Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen), Mei 2007
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen), Mei 2007: 105 -114
Isu Global Penanggulangan Penyakit Infeksi Sri Rezeki S Hadinegoro Divisi Infeksi dan Penyakit TRopis, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstrak. Memasuki milenium ke duapuluh satu, dunia kesehatan mengalami perubahan strategi dalam melawan penyakit infeksi. Apabila pada milenium sebelumnya aspek kuratif sangat mencolok, misalnya penemuan antibiotik baru, peningkatan pada infeksi rumah sakit, peningkatan mutu perawatan gawat darurat, dan lainnya; maka pada saat ini upaya kesehatan lebih condong kepada upaya pencegahan, yang dinilai lebih efektif dalam mengatasi penyakit infeksi. Dalam periode transisi dari upaya kuratif menjadi upaya preventif, telah banyak ide, pandangan, dan sumbangan pemikiran pakar di bidang penyakit infeksi. Kemajuan teknologi kesehatan terutama di bidang biologi molekuler merupakan salah satu dorongan yang kuat sehingga kita dapat mencapai kemajuan dalam bidang pencegahan penyakit. Hasil dari kemajuan di bidang infeksi telah dapat dirasakan oleh anak-anak yang hidup di negara industri. Namun, karena sebagian besar penyakit infeksi pada anak terdapat di negara yang masih berkembang, maka diperlukan suatu panduan, arahan, maupun bantuan finansial untuk dapat bersama sama dengan negara maju melawan berbagai penyakit infeksi. Melalui suatu kajian yang harus senantiasa diperbaharui (up-date), kita dapat turut mengikuti alur pemikiran global bagaimana seharusnya kita bersatu melawan penyakit infeksi. Keinginan dunia untuk mengeradikasi poliomielitis harus didukung sepenuhnya. Indonesia telah menunjukkan upaya maksimal dalam menanggulangi polio yang tahun lalu telah menjangkiti tanha air kita. Penyakit lama yaitu campak merupakan penyakit yang seyogyanya dapat dikendalikan melalui upaya vaksinasi belum juga dapat kita atasi dengan tuntas. Dengan tuntunan dan bantuan badan internasional, kedua penyakit “lama” yang telah merenggut nyawa dan membawa dampak kecacatan telah masuk dalam daftar penyakit yang harus segera dilenyapkan. Sedangkan penyakit yang relatif baru yaitu avian influenza, pandemik influenza (yang diramalkan akan datang dalam milenium ini), serta infeksi HIV-AIDS pada bayi dan anak memerlukan perhatian dokter anak dalam mengantar anak-cucu kita untuk mendapat layanan pencegahan yang komperhensif. Kata kunci: Global, eradikasi, polio, influenza, PMTCT
Alamat korespondensi: Prof Dr dr Sri Rezeki S Hadinegoro Sp.A(K), Divisi Infeksi & P. Tropis, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RS Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Jl. Salemba 6 Jakarta 14320. Telpon/fax 021.3914126. email
[email protected]
D
alam lima tahun terakhir, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mencanangkan program pengendalian beberapa penyakit infeksi yang mengancam masyarakat dunia. Pengendalian infeksi beberapa penyakit dapat dilakukan secara kuratif, namun paradigma tersebut
105
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen), Mei 2007
untuk sebagian besar penyakit telah beralih ke upaya preventif. Stanley Plotkin, seorang pakar vaksinasi yang terkenal mengatakan tidaklah berlebihan bahwa anakanak di dunia akan sehat melalui dua upaya preventif yang handal yaitu, penyediaan air bersih dan vaksinasi. Melalui hubungan yang semakin mudah antar negara, seolah tanpa batas; maka upaya pengendalian penyakit infeksi sangat penting untuk menghindari penyebaran penyakit ke negara lain. Hal ini tampak pada upaya eradikasi poliomyelitis di negara kita, tidak terlepas dari pengaruh upaya eradikasi di negara anggota WHO-SEARO (South-East region) lainnya. Untuk mengatasi pengendalian infeksi, negara di seluruh dunia bertekad untuk bersatu melawan penyakit infeksi yang difasilitasi oleh badan kesehatan dunia WHO. Keinginan ini telah dituangkan dalam beberapa komitmen global. Komitmen ini diperlukan oleh karena sebagian besar masalah penyakit infeksi di dunia masih dinominasi oleh negara berkembang yang belum mampu mengatasi tanpa bantuan badan kesehatan dunia. Komitmen global ditujukan pada eradikasi polio, reduksi campak, eliminasi tetanus, eliminasi sindrom rubela kongenital, dan safety injection. Sedangkan isu serius lainnya yang telah menjadi perhatian dunia ialah influenza pandemic, avian influenza, HIV, penyakit infeksi di daerah bencana, dan bioterrorism. Program global tersebut telah dibicarakan baik secara formal pada tingkat dunia maupun di kalangan para pakar penyakit infeksi, ahli epidemiologi, dan mikrobiologi dari berbagai organisasi profesi sebagai partner pemerintah setempat dalam realisasi program terkait.
