BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pertama kali saya datang ke Dusun Nek Sawak, Desa Melawi Makmur, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat pada tahun 2013. Kata warga desa, saya sedang kurang beruntung karena karena saya datang saat musim bunga buah durian, sedangkan musim buah durian masih beberapa bulan lagi. Kemudian mereka menunjukkan pohon durian yang lumayan besar dan mudah dilihat ketika kami mandi di Sungai Melawi. Mereka mulai bercerita pohon durian tersebut kapan biasanya mulai berbunga, berbuah, dan bisa dipanen. Kemudian mereka mulai bercerita siapa saja pemilik pohon tersebut dan segala peraturan yang berlaku mengenai kepemilikan pohon durian. Sayangnya, ketika itu saya sedang fokus dengan tema riset pendidikan, jadi saya pulang dari Nek Sawak dengan membawa tanda tanya besar mengenai pohon durian dan masyarakat Nek Sawak. Satu tahun berikutnya saya datang lagi ke Nek Sawak untuk hanya sekedar bermain saja. Kurang lebih hampir sama yang dikatakan oleh masyarakat Nek Sawak bahwa saya kurang beruntung lagi karena datang ketika tidak sedang musim buah pohon durian. Dari situ saya berfikir pasti buah durian di sini rasanya sangat lezat karena mereka sangat ingin membagi cita rasa pohon durian pada saya. Karena saya penasaran, besoknya ketika jalan-jalan saya mulai memancing obrolan mengenai durian, dan mereka mulai menunjukkan letak-letak di kampung
1
di mana saja yang ada pohon durian dan pohon tersebut milik siapa. Beberapa pohon letaknya memang masih di dalam kampung jadi masih mudah untuk kami sampai dan melihat langsung ke pohon durian tersebut. Akan tetapi, banyak juga yang lokasinya lumayan jauh dari kampung untuk sampai ke sana dengan berjalan kaki. Kata Bang Yoyok, ketika pulang nanti saya akan melewati banyak pohon durian milik masyarakat Desa Nek Sawak. Saya harus segera kembali ke dusun tempat saya tinggal waktu itu, maka saya meminta tolong untuk memberi tahu di mana letak salah satu pohon durian yang akan saya lewati ketika perjalanan pulang. Ketika sudah di sekitar kebun yang diberitahukan oleh masyarakat Desa Nek Sawak, akhirnya saya dapat melihat pohon durian yang ada kebun tersebut. Sedikit aneh karena pohon durian tersebut terletak di sebuah kapling sawit dan berada di antara pohon sawit yang ada. Kemudian menjadi timbul pertanyaan di dalam benak saya sepenting apakah sebenarnya pohon durian bagi masyarakat Desa Nek Sawak. Akan tetapi dengan terpaksa saya harus pulang dengan membawa tanda tanya besar lagi mengenai pohon durian di mata masyarakat Desa Nek Sawak. Tahun 2016 ini saya datang lagi ke kampung Nek Sawak untuk membayar semua pertanyaan yang sudah terendap selama tiga tahun, untuk mengenal dan mengetahui lebih dalam mengenai pohon durian dan kaitannya dengan masyarakat Desa Nek Sawak. Akan tetapi keadaan sudah sedikit berbeda apabila dibandingkan dengan ketika saya datang ke kampung ini sebelumnya. Ketika saya datang sebelumnya, belum banyak cerita dari masyarakat Desa Nek Sawak mengenai penebangan pohon durian karena waktu itu mereka masih bergantung
2
dengan perkebunan karet sebagai mata pencaharian utama mereka. Sekarang setelah perkebunan sawit semakin meluas (baik itu milik pribadi ataupun perusahaan), banyak kasus dan cerita mengenai penebangan pohon durian. Suatu sore saya mengobrol dengan Mak Bili dan mencoba membahas mengenai pohon durian yang sekarang sudah mulai sedikit. Mak Bili mengatakan bahwa memang pohon durian sangat penting bagi masyarakat Desa Nek Sawak apalagi jika dihubungkan dengan sistem kekerabatan yang ada karena memang dia merasa bahwa pohon durian bisa mempengaruhi hubungan antar kerabat masyarakat Desa Nek Sawak. Dan ada baiknya apabila pohon durian jangan ditebang dan justru ditanam lagi agar tidak hilang karena sangat erat kaitannya dengan hubungan kekerabatan di masyarakat kampung atau bahkan di luar kampung. Dari situ saya sempat berpikir bahwa memang pohon durian masih dianggap sangat penting meskipun secara kuantitas sudah banyak berkurang. Setelah itu saya mengobrol dengan Bi Lini dan mencoba menyinggung kembali permasalahan pohon durian yang mulai ditebang. Secara umum, Bi Lini juga mengungkapkan memang pohon durian sebaiknya jangan ditebang dan sayang saja karena butuh waktu yang lama untuk durian tumbuh dan ditebang begitu saja tanpa ada penanaman kembali. Apalagi buahnya yang sangat enak dan banyak manfaat yang lain dari pohon durian termasuk sebagai pengikat kekerabatan. Namun Bi Lini sangat menyayangkan ada banyak pihak yang mulai menebang dan menjual lahan pohon durian untuk diubah menjadi kebun sawit. Kemudian Bi Lini menyebutkan beberapa kasus penebangan dan penjualan lahan pohon durian yang dilakukan tanpa ijin dari semua anggota keluarga yang
3
memiliki hak atas pohon tersebut. Salah satunya yang melakukan hal tersebut adalah Mak Bili yang sehari sebelumnya saya temui. