BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Proses menua di dalam perjalanan hidup manusia merupakan suatu hal yang wajar akan dialami semua orang. Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak tahan terhadap jejas dan infeksi (Herawati & Wahyuni, 2004). Seseorang dikatakan menjadi tua jika sudah melewati dua tahap kehidupan sebelumnya yaitu anak-anak dan dewasa. Tiap tahap kehidupan tersebut berbeda baik secara biologis maupun psikologi. Nugroho (2008) menyatakan bahwa memasuki usia tua yang biasanya sering disebut lansia (lanjut usia) berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, pengelihatan bertambah buruk, gerakan lambat, serta postur tubuh yang tidak proporsional. Bandiyah (2009) menyatakan bahwa jumlah lansia di seluruh dunia diperkirakan sebanyak 500 juta orang dengan usia rata-rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 mencapai 1,2 milyar. Jumlah penduduk di Indonesia terus meningkat, tahun 2010 penduduk lansia di Indonesia mencapai 23,9 juta atau 9,77% dan Usia Harapan Hidup (UHH) sekitar 67,4 tahun (Candra, 2012). Sepuluh tahun kemudian atau pada 2020 perkiraan penduduk lansia di Indonesia mencapai 28,8 juta atau 11,34 % dengan 1
2
UHH sekitar 71,1 tahun (Hamid, 2007). Data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali didapatkan hasil proyeksi penduduk Provinsi Bali menurut kelompok usia pada tahun 2014, tercatat kelompok umur 60-64 tahun sebanyak 140.600 jiwa, pada kelompok umur 65-69 tahun sebanyak 107.700 jiwa, kelompok umur 70-74 sebanyak 78.100 jiwa, dan pada kelompok umur diatas 75 tahun sebanyak 89.000 jiwa (Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2014). Pertambahan yang cepat dari penduduk lansia turut menimbulkan permasalahan. Meningkatnya jumlah penduduk lansia akan menimbulkan masalah terutama dari segi kesehatan dan kesejahteraan lansia. Untuk menunjang kesejahteraan lansia tersebut, maka pemerintah membangun rumah khusus untuk lansia yang dikenal dengan Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW). Salah satu PSTW yang ada di Bali adalah PSTW Jara Mara Pati Singaraja, dan merupakan panti yang mengasuh lansia terbanyak di Bali. Di panti tersebut terdapat 65 orang lansia yang terdiri dari 16 orang laki-laki dan 49 orang perempuan. Andini dan Supriyadi (2013) mengatakan bahwa sebagian besar lansia dibawa oleh keluarga ke panti dengan alasan tidak lagi mampu menjaga dan mengurus lansia di rumah. Hal ini menjadikan tidak sedikit lansia yang berpikir negatif tentang keputusan keluarga yang menempatkan lansia di panti, sehingga membuat lansia menjadi beban pikiran, harga diri rendah, dan stres. Lansia yang tinggal di panti dapat berhubungan dengan teman sebaya dan melakukan aktivitas bersama, namun lansia menjadi jauh dengan keluarga dan peraturan panti yang mungkin cukup ketat dapat menimbulkan stres pada lansia. Sebaliknya dengan tinggal bersama
3
keluarga, seringkali lansia merasakan kesepian karena keluarga yang selalu sibuk dan hal ini juga dapat menyebabkan stres pada lansia. Stres merupakan suatu perasaan tertekan saat menghadapi permasalahan. Situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatis memberi signal ke medulla adrenal untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah. Sistem korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus mensekresikan Corticotropin-releasing Factor (CRF), suatu zat kimia yang bekerja pada kelenjar hipofisis yang terletak tepat di bawah hipotalamus. Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresikan hormon Adrenocorticotropin Hormone (ACTH), yang dibawa melalui aliran darah ke korteks adrenal yang akan menstimulasi pelepasan sekelompok hormon termasuk kortisol saat tubuh mengalami stres (Guyton & Hall, 2006). Ayu (2010) juga menjelaskan bahwa hormon stres akan menekan sistem kekebalan tubuh, sehingga meningkatkan jumlah platelet yaitu sesuatu yang dapat menyebabkan gangguan dalam arteri dan meningkatkan tekanan darah. Apabila keadaan tersebut tidak diatasi maka akan berdampak bagi kesehatan dan kualitas hidup lansia. Nugroho (2008) menjelaskan bahwa semakin tua seseorang, kesibukan sosialnya akan semakin berkurang dan mengakibatkan integrasi dengan lingkungan juga sangat sedikit. Lansia juga mengalami ketakutan terutama karena mengalami suatu penyakit, kesepian, ketergantungan fisik, dan ekonomi. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan lansia mudah mengalami stres. Stres bukan suatu penyakit, tetapi bisa menjadi awal timbulnya penyakit mental atau fisik jika
4