Proporsi kejadian penyakit infeksi Kantor pusat WHO (World Health Organization head quarter) pada tahun 2006 melaporkan penyebab kematian di negara industri dan negara yang berkembang pada akhir abad 20. Dari total penyebab kematian di dunia, penyakit infeksi menduduki ranking kedua (34%) setelah penyakit kardiovaskular (38%). Penting dicatat bahwa proporsi penyebab kematian oleh karena penyakit infeksi, 92% terdapat di negara berkembang.1 Di Indonesia, data diperoleh dari Survei Kesehatan Rumah Tangga 2001 (SKRT)2 dan Survei Kesehatan Nasional3 yang diolah oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI memperlihatkan bahwa penyakit infeksi pada semua 106
kelompok umur adalah gangguan sistem respirasi, tuberkulosis, saluran cerna, perinatal, demam berdarah, diare, memperlihatkan urutan proporsi tertinggi disamping kelainan kardiovaskular, keganasan, trauma, serta kelainan endokrin dan metabolik. Namun penyebab kematian utama pada balita di Indonesia tetap ditempati oleh penyakit respirasi dan diare. Pada kelompok umur di bawah lima tahun (balita), penyebab kematian utama di dunia menurut WHO tahun 2005-2006, terbanyak adalah masalah perinatologi 37%, pneumonia 19%, diare 17%, malaria 8%, campak 4%, HIV/AIDS 3%, dan lainnya 10%. Di lain pihak, CDC (Communicable Disease Control)4 di Atlanta tahun 2006 melaporkan bahwa beberapa penyakit infeksi seperti pneumokokus, campak, rotavirus, Haemophillus influenzae tipe B (Hib), pertusis, tetanus, dan lainnya; berturut-turut dilaporkan dapat dicegah/ dihindari melalui upaya imunisasi 26%, 21%, 16%, 15%, 11%, 8%, dan 3%. ‘Endgame’ of poliomyelitis Komitmen global menghadapi dunia bebas polio telah dituangkan dalam program eradikasi polio (Erapo) yang dicanangkan pada pertemuan World Health Assembly tahun 1988.5,6 Perhatian utama dari upaya eradikasi adalah menghentikan secara total transmisi virus polio liar. Sejak saat itu program Erapo secara global telah memperlihatkan kemajuan pesat. Dari tahun 1988 sampai 2000, jumlah negara endemis polio telah berkurang dari 1125 menjadi 20 negara, dan jumlah kasus polio telah turun dari 350.000 menjadi 13.500; apabila dihitung dengan persen menurun 199%.1 Virus liar polio-2 sudah tidak terdeteksi lagi di dunia sejak Oktober 1999, melalui perbaikan sistem survailans. Melihat hasil pelaporan upaya eradikasi polio yang pesat ini, maka telah pula dibuat perencanaan untuk era pasca eradikasi polio. Program era pasca eradikasi polio7 meliputi (1) Minimalisasi penularan virus dari laboratorium atau karier ke masyarakat, dan (2) Mencegah vaccine-derived polio viruses (VDPV) dari virus polio vaksin yang bersirkulasi sehingga dapat menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Laporan dari World Health Organization’s Technical Advisory Body for the Initiative dan the Technical Consultative Group on the Global Eradication of Poliomyelitis5,8 mengenai ‘endgame’ issues of poliomyelitis sebagai berikut. Pakar internasional memberikan
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen), Mei 2007
pandangan serius atas terjadinya circulating VDPV (cVDVP) sebagai akibat pemberian oral polio vaccine (OPV). Oleh karena itu, apabila sertifikasi global terhadap penyakit polio pada negara/ regional telah dicanangkan mereka bersepakat untuk segera menghentikan vaksinasi OPV. Penghentian vaksinasi seperti ini telah berhasil dilakukan pada saat eradikasi variola (cacar, smallpox). Alasan tidak melanjutkan penggunaan vaksinasi OPV dikemukakan berdasarkan aspek kemanusiaan dan epidemiologis yaitu apabila penggunaan OPV tetap dilakukan, akan berisiko kembalinya penyakit polio melalui cVDVP dan penggunaan OPV akan menyebabkan kasus polio secara sporadis.1,5 Pilihan untuk tidak meneruskan OPV setelah pasca sertifikasi telah disepakati di banyak negara, dengan strategi yang berbeda seperti,7 (1) Penggunaan OPV tidak dilanjutkan setelah pemberian OPV masal, untuk menyempurnakan imunitas masyarakat dan meminimalisasi risiko terjadinya cVDPV, (2) Switching dari vaksinasi OPV ke IPV (inactivated polio vaccine, injectable polio vaccine), dan (3) Setelah era pasca polio eradikasi dipilih vaksin yang tidak menyebabkan vaccine associated polio paralysis (VAPP). Strategi vaksinasi polio pasca eradikasi Sifat khas dari virus polio liar adalah mudah menyebar dari orang ke orang dan neurovirulen.9 Virus polio vaksin merupakan virus polio yang telah dilemahkan sehingga tidak lagi mempunyai sifat neurovirulen, namun melalui mekanisme mutasi atau rekombinasi virus polio vaksin dengan enterovirus lain; sifat neurovirulen akan kembali lagi sehingga dapat menyebar disebut cVDVP.10 Telah dilaporkan 32 kasus cVDVP type 2 OPV-derived virus di Mesir tahun 19821993; Cina 1991-1993 melaporkan 34 isolate type 1wild virus, Jepang 1993-1995 type 31 OPV-recombinant virus, dan Israel 2000 virus polio tipe 2. Di Haiti & Dominican Republic pada tahun 2000-2001 melaporkan 21 confirmed cases type 1 OPV-derived virus dari 208 kasus AFP, sedangkan Filipina pada tahun 2001 melaporkan 3 kasus type 1 OPV-derived virus.5 Tahun 2005 dilaporkan 46 kasus VDVP di pulau Madura saat terjadi KLB polio tahun 20052006.10 Untuk meminimalkan risiko beredarnya cVDVP, diperlukan penghentian vaksinasi OPV yang harus dilakukan pada saat imunitas terhadap infeksi polio
