang ditawarkan oleh pemerintah (TNGHS). Berdasarkan karakteristik sosial ekonomi masyarakat di Kampung Cisangku (Tabel 6), masyarakat yang memiliki lahan sedang sebesar 76,67 persen dan pengalaman mengelola sumberdaya hutan sebesar 53,33 persen, terdapat kecenderungan untuk mendukung program dari pemerintah. Distribusi usia masyarakat di Kampung Cisangku berada pada kisaran usia 27-45 tahun (50 persen), usia 46-64 tahun (40 persen), dan usia di atas 64 tahun (10 persen). Kondisi ini menggambarkan bahwa peran masyarakat yang berusia relatif tua (4664 tahun) masih dominan dalam pengambilan keputusan terutama yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Masyarakat relatif kurang memiliki kemauan untuk melakukan suatu perubahan yang drastis. Mereka cenderung mempertahankan status quo yang berpihak kepada pemerintah dan beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah merupakan hal yang terbaik. Selain itu, terdapat pula kecenderungan masyarakat menghindari terjadi konflik dengan
71
pihak pemerintah. Kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah akan selalu diikuti masyarakat Kampung Nyungcung. Model Kampung Konservasi (MKK) merupakan suatu program yang berasal dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).
Pembuatan
program MKK ini bekerjasama dengan JICA. Model Kampung Konservasi (MKK) memiliki visi “Masyarakat Hidup Bersama Taman Nasional”. Tujuan pengembangan MKK, yaitu: (1) terdorongnya tindakan konservasi dengan partisipasi masyarakat; (2) terdorongnya pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan di area TNGHS yang strategis; dan (3) memperkenalkan pengalaman tersebut ke desa lain baik di dalam TNGHS atau luar TNGHS. Kedua, menghormati perbedaan dan menjadikan sumber potensi kreatif untuk membangun kesepakatan. Kampung Cisangku menggunakan pendekatan pengelolaan kolaboratif berupa Model Kampung Konservasi (MKK). Masyarakat di Kampung Cisangku memilih MKK agar tidak terjadi konflik antara masyarakat dan pihak pemerintah (TNGHS), sehingga masyarakat dapat menggarap lahan sesuai aturan yang berlaku. Adanya pengaruh dari pihak pemerintah turut memberikan sumbangan agar terciptanya pemilihan MKK ini bagi masyarakat Kampung Cisangku.
Kegiatan MKK dapat dikategorikan sebagai top down
karena konsep ini berasal dari TNGHS karena dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 yang menyebutkan mengenai pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Permenhut 2004). Ketiga, peserta dalam kolaborasi secara langsung bertanggung jawab untuk pencapaian kesepakatan tentang suatu jalan keluar. Awalnya, isi dari perjanjian telah dibuat oleh pihak TNGHS, lalu diberikan kepada masyarakat untuk melihat apakah terdapat ketidaksesuaian dengan masyarakat. Proses ini tidak berlangsung satu kali, tetapi beberapa kali penyerahan karena pihak TNGHS juga melihat kembali isi perjanjian dari pihak masyarakat yang telah diubah dan bila ada ketidaksesuaian dari pihak TNGHS, maka dikembalikan kepada masyarakat hingga tercapai kesepakatan bersama.
72
Para anggota Kelompok MKK adalah semua anggota masyarakat Kampung Cisangku yang menggarap lahan di kawasan Eks Perum Perhutani. Ketua kelompok MKK adalah Bapak Usp. Pemilihan ketua kelompok ini berdasarkan karena beliau merupakan tokoh masyarakat di Kampung Cisangku, sehingga dianggap dapat mempengaruhi masyarakat. Anggota kelompok MKK ada yang aktif dan ada juga yang tidak aktif. Setiap anggota yang aktif selalu mengikuti setiap kegiatan pertemuan yang dilakukan oleh TNGHS dan LSM, namun terkadang mereka kurang memahami apa yang disampaikan oleh mereka. Hal ini disebabkan karena penggunaan istilah-istilah yang jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan peraturanperaturan yang baru didengar oleh para anggota, sehingga mereka kurang memperhatikan apa yang disampaikan. Saat mereka melakukan kumpul-kumpul dalam kelompok, belum ada pencatatan yang baik apa yang sedang dibicarakan karena kumpul-kumpul ini merupakan kegiatan yang dianggap para anggota tidak resmi. Menurut TNGHS, adanya kumpul-kumpul tersebut seharusnya sekretaris atau salah satu anggota mencatat apa yang telah dibicarakan untuk dibahas