BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Seiring dengan semakin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan telah bergeser kearah yang lebih bermutu. Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pengguna jasa pelayanan. Untuk dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan tersebut, dapat dilakukan melalui penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebaik-baiknya disetiap tatanan pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit. Rumah sakit merupakan suatu tempat dimana orang yang sakit dirawat dan ditempatkan dalam ruangan yang berdekatan atau antara satu tempat tidur dengan tempat tidur lainnya. Di tempat ini pasien mendapatkan terapi dan perawatan untuk dapat sembuh, dimana sebagian besar pasien yang dirawat di Rumah Sakit dengan menggunakan infus. Penggunaan infus terjadi disemua lingkungan keperawatan kesehatan seperti perawatan akut, perawatan emergensi, perawatan ambulatory dan perawatan kesehatan di rumah. Infus atau terapi intravena merupakan salah satu cara atau bagian dari pengobatan untuk memasukkan obat atau vitamin kedalam tubuh pasien (Darmawan, 2008). Terapi intra vena digunakan untuk mengobati berbagai kondisi penderita disemua lingkungan perawatan di rumah sakit dan merupakan salah satu terapi utama. Sistem terapi ini berefek langsung, lebih cepat, lebih efektif, dapat dilakukan secara kontinu dan penderita pun merasa
1
2
lebih nyaman jika dibandingkan dengan cara yang lainnya. Tetapi karena terapi ini diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama tentunya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi dari pemasangan infus, salah satunya adalah phlebitis. Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik dari iritasi kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh komplikasi dari terapi intravena. Phlebitis dikarakteristikkan dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri seperti, kemerahan, bengkak, indurasi, dan teraba mengeras di bagian vena yang terpasang kateter intravena (Darmawan, 2008). Phlebitis dapat menyebabkan trombus yang selanjutnya menjadi trombophlebitis, perjalanan penyakit ini biasanya jinak, tapi walaupun demikian jika trombus terlepas kemudian diangkut dalam aliran darah dan masuk jantung maka dapat menimbulkan seperti katup bola yang bisa menyumbat atrioventrikular secara mendadak dan menimbulkan kematian. (Sylvia, 2005). Dampak yang terjadi dari infeksi tindakan pemasangan infus (phlebitis)
bagi
pasien
menimbulkan
dampak
yang
nyata
yaitu
ketidaknyamanan pasien, pergantian kateter baru, menambah lama perawatan, dan akan menambah biaya perawatan di rumah sakit. Angka kejadian infeksi dengan jarum infus merupakan salah satu indikator pelayanan non-bedah yang digunakan sebagai indikator mutu pelayanan Rumah Sakit. Bagi mutu pelayanan rumah sakit akan menyebabkan izin operasional sebuah rumah sakit dicabut dikarenakan tingginya angka kejadian infeksi phlebitis, beban kerja atau tugas bertambah bagi tenaga kesehatan, dapat menimbulkan
3
terjadinya tuntutan (malpraktek), menurunkan citra dan kualitas pelayanan rumah sakit (Darmawan, 2008). Jumlah kejadian phlebitis menurut distribusi penyakit sirkulasi pasien rawat inap Indonesia tahun 2006 berjumlah 744 orang (17,11%). Menurut Depkes RI (2006) Nassaji-Zavareh M dan Ghorbani.R mengkaji kekerapan phlebitis pada 300 pasien yang dirawat di bangsal interna dan bedah hasilnya adalah: berdasarkan usia, usia <60 tahun dari 169 sampel terdapat 47 pasien yang plebitis(27,8%), usia ≥ 60 tahun dari 131 sampel terdapat 31 pasien yang plebitis(23,7%). Berdasarkan ukuran kateter ukuran 20 G dari 109 sampel terdapat 30 pasien yang plebitis(27,5 %), kateter ukuran 18 G dari 190 terdapat 47 pasien yang plebitis(24,7%) (Darmawan, 2008). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2012 di ruang bedah RSUD Dr. Soedomo Trenggalek, didapatkan hasil dari 20 pasien yang terpasang infus 6 diantaranya menunjukkan tandatanda phlebitis dan ini merupakan hal yang perlu mendapat perhatian khusus dari petugas kesehatan mengingat angka kejadian yang masih sangat tinggi. Data diatas menunjukkan bahwa phlebitis pada pasien menjadi faktor penghambat dalam proses penyembuhan. Berdasarkan hasil wawancara didapatkan data dari 6 pasien, seluruhnya belum pernah dilakukan tindakan kompres dingin untuk mengatasi penyembuhan phlebitis yang dirasakan. Dalam istilah yang lebih teknis lagi, phlebitis mengacu ke temuan klinis adanya nyeri, nyeri tekan, bengkak, pengerasan, eritema, hangat dan terbanyak vena seperti tali. Semua ini diakibatkan peradangan, infeksi dan trombosis. Peradangan atau inflamasi adalah respon normal, pelindung terhadap cedera jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, bahan kimia
4
berbahaya, atau agen mikrobiologi. Inflamasi adalah upaya tubuh untuk menonaktifkan
atau
menghancurkan
organisme
yang
menyerang,
menghilangkan iritasi, dan mengatur tahap untuk memperbaiki jaringan. Ketika penyembuhan selesai, proses peradangan biasanya berkurang. Gambaran tertentu dari proses inflamasi yang umumnya disepakati menjadi ciri khas. Ini termasuk fenestration dari microvasculature, kebocoran unsur-unsur dari darah ke dalam ruang interstisial, dan migrasi leukosit ke jaringan yang meradang. Pada tingkat makroskopik, ini biasanya disertai oleh tanda-tanda klinis seperti eritema, edema, hiperalgesia, dan nyeri. Inflamasi dipicu oleh pelepasan mediator kimia dari jaringan yang terluka dan sel yang bermigrasi. Termasuk diantaranya adalah amina (histamin, 5-hidroksitriptamin (5-HT)), lipid (prostaglandin, leukotrien, PAF), peptida kecil (bradikinin) dan peptida yang lebih besar (sitokin). Varietas besar mediator kimia dapat menjelaskan mengapa obat yang berbeda efektif dalam mengobati satu dari bentuk inflamasi tetapi tidak untuk yang lainnya (Lisiane, 2008). Walaupun inflamasi membantu membersihkan infeksi dan bersamasama dengan proses perbaikan memungkinkan terjadinya penyembuhan luka, baik inflamasi maupun proses perbaikan sangat potensial menimbulkan bahaya. Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulasit
5
dan monosit ke dalam jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi. Kenyataan untuk pelaksanaan mengatasi phlebitis, tindakan yang pertama kali dilakukan yaitu pemberian kompres alkohol. Kompres alkohol memberikan rangsangan dingin sementara, efek ini dicapai melalui penguapan larutan alkohol. Alkohol sebagai kompres mempunyai kerja bakterisid yang cepat, dan digunakan sebagai antiseptik kulit. Pada penggunaan antiseptik setempat, alkohol kadang menyebabkan iritasi kulit dan alergi. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk mencari suatu alternatif terapi dalam mengatasi nyeri phlebitis. Perawat berperan dalam mengidentifikasikan kebutuhan-kebutuhan pasien dan membantu serta menolong pasien dalam memenuhi kebutuhan tersebut termasuk dalam manajemen phlebitis (Husni, 1997). Manajemen phlebitis dengan melakukan tehnik relaksasi merupakan tindakan eksternal yang mempengaruhi respon internal individu. Manajemen phlebitis dengan tindakan relaksasi mencakup latihan pernafasan diafragma, tehnik relaksasi progresif, guide imagery, terapi musik, stimulasi kulit (kompres panas dan dingin) dan meditasi. Pada penatalaksanaan phlebitis, bisa menggunakan kompres hangat dan kompres dingin. Pemberian kompres dingin pada tempat tertentu ,membawa akibat penyempitan pembuluh darah, dengan cara ini terjadi pengentalan darah dan dapat menghalangi atau membatasi penyebaran darah
