BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan suatu bagian dari pemenuhan kebutuhan manusia yang mendasar di Negara Agraris. Tidak dapat dipungkiri fenomena sengketa pertanahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia sering terjadi: tingkat kesadaran hukum masyarakat di bidang pertanahan masih relatif rendah, tingginya kebutuhan manusia terhadap tanah seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan lain sebagainya. Sedangkan jumlah tanah baik secara kuantitas maupun secara kualitas tetap dan bukan menurun. Upaya pemerintah dalam mengatasi masalah pertanahan adalah dengan memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan sesuai dengan tujuan UUPA seperti tercantum di dalam Pasal 19, 23, 32 dan 38 UUPA. Pasal 19 ayat (1) dan (2) UUPA menjelaskan bahwa: (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah; (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi; a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
1
Mengingat tujuan pendaftaran tanah mempunyai arti penting bagi pemegang hak milik atas tanah dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 19 ayat (1) dan (2) UUPA tersebut, maka pemerintah mengeluarkan PP No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, yang menggantikan PP No. 10 Tahun 1961. Dalam Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 diatur mengenai tujuan pendaftaran tanah: 1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; 2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar; 3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Penjajahan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda selama lebih dari 350 tahun di Indonesia, mengakibatkan penjajahan di segala aspek kehidupan, termasuk terhadap hak-hak atas tanah, dengan menerapkan Hukum Barat atas tanah-tanah hak Barat di Indonesia. Tujuan dari pemberlakuan hakhak Barat itu semata-mata untuk kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda untuk menguasai tanah-tanah di Indonesia dengan tidak mempedulikan hakhak atas tanah rakyat dan raja-raja di Indonesia.
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
2
Hak-hak Barat atas tanah yang diberlakukan di Indonesia ada yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Hak Eigendom, Erfacht, Opstal dan lain-lain, yang di daftar pada Kantor Pendaftaran Tanah menurut Overschrivingordonnatie atau Ordonansi Balik Nama (S.I834-27), serta yang diatur di luar Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Hak Concessie atau hak sewa dan Hak Agrarisch Eigendom (suatu hak yang mirip Hak Eigendom) yaitu suatu hak ciptaan Belanda yang merupakan Konversi tanah-tanah yang tunduk kepada hak adat (S. 1873-38). Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, sebenarnya merupakan tonggak bagi pendobrakan hukum Kolonial menuju kepada hukum nasional, yang akan mengakhiri berlakunya hukum Barat atas tanah. Akan tetapi karena belum adanya aturan hukum yang mengatur hakhak atas tanah, sehingga berdasarkan ketentuan Aturan Peralihan UUD 1945, Hak-Hak atas Tanah Barat masih tetap berlaku setelah masa proklamasi kemerdekaan. Setelah proklamasi kemerdekaan terdapat keinginan yang kuat untuk segera mengakhiri berlakunya hukum pertanahan peninggalan pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini dilakukan antara lain dengan penghapusan beberapa tanah hak Barat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan semangat proklamasi yaitu dengan Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir dan peraturan pelaksanaanya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1958 yang berlaku mulai pada
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
3
tanggal 24 Januari 1958. Semua tanah-tanah Partikelir yaitu tanah Eigendom yang terdapat hak-hak pertuanan di atasnya dinyatakan hapus dan tanahnya menjadi tanah Negara. Selain tanah-tanah partikelir (tanah eigendom yang mempunyai hak pertuanan di atasnya), disamakan juga dengan itu adalah tanah-tanah Eigendom yang luasnya lebih dari 10 ha2, yang juga dihapus menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 dan tanahnya menjadi Tanah Negara. Penghapusan tanah-tanah partikelir yang dilakukan pemerintah disertai dengan pemberian ganti rugi kepada para bekas pemegang hak.1 Di Kabupaten Rembang, hak atas tanah bekas hak barat banyak ditempati oleh masyarakat, dimana mereka telah menempatinya selama puluhan tahun. Keadaan ini menyebabkan masyarakat yang menempati tanah maupun bangunan tersebut ingin mengajukan permohonan hak milik. Contohnya di Desa Karangturi Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang yang mempunyai luas tanah 91.171 ha2 (Sembilan puluh satu ribu seratus tujuhpuluh satu meter persegi) ada 8 bidang tanah yang belum bersertifikat hak milik. Tanah tersebut bekas hak eigendom dan terletak di sebelah utara tanah blok d5 tepatnya di depan Klenteng Karangturi.