masyarakat tinggi.5,12,13 Keuntungan yang diperoleh apabila OPV di semua negara diganti dengan IPV, kadar protektif terhadap polio di masyarakat relatif sama. Namun apabila cakupan imunisasi IPV tidak tinggi, imunitas masyarakat akan rendah. Kerugian lainnya yang dilaporkan pada pemberian IPV (berisi vaksin polivalen yang terdiri dari subtipe virus polio1, polio-2, polio-3) ialah serokonversi pada polio-1 dan polio-2 rendah, sedangkan serokonversi polio-3 tinggi (serokonversi polio-1 dan polio- 2 masing-masing 60% dan 90% pada polio-3).14,15 Kendala lain yang terbesar pada pemberian vaksinasi IPV secara nasional adalah masalah biaya; dapat menjadi penyebab mengapa cakupan rendah, terutama di negara berkembang dengan jumlah populasi tinggi. Hal ini harus menjadi pemikiran apabila Indonesia telah mendapat sertifikat bebas polio. Bagaimana strategi di era pasca eradikasi? Pilihan untuk tidak meneruskan OPV pasca sertifikasi telah disepakati di banyak negara, dengan strategi yang berbeda seperti, (1) Penggunaan OPV tidak dilanjutkan setelah pemberian OPV masal, dengan tujuan menyempurnakan imunitas masyarakat dan meminimalisasi risiko terjadinya cVDPV, (2) Switching dari vaksinasi OPV ke IPV (inactivated polio vaccine, injectable polio vaccine), dan (3) Setelah era pasca polio eradikasi dipilih vaksin yang tidak menyebabkan vaccine associated polio paralysis (VAPP).16 Badan Kesehatan Dunia15,16 telah memberikan panduan bahwa suatu negara dapat memberikan vaksinasi IPV apabila (1) telah mendapat sertifikat bebas polio, (2) cakupan vaksinasi polio >80%, (3) tidak ditemukan lagi virus polio liar selama 3 tahun, dan (4) surveilans acute flaccid paralysis (AFP) cukup tinggi (AFR rate >2). Jadwal vaksinasi IPV dapat dilakukan melalui 3 strategi12 yaitu full OPV schedule, mixed IPV and OPV schedules (sequential IPV dan OPV atau jadwal kombinasi IPV/OPV), dan full IPV schedule. Jadi apabila Indonesia telah mendapat sertifikasi bebas polio, melihat pada pengalaman Canada; dapat dimulai dengan strategi pemberian vaksinasi polio secara sequential, secara bertahap pada beberapa provinsi. Pada saat ini sedang dilakukan penelitian vaksinasi IPV di Yogyakarta, dengan tujuan menilai efektifitas vaksin di negara tropis dan untuk menurunkan kejadian kasus cVDVP. Kita sangat berharap hasil penelitian ini bermanfaat untuk panduan pemberian vaksinasi polio pasca eradikasi. 107
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen), Mei 2007
Menuju Eliminasi campak Campak merupakan salah satu penyebab kematian utama pada balita, apalagi bila disertai gizi buruk mempermudah terjadinya komplikasi seperti pneumonia, diare dan dehidrasi, kebutaan, dan ensefalitis. Secara global dilaporkan terjadi 777.000 kematian anak akibat penyakit campak pada tahun 2002, 202.000 diantaranya berasal dari negara ASEAN dan 15% dari kematian berasal dari Indonesia.17 Global commitment yang berisi kesepakatan setiap negara secara bertahap mereduksi dan mengeliminasi campak telah dicanangkan sejak tahun lalu. Vaksinasi campak di Indonesia telah berjalan dengan baik dengan memberikan imunisasi rutin pada bayi, program reduksi campak mengacu pada komitmen global saat ini harus ditambahkan dengan pemberian imunisasi kesempatan kedua (second opportunity) kepada setiap anak. Kesempatan kedua ini diberikan pada measles campaign, yang dilaksanak setiap 3-4 tahun untuk umur< 5 tahun. Campaigns campak dapat diintegrasikan dengan program kesehatan lain misalnya pemberian vitamin A, imunisasi polio masal, vaksinasi tetanus toksoid (TT), atau pemasangan bednets di daerah malaria. Imunisasi rutin harus mencapai > 90% target populasi, dengan menghitung nilai cakupan imunisasi desa. Selanjutnya pemberian imunisasi campak pada balita dan anak sekolah oleh karena kelompok ini merupakan kelompok rentan terhadap campak. Upaya peningkatan program dalam reduksi campak perlu diikuti dengan surveilans campak yang baik; berdasarkan pemantauan kasus yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium, perbaikan manajemen kasus campak dengan pemberian vitamin A, cairan, antipiretik, dan antibiotik apabila terjadi komplikasi.18,19 Imunisasi campak umur 9 bulan telah dilakukan di Indonesia sejak tahun 1984.18 Laporan cakupan cukup tinggi, namun ternyata tidak merata. Beberapa daerah masih merupakan daerah rawan kejadian luar biasa (KLB) campak karena masih ada daerah kantong dengan cakupan rendah. Dilaporkan dari survei di empat provinsi menunjukkan 18,6%-32,6% anak sekolah mempunyai kadar antibodi campak di bawah batas perlindungan. Maka dalam menterjemahkan komitmen global, Indonesia pula telah (1) melaksanakan kegiatan imunisasi rutin pada bayi yang diupayakan mencapai cakupan yang tinggi, (2) pemberian imunisasi campak dosis kedua melalui campaign untuk menghilangkan kelompok rentan dengan cara melaksanakan crash program campak untuk bayi umur 6 bulan sampai 59 bulan, school based 108
catch up campaign untuk menghilangkan kelompok rentan di usia sekolah; selanjutnya dosis kedua campak diberikan secara rutin untuk mencegah terbentuknya kembali kelompok rentan dengan memberikan imunisasi campak pada sekolah dasar kelas satu melalui program bulan imunisasi anak sekolah (BIAS) campak.18,19 Human Influenza versus Avian Influenza 20,21 Telah diketahui berbagai galur virus influenza yang dapat menyebabkan penyakit baik pada manusia mupun binatang. Perbedaan galur (strain) tersebut terletak pada protein permukaan virus, yaitu hemagglutinin atau protein HA (H) dan neuraminidase atau protein NA (N). Manusia dapat terinfeksi oleh virus influenza serotipe A, B, dan C; serotipe virus influenza A yang menyerang manusia hanya virus influenza A serotipe H1N1, H1N2, and H3N2. Dari ketiga tipe virus influenza, hanya virus influenza A saja yang dapat menyerang unggas. Burung liar secara alami merupakan pejamu untuk virus influenza A, oleh karena itu burung liar tidak akan sakit namun unggas domestik seperti ayam dan burung dapat mengalami sakit berat bahkan kematian akibat infeksi virus influenza A. Virus influenza A yang mengenai unggas berasal dari subtipe H5 dan H7. Subtipe H5 dan H7 dari virus avian influenza A dapat diklasifikasikan highly pathogenic avian influenza (HPAI) atau low pathogenic avian influenza (LPAI). Perbedaan ini berdasarkan pada gambaran genetik virus. Virus avian influenza HPAI pada umumnya menyebabkan 90% sampai 100% kematian unggas domestik di peternakan. Virus influenza cenderung mengalami perubahan sepanjang masa. Perubahan pertama disebut antigenic drift, merupakan perubahan “kecil” di dalam virus yang terjadi setiap saat. Antigenic drift akan menghasilkan virus galur baru yang tidak dikenali oleh antibodi yang dibentuk oleh galur virus yang telah ada. Mekanismenya sebagai berikut, seseorang yang terkena infeksi influenza subtipe tertentu akan mempunyai antibodi terhadap subtipe virus tersebut. Apabila subtipe virus baru timbul, antibodi terhadap virus subtipe lama tidak akan dikenali oleh virus baru sehingga terjadi infeksi virus baru. Maka dalam pembuatan vaksin influenza, satu atau dua dari tiga subtipe virus influenza harus selalu diperbaharui sesuai dengan jenis virus yang berada dalam sirkulasi; dan vaksinasi influenza harus diberikan setiap tahun.22,23
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen), Mei 2007
Perubahan kedua disebut antigenic shift, dapat terjadi mendadak, dan merupakan perubahan “besar” dari virus influenza A. Perubahan terjadi pada protein hemaglutinin atau kombinasi hemagglutinin dan protein neuraminidase, mengakibatkan munculnya virus influenza A subtipe baru. Apabila virus influenza subtipe baru berada di masyarakat, hanya sedikit atau tidak ada orang yang kebal terhadap virus baru tersebut. Maka virus dengan mudah akan menular dari manusia ke manusia dengan akibat terjadi penyebaran ke seluruh dunia sehingga terjadilah pandemi. Jadi virus pandemi timbul sebagai akibat proses antigenic shift dan timbulnya subtipe baru virus influenza merupakan langkah pertama menuju terjadinya pandemi.22,23 Pandemi influenza Pandemi influenza adalah wabah influenza yang menyerang seluruh dunia yang disebabkan oleh munculnya galur virus influenza A baru, akan menimbulkan penyakit influenza yang serius. Pandemi influenza yang akan terjadi, berbeda dengan seasonal outbreaks atau epidemi influenza musiman yang disebabkan oleh virus influenza yang telah berada di masyarakat. Pada pandemi influenza yang terdahulu telah menyebabkan penyakit influenza berat, kematian, kegiatan sosial terputus, dan kerugian di sektor ekonomi.24 Untuk mengetahui jenis subtipe virus influenza yang beredar dimasyarakat, Centers for Disease Control & Prevention25 dan WHO26 menyelenggarakan program survailans untuk memonitor dan mendeteksi aktifitas virus influenza di seluruh dunia, termasuk galur virus influenza yang mungkin akan menyebabkan pandemi. Selama abad ke-20, timbulnya galur baru virus influenza A telah menyebabkan tiga pandemi, ketiga pandemi menyebar ke seluruh dunia dalam waktu satu tahun.21,23 • Tahun 1918-1919, “Spanish flu,” [A (H1N1)], menyebabkan angka kematian yang sangat tinggi; lebih dari 500,000 orang meninggal di Amerika Serikat, dan hampir 50 juta orang meninggal di seluruh dunia. Kebanyakan pasien meninggal dalam beberapa hari dan lainnya setelah mengalami komplikasi. Hampir separuh kematian terjadi pada anak dan dewasa muda. Virus influenza A (H1N1) tersebut sampai sekarang tetap bersirkulasi sampai sekarang dan terdeteksi lagi pada tahun 1970-an.