6
keluar dari pembuluh darah bila terjadi suatu bekuan, dan sebagai akibat dingin rasa sakit berkurang (Steven.J.M, 2000). Salah satu tindakan pengobatan tanpa obat untuk bisa membantu mengurangi inflamasi pada phlebitis ini adalah dengan diberikan kompres dingin. Terapi ini dapat menurunkan prostaglandin, dengan menghambat proses inflamasi (Luqman, 2008). Kompres dingin merupakan tindakan untuk menurunkan inflamasi dengan memberikan energi dingin melalui proses konduksi, dimana energi tersebut dapat menyebabkan vasokontriksi (penyempitan pembuluh darah) sehingga menambah pemasukkan oksigen, nutrisi dan leukosit darah yang menuju ke jaringan tubuh. Akibat positif yang ditimbulkan adalah memperkecil inflamasi, menurunkan kekakuan otot serta mempercepat penyembuhan jaringan lunak. Dengan demikian ingin diketahui sejauh mana pengaruh dari pemberian kompres dingin tersebut terhadap penurunan inflamasi phlebitis akibat pemasangan intravena line. Berdasarkan dari masalah yang dipaparkan di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh aplikasi kompres dingin menggunakan NIC (Nursing
Intervenstion Classification) terhadap
penurunan VIP Score (Visual Infusion Phlebitis Score) pada pasien yang mengalami phlebitis”.
1.2
Rumusan Masalah “Bagaimana pengaruh aplikasi kompres dingin menggunakan NIC (Nursing
Intervenstion Classification) terhadap penurunan VIP Score (Visual
Infusion Phlebitis Score) pada pasien yang mengalami phlebitis”
7
1.3
Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi kompres dingin menggunakan NIC (Nursing Intervention Classification) terhadap penurunan VIP Score (Visual Infusion Phlebitis Score)
1.3.2
Tujuan Khusus 1.3.2.1 Mengidentifikasi karakteristik responden yang mengalami phlebitis 1.3.2.2 Mengidentifikasi karakteristik nyeri pada responden yang mengalami phlebitis 1.3.2.3 Mengidentifikasi VIP Score (Visual Infusion Phlebitis Score) pasien sebelum dilakukan aplikasi kompres dingin 1.3.2.4 Mengidentifikasi VIP Score (Visual Infusion Phlebitis Score) pasien setelah dilakukan aplikasi kompres dingin 1.3.2.5 Mengidentifikasi
pengaruh
aplikasi
kompres
dingin
menggunakan NIC (Nursing Intervention Classification) sebagai alternatif intervensi keperawatan dalam upaya VIP Score (Visual Infusion Phlebitis Score).
1.4
Manfaat Penelitian 1.4.1
Bagi Peneliti Bagi peneliti penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dan pengetahuan serta peneliti dapat mengaplikasikan teori yang didapat serta sinergi antara teori dan kenyataan di lapang tentang aplikasi kompres dingin menggunakan NIC (Nursing Interventions
8
Classification) terhadap penurunan VIP Score (Visual Infusion Phlebitis Score). 1.4.2
Bagi Institusi Pendidikan Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi institusi pendidikan untuk bisa dijadikan suatu referensi dan pengambilan kebijakan dalam memilih kurikulum dan penggunaan NIC (Nursing Interventions Classification) untuk disosialisasikan sehingga dapat diterapkan oleh Institusi pendidikan.
