BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini, inovasi telah diakui secara luas sebagai salah satu penggerak utama pertumbuhan ekonomi sehingga meningkatkan ketertarikan dalam mempelajari proses inovasi (Mention, 2011). Inovasi menjadi tema sentral dalam dunia bisnis di tengah lingkungan yang terus berubah. Perusahaan yang ingin bertahan dalam sebuah persaingan bisnis harus mampu melakukan inovasi dan mengelola sumberdaya yang dimiliki agar menjadi keunggulan kompetitif bagi perusahaan tersebut. Pandangan berbasis sumberdaya (resource-based view) oleh Barney (1991) memberikan pemahaman bagaimana suatu perusahaan penting dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki agar menjadi keunggulan kompetitif. Walaupun perspektif berbasis sumberdaya sering menjadi acuan, beberapa pakar berpendapat bahwa perspektif berbasis sumberdaya memiliki beberapa kelemahan. Misal, Möller et al. (2008) mengungkap bahwa sumberdaya ditransformasikan dan ditawarkan kepada pelanggan terlalu berorientasi pada sisi internal organisasi sehingga mengesampingkan aspek relasional. Selanjutnya, Teece et
al.
(1997) menjelaskan bahwa
pandangan
berbasis
sumberdaya
tidak
mempertimbangkan bagaimana mengembangkan dan memelihara sumberdaya perusahaan sepanjang waktu. Beberapa peneliti mengungkap beragamnya jenis sumberdaya dalam perusahaan. Misal, Wernerfelt (1984) mengatakan yang termasuk sumberdaya ialah merek, teknologi, keahlian karyawan, kontrak dagang, mesin, prosedur yang efisien, modal pendanaan. Selain itu, Grant (1991) menambahkan kategori sumberdaya 1
perusahaan seperti modal peralatan dan paten. Sementara itu Barney (1995) membagi sumberdaya perusahaan yang terdiri atas finansial, fisik, manusia dan organisasional. Lebih lanjut, Madhavaram dan Hunt (2008) mengatakan bahwa jenis sumberdaya adalah termasuk 1. finansial, 2. fisik, 3. legal, 4. manusia, 5. organisasional, 6. informasional, dan 7. sumberdaya relasional. Jadi secara garis besar, sumberdaya dapat dikategorikan berupa manusia, legal, fisik, finansial, organisasional, informasional dan relasional. Menurut Barney (1991), tidak semua aspek dari sumberdaya perusahaan dapat menjadi sumberdaya yang strategis. Suatu sumberdaya dapat menjadi strategis jika dapat bernilai, langka, sulit diimitasi, dan tidak mudah digantikan (Barney, 1991; Amit dan Schoemaker, 1993; Collis dan Montgomery, 2008). Karakteristikkarakteristik tersebut akan menjadikan sumberdaya lebih strategis dalam meraih keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Barney, 1991; Hall, 1993; Amit dan Schoemaker, 1993; Villalonga, 2004). Hal ini sesuai dengan pendapat Grant (1991) bahwa sumberdaya menjadi keunggulan bersaing dan bernilai ketika memiliki karakteristik yang berdaya tahan, transparansi informasi, sulit ditransfer, dan tidak mudah direplikasi. Secara umum, sumberdaya perusahaan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sumberdaya berwujud dan sumberdaya tak berwujud (Wernerfelt, 1984; Chatterjee dan Wernerfelt, 1991; Hall, 1992, 1993; Carmeli, 2004; Galbreath, 2005). Sumberdaya tak berwujud dapat dipertimbangkan memainkan peran penting pada perusahaan dalam penciptaan nilai dan kesuksesan bisnis (Carmeli, 2004; Steenkamp dan Kashyap, 2010). Hal ini karena sumberdaya tak berwujud memiliki karakteristik tidak fleksibel sehingga akan lebih sulit diimitasi dibanding sumberdaya 2
berwujud yang fleksibel (Chatterjee dan Wernerfelt, 1991). Lebih lanjut, sumberdaya tak berwujud dipandang sebagai faktor penting dalam kesuksesan jangka panjang dan daya saing perusahaan (Itami dan Roehl, 1991; Fernandez et al., 2000). Studi Galbreath (2005) dan argumen Hitt et al. (2001a) juga mengungkap bahwa sumberdaya tak berwujud lebih berkontribusi pada kesuksesan perusahaan dan lebih mungkin menghasilkan keunggulan bersaing dibanding sumberdaya berwujud. Berbeda dengan sumberdaya keuangan dan fisik, sumberdaya tidak berwujud akan sulit bagi pesaing untuk menirunya, yang membuatnya menjadi sumber yang kuat dalam meraih keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Kaplan dan Norton, 2004). Penelitian empiris