•
Tahun 1957-1958, “Asian flu,” [A (H2N2)], menyebabkan 70,000 kematian di Amerika Serikat. Pertama kali diidentifikasi di Cina akhir Februari 1957, kemudian menyebar ke seluruh dunia. • Tahun 1968-1969, “ Hong Kong flu,” [A (H3N2)], menyebabkan sekitar 34,000 kematian di AS. Virus ini dideteksi pertama kali di Hong Kong di awal tahun 1968. Virus influenza A (H3N2) tetap bersirkulasi sampai sekarang. Kedua pandemi tahun 1957-1958 dan 1968-1969 disebabkan oleh virus yang berisi kombinasi antara gen dari virus human influenza dan virus avian influenza. Sedangkan penyebab pandemi virus influenza tahun 1918-1919 tidak diketahui dengan jelas. Oleh karena itu, pandemi influenza tidak terlepas dari penularan virus avian influenza dari unggas ke manusia yang terjadi saat ini di Asia termasuk Indonesia.22,27 Global Influenza Preparedness Plan22,23 World Health Organization telah membuat global influenza preparedness plan dalam menghadapi kemungkinan hadirnya pandemi yang tidak diketahui kapan terjadi. Perencanaan dalam menghadapi pandemi influenza dibagi dalam 6 fase yaitu periode interpandemi terdiri dari fase 1 dan fase 2, periode kewaspadaan interpandemi terdiri dari fase 3, 4, dan 5; dan periode pandemi terdiri dari fase 6. Periode Interpandemi (interpandemic period), terdiri dari fase 1 dan 2 • Fase1. Dalam fase 1 tidak ada galur virus influenza baru terdeteksi di dalam tubuh manusia. Subtipe virus influenza yang menyebabkan infeksi pada manusia kemungkinan terdapat juga pada hewan. Risiko infeksi pada manusia diperkirakan masih rendah. • Fase 2. Dalam fase 2 tidak ada subtipe virus influenza baru yg terdeteksi di dalam tubuh manusia. Namun, galur virus avian influenza yang bersirkulasi berisiko menular pada manusia. Dasar perbedaan antara fase 1 dan fase 2 terletak pada risiko terjadinya infeksi pada manusia atau penyakit terjadi sebagai akibat galur yang bersirkulasi di antara hewan. Perbedaan juga berdasarkan pada berbagai faktor dan tergantung dari kemajuan ilmu pengetahuan. Beberapa faktor termasuk patogenisitas virus terhadap binatang dan 109
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen), Mei 2007
manusia, terjadi pada binatang domestik atau binatang liar, apakah virus bersifat enzootic atau epizootic, secara geografis tersebar luas atau terlokalisasi, dan/atau adanya parameter keilmuan lainnya. Periode Kewaspadaan Interpandemi (interpandemic awarness period), terdiri dari fase 3,4, dan 5 • Fase 3. Pada fase 3, telah terjadi infeksi influenza pada manusia dengan galur baru, namun belum ada penyebaran dari manusia ke manusia atau jarang ditemukan penyebaran akibat kontak jarak dekat. • Fase 4. Cluster kecil ditemukan pada fase 4 dengan penyebaran dari manusia ke manusia secara terbatas, tetapi penyebaran terlokalisasi, berarti virus belum beradaptasi terhadap manusia. • Fase 5. Pada fase 5 telah ditemukan cluster yg lebih luas tetapi penyebaran dari manusia ke manusia masih terbatas, menandakan virus beradaptasi pada manusia semakin baik; namun kemungkinan virus belum dapat bertransmisi secara sempurna (mempunyai risiko menyebabkan pandemi). Perbedaan antara fase 3, fase 4, dan fase 5 berdasarkan pada assessment of the risk terjadinya pandemi. Berbagai faktor dan hal penting yang berhubungan menurut pengetahuan mutakhir. Faktor tersebut termasuk kecepatan transmisi, geografis tersebar luas atau terlokalisasi, derajat penyakit, ditemukannya gen dari galur manusia (apabila berasal dari derivat galur binatang), dan/ atau parameter keilmuan lainnya. Periode Pandemi (pandemic period) Fase 6 merupakan fase pandemi, dalam fase ini telah terjadi peningkatan transmisi virus yang berlangsung secara luas dan terus-menerus di dalam populasi.Pada saat ini Infonesia berada pada fase 3 karena telah terdapat infeksi avian influenza pada manusia, namun belum ada penularan darimanusia ke manusia.28 Antiviral untuk Pencegahan dan Pengobatan Pandemik Influenza Terdapat empat obat antiviral untuk influenza yang berbeda (amantadine, rimantadine, oseltamivir, dan zanamivir) yang telah disetujui oleh U.S. Food and Drug Administration (US FDA) baik untuk mengobati maupun untuk mencegah influenza. Semua obat 110
tersebut bekerja untuk melawan virus influenza A. Meskipun demikian, timbul masalah yang juga meresahkan para klinisi bahwa kadang-kadang galur virus influenza telah resisten terhadap satu atau lebih dari beberapa antiviral tersebut. Sebagai contoh, virus influenza A (H5N1) yang ditemukan pada pasien dari Asia tahun 2004 and 2005 telah ressiten terhadap amantadine dan rimantadine. Oleh karena itu monitor terhadap resistensi virus avian terhadap antiviral harus dilakukan terus menerus.26 Persiapan untuk Pandemi Mendatang 21,23,24 Para pakar percaya bahwa pandemi influenza akan segera datang. Beratnya pandemi tidak dapat diduga sebelumnya, namun menurut model yang dibuat pandemi mendatang akan cukup berat. Apabila tidak dilakukan upaya persiapan (vaksinasi dan obat), untuk pencegahan pandemik influenza mendatang estimasi biaya yang harus disiapkan sangat besar. Untuk Amerika Serikat dengan derajat pandemi derajat “medium” maka diperkirakan pandemik akan menyebabkan 89.000 – 207.000 kematian, sekitar 314.000 -734,000 pasien memerlukan perawatan, 18 - 42 juta sebagai pasien rawat jalan, dan 20 - 47 juta orang lainnya sakit. Antara 15%-35% masyarakat Amerika diramalkan akan terkena dampak pandemik influenza ini dan menyebabkan dampak kerugian ekonomi antara US$71.3-166.5 milyar. Pandemi influenza berbeda dengan ancaman masalah kesehatan masyarakat lain, oleh karena itu dalam menghadapinya diperlukan perencanaan dalam sistem kesehatan masyarakat dan pemeliharaan kesehatan. Oleh karena pandemi akan terjadi dalam kurun waktu lebih panjang dari kejadian luar biasa pada umumnya, dan memberikan “gelombang KLB” dengan jarak beberapa bulan dari timbulnya KLB gelombang pertama (pada pandemi abad ke-20 aktifitas influenza gelombang kedua terjadi 3-12 bulan setelah gelombang pertama). Kedua, jumlah petugas kesehatan akan berkurang dalam menghadapi lonjakan pasien, di lain pihak kemungkinan petugas kesehatan tersebut juga sakit akibat tertular influenza. Hal ini akan segera menyebar ke daerah lain, oleh karena penyebaran virus influenza ini sangat cepat. Dalam menghadapi wabah avian influenza (AI), WHO telah menyebarluaskan strategi yang dibagi dalam fase pre-pandemik, fase kedaruratan dari virus pandemik, pandemic declared, dan penyebaran secara internasional.28