saat pertemuan dengan TNGHS agar program MKK berjalan dengan baik. Kelompok MKK memiliki tempat persemaian yang dikelola bersama. Beraneka ragam jenis tanaman kayu keras maupun tanaman buah-buahan ada di tempat persemaian ini. Kelompok MKK juga membuat proposal kepada PT Aneka Tambang dan Dinas Pertanian agar mendapatkan bantuan fisik. Pihak TNGHS hanya memfasilitasi dan mengetahui adanya pembuatan proposal tersebut. Selain itu, terdapat perkembangbiakkan kambing dan domba, namun kegiatan ini belum berjalan sesuai yang diinginkan karena terkendala oleh kebutuhan hidup. Lalu, di dalam kelompok MKK tidak sepenuhnya berjalan sesuai keinginan pihak TNGHS saat anggota kelompok merasakan ketidakadilan dalam pembagian „sesuatu‟. Pada Tahun 2010, sekitar 80 orang warga di Desa Malasari melakukan rehabilitasi kawasan konservasi di wilayah Cisangku yang menggunakan jenis tanaman rimba campuran sebanyak 20.000 batang dengan pola tanam pengkayaan pada lahan seluas 50 hektar. Hak yang didapatkan oleh mereka setelah menanam
73
tanaman rimba campuran, mereka mendapatkan upah (uang) yang sesuai dengan kewajiban (menanam pohon) yang telah dilakukan. Selain terdapat anggota MKK, adapula non anggota MKK. Salah satu anggota non MKK ini merasa bahwa program MKK tidaklah menguntungkan, sehingga tidak turut berpartipasi di dalamnya. Pada saat mewawancarai Bapak Krd (43 tahun) yang non anggota MKK ini, beliau mengemukakan bahwa: “… Pada saat terdapat pertemuan antara masyarakat dan TNGHS, tidak semua pihak yang menggarap lahan Eks Perhutani diundang hanya perwakilannya saja yang ikut pola pikir TNGHS. Beberapa warga yang dianggap berpikiran kritis tidak diajak karena pasti akan debat.” Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat yang kontra terhadap pemerintah tidak diikutsertakan dalam pertemuan dengan TNGHS. Pemerintah tidak berpendapat seperti itu karena siapapun (masyarakat Kampung Cisangku) dapat mengikuti pertemuan dengan TNGHS bila masyarakat memiliki waktu yang tepat saat kegiatan pertemuan tersebut berlangsung. Keempat, dibutuhkan satu jalan keluar yang disepakati bersama antara stakeholder di masa depan, seperti MoU (Memorandum of Understanding). Kesepakatan kedua belah pihak ini dijadikan suatu MoU yang dikenal sebagai perjanjian kerjasama antara pihak masyarakat yang diwakilkan oleh Kelompok Masyarakat Kampung Konservasi (MKK) dan pihak TNGHS mengenai pemanfaatan lahan Eks Perum Perhutani di kawasan TNGHS. Perjanjian kerjasama ini hanya berlaku selama tiga tahun, sehingga pada bulan Januari 2011 telah diperpanjang kembali oleh kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan bersama. Akan tetapi, hingga saat ini, proses perpanjangan MoU belum selesai dikarenakan harus dimasukkan ke Direktorat Jenderal Kebijakan Konservasi bagian Biro Hukum Departemen Kehutanan. Menurut pernyataan salah satu petugas Resort Gunung Botol, Bapak Ysi (33 tahun), yaitu: “… Isi MoU sangatlah ideal karena sudah berdasarkan hasil perundingan antara pihak TNGHS dan masyarakat Kampung Cisangku, namun pelaksanaan di lapang, tidak selalu pas dengan isi MoU. Adanya MoU ini diharapkan tidak terjadi konflik antara kedua belah pihak karena program MKK sangat menguntungkan bagi masyarakat Cisangku.”
74
Kelima, membutuhkan kesadaran bahwa kolaborasi sebagai suatu proses yang bersifat temporer dan berevolusi untuk menyelesaikan suatu masalah. Pertemuan terakhir antara masyarakat dan TNGHS dilakukan pada akhir bulan Desember 2010 untuk mengetahui perkembangan dari kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat yang ada di Desa Cisangku setelah ada perjanjian kerjasama (MoU). Pertemuan ini membahas bagaimana kegiatan yang telah dilakukan selama ini, apakah terdapat kendala di dalamnya dan rencana apa untuk ke depannya. Pada isi perjanjian kerjasama, laporan tahunan disampaikan kepada para stakeholder yang terlibat dalam perjanjian tersebut dan evaluasi dilakukan minimal satu tahun sekali. Evaluasi dilakukan untuk menampung aspirasi masyarakat mengenai kegiatan MKK yang telah dilakukan selama ini. Tahun 2011 belum dilakukan lagi kegiatan pertemuan dengan TNGHS selain upaya perpanjangan MoU antar kedua belah pihak.