selama ini yang mengacu pada sumberdaya tak berwujud lebih banyak mengaitkannya secara langsung dengan keunggulan bersaing berkelanjutan (lihat Villalonga, 2004), dan dampak langsung sumberdaya tak berwujud terhadap kinerja atau profitabilitas (lihat Kumlu, 2014; Ang dan Wight, 2009; Galbreath dan Galvin, 2006; Delgado-Gomez et al., 2004). Sementara beberapa penelitian menunjukkan bahwa kinerja perusahaan tersebut dapat diraih ketika perusahaan melakukan inovasi (lihat Chen et al., 2009; Ordarini dan Parasuraman, 2009; Hung dan Chou, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa rangkaian inovasi memiliki anteseden dan konsekuensi. Studi Luoma-Aho dan Halonen (2010) mengungkap peran sentral aset tak berwujud pada proses inovasi. Oleh karena itu, peran sumberdaya tak berwujud akan memiliki dampak lebih spesifik pada inovasi terlebih dahulu dibanding pada kinerja dan keunggulan bersaing berkelanjutan. Pada konteks proses inovasi di industri manufaktur sangat terkait dengan ketersediaan sumberdaya yang bersifat fisik karena penyediaan produk fisik membutuhkan input yang berwujud sebagai bahan baku. Hal ini menjadi tantangan 3
dan kelemahan dalam inovasi produk fisik karena sumberdaya berwujud dapat habis dan bisa saja tidak terbaharukan. Selama satu dekade terakhir, terjadi peningkatan perhatian akademisi dan peneliti dalam bidang manajemen pengetahuan pada pengaruh sumberdaya tak berwujud dalam kapabilitas inovasi (Huang et al., 2011). Sejalan dengan fenomena tersebut, Gronross (2000) dalam Kandampully (2002) mengungkapkan bahwa saat ini perusahaan berkompetisi pada basis jasa dan tidak lagi pada basis produk fisik. Lebih lanjut, saat ini inovasi sering dikaitkan dan didominasi oleh industri manufaktur dengan teknologi tinggi sehingga mengabaikan inovasi pada jasa (Gadrey et al., 1995; Drejer, 2004; Djellal et al., 2013). Padahal, sektor jasa dalam ekonomi global mengalami perkembangan sehingga studi jasa terkhusus inovasi jasa bergerak menjadi isu sentral (Spohrer dan Maglio, 2008). Walaupun demikian, saat ini penelitian yang berkonsentrasi pada inovasi dalam sektor jasa relatif langka (lihat Tabel 1.1). Hal ini merupakan paradoks mengingat meningkatnya layanan dalam ekonomi, baik dari segi tenaga kerja dan nilai tambah (Durst et al., 2015). Banyak inovasi pada produk manufaktur mengasumsikan cara kerja yang sama dalam konteks jasa, dan mengabaikan kekhususan sifat jasa (Ordarini dan Parasuraman, 2009; Drejer, 2004) sedangkan studi Rubalcaba et al. (2010) menunjukkan terdapat perbedaan pola inovasi antara sektor jasa dan manufaktur. Perbedaan inovasi pada industri manufaktur dan jasa akan berpotensi berefek pada proses bisnis, kapabilitas dan relasi perusahaan (Aas dan Pedersen, 2000). Oleh karena itu, sangat penting memahami bagaimana proses inovasi tersebut terjadi dalam sektor jasa. Selama ini, area penelitian inovasi pada perusahaan jasa lebih banyak fokus di konteks negara maju (misal Amerika, Eropa, dan Australia) dan masih sangat kurang 4
penelitian di negara berkembang (Thakur dan Hale, 2013). Lebih lanjut, Alam (2007) mengatakan adanya perbedaan budaya dan sosial ekonomi suatu negara, akan mempengaruhi pengembangan jasa pada suatu negara. Pasar yang sangat besar di negara berkembang terkhusus kawasan Asia menjadikannya sangat potensial dalam pengembangan produk (Ozer, 2006). Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, sangat relevan sebagai konteks penelitian inovasi pada perusahaan jasa. Dalam konteks Indonesia, dengan adanya perubahan dan globalisasi di segala bidang termasuk bidang pendidikan, sehingga meningkatkan persaingan di bidang bisnis jasa pendidikan pada lembaga non formal seperti bimbingan belajar (Artati, 2007). Oleh karena itu, penelitian inovasi bisnis jasa (seperti lembaga bimbingan belajar/lembaga kursus) di Indonesia menjadi relevan dilakukan. Penelitian ini memfokuskan tiga jenis sumberdaya tak berwujud yaitu sumberdaya manusia, sumberdaya organisasional (misal, budaya perusahaan), sumberdaya relasional (misal, jaringan atau relasi). Hal ini dilakukan karena mempertimbangkan
empat
alasan.
Pertama,
sumberdaya
manusia,
budaya
perusahaan, jaringan atau relasi sangat tergantung pada perilaku manusia dibanding jenis sumberdaya tak berwujud lainnya seperti paten atau merek yang cenderung berkaitan dengan regulasi dan aspek legal penggunaan paten (Hall, 1992; 1993). Kedua, sumberdaya tak berwujud akan lebih berfokus pada aspek berbagi pengetahuan (Diefanbach, 2006) atau dalam istilah Kaplan dan Norton (2004) disebut sebagai perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Ketiga, penggunaan paten dalam konteks Indonesia belum terdokumentasi dengan baik (Indarti dan Postma, 2013) sehingga dalam penelitian ini, paten tidak dimasukkan sebagai objek sumberdaya tak 5
berwujud. Keempat, sumberdaya tak berwujud dapat meningkat atau bertambah kuantitas/kualitasnya secara simultan dan tidak berkurang walaupun telah digunakan (Itami dan Roehl, 1991; Fernandez et al., 2000; Diefanbach, 2006). Menurut Hall (1992; 1993) sumberdaya tak berwujud dapat diklasifikasikan sebagai aset atau kemampuan/kompetensi, dimana jaringan termasuk aset sedangkan pengetahuan praktis (know-how) dan budaya termasuk kategori kemampuan atau kompetensi. Beberapa penelitian yang menggunakan sumberdaya tak berwujud lebih berfokus pada aspek manusia dengan istilah modal intelektual atau modal manusia (lihat Subramanian dan Youndt, 2005; Cabrito et al., 2014; Kianto et al., 2014). Akan tetapi menurut Seppanen dan Makinen (2010) penggunaan istilah aset, sumberdaya, kapabilitas dan bahkan kompetensi diperlakukan secara sinonim. Hal ini menjadikan tidak adanya konsensus di antara para pakar akan makna dan terminologi yang pasti tentang sumberdaya tak berwujud (Villalonga, 2004; Diefanbach, 2006; Steenkamp dan Kashyap, 2010). Merujuk pada Barney (1991) maka dalam penelitian ini menggunakan istilah sumberdaya dalam mengurai konstruk variabel penelitian. Variabel sumberdaya tak berwujud dalam penelitian ini dikonseptualisasikan sebagai variabel independen. Definisi sumberdaya tak berwujud secara sederhana adalah segala sesuatu yang non fisik atau non material (Galbreath, 2005; Diefenbach, 2006). Definisi lain menyebutkan sumberdaya tak berwujud sebagai sumberdaya yang berbasis pada pengetahuan atau informasi (Itami dan Roehl, 1991; Fernandez et al., 2000). Sumberdaya manusia meliputi pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang dimiliki oleh karyawan (Fernandez et al., 2000; Youndt dan Snell, 2004; Huang et al., 2011). Sumberdaya organisasional terdiri atas budaya, rutinitas organisasi dan kerja tim dalam suatu organisasi (Fernandez et al., 2000; Kaplan dan Norton, 2004). 6
