BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum secara represif menempatkan Polisi Republik Indonesia (Polri) 1 sebagai sub-sistem dari sistem peradilan pidana padahakekatnya merupakan tujuan dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana seperti diamanatkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 2 adalah untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) dan melindungi hak-hak asasi manusia (protection of human rights). Tujuan ini merupakan tujuan besar dan utama dari proses sistem peradilan Pidana. Penyelenggaraan kegiatan mencari kebenaran materiil meskipun bermuara di dalam pemeriksaan sidang Pengadilan, hendaknya proses kegiatan ini dimulai dari pemeriksaan di tingkat penyidikan oleh sub sistem kepolisian, sebab sub kepolisian ini merupakan pintu gerbang yang dapat menentukan suatu dugaan terjadinya tindak pidana itu dapat dipertanggungjawabkan atau tidaknya bagi pelaku yang diperiksa dapat diidentifikasikan sebagai pelaku kejahatan. Polri dalam melaksanakan tugas di bidang penegakan hukum pidana pada dasarnya berdiri diantara dua kepentingan yaitu kepentingan yang selaras dengan tujuan
1
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyangkut tentang peran Polri adalah beberapa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni : Pertama, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, menegakkan hukum. Ketiga, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. 2 Pasal 285 UU No. 8 Tahun 1981 selengkapnya berbunyi Undang-undang ini disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
1 Universitas Sumatera Utara
sosial dan memenuhi tujuan hukum yakni terciptanya kepastian hukum. Hukum dalam konteks ketertiban masyarakat mensyaratkan bahwa hukum tidak hanya sebagai sarana untuk mencapai kepastian namun harus memperhatikan ketertiban di tengah-tengah masyarakat. Pelaksanaan antara kepastian hukum dan ketertiban ditengah-tengah masyarakat yang dilaksanakan oleh Polri memungkinkan terjadinya konflik khususnya dalam kasus-kasus yang kontroversial antara lain kasus pencurian pisang di Cilacap Jawa Tengah, kasus Pencurian sandal jepit di Sulawasi Tengah, Kasus pencurian kakao/ cokelat dan masih banyak masalah lainnya, disisi lain dalam skala besar konflik berlatar belakang ekonomi melahirkan konflik antara perusahaan pertambangan dan atau perkebunan dengan masyarakat lokal, misalnya kasus Mesuji Lampung dan Palembang, kasus Sape / Bima
Nusa Tenggara Barat, PT Freeport yaitu konflik karyawan
perusahaan dengan perusahaan. Kasus yang berlatar belakang sosial budaya misalnya konflik-konflik berlatar belakang keagamaan (Kasus Ahmadiyah dan Cikesik), benturan kebudayaan (Dayak dengan Bugis dan Madura atau sebaliknya di Kalimantan), perkelahian antar Warga Lampung dengan keturunan Bali, perkelahian antar warga di Sultra, Perang antar suku di Papua, konflik sengketa lahan di Sumatera utara dan masih banyak lagi konflik yang terjadi, 3 sehingga Polri mengambil langkah-langkah untuk tidak melaksanakan suatu ketentuan hukum karena pada pelaksanaannya justru akan
3
Agus Andrianto, Strategi Penerapan Prinsip Restoratif Justice Guna Meningkatkan Pelayanan Prima Dalam Rangka Terwujudnya Kepercayaan Masyarakat, Mabes Polri, Pendidikan SESPIMTI Dikreg ke-20, 2012, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan ketidaktertiban dalam masyarakat. Tindakan yang dilakukan oleh Polri adalah penerapan prinsip-prinsip restorative justice. Eksistensi restorative justice 4 merupakan dimensi baru dikaji dari aspek teoretis dan praktik khususnya bagi institusi Polri yang menjalankan tugas di bidang penegakan hukum. Restorative justice dikaji dari dimensi praktik akan berkorelasi dengan proses penegakan hukum pidana (law enforcement) yang dilakukan oleh Polri, misalnya berkorelasi dengan proses penanganan perkara yang ditangani oleh fungsi Reserse dalam proses penyidikan tindak pidana. Kerangka yang digunakan oleh fungsi reserse pada proses penyidikan yakni berdasarkan yuridis formal maupun penghentian perkara pidana, 5 permasalahan yang muncul adalah telah terpenuhinya unsur-unsur pidana apabila dihadapkan dengan penyelesaian masalah melalui restorative justice mana yang didahulukan atau dikesampingkan, apakah yuridis formal yang berlandaskan pada
4
Pendekatan restorative justice diasumsikan sebagai pergeseran paling mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada saat ini. PBB melalui Basic principles yang telah digariskannya menilai bahwa pendekatan restorative justice adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan dengan pandangan G. P. Hoefnagels yang menyatakan bahwa politik kriminil harus rasional (a rational total of the responses to crime). Pendekatan restorative justice merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini. G. Pieter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, An Inversion of The Concept of Crime, Kluwer Deventer, Holland, 1972, hal. 57. 5 Agus Andrianto, Op.cit, hal. 2 bahwa konsekuensi dari sifat hukum pidana sebagai hukum publik adalah, bahwa pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana harus diselesaikan oleh aparat penegak hukum. Sebagai hukum publik, maka tidak diperkenankan untuk diselesaikan oleh kedua belah pihak saja, pihak korban dengan pihak pelaku. Hal ini mengandung arti bahwa penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak dapat dikesampingkan. Di samping itu, asas hukum yang dianut dalam proses penegakan hukum bahwa hukum sama dengan Undang-Undang, sehingga di luar Undang-Undang tidak ada hukum. Hukum adalah aturan-aturan yang tertulis, yang tidak tertulis bukanlah hukum namanya. Berdasarkan sistem hukum (legal system) ini maka eksistensi restorative justice dirasakan kurang efektif.