1
Sihombing, Evaluasi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 2004, hlm. 51.
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
4
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pelaksanaan konversi perolehan hak milik atas tanah negara bekas eigendom di Desa Karangturi Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang? 2. Apa saja hambatan dalam pelaksanaan konversi perolehan hak milik atas tanah negara bekas eigendom di Desa Karangturi Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pelaksanaan konversi perolehan hak milik atas tanah negara bekas eigendom di Desa Karangturi Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang. 2. Untuk mengetahui hambatan dalam pelaksanaan konversi perolehan hak milik atas tanah negara bekas eigendom di Desa Karangturi Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang.
D. Tinjauan Pustaka Pada zaman pemerintahan Belanda, kedaulatan pemerintahan swapraja atau Kraton masih ada daerah pemerintah swapraja. Oleh pemerintah Belanda diberi hak otonomi, yaitu wewenang untuk mengatur rumah tangganya
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
5
sendiri, sehingga pihak swapraja atau Kraton mempunyai kekuasaan penuh terhadap tanah-tanah yang dikuasainya.2 Hak-hak atas tanah yang diberikan oleh Kraton, khususnya Kraton Surakarta menurut Rijksblad Surakarta tahun 1938 No. 9 meliputi: wewnang mengaduh, wewenang anggaduh, wewenang anggaduh run temurun, tanah lungguh, tanah pituwas, dan tanah kas desa.3 Beralihnya bekas tanah swapraja menjadi tanah negara, maka tanah tersebut menjadi wwenang yang dikuasai oleh negara. Negara mengatur dalam peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya seperti tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.4 Setelah bangsa Indonesia merdeka, maka secara faktual hampir di seluruh Indonesia terdapat tanah dengan berbagai ragam dan corak, salah satu di antaranya adalah tanah partikelir. Kemudian tanah-tanah yang ada tersebut hampir dimiliki oleh orang-orang asing atau badan-badan hukum asing, yaitu: 1. Hak erpacht untuk perusahaan kebun besar seluas lebih dari 1 juta hektar. 2. Hak konsesi untuk perusahaan kebun besar seluas lebih dari 1 juta hektar. 3. Hak eigendom, hak opstal, hak erpacht untuk perumahan atas kurang lebih dari 200.000 bidang.5 Kalau ditilik mengenai asal muasal dari tanah partikelir ini, maka tanah ini merupakan tanah yang namanya diberikan oleh Belanda dengan 2
Soedikno Mertokusumo, Perundang-Undangan Agraria Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 26. 3 Rijksblad Surakarta, Pranatan Bab Maringi Wewenang Tumrap Pelemahaning Kraton Dalem Surakarta, 1938, Nomor 9. 4 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah), Djambatan, Jakarta, 1995, hlm. 24. 5 Sihombing, op.cit., hlm. 74.
