BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Kawasan pesisir (coastal zone) merupakan daerah pertemuan antara ekosistem laut dan darat yang merupakan tempat habitat bagi berbagai mahluk hidup serta mengandung berbagai sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang bermanfaat bagi manusia. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Karena banyaknya sumberdaya yang terkandung, menjadikan kawasan ini sebagai konsentrasi pemukiman penduduk beserta dengan segenap kiprah pembangunannya. Lebih dari separuh jumlah penduduk dunia bermukim di kawasan ini. Edgreen (1993) dalam Priyanto (2010) memperkirakan bahwa sekitar 50-70 % dari 5,3 milyar penduduk di bumi sekarang ini tinggal di kawasan. Di Indonesia sebanyak 324 kabupaten/kota terletak di kawasan pesisir dan lebih dari 60 persen penduduk Indonesia tinggal di kawasan pesisir (Kementerian Perikanan dan Kelautan, 2011). Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki ± 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang 104.000 km (Kementerian Perikanan dan Kelautan, 2012). Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah seluas 3,2 juta km² yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 juta km² dan laut teritorial seluas 0,3 juta km². Selain itu Indonesia juga mempunyai
1 Universitas Sumatera Utara
2
hak ekslusif untuk memanfaatkan sumber daya kelautan dan berbagai kepentingan terkait seluas 2,7 km² pada perairan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) sampai dengan 200 mil dari garis pantai. Sebagai negara kepulauan, wilayah pesisir merupakan kawasan strategis yang memiliki berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif. Hal ini membuat wilayah pesisir berpotensi menjadi penggerak utama (prime mover) potensi ekonomi nasional. Bahkan secara historis menunjukkan bahwa wilayah pesisir ini telah berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan geografis yang dimilikinya. Terdapat beberapa jenis potensi yang terdapat di wilayah pesisir. Menurut Dahuri et al., (2001) potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan secara garis besar terdiri dari tiga kelompok: (1) sumberdaya dapat pulih (renewable resources), (2) sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services). Sumberdaya dapat pulih adalah sumberdaya yang dapat dikembangkan atau dilestarikan, seperti hutan mangrove (bakau), terumbu karang, rumput laut, dan sumberdaya perikanan laut. Sumberdaya yang tidak dapat pulih terdiri dari seluruh mineral dan geologi, termasuk ke dalamnya antara lain minyak gas, batu bara, emas, timah, nikel, biji besi, batu bara, granit, tanah liat, pasir, kaolin, kerikil, dan batu pondasi. Jasa-jasa lingkungan meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan parawisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya.
Universitas Sumatera Utara
3
Potensi wilayah pesisir yang pemanfaatan paling besar dan menjadi tulang punggung wilayah pesisir adalah perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya. Berdasarkan Kementerian Perikanan dan Kelautan (2012) pada tahun 2011 volume produksi perikanan tangkap sebesar 5.409.100 ton yang terdiri dari 5.061.680 ton (93,58 persen) perikanan laut dan sisanya 347.420 ton (6,42 persen) berasal dari perikanan tangkap lainnya. Selain berasal dari perikanan tangkap, wilayah pesisir juga menyimpan potensi melalui perikanan budidaya. Berdasarkan sumber yang sama, pada tahun 2011 volume produksi perikanan budidaya di Indonesia tercatat sebesar 6.976.750 ton, dimana sebanyak 5.469.845 ton (78,40 persen) merupakan perikanan budidaya laut dan