Sumberdaya relasional mencakup jaringan dan kolaborasi dengan pihak eksternal1 (Tsai, 2001; Huggins, 2010; Kramer et al., 2011). Tipologi inovasi menurut Schumpeter dalam Gadrey et al. (1995) dikategorikan menjadi inovasi produk, proses, organisasional, pasar, dan bahan baku. Sementara itu Tidd (2001) membagi jenis inovasi menjadi produk, proses, dan layanan. Penelitian ini merujuk pada inovasi produk dan proses. Hal ini karena inovasi dalam bisnis jasa lebih berfokus pada inovasi produk dan proses, walaupun makna produk, proses dan layanan terkadang dapat saling menggantikan (Miles, 2010). Praktik sumberdaya manusia berperan penting dan mempengaruhi perilaku karyawan dalam mengembangkan kinerja (Chen dan Huang, 2009). Subramanian dan Youndt (2005) juga mengungkap bahwa individu dalam organisasi menemukan beragam keterampilan, memperoleh pengetahuan baru dan kemampuan dalam menciptakan cara berpikir baru yang merupakan sumber ide-ide baru dalam suatu organisasi. Beberapa penelitian empiris terdahulu juga menunjukkan bagaimana kaitan sumberdaya manusia terhadap inovasi dalam beragam istilah (lihat Tabel 1.1). Mayoritas studi menunjukkan pengaruh sumberdaya manusia terhadap inovasi memiliki efek positif (lihat Laursen dan Foss 2003; Hewitt-Dundas, 2006; Chen dan Huang, 2009). Studi Ordarini dan Parasuraman (2009) juga menunjukkan keterlibatan karyawan sangat penting dalam proses inovasi di sektor jasa. Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya manusia berperan dalam inovasi perusahaan jasa.
1
Istilah kolaborasi pihak eksternal, jaringan, interaksi memiliki makna yang sama yaitu relasi, dan saling dipertukarkan penggunaannya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan mengistilahkannya sebagai sumberdaya relasional.
7
Tabel 1.1. Penelitian Terdahulu Yang Mengaitkan Sumberdaya Dan Inovasi Penulis
Sumberdaya
Inovasi
Hasil / konteks
Manusia Subramanian dan Youndt (2005)
Modal Manusia
Kapabilitas Inovasi Radikal
Berkorelasi Negatif, menggunakan studi longitudinal pada industri R&D di Amerika Serikat.
Nieves et al. (2014)
Modal Manusia
Jenis Inovasi
Terdukung parsial hanya pada inovasi produk dan organisasional. Studi pada jasa Hotel di Spanyol.
Laursen dan Foss (2003)
Manajemen Sumberdaya Manusia
Inovasi
Berkorelasi Positif, pada perusahaan manufaktur di Denmark.
Hewitt-Dundas, (2006)
Hambatan Manusia
Aktivitas Inovasi
Berkorelasi Positif, pada perusahaan manufaktur di Irlandia.
Chen dan Huang, (2009)
Sumberdaya Manusia Stratejik
Kinerja Inovasi
Positif terdukung, pada Industri manufaktur dan berteknologi tinggi di Taiwan.
Kapabilitas Inovasi Inkremental
Berkorelasi Positif, menggunakan studi longitudinal pada industri R&D di Amerika Serikat.
Subramanian dan Youndt, (2005)
Organisasional Modal Organisasional
Huang et al. (2011)
Modal Organisasional
Kapabilitas Inovasi
Positif terdukung, pada industri Biofarmasi di Taiwan.
Hewitt-Dundas, (2006)
Hambatan Organisasional
Aktivitas Inovasi
Berkorelasi Positif, pada perusahaan manufaktur di Irlandia.
Kaya dan Patton, (2011)
Orientasi Pembelajaran
Kinerja Inovasi
Positif terdukung, pada industri manufaktur di Turki.
Hogan dan Coote (2014)
Norma Organisasi untuk Berinovasi
Perilaku Inovatif
Positif terdukung, pada perusahaan jasa hukum/pengacara di Australia.
8
Relasional Subramanian dan Youndt (2005)
Modal Sosial
Inovasi Inkremental dan Radikal
Berkorelasi Positif, menggunakan studi longitudinal pada industri R&D di Amerika Serikat.