Universitas Sumatera Utara
kepastian hukum (rechtzekerheid) atau rasa keadilan yang dianut oleh masyarakat dengan syarat tidak berlawanan dengan asas hukum pidana. 6 Yuridis formal dan rasa keadilan masyarakat inilah yang menjadi kendala pada penerapan konsep restorative juctice bagi institusi Polri yang melaksanakan proses penyidikan tindak pidana khususnya fungsi reserse. Di samping itu, sistem peradilan pidana di Indonesia harus tetap mempedomani asas kesamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law) termasuk hak tersangka untuk diproses dan diadili. Asas kesamaan kedudukan dihadapan hukum merupakan kerangka dasar sistem Negara hukum yang terkandung pada landasan konstitusional yakni UUD 1945. Sistem peradilan di Indonesia undang-undang yang secara khusus mengatur tentang bagaimana proses peradilan harus dilakukan oleh negara melalui organorgannya adalah Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dalam kontek asas kesamaan didepan hukum (equality before the law), berarti penegak hukum (dalam segala
bahwa setiap
aparat
tingkat pemeriksaan) sama kedudukannya dengan
tersangka atau terdakwa menurut KUHAP, bahkan termasuk pula perlakuan yang diberikan kepada setiap orang (warga negara) yang diperiksa harus mendapat perlakuan yang sama pula, tidak ada perbedaan tentang status, kekayaan, jabatan serta lainnya. Konsepsi hukum dengan tidak adanya perbedaan kedudukan warga negara (seorang tersangka/terdakwa) menurut KUHAP, maka segala tindakan, perbuatan, perlakuan
6
Ibid
Universitas Sumatera Utara
bahkan sikap sekalipun yang berbeda dari aparat penegak hukum yang tidak dibenarkan oleh KUHAP kepada tersangka/terdakwa, merupakan tindakan
yang
tidak
mencerminkan pentaatan asas kesamaan dimuka hukum (equality before the law) yang terdapat dalam KUHAP. Pentaatan atas asas di depan hukum di Indonesia merupakan suatu keharusan, ini konsekuensi sebagai Indonesia negara hukum sangat menjunjung tinggi persamaan derajat setiap orang dimuka hukum dengan tidak ada pengecualiannya. 7 Pengaturan ini secara tegas terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen ke-empat), yang menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, ini menunjukan kejelasan asas kesedarajatan hukum yang ada disetiap warga di depan hukum, tanpa terkecuali harus menjadi asas setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dianutnya asas kesamaan di depan hukum dalam KUHAP yang senafas dengan Pasal 27 ayat (1) UUD1945 secara definitif disebutkan dengan “perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan” yang sangat dijunjung oleh Pemerintah. Secara yuridis asas kesamaan didepan hukum telah dirumuskan dalam huruf g Pejelasan Pasal 6 (1) Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Peundang-Undangan yang menyatakan bahwa “Asas kesamaan kedudukan didalam hukum dan pemerintahan adalah
7
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan keenam, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 181-
182
Universitas Sumatera Utara
bahwa materi muatan peraturan perundang- undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.” Asas kesamaan didepan hukum yang telah dirumuskan pada setiap
pembentukan
peraturan
perundang-undangan
tersebut,
maka
dalam
pelaksanaannya institusi atau aparat penegak hukum harus mengenyampingkan segala bentuk latar belakang yang ada pada diri seorang tersangka atau terdakwa, hal ini merupakan model dari pelaksaan proses hukum yang adil (due process model). Hal ini penting untuk dilakukan guna menegakan hukum dalam rangka menanggulangi masalah kejahatan. Lembaga peradilan yang merupakan institusi untuk mendapatkan dan memperoleh keadilan bagi pencari keadilan dilakukan berdasarkan ketentuan normatif (KUHAP) dalam pengertian melalui suatu proses menurut tata cara yang telah diatur dan ditetapkan oleh hukum. 8 Konsepsi asas kesamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law) merupakan suatu keharusan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum termasuk institusi kepolisian yang mengemban fungsi reserse untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana dengan memperhatikan asas equality before the law, namun landasan kontitusional juga secara eksplisit merumuskan bahwa aparatur Negara dalam melaksanakan penyelenggaraan Negara harus memperhatikan dan mendahulukan
8
A. Hamid S. Attamimi, dalam Maria Farida Indrati S, mengemukakan “Cita Hukum Indonesia tidak lain melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Cita (Ide), yang berlaku sebagai bintang pemandu”, Ilmu Perundang Undangan-Undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan. Yogyakarta, Kanisius, 2007, hal. 255.