8.3 Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) Pihak LSM (RMI) memberitahukan adanya pengalihfungsian pengelolaan hutan dari Perum Perhutani kepada Taman Nasional Gunung Halimun-Salak pada Tahun 2003 kepada Kampung Nyungcung dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003. Masyarakat di Kampung Nyungcung berinisiatif untuk mengambil hak mereka atas lahan garapan dari pihak Perum Perhutani. Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) merupakan suatu kegiatan yang bersifat bottom up yang dibangun oleh masyarakat Kampung Nyungcung. Sebelumnya, Kampung Nyungcung berinisiatif untuk membuat Desa Dengan Tujuan Konservasi (DDTK), namun tidak semua kampung ingin berpartisipasi aktif karena dianggap hasilnya akan sama saja (tidak mementingkan masyarakat). Pihak desa juga belum mendukung adanya DDTK ini karena terdapat suatu kebijakan desa, sehingga DDTK tidak dapat dibentuk di Desa Malasari. Lima ciri penting yang menentukan proses kolaborasi menurut Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005) terdapat pada model KDTK ini. Pertama, membutuhkan keterbukaan antara stakeholder yang harus saling memberi dan menerima (give and take) untuk menghasilkan solusi bersama. Pelopor KDTK
75
adalah Teh Ell, Kang Gpy, Kang Mld, dan Kang Rck (alm.). Mereka memberitahukan manfaat dan fungsi KDTK kepada masyarakat agar mereka sadar akan pentingnya mengambil kembali hak atas kepemilikan lahan dan mereka tidak diusir dari Kampung Nyungcung tersebut. Para pelopor ini bahkan melakukan door to door selain mengadakan perkumpulan di kampung tersebut. Mereka berharap agar masyarakat Kampung Nyungcung dapat memahami kondisi kampung mereka saat itu. Adanya pembentukan KDTK ini dibantu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) RMI sebagai pihak pendamping yang menjembatani dalam mencapai tujuan yang diharapkan oleh masyarakat Kampung Nyungcung. Proses yang dijalankan untuk menginformasikan kepada seluruh masyarakat membutuhkan waktu yang cukup lama karena menyadarkan masyarakat dalam jangka waktu pendek tidaklah mudah. Masyarakat Kampung Nyungcung harus mengubah pola pikir mereka agar dapat menerima apa yang disampaikan. Namun demikian, hanya RW 05 yang berpartisipasi aktif dalam KDTK ini karena pusat kegiatan dilakukan di RW 05. Beberapa orang saja dari RW 06 yang berpartisipasi aktif dan sebagian besar hanya sekedar mengetahui adanya pembentukan KDTK yang berfungsi untuk memperjuangkan hak masyarakat atas lahan garapan. Hal ini dikarenakan hanya perwakilan dari RW 06 yang mengikuti segala kegiatan yang ada dan perwakilan ini yang akan menyampaikan isi kegiatan kepada masyarakat. Menurut salah satu pihak LSM Kang Ceg (28 tahun): “… sekarang masyarakat Kampung Nyungcung sudah berani bicara dibandingkan dulu yang hanya diam saja. Mereka sudah bisa mengungkapkan pendapat mereka. Adanya model KDTK ini telah mengubah pola pikir mereka.” Pada karakteristik sosial ekonomi masyarakat di Kampung Nyungcung (Tabel 6), masyarakat yang memiliki lahan sempit sebesar 76,67 persen dan pengalaman mengelola sumberdaya hutan rendah sebesar 56,67 persen, terdapat kecenderungan untuk mempertahankan hak atas lahan garapan yang telah diklaim oleh pemerintah. Masyarakat tersebut didominasi pada kisaran usia 27-45 tahun yang tergolong berusia muda dan masih produktif (83,33 persen). Kondisi ini
76
menyebabkan, masyarakat Kampung Nyungcung memiliki idealisme yang tinggi dan progresif. Masyarakat menginginkan adanya perubahan kondisi saat ini menjadi lebih baik. Oleh karena itu, masyarakat Kampung Nyungcung terbuka pemikirannya terhadap informasi baru, baik dari LSM maupun pihak lain dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan. Kedua, menghormati perbedaan dan menjadikan sumber potensi kreatif untuk membangun kesepakatan. Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) dikelola oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) merupakan gabungan dari kelompok tani Sinar Harapan, Cepak Nangka, Andam, dan Limbah Lestari. Ketua KSM yang dipilih adalah Kang Ucc karena beliau memiliki pengaruh yang besar di kampung ini. Tujuan dari KDTK agar para penggarap dapat menggarap lahan dengan tenang terbebas dari konflik lahan dengan pihak TNGHS, sehingga masyarakat ingin membuat kesepakatan yang saling menguntungkan antara dua pihak. Ketiga, peserta dalam kolaborasi secara langsung bertanggung jawab untuk pencapaian kesepakatan tentang suatu jalan keluar. Permasalahan mengenai lahan yang tumpang tindih tidaklah mudah dalam mencapai kesepakatan dengan pihak TNGHS. Masyarakat selalu mengupayakan agar lahan garapan dapat dikelola oleh mereka kembali. Masyarakat telah membuat peta partisipatif dengan difasilitasi oleh RMI agar peta partisipasi ini dapat menunjukkan apa yang diharapkan oleh masyarakat. Peta partisipasi yang dibuat adalah peta tata guna lahan, peta perencanaan, peta inventarisasi, peta ruas jalan, peta kontur, peta vegetasi, peta hidrologi, block plan, dan site plan. Pembuatan peta partisipasi dimaksudkan untuk dikomunikasikan bersama TNGHS bahwa masyarakat memiliki hak atas lahan di dalamnya. Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) di Kampung Nyungcung melakukan suatu seminar, workshop, dan sebagainya agar diakui oleh banyak pihak. Setelah dilakukan berbagai macam kegiatan tersebut, maka banyak orang mengunjungi Kampung Nyungcung untuk melakukan studi banding. Studi banding ini tidak hanya dilakukan oleh warga Indonesia, tetapi warga dari luar negeri, seperti Amerika Serikat, India, Australia, Afrika, dan sebagainya datang ke kampung ini karena rasa penasaran mereka.