tambak. Dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB), sub sektor perikanan pada tahun 2007 menyumbang 2,47 persen terhadap PDB total Indonesia dengan nilai PDB sebesar 97.967,30 milliar rupiah kemudian meningkat menjadi 2,77 persen (137.249,50 milliar rupiah) pada tahun 2008. Pada tahun 2012, sub sektor perikanan berhasil menyumbang 3,10 persen terhadap total PDB (255.332,30 milliar rupiah). Selain dari sektor primer, pada sektor industri, pada tahun 2007 industri perikanan juga menyumbang sekitar 2,75 persen terhadap PDB total Indonesia dengan nilai 108.512,60 milliar rupiah dan terus meningkat menjadi 3,38 persen (217.137,30 miliar rupiah) pada tahun 2010. Pada Tabel 1.1 berikut disajikan perkembangan nilai PDB sektor perikanan dan indutri perikanan serta kontribusinya terhadap PDB total Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
4
Tabel 1.1. Produk Domestik Bruto (PDB) perikanan dan industri perikanan atas dasar harga berlaku Tahun 2007-2012 Sektor
2007
2008
2009
2010
2011
2012
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
Nilai PDB (Milliar Rupiah) Perikanan 97.697,3 137.249,5 176.620,0 199.383,4 226.691,0 255.332,3 Industri Perikanan 108.512,6 150.888,0 193.165,4 217.137,3 PDB Total 3.950.893,2 4.948.688,4 5.606.203,4 6.446.851,9 7.422.781,2 8.241.864,3 PDB Tanpa Migas 3.534.406,5 4.427.633,5 5.141.414,4 5.941.951,9 6.797.879,2 7.604.759,1 Persentase PDB Perikanan (%) Terhadap PDB Total 2,47 2,77 3,15 3,09 3,05 3,10 Terhadap PDB Tanpa Migas 2,76 3,10 3,44 3,36 3,33 3,36 Persentase PDB Industri Perikanan (%) Terhadap PDB Total 2,75 3,05 3,45 3,38 Terhadap PDB Tanpa Migas 3,07 3,41 3,76 3,67 -
Sumber: Statistik Indonesia, 2012 Keterangan: -) Data tidak tersedia
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa daerah pesisir sebagai penghasil utama perikanan mempunyai peran yang sangat besar dalam perekonomian dan tentunya masih memiliki potensi yang besar dan peluang untuk pengembangan. Pada Tabel 1.2 berikut disajikan potensi dan peluang pengembangan perikanan khususnya perikanan budidaya berdasarkan jenis budidaya. Dimana peluang budidaya perikanan di laut masih sangat terbuka, yaitu dari potensi sebesar 12.545.072 hektar yang sudah dimanfaatkan hanya sebesar 117.649 hektar saja atau masih sekitar 1 persen saja dari potensi yang ada. Tabel 1.2. Potensi lahan budidaya perikanan dan tingkat pemanfaatan di Indonesia (ha) Tahun 2011 Jenis Budidaya
Potensi
Pemanfaatan
Peluang pengembangan
[1]
[2]
[3]
[4]
1. Tambak
2.963.717
682.857
2.280.860
2. Kolam
541.100
146.577
394.523
3. Perairan Umum
158.125
1.290
156.735
1.536.289
165.688
1.370.601
12.545.072
117.649
12.427.423
4. Sawah 5. Laut
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012
Universitas Sumatera Utara
5
Berdasarkan Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 136/3240.K Tentang Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Sumatera Utara Tahun 2005-2010, Provinsi Sumatera Utara terletak pada pesisir geografis antara 1°- 4° LU dan 98° - 100° BT, sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau. Pantai Barat Sumatera Utara berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, sedangkan Pantai Timur berhadapan langsung dengan Selat Malaka. Luas areal Provinsi Sumatera Utara adalah 711.680 km² (3,72% dari luas areal Republik Indonesia). Berdasarkan sumber yang sama, Pantai Barat Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 763,47 km (termasuk Pulau Nias). Potensi lestari beberapa jenis ikan di perairan Pantai Barat terdiri dari: ikan pelagis 115.000 ton/tahun, ikan demersal 78.700 ton/tahun, ikan karang 5.144 ton/tahun dan udang 21.000 ton/tahun. Wilayah Pantai Barat Sumatera Utara terdiri dari 6 (enam) Kabupaten/Kota yaitu: Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal dan Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan. Luas administrasi kawasan pesisir Pantai Barat mencapai 25.328 km² (sekitar 39,93% dari luas Provinsi Sumatera Utara). Jumlah pulaupulau kecil yang terdapat di Pantai Barat Sumatera Utara mencapai 156 pulau. Pantai Timur Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 545 km. Potensi Lestari beberapa jenis ikan di perairan Pantai Timur terdiri dari: ikan pelagis 126.500 ton/tahun, ikan demersal 110.000 ton/tahun, ikan karang 6.800 ton/tahun dan udang 20.000 ton/tahun. Wilayah pesisir Pantai Timur Sumatera Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu: Kabupaten Langkat, Kota Medan, Kota
Universitas Sumatera Utara
6
Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Batu Bara dan Kabupaten Serdang Bedagai. Luas wilayah kecamatan pesisir dibagian timur Sumatera Utara adalah 43.133,44 km² yang terdiri dari 35 kecamatan pesisir dengan jumlah desa sebanyak 436 desa. Di Pantai Timur Sumatera Utara hanya terdapat 6 (enam) pulau-pulau kecil. Salah satu kabupaten di wilayah pesisir Pantai Timur Sumatera Utara yang memiliki potensi yang besar adalah Kabupaten Batu Bara. Secara administratif saat ini Kabupaten Batu Bara terdiri dari 7 kecamatan dan 151 desa/kelurahan dengan luas wilayah 904,96 km2. Pada wilayah ini terdapat 21 desa pesisir yang terletak di 5 kecamatan dengan panjang pantai 58 km. Berikut pada Tabel 1.3 disajikan jumlah desa/kelurahan di Kabupaten Batu Bara menurut kecamatan dan lokasi desa. Tabel 1.3. Jumlah desa/kelurahan di Kabupaten Batu Bara menurut kecamatan dan lokasi desa Kecamatan
Desa pesisir
Bukan desa pesisir
Jumlah
[1]
[2]
[3]
[4]
1. Sei Balai 2. Tanjung Tiram 3. Talawi 4. Limapuluh 5. Air Putih 6. Sei Suka 7. Medang Deras Jumlah
8 2 3 2 6 21
14 14 18 32 19 18 15 130
14 22 20 35 19 20 21 151
Sumber: BPS Kabupaten Batu Bara, 2013
Dengan luas wilayah dan panjang pantai sedemikian tersebut tentunya wilayah pesisir Batu Bara menyimpan potensi yang sangat besar. Beberapa potensi yang dimiliki antara lain: (1) Memiliki sumberdaya perikanan tangkap dan sumberdaya perikanan budidaya yang cukup tinggi; (2) Memiliki peluang pembibitan tanaman bakau; (3) Memiliki pantai yang potensial untuk
Universitas Sumatera Utara
7
w panttai & wisatta bahari; dan (4) Addanya dikembanggkan sebaggai lokasi wisata dukungan dan respoons yang positif p darii pemerintaah kabupatten, DPRD D dan p stakeholdeer yang terrkait untuk meningkattkan kesejaahteraan maasyarakat pesisir melalui beerbagai proggram untuk meningkatkkan kesejah hteraan masyyarakat pesisir. Berbbagai data yang akan disajikan menunjukk m kan bahwa Kabupaten Batu Bara meruupakan daerah potensii perekonom mian yang tinggi. t Salaah satu indiikator yang dapaat memberiikan gambaaran potenssi tersebut adalah tinngkat PDRB B per kapita, dim mana Kabuppaten Batu Bara B adalahh yang palinng tinggi di Sumatera Utara. U Pada Gam mbar 1.1 dissajikan bahw wa pada taahun 2012 PDRB P perk kapita Kabuupaten Batu Baraa sebesar 555,13 juta ruupiah jauh lebih l tinggii dibanding Sumatera Utara U secara um mum yang sebesar 26,5 57 juta rupiiah. Tinggin nya PDRB Kabupaten Batu Bara ini disebabkan d karena bannyaknya inddustri besarr yang bero operasi term masuk salah satunnya PT. Inaalum. p. Jutaan Rp 60 50 40 30 20 10 0 Asahan Simalunggun Serdang Bedagai Medan Batu Barra Sumut Assahan
2010 17,85 12,67 16,33 39,72 44,14 21,11 Sim malungun
2011 20,24 14,09 18,12 44,21 50,06 23,99 S Serdang Bedaagai
Medaan
2012 22,68 15,71 20,38 49,89 55,13 26,57 Batu Baara
Sumutt
Gambar 1.1. PDRB perkapita Batu B Bara daan beberapaa daerah di Sumatera S U Utara, Tahun 2010-2012
Universitas Sumatera Utara
8
Sebagaimana daerah pesisir lainnya, sektor perikanan juga memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian Kabupaten Batu Bara. Informasi pada Tabel 1.4 Menunjukkan bahwa sub sektor perikanan pada Tahun 2009 menyumbang 3,96 persen terhadap PDRB total Kabupaten Batu Bara dengan nilai PDRB sebesar 574,33 milliar rupiah, angka ini relatif tidak berubah sampai dengan Tahun 2012. Pada Tahun 2012, sub sektor perikanan menyumbang 3,75 persen terhadap total PDRB (788,30 milliar rupiah). Sektor yang memberikan kontribusi terbesar bagi PDRB Kabupaten Batu Bara adalah sektor industri yakni mencapai 33,50 persen pada tahun 2012 dengan nilai PDRB sebesar 11,26 trilliun rupiah, dimana sebesar 33,50 persen disumbang industri pengolahan makanan, minuman dan tembakau yang salah satunya adalah industri pengolahan hasil perikanan. Tabel 1.4. Produk Domestik Bruto (PDB) perikanan dan industri pengolahan atas dasar harga berlaku Tahun 2009-2012 Sektor
2009
2010
2011
2012
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
Nilai PDB (Milliar Rupiah) Perikanan Industri Pengolahan PDB Total
574.330,31
642.639,86
721.103,43
788.295,69
7.772.676,61
8.888.294,31
10.172.560,42
11.260.000,33
14.517.227,58
16.590.572,11
18.994.983,01
21.006.930,39
3,96
3,87
3,80
3,75
53,54
53,57
53,55
53,60
Persentase Terhadap PDB Total (%) Perikanan Industri Makanan, Minuman dan Tembakau
Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara 2013, (Data Diolah)
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa daerah pesisir sebagai penghasil utama perikanan mempunyai peran yang sangat besar dalam perekonomian dan tentunya masih memiliki potensi yang besar dan peluang untuk pengembangan. Berdasarkan informasi pada Tabel 1.5, jumlah produksi ikan di Kabupaten Bara
Universitas Sumatera Utara
9
pada Tahun 2012 adalah sebesar 29,44 ribu ton yang terdiri dari 28,66 ribu ton (97,34 persen) berasal dari laut dan sisanya sebesar 781,86 ton (2,66 persen) merupakan hasil budi daya perikanan darat. Jumlah produksi ikan ini diyakini masih jauh dari potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Batu Bara baik perikanan laut maupun perikanan darat. Tabel 1.5. Jumlah produksi ikan di Kabupaten Batu Bara menurut kecamatan dan lokasi tangkapan Kecamatan
Perikanan laut
Perikanan darat
Jumlah
[1]
[2]
[3]
[4]
1. Sei Balai 2. Tanjung Tiram 3. Talawi 4. Limapuluh 5. Air Putih 6. Sei Suka 7. Medang Deras Jumlah
14.960,00 2.997,00 1.805,00 1.878,00 7.020,00 28.660,00
99,92 75,80 32,10 29,10 81,82 33,27 429,85 781,86
99,92 15.035,80 3.029,10 1.834,10 81,82 1.911,27 7.449,85 29.441,86
Sumber: BPS Kabupaten Batu Bara, 2013 Berbagai penjelasan tersebut di atas sudah jelas menggambarkan betapa wilayah pesisir menyimpan potensi yang sangat besar. Akan tetapi pada kenyataannya yang terjadi sampai saat ini adalah bahwa kawasan pesisir masih sangat termarjinalkan oleh karena desa-desa pesisir sangat berpotensi menjadi kantong-kantong kemiskinan. Masyarakat pesisir yang mendiami desa-desa pesisir kehidupannya sangat memprihatinkan, terampas hak-haknya sehingga menjadi miskin. Kemiskinan di daerah pedesaan menjadi penyebab dan akibat terjadinya kerusakan sumberdaya alam pedesaan yang berdampak pada masyarakat luas (Rustiadi., et al., 2001). Kesalahan pelaksanaan pembangunan selama ini karena proses perencanaan pembangunan yang dilakukan masih bersifat
“top-down”.
