1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan modal suatu perusahaan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan perusahaan itu sendiri. Perusahaan diharuskan mampu berkembang dan membuat inovasi-inovasi baru di dalam menghadapi persaingan usaha. Perkembangan usaha ini mengharuskan suatu perusahaan mendapatkan tambahan dana baru dan salah satu instrumen untuk mendapatkan tambahan modal selain dari utang adalah dengan menggunakan instrumen saham dengan cara menjual sahamnya kepada publik (go-public). Going public (pencatatan saham di bursa efek untuk diperdagangkan) sebagai salah satu kegiatan pasar modal dapat dilakukan dengan cara: 1.
Menerbitkan saham baru (emisi baru) atau disebut dengan penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO).
2.
Divestasi, menjual saham yang telah diterbitkan dan dimiliki oleh pemegang saham lama (offer to sale).
3.
Kombinasi, cara dari emisi baru dan offer for sale. Transaksi penawaran umum penjualan saham pertama kali terjadi di Pasar
Perdana (Primary Market). Kegiatan yang dilakukan dalam rangka penawaran umum saham perdana disebut IPO (Initial Public Offering), selanjutnya saham dapat diperjualbelikan di Bursa Efek, yang disebut pasar sekunder (Secondary Market).
2
IPO dapat diartikan sebagai penjualan pertama saham perusahaan privat kepada publik. IPO dilakukan melalui investment banker yang berperan sebagai underwritter. Dengan IPO, perusahaan (emiten) akan mendapatkan sejumlah dana dari para investor yang membeli sahamnya melalui pasar perdana. Dana dari para investor ini tidak harus dikembalikan kecuali perusahaan menarik atau membeli kembali seluruh saham yang beredar. Sebagai imbalannya, para investor akan memperoleh dividen. Pembayaran dividen ini sifatnya fleksibel, maksudnya dividen bagi para investor dapat diatur sesuai laba bersih yang diperoleh emiten dan dipengaruhi keputusan RUPS. Faktor yang terpenting pada saat IPO adalah harga saham per lembar yang ditawarkan pada saat IPO karena harga saham per lembar akan menentukan berapa besar dana yang akan diperoleh oleh perusahaan atau emiten. Jika harga saham IPO tinggi maka dana yang diperoleh emiten juga besar. Emiten sebagai pihak yang menjual saham tentunya menginginkan harga saham yang tinggi supaya dana yang diperolehnya juga besar. Investor sebagai pembeli tentunya menginginkan harga saham yang relatif murah supaya dapat memperoleh return saat dijual kembali di pasar sekunder. Sedangkan, Penjamin emisi (Underwriter) menginginkan harga penawaran saham yang dapat memperkecil resikonya jika saham tidak laku sehingga penjamin emisi mempunyai kewajiban membeli saham yang tersisa sesuai perjanjian dengan emiten. Underwriter juga dimungkinkan untuk memiliki informasi yang lebih banyak bila dibandingkan dengan pihak emiten. Kondisi asimetri inilah yang menyebabkan terjadinya underpricing, dimana underwriter merupakan pihak yang memiliki kelebihan informasi dan
3
menggunakan ketidaktahuan emiten untuk memperkecil resiko dan memperoleh keuntungan (Hanafi dan Husnan, 1991; Cheung et al,1994). Pada kasus lainnya, Assymetric information juga merupakan penyebab utama terjadinya underpricing, terutama bagi para investor yang uninformed terhadap kondisi dari emiten yang sahamnya telah dibeli oleh mereka. Terkait penjualan saham di bursa efek, emiten yang go-public juga harus menambah kewajibannya untuk menyajikan informasi secara lengkap tentang keadaan perusahaannya yang diharapkan dapat mempengaruhi penilaian calon investor. Kondisi yang seperti demikian, berdampak kepada meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan oleh emiten. Biaya-biaya yang dikeluarkan antara lain meliputi biaya untuk membayar auditor, penjamin emisi, percetakan, promosi, penasehat hukum, dan lain-lain yang jumlahnya bervariasi tergantung pada skala perusahaan dan nilai penawarannya. Kemungkinan adanya underpricing merupakan beban lain yang tidak kalah penting untuk dipertimbangkan. Underpricing adalah suatu fenomena didalam IPO suatu perusahaan (emiten) dimana harga saham pada saat pertama kali diterbitkan lebih rendah dari harga saham ketika dijual di pasar sekunder. Underpricing yang terjadi senantiasa menarik investor untuk membeli saham tersebut dalam jumlah banyak dengan pertimbangan bahwa capital gain yang diperoleh investor nanti bisa sangat besar. Pada dasarnya, Underpricing adalah salah satu gejala anomali IPO yang menyebabkan terjadinya abnormal return. Underpricing biasanya dilakukan oleh emiten untuk menarik minat para investor agar membeli saham tersebut dalam jumlah banyak sehingga initial return yang diperoleh emiten sangat besar. Dalam
4
jangka panjang, underpricing yang terjadi dapat menyebabkan long-run underperformance (kinerja jangka panjang perusahaan jelek). Ritter (1991) menyebutkan bahwa IPO saham memiliki 3 anomali yaitu: 1.