Universitas Sumatera Utara
kepentingan umum dan kesejahteraan umum. Hal ini sebagaimana dimaksud pada tujuan negara yang tercantum di dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD1945, yang menyatakan: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undangundang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam
Permusyawaratan/
Perwakilan,
serta
dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Konsepsi kepentingan umum dan kesejahteraan umum sebagai tujuan Negara selanjutnya dideriviasi pada peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar bagi aparatur Negara untuk melaksanakan peranan dan fungsinya. Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengaturnya yakni Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan rumusan norma “dapat melakukan tindakan lain” demi kepentingan
umum
dan
pemeliharaan
keamanan
dan
ketertiban
masyarakat
(Harkamtibmas). Hal inilah yang menjadi salah satu konsepsi penerapan restorative justice yang dilakukan oleh kepolisian untuk mengenyampingkan yuridis formal yang
Universitas Sumatera Utara
salah satu konsepsi hukumnya yakni asas kesamaan kedudukan dihadapan hukum pada penanganan kasus tindak pidana dengan memperhatikan kepentingan umum dan Harkamtibmas. Implementasi restorative justice di institusi kepolisian khususnya yang mengemban fungsi reserse banyak mengalami kendala. Penerapan konsep restorative justice dalam sistem penyidikan pada bidang Reserse saat ini mengalami beberapa kendala antara lain: 9 1)
2)
3)
Kewenangan penyidikan yang diberikan KUHAP adalah kewenangan untuk membuktikan suatu tindak pidana dan menemukan tersangka yang harus dipertanggungjawabkan di depan persidangan. KUHAP tidak memberikan kewenangan penyidik untuk menghentikan perkara apabila terpenuhi unsur pidana sebagaimana hasil penyidikan. Dalam KUHAP penyidik diberi kewenangan untuk mengehentikan penyidikan dengan pertimbangan bukan tindak pidana, tidak cukup bukti sebagai tindak pidana, dan demi hukum. Namun KUHAP tidak memberikan kewenanga kepada penyidik untuk menyelesaikan perkara diluar sidang peradilan atau mengesampingkan perkara karena pertimbangan tertentu. KUHAP mengatur tentang pencabutan laporan atau pengaduan hanya terhadap kasus kasus tertentu yaitu yang merupakan delik aduan. Sehingga penyidik secara yuridis formal kecuali pada delik aduan harus meneruskan kepada Jaksa Penuntut Umum terhadap kasus-kasus yang berdasarkan penyidikan terbukti sebagai tindak pidana. Sementara dalam perkembangan kriminalitas para pihak lebih menghendaki penyelesaian perkara diluar peradilan meskipun pada kasus yang tergolong dalam delik murni/ bukan delik aduan.
Polri dalam melaksanakan proses penyidikan tentunya lebih mengedepankan penegakan hukum secara yuridis formal untuk meminta pertanggungjawaban pelaku
9
Agus Andrianto, Op.cit, hal. 8
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan asas kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld) 10 daripada pendekatan solutif dengan pendekatan restorative justice. Berdasarkan Undang-Undang Kepolisian yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 telah dikenal konsep diluar yuridis formal bagi institusi Polri dalam melaksanakan tugas antara lain Polri berwenang untuk melakukan tindakan lain yang ditujukan dalam rangka penciptaan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta keamanan dalam negeri. 11 Ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia mensyaratkan adanya konsep penyelesaian suatu tindak
pidana
dengan
mengenyampingkan
proses
pidana
demi
Harkamtibmas dan kepentingan umum melalui konsep restorative justice.
kepentingan Pengaturan
10
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983, hal. 30, bahwa asas kesalahan ini merupakan asas yang diterapkan dalam pertanggungjawaban pidana, artinya pidana hanya dijatuhkan terhadap mereka yang benar-benar telah melakukan kesalahan dalam suatu tindak pidana. Adapun mengenai pengertian kesalahan ini, Mezger mengatakan bahwa “kesalahan adalah keseluruhan syarat uang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana”.10 Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan perbuatan itu, berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Perbedaan antara kesengajaan dan kelalaian semata-mata diperlukan dalam pembidanaan dan bukan penghapusan kesalahan. Unsur untuk dikatakan bahwa adanya perbuatan pidana didasarkan pada adanya kesalahan berupa kesengajaan (dolus, opzet, intention) yang diwarnai dengan sifat melawan hukum kemudian dimanifestasikan dalam sikap tindak. Kesalahan berupa kealpaan atau culpa yang diartikan sebagai akibat kurang kehati-hatian secara tidak sengaja sesuatu terjadi. Dalam bahasa Belanda asas tindak pidana tanpa kesalahan dikenal dengan istilah “Geen Straf Zonder Schuld”. 11 Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa dalam rangka melanyelenggarakan tugas sebagaimana dalam pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indoneisa berwenang untuk ( huruf l) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, yang diprasyaratkan dalam ayat 2 adalah tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan, harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, peritmbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa dan menghormati hak asasi manusia. Tugask pokok penyidikan merupakan bagian dari tugas Polri untuk melayani masyarakat, dalam pasal 14 ayat 1 huruf k dijelaskan bahwa dalam melaksankaa tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 (termasuk menegakkan hukum), Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian
Universitas Sumatera Utara
yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia maka konsep restorative justice juga dikenal di dalam undangundang lainnya antara lain undang-undang yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana anak yang merumuskan bahwa keadilan restorative merupakan suatu proses diversi yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Undang-undang peradilan anak yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah merumuskan restorative justice di dalam Pasal 1 angka 6 yang menyatakan “keadilan restorative adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan”. Polri dalam pelaksanaan tugas di bidang penegakan hukum, 12 telah menerapkan konsep restorative justice dengan mengklasifikasi tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yakni tindak pidana yang berpengaruh terhadap stabilitas Kamtibmas, tindak
12
Sisiwanto, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 67-70 bahwa fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame work) yang ditetapkan oleh suatu undangundang atau hukum.
Universitas Sumatera Utara
pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana ringan dan tindak pidana yang berkaitan perlindungan anak. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan restorative justice menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana. Pandangan restorative justice makna tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan kemasyarakatan. Berdasarkan pendekatan restorative justice, korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam sistem peradilan pidana yang sekarang ada. Dimensi restorative justice memaknai kejahatan untuk menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai proses pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usaha perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan tersebut. Pelaksanaan restorative justice dalam penanganan perkara pidana memberikan banyak kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelesaian masalah tindak pidana. Konsep restorative justice mempunyai suatu kerangka fikir dalam upaya mencari alternatif penyelesaian terhadap kasus tindak pidana tanpa hukum pidana dengan melibatkan korban, pelaku, pendukung korban, pendukung pelaku dan masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian. Alternatif penyelesaian yang dilakukan sebagai upaya menciptakan keadilan yang berprikemanusian. Penyelesaian dilakukan dengan
Universitas Sumatera Utara
tetap memberikan hak masing-masing pelaku dan korban dalam mediasi sebagai sentral dari pelaksanaan restorative justice. Penggunaan
restorative
justice
mengkontruksikan
terhadap
syarat
pertanggungjawaban bagi pelaku tindak pidana yakni adanya perbuatan melawan hukum (wederwettelijk).
Perbuatan
melawan
hukum
sebagai
salah
satu
syarat
pertanggungjawaban pidana disamping ada suatu tindakan (commission atau ommission) oleh si pelaku, yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang dan pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan. 13 Ajaran perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana khususnya perbuatan melawan hukum materil dibatasi penggunaannya melalui fungsi negatifnya sebagai alasan peniadaan pidana, dengan maksud untuk menghindari pelanggaran asas legalitas sekaligus dapat menghindari penggunaan analogi dalam hukum pidana dimaksudkan adalah perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut. 14 Contohnya yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang menerapkan sifat melawan hukum materiil dengan fungsi negatif yang bertujuan menghilangkan alasan penghapus pidana (yang tidak tertulis) adalah suatu tindakan pada umumnya dapat hilang
13
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 2002, hal. 32 14
Ibid
Universitas Sumatera Utara
sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum. 15 Proses penegakan hukum (law enforcement) secara normatif dalam sistem pemidanaan yang dianut dalam konsepsi hukum pidana Indonesia lebih mengarah pada pemenuhan syarat pertanggungjawaban pidana berupa perbuatan melawan hukum sebagai syarat prioritas tanpa memperhatikan asas ultimum remedium 16 yang dianut dalam konsepsi hukum pidana. Penggunaan perbuatan melawan hukum yang lebih diperioritaskan dalam menghadapi setiap gangguan dan permasalahan-permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentunya dapat berdampak pada ketidak puasan masyarakat. Ketidak puasan masyarakat terhadap proses hukum normatif tidak hanya terjadi di Indonesia, namun
juga menjadi isu internasional, bahkan Pada kongres
Congress on Crime Prevention and The Treatment of Offenders yang diselenggarakan di tahun 1990 dan 1995, beberapa lembaga swadaya masyarakat dari beberapa negara
15
Ibid Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, PT. Sofmedia, Jakarta, 2009, hal. 9 bahwa hukum pidana dipandang sebagai ultimum remedium artinya hukum pidana hendaknya dipandang sebagai upaya yang terakhir dalam memperbaiki kelakukan manusia. Perkataan ultimum remedium ini pertama sekali dipergunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda yaitu Mr Modderman dalam menjawab pertanyaan Mr Mackay seorang anggota parlemen Belanda mengenai dasar hukum perlunya penjatuhan hukuman bagi seseorang yang telah melakukan suatu pelanggaran hukum. Atas pertanyaan tersebut Modderman menyatakan:”... bahwa yang dapat dihukum itu pertama-tama adalah pelanggaran-pelanggaran hukum. Ini merupakan conditio sine qua non (syarat yang tidak boleh tidak ada). Kedua, yang dapat dihukum itu adalah pelanggaran-pelanggaran hukum, yang menurut pengalaman tidaklah dapat ditiadakan dengan cara-cara lain. Hukuman itu hendaknya merupakan suatu upaya terakhir (ultimum remedium). Memang terhadap setiap ancaman pidana ada keberatannya. Setiap orang yang berpikir sehat akan mengerti hal tersebut tanpa penjelasan lebih lanjut. Ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian ancaman pidana benar-benar menjadi upaya penyembuhan serta harus menjaga jangan sampai membuat penyakitnya lebih parah. 16
Universitas Sumatera Utara
mensponsori sejumlah sessi pertemuan untuk secara khusus berdiskusi tentang sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini untuk merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum. 17
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang dikemukakan dalam tesis ini sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan terkait restorative justice di dalam peraturan perundangundangan? 2. Bagaimana penerapan restorative justice yang dilakukan Polri di Polres Binjai dalam proses penanganan perkara pidana? 3. Bagaimana hambatan dan upaya yang dilakukan oleh Polri khususnya Polres Binjai dalam penerapan restorative justice pada proses penanganan perkara pidana?
17
Agus Andrianto, Op.cit, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengkaji dan menganalisis pengaturan menyangkut restorative justice di dalam peraturan perundang-undangan. 2. Untuk mengkaji dan menganalisis penerapan restorative justice yang dilakukan Polri di Polres Binjai dalam proses penanganan perkara pidana. 3. Untuk mengkaji dan menganalisis hambatan dan upaya yang dilakukan oleh Polri khususnya Polres Binjai dalam penerapan restorative justice pada proses penanganan perkara pidana.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis adalah sebagai berikut : 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan pemikiran-pemikiran teoritis terhadap penerapan restorative justice dalam penanganan perkara pidana yang pada gilirannya memberikan sumbangan bagi pembangunan hukum pidana nasional.
Universitas Sumatera Utara
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi penyidik Polri dalam menerapkan restorative justice pada penanganan perkara pidana.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengamatan penanganan perkara pidana di Polres Binjai dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan diperpustakaan Universitas Sumatera Utara, penelitian ini yang mengangkat judul ”Peran Polri dalam Mengimplementasikan Restorative Justice pada Penanganan Perkara Pidana (Studi di Polres Binjai)” belum pernah dilakukan, baik dalam judul dan permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Restorative justice dalam perkembangan mazab hukum dan penghukuman (perkembangan peradaban manusia) negara mengembalikan mandat ius ponale dan ius
Universitas Sumatera Utara
poniendi kepada masyarakat dalam kerangka penyembuhan pemulihan dan recovery. 18 Restoratif justice merupakan konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan pelaku, masyarakat dan korban sebagai langkah penyembuhan/recovery sosial dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Penyelesaian secara restorative justice berbeda dengan proses peradilan konvensional. Peradilan konvensional merupakan sebuah pengadilan yang menentukan kesalahan dan mengurus kerusakan/penderitaan yang dialami seseorang atau beberapa orang dalam sebuah forum antara pelaku tindak pidana dan negara menurut aturan yang sistematik. Restorative justice proses penyelesaian dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Howard Zehr pada tahun 1990 dalam bukunya yang menyatakan: 19 “Restorative Justice sees things differently… crimes is a violation of people and relationships…it creates obligations to make things right. Justice involves the victim, the offender and the community in a search for solutions which promote repair, reconciliation, and reassurance” (bahwa restorative justice melihat sesuatu proses peradilan dengan pandangan yang berbeda. Kejahatan merupakan kekerasan yang dilakukan oleh orang kepada orang lain atau lainnya. Restorative justice dijalankan untuk membuat segalanya menjadi baik atau pulih kembali. Keadilan dilaksanakan dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi yang mengutamakan perbaikan, rekonsiliasi dan perlindungan (reassurance). Restorative justice juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi integrited criminal justice system
18
Zulfa, Eva Achjani, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Penerbit Lubuk Agung, Bandung, 2011, hal. 74 19 Howard Zehr dalam Marlina, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Suatu Studi di Kota Medan), Disertasi, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006, hal. 50
Universitas Sumatera Utara
dalam mewujudkan Kemanfaatan dan Kepastian Hukum setelah para pihak merasakan/memperoleh Keadilan dalam proses pelaksanaannya. Ada baiknya untuk mencermati teori yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch bahwa ada tiga tujuan hukum (yaitu kemanfaatan, kepastian dan keadilan) dalam melaksanakan ketiga tujuan hukum ini dengan menggunakan “asas prioritas”. Akan tetapi keadilan harus menempati posisi yang pertama dan utama dari pada kepastian dan kemanfaatan. Berdasarkan ketiga tujuan hukum tersebut tentunya tidak dapat dilaksanakan secara bersama karena sebagaimana diketahui, di dalam kenyataanya sering sekali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan. 20 Tujuan hukum menurut Van Apeldoorn, tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai. 21 Menyangkut tujuan hukum terdapat beberapa teori yaitu: 22 1. Teori Etis, yang berpendapat bahwa tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Mengenai keadilan, Aristoteles mengajarkan dua macam keadilan yaitu keadilan distributif dan keadilan komulatif. Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Keadilan komulatif adalah keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang yang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa perseorangan. 2. Teori Utilitas, menurut Bentham bahwa tujuan hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Adagium yang terkenal adalah the greatest happiness for the greatest number artinya kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak. Ajaran Bentham disebut juga eudaemonisme atau utilitarisme.
20
Zulfa, Eva Achjani, Loc.cit Van Apeldoorn, L.J., Pengantar Ilmu Hukum, Pradya Paramita, Jakarta, 2000, hal. 10 22 Dudu Duswara Macmudin, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, Refika Aditama, Bandung, 2003, halaman. 24-28 21
Universitas Sumatera Utara
3. Teori pengayoman, mengemukakan tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia, baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlansung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas tidakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak. Usaha mewujudkan pengayoman tersebut termasuk didalamnya adalah mewujudkan ketertiban dan keteraturan, mewujudkan kedamaian sejati, mewujudkan keadilan, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Berdasarkan pendapat Gustav Radbruch yang mengembangkan pemikiran Geldingstheorie mengemukakan bahwa berlakunya hukum secara sempurna harus memenuhi tiga nilai dasar, meliputi: 23 1. Juridical doctrine, nilai kepastian hukum, dimana kekuatan mengikatnya didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi. 2. Sociological doctrine, nilai sosiologis, artinya aturan hukum mengikat karena diakui dan diterima dalam masyarakat (teori pengakuan) atau dapat dipaksakan sekalipun masyarakat menolaknya (teori paksaan). 3. Philosophical doctrine, nilai filosofis, artinya aturan hukum mengikat karena sesuai dengan cita hukum, keadilan sebagai nilai positif yang tertinggi. Konsep keadilan restorative adalah konsep dalam penyelesaian perkara pidana yang pada dasarnya terfokus pada upaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan oleh pelaku dengan upaya perbaikan, termasuk didalamnya adalah perbaikan hubungan antara pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut. 24 Pendekatan yang digunakan dalam implementasi keadilan restorative justice adalah kesepakatan. Kesepakatan dalam hal ini adalah kesepakatan para pihak yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan korban dan masyarakat atas kerugian dari tindak pidana yang terjadi.