Dimana
pemerintah
masih
menganggap
memiliki
kewenangan secara legal karena memegang amanat yang legitimate. Padahal
Universitas Sumatera Utara
10
dibalik amanat yang diterimanya, pemerintah berfungsi melayani/memfasilitasi masyarakat yang berkepentingan secara langsung di dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada. Kemiskinan dan tekanan-tekanan sosial ekonomi yang dihadapi oleh rumahtangga nelayan di desa pesisir berakar dari faktor-faktor kompleks yang saling terkait. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan kedalam faktor alamiah dan non alamiah. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim penangkapan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Faktor non alamiah berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya jaringan pemasaran dan belum berungsinya koperasi nelayan yang ada, serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini. Kabupaten Batu Bara merupakan salah satu daerah pesisir yang memiliki potensi perekonomian yang besar, namun di sisi lain masih memiliki permasalahan kompleks yaitu tingginya tingkat kemiskinan dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa Kabupaten Batu Bara memiliki nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku Tahun 2012 tercatat sebesar 21,01 trilliun rupiah dan atas harga konstan sebesar 8,11 trilliun rupiah serta dengan PDRB perkapita atas dasar harga berlaku sebesar 55.132.971 rupiah dan merupakan yang tertinggi di Sumatera Utara. Namun pada waktu yang sama persentase penduduk miskin secara makro di Kabupaten Batu Bara sebesar 11,24 persen lebih tinggi dari ratarata Sumatera Utara yang sebesar 10,41 persen. Kondisi ini tentunya
Universitas Sumatera Utara
11
menunjukkkan bahwa potensi perrekonomiann Batu Baraa yang demiikian besar tidak sepenuhnyya dinikmatti oleh masy yarakat Batuu Bara. Hal ini dapat diimengerti karena k tingginya nilai PDRB B Kabupateen Bara inii merupakaan kontribusi dari beberapa perusahaaan industri besar b sepertti PT. Inaluum dan peru usahaan bessar lainnya. Pada Gambar 1.2. 1 berikut disajikan perkembang p gan persenttase pendudduk miskin Batu Bara dan Sumatera S U Utara dari Taahun 2007-22012. 20 2 18 1 16 1
17,8 89 13,9
14 1
64 13,6 12,55
87 12,8 11,51
29 12,2 11,31
11,67 10,83
2009
2010
2011
Sum matera Utara
Batu Baraa
12 1
10,41
11 1,24
1 Persen 10 8 6 4 2 0 2007
2008
2012 2
Gambarr 1.2. Perkem mbangan Persentase Peenduduk Miskin M Sumaatera Utara dan d Batu Bara B Tahun n 2007-20122 Selaain tingkat kemiskinan n yang maasih tinggi,, kondisi yang y sama juga ditunjukkaan oleh kuaalitas sumbeer daya mannusia Kabuppaten Batu Bara B yang masih m rendah.