1.4.3
Bagi Perawat RSUD Dr. Soedomo Trenggalek Sebagai bahan referensi penunjang bagi perawatan RSUD Dr. Soedomo Trenggalek yang berkaitan dengan masalah-masalah mengenai manajemen nyeri, sehingga dapat ditindak lanjuti dengan pemberian aplikasi kompres dingin menggunakan NIC (Nursing Interventions Classifications) yang mampu memberikan informasi kepada institusi tentang cara dan manfaat dari terapi kompres dingin dalam upaya penurunan VIP Score (Visual Infusion Phlebitis Score).
1.4.4
Bagi Peneliti Selanjutnya Sebagai bahan dasar atau rujukan untuk melakukan penelitian selanjutnya secara berkesinambungan terhadap permasalahan dalam pengurangan inflamasi. Kompres dingin dapat digunakan sebagai tehnik alternatif dalam pelaksanaan penurunan VIP Score (Visual Infusion Phlebitis Score).
9
1.5
Keaslian Penelitian Penelitian dari berbagai metode yang digunakan untuk mengetahui tentang pengaruh pengaplikasian terapi dingin sudah banyak di lakukan oleh peneliti sebelumnya. Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya adalah: Dari penelitian yang dilakukan oleh Istichomah, 2007 ”Pengaruh Tehnik Pemberian Kompres Terhadap Perubahan Skala Nyeri Pada Klien Kontusio Di RSUD Sleman” menggunakan jenis penelitian dengan eksperimental yaitu untuk mengetahui pengaruh pemberian kompres hangat dan kompres dingin terhadap perubahan skala nyeri pada klien kontusio, dengan menggunakan desain Eksperimen Quasi, pre-post test tanpa kelompok kontrol. Dari hasil pengujian hipotesis dengan uji statistik non parametric MannWhitney dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh bahwa ternyata tidak terdapat perbedaan signifikan antara pemberian kompres hangat dan kompres dingin terhadap perubahan skala nyeri pada klien dengan kontusio. Secara deskriptif, rata-rata perubahan skala nyeri pada kelompok yang diberikan kompres dingin (4,79) lebih dari kelompok yang diberikan kompres hangat (4,15). Pada penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian kompres baik hangat ataupun dingin sama-sama efektif untuk mengurangi nyeri pada klien yang mengalami kontusio. Secara deskriptif, pemberian dengan kompres dingin memberikan lebih banyak perubahan skala nyeri dari pada kompres hangat. Dari penelitian sebelumnya membahas tentang pengaruh kompres panas dan dingin dalam menurunkan skala nyeri pada klien kontusio. Dimana terapi tersebut dapat dibuktikan bahwa dapat menurunkan intensitas nyeri pada kontusio. Namun secara deskriptif dengan menggunakan kompres
10
dingin memberikan lebih banyak perubahan skala nyeri daripada kompres hangat. Sedangkan peneliti saat ini ingin mengembangkan penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan pengaruh aplikasi dingin terhadap penurunan VIP Score (Visual Infusion Phlebitis Score) yang disesuaikan dengan standar NOC (Nursing Outcomes Classification). Sedangkan rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan One Group Pretest-Postest without Control Group Design. Pada penelitian kedua yang dilakukan oleh Wahyuni dan Nurhidayat, 2008 “Efektifitas Pemberian Kompres Panas terhadap Penurunan Nyeri Phlebitis Akibat Pemasangan Intravena Line“ menggunakan desain penelitian yaitu desain penelitian Quasi Eksperimental (eksperimen semu) : One Group Pre – Pos eksperimental. Peneltian ini dilakukan di RSU „Aisyiyah Ponorogo‟ dengan sampel terdiri dari 20 responden yang didapatkan dengan cara consecutive sampling. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 20 responden yang mengalami nyeri phlebitis akibat pemasangan intravena line dan dilakukan pemberian kompres panas dapat disimpulkan sebagai berikut: a) Tingkat nyeri responden sebelum perlakuan (pretest) didapatkan 18 responden (90%) nyeri sedang, 2 responden (10%) nyeri berat. Sedangkan tingkat nyeri responden setelah perlakuan (posttest) didapatkan 7 responden (35%) nyeri sedang dan 13 responden (35%) nyeri ringan; b) Pemberian kompres panas efektif terhadap penurunan nyeri phlebitis akibat pemasangan intravena line, dimana dapat ditujukan dengan harga signifikan asimtotis dwiekor P = 0.000, didukung dengan data sebanyak 18 responden (90%) terjadi penurunan tingkat nyeri, 2 responden (10%) tidak terjadi penurunan tingkat nyeri dan tidak ada responden yang menyatakan terjadi penurunan tingkat