23
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,1996, hal.19 bahwa nilai dasar hukum menurut Radbruch yaitu keadilan, kegunaan (Zweckmaszigkeit) dan kepatian hukum. 24 Zulfa, Eva Achjani, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
Restorative justice merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Menurut Barda Nawawi Arief diartikan sebagai mediasi penal (penal meniation). Mediasi ini sering disebut dengan ”mediation in criminal cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut ”Starfbemiddeling”. 25 Mediasi penal digunakan untuk mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mendiasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah ”victim offender mendiation” atau ”offender victim arrangement”. 26 Praktek mediasi penal muncul sebagai salah satu pemikiran alternatif dalam pemecahan masalah sistem peradilan pidana. Wacana restorative justice berupaya untuk mengakomodir kepentingan korban dan pelaku tindak pidana, serta mencari solusi yang lebih baik untuk kedua belah pihak, mengatasi berbagai persoalan sistem peradilan pidana. Mediasi penal yang merupakan bagian dari konsep restorative justice menempatkan sistem peradilan pidana pada posisi mediator. Peranan aparat penegakan hukum khusunya Polri dalam penegakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan fungsionalisasi hukum pidana, 27 artinya fungsionalisasi memegang peranan penting dalam suatu penegakan hukum, Barda Nawawi Arief
25
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara di luar Pengadilan, Pustaka Magister, Semarang, 2010, hal. 1-2 26 Yuarsi Susi Eja, Menggagas Tempat Yang Aman Bagi Perempuan, Cet 1, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2002, hal. 87 27 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal, Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal. 2, bahwa Salah satu upaya menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum termasuk hukum pidana merupakan bidang kebijakan penegakan hukum yang bertujuan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat. Upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa
fungsionalisasi hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau
bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretitasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum. 28 Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum. Fungsionalisasi ini terdapat tiga tahapan kebijakan yaitu tahap kebijakan formulatif sebagai suatu tahap perumusan hukum pidana oleh pihak pembuat perundang-undangan. tahap kebijakan aplikatif sebagai tahap penerapan hukum pidana oleh penegak hukum, tahap kebijakan administratif, yaitu merupakan tahap pelaksanaan oleh aparat eksekusi hukum. 29 Pada tahapan kebijakan aplikatif inilah Polri dapat menerapkan diskresi melalui pendekatan dan penguatan restorative justice penanganan perkara pidana. Diskresi menurut Erlyn Indarti sebagai berikut: 30 “Untuk memahami diskresi setidaknya dapat diidentifikasi dari 8 (delapan) unsur yang terkandung dalam pengertian diskresi yakni kemerdekaan, otoritas atau kewenangan, kebijaksanaan, pilihan, keputusan, tindakan dan ketepatan. Dengan memformulasikan 8 (delapan) unsur ini maka diskresi secara komprehensif bisa dirumuskan sebagai kemerdekaan dan/atau otoritas (seseorang/sekelompok orang/suatu institusi) untuk secara bijaksana dan dengan penuh pertimbangan menetapkan pilihan dalam hal membuat keputusan dan/atau mengambil tindakan
28
Barda Nawawi Arief, Teori-teori Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1994, hal. 157. Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 30 30 Erlyn Indarti, Diskresi dan Paradigma: Sebuah Telaah Filsafat Hukum, Pidato Pengukuhan, Disampaikan pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang 4 November 2010, hal. 39-41 29
Universitas Sumatera Utara
tertentu yang dipandang paling tepat. Perbuatan keputusan dan pengambilan tindakan ini pada dasarnya merupakan ujung dari suatu rangkaian proses yang sebenarnya panjang, walaupun pada kenyataannya bisa saja berlangsung hanya dalam sekejap. Proses dimaksud, melibatkan curahan kebijaksanaan yang dalam hal ini termuat pula kehati-hatian yang berpijak pada intelektualitas atau kecendikiawanan yang memadai. Proses tersebut juga melibatkan pertimbangan atau penilaian dari segala sudut pandang yang adil. Barulah kemudian sampai pada pilihan yang berkenaan dengan pembuatan keputusan dan/atau pengambilan tindakan tertentu. Sementara itu secara salah kaprah kata diskresi cenderung direduksi maknanya dan diartikan semata-mata sebagai tindakan yang diambil. Padahal tindakan yang diambil sebenarnya merupakan hasil atau produk dari diskresi, bukab diskresi itu sendiri. Kesalahan ini antara lain berpangkal pada kenyataan bahwa tindakan yang diambil merupakan keluaran dari diskresi yang kasat mata sehingga dapat diobservasi secara langsung. Pada kata kemerdekaan dan/atau otoritaslah semestinya focus dari makna kata diskresi diarahkan. Diskresi pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak dapat terelakkan baik bagi aparat penegakan hukum itu sendiri maupun didalam pelaksanaan tugasnya, walaupun di permukaan tanpak bertentangan dengan rule of law. Sifat peraturan yang memang terbuka secara logika, membuat elemen diskresi, setidaknya yang implicit, dengan demikian tidak dapat ditolak”. Penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri merupakan suatu tindakan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku. Kosep pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan tentunya harus dimulai dengan kriminalisasi yang menyatakan bahwa perbuatan pelaku sebagai suatu tindak pidana dan merupakan dasar untuk melakukan penyidikan dalam rangka penegakan hukum, norma dasar penegkan hukum pidana yang dianut dalam konsepsi hukum pidana Indonesia yakni berlandaskan KUHAP yang mensyaratkan suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. 31 Rumusan tersebut mengandung unsur antara lain: Pertama, hukum pidana harus bersumber pada undang-undang, asas ini disebut asas legalitas (lege), karena penguasa dalam
31
Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan tugas peradilan terkait ketentuan perundang-undangan maka akan terhindar dari kesewenang-wenangan atau penilaian pribadi seenaknya, hal ini berarti terdapat kepastian hukum bagi setiap pencari keadilan yang juga terikat kepada ketentuan perundang-undangan tersebut. Kedua, asas bahwa ketentuan pidana dalam undangundang tidak boleh berlaku surut (asas non retroaktif). Hal ini mengandung pengertian bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan tetap dilakukan secara integral yang berarti segala usaha yang bersifat rasional dilakukan untuk menanggulangi kejahatan harus merupakan satu kesatuan secara terpadu dengan menggunakan sanksi pidana.