Hal ini diggambarkan melalui Inndeks Pem mbangunan Manusia (IIPM),
dimana niilai IPM Kaabupaten Baatu Bara masih m jauh leebih rendahh dibandingg ratarata Sumaatera Utara.. Pada Gam mbar 1.3 disajikan, bah hwa pada tahun t 2012 nilai IPM Kabuupaten Batuu Bara tercaatat sebesar 72,71 dan hanya h meneempati perinngkat dua puluhh lima di Suumatera Uttara. Untuk perbandinggan, pada taahun yang sama IPM di Sumatera S U Utara adalah h sebesar 75,13 7 (BPS S Provinsi Sumatera S U Utara, 2012).
Universitas Sumatera Utara
12
76 75,13 74,65
75 74 73
74,19
73,8 733,29 72,7 78
72 2,71 72,0 08
72 70,98 71
71,25
71,62 2
70,55
70 69 68 2 2007
2008
2009 Su umatera Utara
2010
2011
2012
Batu Baraa
mbangan Ind deks Pembaangunan Maanusia Sumatera Utara dan Gambar 1.3. Perkem Batu Bara B Tahun 2007-2012 ualitas sumbberdaya maanusia Tinggginya tingkkat kemiskinan serta reendahnya ku di Kabupaaten Batu B Bara diperkkirakan merrupakan konntribusi darri daerah peesisir. Sehingga dapat dikaatakan bahw wa daerah pesisir Kabbupaten Baatu Bara iddentik dengan keemiskinan, kualitas su umberdaya manusia yang y rendahh, sanitasi yang buruk, inffrastruktur yang terbaatas dan koondisi burukk lainnya. Pada Tabeel 1.6 berikut diisampaikan informasi terkait tinggkat kemiskkinan (persentase peneerima BLT 20111) dan tingkkat pendidikkan (ijazah tertinggi t yan ng dimiliki dan tingkatt buta huruf) yan ng dibedakaan menurut desa pesisiir dan desa bukan pesiisir. Berdasarkan kaca mataa kemiskinnan mikro hasil PPL LS (Pendataaan Program m Perlinduungan Sosial) Taahun 2011 yang dilakuukan oleh BPS, B persenntase rumahhtangga di desadesa pesissir Kabupateen Batu Barra yang mennerima BLT T yaitu rumaahtangga deengan kategori sangat misskin, miskiin, hampir miskin dan d rentan miskin lainnya mencapai 55,10 perseen jauh lebbih tinggi diibanding koondisi di deesa bukan pesisir p
Universitas Sumatera Utara
13
yang sebesar 37,89 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat desa pesisir jauh lebih rendah dibanding masyarakat desa bukan pesisir atau masyarakat Batu Bara pada umumnya. Tabel 1.6. Perbandingan tingkat kesejahteraan dan pendidikan penduduk desa pesisir dan bukan desa pesisir Batu Bara Indikator
Desa pesisir
Bukan desa pesisir
Total
[1]
[2]
[3]
[4]
Persentase Penerima BLT 2011
55,10
37,89
41,16
Tingkat Buta Huruf (%), 2010
6,66
3,30
4,16
• Tidak/belum Tamat SD
20,16
12,41
14,38
• Tamat SD
39,74
33,47
35,06
• Tamat SLTP
21,10
25,58
24,44
• Tamat SLTA
16,56
24,78
22,69
2,44
3,77
3,43
Ijazah Tertinggi yang Dimiliki (%), 2010
• Tamat Perguruan Tinggi
Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara, (Data Diolah) Selanjutnya dilihat dari kemampuan membaca dan menulis, tingkat buta penduduk di desa pesisir jauh lebih tinggi dibanding penduduk di desa bukan pesisir yaitu 6,66 persen dibanding 3,30 persen. Dilihat dati tingkat pendidikan yang ditamatkan, berdasarkan data Sensus Penduduk Tahun 2010, penduduk 15 tahun keatas di desa pesisir Kabupaten Batu Bara pada umumnya hanya tamat SD yaitu mencapai 39,74 persen. Namun selain itu terdapat juga sekitar 20,16 persen penduduk dewasa di pesisir Kabupaten Batu Bara yang tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD. Kondisi tersebut tentunya sangat menghawatirkan dan wajib mendapat perhatian serius, karena hanya 40,10 persen saja yang tamat pendidikan dasar (SLTP). Demikian pula jika dibanding dengan wilayah bukan pesisir, kualitas penduduk desa pesisir juga masih tertinggal.
