BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pulau Bali merupakan daerah tujuan wisata bagi wisatawan mancanegara dan lokal. Disamping memiliki daya tarik budaya, Bali juga memiliki daya tarik keindahan alam. Salah satu objek wisata yang terkenal di Bali adalah pantai Kuta, keindahan yang dimiliki pantai Kuta membuat kegiatan perekonomian di wilayah pantai Kuta berkembang pesat. Wilayah pesisir merupakan sumber daya potensial di Indonesia, dan merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km1. Garis pantai ini menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya : perikanan, hutan mangrove dan terumbu karang, sedangkan potensi nonhayati mencakup sarana penunjang seperti restoran, kafe-kafe dan pendukung pariwisata lainnya. Wilayah pantai merupakan wilayah yang memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi, sehingga menarik selera para penanam modal untuk berinvestasi. Hingga saat ini para investor saling berlomba untuk berinvestasi di wilayah pesisir mengingat daya tarik yang dimilikinya. Sumber daya wilayah pesisir hingga saat ini merupakan daya tarik atau primadona investor untuk menanamkan modalnya. Daya tarik wilayah pesisir oleh Pemerintah Kota maupun Kabupaten diyakini merupakan salah satu jalan 1
Dahuri, R. et al. 1998, Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan yang Berakar dari Masyarakat Kerjasama Ditjen Bangda dengan Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan IPB, Laporan Akhir, hal. 1 1
2
keluar dari keterpurukan ekonomi seiring dengan menipisnya sumber daya alam. Provinsi Bali merupakan provinsi yang terdiri atas gugusan pulau-pulau kecil yang terdiri dari pulau Nusa Penida, Lembongan, Ceningan dan Pulau Menjangan, Pulau Bali sendiri sebagai pulau terbesar dan pusat kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Di kawasan pesisir, Bali yang memiliki panjang garis pantai sekitar 430 km (empat ratus tiga puluh) mengalami kerusakan sekitar 181 km (seratus delapan puluh satu)2. Selain itu penanganan abrasi pantai di Bali yang semakin parah seringkali berlandaskan politik ekonomi pariwisata. Pantai-pantai yang menjadi pusat kegiatan pariwisata akan mendapat prioritas pembenahan dari pemerintah. Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta, adalah merupakan desa dengan garis pantai sepanjang lebih dari 1 (satu) km memiliki potensi yang cukup baik sebagai kawasan wisata bahari. Kegiatan nelayan tradisional yang masih kental dengan budaya pesisirnya, menjadikan pantai ini mempunyai peluang sebagai kawasan wisata bahari berskala international di masa mendatang. Secara tradisional wilayah pesisir Kedonganan dan wilayah pesisir Kuta telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai kepentingan, diantaranya upacara keagamaan, tempat penambatan jukung para nelayan, kegiatan sosial dan olah raga, tempat berekreasi masyarakat lokal. Selain itu, juga dimanfaatkan oleh masyarakat lokal untuk mendirikan rumah makan atau kafe-kafe yang berfungsi ganda bagi wisatawan, khususnya wisatawan asing.
2
Agung Wardana, Bali sebagai Provinsi Hijau, Layakkah Bali Post, Senin, 04 Oktober 2012, hal. 6
3
Sebagaimana diketahui dari berbagai kepustakaan terdapat beberapa sistem penguasaan tanah, salah satunya adalah sistem penguasaan tanah menurut hukum adat, yang dalam hal ini tanah dan masyarakat hukum adat mempunyai hubungan yang sangat erat3. Hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah menciptakan hubungan hukum yang konkret. Hubungan hukum tersebut oleh Van Volenhoven disebut dengan istilah beschikkingrecht atau juga dikenal sebagai hak ulayat. Ada beberapa peristilahan yang dipakai untuk mengalihbahasakan beschikkingrecht sebagai hak mempergunakan, dan sebagai
hak wilayah4.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (untuk selanjutnya disebut UUPA) melalui hak menguasai negara sesuai ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, pemerintah wajib berusaha agar bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunawan Wiradi menyatakan 5 ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA menekankan desentralisasi dalam hukum agraria, dengan demikian politik hukum agraria Indonesia selayaknya bercorak neo-populis yang menempatkan satuan usaha pada masyarakat dengan pertanggungjawaban diatur oleh negara. Kenyataannya, banyak sengketa agraria yang terjadi dimulai dengan
3
Budi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan , Jakarta, hal.
89. 4
Abdurrahman, 1978, Aneka Masalah Hukum Agraria Dalam Pembangunan di Indonesia “ Alumni, Bandung, hal. 34. 5 Gunawan Wiradi, dikutip dari Noer Fauzi, 1997, Penghancuran Populisme Dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraris Indonesia Pasca Kolonial, Hasil Konsorsium Pembaharuan Agraria , Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 68.
4
pemberian hak-hak keagrariaan oleh pemerintah kepada perusahaan modal besar atau bagi proyek pemerintah. Kondisi ini telah menjadi sisi lain dari pengadaan tanah berskala besar bagi proyek pembangunan pemerintah maupun perusahaan bermodal besar. Sengketa ini bersifat struktural, dalam arti bahwa sengketa atas sebidang tanah beserta segala sesuatu yang tumbuh di atasnya dan terkandung di dalamnya dimulai dengan pemberian hak atas tanah termaksud untuk proyek pembangunan dan telah terjadi ikatan kuat antara penduduk dengan tanah tersebut.6 UUPA sebagai peraturan dasar dan pokok dalam bidang keagrariaan, seharusnya dapat menjawab permasalahan yang timbul. Namun dalam kenyatannya masih terjadi sengketa berkepanjangan. Bagi masyarakat adat di Bali, berbicara tentang tanah berarti langsung berbicara tentang eksistensi dirinya. Ada gagasan-gagasan yang bersifat simbolik-kultural, atau lebih tepat disebut sosio-religius. Tanah bagi masyarakat Bali, merupakan simbol ibu (pertiwi) yang dipandang tidak semata-mata sebagai pemberi berkah kemakmuran melainkan juga sebagai tempat untuk perlindungan dan kekuatan7. Di samping itu, tanah juga merupakan salah satu mata rantai penting sebagai hubungan kekerabatan dalam struktur kemasyarakatan Bali, yang menjadikan sebagai semacam alat bukti identitas diri, khususnya terhadap penentuan hak dan kewajiban dalam kerangka struktur kemasyarakatan. Pemutusan ikatan masyarakat adat Bali dengan tanah
6
Zakaria Yando, dkk., Tanpa tahun terbit, Mensiasati Otonomi Daerah, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Jakarta, hal. 8 7 Dewa Gde Palguna, 1999, Bali dan Masa Depannya Epilog tentang Bali, Penerbit Bali Post hal. 80.
5
berarti tindakan mencabut identitas (kedudukan dan fungsi) masyarakat adat Bali dan ikatan kekerabatan. Persoalan akan timbul ketika nilai-nilai yang bersifat sosio-religius dihadapkan dengan kedudukan tanah yang semata-mata diposisikan sebagai benda ekonomis. Apabila diperhatikan bahwa permasalahan utama pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut disebabkan oleh adanya pemanfaatan berlebihan terhadap sumber daya tersebut dimana hal tersebut terkadang dipengaruhi oleh masalah sosial, politik, dan ekonomi. Untuk itu, perhatian utama terhadap pengelolaan sumber daya laut hendaknya dihubungkan dengan masalah kesejahteraan manusia dan konservasi sumber daya pesisir dan laut guna kelangsungan generasi yang akan datang.8 Oleh karena itu, dibutuhkan suatu konsep penataan penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir yang dapat menjaga sumberdayanya secara umum, khususnya di sepanjang kawasan pesisir Kedonganan dan Kuta dengan segala potensinya tersebut. Hal ini penting, sebab keunikan wilayah pesisir yang rentan berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pesisir, sehingga memerlukan pengaturan penguasaan dan pemanfaatan secara baik berdasarkan mekanisme hukum, agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya dengan baik, agar dapat tercipta harmonisasi penguasaan dan pemanfaatan di wilayah pesisir tersebut.
8
Sudirman Saad, 2003, Politik Hukum Perikanan Indonesia, Penerbit Lembaga Sentra Pemberdayaan Masyarakat, Cetakan Pertama, hal. 22
6
Penataan, penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir pantai telah memperoleh landasan hukum dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (selanjutnya disebut Undang-Undang Pesisir). Ketika Undang-Undang Pesisir tersebut dibuat telah memuat ketentuan tentang pemanfaatan wilayah pesisir dengan suatu instrumen hak yang disebut dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Artinya, pada kawasan perairan pesisir tersebut dapat diberikan HP-3, sehingga pengaturan pemanfaatannya menjadi jelas dengan instrument hak tersebut. Sementara pada bagian lain yang terkait dengan tanah di wilayah pesisir dimungkinkan untuk diberikan hak atas tanah oleh Badan Pertanahan Nasional walaupun dengan hak atas tanah yang bersifat terbatas, seperti Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah Negara. Namun perlu diperhatikan bahwa di Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta telah dipraktekkan penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir secara turun temurun baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan bersama dalam pelaksanan ritual keagamaan atau budaya. Pengelolaan
dan
pemanfaatan
wilayah
pesisir
sering
kali
tidak
memperhatikan kepentingan masyarakat di wilayah pesisir, bahkan mata pencaharian yang selama ini menjadi tulang punggung kehidupan mereka terabaikan dan tidak tergantikan oleh pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir yang dibangun, masyarakat lebih sering tergusur daripada diikutsertakan dalam proses pembangunan. Bahkan masyarakat terutama masyarakat adat yang masih memegang teguh nilai-nilai dasar budaya lokal dalam pengelolaan sumber
7
daya pesisir dan laut sering kali tidak terwakili aspirasinya dalam proses pembangunan atau mendapatkan keuntungan dari proses itu, padahal mereka memiliki hak untuk melindungi diri dan budayanya serta menolak perubahan yang berdampak negatif bagi diri dan lingkungannya. Dengan demikian, dalam pengelolaan kawasan pesisir, seluruh aspek sumber daya yang ada di dalamnya harus secara sinergis dan optimal dimanfaatkan untuk berbagai tujuan pemanfaatan yang multiguna. Dalam dekade terakhir pengelolaan kawasan pesisir menjadi perhatian penting sebagai salah satu sumber daya untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Pendekatan yang harus digunakan adalah pendekatan ekosistem budaya dan ekonomis agar kegiatan pemanfaatan dan penggunaan kawasan pesisir dapat dilaksanakan secara lestari dan berkelanjutan antar generasi. Berdasarkan fenomena diatas, maka perlu untuk dilakukan penelitian tentang Implikasi Pengaturan Usaha Pariwisata Wilayah Pesisir Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat Di Desa Adat Kedonganan Dan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian tentang ”Implikasi pengaturan usaha pariwisata wilayah pesisir terhadap hak-hak masyarakat adat di desa adat Kedonganan dan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali” aktual dan menarik untuk diteliti. Penelitian ini juga belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti lainnya sebagaimana dapat disimak dari penelusuran penelitian terkait sebagai berikut: a. Ni Wayan Trinadi, Tesis Universitas Udayana Denpasar Magister Kenotariatan 2008 dengan judul Eksistensi Hak Atas Tanah Ulayat
8
Masyarakat Adat Era Pasar Bebas (Studi Di Desa Adat Kuta), Hasil penelitian banyaknya tanah-tanah adat yang sudah beralih fungsi karena perkembangan pariwisata. b. I Wayan Tagel Sidartha, Tesis Universitas Diponogoro Semarang 2002 dengan judul Dampak Perkembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial Dan Budaya Masyarakat (Studi kasus di Desa Adat Sanur) hasil penelitian menyatakan dengan adanya pariwisata dari segi sosial dan budaya serta ekonomi terjadi perubahan yang sangat signifikan di desa adat sanur. c. I Wayan Mertha, Laporan penelitian Universitas Warmadewa Denpasar Fakultas Ekonomi 2006 dengan judul Penataan Pantai Kedonganan, Bali Dalam Upaya Pengembangan Wisata Bahari Berkelanjutan dari hasil penelitian dapat dijelaskan perlunya penataan terhadap tanah-tanah pesisir di desa adat kedonganan. Hasil penelusuran penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait seperti di atas menunjukkan dari judul dan permasalahannya yang dibahas tidak ada kesamaan dengan judul dan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini. Penulis pada intinya membahas tentang Pasal 61 dan Pasal 62 Undang-Undang Pesisir yang secara garis besar menyatakan bahwa Pemerintah mengakui, menghormati serta melindungi hak-hak masyarakat hukum adat wilayah pesisir dan juga kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat pesisir tersebut yang dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan.
9
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan Latar Belakang sebagaimana yang telah disampaikan diatas, maka dalam penulisan ini akan dibatasi pada permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah implikasi pengaturan usaha pariwisata wilayah pesisir terhadap hak-hak masyarakat adat di Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali? 2. Bagaimana implikasi penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir terhadap hak-hak masyarakat adat untuk kepentingan kegiatan usaha pariwisata? 1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum di bidang keagrarian yang kaitannya dengan pengaturan usaha pariwisata serta implikasinya terhadap penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. 1.3.2. Tujuan Khusus Disamping tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini secara spesifik diharapkan mampu : a. Untuk mengkaji dan menganalisa implikasi pengaturan usaha pariwisata wilayah pesisir terhadap hak-hak masyarakat adat di Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali b. Untuk mengkaji dan menganalisa lebih dalam mengenai implikasi penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir terhadap hak-hak masyarakat adat untuk kepentingan kegiatan usaha pariwisata
10
1.4. Manfaat Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum mengenai implikasi pengaturan usaha pariwisata terhadap penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. 1.4.1 Manfaat Teoritis Untuk dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan hukum khususnya hukum agraria serta hukum pertanahan yang berkaitan dengan tanahtanah di wilayah pesisir. Untuk dapat memberikan sumbangan di bidang hukum kepariwisataan terkait dengan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam pengelolaan tanah-tanah yang ada di wilayah pesisir untuk kepentingan kegiatan pariwisata. 1.4.2 Manfaat Praktis Di samping untuk mengetahui tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat praktis, yaitu: 1. Memberikan gambaran yang jelas tentang Pengaturan penguasaan dan pemanfaatan tanah pesisir di Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta. 2. Memberikan informasi dan pendapat yuridis kepada berbagai pihak, baik kepada Pemerintah khususnya Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah Daerah untuk mencari solusi yang dapat mewujudkan tujuan pemilikan, dan Pemanfaatan.
11
1.5.
Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
1.5.1. Landasan Teoritis Dalam penelitian ini akan digunakan teori-teori, konsep-konsep, maupun pandangan- pandangan para pakar yang berpengaruh sebagai landasan pemikiran penelitian. Pandangan-pandangan teoritis dimaksud dijastifikasi dengan peraturan perundang-undangan dan instrumen-instrumen hukum pertanahan 1.5.1.1 Konsep Negara Hukum Untuk memahami masalah penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam sistem hukum tanah nasional, maka diperlukan pemahaman tentang konsep negara hukum, karena konsep negara hukum menjungjung tinggi adanya sistem hukum yang menjamin kepastian hukum. Berdasarkan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M Friedman a legal system in actual is a complex in wich structure, substance and culture interact9, terdiri dari 3 komponen, yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum ( legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Konsep negara hukum juga menjunjung tinggi perlindungan hak-hak rakyat, termasuk hak-hak rakyat atas sumber daya agraria, dengan tujuan terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Negara dikatakan sebagai suatu Negara Hukum dapat dilakukan melalui penelusuran pandangan ilmiah para ahli. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl, bahwa yang memberikan unsur-unsur atau ciri-ciri dari suatu Negara Hukum adalah sebagai berikut:
9
Lawrence M Friedman, 1975, The Legal Sistem, A Social Science Perspective, Rusell Sage Foundation, New York, hal. 4.
12
1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia; 2. Adanya pembagian kekuasaan; 3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan; dan 4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.10 Sementara itu, A.V. Dicey mengemukakan mengenai unsur-unsur rule of law adalah sebagai berikut:11 1. Supremasi absolut atau predominasi dari aturan-aturan hukum untuk menentang dan meniadakan kesewenang-wenangan, dan kewenangan bebas yang begitu luas dari pemerintah; 2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court ini berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama. 3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekwensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan, singkatnya prinsipprinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian diperluas sehingga membatasi posisi crown dan pejabat-pejabatnya.
10
Oemar Seno Adji, 1966, Prasara dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium UI Jakarta, hal. 24. 11 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, Jakarta, hal. 75.
13
Dalam perumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945), Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Negara Kesatuan Indonesia adalah sebuah negara yang dalam menyelenggarakan pemerintahan adalah berdasarkan atas prinsip-prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintah, ini berarti bahwa kekuasaan Negara dibatasi oleh hukum (rechtsstaat), bukan didasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat) yang secara jelas ditentukan dalam Batang Tubuh UUD NRI 1945. Dengan demikian dalam penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan sistem pemerintahan yang oleh K.C. Wheare dinyatakan , first of all it is used to describe the whole system of government of a country, the collection of rule are partly legal, in the sense that courts of law ill recognized as law but which are not less effective in regulating the government than the rules of law strictly so called12 yang artinya pertama, dalam arti luas bahwa sistem pemerintahan dari suatu negara merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugastugasnya, kedua yaitu dalam arti sempit merupakan sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam suatu dokumen atau beberapa dokumen terkait satu sama lain. Secara konseptual istilah negara hukum di Indonesia dipadankan dengan dua istilah dalam bahasa asing, yaitu:13
12
K.C. Wheare, 1975, Modern Constitutions, London Oxpord University Press, hal. 1. 13 I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hal. 157.
14
a. Rechtsstaat (Belanda), digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law system. b. Rule of law (Inggris), menunjuk tipe negara hukum dari negara Anglo Saxon atau negara-negara yang menganut common law system. Konsep negara hukum di Indonesia disamakan begitu saja dengan konsep rechtstaat dan konsep the rule of law, hal ini dapat dimaklumi karena bangsa Indonesia mengenal istilah negara hukum melalui konsep rechtsstaat yang pernah diberlakukan Belanda pada masa kedudukannya di Indonesia, pada perkembangan selanjutnya terutama sejak perjuangan menumbangkan apa yang dalam periodisasi politik disebut perjuangan menumbangkan orde lama negara hukum begitu saja diganti dengan the rule of law.14 Indonesia tidak seyogyanya tidak begitu saja mengalihkan konsep the rule of law atau konsep rechtstaat sebagai jiwa dan isi dari negara hukum Indonesia, karena pada dasarnya Indonesia telah memiliki konsep negara hukumnya sendiri yaitu konsep Negara Hukum Pancasila. Menurut Philipus M. Hadjon, dengan merujuk bahwa asas utama Hukum Konstitusi atau Hukum Tata Negara Indonesia adalah asas negara hukum dan asas demokrasi serta dasar negara Pancasila, oleh karena itu dari sudut pandang yuridisme Pancasila maka secara ideal bahwa Negara Hukum Indonesia adalah Negara Hukum Pancasila.15 Lebih rinci disebutkan bahwa unsur-unsur Negara Hukum Pancasila adalah sebagai berikut:
14 15
Philipus M. Hadjon, Op. Cit., hal. 66-67 I Dewa Gede Atmadja, Op. Cit., hal. 162
15
a.
keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan nasional;
b.
hubungan yang fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara;
c.
prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir;
d.
keseimbangan antara hak dan kewajiban. Muhammad Tahir Azhari mengemukakan bahwa ciri-ciri Konsep Negara
Hukum Pancasila adalah merupakan hubungan yang sangat erat antara agama dan negara bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa–kebebasan beragama–ateisme tidak dibenarkan dan komonisme dilarang, asas kekeluargaan dan kerukunan diutamakan.16 Unsur-unsur utama Negara Hukum Pancasila, meliputi: Pancasila, sistem konstitusi, persamaan, dan peradilan bebas.17 Pernyataan tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, ini berarti membawa konsekwensi apapun yang dilakukan oleh pemerintah (Negara) harus berdasarkan hukum, yang dalam hal ini adalah aturan-aturan yang dibentuk dan diberlakukan. Sejalan dengan pendapat Hugo Grotius dari cabang filsafat hukum alam, bahwa jika negara akan membentuk hukum maka isi hukum itu haruslah ditujukan untuk mencapai apa yang menjadi tujuan negara.18
16
I Dewa Gede Atmaja, op.cit, hal. 163. Muhammad Tahir Azhari, 2003, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta, hal. 102. 18 Ida Nurlinda, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria, Perspektih Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 11. 17
16
Dalam konteks negara Indonesia, maka tujuan hukum harus berorientasi pada tujuan negara. Mengenai landasan filosofi dari negara Hukum Indonesia adalah Pancasila.19 Penegasan ini menunjukkan komitmen lebih tegas dari bangsa dan Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila untuk memberikan kedaulatan hukum
dalam
penyelenggaraan
kehidupan
bernegara,
berbangsa
dan
bermasyarakat di wilayah Negara Republik Indonesia. Negara Hukum menentukan alat-alat perlengkapannya yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan yang ditentukan terlebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan-peraturan itu.20 1.5.1.2. Konsep Hukum Tanah Nasional. Pemanfaatan dan penguasaan Tanah di wilayah pesisir yang diatur dalam Undang-Undang Pesisir yang bertujuan untuk mencapai masyarakat yang sejahtera di wilayah pesisir agar dapat merubah nasib warga negara Indonesia sehubungan dengan pemanfaatan dan penguasaan hak atas wilayah pesisir yaitu pembagian yang merata atas sumber penghidupan. Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang tunggal yang tersusun dalam suatu sistem berdasarkan alam pikiran hukum adat, sehingga sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional adalah hukum adat. Sebagaimana dinyatakan oleh Boedi Harsono, yang antara lain merumuskan bahwa falsafah/konsepsi hukum tanah nasional adalah komunalistik-religius, yang memungkinkan
19
Padmo Wahjono, 1983, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila, CV. Rajawali, cet. Ke-1, Jakarta, hal. 2. 20 Simposium Universitas Indonesia Jakarta, 1966, Indonesia Negara Hukum, Seruling Masa PT, Jakarta, hal. 159.
17
penguasa tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.21 Sifat komunalistik sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 UUPA merumuskan bahwa semua tanah dalam Wilayah Negara Indonesia adalah tanah bersama dari seluruh rakyat Indonesia, yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya mengenai watak religius tampak pada Pasal 1 angka 2 UUPA, yang menyatakan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya dalam Wilayah Negara Republik Indonesia adalah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dibandingkan dengan Konsepsi Hukum Tanah Barat (dengan dasar individualisme dan liberalisme) dan Konsepsi Tanah Feodal, maka konsepsi Hukum Tanah Nasional merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia, karna berdasarkan alam pikiran masyarakat adat bangsa Indonesia. Dari rumusan falsafah/konsepsi Hukum Tanah Nasional tersebut diatas, maka dapat dicermati beberapa hal sebagai berikut:22 a. Falsafah/konsepsi hukum tanah nasional merupakan suatu pikiran yang mendasar dan terdalam yang mengkristal sebagai nilai-nilai hukum yang akan melandasi pembentukan asas, lembaga, dan sistem pengaturan hukum tanah nasional; b. Tanah yang menjadi wilayah negara Republik Indonesia merupakan tanah bersama dan menjadi kekayaan bersama Bangsa Indonesia, sehingga 21
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Cetakan kesembilan (edisi revisi), Djambatan, Jakarta, hal. 229. 22 Oloan Sitorus & H.M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan Implementasinya, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, hal. 65.