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
6
nama eigendom. Dengan demikian, pengertian tanah partikelir ini ialah tanahtanah eigendom di atas nama pemiliknya sebelum undang-undang ini berlaku mempunyai hak pertuanan. Selain itu mewarisi pula tanah-tanah eigendom yang disebut tanah partikelir. Jadi, tanah-tanah partikelir adalah tanah-tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak yang istimewa. Perbedaan antara tanah-tanah eigendom lainnya adalah adanya hak-hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang dahulu disebut landheerlijke rechten dan di Indonesia hak-hak pertuanan. Dengan adanya hak-hak pertuanan itu, tanahtanah partikelir seakan-akan merupakan negara di dalam negara.6 Selain istimewa dan mempunyai hak pertuanan, tanah partikelir dapat dibedakan menjadi: pertama tanah-tanah partikelir yang diduduki oleh orangorang Timur Asing disebut tanah-tanah Tionghoa, kedua, yang diduduki oleh rakyat asli disebut tanah-tanah usaha, sedangkan ketiga tanah-tanah partikelir yang dikuasai oleh tuan-tuan tanah sendiri yang disebut tanah kongsi (tanahtanah kongsi yang diusahakan oleh penduduk dipakainya untuk tempat perumahan diberikan hak sewa.7 Pada Tahun 1958, Menteri Agraria Soenarjo mengeluarkan UndangUndang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir yang berlaku mulai tanggal 24 Januari 1958. Hak-hak pemilik tanah partikelir atas tanahnya beserta hak-hak pertuanannya hapus dan tanah-tanahnya menjadi tanah-tanah negara. Pada waktu pemerintah Hindia Belanda, tanah-tanah
6 7
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 17. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1994, hlm. 10.
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
7
partikelir yang dibeli oleh pemerintah menurut Staatsblad 1913 No. 702 jo. Staatsblad 1926 No. 421, maka: 1. Tanah-tanah usaha yang dimiliki orang-orang asing Indonesia asli menjadi milik. 2. Yang dimiliki oleh orang-orang Timur Asing (Tionghoa dan Arab) karena hukum menjadi tanah yang dihaki dengan apa yang disebut Altijddarende Erpacht dan sejak Tahun 1926 menjadi Landerijnbezitrecht.8 Istilah tanah negara yang populer saat ini berasal dari peninggalan pemerintah jajahan Hindia Belanda yang menganggap tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya dengan surat menjadi tanah milik Pemerintah Belanda, sehingga pada waktu itu semua tanah menjadi tanah negara. Keputusan pemerintah jajahan Hindia Belanda tersebut tertuang dalam sebuah peraturan pada masa itu, yang diberi nama Keputusan Agraria atau Agrarische Besluit. Namun dalam kenyataan itu, tidak semua orang Belanda setuju dengan keputusan tersebut, termasuk di antaranya Van Vollenhoven yang memberikan kritikan dan sorotan dalam sebuah bukunya: De Indonesier en zijn grand (Bangsa Indonesia dan Tanahnya). Dikatakan bahwa pernyataan pemerintah itu tidak adil terhadap bangsa Indonesia. Kemudian Ph. Klenintjes juga mem-bantah pendirian tersebut, sebab jika pemerintah mempunyai hak eigendom atas tanah-tanah bangsa Indonesia maka mengherankanlah bahwa pemerintah harus menjalankan onteiging (pencabutan hak eigendom) atas
8
Chaidir Ali, Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Agraria, Bina Cipta, Bandung, 1985, hlm. 78.
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
8
tanah-tanah bangsa Indonesia, jika akan menjadi eigenaar dari tanah-tanah itu.9 Sementara itu menurut Dirman, tanah-tanah negara dapat dibagi atas dua bagian, yaitu: 1. Tanah negara yang bebas (Vrij Staatsdomeiri) artinya tanah negara yang tidak terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia. 2. Tanah negara yang tidak bebas, (Onvrij Staatsdoemein) artinya tanah negara yang terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia.10 Pada tahun 1953 pemerintah mengeluarkan peraturan pertama yang mengatur tanah negara, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 L.N. 1953 Nomor 14 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tanah negara adalah tanah yang dikuasai penuh oleh negara, kecuali jika penguasaan atas tanah negara dengan undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya peraturan pemerintah ini telah diserahkan kepada suatu kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra maka penguasaan tanah negara ada pada Menteri Dalam Negeri. Dalam Pasal 1 huruf a dinyatakan bahwa Menteri Dalam negeri berhak untuk: 1. Menyerahkan penguasaan itu kepada Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra untuk keperluan kepentingan tertentu dari Kementerian, Jawatan atau daerah Swatantra itu, dan 2. Mengawasi agar supaya tanah negara dipergunakan sesuai dengan peruntukannya dan bertindak mencabut penguasaan atas tanah negara 9
Sihombing, op.cit., hlm. 77. Ibid, hlm. 78.