77
Model KDTK merupakan contoh kedua di dunia karena berasal dari inisiatif masyarakat untuk memperoleh haknya kembali atas sumberdaya hutan. KDTK ini membantu menyalurkan aspirasi masyarakat. Fungsi KDTK supaya ada pembinaan terhadap masyarakat agar TNGHS menyerahkan pada masyarakat mengenai lahan garapan. Bentuk penghargaan dari terbentuknya KDTK ini adalah pengaspalan jalan oleh International Center of Research in Agroforestry (ICRAF) sepanjang dua kilometer di Kampung Nyungcung. Lalu, diadakan pelatihan yang diberikan oleh berbagai pihak, seperti bagaimana cara melakukan pembenihan, pembibitan, membuat pupuk organik, okulasi, dan sebagainya. Selain itu, pemberian bibit pohon kayu dan pohon buah-buahan dari pihak Departemen Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan LSM. Pada Tahun 2005, penanaman massal dilakukan di Gunung Nyungcung. Tanaman yang ditanam antara lain jenis pohon suren, puspa, rasamala, nangka, dan sebagainya. Penanaman ini dilakukan agar lahan kritis yang ada, tidak lagi menjadi gundul dan masyarakat dapat menggarap lahan serta memanfaatkan hasil dari penanaman tersebut. Penanaman massal ini bekerjasama dengan pihak Balai TNGHS, PT Aneka Tambang, Kementerian Lingkungan Hidup, ICRAF, CIFOR, dan RMI. Sejak Tahun 2003, masyarakat Kampung Nyungcung mengupayakan sendiri perjuangan mereka agar mendapatkan hak mereka dengan didampingi oleh pihak LSM agar terjadi kesepakatan dengan pihak THGH-S, namun belum ada kesepakatan secara tertulis. Pada Tahun 2007, masyarakat Kampung Nyungcung melakukan aksi protes kepada pihak TNGHS karena MKK mendapatkan pengakuan
lebih
penandatanganan
cepat MoU
daripada
KDTK.
(Memorandum
of
Pengakuan Understanding)
ini
mengenai
antara
pihak
masyarakat Kampung Cisangku dan TNGHS dalam kegiatan MKK tersebut. Namun demikian, pada tahun yang sama, pemerintah telah memberikan konsep MKK kepada masyarakat Kampung Nyungcung, akan tetapi masyarakat menolaknya karena masyarakat telah memiliki model pengelolaan kolaboratif berupa KDTK dan masyarakat menganggap bahwa pemerintah ingin mengambil
78
lahan garapan masyarakat dengan adanya MKK tersebut. Pengaruh LSM juga berperan serta di dalamnya. Keempat, dibutuhkan satu jalan keluar yang disepakati bersama antara stakeholder di masa depan. Setelah terjadi perundingan yang cukup lama, pada tanggal 22 Juni 2010, disepakati bersama dengan penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding) antara pihak masyarakat Kampung Cisangku dan pihak TNGHS. Kelima, membutuhkan kesadaran bahwa kolaborasi sebagai suatu proses yang bersifat temporer dan berevolusi untuk menyelesaikan suatu masalah. Hingga saat ini, penandatanganan ini belum disahkan oleh Departemen Kehutanan dari Direktorat Kebijakan Konservasi di Lingkungan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) bagian Biro Hukum karena dianggap belum terdapat payung hukum yang kuat dan jelas. Masyarakat Kampung Nyungcung masih menunggu kepastian mengenai pengesahan tersebut, tetapi mereka merasa tenang untuk menggarap lahan di Eks Perum Perhutani karena sudah terdapat kesepakatan melalui MoU tersebut. Pihak LSM (RMI) juga turut membantu dalam proses pengesahan dan terus menindaklanjuti mengapa masih terdapat payung hukum yang kuat padahal isi MoU tidak jauh berbeda dengan MoU MKK.
8.4 Ikhtisar Lima ciri penting yang menentukan proses kolaborasi menurut Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005) terdapat pada program MKK (Model Kampung Konservasi) dan KDTK (Kampung Dengan Tujuan Konservasi). Tujuan dari kegiatan yang dilakukan MKK dan KDTK tidaklah berbeda. Perbedaan terletak pada idealisme setiap pemangku kepentingan, sehingga terbentuk perbedaan model pengelolaan kolaboratif. Kolaborasi dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik antara pemangku kepentingan. Model Kampung Konservasi (MKK) merupakan program yang dibuat oleh TNGHS agar tidak terjadi konflik dengan masyarakat. Program MKK diberikan kepada masyarakat di Kampung Cisangku dan mereka menerimanya karena terdapat banyak manfaat. Program MKK termasuk top down karena belum adanya
79
partisipasi dari masyarakat Cisangku dalam membuat kegiatan dari mulai perencanaan. Pengaruh pemerintah lebih kuat dibandingkan LSM karena masyarakat menginginkan keuntungan dari adanya MKK, sehingga masyarakat bekerjasama dengan pihak pemerintah. Penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding) dilakukan pada tahun 2007 dan telah diperpanjang pada bulan Januari 2011. Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) diinisiasi oleh masyarakat Kampung Nyungcung. Pihak LSM (RMI) sebagai pihak yang menjembatani permasalahan yang terjadi antara masyarakat Kampung Nyungcung dan pemerintah (TNGHS) memiliki pengaruh yang kuat dibandingkan pihak pemerintah. Masyarakat menolak konsep MKK yang ditawarkan pemerintah dan tetap memilih KDTK. Selain itu, pola pikir masyarakat telah berubah sejak adanya KDTK. Masyarakat Kampung Nyungcung membuat peta partisipatif untuk memperkuat dukungan mereka atas lahan garapan yang tumpang tindih. Model KDTK ini termasuk bottom up karena adanya partisipasi masyarakat kampung
Nyungcung
dimulai
dari
perencanaan
sampai
evaluasi.