2.Kerangka Konsep Konsep merupakan defenisi-defenis operasional agar tidak salah pemahaman dan penafsiran terhadap istilah-istilah yang muncul dalam penelitian berdasarkan variable yang diterapkan pada topik ini. Adapun kerangka konsep dalam penulisan tesis ini yakni: 1. Polri adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindung, pengayom dan pelayanan kepada masyarakat. Pengertian kepolisian sebagai lembaga adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga yang diberikan kewenangan menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pembicaraan terkait persoalan kepolisian berarti berbicara tentang fungsi dan lembaga kepolisian. “Fungsi Kepolisian” harus memperhatikan semangat penegakan hak asasi manusia, hukum dan keadilan. Rumusan fungsi kepolisian
Universitas Sumatera Utara
dalam Pasal 2 tersebut merupakan aktualisasi dari UUD 1945 Pasal 30 ayat (4) dan Pasal 6 (1) TAP MPR Nomor VII/MPR/2000, yang mengatur tentangan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang di dalamnya memuat substansi pemeliharaan
keamanan
dan
ketertiban
masyarakat,
penegakan
hukum,
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. 32 2. Penyidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.Pasal 4 KUHAP ini secara umum telah menentukan, bahwa setiap pejabat negara Republik Indonesia itu adalah penyelidik. Berarti semua pegawai kepolisian negara tanpa kecuali telah dilibatkan di dalam tugas-tugas penyelidikan, yang pada hakekatnya merupakan salah bidang tugas dari sekian banyak tugas-tugas yang ditentukan di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 3. Pendekatan keadilan restorative (restorative justice) yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah konsep keadilan restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana yang cenderung dikehendaki oleh para pihak untuk diselesaikan dalam tahap penyidikan Polri dan tidak dilanjutkan dalam tahap pengadilan. 4. Penanganan perkara adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tindakan - tindakan penyidik dalam
32
H.Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian. Profesionalisme dan Reformasi Polri, Laksbang Mediatama, Surabaya, 2007, hal. 55
Universitas Sumatera Utara
melakukan penyidikan tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah berita acara, yang selanjutnya dikompulasikan menjadi sebuah berkas perkara. Berkas perkara tersebutlah yang kemudian dlimpahkan kepada Jaksa selaku penuntut umum, untuk diteliti. Setelah dinyatakan lengkap oleh jaksa penuntut umum maka kewajiban penyidik selanjutnya adalah melimpahkan tersangka dan barang bukti atau dikenal dengan pelimpahan tahap dua. Setelah pelimpahan tahap dua, maka tugas dan tanggung jawab penyidikan telah selesai dan selanjutnya masuk pada tahap penuntutan oleh Jaksa penuntut umum.
G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian hukum yang mempergunakan data skunder yang penekanannya pada teoritis dan analisis kualitatif. Sifat penelitian adalah deskriptif analitis yang ditujukan untuk menunjang diperolehnya data yang bersifat faktual dan akurat. Penelitian deskriptif analitis dalam tesis ini dimaksudkan untuk menggambarkan secara sistematis fakta-fakta terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-
Universitas Sumatera Utara
teori. 33 Pengumpulan data dengan cara deskriptif ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan spesifikasi penelitian maka penelitian tesis ini adalah penelitian hukum 34 dengan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, 35 dengan menggunakan data sekunder baik berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa pendekatan, yaitu: 36 a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach). Hal ini dimaksudkan bahwa peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis. Hal ini harus dilakukan peneliti karena peraturan perundang-undangan merupakan titik fokus dari penelitian tersebut dan karena sifat hukum yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan yang lainnya secara logis. Kedua, All- inclusive, artinya bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekosongan hukum. Ketiga, Systematic, yaitu di samping bertautan antara satu dengan yang lainnya, norma-norma hukum tersebut tersusun secara hirarkis. 37
33
Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hal. 17 34 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, hal. 29, bahwa menurut Morris L Cohen: “Is the process of finding the law that governs activities in human society ..... it involves locating both the rules are enforced by the states and commentaries which explain or analyse these rules”. 35 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, 1985, hal. 14 bahwa penelitian hukum normatif bertujuan untuk menemukan aturan-aturan hukum. 36 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Noramtif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 185-191 37 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Boymedia Publishing, Malang, 2006, hal. 303
Universitas Sumatera Utara