Adanya underpricing yang konsisten.
2.
Adanya putaran (cycles) dalam besarnya tingkat underpricing.
3.
IPO mengalami depresiasi harga saham dalam jangka panjang (long-run underperformance). Ketiga anomali tersebut dijumpai hampir di seluruh pasar modal, baik di
dalam negeri maupun luar negeri. Dari ketiga anomali tersebut, underpricing merupakan anomali yang paling banyak diteliti dan paling sering disebut dalam literatur IPO. Penelitian ini merupakan penelitian ulang dari penelitian yang dilakukan oleh Yolana dan Martani (2005) dan penelitian Tomi Wiranto (2010). Di dalam penelitian Yolana dan Martani (2005) menggunakan variabel independen yaitu reputasi penjamin emisi, ukuran perusahaan, ROE, jenis industri, dan kurs. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kurs, ukuran perusahaan, ROE, dan jenis industri berpengaruh terhadap underpricing. Sementara itu pada penelitian Tomi Wiranto (2010) memakai variabel independen ukuran perusahaan, DAR, ROA dan persentase saham yang ditawarkan kepada publik. Dan hasilnya adalah hanya ukuran perusahaan saja yang signifikan mempengaruhi underpricing.
Penulis menganggap masalah underpricing terutama untuk pengaruh faktor-faktor yang berasal dari internal perusahaan seperti : ukuran perusahaan,
5
umur perusahaan, DER (Debt To Equity Ratio), dan ROA (Return On Asset) merupakan hal yang sangat menarik untuk diteliti. Penulis merasa tertarik untuk membuktikan,
apakah
faktor
internal
perusahaan
berpengaruh
terhadap
underpricing? Dengan mempertimbangkan berbagai hal tersebut, maka penulis mengambil
judul
“PENGARUH
UKURAN
PERUSAHAAN,
UMUR
PERUSAHAAN, DER DAN ROA TERHADAP UNDERPRICING SAHAM PERDANA (STUDI EMPIRIS BURSA EFEK INDONESIA 2005-2009)” B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka masalah yang teridentifikasi adalah : 1.
Apakah ukuran perusahaan, umur perusahaan, Debt to Equity Ratio (DER) dan Return On Asset (ROA) mempunyai pengaruh parsial terhadap tingkat underpricing saham perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama tahun (2005-2009)?
2.
Apakah ukuran perusahaan, umur perusahaan, Debt to Equity Ratio (DER) dan Return On Asset (ROA) mempunyai pengaruh simultan terhadap tingkat underpricing saham perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama tahun (2005-2009)?
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Membuktikan apakah Ukuran Perusahaan, Umur Perusahaan, DER (Debt to Equity Ratio), dan ROA (Return On Asset) mempunyai pengaruh parsial terhadap tingkat underpricing saham perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama tahun 2005–2009? 2.
Membuktikan apakah Ukuran Perusahaan, Umur Perusahaan, DER (Debt to Equity Ratio), dan ROA (Return On Asset) mempunyai pengaruh simultan terhadap tingkat underpricing saham perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama tahun 2005–2009?
Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagi penulis, penelitian ini diharapkan akan menambah pengetahuan dan wawasan
tentang
faktor
apa
sajakah
yang
mempengaruhi
tingkat
underpricing saham. 2.
Bagi investor/calon investor di pasar modal, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengambilan keputusan investasi pada saat penawaran saham perdana (initial public offering).
3.
Bagi perusahaan selaku emiten, dapat dijadikan referensi dalam menentukan harga yang tepat saat penawaran saham perdana.
7
4.
Pada bidang akademik, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pengembangan penelitian lebih lanjut dan juga dapat menambah khasanah pustaka bagi yang berminat mendalami pengetahuan dalam bidang pasar modal.