Penandatanganan MoU dengan pihak TNGHS telah terlaksana pada tanggal 22 Juni 2010, namun belum disahkan oleh Departemen Kehutanan dari Direktorat Kebijakan Konservasi di Lingkungan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) bagian Biro Hukum. Keuntungan dari program MKK adalah melihat dari peraturan yang ada sangatlah jelas maksud dari dibentuknya MKK. Kekurangannya adalah belum adanya partisipasi masyarakat dalam pembuatan kegiatan karena awalnya, isi perjanjian berasal dari pihak TNGHS dan tidak adanya pengesahan dari Ketua Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak pada MoU MKK tersebut. Keuntungan dari pembentukan KDTK adalah masyarakat dapat berinisiatif dalam membuat suatu gerakan agar mereka dapat mengambil haknya kembali atas lahan garapan, sehingga terhindar dari konflik tenurial dengan pemerintah (TNGHS). Kekurangannya adalah tidak semua warga berpartisipasi aktif karena seluruh kegiatan berpusat pada RW 05 dan hanya perwakilan dari warga 06 yang berperan aktif dalam setiap kegiatan yang berlangsung dan saat ini kurangnya kesadaran dalam membuat kegiatan tanpa adanya pendampingan.
BAB IX PENUTUP
9.1 Kesimpulan Pola pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung adalah sistem pengelolaan hutan “campuran”. Peran pemerintah memberikan batasan bahwa kawasan hutan produksi mengalami perubahan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi karena perluasan kawasan TNGHS pada tahun 2003. Pengelolaan sumberdaya hutan menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 56 /MenhutII/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional merinci sistem dan kriteria zonasi dalam TN. Masyarakat Kampung Cisangku membagi lahan menjadi leuweung tutupan, leuweung dudukuhan, dan leuweung bukaan, sedangkan masyarakat di Kampung Nyungcung membagi lahan menjadi leuweung larangan, leuweung dudukuhan, leuweung sarerea, dan lahan lembur (kampung). Pemahaman tersebut sangat selaras dengan pembagian zonasi oleh pemerintah. Persepsi pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya hutan adalah lahan yang menjadi perluasan TNGHS merupakan lahan negara. Lahan negara tidak dapat dijadikan hak milik masyarakat, sehingga masyarakat hanya memiliki Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) yang belum dianggap kuat secara hukum. Persepsi masyarakat menganggap bahwa hutan tersebut telah diwariskan sejak nenek moyang mereka untuk digarap dan dimiliki. Tidak semua masyarakat mengetahui zona versi pemerintah karena masyarakat memiliki zona versi masyarakat sendiri yang diberitahukan secara turun temurun. Persepsi LSM, perluasan kawasan TNGHS belum terdapat batas yang jelas antara lahan pemerintah dan lahan yang digarap oleh masyarakat. Peta partisipatif dibuat oleh masyarakat dengan didampingi pihak LSM untuk menunjukkan batas wilayah antara pemerintah dan masyarakat agar terlihat jelas, sehingga tidak terjadi tumpang tindih lahan. LSM mengganggap bahwa pemerintah ingin mengusir secara perlahan masyarakat yang berada dalam kawasan konservasi. Persepsi pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya hutan menghasilkan program Model Kampung Konservasi (MKK), sedangkan persepsi masyarakat di
81
Kampung Nyungcung dengan difasilitasi LSM menghasilkan Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK). Perbedaan antara MKK dan KDTK terletak pada idealisme setiap pemangku kepentingan, sehingga terbentuk perbedaan model pengelolaan kolaboratif. Kolaborasi dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik antar pemangku kepentingan. Program MKK termasuk top down (bekerjasama dengan pihak TNGHS) karena belum adanya partisipasi dari masyarakat Cisangku dalam membuat kegiatan dari mulai perencanaan hingga evaluasi walaupun pada awalnya LSM telah masuk ke wilayah ini. Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) diinisiasi oleh masyarakat Kampung Nyungcung. Pihak LSM (RMI) sebagai pihak yang menjembatani permasalahan yang terjadi antara masyarakat Kampung Nyungcung dan pemerintah (TNGHS). Model KDTK ini termasuk bottom up karena adanya partisipasi masyarakat kampung Nyungcung dimulai dari perencanaan sampai evaluasi. Hasil kesepakatan yang ditandatangani antar pemangku kepentingan dinamakan MoU (Memorandum of Understanding).