terjadi terlalu lama. Stres menimpa setiap orang, masalah yang sama bisa memberikan stres dan beban yang berbeda. Stres yang berkepanjangan bisa mempengaruhi sistem tubuh, misalnya menimbulkan sakit maag (Suryani, 2005). Berbagai cara dilakukan untuk mengurangi tingkat stres yang terjadi pada lansia baik dengan terapi farmakologis maupun non-farmakologis (As’adi, 2013). Terapi farmakologis penanganan stres berupa obat anti depresan dan anti cemas golongan benzodiazepam seperti alprazolam, yang dalam penerapannya menyebabkan ketergantungan yang cukup besar dan menimbulkan beberapa efek samping yang dapat mengganggu fungsi organ tubuh serta beberapa diantaranya menyebabkan ketergantungan. Terapi non farmakologis penanganan stres berupa pendekatan perilaku, pendekatan kognitif dan latihan relaksasi. Latihan relaksasi ada 3 macam yaitu relaksasi otot seperti senam otak, relaksasi kesadaran indera, dan relaksasi melalui yoga (Chomaria, 2009). Senam otak semula ditujukan untuk melatih anak dengan kesulitan belajar, namun sekarang senam otak bermanfaat untuk segala umur. Senam otak dapat dilakukan oleh segala usia, mulai dari anak-anak hingga lansia (As’adi, 2013). Senam ini berupa gerakan silang atau gerakan saling bergantian. Gerakan silang akan mengaktifkan dua belah otak secara bersamaan. Gerakan pada senam otak dapat meningkatkan energi dan menunjang sikap positif yang mengaktifkan kembali hubungan saraf antara tubuh dan otak sehingga memudahkan aliran energi elektromagnetis ke seluruh tubuh. Seseorang yang mengalami peningkatan stres akan mengalami peningkatan adrenalin. Gerakan senam otak dalam keadaan ini dapat mengurangi pelepasan adrenalin dan memberikan keadaan rileks (Ide,
5
2008). Senam otak sangat mudah dilakukan dan mungkin untuk diterapkan dengan tujuan membantu mengatasi stres pada lansia. Fitria (2010) meneliti mengenai senam otak terhadap tingkat stres pada siswa-siswi SMA. Hasil analisis didapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh senam otak yang bermakna terhadap penurunan tingkat stres pada kelompok intervensi, P = 0,000 dan kelompok kontrol P = 0,083. Farihah (2013) juga meneliti mengenai pemberian senam otak terhadap tingkat stres pada wanita post menopause. Hasilnya adalah bahwa tingkat stres pada wanita post menopause sebelum diberikan senam otak rata-rata dengan skor tingkat stres sebesar 20,33, responden (43,3%). Tingkat stres pada wanita post menopause sesudah diberikan senam otak, rata-rata dengan skor tingkat stres sebesar 18,33, sebagian besar responden dengan kategori tingkat stres sedang sebanyak 12 responden (40%). Dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh signifikan senam otak terhadap penurunan tingkat stres pada wanita post menopause. Studi pendahuluan telah dilakukan di PSTW Jara Mara Pati Singaraja pada tanggal 29 Nopember 2014, dari 10 orang lansia didapatkan data bahwa 7 orang lansia mengalami stres ringan dan 3 lansia lainnya mengalami stres sedang. Petugas panti mengatakan bahwa sebagian besar lansia yang tinggal di panti sosial tersebut mengalami stres dengan berbagai alasan seperti masalah dengan keluarga, ekonomi, dan ketidakberdayaan. Pimpinan PSTW Jara Mara Pati Singaraja mengatakan bahwa belum pernah dilakukan senam otak di panti ini. Berdasarkan data dan fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Senam Otak Terhadap Tingkat Stres Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Jara Mara Pati Singaraja.”
6
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apakah ada pengaruh senam otak terhadap tingkat stres lansia di PSTW Jara Mara Pati Singaraja”. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh senam otak terhadap tingkat stres lansia di
PSTW Jara Pati Singaraja. 1.3.2
Tujuan Khusus
a)
Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan usia dan jenis
kelamin di PSTW Jara Mara Pati Singaraja. b)
Mengidentifikasi tingkat stres lansia di PSTW Jara Mara Pati Singaraja
sebelum dilakukan senam otak. c)
Mengidentifikasi tingkat stres lansia di PSTW Jara Mara Pati Singaraja
setelah dilakukan senam otak. d)
Menganalisis pengaruh senam otak terhadap tingkat stres lansia di PSTW
Jara Mara Pati Singaraja. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat Teoritis Hasil
penelitian
dapat
digunakan
untuk
mengembangkan
ilmu
pengetahuan dan sebagai sumber informasi bagi penelitian selanjutnya di bidang perawatan gerontik khususnya yang berhubungan dengan senam otak untuk mengatasi stres pada lansia.
7
1.4.2
Manfaat Praktis
a)
Bagi petugas PSTW, diharapkan penelitian ini dapat menjadi pedoman
untuk terapi non farmakologis tingkat stres pada lansia dan dapat dijadikan program wajib di PSTW Jara Mara Pati Singaraja untuk membantu mengurangi stres pada lansia. b)
Bagi Keluarga, diharapkan penelitian ini dapat meringankan beban
keluarga yang menitipkan lansia di panti karena dengan mengikuti senam ini para lansia yang mengalami stres dapat mengurangi tingkat stres, sehingga tidak membebani keluarga untuk membiayai pengobatan farmakologis lansia yang mengalami stres. c)
Bagi lansia, diharapkan penelitian ini dapat membantu mengurangi tingkat
stres pada lansia yang mengikuti latihan senam sehingga memberi rasa nyaman pada lansia.