BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Permasalahan " Dan, di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan istri-istrimu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya (sakinah) dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikif (Q.S Ar-ruum, 21) Manusia diciptakan oleh Allah secara berpasang-pasangan agar mereka saling mengenal satu sama lain dan melahirkan keturunan-keturunan yang kelak akan menjadi rahmatan lil alamin. Manusia sejak dilahirkan dan menjalani tahap-tahap penting dalam kehidupan selalu mempunyai tugas-tugas perkembangan. Hal ini sesuai dengan interaksi manusia tersebut dalam lingkungan sosialnya. Merujuk pada tugas-tugas masa perkembangan dewasa awal yang dipusatkan pada harapan-harapan masyarakat yang mencakup mendapatkan pekerjaan, memilih seorang teman hidup, belajar hidup bersama dengan suami atau istri membentuk suatu keluarga, memberikan anak-anak, mengelola sebuah rumah tangga, menerima sebuah tanggung jawab sebagai warga negara dan bergabung dalam suatu kelompok sosial yang cocok (Hurlock, 1980), maka perkawinan untuk mereka yang telah menginjak masa dewasa dini adalah sebagai salah satu pemenuhan tugas perkembangan pada saat tersebut. Sebagian
orang
akan
melakukan
perkawinan,
karena
perkawinan
mempunyai arti yang sangat penting bagi manusia. Perkawinan merupakan suatu kesempatan yang luhur untuk mengembangkan dan melaksanakan cinta antara dua jenis kelamin yang berbeda, serta di dalamnya terdapat sikap saling memberi dan menerima antara pria dan wanita sebagai pasangan suami istri. l
Zimbardo & Gerrig (dalam Adhim, 2002)
mengemukakan
bahwa
perkawinan juga berpengaruh secara positif terhadap dua aspek, yakni perasaan tentang diri (sense of self) serta kesejahteraan jiwa (wellness). Yang disebut terakhir ini merujuk pada kondisi kesehatan yang optimal sehingga membentuk kemampuan untuk memfungsikan diri secara penuh dan aktif melampaui ranah fisik, intelektual, emosional, spiritual, sosial, dan lingkungan dari kesehatan individu. Salah satu teori yang terkenal dari Abraham H. Maslow adalah teori hierarki kebutuhan manusia (The Hierarchy Of Needs). Secara sederhana, teori ini mengatakan bahwa untuk mencapai kebutuhan puncak, manusia perlu terlebih dahulu memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada di bawahnya, sekalipun dimungkinkan terjadinya lompatan dalam memenuhi kebutuhan sehingga seseorang memenuhi kebutuhan di atasnya terlebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhan yang ada pada tingkat di bawahnya, tetapi tidak terpenuhinya berbagai kebutuhan dasar cenderung menyulitkan terpenuhi nya kebutuhan puncak (As'ad, 1981). Terhambatnya pemenuhan kebutuhan dasar dapat menjadi penghalang psikis
untuk
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
berikutnya
(Adhim,
2002).