9.2 Saran Perlu adanya upaya menyamakan persepsi antar pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas lokal, dan LSM) untuk menghindari terjadinya konflik. Hal tersebut dapat dilakukan melalui sosialisasi pemerintah tentang aturan yang berlaku di TNGHS dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Dengan demikian, diperlukan juga penambahan SDM dari pemerintah agar sosialisasi dapat berjalan dengan baik mengingat selama ini, masalah sosialisasi terkendala oleh jumlah SDM yang kurang memadai. Pandangan LSM yang berbeda dengan kebijakan pemerintah dapat diatasi melalui perundingan antara pemangku kepentingan. Peran tokoh masyarakat dan aparat desa perlu ditingkatkan agar model pengelolaan kolaboratif antara pemerintah dan komunitas lokal berjalan dengan baik. Selain itu, pemerintah seharusnya cepat tanggap dalam menandatangani perjanjian kesepakatan (MoU) walaupun model pengelolaan kolaboratif bersifat bottom up dengan meninjau kembali isi perjanjian yang telah dibuat oleh komunitas lokal. Bila terdapat pernyataan dalam perjanjian yang kurang sesuai, maka pemerintah dapat meninjau dan memperbaiki perjanjian tersebut dengan cara merundingkan bersama komunitas lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja K. 2008. Gunung halimun: Masa lalu, sekarang, dan masa datang. Hendarti L, editor. Menepis kabut halimun: Rangkaian bunga rampai pengelolaan sumberdaya alam. Jakarta [ID]: Yayasan Obor Indonesia. 270 hal. Asngari PS. 1984. Persepsi direktur penyuluhan tingkat “karesidenan” dan kepala penyuluh pertanian terhadap peranan dan fungsi lembaga penyuluhan pertanian di negara Texas, Amerika Serikat. Media Peternakan 9 (2): 1-43. Bogor [ID]: Fakultas Peternakan IPB. DeVito JA. 1997. Komunikasi antarmanusia. Maulana A). Jakarta [ID]: Proffesional Books. Judul asli: Human communication. 550 hal. Effendi I. 2002. Analisis persepsi masyarakat terhadap Taman Nasional Gunung Leuseur (TNGL) di Desa Harapan Jaya, Kecamatan Sei. Lepan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. [Tesis]. Medan [ID]: Universitas Sumatera Utara. [Internet]. [diunduh 28 Maret]. Dapat diunduh dari: http://repository. usu.ac.id/bitstream/123456789/7279/1/D0200067.pdf Fisher S, Ludin J, Williams S, Abdi DI, Smith R, Williams S. 2000. Mengelola konflik: Keterampilan dan strategi untuk bertindak. (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh Kartikasari SN, Tapilatu MD, Maharani R, dan Rini DN). Jakarta [ID]: The British Council. Judul asli: Working with Conflict: Skills and Strategies for Action. 205 hal. Fuad F dan Maskanah S. 2000. Inovasi penyelesaian sengketa pengelolaan sumber daya hutan. Bogor [ID]: Pustaka LATIN. 156 hal. Hanafi I, Ramdhaniaty N, dan Nurzaman B. 2004. Nyoreang alam ka tukang, nyawang anu bakal datang: Penelusuran pergulatan di Kawasan Halimun, Jawa Barat-Banten. Bogor [ID]: RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment. 105 hal. Departemen Kehutanan. 2005. [Internet]. [diunduh tanggal 20 Januari 2011]. Dapat diunduh dari: http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/ 2005/Planologi.htm ______. 2008. [Internet]. [diunduh tanggal 20 Januari 2011]. Dapat diunduh dari: http://www.dephut.go.id/files/Statistik_ Kehutanan_2008_Planologi.pdf Kusumanto T, Yuliani EL, Macoun P, Indriatmoko Y, dan Adnan H. 2006. Belajar beradaptasi bersama-sama mengelola hutan di Indonesia. Bogor [ID]: CIFOR. 231 hal. Lynch OJ dan Harwell E. 2006. Sumberdaya milik siapa? Siapa penguasa barang publik?: Menuju sebuah paradigm baru bagi keadilan lingkungan hidup dan kepentingan nasional di Indonesia. (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh Studio
83
Kendil). Bogor [ID]: Studio Kendil. Judul asli: Whose natural resources? Whose common good?: Toward a new paradigm of environmental justice and the national interest in Indonesia. 253 hal. Moeliono M, Limberg G, Minnigh P, Agus M, Yayan I, Nugroho AU, Saparuddin, Hamzah, Ramses I, dan Edy P. 2010. Merentas kebuntuan: Konsep dan panduan pengembangan zona khusus bagi Taman Nasional di Indonesia. Bogor [ID]: CIFOR. 81 hal. Moniaga S. 1998. Hak siapa, hak apa, sistem hukum yang mana dan pengelolaan hutan yang bagaimana. Suharjito D, editor. Hak-hak penguasaan atas hutan di Indonesia. Bogor [ID]: Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). 82 hal. Ostrom, E. and Schlager E. 1996. The formation of property rights. Hanna S, Folke C and Mäler K-G, eds. Rights to nature: ecological, economic, cultural, and political principles of institutions for the environment. Washington DC [US]: Island Press. 313 pages. [Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 19/Menhut-II/2004 tentang kolaborasi pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. 2004. [Internet]. [diunduh tanggal 27 Februari 2011]. Dapat diunduh dari: http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/1602 ______. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan No. 56/Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi taman nasional menteri kehutanan. 2006. [Internet]. [diunduh tanggal 27 Februari 2011]. Dapat diunduh dari: http://www.wg-tenure.org/file/Peraturan_Perundangan/Permenhut_56_2006.pdf Rakhmat J. 1999. Psikologi komunikasi. Bandung [ID]: PT Remaja Rosdakarya. 345 hal. RMI. 2007. Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang dituangkan melalui perencanaan komunitas. Bogor [ID]: RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment. 52 hal. Singarimbun M dan Effendi S. 1989. Metode penelitian survai. Jakarta [ID]: LP3S. 346 hal. Soekanto S. 2000. Sosiologi: Suatu pengantar. Jakarta [ID]: PT RajaGrafindo Persada. 530 hal. Suporahardjo. 2005. Manajemen kolaborasi: Memahami pluralisme membangun konsensus. Bogor [ID]: Pustaka LATIN. 505 hal. Sarwono SW. 2002. Psikologi sosial: Individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta [ID]: Balai Pustaka. 427 hal.