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen), Mei 2007
1. Fase pre-pandemik. Pada fase pre-pandemik diupayakan untuk, a. mengurangi kesempatan penularan pada manusia b. memperkuat sistem kewaspadaan dini (early warning system). 2. Fase kedaruratan virus pandemik. Selama fase kedaruratan diakibatkan virus pandemik bersirkulasi di alam bebas, maka strategi yang terpenting adalah mengurangi/ memperlambat penyebaran penularan virus pandemik tersebut. 3. Fase pernyataan pandemik & penyebaran internasional. Sebagai institusi yang berwenang WHO akan memberikan pernyataan telah terjadi pandemik, maka upaya yang harus dilakukan adalah mengurangi morbiditas, mortalitas, dan social disruption. Langkah-langkah tersebut sesuai dengan hasil paduan yang dibuat berdasarkan penelitian dan surveilans. Strategi Nasional Penanggulangan Avian Flu dan Kesiapsiagaan menghadapi Pandemi Influenza29 Indonesia melalui Direktorat Bina Pelayanan Medik Dasar Depkes RI telah membuat strategi nasional menghadapi pandemi influenza berdasarkan panduan WHO global influenza preparedness plan dengan target dan strategi sebagai berikut. • Mempertahankan daerah bebas avian influenza dan membebaskan wilayah tertular serta mencegah penularan ke ternak lain. • Memperkuat surveilans termasuk peringatan dini secara terpadu berbasis komunitas di setiap desa, sur veilans berbasis laboratorium dengan mengembangkan satu laboratorium referensi nasional dan 8 atau 10 laboratorium regional di seluruh Indonesia. • Memperkuat dan mengembangkan kapasitas dari 44 menjadi 100 rumah sakit rujukan. • Menyiapkan penyediaan tenaga terlatih dalam pengendalian pandemi influenza melalui infection control training bagi petugas pelayanan kesehatan. • Mengembangkan kapasitas penyediaan (stockpilling) atau pembuatan obat anti virus dan vaksin. • Melakukan kampanye nasional pencegahan dan pengendalian flu burung serta kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi pandemi influenza untuk menghindari terjadinya kapanikan.
Vaksin untuk Mencegah Pandemik Virus Influenza Pada awal periode pandemi kemungkinan vaksin belum dapat diperoleh. Pada saat ini para pakar internasional secara bersama-sama dengan WHO menentukan galur vaksin influenza A yang akan beredar pada saat pandemi, dan kemudian diserahkan kepada produsen vaksin untuk membuat vaksin yang sesuai. Pada saat galur virus influenza yang potensial menyebabkan pandemi telah teridentifikasi, masih memerlukan waktu beberapa bulan sebelum vaksin tersebut dapat dipergunakan secara luas. Untuk memenuhi hal tersebut, diperlukan pemeriksaan spesimen pasien avian flu dari negara endemis secara berkala di laboratorium the WHO Collaborating Centre for Reference and Research on Influenza yang berada di Amerika Serikat, Australia, Inggris, Jepang, dan Hong Kong. Apabila awal pandemi terjadi, WHO akan membuat pedoman bagaimana peraturan penggunaan vaksin.21,22
HIV/AIDS: Prevention of Maternal to Child Transmission (PMTCT) Infeksi HIV pada bayi 90% disebabkan penularan dari ibu sedangkan 10% karena transfusi darah. Di lain pihak, secara teoritis penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 25%-45%.30 Kejadian HIV pada bayi dan anak akan mengganggu tumbuh kembang anak di kemudian hari, rentan terhadap penyakit, peningkatan mortalitas, stigma sosial, menjadi yatim piatu lebih dini akibat orang tua meninggal karena AIDS, dan permasalahan ketaatan minum obat seumur hidup. 31 Untuk mengurangi penularan HIV dari ibu ke bayinya, dilaksanakan program PMTCT (prevention of maternal to child transmission atau program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi) yang bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi dan mengurangi dampak epidemi HIV terhadap ibu dan bayi.30 Dari pelaksanan program PMTCT, dalam 5 tahun mendatang diharapkan dapat menurunkan 25% prevalensi HIV pada ibu hamil dan menurunkan presentase bayi yang terinfeksi HIV dari ibu HIV positif menjadi 10%. Program PMTCT pada pelaksanaannya diintegrasikan dengan program dalam pelayanan KIA, untuk efisiensi pembiayaan, efektifitas kegiatan, dan menjaga kesinambungan pelayanan.32 111
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen), Mei 2007
Mengapa pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi menjadi prioritas? Departemen Kesehatan melaporkan selama sepuluh tahun terakhir dari tahun 1996-2006, tercatat 5.230 kasus HIV dan 8.194 kasus AIDS. 32 Namun kemungkinan data sebenarnya lebih tinggi, karena tidak semua kasus HIV/AIDS tercatat dengan baik sehingga merupakan “fenomena gunung es”. Pada awalnya, insidens HIV di Indonesia tergolong rendah (kurang dari 0,1%), 33 namun sejak tahun 2000 Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan tingkat epidemi terkonsentrasi karena terdapat kantung-kantung dengan prevalensi HIV lebih dari 5%. Sebagai contoh DKI Jakarta mempunyai insidens HIV/AIDS meningkat dari 15% menjadi 48% pada tahun 1999 dan 2002 yang disebabkan karena peningkatan pengguna narkoba suntikan. Walaupun prevalensi HIV pada perempuan di Indonesia hanya 16%, tetapi karena mayoritas (92,54%) Odha (orang dapat hidup dengan AIDS) berusia reproduksi aktif (15-49 tahun), maka diperkirakan jumlah kehamilan dengan HIV positif akan meningkat.32,34 Prevalensi HIV pada perempuan di Indonesia sekitar 16%, tetapi karena mayoritas (92,54%) Odha (orang dapat hidup dengan AIDS) berusia reproduksi aktif (1549 tahun), maka diperkirakan jumlah kehamilan dengan HIV positif akan meningkat. Menurut estimasi Depkes di Indonesia apabila setiap tahun terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif melahirkan bayi, berarti diperkirakan akan lahir sekitar 3.000 bayi dengan HIV positif setiap tahun; apabila tidak ada intervensi.
Strategi nasional penanggulangan AIDS Departemen Kesehatan mengacu pada pedoman WHO telah menyusun strategi nasional penanggulangan HIVAIDS tahun 2003-200732,33dengan memprioritaskan pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Justifikasi dalam strategi nasional penanggulangan AIDS berpangkal pada dampak buruk penularan HIV dari ibu ke bayi apabila tidak dicegah. Secara garis besar, strategi nasional penanggulangan HIV-AIDS sebagai berikut.35 • Kejadian HIV pada calon ibu harus terdeteksi secara dini, 112
•
•
•
Kejadian HIV pada calon ibu harus terkendali, berarti calon ibu melakukan perilaku hidup sehat, mendapatkan antiretroviral (ARV) profilaksis secara teratur, melakukan antenatal care secara teratur, petugas kesehatan menerapkan pencegahan infeksi sesuai kewaspadaan standar. Pemberian obat ARV yang ada sampai saat ini baru berfungsi menghambat multiplikasi virus, belum menghilangkan secara total keberadaan virus dalam tubuh Odha. Walaupun demikian, ARV merupakan pilihan utama dalam upaya pengendalian penyakit guna menurunkan kadar virus sehingga mengurangi risiko penularan.35 Pedoman Nasional Pengobatan ARV di Indonesia, yang merupakan adaptasi dari rekomendasi WHO 2004. Pemberian ARV profilaksis sebaiknya dimulai pada trimester I, dilanjutkan sampai 1 minggu pasca persalinan. Setelah satu minggu pasca persalinan ibu dianjurkan untuk memeriksakan kadar CD4, untuk kemudian mengikuti protokol ARV selanjutnya. Pemilihan rute persalinan yang aman (seksio sesaria), beberapa hasil penelitian me- nyimpulkan bahwa seksio sesarea akan mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50%-66%. Pemberian susu formula yang memenuhi persyaratan31,32,35,36,37 Pemberian makanan bayi telah diteliti adanya penularan melalui ASI pada infeksi CMV, HIV1 dan HTLV-I. Virus HIV teridentifikasi ada dalam kolostrum dan ASI, menyebabkan infeksi kronis yang serius pada bayi dan anak. Oleh karenanya ibu hamil yang menderita infeksi HIV perlu mendapat konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menggunakan susu formula ataupun ASI eksklusif. Untuk mengurangi risiko penularan, ibu HIV positif dapat memberikan susu formula kepada bayinya dengan memenuhi lima persyaratan AFASS dari WHO yaitu acceptable (dapat diterima oleh sosial budaya setempat), feasible (mudah dilakukan), affordable (harga terjangkau), sustainable (selalu tersedia/ tidak boleh putus/ berkesinambungan), safe (aman penggunaannya/ kebersihan terjamin). Apabila pemberian susu formula tidak memenuhi persyaratan AFASS maka ibu HIV positif dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif hingga maksimal 3 bulan, atau lebih pendek jika susu formula memenuhi persyaratan AFASS. Setelah usai pemberian ASI eksklusif, bayi hanya diberikan susu formula dan menghentikan pemberian ASI. Sangat tidak dianjurkan pemberian
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen), Mei 2007
• •
makanan campuran (mixed feeding), yaitu ASI bersamaan dengan susu formula/ PASI lainnya. Oleh karena mukosa usus bayi pasca pemberian susu formula/PASI akan mengalami proses inflamasi, maka apabila mukosa yang inflamasi tersebut diberikan ASI yang mengandung HIV akan memberikan kesempatan untuk transmisi melalui mukosa usus. Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat permasalahan pada payudara (misalnya mastitis, abses, lecet/luka puting susu); oleh karenanya diperlukan konseling kepada ibu tentang cara menyusui yang baik. Pemantauan ketat tumbuh-kembang bayi yang dilahirkan, dan Adanya dukungan yang tulus serta perhatian yang berkesinambungan kepada ibu, bayi, dan keluarganya.
6. 7. 8.
9.
10.
11.
Kesimpulan 12.
Globalisasi pada bidang kesehatan anak telah membawa dampak positif terhadap penurunan mortalitas dan morbiditas beberapa penyakit infeksi. Upaya kuratif telah beralih ke upaya preventif dengan pendekatan terpadu. Penyakit infeksi yang tergolong “lama” seperti poliomyelitis dan campak sudah seharusnya segera tereliminasi; sedangkan penyakit infeksi “baru”seperti avian flu dan isu pandemi influenza serta HIV/AIDS pada bayi harus menjadi perhatian yang serius di kalangan dokter anak.
13.
14.
15.
Daftar Pustaka 1.
2. 3. 4. 5.
World Health Organization. Global programme for vaccines and immunization. Expanded programme on immunization. Global poliomyelitis eradication by the year 2000, plan of action. WHO, Geneva 1996. Survei Kesehatan Rumah Tangga 1992 & 1995. Badan Penelitian & Pengembangan Depkes RI 1997 Survei Kesehatan Nasional 2001. Badan Penelitian & Pengembangan Depkes RI 2003. MMWR. Burden of infectious diseases. CDC-MMWR 12 May 2006. World Health Organization. Global polio eradication initiative: potential policy options for polio immunization in the post-eradication implications for polio vac-
16.
17.
18.
19.
cine demand. WHO, Geneva 2005. Diakses dari hhtp:/ /www.who.int/vaccine-access/quality/vmc/opvipvmting/ Policyoptions.pdf. André Meheus. Global immunization vision and strategy (GIVS). Bull WHO 2006; 78:35-40. Departemen Kesehatan RI. Buku rujukan eradikasi polio di Indonesia. Kerjasama Depkes RI dan WHO 2002. World Health Organization. Framework for national policy makers in OPV-using countries. Cessation of routine oral poilo vaccine (OPV) use after global polio eradication. World Health Organization, Geneva 2005. American Academy of Pediatrics. Report committee on infectious diseases. Poliovirus infection. Pickering JK, Baker CJ, Long SS, McMilan JA. American Academy of Pediatrics: Elk Grove Village 2006. h. 542-7. John TJ. A developing country perspective on vaccineassociated paralytic poliomyelitis. Bull WHO 2004; 82:53-8. Kelompok kerja ahli surveilans AFP Nasional. KLB polio di Indonesia. Pertemuan persiapan PIN. Bandung 1-2 Februari 2006. World Health Organization. Weekly epidemiological record. Inactivated poliovirus vaccine following oral poliovirus vaccine cessation 2006;81:137-44. Diakses dari http://www.who.int/wer Plotkin SA, Vidor E. Inactivated polio vaccines. Vaccine, Plotkin SA, Orenstein WA penyunting. Edisi keempat. Philadelphia, Tokyo: WB Saunders 2004.h.625-49.. Moriniere BJ, van Loon FPL, Rhodes PH, Klein-Zabban ML, Frank-Senat B, Herrington JE, dkk. Live attenuated poliovirus vaccines. Immunogenicity of a supplemental dose of oral versus inactivated poliovirus vaccine. Lancet 2003;341:1545-50. Caceres VM, Sutter RW. Sabin monovalent oral polio vaccines: review of past experiences and their potential use after polio eradication. CID 2001; 33:3-13. Global Aliance Vaccine Institute (GAVI). Polio eradication strategic plan 2004-2008 ‘Finishing the job and protecting our investment’. The 12th GAVI board meeting, Geneva 9-10 Desember 2003. Hersh BS. Global measles update. EPI WHO Geneva. Dipresentasikan pada Pertemuan Measles Campaign. Jakarta 6 Maret 2005. Kandun N. Kampanye campak (measles campaign) di Indonesia. Dipresentasikan pada Pertemuan Komnas PP KIPI, Jakarta 10 Februari 2007. Supardi J. Strategy for measles reduction in Indonesia. Subdit Imunisasi Ditjen P2M & Pl Departemen Kesehatan RI 2006.
113
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen), Mei 2007
20. Revill JO. Everything you need to know about bird flu & you can do to prepare for it. Rodale International, London 2005. 21. World Health Organization. Pandemic influenza. Diakses dari http://whqlibdoc.who.int/hq/ 2005/ who_CDS_CSR_ GIP_2005.5.pdf 22. World Health Organization. Communicable Disease Surveillance and Response global Influenza Programme. Recommended strategic actions: responding to avian influenza pandemic threat. WHO/CDS/CSR/GIP/ 2005.8. WHO Geneva, 2005. 23. World Health Organization Department of Communicable Disease Surveillance and Response Global Influenza Programme. WHO global influenza preparedness plan. The role of WHO and recommendation for national measures before and during pandemics. WHO, Geneva 2005. 24. The U.S. Department of Health and Human Services (HHS). Draft plan or to obtain more information about pandemic influenza 2006. Diakses dari http:// www.dhhs.gov/nvpo/pandemics/. 25. Harper SA, Fukuda K, Uyeki TU, Cox NJ, Bridges CB. Prevention and control of influenza. CDC-MMWR Recommendations & Reports 2005: 54 (RR08);1-40. 26. World Health Organization. Global influenza program surveilance network. Emerg Infect Dis 2005; 11: 1512-4. 27. Asia Pacific Advisory Committee on Influenza (APACI). APACI consensus statement on influenza pandemic preparedness. Influenza Asian Focus 2006; 2:4-9. 28. World Health Organization. Diakses dari http//www. who.int.WHO Current phase of pandemic alert.htm
114
29. Direktorat Bina Pelayanan Medik Dasar. Rencana strategi nasional penanggulangan flu burung dan kesiapsiagaan pandemi influenza. Disampaikan pada Workshop Penyususnan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit. Jakarta 8-10 Mei 2006. 30. World Health Organization Regional Office for SouthEast. Management of HIV infection in infants and children. A clinical manual. WHO Technical Publication No 51. WHO library support, UNICEF Regional Office for South-East, Nepal Kathmandu, 2006. 31. Prevention HIV infection from mother to child. Diakses dari http://www.womenchildrenhiv.org 32. Ilhamy M. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi (prevention mother to child transmission, PMTCT). Ditjen Bina Kesahatan Masyarakat, Departemen Kesehatan. Dipresentasi kan pada Simposium Plasmid Avian Flu & Pertemuan Ilmiah HIV/ AIDS 2006. Jakarta, 19 Desember 2006. 33. World Health Organization. Global AIDS epidemic continues to grow. http//www.who.int/WHO Global AIDS epidemic continues to grow.htm 34. Sri Hermiyanti. Kebijakan nasional pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi (PMTCT). Pertemuan Nasional HIV-AIDS ke-3. Surabaya 6 Februari 2007. 35. Departemen Kesehatan RI. Ditjen Binkesmas. Pedoman nasional pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, 2005. 36. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman terapi antiretroviral pada infeksi HIV pada bayi dan anak di Indonesia. Satgas HIV-Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta 2006. 37. Lawrence RM, Lawrence RA. Breast milk and infection. Clin Perinatol 2004; 31:501-28.