11
nyeri dan tidak ada responden yang menyatakan terjadi peningkatan tingkat nyeri setelah perlakuan (posttest). Untuk penelitian berikutnya perlu di upayakan suatu media atau alat yang dapat menjaga stabilitas suhu kompres panas tersebut selama waktu tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan tingkat akurasi hasil yang lebih optimal. Perlu juga dilakukan penelitian terhadap nyeri-nyeri lain selain nyeri phlebitis. Dari penelitian sebelumnya membahas tentang pengaruh kompres panas dalam menurunkan nyeri phlebitis akibat pemasangan intravena line. Dimana terapi tersebut dapat dibuktikan bahwa efektif menurunkan intensitas nyeri pada phlebitis. Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasi Eksperimental (eksperimen semu) dengan pendekatan One Group Pre – Post eksperimental. Sedangkan peneliti saat ini ingin mengembangkan penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan pengaruh aplikasi dingin terhadap penurunan VIP Score (Visual Infusion Phlebitis Score) yang disesuaikan dengan standar NOC (Nursing Outcomes Classification). Sedangkan rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan One Group Pretest-Postest without Control Group Design. Penelitian ketiga yang dilakukan oleh Triyanto, Handoyo dan Pramana, 2007 “Upaya Menurunkan Skala Phlebitis Dengan Pemberian Kompres Hangat Di RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto” menggunakan desain penelitian yaitu desain penelitian Ekperimental dengan jumlah sampel penelitian yaitu 30 pasien. Penelitian ini didapatkan responden pasien 30 responden yang terdiri dari pasien yang sesuai kriteria inklusi yang dirawat di bangsal penyakit dalam (Mawar) Rumah Sakit Prof. Dr.Margono Soekardjo Purwokerto. Dari penelitian tersebut dapat diketahui hasil analisis
12
penanganan phlebitis dengan menggunakan kompres hangat selama dua hari berturut-turut. Hasil analisis menggunakan Paired T Test pada hari 1 di dapatkan nilai p = 0.000 yang berarti ada penurunan yang signifikan terhadap penurunan skala phlebitis setelah dilakukan kompres hangat pada area yang mengalami phlebitis. Sementara itu pada hari kedua juga dilakukan tindakan pengukuran derajat phlebitis pada pretest dan postest. Hasil analisisnya menunjukan penurunan yang signifikan dengan nilai p = 0.003. Hasil penelitian terdapat penurunan skala phlebitis dengan menggunakan tehnik kompres hangat Ada pengaruh yang signifikan terhadap penurunan skala phlebitis dengan kompres hangat. Dari hasil penelitian tesebut perlu adanya protap untuk menangani pasien yang sudah mengalami phlebitis dengan tindakan non drug misalnya kompres hangat. Dari penelitian sebelumnya membahas tentang penggunaan kompres hangat dalam penurunan skala phlebitis. Dimana terapi tersebut dapat dibuktikan dapat menurunkan intensitas nyeri pada phlebitis. Sedangkan peneliti saat ini ingin mengembangkan penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan pengaruh aplikasi dingin terhadap penurunan VIP Score (Visual Infusion Phlebitis Score) yang disesuaikan dengan standar NOC (Nursing Outcomes Classification). Sedangkan rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan One Group Pretest-Postest without Control Group Design.