18
kewenangan terhadap wilayah bangsa itu disebut sebagai Hak Bangsa Indonesia; c. Tanah bersama itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, sehingga hubungan Bangsa Indonesia dengan Wilayah Indonesia bersifat abadi; d. Hubungan Bangsa Indonesia dengan bumi air, dan ruang angkasa, sebagai wilayah Indonesia semacam hubungan hak ulayat, sehingga di dalamnya dikenal adanya hak penguasaan individual dalam bentuk hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi; e. Oleh karena hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi itu berasal dari hak bangsa sebagai hak bersama, maka di dalam setiap hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi terkandung unsur-unsur kebersamaan, sehingga setiap hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. 1.5.1.3. Teori Kewenangan Teori ini peneliti kemukakan dengan maksud untuk membahas dan menganalisis tentang kewenangan pemerintah Daerah dalam memberikan pengelolaan penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir pada masyarakat adat dalam menetapkan Zona penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir, dalam hal ini untuk menganalisis “apa dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan zona pengelolaan wilayah pesisir”. Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda bevoegdheid ( yang berarti wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan
(Hukum
Administrasi),
karena
pemerintahan
baru
dapat
menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara
19
dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.23 Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara hukum. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu kemampuan untuk melakukan suatu tindakan-tindakan hukum tertentu. Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan. 24 Lebih lanjut Hassan Shadhily memperjelas terjemahan authority dengan memberikan suatu pengertian tentang pemberian wewenang (delegation of authority). Delegation of authority ialah proses penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager) kepada bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggung jawab untuk
23
SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 154. 24 Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 1170.
20
melakukan tugas tertentu.25 Proses delegation of authority dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1. Menentukan tugas bawahan tersebut 2. Penyerahan wewenang itu sendiri 3. Timbulnya kewajiban melakukan tugas yang sudah ditentukan. I Dewa Gede Atmadja, dalam penafsiran konstitusi, menguraikan sebagai berikut : Menurut sistem ketatanegaraan Indonesia dibedakan antara wewenang otoritatif dan wewenang persuasif. Wewenang otoritatif ditentukan secara konstitusional, sedangkan wewenang persuasif sebaliknya bukan merupakan wewenang konstitusional secara eksplisit.26 Wewenang otoritatif untuk menafsirkan konstitusi berada ditangan MPR, karena MPR merupakan badan pembentuk UUD. Sebaliknya wewenang persuasif penafsiran konstitusi dari segi sumber dan kekuatan mengikatnya secara yuridis dilakukan oleh : 1. Pembentukan undang-undang; disebut penafsiran otentik 2. Hakim atau kekuasaan yudisial; disebut penafsiran Yurisprudensi 3. Ahli hukum; disebut penafsiran doktrinal
25
Ibid, hal. 172. Dewa Gede Atmadja, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum: Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekwen, Pidato Pengenalan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana 10 April 1996, hal. 2. 26
21
Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah sumber wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan pemerintahan. Teori sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan mandat.27 Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut : Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.28 Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut: Wewenang yang diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundangundangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru”. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.29 Kewenangan pemerintah yang dilakukan dalam hal menetapkan wilayah penguasaan dan pemanfaatan tanah pantai merupakan kewenangan yang diperoleh secara atribusi yang secara normatif diatur di dalam Undang-Undang Nomor 27 27
Ibid. Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta hal. 29. 29 Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Harapan, Jakarta , hal. 90. 28
22
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum.30 Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum, komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standard wewenang yaitu standard hukum (semua jenis wewenang) serta standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu). Dalam kaitannya dengan wewenang sesuai dengan konteks penelitian ini, standard wewenang yang dimaksud adalah kewenangan pemerintah di bidang pertanahan di wilayah pesisir pantai. Menurut Ronald Z. Titahelu dalam Abrar Saleng31, secara teoretik kekuasaan negara atas sumberdaya alam bersumber dari rakyat yang dikenal sebagai hak bangsa. Negara di sini dipandang sebagai territoriale publieke rechtsgemenschap van overheid en onderdaden, yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga masyarakat hukum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus dan memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh potensi sumberdaya alam yang ada dalam wilayahnya secara intern. Dalam kaitan dengan penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan perairan di sekitarnya, maka kawasan tersebut sebagai bagian dari sumber daya
30
Philipus M. Hadjon, 1997/1998, Penataan Hukum Administrasi, Tentang Wewenang, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, hal. 2. 31 Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, Penerbit UII Press, Yogyakarta, hal. 7-8.
23
alam yang merupakan pokok-pokok kemakmuran rakyat menjadi objek kekuasaan atau kewenangan Negara untuk mengatur, mengurus dan memelihara serta mengawasi pemanfaatan seluruh potensi sumber daya alam yang ada dalam wilayah Negara secara intern, bahwa penegasan hubungan antara Negara dengan sumber daya agraria (termasuk yang ada di wilayah pesisir ) itu ditentukan dalam Pasal 2
UUPA.
32
Kewenangan yang diperoleh oleh Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA menurut Maria S.W. Sumardjono33 ialah karena tidak semua permasalahan atau urusan dapat dilakukan atau diselesaikan oleh masyarakat sendiri. Sebagai penerima kuasa, maka segala tindakan negara yang berkaitan dengan pembuatan kebijaksanaan dan pengawasan atas terlaksananya
peraturan
dan
kebijaksanaan
itu,
harus
dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Hak menguasai negara atas tanah juga tidak berisikan wewenang untuk menguasai tanah secara fisik dan menggunakannya seperti halnya hak atas tanah, karena sifatnya memang mengatur atau semata-mata dalam aspek hukum publik.
Kalau negara
memerlukan tanah untuk kelangsungan jalannya pemerintahan, maka instansi Pemerintah yang bersangkutan dapat diberikan suatu hak atas tanah. Konsepsi hubungan bangsa Indonesia dengan tanah dalam tatanan konsep hak menguasai negara menurut UUPA, adalah semacam hubungan dalam hak ulayat yang
32
Farida Patittingi, 2009, Pengaturan Penguasaan Tanah Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Cetakan I, Penerbit Lanorka, Yogyakarta, hal. 106-107. 33 Maria S.W. Sumardjono 1982, 1982, Puspita Serangkum Aneka Masalah Hukum Agraria, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.hal. 6
24
diangkat pada tingkatan yang paling tinggi, yaitu meliputi seluruh wilayah negara Indonesia.34 1.5.1.4. Teori Keadilan Teori ini dimaksudkan untuk membahas dan menganalisis guna melengkapi kebutuhan pembahasan
mengenai
dasar kewenangan
pemerintah
dalam
menetapkan hak pengelolaan terhadap pemanfaatan dan penguasaan terhadap wilayah pesisir. Secara lebih luas, apakah telah memberikan manfaat bagi masyarakat maupun memberikan kesejahteraan yang berkeadilan seperti yang dikehendaki oleh UUD 1945. Keadilan adalah merupakan tujuan hukum yang hendak dicapai, guna memperoleh kesebandingan didalam masyarakat, disamping itu juga untuk kepastian hukum. Masalah keadilan (kesebandingan) merupakan masalah yang rumit, persoalan mana dapat dijumpai hampir pada setiap masyarakat, termasuk Indonesia.35 Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Membicarakan
hukum
adalah
membicarakan
hubungan
antarmanusia.
Membicarakan hubungan antar manusia adalah membicarakan keadilan. Adanya keadilan maka dapat tercapainya tujuan hukum, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Aristoteles, menyatakan bahwa kata adil mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Dalam hal ini ditunjukkan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak 34
Farida Patittingi, Op.Cit. hal. 107. Soerjono Soekanto, 1980, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, CV. Rajawali, hal. 169. 35
25
adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga dapat dikatakan tidak adil, karena semua hal yang didasarkan pada hukum dapat dianggap sebagai adil.36 Keadilan adalah merupakan suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak dan apa yang bukan hak. Lebih lanjut dikatakan bahwa agar terdapat suatu keadilan, maka orang harus memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang wajar, dan keadilan itu sendiri merupakan keutamaan moral. Ditinjau dari isinya, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan yaitu Justitia distributiva (keadilan distributif) dan justitia commutativa (keadilan komutativ). Terkait dengan keadilan maka Jeremy Bentham memunculkan teori kebahagiaan (utility) yang bersifat individualistis. Hukum harus mewujudkan kebahagiaan bagi individu, dan harus cocok untuk kepentingan masyarakat. Pada dasarnya hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Itu sebabnya teori keadilan dan utility merupakan perwujudan hukum
yang harus
diimplementasikan.37 Membicarakan hukum tidak cukup hanya sampai wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal, tetapi perlu juga melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilkan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa unsur keadilan merupakan unsur yang rumit dan abstrak dalam hukum, karena pada keadilanlah hukum itu bermuara. Mengingat abstraknya unsur-unsur keadilan
36
Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 156. 37 Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan konsep Menuju Penertiban, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hal. 43.
26
tersebut, maka berbagai pakar mengemukakan keadilan itu dengan perumusan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Sementara itu, filsuf Hukum Alam Thomas Aquinas, membedakan keadilan atas dua kelompok yaitu:38 1. Keadilan Umum (justitia generalis), adalah keadilan menurut kehendak undang undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Keadilan ini juga disebut dengan keadilan legal. 2. Keadilan Khusus, adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini dapat dibedakan lagi, yaitu: a. Keadilkan distributif (justitia distributiva); directs the distribution of goods and honours to each according to his place in the community, adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum, yakni apabila setiap orang mendapatkan hak atau jatahnya secara proporsiobal. b. Keadilan komutatif (justitia commutativa), adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi. c. Keadilan vindikatif (justitia vindicativa), adalah keadilan dalam menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.
Dari teori keadilan yang dikemukakan oleh beberapa filsuf tersebut, teori keadilan dapat dilihat juga dalam sistem hukum nasional, dimana pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar Negara. Pancasila sebagai dasar Negara atau falsafah Negara (filosofische grondslag) sampai sekarang tetap dipertahankan dan masih dianggap penting bagi Negara Indonesia. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesialah yang menghargai, 38
Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, Op. Cit., hal. 167.
27
mengakui, serta menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak merefleksikan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan atau pelanggaran itu direfleksikan dalam sikap, tingkah laku serta perbuatan manusia dan bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia Indonesia. Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada dasar Negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi : “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum nasional yang bersumber pada Pancasila. Menurut Kahar Masyhur yang mengemukakan pendapat-pendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terapat tiga hal tentang pengertian adil: 1. “Adil” ialah : meletakkan sesuatu pada tempatnya; 2. “Adil” ialah : menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang; 3. “Adil” ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran. Untuk lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif hukum nasional, terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan adalah pengakuan dan pelakuan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban,
28
dengan sendirinya apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya harus mempertahankan hak hidup tersebut dengan jalan bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada diri individu. Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila sebagai
sumber
hukum
nasional
bangsa
Indonesia,
pada
hakikatnya
menginstruksikan agar senantiasa melakukan hubungan yang serasi antar manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab.39 1.5.1.5. Asas Hukum Tanah Nasional Di dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki (kewerdaan atau urutan), yakni ada peraturan yang lebih tinggi dan ada peraturan yang lebih rendah, Perundang-undangan suatu negara merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki atau membenarkan atau membiarkan adanya pertentangan dan konflik di dalamnya. Oleh karena itu, sangat diperlukan asas-asas yang mengatur mengenai kedudukan dari masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, merumuskan bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Perundang-undangan yang baik yang meliputi: kejelasan tujuan,
39
http://ugun-guntari.blogspot.com/2011/12/teori - keadilan - dalam perspektif - hukum.html
29
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan. Dalam UUPA dimuat 7 asas bidang hukum pertanahan di Indonesia (asasasas Hukum Tanah Nasional). Asas-asas ini karena sebagai dasar dengan sendirinya harus menjiwai pelaksaanaan dari UUPA dan segenap peraturan pelaksanaannya, yaitu sebagai berikut: a. Asas nasionalitas subyek hak atas tanah; asas yang berasal dari asas hukum adat mengenai tanah yang selalu mendahulukan kebutuhan dan kepentingan anggota masyarakat hukum adat. Hanya anggota masyarakat hukum adat yang dapat mengambil manfaat secara penuh atas wilayahnya, sedangkan “orang asing” hanya dapat mempunyai hak yang bersifat sementara. Tanah Bangsa Indonesia sebagai keseluruhan adalah kekayaan nasional dan menjadi hak Bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya. b. Asas fungsi sosial hak atas tanah; asas ini ditemukan pada Pasal 6 UUPA yang menyatakan semua hak atas tanah berfungsi sosial, sehingga menurut pandangan secara rasionalitas adalah semua hak-hak atas tanah baik secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa sebagai kepunyaan bersama dari Bangsa Indonesia. c. Asas pemerataan dan keadilan; asas ini ditemukan dalam pasal-pasal tentang Landreform, seperti Pasal 7, 10, 11, dan 17 UUPA. Sama dengan orientasi hidup
masyarakat
adat
yang
mengedepankan
kesejahteraan
dalam
30
kebersamaan, dan demikian sebaliknya mengedepankan kebersamaan dalam kesejahteraan. d. Asas penggunaan tanah dan pemeliharaan lingkungan hidup; asas ini terdapat dalam Pasal 14 dan 15 UUPA, yang pada intinya menginginkan agar tercipta penggunaan tanah yang bijaksana dan berkesinambungan.
e. Asas kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam penggunaan tanah; asas ini di konkritkan pada Pasal 12 dan 13 UUPA, yang pada intinya mencegah usaha-usaha penggunaan dan pemanfaatan tanah secara monopoli. f. Asas pemisahan horisontal dalam hubungannya dengan bangunan dan tanah di atasnya; asas ini diadopsi dari hukum adat, yaitu bahwa penguasaan dan pemilikan tanah tidak meliputi penguasaan dan pemilikan benda-benda yang terdaapat di atasnya. g. Asas hubungan yang berkarakter publik antara negara dengan tanah, pada intinya jika pemerintah ingin secara langsung menggunakan tanah itu maka dapat diberikan hak pakai atau hak pengelolaan. 1.5.2. Kerangka Berpikir Untuk dapat menjawab rumusan masalah dalam tesis ini, maka diperlukan suatu kerangka berpikir yang dimulai dari pertanyaan rumusan masalah pertama yaitu Bagaimanakah implikasi pengaturan usaha pariwisata wilayah pesisir terhadap hak-hak masyarakat adat di Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, untuk dapat menjawab rumusan masalah pertama tersebut akan digunakan beberapa teori yang terkait yaitu Konsep Negara Hukum, Teori Kewenangan, Konsep Hukum Tanah Nasional, Azas Hukum Tanah
31
Nasional sedangkan untuk dapat menjawab rumusan masalah yang kedua yaitu bagaimana implikasi penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir terhadap hakhak masyarakat adat untuk kepentingan kegiatan usaha
pariwisata akan
digunakan teori yang terkait yaitu Teori Keadilan. Rincian kerangka berpikir tersebut dapat digambarkan sebagaimana bagan di bawah ini :
Bagan Kerangka Berpikir
Pengaturan
Penguasaan Pemanfaatan
Wilayah Pesisir
Usaha Pariwsata
Implikasi
Konsep Negara Hukum
Teori Kewenangan
Konsep Hukum Tanah Nasional
Azas Hukum Tanah Nasional
Teori Keadilan
32
1.6.
Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, artinya permasalahan yang diteliti dengan melihat aspek hukumnya dalam artian melakukan penelitian tidak bisa lepas dari peraturan atau ketentuan yang berlaku dan ditaati masyarakat dan dimaksudkan bahwa penulisan ini dikaitkan dengan fakta-fakta atau kejadiankejadian konkret dalam masyarakat atau dengan melihat kenyataan yang ada dalam masyarakat. 1.6.2. Jenis Pendekatan Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan yuridis sosiologis artinya melakukan pengkajian terhadap aturanaturan, norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan penelitian diarahkan pada fungsi hukum dalam masyarakat dikaitkan dengan hukum nasional positif yang berlaku di Indonesia seperti Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) UU Nomor 5 tahun 1960, UU Nomor 27 tahun 2007 tentang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan tanah Untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum serta Peraturan pelaksananya seperti PP dan Perda provinsi dan Kabupaten Badung, dan juga pendekatan fakta-fakta adanya peristiwaperistiwa hukum dimana dalam penelitian ini dilakukan di Desat Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta yang banyak tanah pesisir pantainya dimanfaatkan dalam kegiatan usaha pariwisata.
33
1.6.3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta, Kecamatan Kuta, Provinsi Bali, Indonesia. Ada beberapa pertimbangan terhadap pemilihan lokasi penelitian ini, yaitu: Kenyataan menunjukkan, perkembangan industri Pariwisata di Desa Adat Kedonganan dan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, sangat
pesat
sehingga
menimbulkan
banyak
permasalahan-permasalahan
khususnya dalam penyediaan tanah untuk kepentingan penunjang industri pariwisata. Dengan adanya semangat otonomi daerah, pemerintah daerah cenderung memacu peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui sektor pariwisata, sehingga akan memungkinkan terjadi adanya pengembangan industri pariwisata yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat adat di Desa Adat Kedonganan dan Kuta, terutama yang berhubungan dengan keberadaan tanah–tanah pesisir pantai. 1.6.4. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan (field research) yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan yaitu baik dari responden maupun informan. Sedangkan data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan (library research) yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data yang sudah didokumenkan dalam bentuk bahan
34
hukum seperti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yang dipergunakan seperti misalnya: UUDNRI 1945, TAP MPR IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan SDA, UUPA, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer seperti misalnya buku-buku, hasil penelitian ahli, maupun jurnal hukum yang berkaitan dengan permasalahan tanah Pantai. Bahan hukum tersier berupa bahan hukum sebagai penunjang seperti kamus hukum, kamus Indonesia – Inggris, ensiklopedia, maupun biblografi. 1.6.5. Teknik Pengumpulan Data Mengenai teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yang dipakai yang diperlukan dalam penelitian ini adalah: 1.
Wawancara (Interview) Wawancara
secara
mendalam
(indepth
interview)
dilakukan
untuk
mendapatkan data otentik melalui percakapan secara terstruktur dengan pihakpihak yang berhubungan langsung dengan permasalahan. Dalam hal ini wawancara akan dilakukan dengan Bendesa Adat Kedonganan dan Bendesa Adat Kuta, masyarakat Adat Kedonganan dan Kuta, wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang dipersiapkan terlebih dahulu.
35
2.
Observasi/Pengamatan Pengumpulan data dengan observasi atau pengamatan adalah cara
pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada bantuan alat standar lain untuk keperluan tersebut.40 Pengamatan tergolong sebagai teknik pengumpulan data, dengan kriteria sebagai berikut: (1). Pengamatan digunakan untuk penelitian dan telah direncanakan secara sistematik; (2). Pengamatan harus berkaitan dengan tujuan penelitian yang telah direncanakan;(3). Pengamatan tersebut dicatat secara sistematis dan dihubungkan dengan proposisi umum dan bukan dipaparkan sebagai suatu set yang menarik perhatian saja;(4). Pengamatan dapat dicek dan dikontrol atas validitas dan reabilitasnya.41 Pengamatan dilakukan di lapangan terhadap aktivitas masyarakat desa Kedonganan, pelaku dunia usaha, kondisi lingkungan Desa Adat, lokasi dan keadaan tanah yang berada dalam lingkungan pariwisata, untuk menggambarkan kegiatan, kondisi, situasi, dan keadaan pariwisata dan tanah-tanah adat. 3.
Studi Dokumen Dokumen sebagai bagian dari data sangat membantu untuk melengkapi data
yang diperoleh melalui wawancara dan observasi di lapangan. Adapun dokumen yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Peraturan Perundang-undangan, meliputi Peraturan Daerah (Perda), Bupati Kabupaten Badung, awig-awig, yang berkaitan dengan hak atas tanah wilayah pesisir pantai masyarakat Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta. Selain itu juga termasuk bahan informasi yang 40
Moh. Natzir, 1983, Metode Penelitian Kualitatif, Djambatan, Jakarta,
hal. 212. 41
Ibid, hal. 83.
36
relevan dari Lembaga Pembinaan Adat Bali, majalah ilmiah, hasil penelitian surat kabar lokal yang berkaitan dengan keberadaan hak atas tanah wilayah pesisir pantai. Studi dokumen dilakukan dengan mengkaji dokumen-dokumen yang relevan melalui metode analisa isi (content analysis), mengacu pada rumusan analisa konten dari Berelson42 menyatakan sebagai berikut: “Content Analysis is a research technique for the objective, systematic, and qualitative description of the manifest content of communication.” 1.6.6. Teknik Analisis Data Data primer yang diperoleh di lapangan melalui wawancara maupun observasi dan data sekunder yang berupa dokumen-dokumen diolah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis data maksudnya data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi lapangan dan dari studi dokumen dilakukan penggolongan/ kategorisasi data, diinterpretasikan, dan pemberian makna melalui analisa kenyataan yang dijumpai dalam praktek dihubungkan dengan norma atau teoriteori hukum. Proses analisa dilakukan secara bersamaan yang dimulai sejak awal penelitian sampai selesai proses penulisan tesis. Analisis data yang dilakukan secara bersamaan akan memudahkan peneliti dalam hal mengetahui apakah masih ada data yang kurang lengkap dan oleh karenanya perlu dilengkapi, atau masih ada pertanyaan yang masih harus dijawab responden, atau masih diperlukan
42
Valerine J.L. Kriekhoff, 1995, Analisis Konten dalam Penelitian Hukum Suatu Telaah Awal , Era Hukum No. 6 Tahun 2, hal. 86.
37
informasi-informasi baru lainnya.43 Analisis data dilakukan melalui pendekatan kualitatif kemudian dituangkan dalam bentuk deskriptif sesuai hasil penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research) untuk dapat memperoleh kesimpulan yang tepat dan logis sesuai dengan permasalahan yang dikaji.
43
Nasution, 1996, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung, hal.130.
38
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Ruang Lingkup Wilayah Pesisir 2.1.a. Pengertian Wilayah Pesisir Secara umum terdapat kesepakatan bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan laut44. Wilayah pesisir adalah kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan ekosistem laut, yang sangat rentan terhadap perubahan akibat aktivitas manusia di darat dan di laut, secara geografi ke arah darat sejauh pasang tertinggi dan ke arah laut sejauh pengaruh dari darat. Untuk kepastian hukum maka harus ada secara administrasi wilayahnya maka ke arah darat sejauh batas yang mempunyai peranan laut dan ke arah laut sejauh 12 mil dari garis pantai45. Di Indonesia pengertian yang digunakan adalah wilayah pesisir sebagai wilayah yang merupakan kawasan pertemuan antara daratan dan lautan, ke arah darat meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses yang berkaitan dengan laut atau sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut kawasan pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang
44
Rohmin Dahuri, Jacub Rais, Sapta Putra Ginting, dan M.J Sitepu, Pengelolaan Sumber Daya wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, 2001, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal.6. 45 Irwandi Idris, Sapta Putra Ginting, Budiman, 2007, Membangunkan Raksasa Ekonomi, PT Sarana Komunikasi Utama, Bogor, hal.197. 38
39
disebabkan kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran46. Secara ekologis, batas ke arah laut dari suatu wilayah pesisir mencakup daerah perairan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah (seperti aliran air tawar dari sungai maupun run-off) maupun kegiatan manusia (seperti pencemaran dan sedimentasi) yang terjadi di daratan. Sementara itu, batas ke arah darat adalah mencakup daerah daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut, seperti jangkauan pengaruh pasang surut, salinitas air laut, dan angin laut. Oleh karena itu, batas ke arah darat dan ke arah laut dari suatu wilayah pesisir bersifat sangat site specific atau bergantung pada kondisi biogeofisik wilayah berupa topografi dan geomorfologi pesisir, keadaan pasang surut dan gelombang, kondisi DAS (Daerah Aliran Sungai)47. Ruang kawasan pesisir merupakan ruang wilayah diantara ruang daratan dengan ruang lautan yang saling berbatasan. Ruang daratan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan termasuk perairan darat dan sisi darat dari garis terendah. Ruang lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai sisi laut pada garis laut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya. Dalam cakupan horizontal, wilayah pesisir di batasi oleh dua garis hipotetik. Pertama, ke arah darat wilayah ini mencakup daerah-daerah dimana proses-proses
46
Soegiarto,dalam Rohmin Dahuri, Jacub Rais, Sapta Putra Ginting, dan M.J Sitepu, 2001, Pengelolaan Sumber Daya wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal.8. 47 Bengen, 2005, buku narasi Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Bappenas, Jakarta, hal.95.