10
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
9
apabila penyerahan penguasaan ternyata keliru/tidak tepat lagi, luas tanah yang diserahkan penguasaannya ternyata sangat melebihi keperluannya dan tanah itu tidak dipelihara atau dipergunakan sebagaimana mestinya. Dalam perkembangan Hukum Tanah Nasional, lingkup tanah-tanah yang dalam UUPA disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara, yang
semula
disingkat
dengan
sebutan
tanah
negara,
mengalami
perkembangan, semula pengertiannya mencakup semua tanah yang dikuasai oleh negara, di luar apa yang disebut tanah-tanah hak. Sekarang ini, Hukum Tanah Indonesia dari segi kewenangan penguasaannya ada kecenderungan untuk lebih memerinci status tanah yang semula tercakup dalam pengertian tanah negara menjadi: 1. Tanah-tanah wakaf, yaitu tanah-tanah hak milik yang sudah diwakafkan; 2. Tanah-tanah hak pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan Hak Menguasai dari Negara kepada pemegang haknya; 3. Tanah-tanah Hak Ulayat, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat teritorial dengan hak ulayat; 4. Tanah-tanah kaum, yaitu tanah-tanah bersama masyarakat-masyarakat hukum adat geneologis; 5. Tanah-tanah kawasan hutan yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan. Hak penguasaan ini pada hakikatnya juga merupakan pelimpahan sebagian kewenangan Hak Menguasai Negara;
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
10
6. Tanah-tanah sisanya, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh negara yang bukan tanah hak, bukan wakaf, bukan tanah hak pengelolaan, bukan tanah hak ulayat, bukan tanah-tanah kaum dan bukan pula tanah-tanah kawasan hutan. Tanah-tanah ini, tanah-tanah yang benar-benar langsung dikuasai oleh negara untuk singkatnya disebut tanah negara.11 Sejalan dengan pendapat Boedi Harsono di atas, menurut Sihombing tanah negara dapat dibedakan menjadi: 1. Tanah negara, yaitu tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam rangka hak menguasai dari negara untuk mengatur bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada suatu tingkat tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang mempunyai kewenangan untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. 2. Tanah negara, tanah-tanah yang dimiliki oleh pemerintah yaitu tanahtanah yang diperoleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.12
11 12
Boedi Harsono, op.cit., hlm. 16. Sihombing, op.cit., 6-7.
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
11
Hak-hak Barat atas tanah yang diberlakukan di Indonesia ada yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Hak Eigendom, Erfacht, Opstal dan lain-lain, yang di daftar pada Kantor Pendaftaran Tanah menurut Overschrivingordonnatie atau Ordonansi Balik Nama (S.1834-27), serta yang diatur di luar Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Hak Concessie atau hak sewa dan Hak Agrarisch Eigendom (suatu hak yang mirip Hak Eigendom) yaitu suatu hak ciptaan Belanda yang merupakan Konversi tanah-tanah yang tunduk kepada hak adat (S. 1873-38). Setelah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, sebenarnya merupakan tonggak bagi pendobrakan hukum Kolonial menuju kepada hukum nasional, yang akan mengakhiri berlakunya hukum Barat atas tanah. Karena belum adanya aturan hukum yang mengatur hak-hak atas tanah, sehingga berdasarkan ketentuan Aturan Peralihan UUD 1945, Hak-Hak atas Tanah Barat masih tetap berlaku setelah masa proklamasi kemerdekaan. Setelah proklamasi kemerdekaan terdapat keinginan yang kuat untuk segera mengakhiri berlakunya hukum pertanahan peninggalan pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini dilakukan antara lain dengan penghapusan beberapa tanah hak Barat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan semangat proklamasi, yaitu: 1. Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir Berdasarkan
Undang-Undang
No.