Kramer et al. (2011)
Modal Jaringan
Inovasi Perusahaan Multinasional
Berkontribusi terhadap daya inovasi dari perusahaan multinasional di Jerman dan Inggris.
Zheng et al. (2013)
Sumberdaya Jaringan
Kinerja Inovasi
Positif terdukung pada perusahaan manufaktur di China, dan korelasi menjadi meningkat ketika ditambah efek mediasi berbagi pengetahuan.
Rusanen et al. (2014)
Akses Sumberdaya Strategis
Inovasi Jasa
Studi kasus dengan longitudinal, mengungkap bahwa akses sumberdaya yang sulit ditransfer membutuhkan relasi yang kuat dan kolaborasi yang intens.
Ahuja, (2000)
Kolaborasi Jaringan
Output Inovasi
Studi longitudinal pada perusahaan di Amerika, posisi ikatan langsung dan tidak langsung berdampak positif pada inovasi.
Sumber: Penulis, 2015 (diolah)
9
Sumberdaya organisasional termasuk norma, budaya dan rutinitas organisasi (Fernandez et al., 2000). Rutinitas organisasi dan prinsip-prinsip nilai akan membentuk budaya perusahaan (Fernandez et al., 2000). Nilai-nilai dalam budaya organisasi adalah hal yang penting bagi organisasi dalam mendukung atau mengevaluasi keputusan dan perilaku orang melakukan inovasi (Flamholtz, 2001; Hogan dan Coote, 2014). Proses inovasi terjadi dikarenakan adanya iklim pembelajaran dalam organisasi tersebut (Kaya dan Patton, 2011). Untuk itu dalam meraih kesuksesan inovasi, manajer harus didukung oleh perencanaan dan pemeliharaan budaya inovasi (Maier et al., 2014). Beberapa penelitian empiris juga menunjukkan dampak positif sumberdaya organisasional terhadap inovasi (lihat Tabel 1.1). Oleh karena itu, sumberdaya organisasional (seperti budaya dan rutinitas organisasi) memiliki peran vital dalam penciptaan inovasi. Johne dan Storey (1998) dalam Syson dan Perks (2004) mengatakan jaringan terutama yang mencakup proses interaksi adalah bagian integral dari penawaran jasa. Lebih lanjut Gallouj (2002) dan Miles (2010) juga menegaskan fitur kunci penyediaan jasa adalah interaksi. Hal ini membuat literatur inovasi sektor jasa menekankan fokus pada interaksi dan kolaborasi aktor serta pertemuan antar klien, sehingga akan berpotensi membawa masuk sumberdaya dalam proses inovasi (De Jong dan Vermeulen, 2003; Rusanen et al., 2014). Perusahaan dengan banyak jaringan mitra akan lebih mungkin untuk berinovasi serta mengakses, mengakuisisi, dan mengembangkan ide baru sebagai ikatan yang akan memberikan mereka sumberdaya, informasi, dan pengetahuan teknologi (Caloghirou et al., 2004; Zheng et al., 2013). Sejalan dengan hal itu, studi Dyer dan Singh (1998) juga menekankan hadirnya sumberdaya relasional dan kaitan antar perusahaan sebagai sumber 10
keunggulan kompetitif. Hal ini menunjukkan bahwa peran aspek relasional penting dalam menyerap sumberdaya atau pengetahuan dari eksternal dalam proses inovasi. Akan tetapi, besarnya ketersediaan sumberdaya eksternal atau jaringan 2 tidak berimplikasi mudah bagi perusahaan dalam mengaksesnya (Escribano et al., 2009). Studi Kramer et al. (2011) menunjukkan bahwa kekuatan modal jaringan tergantung pada kemampuan dan proses mengidentifikasi mitra, cara penciptaan dan pertukaran pengetahuan antar mereka. Cohen dan Levinthal (1990) melabeli kemampuan tersebut sebagai kemampuan menyerap (absorptive capacity). Kemampuan menyerap ini akan sangat tergantung pada basis atau ketersediaan pengetahuan dalam organisasi (Cohen dan Levinthal, 1990; Escribano et al., 2009). Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan relasional akan lebih besar daya aksesnya terhadap sumberdaya jika memiliki kemampuan menyerap yang besar pula. Mekanisme tersebut menjadikan kemampuan menyerap berperan sebagai pemoderasi hubungan antara jaringan eksternal dan inovasi. Dukungan beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan dominasi peran kemampuan menyerap sebagai pemoderasi dalam kaitannya dengan inovasi (lihat Tabel 1.2.). Walaupun demikian, studi Nieves et al. (2014) menunjukkan tidak adanya pengaruh antara kemampuan menyerap dan relasi eksternal pada inovasi. Sebaliknya, beberapa studi lainnya (seperti Tsai, 2001; Escribano et al., 2009; Yu, 2013; Hurmelinna-Laukkanen dan Olander, 2014) menunjukkan efek interaksi kemampuan menyerap dan jaringan eksternal signifikan dalam kinerja inovasi. Dalam penelitian ini, kemampuan menyerap diposisikan akan memiliki efek moderasi pada hubungan sumberdaya relasional dan inovasi. 2
Pada studi ini, sumberdaya eksternal dan jaringan dimaknai juga sebagai sumberdaya relasional.