Kebutuhan dasar adalah kebutuhan fisiologis sering juga disebut sebagi kebutuhan biologis. Termasuk kebutuhan fisiologis adalah makan, minum, istirahat dan juga hubungan seks. Yang terakhir ini adakalanya merupakan kebutuhan fisiologis murni, tetapi dapat juga meningkat ke taraf
kebutuhan
psikologis. Ketika seks merupakan kebutuhan fisiologis, pemenuhannya bersifat mendesak, tidak bisa ditunda-tunda. Dalam keadaan ini menikah memungkinkan
orang untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya secara lebih baik sehingga ia dapat berusaha memenuhi kebutuhan diatasnya dengan lebih baik. Setingkat di atas kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan akan rasa aman (Security Needs). Salah satu hal yang dapat mengurangi rasa aman secara psikis dan sosial adalah tidak adanya status yang jelas, juga tidak adanya kepastian tentang siapa pendamping hidup. Pada saat individu merasakan pentingnya kejelasan status, menikah memberi rasa aman kepadanya secara psikis maupun secara sosial. Adanya rasa aman ini dapat mengurangi beban psikis yang tidak perlu. Dalam hal ini berkurangnya beban psikis bukan karena proses interaksi yang terbentuk dalam lembaga pernikahan, melainkan oleh adanya ikatan pernikahan itu sendiri. Pernikahan seakan-akan memenuhi sebuah ruang kosong di dalam jiwa. Di atas kebutuhan akan rasa aman, ada belongingness and love needs atau kebutuhan terhadap rasa memiliki dan cinta. Secara sederhana, kebutuhan untuk memiliki dan mencintai diterjemahkan sebagai kebutuhan untuk bersatu dengan orang lain, diterima dan memiliki seseorang yang khusus sifatnya. Apabila kebutuhan untuk memiliki dan mencintai telah terpenuhi, individu akan merasakan kebutuhan berikutnya, yakni kebutuhan akan harga diri (Esteem Needs) dilanjutkan dengan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri (Self Actualization Needs). Islam sebagai agama universal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Kebutuhan
manusia
untuk
pencapaian
maksimal
sangat
diperhatikan. Dengan mempertimbangkan semua aspek kehidupan manusia, maka terciptalah sebuah lembaga pernikahan, tempat di mana sepasang manusia berlainan jenis dapat melegalkan hubungan mereka dalam pernikahan
sebagai suami istri dengan seperangkat tugas, kewajiban dan haknya sendirisendiri yang dipertanggungjawabkan kelak di hari kemudian perkawinan dalam islam dikenal dengan istilah Mitsaqon Gholidzo yang berarti perjanjian yang agung (Adhim, 1997). Bernard & Huckins (1997) mengemukakan bahwa manusia memasuki pernikahan
karena
mengharapkan
untuk
mencintai
dan
dicintai,
untuk
mendapatkan semua kebutuhannya, biologis dan fisiologis, untuk mendapatkan kebahagiaan dan mendapat kepuasaan, rasa aman dan dihargai. Menurut Peck (dalam Winahyu, 2001), masuknya seseorang dalam lembaga perkawinan dan membentuk keluarga, karena keluarga mempunyai fungsi : (a) Menyediakan suatu konteks hubungan seksual, reproduksi, dan pendidikan anak-anak. (b) Menyediakan status sosial dan hubungan ekonomi. (c) Menyediakan suasana dan tempat yang hangat bagi anggota keluarga. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa idealnya perkawinan dilaksanakan oleh dua orang berlainan jenis untuk mendapatkan pemenuhan atas kebutuhan-kebutuhan psikologis, kebutuhan seksual, dan
kebutuhan
material. Kebutuhan dari sisi psikologis adalah cinta, rasa aman, pengakuan dan persahabatan. Lebih dari itu perkawinan juga merupakan pemenuhan tugas perkembangan yang menjadi tuntutan atau harapan sosio kultural di mana individu berada. jlaraf terpenuhinya kebutuhan, keinginan dan harapan suami istri dalam perkawinan oleh Bahr (dalam Suwantoro, 1997) disebut sebagai kepuasan
perkawinan.
Kepuasan
perkawinan
menurut
Snyder
(dalam
Suwantoro, 1997) meliputi hal-hal sebagai berikut : (1) kesesuaian penilaian terhadap perkawinan yang dijalani dengan kriteria yang diidealkan oleh masyarakat; (2) kepuasan terhadap perkawinan secara umum; (3) ungkapan
kasih sayang dan pengertian yang diberikan oleh pasangan; (4) kerjasama untuk memecahkan perselisihan;
masalah (5)
dan
kesediaan
kemampuan dalam
mencari
menggunakan
penyelesaian waktu
bersama;
pada (6)
kesepakatan dalam mengatur keuangan rumah tangga; (7) aktivitas seksual bersama; (8) persamaan orientasi peran yang dipakai sebagai orang tua yaitu antara konvensional atau modern; (9)
kebahagiaan yang dialami di keluarga
pada masa kecil; (10) kepuasan terhadap anak-anak hasil perkawinan; (11) konflik antar pasangan yang berhubungan dengan cara mendidik anak. Pada kenyataannya tidak semua pasangan suami istri dapat merasakan kehidupan harmonis seperti yang di harapkan pada awal pernikahan. Melalui pengamatan pada beberapa media massa dapat diketahui banyaknya masalahmasalah perkawinan yang diwarnai oleh ketidakharmonisan hubungan dengan pasangannya. Bukti ketidakharmonisan ini dapat dilihat dari semakin maraknya kegiatan konseling keluarga. Bukti lain yang menunjukkan hal ini adalah dibukanya rubrik konseling keluarga di banyak majalah yang lebih memfokuskan pada relasi antara suami istri dan ternyata banyak peminatnya. Data terakhir dari Badan Pusat statisitik mengenai angka perceraian di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri dilaporkan pada tahun 1998 terdapat 930 kasus perceraian dari 25.717 pernikahan dan pada tahun 1999 terdapat 769 kasus perceraian dari 26. 953 pernikahan. Tahun 2000 tercatat 953 kasus perceraian dari 26.325 pernikahan dan terakhir pada tahun 2001 terdapat 975 kasus perceraian dari 27.102 pernikahan. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan perkawinan memang tidak terlepas dari berbagai permasalahan.
Fenomena selingkuh yang mulai merebak akhir-
akhir ini dan sangat mempengaruhi keseimbangan hidup pasangan suami istri,
diduga sebagai salah satu faktor pemicu konflik rumah tarigga dan dapat ditimbulkan dari adanya ketidakpuasan dalam rumah tangga. Fenomena perselingkuhan sebenarnya bukan hal baru dalam wacana kehidupan perkawinan sekarang ini. Kasus-kasus perceraian akhir-akhir ini banyak disebabkan oleh perselingkuhan. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa perselingkuhan kebanyakan dilakukan oleh kaum pria. Pria sebagai kepala rumah tangga yang berkewajiban memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, memiliki keesempatan untuk menghabiskan 30 % waktunya di luar rumah.
Kemampuan finansial,
maraknya fasilitas hiburan, faktor fantasi,
lemahnya penghayatan agama dan lemahnya kontrol masyarakat (Daniel, 2003) menjadi faktor pemicu terjadinya perselingkuhan. Hawari (2002) menyatakan 90 % perselingkuhan dilakukan oleh kaum pria sementara wanita hanya 10 % saja. Bukti lain yang mengungkapkan penemuannya antara lain sebuah majalah pria pernah membuat angket untuk wilayah jakarta. Hasilnya, diduga dua dari tiga pria di jakarta pernah melakukan penyelewengan atau hubungan seksual di luar nikah. Di Amerika Serikat lebih dahsyat lagi, 75 % para suami terlibat perselingkuhan, sementara perselingkuhan oleh para istri 40 %, akibatnya 60 % keluarga mengalami broken home; dan lima perkawinan dalam lima tahun pertama, tiga diantaranya berakhir dengan perceraian (Al-ghifari, 2003). Hal
ini
mengindikasikan
adanya
ketidakpuasan
perkawinan
yang
didapatkan oleh pasangan suami istri dalam kehidupan berumah tangga, ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan dengan apa yang diperoleh dalam perkawinan seperti yang telah dikemukakan oleh Snyder, sehingga salah satu pasangan mencari kepuasan tersebut dengan menjalin hubungan affair dengan orang ketiga. Sebuah contoh diberikan oleh Al-ghifari antara lain hubungan yang
kurang harmonis dengan istri menjadi alasan paling sering yang diungkapkan oleh para pria untuk mencari kesenangan di luar. Apalagi jika konflik rumah tangga
itu
berakhir
dengan
pertengkaran
hebat,
maka
akan
sulit
mendamaikannya . Sementara kebutuhan biologis tak terduga datangnya, maka lambat laun muncul hasrat untuk melampiaskannya di luar. Sebaliknya jika pasangan suami istri mendapatkan kepuasan perkawinan dalam berumah tangga maka hal ini akan menutup peluang masing-masing pesangan untuk menjalin hubungan affair dengan pihak lain. Shafiro
(Al-ghifari,
2003)
menambahkan
bahwa
orang
melakukan
kegiatan-kegiatan seks bukan semata-mata untuk kebahagiaan sebagai orang tua (berketurunan), tetapi juga sebagai suatu ekspresi cinta, untuk kesenangan dan kepuasan yang ditimbulkannya. Banyak prestasi-prestasi besar diilhami dan berakar dari ekspresi dan dorongan-dorongan seksual, sebaliknya banyak ketidakbahagiaan dan frustasi timbul diakibatkan oleh kesukaran-kesukaran seksual,
diperkirakan dari semua perceraian 60 % adalah akibat dari
ketidakcocokan seksual. I
Dengan
demikian
kita
dapat
disimpulkan
betapa
pentingnya
memelihara keharmonisan rumah tangga yang berdampak pada tercapainya kepuasan perkawinan. Kepuasan perkawinan akan membuat hubungan suami istri terjalin semakin baik dan dapat menghindarkan masing-masing pasangan untuk untuk memiliki hubungan affair dengan pihak lain. Penelitian ini akan mengungkap hubungan antara kepuasan perkawinan dengan intensi melakukan selingkuh pada suami.
B.
Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai kepuasan perkawinan dengan subjek penelitian pasangan suami istri telah banyak dilakukan, antara lain oleh Dewi (1996) menghubungkan kekerasan suami pada istri ditinjau dari marital power dan kepuasan perkawinan, Suwantoro (1997) menghubungkan kepuasan perkawinan ditinjau dari kualitas komunikasi pada pasangan suami istri, Lailatushifah (1998) menghubungkan kesadaran dan kesetaraan gender dan kepuasan perkawinan pada suami istri dalam rumah tangga pekerja ganda,
Budiman
(1999)
menghubungkan berpikir positif dengan kepuasan perkawinan, Siswanti (2000) menghubungkan antara kepuasan perkawinan dengan kecemasan "sangkar kosong" pada pasangan suami istri, Winahyu (2001) menghubungkan antara kecenderungan menggunakan problem focused coping dengan tingkat kepuasan perkawinan. Penelitian yang menggunakan variabel perselingkuhan masih sedikit antara lain skripsi Dewi (2000) berjudul tingkat kekerasan suami pada istri ditinjau dari sebelum perselingkuhan diketahui oleh istri dan sesudah diketahui oleh istri. Valentina (2001) berjudul hubungan kebahagiaan pernikahan dan persepsi terhadap perselingkuhan pada suami istri sub etnis batak toba. Sekilas ada persamaan antara penelitian Valentina dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. valentina mengambil subjek penelitian pasangan suami istri bersuku batak dengan latar belakang agama katolik yang kuat, sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti mengkhususkan subjek
penelitian
pada
para
suami
yang
disinyalir
lebih
banyak
kecenderungannya untuk melakukan perselingkuhan, dengan latar belakang budaya yang lebih beragam namun dikontrol dalam hal usia, pendidikan, usia perkawinan dan jumlah anak.
Selain itu, meskipun menggunakan dasar teori yang sama dengan Valentina dalam penyusunan skala, namun skala yang digunakan dalam penelitian ini mempergunakan bahasa yang lebih santun dan jumlah yang lebih banyak. Aitem yang digunakan Valentina dalam skalanya menggunakan kalimat yang lebih vulgar, hal ini ditunjukkan dengan disebutkannya atribut yang hendak diukur hampir pada keseluruhan aitem.
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji secara empirik apakah ada hubungan
antara
kepuasaan
perkawinan
dengan
intensi
melakukan
perselingkuhan pada suami.
D.
Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat teoritis Untuk memperkaya
khazanah
ilmu
pengetahuan
dan
memberikan
sumbangan bagi pengembangan ilmu psikologi konseling perkawinan dan keluarga. 2. Manfaat praktis Apabila hipotesis ini teruji secara empirik dan ada hubungan antara kepuasan perkawinan dan intensi melakukan perselingkuhan pada suami, maka penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan para pasangan suami istri untuk selalu mengupayakan kebahagiaan perkawinan, sehingga tidak akan pernah memberikan satu peluang pun pada masing-masing pasangan untuk memiliki intensi berselingkuh.