40
oseanografis (angin laut, pasang-surut, pengaruh air laut dsbnya) yang masih dapat dirasahkan pengaruhnya. Kedua, ke arah laut meliputi daerah-daerah dimana akibat prosesproses yang terjadi di darat (sedimentasi, arus sungai, pengaruh air tawar dsbnya). Wilayah perbatasan ini mempertemukan lahan darat dan masa air yang berasal dari daratan yang relatif tinggi (elevasi landai, curam atau sedang) dengan masa air laut yang relatif rendah, datar, dan jauh lebih besar volumenya. Menurut Beatley. T. D.J. Bower and A.K. Schwab, secara internasional wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf)48. 2.1.b. Pengertian Wilayah Pesisir Menurut Undang-Undang wilayah pesisir menurut Bab I Ketentuan Umum angka 2 Undang-Undang Pesisir menyebutkan bahwa : Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Mengenai ruang lingkup wilayah pesisir dapat dilihat dalam Pasal 2 yang menyatakan: Ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai.
48
Rokhmin Dahuri, Jacub Rais, Sapta Putra Ginting dan M.J. Sitepu, Op. Cit, hal. 9.
41
Penjelasan Pasal 2 menerangkan bahwa ruang lingkup pengaturan dalam UndangUndang ini meliputi Wilayah Pesisir, yakni ruang lautan yang masih dipengaruhi oleh kegiatan di daratan dan ruang daratan yang masih terasa pengaruh lautnya, serta Pulau-Pulau Kecil dan perairan sekitarnya yang merupakan satu kesatuan dan mempunyai potensi cukup besar yang pemanfaatannya berbasis sumber daya, lingkungan,dan masyarakat. Dari ruang lingkup wilayah pesisir yang disebutkan dalam Undang-Undang Pesisir tersebut dalam implementasinya, ke arah laut ditetapkan sejauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sedangkan ke arah daratan ditetapkan sesuai dengan batas kecamatan untuk kewenangan provinsi. Kewenangan kabupaten/kota ke arah laut ditetapkan sejauh sepertiga dari wilayah laut kewenangan provinsi sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sedangkan ke arah daratan ditetapkan sesuai dengan batas kecamatan. Berdasarkan Undang-Undang Pesisir definisi kawasan pesisir dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 8 yang menyebutkan : Kawasan adalah bagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya. Terdapat beberapa pengertian kawasan dalam Undang-Undang tersebut yang termuat dalam angka 9 dan 10 yang menyebutkan sebagai berikut : Pasal 1 angka 9 : Kawasan Pemanfaatan Umum adalah bagian
42
dari Wilayah Pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi berbagai sektor kegiatan; Pasal 1 angka 10 : Kawasan Strategis Nasional Tertentu adalah Kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional. Jika dilihat pengertian Kwasan menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : Kep.10/Men/2002 Tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu Kawasan pesisir adalah wilayah pesisir tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan kriteria tertentu, seperti karakterisitik fisik, biologi, sosial dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaanya. Dari dua pengertian tentang wilayah pesisir dan kawasan pesisir tersebut mengandung arti bahwa kawasan pesisir merupakan sebagian atau seluruh wilayah pesisir yang ditetapkan sebagai kawasan pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir juga dapat diartikan sebagai suatu proses evolusioner dan terus menerus untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang meliputi penilaian komprehensif, penetapan tujuan, perencanaan dan pengelolaan terhadap sistem dan sumber daya pesisir, dengan memperhatikan perspektif kebijakan tradisional, budaya dan sejarah serta memperhatikan konflik kepentingan dan pemanfaatannya. Selain itu juga ada pengertian yang menyatakan pengelolaan wilayah pesisir adalah proses yang memadukan semua aspek baik fisik, bilogi dan kehidupan manusia di wilayah pesisir dalam suatu kerangka pengelolaan49.
49
World Coast Conference dalam CA Davos, 1998, Sustaining cooperation coastal sustainability, Journal of Environmental Management, hal.379.
43
Dalam Ketentuan Umum angka 1 Undang-Undang Pesisir menyatakan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan,dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antar sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tujuan penyusunan UndangUndang ini adalah: a. menyiapkan peraturan setingkat undang-undang mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil khususnya yang menyangkut perencanaan, pemanfaatan, hak dan akses masyarakat, penanganan konflik, konservasi, mitigasi bencana, reklamasi pantai, rehabilitasi kerusakan pesisir, dan penjabaran konvensi-konvensi internasional terkait; b. membangun sinergi dan saling memperkuat antarlembaga Pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir sehingga tercipta kerja sama antarlembaga yang harmonis dan mencegah serta memperkecil konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan antarkegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; serta c. memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha. Mengenai tujuan pengelolaan wilayah pesisir termuat dalam Pasal 4 yang menyebutkan
44
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan dengan tujuan: a. Melindungi,
mengonservasi,
merehabilitasi,
memanfaatkan,
dan
memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan; b. Menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; c. Memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan berkelanjutan; dan d. Meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang relatif kaya sering menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduknya padat. Namun, sebagian besar penduduknya relatif miskin dan kemiskinan tersebut memicu tekanan terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi sumber penghidupannya. Apabila diabaikan, hal itu akan berimplikasi meningkatnya kerusakan Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, masih terdapat kecenderungan bahwa industrialisasi dan pembangunan ekonomi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sering kali memarginalkan penduduk setempat, oleh sebab itu diperlukan norma-norma pemberdayaan masyarakat.
45
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan terhadap perubahan perlu dilindungi melalui pengelolaan agar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan dalam pengelolaannya sehingga dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk kepentingan ekonomi tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang melalui pengembangan Kawasan Konservasi dan Sempadan Pantai. Pengawasan dan pengendalian dilakukan untuk: 1. Mengetahui adanya penyimpangan pelaksanaan rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, serta implikasi penyimpangan tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem pesisir; 2. Mendorong agar pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil sesuai dengan rencana pengelolaan wilayah pesisirnya; 3. Memberikan sanksi terhadap pelanggar, baik berupa sanksi administrasi seperti pembatalan izin atau pencabutan hak, sanksi perdata seperti pengenaan denda atau ganti rugi; maupun sanksi pidana berupa penahanan ataupun kurungan. 2.2. Hukum Tanah Nasional 2.2.a. Sejarah Hukum Tanah Nasional Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pengaturan
Dasar-Dasar
Pokok
Agraria
(selanjutnya
disebut
UUPA),
diberlakukan Hukum Agraria warisan pemerintah kolonial Belanda khususnya di bidang pertanahan yang bersifat dualistis yaitu Hukum Adat dan Hukum Barat.
46
Adapun Hukum Barat diterapkan di Indonesia adalah hukum kolonial yang sangat merugikan bangsa Indonesia yang bersumber pada Burgerlijk Wetboek dan Agrarisch Wet tahun 1870 No. 55. Dengan diundangkannya UUPA yang berlaku sejak 24 September 1960, maka bangsa Indonesia telah mempunyai sendiri hukum agraria yang sudah diunifikasi dan bersifat nasional berdasarkan hukum adat yang sudah disanir.50 Hukum agraria tidak sekedar mencatat hal-hal dan perilaku manusia yang berulang kali terjadi, tetapi mengejar kesejahteraan rakyat dan hukum agraria. Maka dari itu hukum agraria harus dinamis agar dapat mengantarkan masyarakat Indonesia ke arah cita-cita yang terkandung dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.51 Setelah berlakunya UUPA, terciptalah suatu kesatuan hukum (unifikasi) dibidang Hukum Agraria di Indonesia. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUPA maka pengertian dan obyek agraria adalah meliputi : bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang pada saat ini dikenal dengan istilah sumber daya alam. Dapat disimpulkan pengertian Hukum Agraria dalam arti luas merupakan suatu kelompok berbagai hukum yang mengatur tentang hak-hak penguasaan atas
sumber daya alam, seperti telah
disebutkan di atas. Adapun pengertian Hukum agraria dalam arti sempit maka
50
Soehadi,R. , 1978, Penyelesaian Sengketa Tentang Tanah Sesudah Berlakunya Undang-undang Pokok Agraria, Karya Anda, Surabaya, hal.11. 51 Mohammad Hatta, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Cet. I, Media Abadi, Yogyakarta, hal.22.
47
Hukum Agraria hanya menyangkut Hukum Pertanahan yaitu bidang hukum yang mengatur tentang Hak-hak Penguasaan atas Tanah.52 Istilah agraria atau sebutan agraria dikenal dalam beberapa bahasa. Dalam bahasa Belanda, dikenal dengan kata akker yang berarti tanah pertanian, dalam bahasa Yunani kata agros yang juga berarti tanah pertanian53. Dalam bahasa Latin, ager berarti tanah atau sebidang tanah, agrarius berarti perladangan, persawahan dan pertanian54. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia agrarian berarti urusan pertanian atau tanah pertanian55. Dalam Black Law Dictionary arti agraria adalah segala hal yang terkait dengan tanah, atau kepemilikan tanah terhadap suatu bagian dari suatu kepemilikan tanah (agraria is relating to land, or land tenure to a division of landed property)56. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043), atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang merupakan landasan hukum tanah nasional tidak memberikan definisi atau pengertian mengenai istilah agraria secara tegas. Walaupun UUPA tidak memberikan definisi atau pengertian secara tegas tetapi dari apa yang tercantum dalam konsideran, pasal-pasal dan penjelasanya dapat 52
Ibid. Urip Santoso, 2009, Hukum Agraria dan hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana, hal 1. 54 Prent K Adisubrata, WJS. Poerwadarminta,1960, Kamus Latin Indonesia, Semarang: Yayasan Kanisius 55 Departemen Pendidikan Nasional, 2007, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga, Cetakan Keempat, Balai Pustaka, Jakarta, hal 13. 56 Bryan A. Gadner, 2004, Black’s Law Dictionary: Eighth Edition, USA: West Publishing Co, hal 73. 53
48
disimpulkan bahwa pengertian agaria dan hukum agraria dipakai dalam arti yang sangat luas57. Pengertian agraria meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya58. Dalam pengertian yang disebutkan dalam Pasal 48 UUPA bahkan meliputi juga ruang angkasa, yaitu ruang diatas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu. Dari uraian dalam UUPA maka yang dimaksud dengan agraria adalah pengertian agraria yang luas, tidak hanya mengenai tanah semata tetapi meliputi bumi air, ruang angkas, dan kekayan alam yang terkandung didalamnya. Adapun pengertian bumi adalah meliputi permukaan bumi, tubuh bumi, dibawahnya, serta yang berada dibawah air. Permukaan bumi yang dimaksud, disebut juga sebagai tanah. Dapat disimpulkan bahwa pengertian tanah adalah meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut. Pengertian-pengertian mengenai agraria secara umum berkaitan dengan tanah atau tanah pertanian karena dari istilah yang muncul dalam bahasa latin yang hampir sama penyebutannya dengan Agraria yakni Agrarius yang berarti tanah untuk pertanian. Dapat dipahami tentunya mengingat pada saat itu tanah begitu luasnya dan hanya digunakan sebagai tempat untuk pertanian, karena saat itu yang
57
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya Jilid 1, Djambatan, Jakarta, hal.6. 58 Ibid.
49
menyangkut mengenai tanah dan yang perlu diatur adalah tanah pertanian. Tanah Pertanian pada saat itu adalah faktor terpenting dari kegiatan ekonomi. Istilah agraria dalam bahasa Inggris yakni Agrarian lebih luas lagi yakni tanah dan yang berkaitan dengan tanah dan juga terdapat pengertian bahwa tanah juga didefinisikan sebagai tanah untuk penghunian dalam bidang perumahan. Pengertian dalam bahasa Inggris lebih luas dari pengertian sebelumnya yang digunakan dalam bahasa latin. Hal ini dikarenakan dalam perkembangannya tanah tidak hanya digunakan untuk pertanian, tetapi seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk maka tanah juga dibutuhkan untuk permukiman dan penghunian rakyat. Dalam UUPA, pengertian agraria menjadi lebih luas lagi dari pengertian dalam teks bahasa Inggris. Pembuat undang-undang memasukan faktor sumber daya alam dalam definisi agraria, menurut penulis hal tersebut dimaksudkan untuk membuat landasan hukum terhadap kekayaan sumber daya alam Indonesia. Jadi bila ingin memanfaatkannya kekayaan sumber daya alam tersebut, negara harus ikut berperan dalam pengaturanya sesuai dengan jiwa Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Selanjutnya mengenai pengertian hukum agraria, terdapat juga beberapa pendapat ahli dan definisi mengenai hal tersebut. Menurut Black Law’s Dictionary, agrarian law is the body of law governing the ownership, use, and distribution of rural land.53 Agrarian laws digunakan juga untuk menunjukan kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya. Definisi lain dari hukum agraria yang dalam bahasa belanda disebut dengan agrarisch recht, merupakan istilah yang dipakai dalam lingkungan
50
administrasi
pemerintahan.
Agrarisch
recht
dilingkungan
administrasi
pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi para penguasa dalam melaksanakan kebijakan di bidang pertanahan. 2.2.b. Pengertian Hukum Agraria Pengertian hukum agraria dalam UUPA adalah dalam arti pengertian yang luas bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum, tetapi merupakan kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria. Kelompok tersebut terdiri atas: 1. Hukum tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi; 2. Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air; 3. Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahanbahan galian yang dimaksudkan dalam undang-undang di bidang pertambangan; 4. Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air; 5. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan Space Law), yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 UUPA59. Beberapa ahli memberikan pendapat mengenai pengertian hukum agraria, yakni: 59
Boedi Harsono, Op. Cit., hal. 8.
51
a. E. Utrecht memberikan pengertian yang sama pada hukum agraria dan hukum tanah, tetapi dalam arti yang sempit meliputi bidang hukum administrasi negara, menurutnya, hukum agraria dan hukum tanah menjadi bagian hukum tata usaha negara yang menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soalsoal tentang agraria, melakukan tugas mereka itu60. b. Subekti/Tjitrosoedibjo memberikan arti yang luas pada hukum agrarian yaitu, agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalamnya dan diatasnya, seperti telah diatur dalam dalam Undang-Undang Pokok Agraria, LN 1960-104. hukum agraria ( agrarisch recht Bld.) adalah keseluruhan dari pada ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum perdata maupun hukum tata negara (staatsrecht) maupun pula hukum tata usaha negara (administratif recht) yang mengatur hubunganhubungan antara orang termasuk badan hukum, dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara dan menagatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan tersebut61. c. J. Valkhof memberikan pengertian agrarisch recht bukan semua ketentuan hukum yang berhubungan dengan pertanian, melainkan hanya yang mengatur lembaga-lembaga hukum mengenai penguasaan tanah. Mengenai yang dibicarakan adalah hukum agraria tersendiri adalah atas pertimbangan, bahwa
60
E Utrecht, 1961, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, hal 162, 305, 321, dan 459. 61 Subekti dan Tjitrosoedibjo, 1969, Kamus Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
52
melihat obyek yang diaturnya ketentuan-ketentuan hukum yang bersangkutan merupakan suatu kesatuan yang sistematis62. Sedangkan pengertian tentang agraria menurut M. Marwan dan Jimmy P, Agraria diartikan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah tanah, baik yang di dalam maupun permukaan tanah63 dan menurut A.P. Parlindungan menyatakan bahwa Agraria mempunyai ruang lingkup, yaitu dalam arti sempit, bisa berwujud hak-hak atas tanah, ataupun pertanian saja, sedangkam Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA telah mengambil sikap dalam pengertian yang meluas, yaitu bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 64 sedangkan menurut Boedi Harsono, biarpun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa yang tercantum dalam konsideran, pasal-pasal dan penjelasannya dapatlah disimpulkan bahwa pengertian agraria dan hukum agraria dalam UUPA dipakai dalam arti yang sangat luas. Pengertian Agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam Pasal 48, bahkan juga meliputi ruang angkasa yaitu ruang diatas bumi dan air yang mengandung: tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usahausaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu65. Apabila dilihat dari beberapa pengertian tentang agraria tersebut bahwa
62
J. Valkhof, E.N.S.I.E. (Earste Nederlandsche Sistematisch Ingerichte Encyclopedie) III, Amsterdam: 1947. 63 M Marwan dan Jimmy P, 2009, kamus Hukum Dictionary Of Law Complete Edition, Reality Publisher, Surabaya, hal.21-23. 64 Urip Santoso, Op. Cit, hal 2. 65 Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 29.
53
hukum agraria adalah keseluruhan kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tentang agraria. Ruang lingkup hukum agraria yang akan dipaparkan secara umum adalah lingkup hukum agraria yang berkaitan dengan pengertian hukum agraria dalam bahasa umum, pengertian agraria dalam lingkungan administrasi pemerintahan, dan pengertian agraria dalam pendidikan tinggi hukum di Indonesia. Lingkup hukum agraria dalam pengertian bahasa umum tidak selalu dipakai dalam arti yang sama. Perbedaan tersebut tentunya tergantung konteks tempat dan waktu. Sebagai perbandingan adalah definisi yang berbeda antara definisi dalam bahasa Latin dan bahasa Inggris sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Lingkup hukum agraria berkaitan dengan pengertian hukum agrarian dalam administrasi pemerintahan
di
Indonesia.
Sebutan
agraria
dilingkungan
administrasi
pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian. Hukum agraria dalam lingkungan administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi para penguasa dalam melaksankan kebijakan di bidang pertanahan66. Lingkup pengertian agraria dan hukum agraria dalam UUPA meliputi, bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, bahkan meliputi ruang angkasa, yaitu ruang diatas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu. Bumi memiliki pengertian permukaan bumi yang 66
Boedi Harsono, Op. Cit, hal. 6.
54
disebut tanah atau tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air. Dengan demikian pengertian tanah meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang ada di bawah air termasuk air laut. Sebagai hukum tanah nasional yang baru dalam materi muatan yang terdapat dalam UUPA mengandung tujuan, konsepsi, asas, sistem dan isi. Materi muatan tersebut dimaksudkan agar hukum tanah nasional harus67: a. berdasarkan hukum adat tentang tanah; Hukum adat adalah sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia karena hukum adat merupakan hukum asli bangsa
Indonesia.
Walaupun
demikian
hukum
adat
tersebut
harus
disempurnakan dari kekurangan yang ada sehingga dapat memenuhi perkembangan zaman; b. Sederhana; Yang dimaksud dengan sederhana adalah sesuai dengan tingkat pengetahuan bangsa Indonesia yakni dengan memilih hukum adat sebagai dasar hukum yang baru; c. menjamin kepastian hukum; Kepastian hukum ini dibutuhkan karana masalah agararia berkaitan dengan kegiatan ekonomi yang memerlukan pembuktian yang jelas dan pasti dalam kegiatan-kegiatanya; d. sesuai dengan nilai-nilai agama; Tidak boleh bertentangan dengan normanorma agama yang telah lama tertanam dalam masyarakat Indonesia; e. memberi kemungkinan agar bumi, air, dan ruang angkasa dapat mencapai fungsinya
67
dalam
membangun
Boedi Harsono, Op.Cit, hal 3
masyarakat
yang
adil
dan
makmur;
55
Pembangunan nasional tentu membutuhkan tanah sebagai factor produksi, untuk memenuhi kebutuhan akan tanah bagi keperluan pembangunan maka perlu digunakan secara efesien dan diperlukan pengaturan, pengendalian, dan pembinaan oleh pemerintah. Hal-hal tersebutmemerlukan landasan hukum yang harus dituangkan dalam hukum tanah yang efisien dan efektif; f. sesuai dengan kepentingan masyarakat Indonesia; UUPA harus sesuai dengan kepentingan seluruh rakyat Indonesia bukan kepentingan sebagian kelompok atau golongan; g. sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman dalam bidang agraria; UUPA harus memberikan kemungkinan untuk dapat menyelesaikan persoalanpersoalan dimasa depan; h. mewujudkan Pancasila; i. pelaksanaan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 dan Manifesto Politik Republik Indonesia sesuai dengan pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960; Yang dimaksud adalah UUPA mengembalikan bangsa Indonesia ke jalur yang benar dalam revolusi nasioanal, dalam bidang agrarian kebijaksanaannya adalah persoalan tanah yang diwariskan oleh zaman Belanda harus segera diakhiri terutama mengenai hak eigendom; j. melaksanakan ketentuan dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. UUPA merupakan pelaksanan dari Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945, oleh karenanya didalam UUPA harus dijiwai konsepsi yang tertuang dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
56
Peraturan tentang hukum tanah tersebar diberbagai bidang hukum sebagai berikut : a. Hukum Adat yang memberikan pengaturan bagi sebagian besar tanah di negara kita selanjutnya dikenal dengan Hukum Tanah Adat. b. Hukum Perdata Barat mengatur mengenai sebagian kecil tanah, tetapi bernilai tinggi yang selanjutnya di kenal dengan Hukum Tanah Barat. c. Hukum Administrasi Negara mengatur mengenai pemberian landasan hukum kepada para penguasa dalam melaksanakan politik pertanahan/agraria yang selanjutnya dikenal dengan Hukum Tanah Administratif. d. Hukum Tata Negara berbagai bekas Swapraja yang mengatur mengenai tanahtanah di wilayah bekas swapraja yang bersangkutan atau yang lebih di kenal dengan Hukum Tanah Swapraja. e. Hukum
Antar
golongan
yang
mengatur
mengenai
Pedoman
dalam
penyelesaian masalah-masalah hukum antar golongan mengenai masalah pertanahan atau yang dikenal dengan Hukum Tanah Antar Golongan. Dalam ruang lingkup hukum agraria dapat juga dipaparkan mengenai pengertian hukum tanah. Tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksud bukan mengatur tanah dalam segala aspek, melainkan hanya mengatur salah satu aspek, yaitu tanah dalam pengertian yang disebutkan dalam Pasal 4 UUPA, “yaitu atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
57
serta badan-badan hukum.” Dengan demikian bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagaian tertentu permukaan bumi, yang berbatas dimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Sedangkan ruang dalam pengertian yuridis, yang berbatas berdimensi tiga, yaitu panjang, lebar, dan tinggi. Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang member kewenangan kepada pemegang hak untuk mepergunakan dan mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya sesuai dengan peraturan perundangundangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA pemegang hak atas tanah diberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada ditasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional, adalah: a. Hak Bangsa Indonesia, terdapat dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik. b. Hak Menguasai Negara yang disebut dalam Pasal 2 hanya beraspek publik. c. Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat, terdapat dalam Pasal 3, beraspek publik dan perdata. d. Hak-Hak Perorangan/Individual, Yang hanya beraspek perdata, terdiri dari: a). Hak-hak atas tanah, sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang terdapat
58
dalam Pasal 16 dan Pasal 53 UUPA; b) Wakaf yaitu hak milik yang sudah diwakafkan Pasal 49 UUPA; c) Hak jaminan atas tanah yang disebut Hak Tanggungan dalam Pasal 25, Pasal 33, Pasal 39, dan Pasal 51 UUPA. Peraturan tentang agraria seperti yang termuat dalam UUPA memiliki tujuan dalam implementasinya, tujuan dari UUPA dapat dilihat dalam Penjelasan umum angka 1 yang menyatakan bahwa : a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara, rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka menuju masyarakat yang adil dan makmur. b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya68. Dari tujuan yang dimiliki oleh UUPA tersebut, dapat dilihat bahwa agraria yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnnya dapat memberikan kemakmuran, keadilan dan kepastian hukum bagi rakyat Indonesia. Jika dilihat dalam ketentuan Pasal 1 UUPA yang terdiri dari 6 (enam) ayat dapat disimpulkan bahwa agraria itu meliputi bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Apabila dilhat dalam ketentuan tersebut bahwa Bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan
68
Boedi Harsono, 2000, Hukum Agraria Nasional Himpunan Peraturan Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, , Jakarta, hal. 29.
59
alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, hal ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyebutkan yakni: Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. “Hak Menguasai Negara” pada ketentuan diatas diartikan bahwa Negara memiliki kewenangan untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa69. Kemakmuran rakyat merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh Bangsa dan Negara Indonesia seperti yang termuat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar serta dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA yang menyatakan “wewenang yang bersumber pada hak mengusai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraaan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur”. Dalam pelaksanaannya, wewenang agraria dalam sistem UUPA ada pada Pemerintah Pusat, sedangkan Pemerintah Daerah tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan dalam bidang keagrariaan jika tidak ditunjuk maupun
69
Urip Santoso, Op.Cit, hal.58.
60
didelegasikan wewenang oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah otonom, ataupun lembaga pemerintah atau kepala departemen tertentu, ataupun kepada masyarakat hukum adat, hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (4) yang menyebutkan : “hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah”. Konsep hak menguasai tanah oleh Negara yang berlaku saat ini bukanlah muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari suatu proses perkembangan yang terus menerus. Konsep hak menguasai tanah oleh Negara yang berlaku sekarang, yaitu yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, berasal dari/merupakan hasil perkembangan konsep hak ulayat masyarakat hukum adat. Konseps hak ulayat masyarakat hukum adat tersebut dirumuskan sebagai komunalistik relegius, yang memungkinkan pengusaaan bagian-bagian tanah bersama secara individual atau perorangan dan tidak harus kolektif dengan hakhak atas tanah yang sifatnya pribadi sampai hak kepemilikan, dalam arti diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan usahanya saja. Tetapi mengandung unsur kebersamaaan, karena dikuasai sebagai tanah bersama. Dalam Pasal 6 UUPA, sifat hak-hak atas tanah itu dirumuskan dengan kata-kata “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Atas dasar konsep komunalistik relegius tersebut, terdapat 5 (lima) bagian hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional sebagaimana yang ditentukan dan diatur dalam UUPA:
61
1. Hak Bangsa Indonesia yang merupakan hak tertinggi, yang bersifat keperdataan dan publik, meliputi semua tanah bersama di seluruh wilayah Negara (Pasal 1). 2. Hak menguasai dari Negara, merupakan tugas kewenangan di bidang hukum publik semata, meliputi semua tanah bersama, yang merupakan interpretasi otentik mengenai pengertian di “kuasai” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (Pasal 2), pelaksanaan sebagian kewenangan yang bersumber pada hak menguasai dari Negara itu dapat dilimpahkan kepada departemen dan badanbadan hukum tertentu yang disebut dengan hak pengelolaan. 3. Hak ulayat masyarakat hukum adat, yang merupakan hak bersama para warga masyarakat hukum adat tertentu yang bersangkutan atas tanah ulayatnya yang sepanjang menurut kenyataannya hak itu masih ada (Pasal 3). 4. Hak perorangan, yang memberikan kewenangan untuk memakai dalam arti menguasai, menggunakan dan/atau mengambil manfaat tertentu dari suatu bidang tanah yang merupakan bagian dari tanah bersama tersebut, berupa; hakhak atas tanah yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan (Pasal 4 dan Bab II) dan Hak Atas Tanah Wakaf (Pasal 49). 5. Hak Tanggungan sebagai jaminan atas tanah (Pasal 51). Ada hak penguasaan lain yang sifatnya individual, yang ada hubungannya dengan tanah, bahkan meliputi hak-hak atas tanah, tetapi bukan hak atas tanah, yaitu hak milik atas satuan rumah susun, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1986 tentang Rumah Susun.
62
2.3. Masyarakat Hukum Adat 2.3.a. Pengertian Masyarakat Hukum Adat Dalam kepustakaan hukum adat, istilah masyarakat hukum adat yang lazim disebut dengan persekutuan hukum (rechtemeenschap) diartikan sebagai kelompok pergaulan hidup yang bertingkah laku sebagai satu kesatuan terhadap dunia luar, lahir batin. Kelompok-kelompok ini mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan orang-orang yang ada didalamnya masing-masing mengalami kehidupannya sebagai hal yang sewajarnya, yang menurut kodrat alam, tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran kelompoknya itu. Kelompok manusia itu memiliki harta benda milik keduniawian maupun milik gaib. Menurut Dominikus Rato70 masyarakat hukum adat adalah komunitas (paguyuban) sosial manusia yang merasa bersatu karena terikat oleh kesamaan leluhur dan atau wilayah tertentu, mendiami wilayah tertentu, memiliki kekayaan sendiri, dipimpin oleh seorang atau beberapa orang yang dipandang memiliki kewibawaan dan kekuasaan, dan memiliki tata nilai sebagai pedoman hidup serta tidak mempunyai keinginan untuk memisahkan diri. Menurut Ter Haar71 yang menyatakan bahwa diseluruh kepulauan Indonesia pada tingkat rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin dimana golongan-golongan manusia itu bersifat persekutuan hukum. Definisi yang dikemukakan Ter Haar terhadap persekutuan hukum memiliki unsur-unsur : 70
Dominikus Rato, Hukum Adat, suatu Pengantar Singkat Memahami Hukum Adat Di Indonesia, Laksbang PRESSindo, Yogyakarta, hal 82. 71 Ibid, hal 85-86.
63
a. Ada kesatuan manusia yang teratur; b. Menetap di suatu daerah tertentu; c. Mempunyai penguasa-penguasa; d. Mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam; e. Tidak seorangpun diantara anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya. Jika dilihat dari beberapa unsur tersebut, dapat dikatakan bahwa masyarakat hukum adat bukanlah suatu badan hukum biasa sebagaimana dikenal dalam hukum barat, melainkan merupakan suatu badan hukum yang mempunyai kewibawaan dan kekuasaan untuk membentuk, melaksanakan dan membina serta dapat dengan sekaligus melakukan evaluasi baik terhadap perilaku anggota masyarakat maupun terhadap isi hukum. Friedrich Karl Von Savigny72 mengatakan bahwa hukum berkaitan dengan rakyat suatu Negara dan merupakan ekspresi dari jiwa rakyat atau semangat nasional. Hukum merupakan keinginan yang wajar dari rakyat, sebagaimana halnya dengan bahasa dan sopan santun, hukum selalu berkembang, hukum tumbuh bersama masyarakat dan mati
72
Soerjono Soekanto, 1984, Perspektif Teori Studi Hukum Dalam Masyarakat, Rajawali Pers, Jakarta, hal.9.
64
bersamanya (volkgeist). Sedangkan Satjipto Rahardjo73 mengemukakan bahwa hubungan antara hukum dengan masyarakatnya sangat erat dan saling membutuhkan. Bagi hukum, masyarkat merupakan sumber daya yang member hidup dan menggerakan hukum tersebut. Masyarakat menghidupi hukum dengan nilai-nilai, gagasan, konsep. Selain itu, masyarakat juga menghidupi hukum dengan cara menyumbangkan anggota masyarakatnya untuk menjalankan hukum. Hukum hanya bias dijalankan melalui campur tangan manusia. Dari beberapa penjelasan di atas dapat diumpamakan bahwa fungsi masyarakat hukum adat adalah sebagai bingkai atau denah, sama seperti fungsi masyarakat terhadap hukum pada umumnya. Dilihat secara sosiologis bahwa fungsi seperti ini dapat dikatakan juga sebagai hubungan antara masyarakat dengan hukum yang diibaratkan sebagai wadah dan isinya atau merupakan jiwa dan raga yang tidak dapat dipisahkan. Dimana masyarakat dikatakan sebagai wadahnya dan hukum sebagai isi atau roh. Dari penjelasan tersebut bahwa hukum tidak mungkin dan tidak akan bisa hidup tanpa adanya masyarakat, karena masyarakat merupakan kumpulan individu manusia, dan manusia sebagai pendukung dari adanya hak dan kewajiban atau dapat dikatakan bahwa manusia adalah subjek hukum, maka masyarakat juga adalah subjek hukum. Hukum akan terus hidup dan berkembang dikarenakan adanya pendukung atau subjek yang mendukungnya
73
untuk
hidup,
serta
dihormati
untuk
dilaksanakan
baik
Umar Sholehudin, 2011, Hukum Dan Keadilan Masyarakat, Perspektif Kajian Sosiologi Hukum, Setara Press, Malang, hal.31.
65
melaksanakan perintah-perintahnya maupun melaksanakan larangan-larangannya, sekaligus menaati sanksi-sanksi yang dikenakan padanya. Eksistensi masyarakat hukum adat telah diakui secara konstitusional dalam UUD NRI 1945. Pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dilihat dalam UUD NRI 1945 sebelum amandemen, yang terdapat dalam penjelasan Pasal 18, khususnya pada bagian II yang menyatakan bahwa : Dalam teritoir Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbestuurlandschappen dan volkgemeenschappen, seperti desa di jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerahdaerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut. Setelah UUD NRI 1945 diamandemen, keberadaan masyarakat hukum adat diakui berdasarkan Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Dari ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945, dapat dilihat pengakuan dan penghormatan Negara atas hak-hak tradisional yang dimiliki masyarakat hukum adat di Indonesia. Dalam Pasal 4 huruf (j) Tap MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, menyebutkan bahwa dalam pengelolaan sumber daya alam dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam. Menurut prinsi ini hak masyarakat hukum adat termasuk di dalamnnya hak
66
ulayat, tidak hanya diakui dan dihormati tetapi juga dilindungi, artinya hak-hak itu jangan sampai dilanggar oleh siapapun tanpas dasar yang dibenarkan oleh hukum. 2.3.b. Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, istilah “hak” memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang dilaksanakan, keharusan (sesuatu yang harus dilaksanakan). Menurut M. Marwan dan Jimmy P74, hak merupakan kekuasaan, kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum. Hak diartikan pula sebagai tuntutan syah agar orang lain bersikap dengan cara tertentu dan kebebasan untuk melakukan sesuatu menurut hukum. Sedangkan kewajiban adalah segala bentuk beban yang diberikan oleh hukum kepada orang atau badan hukum. Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Dengan demikian hak itu merupakan suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum, sehingga memunkinkan seseorang menunaikan kepentingannya tersebut. Oleh karena itu implikasi dari difinisi tentang hak tersebut antara lain; (a). hak adalah suatu kekuasaan, yaitu kemampuan untuk memodifikasi kekuasaan, (b). hak merupakan jaminan yang diberikan oleh hukum, (c). penggunaan hak menghasilkan keadaan yang berkaitan langsung dengan kepentingan pemilik hak. 74
M. Marwan dan Jimmy P, Op.Cit, hal 230.
67
Dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal teori atau ajaran untuk menjelasakan keberadaan hak, antara lain: a. Teori yang menganggap hak sebagai kepentingan yang terlindungi (belangen theorie dari Rudolf Von Jhering). Teori ini merumuskan bahwa hak itu merupakan sesuatu yang penting bagi yang bersangkutan, yang dilindungi oleh hukum. Teori ini dalam pernyataannya mudah mengacaukan antara hak dengan kepentingan. Memang hak bertugas melindungi kepentingan yang berhak, tetapi realitasnya sering hukum itu melindungi kepentingan dengan tidak memberikan hak kepada yang bersangkutan. b. Teori yang menganggap hak sebagai kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan (wilsmacht theorie dari Bernard Winscheid). Teori ini mengatakan bahwa hak itu adalah suatu kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan yang oleh tata tertib hukum diberikan kepada yang bersangkutan75. Van Apeldoorn mengemukakan bahwa hak adalah hukum yang dihubungkan dengan seorang manusia atau subjek hukum tertentu dan dengan demikian menjelma menjadi suatu kekuasaan, dan suatu hak timbul apabila mulai bergerak. Jadi hak adalah suatu kekuasaan (macht) yang diatur oleh hukum dan kekuasaan ini berdasarkan kesusilaan (moral) dan tidak hanya kekuatan fisik saja76. Teori yang dikemukakan tersebut merupakan teori gabungan yang mencoba mempersatukan unsur-unsur kehendak dan kepentingan dalam pengertian hak.
75 76
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, 2006, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 274. Ibid.
68
Menjalankan suatu hak harus sesuai dengan tujuan dari hak itu sendiri yaitu harus sesuai dengan kepentingan sosial dan atau kepentingan umum. Hak yang dilaksanakan oleh individu apabila tidak sesuai dengan tujuannya dinamakan penyalahgunaan hak (misbruik van recht, abus de droit). Menurut Utrecht sebagaimana dikutip Chainur Arrasjid77, menjalankan hak tidak sesuai dengan tujuannya adalah menyimpang dari tujuan hukum, yaitu menyimpang dari jaminan kepastian hukum. Penyalahgunaan hak dianggap terjadi jika seseorang menggunakan haknya dengan cara yang bertentangan dengan tujuan masyarakat, karena maksud hukum adalah melindungi kepentingan-kepentingan maka pemakaian hak dengan tiada suatu kepentingan yang patut dinyatakan sebagai penyalahgunaan hak. Hak adalah suatu keistimewaan yang membuka keinginan baginya untuk diperlukan sesuai dengan keistimewaan tersebut. Kewajiban adalah permintaan berupa sikap atau tindakan yang sesuai dengan keistimewaan yang ada pada orang lain. Menurut Abdul Ghofur Anshori, ada dua macam hak78: 1. Hak yang dianggap melekat pada tiap-tiap manusia sebagai manusia sebab berkaitan dengan realitas hidup manusia sendiri. Hak ini merupakan bagian dari eksistensi etis manusia di dunia ini. John Locke menerangkan bahwa manusia pada zaman purbakala pun mengetahui hak dan kewajiban yang ada pada dirinya sebagaimana diajarkan oleh alam. Menurut Locke. “The state of nature has a law of nature to govern it, which obliges everyone, and reason,
77
Chainur Arrasjid, 2005, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
hal 115. 78
Abdul Ghofur Anshori, 2006, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal.110.
69
which is that law, teaches all mankind who will but consult it, that being all equal and independent, no one ought to harm another in his life, health, liberty or pessesions” (Negara alam telah memiliki hukum alam untuk mengaturnya, yang mewajibkan seseorang dan dengan alasan tersebut ia kita sebut sebagai hukum, mengajarkan semua jenis manusia yang akan meminta petunjuknya, dengan memperlakukannya sama rata dan tidak saling bergantung, tidak ada yang saling menyakiti satu sama lain dalam kehidupannya, kesehatannya, kebebasan atau dalam hal kepemilikan. 2. Hak yang ada pada manusia akibat adanya peraturan perundang-undangan. Hak ini tidak langsung berhubungan dengan martabat manusia, tetapi menjadi hak sebab termuat dalam undang-undang yang sah. Dalam setiap hak selalu terdapat empat unsur, yaitu subjek hukum, objek hukum, hubungan hukum yang mengikat pihak lain dengan kewajiban dan perlindungan hukum.
Sudikno Mertokusumo selanjutnya membedakan dua
macam hak, yaitu hak absolut dan hak relative. Hak absolut memberi wewenang bagi pemegangnya untuk berbuat atau tidak berbuat, pada dasarnya dapat dilaksanakan terhadap siapa saja dan melibatkan setiap orang. Kalau ada hak absolut pada seseorang, maka ada kewajiban bagi setiap orang lain untuk menghormati dan untuk tidak mengganggunya. Pada hak absolut, pihak ketiga berkepentingan untuk mengetahui eksistensinya sehingga memerlukan publisitas. Berbeda dengan hak relatif yang merupakan hak yang berisi wewenang untuk menuntut hak yang hanya dimiliki seseorang terhadap orang-orang tertentu,
70
sehingga hanya berlaku bagi orang-orang tertentu. Hak absolut terdiri dari hak absolut yang bersifat kebendaan dan hak absolute yang tidak bersifat kebendaan. Jika dikaitkan antara hak dengan keberadaan masyarakat hukum adat (desa adat atau desa pakraman) maka dapat diuraikan hak-hak tradisional yang dimiliki oleh desa adat atau desa pakraman berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain : 1. Hak untuk menetapkan aturan-aturan hukum yang berlaku bagi mereka dalam hal ini menetapkan aturan hukum yang lazim disebut dengan awig-awig atau perarem yang ditetapkan secara musyawarh melalui lembaga musyawarah desa yang disebut paruman desa. 2. Hak untuk menyelenggarakan kehidupan organisasinya. Terlepas dari beragamnya variasi struktur organisasi system pemerintahan desa adat atau desa pakraman yang dikenal di pulau Bali, secara umum dapat dikatakan bahwa aktivitas utama adalah yang bersifat sosial relegius. Aktivitas di bidang sosial menangkut hubungan sosial kemasyarakatan yakni hubungan antar sesama warganya baik dalam ikatan kelompok maupun perorangan. Sedangkan dibidang kehidupan relegius diwujudkan dalam bentuk penyelenggaraan kegiatan keagamaan oleh masyarakat sebagai kesatuan. 3. Hak untuk menyelesaikan pesoalan-persoalan hukum. Persoalan hukum yang dihadapi dapat berupa pelanggaran awig-awig dan dapat pula berupa sengketa baik antara perorangan dengan perorangan maupun antara perorangan dengan kelompok ataupun pemimpinnya.
71
Disamping hak-hak tersebut, terdapat hak yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan masyarakat hukum adat dengan lingkungannya yaitu hak-hak masyarakat adat dalam memanfaatkan tanah maupun sumber daya alam yang ada di sekitarnya yang biasa dikenal dengan hak ulayat. Hak ulayat ini mendapat penghormatan dan pengakuan dari konstitusi maupun dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Hak ulayat diatur dalam Pasal 3 UUPA yang menyatakan bahwa : dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi. Ketentuan tersebut berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat dalam hukum tanah nasional, dimana merupakan hak penguasaan yang tertinggi dalam lingkungan hukum adat tertentu atas tanah yang merupakan milik bersama masyarakat. Pengakuan tersebut memiliki dua syarat yaitu : pertama, mengenai eksistensinya dan kedua, mengenai pelaksanaannya. 2.4 Desa Adat 2.4.a. Pengertian Desa Adat Menurut I Gede Panetje, desa-desa di Bali dapat dianggap sebagai persekutuan yang berdiri sendiri dan dapat bertindak sebagai badan hukum, sedangkan Korn menyebutkan hubungan desa adat dengan pengurus desa merupakan suatu badan yang terdiri dari beberapa orang, maka yang bertindak
72
keluar mewakili desa ialah ketua pengurus (kelian desa atau penyarikan)79. Menurut Parimartha, dalam pandangan masyarakat Bali, desa adat dimengerti sebagai suatu tempat tinggal bersama, memiliki kekayaan (laba) desa, wilayah, warga (krama desa), prajuru dan tempat-tempat suci yang disebut dengan Kahyangan Desa. Sedangkan I Gusti Gede Raka mendefinisikan Desa Adat pada aspek keyakinan/kepercayaan adalah kesatuan daerah dimana penduduknya bersama-sama atas tanggapan bersama (krama desa) melakukan ibadah dengan maksud menjaga kesucian tanah desa, serta memelihara pura-pura yang ada di suatu desa80. Munculnya desa adat menurut para ahli hukum adat Indonesia mengikuti dua klasifikasi pokok yang menjadikan meunculnya kelompok masyarakat desa itu, yakni prinsip hubungan kekerabatan (geneagonis) serta prinsip hubungan tinggal dekat (teritoral). Menurut Koentjaraningrat, bahwa masih terdapat dua prinsip hubungan lain yakni prinsip tujuan khusus, yang tidak disebabkan oleh hubungan kekerabatan atau tinggal dekat, tetapi karena kebutuhan lain, dan prinsip hubungan yang datang dari atas (raja/pemerintah)81. Secara formal istilah desa Pakraman (desa adat) pertama kali digunakan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang ditetapkan pada tanggal 21
79
I Wayan Wesna Astara, 2010, Pertarungan Politik Hukum Negara dan Politik Kebudayaan, Otonomi Desa Adat Di Bali, Udayana University Press, Denpasar, hal.12. 80 Ibid. 81 I Gede Parimartha, 2002, Desa Adat Dalam Perspektif Sejarah, dalam desa pakraman:sejarah, Eksistensi dan Strategi Pemberdayaan, yayasan Tri Hita Karana, Denpasar, hal.17.
73
Maret tahun 2001. Pengertian desa Pakraman dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 4 yang menyebutkan : Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat Propinsi Bali yang mempunyai kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Sebelum berlakunya Peraturan Daerah tersebut istilah yang digunakan adalah Desa adat yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang menyebutkan : Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiriserta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dari pengertian yang diberikan oleh kedua peraturan tersebut maka jelaslah bahwa istilah Desa Adat dan istilah Desa Pakraman mempunyai pengertian yang sama, walaupun dalam realita, istilah Desa Adat sampai saat ini masih banyak yang dipergunakan oleh masyarakat82. Pengertian yang hampir sama tentang desa Adat dan Desa Pakraman tersebut memiliki ciri-ciri bahwa desa adat atau desa pakraman tersebut : 1. Memiliki Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) atau pura lain yang mempunyai fungsi dan peranan sama dengan Kahyangan Tiga; 2. Memiliki Parimandala (wilayah dengan batas-batas jelas); 82
Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 43.
74
3. Memiliki Krama (anggota/warga); 4. Memiliki Prajuru (Pemerintahan Adat); 5. Memiliki otonomi baik keluar maupun ke dalam. Warga desa atau krama desa diikat oleh peaturan desa yang disebut dengan sima, dresta, cara dan gama. Beberapa norma adat yang mengatur kehidupan masyarakat di Bali yaitu : 1. Awig-awig merupakan aturan bersama yang dibuat bersama melalui suatu paruman adat yang mengatur tiga aspek seperti keagamaan (parahyangan), aspek kehidupan kemasyarakatan (pawongan) dan masalah lingkungan (palemahan); 2. Perarem merupakan keputusan paruman desa yang merupakan peraturan pelaksanaan dari awig-awig; 3. Paswara merupakan keputusan paruman pengurus atau prajuru desa yang telah mendapatkan persetujuan dari paruman desa. Dari ketiga aturan tersebut, apabila dalam pergaulan hidup masyarakat adat ada yang melanggar norma-norma adat tersebut akan dikenakan sanksi adat seperti sangaskara danda (hukuman melakukan upacara keagamaan), artha danda (hukuman berupa pembayaran sejumlah uang) dan jiwa danda (hukuman melakukan suatu tindakan tertentu atau tidak melakukan perbuatan tertentu). Dalam melakukan kegiatannya atau pemerintahan desanya, masyarakat adat memiliki perangkat atau pengurus adat yang disebut dengan Prajuru. Pengurus adat atau perangkat pemerintahan desa adat terdiri dari :
75
1. Komponen Pemimpin yang disebut dengan Prajuru atau Dulun Desa yang dipimpin oleh Bendesa atau Kelihan Desa; 2. Komponen pelayanan terdiri dari: penulis atau juru tulis dengan berbagai nama di masing-masing tempat dan pembantu-pembantu seperlunya dengan variasi istilah; 3. Komponen pelaksanaan tugas dalam wilayah tertentu disebut Kelihan Banjar Adat atau Kelihan Tempekan. 2.4.b. Tugas dan Wewenang Desa Adat Desa Pakraman memiliki tugas dan wewenang yang dapat dilihat dalam Bab III Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Desa Pakraman Nomor 3 Tahun 2001: Pasal 5, tugas Desa Pakraman: a. Membuat awig-awig; b. Mengatur krama desa; c. Mengatur pengelolaan kekayaan desa; d. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan; e. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya berdasarkan paras-paros,
sagilik-saguluk,
mufakat); f. Mengayomi krama desa.
salunglung-sabayantaka
(musyawarah
76
Sedangkan dalam Pasal 6 mengatur tentang wewenang desa pakraman sebagai berikut : a. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat; b. Turut
serta
menentukan
setiap
keputusan
dalam
pelaksanaan
pembangunan yang ada di wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana; c. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman. Untuk menjaga keamanan serta ketertiban desa pakraman, maka untuk masingmasing desa adat di Bali harus memiliki lembaga pengamanan adat yang disebut dengan pecalang. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dapat dilihat dalam Pasal 200 ayat (1) yang menyebutkan bahwa : dalam pemerintahan daerah kabupaten atau kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa dan dalam Pasal 206 diatur mengenai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup : (a) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; (b) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang
77
diserahkan pengaturannya kepada desa; (c) tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah
provinsi
dan/atau
pemerintah
kabupaten/kota;
(d)
urusan
pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat dilihat bahwa terdapat perbedaaan otonomi desa adat dengan desa (dinas), desa perbekelan maupun desa Kelurahan dimana otonomi yang diberikan adalah otonomi pemberian dari Negara, sedangkan otonomi desa adat merupakan otonomi asli masyarakat Bali dalam mengatur kelompok atau oragnisasinya dalam bermasyarakat tanpa adanya campur tangan ataupun intervensi dari Negara. Apabila dilihat dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman telah dinyatakan dengan jelas dan tegas bahwa desa pakraman di Provinsi Bali yang tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad, yang memiliki otonomi asli mengatur rumah tangganya sendiri, telah memberikan kontribusi yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat dan pembangunan. Desa Pakraman adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai susunan asli, hak asal-usul yang bersifat istimewa bersumber pada ajaran agama Hindu, kebudayaan Bali, berdasarkan Tri Hita Karana, memiliki Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa. Desa adat di Bali yang merupakan desa otonomi sejak dahulu tersebut memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan masyarakatnya, kekuasaan desa adat dapat dibedakan atas tiga macam kekuasaan yaitu : 1. Kekuasaan untuk menetapkan aturan-aturan untuk menjaga kehidupan organisasi secara tertib dan tentram. Kekuasaan ini diselenggarakan secara
78
bersama dalam suatu rapat desa (paruman/sangkepan desa), seperti untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat baik dalam hubungan masyarakat sendiri, hubungan masyarakat dengan alam lingkungannya, amupun anggota masyarakat dengan Sang Maha Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa) yang dikenal dengan falsafah Tri Hita Karana. 2. Kekuasaan untuk menyelenggarakan kehidupan organisasi yang bersifat sosial relegius, sperti membina dan mengembangkan nilai-nilai agama Hindu dan kaidah
adat
dresta,
mengembangkan
kebudayaan,
memelihara
dan
mengembangkan adat istiadat yang hidup dan bermanfaat untuk pembangunan bangsa. 3. Kekuasaan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang menunjukkan adanya pertentangan kepentingan antara warga desa atau berupa tindakan yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan yang dapat dinilai sebagai perbuatan
yang mengganggu kehidupan bermasyarakat, baik melalui
perdamaian maupun memberikan reaksi adat83.
83
I Wayan Wesna Astara, Op.Cit, hal. 261.
79
BAB III IMPLIKASI PENGATURAN USAHA PARIWISATA DI DESA ADAT KEDONGANAN DAN KUTA, KECAMATAN KUTA, KABUPATEN BADUNG, PROVINSI BALI 3.1. Pengaturan Usaha Pariwisata Wilayah Pesisir Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat Di Desa Adat Kedonganan Dan Desa Adat Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali Hingga saat ini Pulau Bali merupakan salah satu tujuan utama berwisata bagi wisatawan, baik mancanegara maupun lokal. Budaya Pulau Bali merupakan daya tarik bagi para wisatawan untuk datang dan mempelajari tentang budaya Bali. Bagi para wisatawan Bali tidak hanya dikenal dengan budayanya saja, melainkan keindahan alam yang dimilikinya. Terdapat banyak sekali objek-objek pariwisata di Bali, salah satu objek wisata yang terkenal di Bali dan merupakan tujuan utama para wisatawan baik lokal maupun mancanegara adalah pantai Kuta dan Pantai Kedonganan, dimana para wisatawan dapat menikmati keindahan matahari terbenam (sunset) dan juga dapat menikmati berbagai hiburan yang terdapat di wilayah pesisir Kuta dan Kedonganan. Karena keindahan yang dimiliki oleh Pantai Kuta dan Kedonganan maka semakin hari hingga saat ini kegiatan perekonomian di wilayah pesisir Kuta sangat berkembang pesat. Wilayah pesisir pada umumnya dapat menjadi salah satu daya tarik bagi para wisatawan untuk datang dan menikmati keindahan alam yang terdapat di dalamnya. Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lainnya, baik dilihat 79
80
dari aspek bio-geofisik maupun aspek sosial, ekonomi dan budaya, sehingga wilayah ini mempunyai karakteristik yang khusus sebagai akibat dari interaksi antara proses-proses yang terjadi di daratan dan lautan. Terdapat berbagai pengertian tentang wilayah pesisir salah satunya wilayah pesisir adalah kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan ekosistem laut, yang sangat rentan terhadap perubahan akibat aktivitas manusia di darat dan di laut, secara geografi ke arah darat sejauh pasang tertinggi dan ke arah laut sejauh pengaruh dari darat. Untuk kepastian hukum maka harus ada secara administrasi wilayahnya maka ke arah darat sejauh batas yang mempunyai peranan laut dan ke arah laut sejauh 12 mil dari garis pantai84. Seiring dengan berjalannya waktu, selain sebagai tujuan objek pariwisata, wilayah pesisir juga menjadi tujuan bagi para investor untuk menanamkan modalnya, sehingga kegiatan perekonomian di wilayah pesisir pantai berkembang pesat. Dengan berkembangnya wilayah pesisir tentunya kegiatan atau aktivitas dalam wilayah tersebut menjadi ramai, sehingga dapat menyebabkan kerusakan sumber daya alam yang dimiliki oleh wilayah pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia pada mulanya dilakukan secara sektoral dikarenakan belum adanya pengaturan secara nasional sehingga kerusakan cenderung terjadi di wilayah pesisir sebagai akibat dari adanya eksploitasi yang dilakukan dalam pengelolaan secara sektoral, maka disusunlah suatu undang-undang pengelolaan wilayah pesisir yaitu Undang-Undang Nomor 84
Irwandi Idris, Sapta Putra Ginting, Budiman, 2007, Membangunkan Raksasa Ekonomi, PT Sarana Komunikasi Utama, Bogor, hal.197.
81
27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Tujuan dari UU pesisir tersebut adalah : a. Menyiapkan peraturan setingkat undang-undang mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil khususnya yang menyangkut perencanaan, pemanfaatan, hak dan akses masyarakat, penanganan konflik, konservasi, mitigasi bencana, reklamasi pantai, rehabilitasi kerusakan pesisir, dan penjabaran konvensi-konvensi internasional terkait; b. Membangun sinergi dan saling memperkuat antarlembaga Pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir sehingga tercipta kerja sama antarlembaga yang harmonis dan mencegah serta memperkecil konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan antarkegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; c. Memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha. Dengan tujuan yang dimiliki oleh Undang-Undang Pesisir tersebut diharapkan sumber daya pesisir yang relatif kaya dan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi serta pertumbuhan populasi penduduk yang padat dapat memberikan keseimbangan bagi penduduknya untuk dapat memanfaatkan sumber daya pesisir dan mendapat manfaat dari adanya pemanfaatan sumber daya pesisir tersebut. Sebelum Undang-Undang Pesisir ini diundangkan peraturan mengenai wilayah pesisir hanya bersifat sektoral saja, yang dapat menimbulkan kerusakan ekosistem
82
sebagai akibat dari ekploitasi yang berlebihan terhadap wilayah pesisir tanpa adanya rehabilitasi. jadi dengan diundangkannya Undang-Undang Pesisir ini diharapkan perencanaan, pemanfaatan, hak dan akses masyarakat, penanganan konflik, konservasi, mitigasi bencana, reklamasi pantai, rehabilitasi kerusakan pesisir, dan penjabaran konvensi-konvensi internasional terkait dapat ditaati dan dilaksanakan dalam implementasinya. Apabila kita lihat bahwa perkembangan wilayah pesisir yang sedemikian pesat seringkali memarginalkan penduduk setempat. Untuk itu Undang-Undang Pesisir ini telah mengaturnya agar masyarakat atau penduduk setempat dapat memanfaatkan dan dapat memberi kehidupan bagi dirinya terhadap sumber daya yang dimiliki oleh wilayah pesisir tersebut. Undang-Undang Pesisir mengakui dan menghormati serta melindungi hak-hak masyarakat terutama hak masyarakat adat yang berada di wilayah pesisir tersebut, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 61 Undang-Undang Pesisir yang menyebutkan : 1. Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun. 2. Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan. Dan dalam Pasal 62 Undang-Undang Pesisir menyebutkan :
83
1. Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Dari dua ketentuan pasal tersebut dapat dilihat bahwa peran masyarakat adat menjadi sangat penting dalam pengelolaan sumber daya pesisir yang dimilikinya. Masyarakat adat pada umumnya memiliki tata aturan dalam kelompoknya, maka masyarakat adat disebut dengan masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat merupakan kelompok-kelompok yang memiliki tata susunan yang tetap dan kekal, serta tiap-tiap orang yang berada di dalamnya masing-masing mengalami kehidupannya sebagai hal yang sewajarnya, yang menurut kodrat alam, tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran kelompoknya itu dan juga memiliki harta benda milik keduniawian maupun milik gaib yang disakralkan keberadaanya. Menurut Dominikus Rato85 masyarakat hukum adat adalah komunitas (paguyuban) sosial manusia yang merasa bersatu karena terikat oleh kesamaan leluhur dan atau wilayah tertentu, mendiami wilayah tertentu, memiliki kekayaan sendiri, dipimpin oleh seorang atau beberapa orang yang dipandang memiliki kewibawaan dan kekuasaan, dan memiliki tata nilai sebagai pedoman hidup serta tidak mempunyai keinginan untuk memisahkan diri
85
Dominikus Rato, Op.Cit, hal.82.
84
sedangkan menurut Ter Haar86, bahwa diseluruh kepulauan Indonesia pada tingkat rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin dimana golongan-golongan manusia itu bersifat persekutuan hukum. Definisi yang dikemukakan Ter Haar terhadap persekutuan hukum memiliki unsur-unsur : a. Ada kesatuan manusia yang teratur; b. Menetap di suatu daerah tertentu; c. Mempunyai penguasa-penguasa; d. Mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam; e. Tidak seorangpun diantara anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selamalamanya. Jika dilihat dari unsur-unsur diatas, masyarakat hukum adat bukanlah badan hukum biasa sebagaimana dikenal dalam hukum barat, melainkan suatu badan hukum yang memiliki kewibawaan dan kekuasaan untuk membentuk, melaksanakan, membina dan sekaligus melakukan evaluasi baik terhadap perilaku anggota masyarakat maupun terhadap isi hukum. Berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 masyarakat hukum adat mendapat pengakuan dan penghormatan dengan menyatakan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan86
Dominikus Rato, Op.Cit, hal 85-86.
85
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat juga dapat dilihat dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 4 huruf (j) yang menyatakan bahwa dalam pengelolaan sumber daya alam dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agrarian/sumber daya alam. Dengan beberapa ketentuan tersebut, keberadaan masyarakat hukum adat sangat penting kedudukannya dalam pemanfaatan suatu wilayah oleh pemerintah. Dalam masyarakat hukum adat, tentunya memiki hak dan kewajiban dalam kelompoknya. Jika dilihat dalam kamus besar Bahasa Indonesia, istilah “hak” memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang dilaksanakan, keharusan (sesuatu yang harus dilaksanakan). Sedangkan menurut M. Marwan dan Jimmy P87, hak merupakan kekuasaan, kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum. Hak diartikan pula sebagai tuntutan syah agar orang lain bersikap dengan cara tertentu dan kebebasan untuk melakukan sesuatu menurut hukum. Sedangkan kewajiban 87
M. Marwan dan Jimmy P, Op.Cit, hal 230.
86
adalah segala bentuk beban yang diberikan oleh hukum kepada orang atau badan hukum. Hak harus dijalankan sesuai dengan tujuannya yaitu sesuai dengan kepentingan sosial atau kepentingan umum. Menjalankan hak yang tidak sesuai dengan tujuannya dinamakan penyalahgunaan hak (misbruik van recht, abus de droit). Menurut Utrecht sebagaimana dikuti Chainur Arrasjid88, menjalankan hak tidak sesuai dengan tujuannya adalah menyimpang dari tujuan hukum, yaitu menyimpang dari jaminan kepastian hukum. Penyalahgunaan hak dianggap terjadi jika seseorang menggunakan haknya dengan cara yang bertentangan dengan tujuan masyarakat, karena maksud hukum adalah melindungi kepentingankepentingan maka pemakaian hak dengan tiada suatu kepentingan yang patut dinyatakan sebagai penyalahgunaan hak. Dari pengertian hak tersebut di atas terdapat suatu hak yang tidak dapat lepas dari keberadaan masyarakat hukum adat terutama dengan lingkungannya yang disebut dengan hak ulayat yaitu hak-hak masyarakat hukum adat untuk memanfaatkan tanah maupun sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Hak ulayat diatur dalam Pasal 3 UUPA yang menyatakan bahwa : dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksnaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi. Ketentuan tersebut berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat dalam hukum tanah nasional, dimana merupakan hak penguasaan yang tertinggi dalam 88
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hal. 115.
87
lingkungan hukum adat tertentu atas tanah yang merupakan milik bersama masyarakat. Pengakuan tersebut memiliki dua syarat yaitu : pertama, mengenai eksistensinya dan kedua, mengenai pelaksanaannya. Dengan adanya pengakuan terhadap hak ulayat tersebut di dalam masyarakat hukum adat mengartikan bahwa masyarakat hukum adat sudah memiliki tata aturan dalam mengatur kelompoknya, seperti halnya dalam hal mengenai pertanahan/agraria. Jika dilihat pengertian agraria dalam kamus besar Indonesia berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah. Pengertian tentang agraria menurut M. Marwan dan Jimmy P, Agraria diartikan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah tanah, baik yang di dalam maupun permukaan tanah89 dan menurut A.P. Parlindungan menyatakan bahwa Agraria mempunyai ruang lingkup, yaitu dalam arti sempit, bisa berwujud hak-hak atas tanah, ataupun pertanian saja, sedangkam Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA telah mengambil sikap dalam pengertian yang meluas, yaitu bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya90. Apabila dilihat dari beberapa pengertian tentang agraria tersebut bahwa hukum agraria adalah keseluruhan kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tentang agraria. Peraturan tentang agraria seperti yang termuat dalam UUPA memiliki tujuan dalam implementasinya, tujuan dari UUPA dapat dilihat dalam Penjelasan umum angka 1 yang menyatakan bahwa :
89 90
M Marwan dan Jimmy P, Op Cit, hal.21-23. Urip Santoso, Op. Cit, hal.2.
88
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara, rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka menuju masyarakat yang adil dan makmur. b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hakhak atas tanah bagi rakyat seluruhnya91. Dari tujuan yang dimiliki oleh UUPA tersebut, dapat dilihat bahwa agraria yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnnya dapat memberikan kemakmuran, keadilan dan kepastian hukum bagi rakyat Indonesia. Jika dilihat dalam ketentuan Pasal 1 UUPA yang terdiri dari 6 (enam) ayat dapat disimpulkan bahwa agraria itu meliputi bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Apabila dilhat dalam ketentuan tersebut bahwa Bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingakatan tertinggi dikuasai oleh Negara, hal ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyebutkan : atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan halhal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
91
Boedi Harsono, Hukum Agraria Nasional Himpunan Peraturan Peraturan Hukum Tanah, Op.Cit, hal.29.
89
“Hak Menguasai Negara” yang ditetapkan oleh Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar dan Pasal 2 ayat (1) UUPA tersebut mengartikan bahwa Negara memiliki kewenangan untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa92. Kemakmuran rakyat merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh Bangsa dan Negara Indonesia seperti yang termuat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar serta dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA yang menyatakan “wewenang yang bersumber pada hak mengusai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraaan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur”. Dari beberapa penjelasan diatas dapat dilihat bahwa konsep hak menguasai tanah oleh Negara yang berlaku saat ini merupakan hasil perkembangan konsep hak ulayat masyarakat hukum adat. Konsep hak ulayat masyarakat hukum adat tersebut dirumuskan sebagai komunalistik relegius, yang memungkinkan pengusaaan bagian-bagian tanah bersama secara individual atau perorangan dan tidak harus kolektif dengan hak-hak atas tanah yang sifatnya pribadi sampai hak kepemilikan, 92
Urip Santoso, Op.Cit, hal.58.
90
dalam arti diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan usahanya saja. Tetapi mengandung unsur kebersamaaan, karena dikuasai sebagai tanah bersama. Dalam Pasal 6 UUPA, sifat hak-hak atas tanah itu dirumuskan dengan kata-kata “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Atas dasar konsep komunalistik relegius tersebut, terdapat 5 (lima) bagian hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional sebagaimana yang ditentukan dan diatur dalam UUPA: 1. Hak Bangsa Indonesia yang merupakan hak tertinggi, yang bersifat keperdataan dan publik, meliputi semua tanah bersama di seluruh wilayah Negara (Pasal 1). 2. Hak menguasai dari Negara, merupakan tugas kewenangan di bidang hukum publik semata, meliputi semua tanah bersama, yang merupakan interpretasi otentik mengenai pengertian di “kuasai” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (Pasal 2), pelaksanaan sebagian kewenangan yang bersumber pada hak menguasai dari Negara itu dapat dilimpahkan kepada departemen dan badanbadan hukum tertentu yang disebut dengan hak pengelolaan. 3. Hak ulayat masyarakat hukum adat, yang merupakan hak bersama para warga masyarakat hukum adat tertentu yang bersangkutan atas tanah ulayatnya yang sepanjang menurut kenyataannya hak itu masih ada (Pasal 3). 4. Hak perorangan, yang memberikan kewenangan untuk memakai dalam arti menguasai, menggunakan dan/atau mengambil manfaat tertentu dari suatu bidang tanah yang merupakan bagian dari tanah bersama tersebut, berupa; hak-
91
hak atas tanah yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan (Pasal 4 dan Bab II) dan Hak Atas Tanah Wakaf (Pasal 49). 5. Hak Tanggungan sebagai jaminan atas tanah (Pasal 51). Ada hak penguasaan lain yang sifatnya individual, yang ada hubungannya dengan tanah, bahkan meliputi hak-hak atas tanah, tetapi bukan hak atas tanah, yaitu hak milik atas satuan rumah susun, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1986 tentang Rumah Susun. Dari beberapa penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa wilayah pesisir telah mendapat pengaturan dengan diundangkannya Undang-Undang Pesisir agar tidak terjadi ekspoitasi berlebihan terhadap wilayah pesisir yang dapat menyebabkan kerusakan sumber daya alam yang dimilikinya, namun Undang-Undang Pesisir tidak menyebutkan secara rinci mengenai pengaturan tentang usaha pariwisata yang hingga saat ini berkembang pesat di wilayah pesisir. Undang-Undang Pesisir hanya menegaskan bahwa Pemerintah Daerah wajib menyusun rencana pengelolaan wilayah pesisir dengan melibatkan masyarakat. Masyarakat yang dilibatkan dalam penyusunan rencana pengelolaan wilayah pesisir tersebut tentunya adalah masyarakat wilayah pesisir masing-masing tempat. Di Bali khususnya penyusunan rencana pengelolaan wilayah pesisir tentunya dengan melibatkan Desa Pakraman (Desa Adat) setempat. Menurut Parimartha, dalam pandangan masyarakat Bali, Desa Adat dimengerti sebagai suatu tempat tinggal bersama, memiliki kekayaan (laba) Desa, wilayah, warga (krama desa), prajuru dan tempat-tempat suci yang disebut dengan Kahyangan Desa. Sedangkan I Gusti Gede Raka mendefenisikan Desa Adat pada aspek keyakinan/kepercayaan adalah
92
kesatuan daerah dimana penduduknya bersama-sama atas tanggapan bersama (krama desa) melakukan ibadah dengan maksud menjaga kesucian tanah desa, serta memelihara pura-pura yang ada di suatu desa dan menurut I Gede Panetje, desa-desa di Bali dapat dianggap sebagai persekutuan yang berdiri sendiri dan dapat bertindak sebagai badan hukum, sedangkan Korn menyebutkan hubungan desa adat dengan pengurus desa merupakan suatu badan yang terdiri dari beberapa orang, maka yang bertindak keluar mewakili desa ialah ketua pengurus (Kelian Desa/Penyarikan)93. Pengertian Desa Adat dapat dilihat dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang terdapat dalam Pasal 1 huruf (e) : Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rmah tangganya sendiri. Istilah Desa Adat kemudian berganti dengan Desa Pakraman setelah dikeluarkannya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 4 : Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat Propinsi Bali yang mempunyai kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau
93
I Wayan Wesna Astara, Op.Cit, hal 12.
93
Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dari Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali dan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman tersebut dapat dilihat bahwa istilah Desa Adat dan Desa Pakraman memiliki pengertian yang sama, walaupun dalam kenyataannya istilah Desa Adat hingga saat ini masih dipergunakan. Menurut I Nyoman Sirtha, seperti yang dikutip oleh I Wayan Wesna Astara menyebutkan bahwa berdasarkan hasil rapat di Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Propinsi Bali, terutama yang berkaitan dengan perubahan nama desa adat menjadi desa pakraman adalah seperti di bawah ini : disepakati untuk memakai nama desa pakraman, dan disebutkan juga bahwa desa adat itu sama dengan desa pakraman hanya disana sini ada perubahan tentang masuknya substansi hukum pecalang dan Majelis Desa Pakraman. Majelis Desa Pakraman ini mucul dari gerakan bawah yang berbeda dengan Majelis Lembaga Adat bentukan dari atas, yaitu Gubernur Bali.94 Dari kedua Peraturan Daerah di atas dapat dilihat bahwa Desa Pakraman (Desa Adat) memiliki ciri : memiliki Kahyangan Tiga; memiliki Parimandala (wilayah dengan batas yang jelas); memiliki krama (warga masyarakat); memiliki Prajuru (pemerintahan adat); memiliki otonomi baik keluar maupun kedalam). Pantai Kuta dan pantai Kedonganan merupakan aset yang sering di kunjungi oleh para wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang dimiliki oleh 94
I Wayan Wesna Astara, Loc.Cit
94
Kabupaten Badung. Pantai Kedonganan merupakan wilayah milik desa adat kedonganan. Desa adat kedonganan merupakan wilayah Kabupaten Badung yang luasnya kurang lebih sekitar 1 km2 (satu kilometer persegi). Dengan wilayah hanya 1 km2 (satu kilometer persegi), Desa adat kedonganan yang merupakan tujuan para wisatawan tentunya dapat menarik para penduduk pendatang untuk tiggal di desa adat kedonganan, sehingga menyebabkan jumlah penduduk masyarakat kedonganan menjadi bertambah. Dari Laporan Bulanan Desa / Kelurahan Kedonganan pada bulan Agustus yang dibuat oleh Lurah Kedonganan jumlah krama desa adat kedonganan mencapai 5.800 jiwa dan dengan adanya penduduk pendatang (musiman) yang berjumlah 1.266 jiwa maka total jumlah penduduk Desa Adat Kedonganan menjadi 7.066. Dengan jumlah penduduk yang sedemikian besar dan luas wilayah desa adat kedonganan yang tidak begitu luas menyebabkan kepadatan penduduk di desa adat kedonganan tersebut. Menurut Bendesa Adat Kedonganan I Ketut Puja dalam wawancara pada tanggal 4 September 2013, Desa adat kedonganan terdiri dari 6 (enam) banjar adat dan banjar dinas, masing-masing yaitu Banjar Pengenderan, Banjar Kerthayasa, Banjar Pasek, Banjar Anyar Gede, Banjar Ketapang dan Banjar Kubu Alit. Ke enam banjar tersebut dipimpin oleh seorang bendesa adat yang dipilih langsung oleh krama desa adat kedonganan setiap 5 (lima) tahun sekali. Dalam melaksakan tugasnya seorang Bendesa Adat didampingi oleh seorang wakil (pangliman), bendahara (petengen), sekretaris (penyarikan), juruh arah (kasinoman), dan kelihan banjar adat dari masing-masing banjar adat di Desa Adat Kedonganan. Bagan Prajuru Desa Adat Kedonganan dapat dipaparkan sebagai berikut:
95
Bendesa Adat
Penyarikan
Petengen
Pangliman Parahyangan
Pangliman Pawongan
Pangliman Palemahan
Pesayahan Parahyangan p
Pesayahan Pawongan
Pesayahan Palemahan
pp
Kesinoman
p Kelihan Banjar Pasek
ppKelihan Adat Banjar Pangenderan
Kelihan Banjar Ketapang
Kelihan Banjar Anyar Gede
Kelihan Banjar Kerthayasa
Kelihan Banjar Kubualit
Krama Desa Adat Kedonganan
Sumber : Awig-Awig Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung CakaWarsa 1911 Tahun 1989. Menurut Bendesa Adat Kedonganan I Ketut Puja dalam wawancara tersebut mengatakan bahwa Desa Adat Kedongan berhak untuk mengatur dan mengelola sendiri kawasan pantai yang dimilikinya, berdasarkan Keputusan Bupati Badung Nomor 1238/01/HK/2010 tentang Persetujuan Pelaksanaan Penataan Dan Pengelolaan Kawasan Pantai Kedonganan Kabupaten Badung Oleh Desa Adat Kedonganan. Keputusan Bupati ini dikeluarkan dikarenakan adanya permohonan dari Desa Adat Kedonganan untuk memperbaiki kondisi kawasan pantai kedonganan yang belum tertata, sebagai akibat dari maraknya kafe-kafe dan
96
warung ikan yang didirikan secara pribadi/individu oleh warga dan memanfaatkan sempadan pantai yang mengakibatkan berbagai permasalahan baik di bidang ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan.
Dalam Keputusan Bupati Badung
tesebut disebutkan bahwa tugas dan tanggung jawab Desa Adat Kedonganan sebagai pelaksana, penataan pengelolaan dapat dilihat dalam Diktum 3 yang menyatakan : a. Mempersiapkan rencana penataan dan pengelolaan kawasan pantai kedonganan secara terprogram dan terukur dengan mengadopsi ketentuan/peraturan yang ada sehingga dapat mengadopsi semua kepentingan masyarakat; b. Melaksanakan kegiatan penataan dan pengelolaan kawasan pantai kedonganan sesuai dengan tahapan-tahapan yang akan dikerjakan berdasarkan blue print penataan dan pengelolaan kewasan pantai kedonganan yang diusulkan Desa Adat Kedonganan dan telah mendapat pengesahan dari Bupati Badung dengan tetap memperhatikan tata ruang dan tata bangunan yang berlaku; c. Memelihara lingkungan sekitar, dengan menjaga kebersihan, keasrian dan ketentraman masyarakat sekitar maupun masyarakat pemanfaat, pengunjung kawasan pantai kedonganan; dan d. Melaporkan hasil penataan dan pengelolaan kawasan pantai tersebut secara periodik sebagai upaya, monitoring oleh Pemerintah Kabupaten Badung. Berpedoman dari Keputusan Bupati Badung Nomor 1238/01/HK/2010 tentang Persetujuan Pelaksanaan Penataan Dan Pengelolaan Kawasan Pantai Kedonganan Kabupaten Badung Oleh Desa Adat Kedonganan tersebut, maka masyarakat hukum adat Desa Kedonganan mengeluarkan atau membuat peraturan
97
tentang kafe-kafe di sekitar pantai kedonganan. Peraturan Desa Adat Kedonganan tentang Kafe-Kafe Di Sepanjang Pantai Kedonganan merupakan peraturan khusus yang dimiliki oleh desa adat kedonganan, artinya bahwa peraturan tersebut lepas dari peraturan/awig-awig inti atau yang telah ada sebelumnya yang dimiliki oleh desa adat kedonganan. Hal ini disebabkan karena peraturan tentang kafe-kafe di sekitar pantai merupakan peraturan yang dibuat melalui sangkepan (rapat) desa untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan jaman. Substansi dari peraturan tersebut ialah pembagian mengenai lokasi kafe-kafe desa adat kedonganan, dimana desa adat kedonganan yang terdiri dari 6 (enam) banjar adat diberikan mengelola masing-masing 4 (empat) buah kafe, jadi jumlah seluruh kafe yang berada di sekitar pantai kedonganan ada 24 (duapuluh empat). Masing-masing kelompok kafe dari 6 (enam) banjar tersebut dikenakan kompensasi atas pengelolaan kafe milik desa adat dengan jangka waktu 5 (lima) tahun. Nilai kompensasi terhadap pengelolaan kafe tersebut tidak tercantum dalam peraturan tersebut dan dalam peraturannya hanya menyebutkan nilai kompensasi akan ditetapkan sesuai keputusan desa adat, hal tersebut dapat dilihat dalam bagian kedua tentang Bentuk Kompensasi angka 3 peraturan Desa Adat tersebut. Mengenai pengelolaan kawasan pantai di kedonganan, desa adat kedonganan telah membentuk Badan Penataan Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan (BPKP2K) yang dapat dilihat pada diktum V Peraturan Desa Adat Kedonganan tentang Kafe-Kafe Di Sepanjang Pantai Kedonganan tersebut. Dimana BP-KP2K dibentuk berdasarkan SK bersama Bendesa Adat, Lurah dan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Nomor 03/2007, pada tanggal 19 Februari
98
2007, memiliki kewajiban yang dapat dilihat dalam Diktum 5 tentang Badan Penataan Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan (BP-KP2K) angka 5 huruf a diantaranya : 1.
2. 3. 4.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Memberikan bimbingan dan pembinaan secara rutin dan berkelanjutan menyangkut pelaporan, pelaporan, pelayanan, hygienis dan sanitasi, kebersihan, keamanan, kenyamanan dan keberlangsungan kafe-kafe di kedonganan; Mempromosikan keberadaan kawasan pariwisata pantai kedonganan di tingkat nasional maupun internasional; Melakukan tindakan pengamanan terhadap tamu dan atau kendaraan yang masuk/keluar dari dan kewilayah Pantai Kedonganan; Mengumpulkan data dan fakta yang akurat tentang penyimpangan/pelanggaran yang terjadi di masing-masing kafe, selanjutnya laporan diteruskan kepada Prajuru Banjar yang bersangkutan dan tembusannya kepada Lembaga Desa Adat, Kelurahan dan LPM. Mengatur parker kendaraan yang masuk pada tempat yang telah disediakan; Mengatur pemusik serta pedagang agar tidak mengganggu tamu-tamu yang makan di kafe; Memberikan pengaman khusus kepada kafe-kafe yang mempunyai acaraacara khusus sesuai permintaan pengelola kafe; Melakukan rapat rutin maupun insidentil sesuai kebutuhan dengan melibatkan perangkat organisasi BP-KP2K; Melaporkan secara rutin minimal setiap 3 (tiga) bulan perkembangan kafekafe di sepanjang Pantai Kedonganan, termasuk kondisi keuangan BP-KP2K. Mencegah peminta-minta, pemulung dan pelaku kejahatan memasuki wilayah Pantai dan atau kafe; Memberikan pengamanan terhadap tamu-tamu yang mandi dan berenang di laut dengan meyiapkan team penyelamat pantai; Mengerahkan pengelola kafe, pemusik, pedagang dan seluruh komponen untuk melakukan kebersihan secara rutin di area kafe dan pantai; Mencegah pengelola kafe membuat bangunan di luar alokasi tempat yang telah disepakati; Melakukan pengaturan lalu lintas terhadap kendaraan yang keluar masuk kawasan; Menciptakan rasa aman, nyaman dan hilang dari kekhawatiran di area kafe dan Pantai Kedonganan. Untuk dapat berjalannya lembaga BP-KP2K dalam melaksanakan kegiatan
operasionalnya, lembaga ini memiliki beberapa kewenangan yang diatur dalam Diktum 5 angka 5 huruf b diantaranya; memungut biaya keamanan dan
99
kebersihan kawasan dari masing-masing kafe, memungut retribusi dari anggota pemusik dan pedagang, memungut retribusi dari kendaraan-kendaraan yang masuk ke kawasan Pantai Kedonganan. Seperti peraturan-peraturan pada umunya, peraturan yang dimiliki oleh desa adat kedonganan tentang pengelolaan kafe tersebut, memiliki suatu prosedur penanganan apabila terjadi suatu pelanggaran. Prosedur penanganan pelanggaran termuat dalam Diktum 7 yang intinya menyebutkan bahwa BP-KP2K sebagai pengawas jalannya pengelolaan kawasan pantai kedonganan dapat melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran yang terjadi dan hasil dari penyelidikan tersebut yang berupa data-data dan fakta-fakta yang terdapat dilapangan akan dirapatkan (paruman) dengan masing-masing banjar guna memperoleh suatu keputusan dan dapat menjatuhkan sanksi kepada para pelanggar peraturan tersebut. Apabila dalam rapat (paruman) tersebut tidak menghasilkan sebuah keputusan penyelesaian masalah, maka banjar dapat meminta bantuan penyelesaian permasalahan kepada lembaga yang ada, yaitu : Desa Adat Kedonganan, Lurah Kedonganan dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kedonganan. Mengenai sanksi-sanksi yang dapat dikenakan apabila terjadi pelanggaran dapat dilihat dalam Diktum 8 peraturan ini dan hanya berlaku terhadap pelanggaran pengeloaan kafe. Apabila terjadi suatu pelanggaran, maka prosedur yang dapat dilakukan adalah; a). Diselesaikan secara musyawarah mufakat, b). Diberikan sanksi teguran lisan, c). Terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengelola kafe maka aka ditutup selama 3 (tiga) hari, d). Dicabut haknya baik sebagai pengelola maupun kelompok kafe, e). Dikenakan sanksi adat
100
sesuai dengan yang tercantum dalam awig-awig Desa Adat Kedonganan. Sedangkan pelanggaran mengenai pidana dan perdata penyelesaiannya diserahkan kepada hukum positif yang berlaku. Sedangkan Desa Adat Kuta terletak di bagian selatan Pulau Bali, bagian selatan tersebut sering disebut sebagai daerah kaki bali, dan orang Bali menyebutnya di teben (hilir). Secara geografis, kelurahan Kuta berada pada posisi 080 36, 20”-080 50, 80” LS (Lintang Selatan) serta 1150 5 0”-1150 14, 30” BT (Bujur Timur). Kuta termasuk Pantai dengan dataran rendah. Ketinggian rata-rata 5 M (meter) di atas permukaan laut. Kemiringan tanahnya rata-rata 0-3%. Luas wilayah Kuta hanya 723 ha (hektar are) atau 7,23 km2 (kilometer persegi). Di sisi utara, Kuta berbatasan dengan Kelurahan Legian, di bagian selatan, berbatasan dengan Kelurahan Tuban, sementara di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Pemogan, Denpasar, dan Selat Lombok95. Menurut sejarah yang diyakini masyarakat Kuta, saat menginvasi Bali pada tahun 1343 Masehi, Mahapatih Majapahit, Gajah Mada memilih Kuta sebagai salah satu tempat pendaratan pasukannya. Kapal-kapal pengangkut pasukan Majapahit yang jumlahnya cukup banyak itu berlabuh di pantai Kuta. Karena saking banyaknya kapal yang berlabuh, masyarakat menyebut tempat itu sebagai Pasih Perahu. Pasih dalam Bahasa Bali berarti laut. Pasih perahu dapat diartikan sebagai lautan perahu. Pasih perahu diyakini sebagai nama mula Kuta. Nama Kuta konon diberikan Gajahmada untuk mengenang
95
I Gede Suparta dan I Made Sujaya, 2010, Kuta Kita (Catatan Kecil Kuta Membangun) Cetakan Pertama, Pemerintah Kelurahan Kuta, hal. 4.
101
kesuksesan pendaratan pasukannya. Pemberian nama Kuta berbarengan dengan nama Tuban sebagai pelabuhan di bagian selatan dan Canggu untuk pelabuhan di bagian utara. Tuban dan Canggu adalah nama yang diadopsi Gajahmada dari nama pelabuhan di Majapahit. Sementara nama Kuta sengaja dipilih karena tempatnya dijadikan sebagai benteng. Dalam Bahasa Sansekerta kata Kuta memang memiliki sejumlah arti, termasuk benteng atau kubu. Kuta juga berarti kota, puri serta tembok96. Desa Adat Kuta ditopang oleh 13 (tigabelas) Banjar yakni : Banjar Tegal, Banjar Pande Mas, Banjar Buni, Banjar Teba Sari, Banjar Temacun, Banjar Pemamoran, Banjar Jaba Jero, Banjar Pengabetan, Banjar Pering, Banjar Pelasa, Banjar Anyar, Banjar Segara dan Banjar Mertajati97. Kuta sebagai daerah pesisir dan berkembang sebagai daerah pariwisata menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk sebagai akibat dari adanya urbanisasi masyarakat dari berbagai daerah untuk mengadu nasib di Kuta. Sebagai perbandingan jumlah penduduk pada pertengahan tahun 2010 (duaribu sepuluh) adalah 12.055 dengan jumlah Kepala Keluarga 2.91798, sedangkan berdasarkan data dari Lurah Badung I Wayan Daryana jumlah penduduk pada bulan Mei tahun 2013 mencapai 13.177, dengan jumlah penduduk pendatang atau musiman 86.864 jiwa sehingga total jumlah penduduk di Desa Adat Kuta mencapai 100.041 jiwa . Apabila dilihat dari data tersebut bahwa terdapat peningkatan jumlah penduduk yang sangat cepat sehingga 96
I Nyoman Graha Wicaksana, Made Darwi dan I Made Sujaya, 2010, Kuta Berdaya (jejak pengabdian LPM Kelurahan Kuta), LPM Kelurahan Kuta, Kuta, hal. 6 97 Ibid, hal. 37. 98 Ibid, hal. 20.
102
menyebabkan jumlah penduduk Wilayah Kuta yang memiliki luas 723 ha (hektar) atau 7,32 km2 menjadi semakin padat. Jumlah tersebut belum termasuk penduduk musiman, penduduk musiman disini memiliki tiga kategori, pertama; penduduk pendatang dari luar propinsi Bali, mereka diwajibkan untuk memiliki Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS) yang berlaku selama 3 (tiga bulan), kedua; penduduk pendatang dari luaar Kabupaten Badung, penduduk ini diwajibkan untuk memiliki Surat Tanda Pendaftaran Penduduk Tinggal Sementara yang berlaku selama 6 (enam) bulan, ketiga penduduk pendatang dari Kabupaten Badung tetapi dari luar Kelurahan Kuta mereka diwajibkan untuk memiliki Surat Tanda Lapor Diri (STLD) yang berlaku selama 1 (satu) tahun99. Seperti halnya Desa-Desa Adat di Bali pada umumnya memiliki Perangkat Desa/Prajuru Desa Adat, begitu juga dengan Desa Adat Kuta yang memiliki susunan Prajuru Desa Adat. Bagan Prajuru Desa Adat Kuta dapat dipaparkan sebagai berikut :
99
Ibid
103
Kertha Desa
Kelihan Desa adat
Pangliman Parhyangan
Pangliman Pelemahan
Pangliman Pawongan
Petengen I
Penyarikan I
Petengen II
Penyarikan II
Pesayahan Parahyangan
Pesayahan Palemahan
Pesayahan Pawongan
Krama Desa Adat Kuta Sumber : Awig-Awig Desa Adat Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung dalam Eka Likita Pengaturan dan pengelolaan wilayah pesisir pantai kuta dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat kuta itu sendiri. Kewenangan yang diperoleh untuk mengelola wilayah pesisir pantai kuta diberikan oleh Keputusan Bupati Badung Nomor 1133 Tahun 2000 tentang Penunjukkan Desa Adat Kuta Untuk Membantu Memelihara Pelestarian Pantai Kuta. Dalam Keputusan Bupati Badung tersebut menetapkan : Pertama : Menunjuk Desa Adat Kuta untuk membantu memelihara pelestarian Pantai Kuta;
104
Kedua
: Semua kegiatan pembangunan fisik yang direncanakan supaya dilaporkan dan mohon persetujuan Bupati Badung;
Ketiga
: Menjaga kebersihan Panta dan sekitarnya serta ketentraman bagi wisatawan yang berkunjung ke pantai;
Keempat : Menanami pohon-pohon penghijauan yang sesuai dengan kondisi alam di pantai guna memperkecil polusi pantai; Kelima : Segala biaya yang timbul sebagai akibat penetapan keputusan ini dibebankan kepada Desa Adat Kuta dan Pemerintah Kabupaten Badung; Keenam : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan ketentuan apabila dikemudian hari terjadi kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan pembenaran sebagaimana mestinya. Dengan adanya Keputusan Bupati Badung tersebut, masyarakat hukum adat Kuta membentuk satuan petugas (satgas) untuk mengawasi dan menjaga kelestarian pantai kuta. Menurut Bendesa Adat Kuta I Wayan Swarsa dalam wawancara tanggal 4 September 2013 satgas dibentuk berdasarkan paruman (rapat) Desa Adat Kuta dan ditetapkan bahwa untuk menjaga dan memelihara wilayah pesisir pantai dibentuklah satgas yang anggota dari satgas tersebut diambil dua orang dari masing-masing banjar yang terdapat di Desa Adat Kuta dan menurut bendesa Adat Kuta tersebut bahwa Keputusan Bupati Badung yang dikeluarkan tahun 2000 tersebut sudah direvisi dan sudah diajukan ke Pemerintah Kabupaten Badung dan hingga kini belum dikeluarkan keputusan yang terbaru. Satgas dibentuk untuk dapat menjaga keamanan, kelestarian dan ketertiban di
105
sekitar wilayah pantai kuta. Ketertiban disini dimaksudkan adalah pengaturan tentang para pedagang-pedagang yang berada di wilayah pesisir kuta. Seluruh pedagang disekitar wilayah pesisir kuta wajib mendaftarkan dirinya untuk menjalankan usahanya kepada Desa Adat Kuta. Dari dua peraturan yang dimiliki oleh dua Desa Adat tersebut yakni Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta masih terdapat beberapa peraturan dalam penyusunan rencana pengelolaan wilayah pesisir / kawasan pantai khususnya Kabupaten Badung dapat dilihat dalam beberapa peraturan seperti : a.) Peraturan Daerah Tingkat II Badung Nomor 29 Tahun 1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, peraturan daerah ini hingga saat ini masih berlaku karena tidak adanya peraturan lain yang mencabut dan merevisinya. Bila dilihat dalam penjelasan umum Peraturan Daerah ini disebutkan bahwa penataan dan pemanfaatan ruang di Kabupaten Badung menganut konsep TRI HITA KARANA yang mengatur dan memberi pedoman tentang hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan antara manusia dengan alam. Tidak hanya sebuah konsep saja yang dianut melainkan dalam implementasinya telah dilakukan dalam bentuk fisik, dengan adanya TRI MANDALA
yang
terdiri
dari
PARHYANGAN,
PAWONGAN
dan
PALEMAHAN; b.) Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 2 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Badung Tahun 2005-2025, Peraturan Daerah ini memiliki visi, misi dan arah pembangunan daerah yang mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) guna terciptanya integrasi, sinkronisasi dan mensinergikan perencanaan,
106
penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan dalam jangka waktu 20 (duapuluh) tahun. Pengembangan kegiatan di sektor pariwisata menjadi salah satu penggerak dalam perekonomian agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan sarana dan prasarana pariwisata dan menata objek-objek pariwisata serta daya tarik wisata dengan memperhatikan budaya dan lingkungannya; c.) Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Badung Tahun 2010-2015, peraturan daerah ini mengatur tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang merupakan rencana pembangunan daerah untuk periode 5 (lima) tahun, dimana pembangunan jangka menengah ini diupayakan untuk meningkatkan pemenuhan hak dasar meliputi : Hak rakyat untuk memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan dan papan) yang terjangkau; Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik dan perubahan; Hak rakyat untuk berinovasi; Hak rakyat untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agaman dan kepercayaannya. d.) Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung Nomor 245 Tahun 1996 tentang Penetapan Tempat-Tempat Pemangkalan Di Sepanjang Perairan Pantai Di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, Keputusan Bupati ini dibuat berdasarkan pertimbangan bahwa makin meningkatnya
107
penggunaan kendaraan air di wilayah pantai Kabupaten Badung, baik untuk perikanan maupun untuk kegiatan lainnya. Dari beberapa peraturan tersebut, dapat dilihat bahwa peran masyarakat hukum adat sangat penting dalam penyusunan suatu peraturan daerah agar peraturan daerah tersebut dapat mensejahterakan masyarakat pesisir pantai. 3.2. Implikasi Pengaturan Usaha Pariwisata Wilayah Pesisir Di Desa Adat Kedonganan Dan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali Secara yuridis keberadaan lembaga masyarakat hukum adat diakui oleh Negara. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat oleh Negara tersebut memiliki arti bahwa terdapat suatu hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik disini artinya bahwa Negara mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat, begitu juga sebaliknya bahwa masyarakat hukum adat mengakui keberadaan konstitusi dengan Pancasila sebagai Dasar Negara berserta peraturan perundang-undangan lainnya. Pengakuan Negara terhadap masyarakat hukum adat secara umum mengakui dan menghormati apa yang ada dan telah tumbuh dalam masyarakat hukum adat, seperti halnya pengakuan Negara terhadap hak ulayat sepanjang hak tersebut masih ada dan hidup dalam masyarakat hukum adat. Hak ulayat merupakan pengakuan Negara terhadap masyarakat hukum adat dalam hal agraria. Pengakuan hak ulayat apabila dilihat dari konsep Negara hukum, bahwa berdasarkan konsep negara hukum tersebut menjungjung tinggi adanya sistem hukum yang menjamin kepastian hukum.
108
Negara dikatakan sebagai suatu Negara Hukum dapat dilakukan melalui penelusuran pandangan ilmiah para ahli. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl, bahwa yang memberikan unsur-unsur atau ciri-ciri dari suatu Negara Hukum adalah sebagai berikut: 1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia; 2. Adanya pembagian kekuasaan; 3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan; dan 4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.100 A.V. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law adalah sebagai berikut:101 1. Supremasi absolut atau predominasi dari aturan-aturan hukum untuk menentang dan meniadakan kesewenang-wenangan, dan kewenangan bebas yang begitu luas dari pemerintah; 2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court ini berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama. 3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekwensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan, singkatnya prinsipprinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian diperluas sehingga membatasi posisi crown dan pejabat-pejabatnya.
100 101
Oemar Seno Adji, Op.Cit, hal.24. Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hal. 75.
109
Menurut
C.F.
Strong
merumuskan
bahwa
arti
konstitusi
dapat
disederhanakan rumusannya yaitu a frame of political society, organised through and by law, that is to say on in which law has establish permanent institutions with recognised functions and definited rights102, sebagai kerangka negara yang diorganisir dengan dan melalui undang-undang. Menurut Philipus M. Hadjon, dengan merujuk bahwa asas utama Hukum Konstitusi atau Hukum Tata Negara Indonesia adalah asas negara hukum dan asas demokrasi serta dasar negara Pancasila, oleh karena itu dari sudut pandang yuridisme Pancasila maka secara ideal bahwa Negara Hukum Indonesia adalah Negara Hukum Pancasila.103 Lebih rinci disebutkan bahwa unsur-unsur Negara Hukum Pancasila adalah sebagai berikut: a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan nasional; b. Hubungan yang fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara; c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir; d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban. Muhammad Tahir Azhari mengemukakan bahwa ciri-ciri Konsep Negara Hukum Pancasila adalah merupakan hubungan yang sangat erat antara agama dan negara bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa–kebebasan beragama–ateisme tidak dibenarkan dan komonisme dilarang, asas kekeluargaan dan kerukunan
102 103
C.F.Strong, Op.Cit, hal.83. I Dewa Gede Atmadja, Op.Cit., hal.162.
110
diutamakan.104 Unsur-unsur utama Negara Hukum Pancasila, meliputi: Pancasila, sistem konstitusi, persamaan, dan peradilan bebas.105 Pernyataan tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, ini berarti membawa konsekwensi apapun yang dilakukan oleh pemerintah (Negara) harus berdasarkan hukum, yang dalam hal ini adalah aturan-aturan yang dibentuk dan diberlakukan. Sejalan dengan pendapat Hugo Grotius (de Groot) pakar hukum alam, bahwa jika negara akan membentuk hukum maka isi hukum itu haruslah ditujukan untuk mencapai apa yang menjadi tujuan negara.106 Dalam konteks negara Indonesia, maka tujuan hukum harus berorientasi pada tujuan negara. Mengenai landasan filosofi dari negara Hukum Indonesia adalah Pancasila.107
Penegasan ini menunjukkan
komitmen lebih tegas dari bangsa dan Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila untuk memberikan kedaulatan hukum dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat di wilayah Negara Republik Indonesia. Negara Hukum menentukan alat-alat perlengkapannya yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan yang ditentukan terlebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturanperaturan itu.108 Jadi menurut konsep Negara hukum, sebelum negara akan membentuk hukum maka isi hukum itu haruslah ditujukan untuk mencapai apa yang menjadi tujuan Negara, tujuan Negara disini dimaksudkan untuk memakmurkan dan 104
I Dewa Gede Atmadja, Op.Cit, hal.163. Muhammad Tahir Azhari, Op.Cit, hal.102. 106 Ida Nurlinda, Op.Cit, hal. 11. 107 Padmo Wahjono, Op.Cit, hal. 2. 108 Simposium Universitas Indonesia Jakarta, Op.Cit, hal. 159. 105
111
mensejahterakan rakyatnya. Pengakuan hak ulayat beserta hak-hak lain yang terdapat di dalamnya oleh Negara terhadap masyarakat hukum adat yang tercantum dalam UUPA merupakan salah satu tujuan Negara yaitu untuk mensejahterakan rakyatnya. Hak-hal lain disini dimaksudkan adalah segala hak yang melekat pada masyarakat hukum adat tersebut sepanjang masih ada dan hidup, seperti halnya masyarakat hukum adat di Bali yang hingga saat ini tetap ada dan terus hidup. Dengan dikeluarkannya peraturan mengenai pengelolaan wilayah pesisir pantai kepada masyarakat hukum adat Kedonganan maupun Masyarakat hukum adat Kuta telah mencerminkan bahwa selain implementasinya sesuai dengan Undang-Undang Pesisir juga sesuai dengan tujuan Negara. Dengan diakui dan dihormatinya masyarakat hukum adat oleh peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Pesisir, maka masyarakat hukum adat memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengelola kawasan pesisir yang dimilikinya. Kewenangan tersebut apabila dilihat dari teori kewenangan maka wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan
(Hukum
Administrasi),
karena
pemerintahan
baru
dapat
menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang
112
diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.109 Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara hukum. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu kemampuan
untuk
melakukan
suatu
tindakan-tindakan
hukum
tertentu.
Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan.110 Lebih lanjut Hassan Shadhily memperjelas terjemahan authority dengan memberikan suatu pengertian tentang pemberian wewenang (delegation of authority). Delegation of authority ialah proses penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager) kepada bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggung jawab untuk melakukan tugas tertentu.111 Proses delegation of authority dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1. Menentukan tugas bawahan tersebut
109
SF. Marbun, Op.Cit, hal. 154. Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.Cit, hal. 1170 111 Ibid, hal. 172. 110
113
2. Penyerahan wewenang itu sendiri 3. Timbulnya kewajiban melakukan tugas yang sudah ditentukan. I Dewa Gede Atmadja, dalam penafsiran konstitusi, menguraikan sebagai berikut : Menurut sistem ketatanegaraan Indonesia dibedakan antara wewenang otoritatif dan wewenang persuasif. Wewenang otoritatif ditentukan secara konstitusional, sedangkan wewenang persuasif sebaliknya bukan merupakan wewenang konstitusional secara eksplisit.112 Wewenang otoritatif untuk menafsirkan konstitusi berada ditangan MPR, karena MPR merupakan badan pembentuk UUD. Sebaliknya wewenang persuasif penafsiran konstitusi dari segi sumber dan kekuatan mengikatnya secara yuridis dilakukan oleh : 1. Pembentukan undang-undang; disebut penafsiran otentik 2. Hakim atau kekuasaan yudisial; disebut penafsiran Yurisprudensi 3. Ahli hukum; disebut penafsiran doktrinal Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah sumber wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan pemerintahan. Teori sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan mandat.113 Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut : Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu 112
Dewa Gede Atmadja, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum: Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekwen, Op.Cit, hal. 2 113 Ibid.
114
bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.114 Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut: Wewenang yang diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundangundangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.115 Wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum.116 Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum, komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standard wewenang yaitu standard hukum (semua jenis wewenang) serta standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu). Dalam kaitannya dengan wewenang sesuai dengan konteks penelitian ini, standard wewenang yang dimaksud adalah kewenangan pemerintah di bidang pertanahan di wilayah pesisir pantai. Menurut Ronald Z. Titahelu dalam Abrar Saleng117, secara teoretik kekuasaan negara atas
114
Prajudi Atmosudirdjo, Op.Cit, hal. 29. Indroharto, Op.Cit, hal. 90. 116 Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hal. 2. 117 Abrar Saleng, Op.Cit. hal. 7-8. 115
115
sumberdaya alam bersumber dari rakyat yang dikenal sebagai hak bangsa. Negara di sini dipandang sebagai territoriale publieke rechtsgemenschap van overheid en onderdaden, yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga masyarakat hukum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus dan memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh potensi sumberdaya alam yang ada dalam wilayahnya secara intern. Kewenangan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat tersebut dalam pemanfaatan, penguasaan dan pengelolaan wilayah pesisir dan perairan di sekitarnya yang merupakan sumber daya alam dan menjadi pokok-pokok kemakmuran rakyat merupakan kewenangan yang diperoleh secara atribusi yang secara normatif diatur di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jika dilihat dari konsep hukum tanah nasional, maka pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir yang diberikan oleh Undang-Undang Pesisir kepada masyarakat hukum adat, bahwa Undang-Undang Pesisir telah menganut suatu sistem berdasarkan alam pikiran hukum adat, sehingga sumber utama dalam pembangunan hukum tanah khususnya wilayah pesisir adalah hukum adat. Sebagaimana dinyatakan oleh Boedi Harsono, yang antara lain merumuskan bahwa falsafah/konsepsi hukum tanah nasional adalah komunalistik-religius, yang memungkinkan penguasa tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.118 Sifat komunalistik maksudnya sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 UUPA 118
Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 229.
116
merumuskan bahwa semua tanah dalam Wilayah Negara Indonesia adalah tanah bersama dari seluruh rakyat Indonesia, yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya mengenai watak religius tampak pada Pasal 1 angka 2 UUPA, yang menyatakan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya dalam Wilayah Negara Republik Indonesia adalah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dibandingkan dengan Konsepsi Hukum Tanah Barat (dengan dasar individualisme dan liberalisme) dan Konsepsi Tanah Feodal, maka konsepsi Hukum Tanah Nasional merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia, karna berdasarkan alam pikiran masyarakat adat bangsa Indonesia. Dari rumusan falsafah/konsepsi Hukum Tanah Nasional tersebut diatas, maka dapat dicermati beberapa hal sebagai berikut:119 a. Falsafah/konsepsi hukum tanah nasional merupakan suatu pikiran yang mendasar dan terdalam yang mengkristal sebagai nilai-nilai hukum yang akan melandasi pembentukan asas, lembaga, dan sistem pengaturan hukum tanah nasional; b. Tanah yang menjadi wilayah negara Republik Indonesia merupakan tanah bersama dan menjadi kekayaan bersama Bangsa Indonesia, sehingga kewenangan terhadap wilayah bangsa itu disebut sebagai Hak Bangsa Indonesia; c. Tanah bersama itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, sehingga hubungan Bangsa Indonesia dengan Wilayah Indonesia bersifat abadi; d. Hubungan Bangsa Indonesia dengan bumi air, dan ruang angkasa, sebagai wilayah Indonesia semacam hubungan hak ulayat, sehingga di dalamnya dikenal adanya hak penguasaan individual dalam bentuk hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi;
119
Oloan Sitorus & H.M. Zaki Sierrad, Op.Cit, hal. 65.
117
e. Oleh karena hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi itu berasal dari hak bangsa sebagai hak bersama, maka di dalam setiap hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi terkandung unsur-unsur kebersamaan, sehingga setiap hak atas tanah mempunyai fungsi sosial Dalam UUPA dimuat 8 asas bidang hukum pertanahan di Indonesia (asasasas Hukum Tanah Nasional). Asas-asas ini karena sebagai dasar dengan sendirinya harus menjiwai pelaksaanaan dari UUPA dan segenap peraturan pelaksanaannya, yaitu sebagai berikut: a. Asas nasionalitas subyek hak atas tanah; asas yang berasal dari asas hukum adat mengenai tanah yang selalu mendahulukan kebutuhan dan kepentingan anggota masyarakat hukum adat. Hanya anggota masyarakat hukum adat yang dapat mengambil manfaat secara penuh atas wilayahnya, sedangkan “orang asing” hanya dapat mempunyai hak yang bersifat sementara. Tanah Bangsa Indonesia sebagai keseluruhan adalah kekayaan nasional dan menjadi hak Bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya. b. Asas fungsi sosial hak atas tanah; asas ini ditemukan pada Pasal 6 UUPA yang menyatakan semua hak atas tanah berfungsi sosial, sehingga menurut pandangan secara rasionalitas adalah semua hak-hak atas tanah baik secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa sebagai kepunyaan bersama dari Bangsa Indonesia. c. Asas pemerataan dan keadilan; asas ini ditemukan dalam pasal-pasal tentang Landreform, seperti Pasal 7, 10, 11, dan 17 UUPA. Sama dengan orientasi hidup
masyarakat
adat
yang
mengedepankan
kesejahteraan
dalam
118
kebersamaan, dan demikian sebaliknya mengedepankan kebersamaan dalam kesejahteraan. d. Asas penggunaan tanah dan pemeliharaan lingkungan hidup; asas ini terdapat dalam Pasal 14 dan 15 UUPA, yang pada intinya menginginkan agar tercipta penggunaan tanah yang bijaksana dan berkesinambungan. e. Asas kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam penggunaan tanah; asas ini di konkritkan pada Pasal 12 dan 13 UUPA, yang pada intinya mencegah usahausaha penggunaan dan pemanfaatan tanah secara monopoli. f. Asas pemisahan horisontal dalam hubungannya dengan bangunan dan tanah di atasnya; asas ini diadopsi dari hukum adat, yaitu bahwa penguasaan dan pemilikan tanah tidak meliputi penguasaan dan pemilikan benda-benda yang terdapat di atasnya. g. Asas hubungan yang berkarakter publik antara negara dengan tanah, pada intinya jika pemerintah ingin secara langsung menggunakan tanah itu maka dapat diberikan hak pakai atau hak pengelolaan. Pengaturan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat hukum adat Kedonganan dan Kuta yang berupa Keputusan Bupati Badung Nomor 1238/01/HK/2010 tentang Persetujuan Pelaksanaan Penataan Dan Pengelolaan Kawasan Pantai Kedonganan Kabupaten Badung Oleh Desa Adat Kedonganan dan Keputusan Bupati Badung Nomor 1133 Tahun 2000 tentang Penunjukkan Desa Adat Kuta Untuk Membantu Memelihara Pelestarian Pantai Kuta untuk mengatur dan mengelola sumber daya pesisir yang dimilikinya telah mencerminkan dan sesuai dengan asas-asas tersebut. Dari beberapa penjelasan
119
diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dengan dikeluarkannya Keputusan Bupati Badung Nomor 1238/01/HK/2010 tentang Persetujuan Pelaksanaan Penataan Dan Pengelolaan Kawasan Pantai Kedonganan Kabupaten Badung Oleh Desa Adat Kedonganan dan Keputusan Bupati Badung Nomor 1133 Tahun 2000 tentang Penunjukkan Desa Adat Kuta Untuk Membantu Memelihara Pelestarian Pantai Kuta tersebut, Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya agar tercipta suatu masyarakat hukum adat yang sejahtera. Kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah tersebut mengandung arti bahwa Pemerintah Daerah yang merupakan
bagian
dari
struktur
pemerintahan
Negara,
mengakui
dan
menghormati keberadaan masyarakat hukum adat wilayah pesisir khususnya masyarakat hukum adat Kedonganan dan masyarakat hukum adat Kuta dan menurut konsep Negara Hukum bahwa keputusan Pemerintah Daerah tersebut sesuai dengan tujuan Negara, dimana tujuan Negara disini ialah untuk memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya. Kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Badung kepada Desa Adat Kedonganan maupun Desa Adat Kuta untuk mengelola dan menata wilayah pesisir yang dimilikinya merupakan sebuah kewenangan delegasi, dimana Pemerintah mendapatkan kewenangan secara atribusi dari Undang-Undang Pesisir. Keputusan Bupati badung yang diberikan kepada masyarakat hukum adat Kedonganan dan masyarakat hukum adat Kuta merupakan keputusan yang sesuai dengan konsep hukum tanah Nasional yang bersumber dari hukum adat.
120
Dari paparan diatas, bahwa dengan adanya kedua peraturan tersebut yaitu Keputusan Bupati Badung Nomor 1238/01/HK/2010 tentang Persetujuan Pelaksanaan Penataan Dan Pengelolaan Kawasan Pantai Kedonganan Kabupaten Badung Oleh Desa Adat Kedonganan dan Keputusan Bupati Badung Nomor 1133 Tahun 2000 tentang Penunjukkan Desa Adat Kuta Untuk Membantu Memelihara Pelestarian Pantai Kuta, Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta memiliki kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Badung untuk mengelola sumber daya pesisir yang dimiliki tentunya akan berimplikasi terhadap masyarakat dan lingkungannya. Implikasi nyata dari adanya kewenangan yang diberikan kepada masyarakat hukum adat Kedonganan dan masyarakat hukum adat Kuta tersebut adalah makin teraturnya wilayah pesisir dalam hal kegiatan usaha pariwisata dimana tidak ada lagi penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir tersebut yang bersifat sektoral yang dapat menyebabkan sering terjadinya konflik dalam pemanfaatan dan penguasaan wilayah pesisir baik antara sesama warga masyarakat wilayah pesisir Kedonganan dan Kuta tersebut dan juga antara masyarakat dengan para investor, serta pengaturan tersebut tentunya akan berimplikasi terhadap lingkungan sekitar wilayah pesisir dimana wilayah pesisir akan semakin terjaga kebersihan serta kelestariannya sehingga tidak mengurangi sumber daya alam yang dimilikinya dan tidak kalah penting juga keamanan di sekitar wilayah pesisir akan semakin diperketat demi terjaganya kenyamanan bagi para wisatawan dalam berwisata hal ini tentunya dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat setempat yakni Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta untuk menjaga wilayah yang mereka miliki dan tempati.
121
Dari
Keputusan
Bupati
Badung
Nomor
1238/01/HK/2010
tentang
Persetujuan Pelaksanaan Penataan Dan Pengelolaan Kawasan Pantai Kedonganan Kabupaten Badung Oleh Desa Adat Kedonganan dan Keputusan Bupati Badung Nomor 1133 Tahun 2000 tentang Penunjukkan Desa Adat Kuta Untuk Membantu Memelihara Pelestarian Pantai Kuta tersebut yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Badung kepada masyarakat hukum adat Kedonganan dan Kuta untuk mengatur dan menata wilayahnya merupakan suatu implementasi dari Pasal 61 Undang-Undang Pesisir yang mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat wilayah pesisir.
122
BAB IV IMPLIKASI PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR TERHADAP HAK-HAK MASYARAKAT ADAT UNTUK KEPENTINGAN KEGIATAN USAHA PARIWISATA 4.1. Penguasaan Dan Pemanfaatan Wilayah Pesisir Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat Untuk Kepentingan Kegiatan Usaha Pariwisata Pemanfaatan wilayah pesisir pantai secara tidak langsung akan membawa dampak terhadap perubahan lingkungan di sekitar wilayah pesisir. Pemanfaatan wilayah pesisir pantai apabila tidak dikelola dengan terencana akan membawa dampak negatif terhadap wilayah pesisir tersebut dan terhadap masyarakat di sekitar wilayah pesisir, maka dalam pemanfaatan maupun pengelolaan wilayah pesisir semestinya dan juga seharusnya melibatkan peran serta masyarakat wilayah pesisir tersebut. Laut merupakan tumpuan ekonomi bagi masyarakat pesisir karena potensi laut merupakan modal utama bagi masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir merupakan sekelompok masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pesisir pantai. Cara bekerja masyarakat pesisir sangat dipengaruhi oleh norma-norma lokal dalam hal penangkapan ikan maupun dalam penguasaan sumber-sumber perikanan mereka. Pemanfaatan wilayah pesisir sering dilakukan dengan pola pemanfaatan yang tidak teratur serta tidak memperhatikan normanorma kearifan lokal pengelolaan sumber-sumber bahari dan tidak memperhatikan kepentingan masyarakat di wilayah pesisir pantai yang menjadikan laut sebagai sumber mata pencahariannya sehingga dapat menimbulkan kerusakan dan pencemaran di wilayah pesisir pantai. Sebenarnya jika dicermati pengelolaan 122 22
123
sumber daya pesisir yang baik, teratur dan tertata merupakan keinginan setiap orang dan setiap orang mempunyai sebenarnya memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dan setiap orang berhak untuk menuntut secara sah guna meminta kepentingannya akan suatu lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dihormati, tentunya tuntutan tersebut harus didukung oleh prosedur hukum dan dengan perlindungan hukum oleh pemerintah dan perangkat-perangkat lainnya. Selain setiap orang berhak untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat, setiap orang juga wajib untuk memelihara lingkungan, mencegah serta menanggulangi setiap kerusakan dan pencemaran yang terjadi. Pada dasarnya upaya meningkatkan peran serta masyarakat utamanya di wilayah pesisir harus dimulai dengan sikap yang terbuka terhadap berbagai masalah yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan pesisir pantai. Sikap keterbukaan ini untuk mencapai pengelolaan kawasan pesisir yang terpadu, di mana keterpaduan itu mencakup hubungan antara instansi pemerintah, antara instansi pemerintah dengan masyarakat. Masyarakat disini berperan sebagai mitra pemerintah dalam proses pembangunan. Negara Indonesia merupakan Negara kepulauan terdiri dari sekitar 17.504 pulau dengan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km. Di sepanjang garis pantai ini terdapat potensi sumber daya alam hayati dan non-hayati; sumber daya buatan; serta jasa lingkungan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat dan sebagai modal dasar pembangunan nasional, sehingga potensi yang dimiliki oleh wilayah pesisir tersebut perlu dikelola secara terpadu dan berkelanjutan. Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara ekosistem
124
darat dan laut, ke arah darat meliputi bagian tanah baik yang kering maupun yang terendam air laut, dan masih dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik laut seperti pasang surut, ombak dan gelombang serta perembesan air laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian perairan laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan, pembuangan limbah, perluasan permukiman serta intensifikasi pertanian. Hingga saat ini pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir yang bersifat parsial/sektoral rentan mengalami kerusakan sumber daya pesisirnya sebagai akibat dari aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber dayanya. Peraturan perundang-undangan mengenai wilayah pesisir selama ini hanya berorientasi pada eksploitasi sumber daya pesisir tanpa memperhatikan dan menjaga kelestarian sumber daya pesisir tersebut. Sementara kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Dengan kenyataan tersebut bahwa kurang dihormatinya masyharakat hukum adat pesisir akan menyebabkan dan rentan akan timbulnya konflik karena terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pesisir. Wilayah pesisir yang hingga saat ini menjadi salah satu tujuan wisata baik lokal maupun mancanegara rentan akan timbulnya konflik dalam masyarakat karena adanya kepentingan untuk memanfaatkan sumber daya pesisir guna pemenuhan kebutuhan hidup dan pembangunan ekonomi dalam jangka pendek
125
dengan kebutuhan generasi akan datang terhadap sumber daya pesisir. Jika konflik ini tidak segera ditangani untuk dicari sebuah solusi atau dibiarkan berlangsung secara terus menerus akan mengurangi keinginan pihak yang bertikai untuk melestarikan sumberdaya wilayah pesisir pantai yang dimilikinya. Apabila dilihat dalam Undang-Undang Pesisir maka tujuan dari pengaturan pengelolaan wilayah pesisir pantai adalah: 1. Menyiapkan pengaturan setingkat undang-undang mengenai pengelolaan wilayah pesisir khususnya yang menyangkut perencanaan, pemanfaatan, hak dan akses masyarakat, penanganan konflik, konservasi, mitigasi, rehabilitasi kerusakan pesisir, dan penjabaran konvensi internasional terkait yang belum diatur di dalam peraturan perundangan yang ada. 2. Membangun sinergi dan saling penguatan antara lembaga pemerintah baik di pusat dan di daerah yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir sehingga tercipta kerja sama antarlembaga yang harmonis dan mencegah serta memperkecil konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan antar kegiatan di wilayah pesisir. 3. Memberikan kepastian dan perlindungan hukum, memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pembentukan pengaturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lainnya termasuk pihak pengusaha. Ruang lingkup pengaturan dalam Undang-Undang Pesisir ini meliputi Wilayah Pesisir, yakni ruang lautan yang masih dipengaruhi oleh kegiatan di daratan dan ruang daratan yang masih terasa pengaruh lautnya, serta Pulau-Pulau
126
Kecil dan perairan sekitarnya yang merupakan satu kesatuan dan mempunyai potensi cukup besar yang pemanfaatannya berbasis sumber daya, lingkungan, dan masyarakat. Dalam implementasinya, ke arah laut ditetapkan sejauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai sebagaimana telah ditetapkan dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sedangkan ke arah daratan ditetapkan sesuai dengan
batas
kecamatan
untuk
kewenangan
provinsi.
Kewenangan
kabupaten/kota ke arah laut ditetapkan sejauh sepertiga dari wilayah laut kewenangan provinsi sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sedangkan ke arah daratan ditetapkan sesuai dengan batas kecamatan. Dengan adanya Undang-Undang Pesisir ini diharapkan adanya kepastian hukum yang dapat menjamin dan mengatur pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil secara jelas dan dapat dimengerti dan ditaati oleh semua pemangku kepentingan; serta keputusan yang dibuat berdasarkan mekanisme atau cara yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak memarjinalkan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain agar dapat memberikan kepastian hukum terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir, undang-undang ini juga dapat memberikan pemerataan terhadap ekonomi masyarakat pesisir sehingga masyarakat pesisir yang notabene sejak turun temurun dan merupakan masyarakat lokal pesisir dapat meningkatkan taraf hidupnya dan sejahtera. Peran
127
serta masyarakat sangat diperlukan dalam mengelola sumber daya pesisir, peran serta masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumberdayanya adalah : 1. agar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil mempunyai peran dalam perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap pengawasan dan pengendalian; 2. memiliki informasi yang terbuka untuk mengetahui kebijaksanaan pemerintah dan mempunyai akses yang cukup untuk memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil; 3. menjamin adanya representasi suara masyarakat dalam keputusan tersebut; 4. memanfaatkan sumber daya tersebut secara adil. Peran masyarakat hukum adat wilayah pesisir sangat penting, baik dalam rencana pengleolaan maupun dalam menjaga kawasan wilayah pesisir. Dengan peran penting yang dimiiki oleh masyarakat hukum adat tersebut Undang-Undang Pesisir telah mengakomodirnya kedalam salah satu peraturannya dan dapat dilihat dalam Pasal 61 Undang-Undang Pesisir yang menyebutkan : 1. Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun. 2. Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan. Selanjutnya dalam Pasal 62 Undang-Undang Pesisir menyebutkan mengenai peran serta masyarakat sebagai berikut :
128
1. Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Dengan adanya ketentuan tersebut tentunya rencana penglolaan wilayah pesisir oleh Pemerintah harus mengikutsertakan masyarakat hukum adat pesisir agar tercipta kepastian hukum, keadilan dan pemerataan ekonomi terhadap masyarakat pesisir. 4.2. Implikasi Penguasaan Dan Pemanfaatan Wilayah Pesisir Untuk Kepentingan Kegiatan Usaha Pariwisata Seiring dengan berjalannya waktu, maka wilayah pesisir hingga saat ini menjadi salah satu tujuan utama para wisatawan untuk berwisata. Dan kegiatan di sektor pariwisata mengalami peningkatan dari tahun ketahunnya. Seperti wilayah pesisir kedonganan dan kuta yang merupakan salah satu objek wisata andalan pulau Bali mengalami peningkatan kunjungan dari para wisatawan. Pengelolaan wilayah pesisir kedonganan dan kuta diserahkan kepada masyarakat hukum adat setempat oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Keputusan Bupati Badung Nomor 1238/01/HK/2010 Tentang Persetujuan Pelaksanaan Penataan Dan Pengelolaan Kawasan Pantai Kedonganan Kabupaten Badung Oleh Desa Adat Kedonganan dan Keputusan Bupati Badung Nomor 1133 Tahun 2000 tentang Penunjukkan Desa Adat Kuta Untuk Membantu Memelihara Pelestarian Pantai
129
Kuta. Dengan Keputusan Bupati Badung tersebut, penguasaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat Kedonganan dan masyarakat hukum adat Kuta sepenuhnya menjadi tanggung jawab desa adat tersebut. Pengelolaan wilayah pesisir yang diberikan oleh Pemerintah kepada kedua masyarakat hukum adat tersebut bertujuan untuk memberikan keadilan terhadap masyarakat wilayah pesisir dan juga dapat mensejahterakan masyarakat hukum adat wilayah pesisir tersebut. Selain memberikan keadilan, pemberian wewenang kepada masyarakat hukum adat wilayah pesisir juga menghormati kearifan lokal atau tradisional yang hidup dalam masyarakat tersebut. Kearifan lokal merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya dibidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Pengembangan perilaku, baik secara individu maupun secara kelompok dalam kaitan dengan lingkungan dan upaya pengelolaan sumberdaya alam wilayah pesisir sangat diperlukan untuk membantu kita mengembangkan sistem sosial politik yang ramah terhadap lingkungan serta mengambil keputusan dan kebijakan yang berdampak terhadap lingkungan atau sumberdaya alam termasuk sumberdaya alam pesisir dan laut. Kearifan lokal yang berupa adat istiadat yang masih ada dan hidup pada masyarakat Bali hingga saat ini merupakan suatu kebiasaan hidup yang baik dan dianut serta diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain atau turun temurun. Kebiasaan hidup yang baik ini dibakukan dalam bentuk norma, aturan dan kaidah yang dikenal dan disebarluaskan serta dipahami dan diajarkan kepada masyarakat penerusnya.
130
Kewenangan delegasi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Badung kepada Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta merupakan implementasi dari pengaturan yang terdapat dalam Pasal 61 dan Pasal 62 UndangUndang Pesisir untuk menguasai, memanfaatkan dan mengelolaan wilayah pesisir kepada masyarakat hukum adat wilayah pesisir Kedonganan dan Kuta telah mencerminkan keadilan bagi masyarakat hukum adat setempat dan ini telah sesuai dengan perintah yang diberikan oleh Undang-Undang Pesisir. Keadilan adalah merupakan tujuan hukum yang hendak dicapai, guna memperoleh kesebandingan didalam masyarakat, disamping itu juga untuk kepastian hukum. Masalah keadilan (kesebandingan) merupakan masalah yang rumit, persoalan mana dapat dijumpai hampir pada setiap masyarakat, termasuk Indonesia.120 Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antarmanusia. Membicarakan hubungan antar manusia adalah membicarakan keadilan. Adanya keadilan maka dapat tercapainya tujuan hukum, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Aristoteles, menyatakan bahwa kata adil mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Dalam hal ini ditunjukkan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga dapat dikatakan tidak adil, karena semua hal 120
Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal. 169
131
yang didasarkan pada hukum dapat dianggap sebagai adil.121 Keadilan adalah merupakan suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak dan apa yang bukan hak. Lebih lanjut dikatakan bahwa agar terdapat suatu keadilan, maka orang harus memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang wajar, dan keadilan itu sendiri merupakan keutamaan moral. Ditinjau dari isinya, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan yaitu Justitia distribitiva (keadilan distributif) dan justitia commutativa (keadilan komutativ). Terkait dengan keadilan maka Jeremy Bentham memunculkan teori kebahagiaan (utility) yang bersifat individualistis. Hukum harus mewujudkan kebahagiaan bagi individu, dan harus cocok untuk kepentingan masyarakat. Pada dasarnya hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Itu sebabnya teori keadilan dan utility merupakan perwujudan hukum yang harus diimplementasikan.122 Membicarakan hukum tidak cukup hanya sampai wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal, tetapi perlu juga melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa unsur keadilan merupakan unsur yang rumit dan abstrak dalam hukum, karena pada keadilanlah hukum itu bermuara. Mengingat abstraknya unsur-unsur keadilan tersebut, maka berbagai pakar mengemukakan keadilan itu dengan perumusan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing.
121 122
Darji Darmodiharjo, Op.Cit, hal.156 Suhariningsih, Op.Cit, hal.43.
132
Filsuf Hukum Alam Thomas Aquinas, membedakan keadilan atas dua kelompok yaitu:123 a. Keadilan Umum (justitia generalis), adalah keadilan menurut kehendak undang undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Keadilan ini juga disebut dengan keadilan legal. b. Keadilan Khusus, adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini dapat dibedakan lagi, yaitu: c. Keadilkan distributif (justitia distributiva); directs the distribution of
goods
and honours to each according to his place in the community, adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum, yakni apabila setiap orang mendapatkan hak atau jatahnya secara proporsiobal. d. Keadilan
komutatif
(justitia
commutativa),
adalah
keadilan
dengan
mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi. e. Keadilan vindikatif (justitia vindicativa), adalah keadilan dalam menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya. Menurut teori keadilan Pancasila dimana pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar Negara dapat dilihat, bahwa Pancasila sebagai dasar Negara atau falsafah Negara (filosofische grondslag) sampai sekarang tetap dipertahankan dan masih dianggap penting bagi Negara Indonesia. Secara 123
Darji Darmodiharjo, Op. Cit, hal.167.
133
aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesialah yang menghargai, mengakui, serta menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak merefleksikan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan atau pelanggaran itu direfleksikan dalam sikap, tingkah laku serta perbuatan manusia dan bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia Indonesia. Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada dasar Negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi : “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum nasional yang bersumber pada Pancasila. Menurut Kahar Masyhur yang mengemukakan pendapat-pendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terapat tiga hal tentang pengertian adil: 1. “Adil” ialah : meletakkan sesuatu pada tempatnya; 2. “Adil” ialah : menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang; 3. “Adil” ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran.
134
Untuk lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif hukum nasional, terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan adalah pengakuan dan pelakuan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya harus mempertahankan hak hidup tersebut dengan jalan bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada diri individu. Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada hakikatnya menginstruksikan agar senantiasa melakukan hubungan yang serasi antar manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab.124 Dari beberapa teori keadilan tersebut, dapat dikatakan, bahwa pemanfaatan, penguasaan dan pengelolaan wilayah pesisir yang diberikan kepada masyarakat hukum
adat
setempat
diundangkannya
telah
mencerminkan
Undang-undang
Pesisir,
keadilan.
pemanfaatan,
Dimana
sebelum
penguasaan
dan
pengelolaan wilayah pesisir hanya bersifat sektoral saja, sehingga sering terjadi konflik dalam masyarakat hukum adat wilayah pesisir tersebut. Dilihat dari ketentuan Pasal 61 dan 62 Undang-Undang Pesisir tersebut bahwa keadilan yang dimaksud disini adalah merupakan suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya
124
http://ugun-guntari.blogspot.com/2011/12/teori - keadilan - dalam perspektif - hukum.html
135
menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak dan apa yang bukan hak serta telah sesuai dengan konsepsi keadilan menurut Pancasila, dimana ditekankan disini, bahwa keadilan akan terwujud pada masayarakat hukum adat wilayah pesisir yang merupakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi wilayah pesisir merupakan hak dari masyarakat hukum adat pesisir yang telah tinggal dan menetap secara turun temurun di wilayah pesisir tersebut. Dari beberapa penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penguasaan dan pengelolaan wilayah pesisir yang diberikan kepada masyarakat hukum adat Kedonganan dan masyarakat hukum adat Kuta oleh
Pemerintah
Daerah
Badung dengan
keputusannya
tersebut,
telah
mencerminkan keadilan dan telah sesuai dengan Pasal 61 dan Pasal 62 UndangUndang Pesisir. Berdasarkan paparan diatas, maka dapat disebutkan bahwa, baik secara langsung maupun tidak langsung penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir akan berimplikasi dalam berbagai sektor terhadap masyarakat hukum adat wilayah pesisir tersebut, diantaranya : a). Ekonomi : Apabila dilihat dari sektor ekonomi, bahwa sudah tentu adanya perubahan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat hukum adat wilayah pesisir khususnya wilayah pesisir Kedonganan dan wilayah pesisir Kuta. Perubahan ekonomi ini terjadi sebagai akibat dari adanya pemanfaatan wilayah pesisir tersebut sebagai daerah pariwisata, dimana pada kedua daerah tersebut kegiatan dalam bidang perekonomian berkembang sangat pesat yang
136
menyebabkan jumlah kunjungan para wisatawan menjadi meningkat sehingga pendapatan masyarakat hukum adat di wilayah pesisir tersebut menjadi sejahtera, karena pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat tersebut akan dikembalikan untuk kepentingan warga atau krama desa tersebut. b). sosial : Dilihat dari sektor sosial bahwa dengan dijadikannya wilayah pesisir Kedonganan dan wilayah pesisir Kuta sebagai daerah tujuan wisata tentunya dapat menambah lapangan pekerjaan bagi masyarakat, tidak hanya masyarakat wilayah pesisir saja, namun masyarakat dari berbagai daerah atau luar wilayah pesisir juga dapat bekerja di wilayah pesisir tersebut sebagai implikasi dari pemanfaatan wilayah pesisir untuk kawasan pariwisata. c). Budaya : Dilihat dari sektor budaya dapat dilihat bahwa dengan berkembangnya kawasan atau wilayah pesisir Kedonganan dan wilayah pesisir Kuta tersebut sebagai kawasan pariwisata Nasional maupun Internasional akan berimplikasi terhadap budaya yang telah ada dan hidup dalam masyarakat hukum adat Kedonganan maupun masyarakat hukum adat Kuta itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan dijadikannya wilayah pesisir Kedonganan dan wilayah pesisir Kuta sebagai daerah pariwisata akan membawa masuk pengaruh budaya luar ke dalam budaya yang telah ada dalam masyarakat adat Kedonganan dan Masyarakat hukum adat Kuta. Sebagai contoh pengaruh budaya luar tersebut dapat mengakibatkan sistem sosial masyarakat hukum
137
adat yang sosio relegius dapat terkikis sedikit demi sedikit sebagai akibat dari pengaruh budaya modern yang masuk ke dalam budaya sosio relegius. Budaya modern tersebut dapat mengakibatkan generasi penerus masyarakat hukum adat setempat enggan untuk mempelajari serta melestarikan budaya yang mereka miliki.
138
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan terhadap kedua permasalahan dalam tesis ini, adapun kesimpulannya adalah: 1. Bahwa berdasarkan Pasal 61 dan Pasal 62 Undang-Undang Pesisir yang mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat wilayah pesisir, Pemerintah Daerah Kabupaten Badung dengan ini mengeluarkan peraturan tentang pengaturan, penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir kepada masyarakat hukum adat Kedonganan dan masyarakat hukum adat Kuta. Dengan dikeluarkannya Keputusan Bupati Badung Nomor 1238/01/HK/2010 tentang Persetujuan Pelaksanaan Penataan Dan Pengelolaan Kawasan Pantai Kedonganan Kabupaten Badung Oleh Desa Adat Kedonganan dan Keputusan Bupati Badung Nomor 1133 Tahun 2000 tentang Penunjukkan Desa Adat Kuta Untuk Membantu Memelihara Pelestarian Pantai Kuta tersebut berimplikasi positif bagi masyarakat hukum adat setempat. Implikasi positifnya ialah tidak adanya penguasaan wilayah pesisir yang bersifat sektoral dan sumber daya pesisir seperti kebersihan pantai, kelestarian alam akan terjaga dan terpelihara. Selain itu dengan adanya Keputusan Bupati Badung tersebut juga berimplikasi terhadap keamanan dalam wilayah pesisir sehingga tidak terjadinya konflik antara masyarakat hukum adat pesisir dengan masyarakat umum lainnya dalam melakukan kegiatan usaha pariwisata.
138
139
2. Secara umum penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan yang diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat hukum adat wilayah pesisir sebagai implementasi dari Pasal 61 dan Pasal 62 Undang-Undang Pesisir, khususnya terhadap masyarakat hukum adat Kedonganan dan masyarakat hukum adat Kuta akan berimplikasi terhadap masyarakat hukum adat itu sendiri, baik dalam sektor ekonomi, sosial dan budaya. 5.2. Saran Mengenai saran yang dapat disampaikan berkenaan dengan pasal pembahasan adalah sebagai berikut : 1. Agar terciptanya wilayah pesisir yang aman, nyaman dan lestari, diharapkan kepada seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota yang memiliki wilayah pesisir di Bali, hendaknya mengeluarkan suatu peraturan khusus yaitu Peraturan Daerah (Perda), sehingga seluruh wilayah pesisir di Bali dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat hukum adat wilayah pesisir. 2. Diharapkan kepada masyarakat hukum adat di wilayah pesisir untuk dapat menjaga dan melestarikan budaya serta kearifan lokal yang merupakan warisan para leluhur dari segala macam budaya modern yang dibawa oleh para wisatawan baik wisatawan lokal maupun mancanegara, agar identitas atau jati diri sebagai masyarakat hukum adat wilayah pesisir tidak hilang tergerus jaman.
140
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku: A. Gadner, Bryan, 2004, Black’s Law Dictionary: Eighth Edition, USA: West Publishing Co. Abdurrahman, 1978, Aneka Masalah Hukum Agraria Dalam Pembangunan di Indonesia “ Alumni, Bandung. Adisubrata Prent K, J. Poerwadarminta, W.J.S., 1960, Kamus Latin Indonesia, Semarang: Yayasan Kanisius. Adji, Oemar Seno, 1966, Prasara dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium UI Jakarta. Anshori, Abdul Ghofur, 2006, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Arrasjid, Chainur, 2005, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Atmadja, Dewa Gede, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum: Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekwen, Pidato Pengenalan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana 10 April 1996. _________________, 2010, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang. Atmosudirdjo, Prajudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta. Azhari, Muhammad Tahir, 2003, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsipprinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta. Bengen, 2005, buku narasi Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Bappenas, Jakarta. Dahuri, R. et al. 1998, Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan yang Berakar dari Masyarakat Kerjasama Ditjen Bangda dengan Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan IPB, Laporan Akhir.
141
Dahuri, Rohmin, Jacub Rais, Sapta Putra Ginting, dan M.J Sitepu, 2001, Pengelolaan Sumber Daya wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Darmodiharjo, Darji, 2006 , Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional, 2007, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga, Cetakan Keempat, Balai Pustaka, Jakarta. Fauzi, Noer, 1997, Penghancuran Populisme Dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraris Indonesia Pasca Kolonial, Hasil Konsorsium Pembaharuan Agraria , Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Friedman, Lawrence M, 1975, The Legal Sistem, A Social Science Perspective, Rusell Sage Foundation, New York. Hadjon, Philipus M., 1997/1998, Penataan Hukum Administrasi, Tentang Wewenang, Fakultas Hukum Unair, Surabaya. ______________ , 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, Jakarta. Harsono, Boedi, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan , Jakarta. _____________, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Cetakan kesembilan (edisi revisi), Djambatan, Jakarta. ____________, 2000, Hukum Agraria Nasional Himpunan Peraturan Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta. Hatta, Mohammad, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Cet. I, Media Abadi, Yogyakarta. Idris, Irwandi, Sapta Putra Ginting, Budiman, 2007, Membangunkan Raksasa Ekonomi, PT Sarana Komunikasi Utama, Bogor. Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Harapan, Jakarta.
142
Marbun, SF, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Marwan, M dan Jimmy P, 2009, kamus Hukum Dictionary Of Law Complete Edition, Reality Publisher, Surabaya. Nurlinda, Ida, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria, Perspektih Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. Patittingi, Farida, 2009, Pengaturan Penguasaan Tanah Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Cetakan I, Penerbit Lanorka, Yogyakarta, hal. 106-107. Palguna, Dewa Gede, 1999, Bali dan Masa Depannya Epilog tentang Bali, Penerbit Bali Post. Parimartha, I Gede, 2002, Desa Adat Dalam Perspektif Sejarah, dalam desa pakraman:sejarah, Eksistensi dan Strategi Pemberdayaan, yayasan Tri Hita Karana, Denpasar. Rato,Dominikus, Hukum Adat, suatu Pengantar Singkat Memahami Hukum Adat Di Indonesia, Laksbang PRESSindo, Yogyakarta. Saad, Sudirman 2003, Politik Hukum Perikanan Indonesia, Penerbit Lembaga Sentra Pemberdayaan Masyarakat, Cetakan Pertama. Saleng, Abrar, 2004, Hukum Pertambangan, Penerbit UII Press, Yogyakarta. Santoso, Urip, 2009, Hukum Agraria dan hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana. Sholehudin, Umar, 2011, Hukum Dan Keadilan Masyarakat, Perspektif Kajian Sosiologi Hukum, Setara Press, Malang. Simposium Universitas Indonesia Jakarta, 1966, Indonesia Negara Hukum, Seruling Masa PT, Jakarta. Sitorus, Oloan & H.M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan Implementasinya, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta. Soehadi,R. , 1978, Penyelesaian Sengketa Tentang Tanah Sesudah Berlakunya Undang-undang Pokok Agraria, Karya Anda, Surabaya. Soekanto, Soerjono, 1984, Perspektif Teori Studi Hukum Dalam Masyarakat, Rajawali Pers, Jakarta. _________ , 1980, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, CV. Rajawali.
143
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, 2006, Sinar Grafika, Jakarta. Subekti dan Tjitrosoedibjo, 1969, Kamus Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan konsep Menuju Penertiban, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Sumardjono, Maria S.W. 1982, 1982, Puspita Serangkum Aneka Masalah Hukum Agraria, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta. Suparta, I Gede dan Sujaya I Made, 2010, Kuta Kita (Catatan Kecil Kuta Membangun) Cetakan Pertama, Pemerintah Kelurahan Kuta. Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Utrecht, E, 1961, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, hal 162, 305, 321, dan 459. Valkhof J, E.N.S.I.E. (Earste Nederlandsche Encyclopedie) III, Amsterdam: 1947.
Sistematisch
Ingerichte
Wahjono, Padmo, 1983, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila, CV. Rajawali, cet. Ke-1, Jakarta. Wardana, Agung, Bali sebagai Provinsi Hijau, Layakkah Bali Post, Senin, 04. Oktober 2012. Wesna Astara, I Wayan, 2010, Pertarungan Politik Hukum Negara dan Politik Kebudayaan, Otonomi Desa Adat Di Bali, Udayana University Press, Denpasar. Wheare K.C., 1975, Modern Constitutions, London Oxpord University Press. Wicaksana, I Nyoman Graha, Made Darwi dan I Made Sujaya, 2010, Kuta Berdaya (jejak pengabdian LPM Kelurahan Kuta), LPM Kelurahan Kuta, Kuta. Windia, Wayan P dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
144
World Coast Conference dalam CA Davos, 1998, Sustaining cooperation coastal sustainability, Journal of Environmental Management. Zakaria,Yando, dkk., Tanpa tahun terbit, Mensiasati Otonomi Daerah, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Jakarta. Peraturan Perundang-undangan: Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LN 1960/104; TLN NO.2043) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004/125; TLN NO.4437) . Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (LN 2007/84; TLN NO.4739). Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10 tahun 2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pesisir Terpadu. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali (LD 1986/3; SERI D NO.3). Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman (LD 2001/29; SERI D NO. 29). Keputusan Bupati Badung Nomor 1133 Tahun 2000 tentang Penunjukkan Desa Adat Kuta Untuk Membantu Memelihara Pelestarian Pantai Kuta. Keputusan Bupati Badung Nomor 1238/01/HK/2010 tentang Persetujuan Pelaksanaan Penataan Dan Pengelolaan Kawasan Pantai Kedonganan Kabupaten Badung Oleh Desa Adat Kedonganan.
145
DAFTAR INFORMAN
1. Nama
: Nyoman Sudarta
Pekerjaan
: Lurah Kedonganan
Alamat
: Desa Kedonganan Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung
2. Nama
: I Ketut Puja
Pekerjaan
: Bendesa Adat Kedonganan
Alamat
: Desa Kedonganan gang kelapa buntu,Kecamatan Kuta , Kabupaten Badung.
3. Nama
: I Wayan Daryana
Pekerjaan
: Lurah Kuta
Alamat
: Desa Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung.
4. Nama
: I Wayan Swarsa
Pekerjaan
: Bendesa Adat Kuta
Alamat
: Jl. Bakung Sari Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung.
146
LAMPIRAN-LAMPIRAN