11
Peneliti
Tabel 1.2. Penelitian Terdahulu Yang Menggunakan Absorptive Capacity (ACAP) Dalam Inovasi Peran ACAP Kaitan Variabel Hasil
Wang dan Han (2011)
Pemoderasi
Hubungan antara properti pengetahuan dan kinerja inovasi
Peran ACAP signifikan memoderasi hubungan
Tsai (2001)
Pemoderasi
Kaitan antara posisi jaringan dan inovasi
Interaksi jaringan dan ACAP signifikan pada inovasi unit bisnis.
Escribano et al. (2009)
Pemoderasi
Hubungan antara pengetahuan eksternal dan kinerja inovasi
Peran ACAP signifikan memoderasi hubungan.
Nieves et al. (2014)
Pemoderasi
Kaitan antara hubungan sosial eksternal manajer dan jenis inovasi (produk, proses, pemasaran)
Peran ACAP tidak signifikan dan tidak menunjukkan bukti empiris suatu hubungan.
Hurmelinna-Laukkanen dan Olander (2014)
Pemoderasi
Kaitan antara kemampuan menyesuaikan perusahaan dan kinerja inovasi
Peran ACAP kompetitor memiliki efek memoderasi secara signifikan terhadap kinerja inovasi perusahaan.
Kastopoulos et al. (2011)
Pemediasi
Hubungan arus masuk pengetahuan eksternal dan kinerja inovasi
Peran ACAP memediasi secara total hubungan.
Yu (2013)
Pemoderasi
Hubungan diversitas jaringan teknologi dan inovasi
Peran ACAP signifikan memoderasi.
Sumber: Penulis, 2015 (diolah)
12
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian sebelumnya, maka terdapat beberapa celah yang perlu diisi dalam penelitian empiris saat ini. Pertama, selama ini penelitian empiris yang menggunakan teori berbasis sumberdaya langsung mengaitkan dampaknya pada keunggulan bersaing berkelanjutan (lihat Villalonga, 2004; Chuang, 2004). Bagaimanapun, keunggulan bersaing yang berkelanjutan adalah jalan panjang yang harus dilalui perusahaan. Hal ini karena sebelum mencapai tujuan tersebut, sumberdaya perusahaan akan memiliki dampak pada kinerja perusahaan terlebih dahulu (lihat Delgado-Gomez et al., 2004; Galbreath dan Galvin, 2006; Ang dan Wight, 2009; Kumlu, 2014; Othman et al., 2015). Pelbagai penelitian juga menunjukkan bahwa kinerja perusahaan tersebut dapat diraih ketika perusahaan melakukan inovasi (lihat Chen et al., 2009; Ordarini dan Parasuraman, 2009; Hung dan Chou, 2013). Hal ini menandakan bahwa sumberdaya akan memiliki dampak langsung terlebih dahulu pada inovasi perusahaan. Dengan kata lain, keunggulan bersaing dapat dicapai ketika inovasi dilakukan perusahaan dengan memberdayakan sumberdaya yang dimiliki. Oleh karena itu, penelitian ini lebih spesifik mengaitkan sumberdaya dan inovasi perusahaan. Kedua, sumberdaya perusahaan secara umum dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sumberdaya berwujud dan sumberdaya tak berwujud (Wernerfelt, 1984; Chatterjee dan Wernerfelt, 1991; Hall, 1992, 1993; Carmeli, 2004). Pada konteks inovasi produk dalam industri manufaktur sangat terkait dengan ketersediaan sumberdaya berwujud sebagai bahan baku. Hal ini menjadi tantangan dan kelemahan dalam inovasi karena sumberdaya berwujud dapat habis dan bisa tidak terbaharukan.