1
Tahun
1958
tentang
Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir dan peraturan pelaksananya yaitu
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
12
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1958 yang berlaku mulai pada tanggal 24 Januari 1958, semua tanah-tanah Partikelir yaitu tanah Eigendom yang terdapat hak-hak pertuanan di atasnya dinyatakan hapus dan tanahnya menjadi tanah Negara. Selain tanah-tanah partikelir (tanah eigendom yang mempunyai hak pertuanan di atasnya), disamakan juga dengan itu adalah tanah-tanah Eigendom yang luasnya lebih dari 10 bau, yang juga dihapus menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 dan tanahnya menjadi Tanah Negara. Penghapusan tanah-tanah partikelir dimaksud disertai dengan pemberian ganti rugi kepada para bekas pemegang hak. 2. Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda Berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958 Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang ada di wilayah RI dikenakan Nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara RI. Bahwa dengan Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan
milik
Belanda/asing,
maka
harta-harta
kekayaannya termasuk hak-hak atas tanah kepunyaan perusahaan yang dinasionalisasi itu menjadi milik negara, dan hak-hak atas tanah kepunyaan perusahaan yang dinasionalisasi itu menjadi hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara. 3. Tanah-Tanah Milik Badan Hukum yang ditinggal Direksi Berdasarkan Peraturan Presidium Kabinet Dwikora RI No. 5/Prk/1965 telah ditegaskan status tanah kepunyaan badan-badan hukum yang ditinggal direksi/pengurusnya. Dalam Peraturan tersebut dinyatakan
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
13
bahwa semua rumah dan tanah bangunan kepunyaan badan-badan hukum yang direksi/pengurusnya sudah meninggalkan Indonesia dan menurut kenyataannya tidak lagi menyelenggarakan ketatalaksanaan dan usahanya, dinyatakan jatuh kepada negara dan dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia. 4. Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perorangan Warga Negara Belanda Untuk Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda yang tidak terkena UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi diatur dengan UU No. 3 Prp 1960. Dalam aturan ini dinyatakan semua benda tetap milik perseorangan warga Negara Belanda yang tidak terkena oleh UU No. 86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan Belanda, yang pemiliknya telah meninggalkan wilayah RI sejak mulai berlakunya peraturan ini dikuasai oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Muda Agraria. Untuk mengurus benda-benda tetap milik warga Belanda tersebut oleh Menteri Agraria dibentuk panitia yang dikenal dengan Panitia Pelaksanaan Penguasaan Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda (P3MB). Barangsiapa yang berkeinginan membeli benda-benda tetap milik perseorangan warga Negara Belanda yang telah dikuasai oleh pemerintah harus mengajukan permohonan kepada Menteri Muda Agraria melalui panitia. Setelah berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA), maka semua hak-hak Barat yang belum
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
14
dibatalkan sesuai ketentuan sebagaimana tersebut di atas, dan masih berlaku tidak serta merta hapus dan tetap diakui, akan tetapi untuk dapat menjadi hak atas tanah sesuai dengan sistem yang diatur oleh UUPA, harus terlebih dahulu dikonversi menurut dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan konversi dan aturan pelaksanaannya. Dalam pelaksana konversi tersebut ada beberapa prinsip yang mendasarinya yaitu: 1. Prinsip Nasionalitas Dalam UUPA pasal 9 secara jelas menyebutkan hanya warga Negara Indonesia saja yang boleh mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa. Badan-badan hukum Indonesia juga mempunyai hak-hak atas tanah, tetapi untuk mempunyai hak milik hanya badan-badan hukum yang ditunjuk oleh PP. 38 tahun 1968. 2. Pengakuan Hak-Hak Tanah terdahulu Ketentuan konversi di Indonesia mengambil sikap yang human atas masalah hak-hak atas tanah dengan tetap diakuinya hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA, yaitu hak-hak yang pernah tunduk kepada Hukum Barat maupun kepada Hukum Adat yang kesemuanya akan masuk melalui Lembaga Konversi ke dalam sistem dari UUPA. 3. Penyesuaian Kepada Ketentuan Konversi Desuai pasal 2 dari Ketentuan Konversi maupun Surat Keputusan Menteri Agraria maupun dari edaran-edaran yang diterbitkan maka hak-hak tanah yang pernah tunduk kepada Hukum Barat dan Hukum Adat harus disesuaikan dengan hak-hak yang diatur oleh UUPA.
