BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan wilayah perairan yang memiliki luas sekitar 78%, sehingga laut dan pesisir pantai (coastal zone) merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Menurut FAO (2005), Indonesia merupakan salah satu pusat perkembangan ekosistem mangrove di dunia karena memiliki 15% dari total luas mangrove dunia, meskipun demikian laju kerusakan hutan mangrove yang terjadi sudah sangat mengkhawatirkan. Hutan mangrove di Indonesia mengalami penyusutan hingga mencapi 50.000 hektar (16%) per tahun. Mangrove merupakan ekosistem yang khas, unik dan kompleks karena adanya asosiasi antara flora dan fauna yang erat hubungannya dengan perubahan berbagai faktor lingkungan setempat (Mulyadi, 2010). Ekosistem mangrove dikenal dengan tempat hunian bagi berbagai jenis fauna yang menggantungkan hidupnya pada vegetasi dalam hutan. Seperti pada perakaran hutan dan estuari yang menjadi tempat hidup berbagai jenis ikan, crustasea, moluska dan lain – lain. Tumbuhan Mangrove yang secara umum tumbuh pada lingkungan muara dan tepi pantai yang merupakan tempat penumpukan sedimen yang berasal dari sungai, memiliki kemampuan untuk menyerap dan memanfaatkan logam berat yang terbawa di dalam sedimen sebagai sumber hara yang dibutuhkan untuk melakukan proses – proses metabolisme (Handayani, 2006). Kondisi mangrove yang mampu menyerap logam berat juga berpengaruh terhadap adanya hubungan timbal balik dengan flora dan fauna disekitarnya.
1
2
Luas hutan mangrove di wilayah Kamal dan Muara Angke pada tahun 1990 sekitar 1.144 hektar, namun karena kebijakan pemerintah sebagian besar kawasan mangrove dikonversi menjadi pemukiman. Hingga akhirnya, status Cagar Alam Muara Angke pada tahun 1998 diubah menjadi Suaka Margasatwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan dengan luas lahan menjadi 25,02 hektar. Selain mengalami penurunan kuantitas, kawasan mangrove Muara Angke juga terus mengalami tekanan berupa pencemaran limbah rumah tangga, limbah industri, penebangan liar, dan sampah padat, padahal secara ekologis, kehadiran hutan mangrove dikawasan ini berfungsi untuk melindungi pantai dari abrasi. Areal hutan mangrove terakhir di Jakarta ini juga berfungsi untuk melindungi keanekaragaman hayati pesisir yang tersisa di Jakarta. Keadaan mangrove Muara Angke yang semakin menyusut ini sangat mempengaruhi biota di dalam perairan. Besarnya populasi ikan di dalam perairan akan ditentukan oleh kualitas dan kuantitas makanan yang tersedia. Sumber makanan alami merupakan sumber makanan yang baik serta didukung oleh kondisi abiotik lingkungannya seperti suhu, cahaya, ruang, dan luas permukaan. Keadaan perairan Muara Angke yang sudah tercemar mengakibatkan kepadatan populasi semakin berkurang dan mengakibatkan persaingan ikan-ikan dalam mencari pakan.
3
1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka identifikasi yang dapat diambil adalah bagaimana kebiasaan makanan dari ikan-ikan hasil tangkapan di perairan Muara Angke terutama sekitar lokasi yang ditumbuhi mangrove.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketersediaan pakan dan kebiasaan makanan dari jenis-jenis ikan yang ada di perairan mangrove Suaka Margasatwa Muara Angke.
1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kebiasaan makanan dari jenis-jenis ikan yang ada di perairan mangrove Suaka Margasatwa Muara Angke.
1.5 Pendekatan Masalah Pada tahun 1998 hingga tahun 2013 ini Suaka Margasatwa Muara Angke merupakan ekosistem mangrove berukuran kecil (25,02 hektar) dengan sumber daya hayati yang sangat terbatas dan rapuh akan kerusakan. Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke merupakan muara dari sungai Cisadane, sungai Angke, sungai Kamal, dan Cengkareng drain. Kondisi tata air di daerah ini termasuk buruk, karena kurangnya daerah resapan air. Kualitas air dari sungai-sungai relatif
4
jelek dan terus mengalami penurunan kualitas karena volume dan jenis bahan pencemar yang masuk ke sungai-sungai terus bertambah (Mulyadi, 2010). Kualitas air yang memburuk dapat mempengaruhi biota yang ada di dalam perairan, terutama pada ikan dan plankton. Ikan sebagai vertebrata akuatik, sangat bergantung kepada lingkungan perairan tempat ikan tersebut hidup. Kebiasaan makanan dan cara makan ikan juga sangat dipengaruhi lingkungan setempat. Besar atau kecilnya populasi di dalam perairan ditentukan oleh jumlah dan kualitas pakan yang ada di perairan, mudah di dapat dan lama masa pengambilan pakan oleh ikan dalam populasi tersebut (Effendie, 1997). Menurut hasil penelitian Mulyadi (2010) yang di lakukan di 5 stasiun yaitu Muara Angke, Sungai Kapuk, Pesisir Muara Angke, Air Kubangan/ rawa, dan Pos Muara Angke, di temukan 19 jenis ikan yang tergolong dalam 18 marga dan 14 suku. Hasil tersebut menunjukkan bahwa jumlah jenis ikan di perairan Muara Angke relatif rendah. Rendahnya populasi ikan ini disebabkan oleh kondisi perairan Muara Angke yang sangat tercemar dan berbau kurang sedap. Warna air terlihat sangat hitam, lengket dan sedikit berminyak untuk kawasan pesisirnya. Ikan merupakan hewan heterotrof dimana untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya membutuhkan nutrient. Nutrien yang dibutuhkan tersebut berupa protein, mineral, lemak, karbohidrat, dan vitamin. Makanan yang tersedia di alam adalah makanan alami berupa plankton. Jenis makanan alami yang di makan ikan tergantung jenis ikannya dan tingkat umurnya (Mudjiman, 1989). Kebiasaan makanan (food habit) adalah kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan oleh predator (Effendie, 1997). Kebiasaan makanan dapat diketahui
5
melalui analisis makanan yang terdapat di dalam saluran pencernaan dan membandingkan dengan makanan yang terdapat di perairan. Perbandingan tersebut menunjukkan apakah satu hewan cenderung memilih jenis makanan tertentu sebagai pakannya atau tidak (Effendie, 1997).
Kondisi Perairan
Akibat Beban Pencemar
Pakan Alami
Sifat Ikan
Kebiasaan Makanan
Gambar 1. Bagan Alur Pendekatan Masalah