13
Sementara itu, studi Galbreath (2005) juga mengungkap bahwa sumberdaya tak berwujud lebih berkontribusi pada kesuksesan perusahaan dibanding sumberdaya berwujud. Disamping itu, sumberdaya tak berwujud memiliki karakteristik yang tidak fleksibel, sulit diperdagangkan dan sulit diimitasi oleh pesaing dibanding sumberdaya berwujud (Chatterjee dan Wernerfelt, 1991; Teece, 1998; Kaplan dan Norton, 2004). Atas dasar tersebut, pada penelitian ini hanya memfokuskan dampak sumberdaya tak berwujud pada inovasi. Ketiga, meskipun inovasi secara luas diakui sebagai mesin pertumbuhan dan daya saing, penelitian tentang inovasi dalam sektor jasa tertinggal dibandingkan dengan penelitian tentang inovasi di sektor manufaktur (Miles, 2010; Thakur dan Hale, 2013). Saat ini penelitian yang berkonsentrasi pada inovasi dalam jasa relatif langka (lihat Tabel 1.1). Hal ini merupakan paradoks mengingat meningkatnya sektor jasa dalam ekonomi, baik dari segi tenaga kerja dan nilai tambah (Durst et al., 2015). Lebih lanjut, selama ini inovasi sering dikaitkan dan didominasi oleh industri manufaktur yang berteknologi tinggi sehingga mengabaikan inovasi pada aspek jasa (Drejer, 2004; Miles, 2010; Djellal et al., 2013). Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk menguji dampak sumberdaya tak berwujud pada inovasi perusahaan jasa. Keempat, area penelitian inovasi pada perusahaan jasa selama ini lebih banyak dalam konteks negara maju (seperti Amerika, Eropa, Australia) sedangkan di negara berkembang masih sangat jarang (Thakur dan Hale, 2013). Bagaimanapun, terdapat perbedaan budaya, sosial ekonomi dan sistem bisnis yang mungkin akan mempengaruhi proses inovasi tersebut. Hal ini menjadikan penelitian inovasi pada
14
perusahaan jasa di negara berkembang seperti Indonesia sangat relevan untuk dilakukan. Kelima, dalam kaitan antara pengaruh sumberdaya relasional dan inovasi, sebagian besar studi menunjukkan peran penting kemampuan menyerap (Caloghirou et al., 2004; Escribano et al., 2009). Akan tetapi, diantara para peneliti berbeda-beda dalam meletakkan posisi peran kemampuan menyerap tersebut. Studi Kastopoulos et al. (2011) memposisikan peran kemampuan menyerap sebagai pemediasi pengaruh sumberdaya relasional pada kinerja inovasi. Pada sisi lain, beberapa penelitian menunjukkan peran kemampuan menyerap sebagai pemoderasi (lihat Tsai, 2001; Escribano et al., 2009; Yu, 2013; Hurmelinna-Laukkanen dan Olander, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa peran kemampuan menyerap dalam kaitannya dengan sumberdaya relasional dan inovasi masih belum jelas. 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan empat pertanyaan penelitian yaitu sebagai berikut: 1. Apakah sumberdaya manusia berpengaruh positif terhadap inovasi di perusahaan jasa ? 2. Apakah sumberdaya organisasional berpengaruh poisitif terhadap inovasi di perusahaan jasa ? 3. Apakah sumberdaya relasional berpengaruh positif terhadap inovasi di perusahaan jasa ? 4. Apakah peran kemampuan menyerap memoderasi secara positif kaitan sumberdaya relasional pada inovasi di perusahaan jasa ? 15