84
Suwarno J. 2004. Analisis model pengelolaan sumberdaya hutan di daerah Kabupaten Bogor. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 244 hal. Tadjudin D. 2000. Manajemen kolaborasi. Bogor [ID]: Pustaka LATIN. 163 hal. Tauchid M. 2009. Masalah agraria sebagai masalah penghidupan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Yogyakarta [ID]: STPN Press. 638 hal. [TNGHS] Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2008. General information: Sejarah kawasan. [Internet]. [diunduh tanggal 5 Juni 2011]. Dapat diunduh dari: http://www.tnhalimun.go.id/static/generalinformation.html ______. 2008. Overview. [Internet]. [diunduh tanggal 22 Februari 2011]. Dapat diunduh dari: http://www.tnhalimun.go.id/static/overview.html ______. 2008. Rencana pengelolaan lima tahunan (Jangka menengah): Taman Nasional Gunung Halimun Salak Tahun (2007-2011). Kabandungan [ID]: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Departemen Kehutanan. 58 hal.
LAMPIRAN
86
Lampiran 1 Peta Desa Malasari U
LEGENDA PETA TATA RUANG WILAYAH ADMINISTRASI DESA MALASARI KECAMATAN NANGGUNG KABUPATEN BOGOR
+-+-+-+- : Batas Kecamatan ++++++ : Batas Desa
: Sungai ∆ : Gunung
: Jalan Raya
: Batas Wilayah Enclave
: Perkampungan
: Batas Perhutani – TNGH
: Pusat Desa
Sumber: Data Monografi Desa Malasari (2006)
SKALA 1 : 12.500
87
Lampiran 2 Peta Kampung Cisangku
Sumber: RMI (2006)
88
Lampiran 3 Peta Kampung Nyungcung
Sumber: RMI (2004)
89
Lampiran 4 Peta Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Sumber: TNGHS (2007)
90
Lampiran 5 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011
Kegiatan Penyusunan proposal Kolokium Pengambilan data lapangan Pengolahan dan analisis data Penulisan draft skripsi Sidang skripsi Perbaikan laporan penelitian
Februari 3 4 1
Maret 2
3
April 4
1
2
3
Mei 4
1
2
3
Juni 4
1
2
3
Juli 4
1
2
3
4
Agustus 1 2
91
Lampiran 6 Sampling Frame Penggarap Lahan di Kawasan Eks Perum Perhutani Kampung Cisangku, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Nama Sub Rmt Add Uan Jki Muh Oha Adl Rkb Pdl Rmm Acm Ars Sty Eta Ikh Rbi Awg Olh Hnd Mud Dka Nrd Irf Ady Ags Jja Hnr Mad Rwn And Kwg Sbr Ydi Arl Dar Sbi Dod Azm Knd : Responden
RT/RW Ayy 01/02 Mni 01/02 Hnn 01/02 Arn 01/02 Hyt 01/02 Ile 01/02 Rna 01/02 Prw 01/02 Ynt 01/02 San 01/02 Nci 01/02 Rwy 01/02 Mar 01/02 Nti 01/02 Sto 01/02 Wit 01/02 Mun 01/02 Tra 01/02 Kni 01/02 Imm 01/02 Nan 01/02 Lin 01/02 Tut 01/02 Wwi 01/02 Din 01/02 Hst 01/02 Nis 01/02 Ndt 01/02 Ftm 01/02 Mnr 01/02 Kit 01/02 Iyt 01/02 Dnd 01/02 Aln 01/02 Ssi 01/02 Wnd 01/02 Mir 01/02 Les 01/02 Spy 01/02 Hnm 01/02
No Nama 41 Jae 42 Ism 43 Rbk 44 Nrl 45 Slm 46 Aru 47 Wwn 48 Ryd 49 Dul 50 Isr 51 Nsd 52 Uja 53 Ace 54 Mtt 55 Srk 56 Kar 57 Rhm 58 Ark 59 Str 60 Mrz 61 Kmr 62 Ase 63 Amd 64 Rht 65 Amu 66 Wra 67 Sry 68 Sar 69 Krn 70 Hru 71 Ant 72 Jrt 73 Uci 74 Art 75 Ydh 76 Hmn 77 Awn 78 Ipg 79 Mdr 80 Jma
RT/RW Iin 01/02 Lta 01/02 Ans 01/02 Yat 01/02 Mrw 01/02 Jhe 01/02 Nmr 01/02 Wwt 01/02 Anj 01/02 Hal 01/02 Til 01/02 Nrm 02/02 Mra 02/02 Nda 02/02 Ena 02/02 Ijh 02/02 Syf 02/02 Ysi 02/02 Ais 02/02 Row 02/02 Nii 02/02 Ssk 02/02 Dra 02/02 Sup 02/02 Khd 02/02 Asd 02/02 Mym 02/02 Dih 02/02 Nsa 02/02 Rdn 02/02 Lae 02/02 Kra 02/02 Hni 02/02 Rwn 02/02 Dsi 02/02 Nch 02/02 Ern 02/02 Lti 02/02 Arw 02/02 Fth 02/02
No Nama 81 Ris 82 Acg 83 Mil 84 Udi 85 Iml 86 Arr 87 Nsr 88 Wwg 89 Rsd 90 Jun 91 Ucp 92 Bkt 93 Kht 94 Aro 95 Mkh 96 Udg 97 Ppn 98 Kbn 99 Ndi 100 Fud 101 Adt 102 Hri 103 Tok 104 Ujn 105 Shl 106 Ohk 107 Hsn 108 Spt 109 Ddg 110 Ahd 111 Skr 112 Nrr 113 Adg 114 Whu 115 Abb 116 Tto
RT/RW Nvt 02/02 Lna 02/02 Mse 02/02 Ash 02/02 Nes 02/02 Yni 02/02 Min 02/02 Iis 02/02 Oom 02/02 Rst 03/02 Ina 03/02 Dwi 03/02 Aml 03/02 May 03/02 Nis 03/02 Tsh 03/02 Int 03/02 Snt 03/02 Rtn 03/02 Ftr 03/02 Ulp 03/02 Ann 03/02 Psp 03/02 Tii 03/02 Wts 03/02 Amm 03/02 Usw 03/02 Irr 03/02 Nuy 03/02 Leh 03/02 Sci 03/02 Mae 03/02 Rta 03/02 Dws 03/02 Sti 03/02 Mur 03/02