b. Pendekatan konsep (Conseptual Approach). Konsep-konsep dalam ilmu hukum dapat dijadikan titik tolak atau pendekatan bagi analisis penelitian hukum, karena akan banyak muncul konsep bagi suatu fakta hukum. c. Pendekatan analitis (Analytical Approach). Pendekatan ini dilakukan dengan mencari makna pada istilah-istilah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundangundangan, dengan begitu peneliti memperoleh pengertian atau makna baru dari istilah-istilah hukum dan menguji penerapannya secara praktis dengan menganalisis putusan-putusan hukum. d. Pendekatan perbandingan (Comparative Approach). Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan peraturan perundang-undangan Indonesia dengan satu atau beberapa peraturan perundang-undangan negara-negara lain. Dapat juga dengan membandingkan keputusan pengadilan negara-negara lain, atau juga dapat dilakukan dengan membandingkan pelaksanaan peraturan perundangan yang mengatur suatu materi tertentu dengan pelaksanaan peraturan perundangan yang mengatur hal yang sama di satu atau beberapa negara lain. Di samping itu perbandingan hukum ini dapat juga dilakukan terhadap lembaga hukum dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum dari sistem hukum yang lain sehingga dengan mengadakan perbandingan tersebut peneliti dapat melakukan analisis data untuk menjawab permasalahan yang diajukan. e. Pendekatan sejarah (Historical Approach). Pendekatan sejarah ini dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan dari materi yang diteliti. Penelaahan ini diperlukan apabila peneliti memang ingin mengungkap materi yang diteliti pada masa lalu dan menurut peneliti hal ini mempunyai relevansi dengan masa sekarang, lebihlebih mempunyai relevansi dalam rangka mengungkap atau menjawab permasalahan yang diajukan. f. Pendekatan filsafat (Philosophical Approach). Pendekatan filsafat ini dipilih karena peneliti menginginkan dilakukannya penelaahan tentang materi penelitian tersebut secara mendalam. Hal ini sesuai dengan sifat filsafat yaitu mendasar, menyeluruh dan spekulatif sehingga pendekatan filosofis ini akan mengupas isu hukum atau materi penelitian secara menyeluruh, radikal dan mendalam. g. Pendekatan kasus (Case Approach). Penelitian kasus dalam penelitian hukum normatif bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian dalam tesis ini diarahkan kepada penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis kualitatif yang terdapat di dalam perundang-undangan. 38 Kajian ini berorientasi kepada hukum positif menyangkut restorative justice yang diatur dalam undang-undang. Penelitian dengan pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan untuk mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut. 39 Mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu undang-undang diharapkan mampu menangkap maksud dari pembentukan peraturan perundang-undangan. Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 2. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) bertujuan untuk mendapat konsepkonsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikiran yang konseptual sebagai ciri dari penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif lebih menekankan kepada data sekunder atau data kepustakaan yang berupa :
38
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 83 bahwa dalam penelitian kualitatif dikenal ada dua strategi analisis data yang sering digunakan bersama-sama secara terpisah yaitu model strategi analisis deskriptif kualitatif dan atau model strategi analisis verifikatif kualitatif. Kedua model analisis itu memberi gambaran bagaimana alur logika analisis data pada penelitian kualitatif sekaligus memberi masukan terhadap bagaimana teknis analisis data kualitatif digunakan. Dalam analisis data kualitatif, sebenarnya peneliti tidak harus menutup diri terhadap kemungkinan penggunaan data kuantitatif. Karena data ini sebenarnya bermanfaat bagi pengembangan analisis data kualitatif itu sendiri. 39 Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hal. 93
Universitas Sumatera Utara
a. Bahan hukum primer seperti Undang-Undang yang berkaitan dengan peran Polri dalam penanganan perkara pidana khususunya dalam menerapkan restorative justice antara lain Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan KUH Pidana serta KUHAP. Di samping itu peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan obyek penelitian. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah buku-buku ilmiah dan sebagainya. c. Bahan hukum tertier yang dapat mendukung bahan-bahan hukum primer dan sekunder, antara lain kamus hukum, kamus bahasa, dan lain sebagainya. Secara umum penelitian ini didasarkan pada bahan-bahan yang bersumber dari perpustakaan, dan dokumen-dokumen perusahaan. Penelitian tesis ini juga menggunakan data primer yakni melakukan wawancara dengan informan yang ditujukan untuk mendapatkan bahan-bahan dalam kerangka melengkapi atau mendukung bahan kepustakaan dan dokumen.
Universitas Sumatera Utara
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ditempuh dengan cara studi kepustakaan melalui penelitian hukum normatif guna memperoleh asas-asas, konsepsikonsepsi, pandangan-pandangan, doktrin-doktrin hukum serta isi kaedah hukum yang diperoleh dari dua referensi utama yaitu yang bersifat umum (perundang-undangan, peraturan, buku-buku teks, kamus) dan yang bersifat khusus (Jurnal laporan penelitian dan lain-lain) serta menggunakan teknik studi dokumen, yaitu metode pengumpulan data yang berupa dokumen-dokumen. Selanjutnya dilakukan wawancara untuk menunjang data sekunder sebagai data pendukung.
4. Analisis Data Data yang telah diperoleh oleh penulis, dianalisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif dengan logika induktif, yaitu berfikir dari hal khusus menuju hal umum dengan menggunakan perangkat interpretasi dan kontruksi hukum yang bersifat komparatif, yaitu dilakukan pembatasan kerangka studi dengan suatu analisis tanpa secara langsung untuk membangun atau menguji hipotesis atau teori-teori, dengan kata lain penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian normatif yang dilengkapi dengan perbandingan penelitian data-data sekunder. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang restorative justice, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga
Universitas Sumatera Utara
akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Uraian terhadap hasil dan pembahasan tidak dilakukan secara terpisah, melainkan secara bersamaan agar tidak ada data yang luput dari penganalisaannya. 40 Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan penelitian tesis ini.
40
Soerjono Soekanto, Op.cit, hal. 23
Universitas Sumatera Utara