Universitas Sumatera Utara
14
Masih terpuruknya kehidupan masyarakat pesisir tersebut salah satunya disebabkan
bahwa
pada
masa
lalu,
paradigma
pembangunan
lebih
memprioritaskan masyarakat perkotaan sedangkan masyarakat pesisir kurang diperhatikan. Pemerintah daerah tidak membedakan secara khusus kawasan pesisir dengan kawasan lainnya. Sudah saatnya paradigma tersebut dirubah dengan memberikan perhatian khusus terhadap masyarakat pesisir agar mampu mengejar ketertinggalan mereka akibat paradigma masa lampau. Salah satu upaya untuk mengejar ketertinggalan desa-desa pesisir Kabupaten Batu Bara ini adalah dengan mengembangkan desa-desa pesisir tersebut. Dalam rangka pengembangan desa-desa pesisir tersebut, perlu terlebih dahulu diketahui akar permasalahan dan potensi desa-desa pesisir. Langkah awal dalam upaya pemanfaatan wilayah pesisir secara berkelanjutan adalah melakukan kegiatan identifikasi kondisi sosial ekonomi masyarakat desa pesisir. Pemahaman yang menyeluruh tentang kondisi ini dapat dikernbangkan untuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan. Dengan demikian perlu dilakukan reorientasi kebijakan terhadap pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir di Kabupaten Batu Bara. Sebagai langkah awal dalam menciptakan prakondisi reorientasi kebijakan pola pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Batu Bara, maka dilakukan penelitian yang dapat mengetahui tingkat perkembangan wilayah desadesa pesisir di Kabupaten Batu Bara.
Universitas Sumatera Utara
15
1.2. Perumusan Masalah Telah banyak upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah di wilayah pesisir oleh para stakeholder, namun ternyata belum dapat memberikan hasil yang optimal. Dengan kata lain desa-desa pesisir tersebut pembangunannya tetap termarginalkan. Berdasarkan hal tersebut rumusan permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana keragaan relatif tingkat perkembangan desa-desa pesisir dibandingkan dengan desa lainnya di Kabupaten Batu Bara?
2.
Bagaimana karakteristik dari masing-masing cluster perkembangan desa?
3.
Bagaimana arah pengembangan desa-desa pesisir di Kabupaten Batu Bara ke depan, berdasarkan karakteristik dari masing-masing cluster perkembangan desa tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang
menjadi tujuan
penelitian ini adalah : 1.
Mengetahui keragaan relatif tingkat perkembangan desa-desa pesisir dibandingkan dengan desa lainnya di Kabupaten Batu Bara;
2.
Mengetahui karakteristik dari masing-masing cluster perkembangan desa;
3.
Memberikan arahan strategis pengembangan desa-desa di Kabupaten Batu Bara ke depan, berdasarkan karakteristik dari masing-masing cluster perkembangan desa tersebut.
Universitas Sumatera Utara
16
1.4. Manfaat Penelitian Sebagai suatu kajian analisis pengembangan wilayah, secara akademik penelitian ini kiranya dapat bermanfaat sebagai informasi awal untuk penelitian lebih lanjut tentang berbagai potensi dan arah pengembangan desa pesisir di Provinsi Sumatera Utara umumnya dan Kabupaten Batu Bara khususnya. Dengan kata lain, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi salah satu aspek pengembangan potensi di wilayah pesisir Kabupaten Batu Bara, yang sampai sekarang ini belum banyak diketahui dan dikaji. Pada gilirannya, penelitian ini kiranya memberikan manfaat bagi penentu kebijakan untuk mengelola dan memberdayakan potensi di wilayah pesisir Kabupaten Batu Bara khususnya.
Universitas Sumatera Utara