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
15
4. Status Quo Hak-Hak Tanah Terdahulu Berlakunya UUPA dan PP 10 Tahun 1961, maka tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak baru atas tanah-tanah yang akan tunduk kepada hukum Barat. Setelah disaring melalui ketentuan-ketentuan Konversi UndangUndang Pokok Agraria dan aturan pelaksanaannya, maka terhadap hak-hak atas tanah bekas hak Barat dapat menjadi: 1. Tanah Negara karena terkena ketentuan azas Nasionalitas atau karena tidak dikonversi menjadi hak menurut Undang-Undang pokok Agraria. 2. Dikonversi menjadi hak yang diatur menurut Undang-Undang pokok Agraria seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA) Diktum Kedua Pasal I, III dan V hak-hak atas tanah asal konversi Hak Barat akan berakhir masa berlakunya selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980 dan karenanya sejak saat itu menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Untuk mengatur akibat-akibat hukum dari ketentuan tersebut dan menentukan hubungan hukum serta penggunaan peruntukannya lebih lanjut dari tanah tersebut, telah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak Barat, dan sebagai tindak lanjut atas Keputusan Presiden tersebut telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979.
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
16
Maksud dari pada kedua peraturan dimaksud kecuali menegaskan status tanah sebagai tanah yang langsung dikuasai oleh negara, pada saat berakhirnya hak atas tanah asal konversi hak Barat, juga dimaksudkan untuk mengatur kebijaksanaan menyeluruh dalam rangka penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. Bahwa yang menjadi pokok kebijaksanaan dalam Keputusan Presiden No. 32/1979 adalah penegasan kembali tentang berakhirnya hak atas tanah asal Konversi Hak-hak Barat (yang dikonversi menjadi Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai) pada tanggal 24 September 1980, yang juga merupakan prinsip yang telah digariskan di dalam UUPA, dengan maksud untuk dapat benar-benar mengakhiri berlakunya sisa hak-hak Barat atas tanah di Indonesia dengan segala sifat-sifatnya yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, oleh karena itu hak atas tanah asal Konversi Hak Barat itu tidak akan diperpanjang lagi. Selanjutnya tanah-tanah asal Konversi Hak-hak Barat dimaksud sejak 24 September 1980 statusnya menjadi tanah yang dikuasai negara, dan selanjutnya oleh negara akan diatur kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah melalui pemberian hak baru.
E. Metode Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Objek Penelitian
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
17
Pelaksanaan konversi perolehan hak milik atas tanah Negara bekas eigendom di Desa Karangturi Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang. 2. Subjek Penelitian a. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Rembang. b. Kepala Wilayah Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang. c. Kepala Desa Karangturi Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang. 3. Sumber Data: a. Bahan Hukum Primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang berhubungan erat dengan permasalahan yang diteliti. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang berupa hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan ahli hukum yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang berupa kamus umum, kamus hukum, majalah, surat kabar, dan internet. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan serta menggunakan literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian ini, kemudian dianalisis dan diambil kesimpulannya.
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
18
b. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab secara lisan dengan narasumber tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 5. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu meninjau dan menganalisis obyek penelitian dengan menitikberatkan pada aspek-aspek yuridis yang terkait dengan obyek penelitian tersebut. 6. Analisis Data Analisis Data dilakukan secara deskriptif kualitatif, karena bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan sebagai norma hukum positif. Kualitatif karena data yang diperoleh selanjutnya dianalisis berdasarkan norma hukum dan tidak menggunakan rumus statistik.
Rusnahadi Taufan - Universitas Islam Indonesia Fakultas Hukum Yogyakarta 2010
19