92
Lampiran 7 Sampling Frame Penggarap Lahan di Kawasan Eks Perum Perhutani Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Nama Ary Oth Abe Rah Rdw Ptr Sfy Inh Olh Nrs Dwl Rth Frh Ppt Nno Tti Inr Onh Sha Jja Umr Ems Ekk Ach Drk Mla Sfd Rni Adj Lii Bby Mry Hry Snh Fjr Ang Sfk Mrs Dki Irm Ade Ytr Ddi Oac Pyt Jmn Spn Rti Anr Mnd Tnt Spm Usk Sph Ska Yti Ajt Mrn Knd Jju Bhr Ets : Responden
RT/RW 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05
No 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62
Nama Sro Amr Hrn Snd Btr Ccp Rdn Tmi Spr Ard Rbs Occ Jya Yya Abd Atg Mat Rsm Hrm Skn Atg Whb Rus Kkh Arp Jka Sfi Alk Mrw Bdi Asr
Kom Ndy Iks Ati Mmn Sdr Mut Nng Ccs Put Dni Mli Onh Aik Yyt Jnb Smi Dit Yet Ama Sli Dde Ett Frh Lel Smn Lla Srh Nna Tra Itt
RT/RW 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 02/05 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06
No 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92
Nama Aja Sap Amn Usp Ars Jks Ras Ams Mst Dlh Srp Mpg Udn Asp Ace Sih Kbs Sle Ujg Mhd Mat Rsy Bas Hnd Omn Emn Ccg Tta Ukr Rsb
Ran Upr Wti Jnl Meh Rhi Alp Ata Mmi Ccw Nni Rdh Nun Umy Sai Jnh Kok Tnt Enn Nrs Rph Hln Sui Oms Jmr Rml Sth Wsh Sdi Cci
RT/RW 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06 04/06
93
Lampiran 8 Hasil Uji Korelasi Nonparametrik Rank Spearman di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung (1) Kampung Cisangku
Spearman's rho Pendapatan
Hak
Kewajiban
Koefisien korelasi
0,227
-0,114
-0,464**
Probabilitas
0,228
0,548
0,010
30
30
30
-0,036
-0,079
-0,398*
0,851
0,679
0,029
30
30
30
-0,169
0,139
0,301
0,372
0,465
0,106
30
30
30
N Luas
Koefisien korelasi Probabilitas N
Pengalaman
Koefisien korelasi Probabilitas N
Peranan
**. Korelasi nyata pada tingkat 0.01 *. Korelasi nyata pada tingkat 0.05
(2) Kampung Nyungcung
Spearman's rho Pendapatan
Hak
Kewajiban
Koefisien korelasi
0,001
0,036
-0,358
Probabilitas
0,996
0,849
0,052
30
30
30
Koefisien korelasi
0,075
-0,046
0,002
Probabilitas
0,693
0,810
0,990
30
30
30
N Luas
N Pengalaman
Koefisien korelasi
0,086
-0,463*
-0,248
Probabilitas
0,653
0,010
0,186
30
30
30
N *. Korelasi nyata pada tingkat 0.05
Peranan
94
Lampiran 9 Perjanjian Kerjasama pada Model Kampung Konservasi (MKK)
Gunung Botol Documen………………………………………………………...................................................................................................................
95
Gunung Botol Documen………………………………………………………...................................................................................................................
96
Gunung Botol Documen………………………………………………………...................................................................................................................
97
Gunung Botol Documen………………………………………………………...................................................................................................................
98
Gunung Botol Documen………………………………………………………...................................................................................................................
99
Gunung Botol Documen………………………………………………………...................................................................................................................
100
Lampiran 10 Dokumentasi Penelitian
Lahan garapan milik masyarakat di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung
Kewajiban masyarakat untuk melakukan tebang pilih tanaman dan tidak menebang pohon sembarangan
Kegiatan Rehabilitasi Kawasan Konservasi di Kampung Cisangku bekerjasama dengan pihak TNGHS dan terdapat tempat persemaian (MKK) Pengelolaan sumberdaya hutan “campuran”