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menguji pengaruh sumberdaya manusia terhadap inovasi perusahaan jasa. 2. Untuk menguji pengaruh sumberdaya organisasional terhadap inovasi di perusahaan jasa. 3. Untuk menguji pengaruh sumberdaya relasional terhadap inovasi di perusahaan jasa. 4. Untuk menguji peran kemampuan menyerap sebagai pemoderasi positif pengaruh antara sumberdaya relasional pada inovasi di perusahaan jasa. 1.5 Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan nilai dan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis dan metodologikal; diharapkan memberikan kontribusi pada pengembangan teoritikal dan menambah model pengembangan sumberdaya tak berwujud dalam kaitannya dengan inovasi jasa. Disamping itu, akan memperluas pemahaman tentang peran teori berbasis sumberdaya dan peran kemampuan mengabsorpsi pada proses penciptaan inovasi perusahaan jasa. 2. Manfaat Praktis; a) Bagi praktisi; akan membantu perusahaan untuk menentukan dan mengelola jenis sumberdaya tak berwujud yang signifikan dan penting dimanfaatkan dalam proses penciptaan inovasi perusahaan jasa. b) Bagi peneliti; penelitian ini dapat memperjelas dan memperluas konsepkonsep serta pola hubungan antara sumberdaya dan peran kemampuan 16
mengabsorpsi dalam kaitannya dengan proses inovasi terkhusus pada perusahaan jasa. 1.6 Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab, yang terdiri dari pendahuluan, landasan teori, metoda penelitian, hasil penelitian dan pembahasan serta simpulan dan saran penelitian. Bab I menguraikan ulasan mengenai latar belakang yang mendasari pentingnya dilakukan penelitian ini dan pembahasan penelitian sebelumnya serta gap penelitian yang menjadi dasar permasalahan dalam penelitian ini. Bab ini juga membahas manfaat penelitian baik secara teoritikal maupun secara praktikal. Pada bagian akhir bab ini, juga disusun sistematika penulisan tesis sebagai bentuk alur laporan dari penelitian ini. Pada Bab II penelitian ini mendiskusikan tentang landasan teori yang mencakup pembahasan teori berbasis sumberdaya dan tinjauan literatur dari setiap variabel yang digunakan pada penelitian ini. Teori berbasis sumberdaya menjadi sebuah pendekatan utama dalam mengurai sumberdaya perusahaan terkhusus variabel independen penelitian ini yaitu variabel sumberdaya tak berwujud. Disamping itu, terdapat juga penjelasan tentang inovasi pada perusahaan jasa serta peran variabel kemampuan menyerap dalam kaitannya antara sumberdaya relasional dan inovasi perusahaan jasa. Pada bagian akhir bab ini juga menguraikan ulasan mengenai pengembangan hipotesis dan menyajikan model penelitian yang digunakan pada penelitian ini.
17
Selanjutnya, dalam Bab III penelitian ini menggambarkan tentang metodologi penelitian yang digunakan. Bagian ini melingkupi pembahasan desain penelitian, alasan pemilihan populasi dan kriteria sampel, jenis data penelitian yang terdiri dari sumber data dan teknik pengumpulan data yang digunakan. Selain itu, terdapat juga penjelasan mengenai definisi operasional dan pengukuran variabel, uji instrumen yang terdiri dari uji validitas dan uji reliabilitas. Teknik analisis data, uji hipotesis dan pengolahan data menggunakan model regresi pemoderasi melalui analisis regresi linear berganda berjenjang (hierarchical linear multiple regression). Hasil pengujian dideskripsikan pada Bab IV yang menyajikan hasil pengumpulan data, karakteristik dan profil responden, hasil uji instrumen penelitian yang terdiri dari hasil uji validitas dan hasil uji reliabilitas, statistik deskriptif, hasil analisis data dan hasil uji hipotesis (hasil analisis regresi). Selanjutnya, juga terdapat ulasan mengenai pembahasan hasil penelitian yang terdiri dari diskusi hasil pengujian hipotesis 1, hipotesis 2, hipotesis 3, dan hipotesis 4 yang dianalisa berdasarkan landasan teori. Akhirnya, pada Bab V penelitian ini menguraikan ulasan mengenai simpulan penelitian dan keterbatasan penelitian. Temuan-temuan yang terdapat dalam penelitian ini menjadi saran penelitian mendatang dan implikasi penelitian yang terdiri dari implikasi teoritikal dan implikasi manajerial atau praktikal.
18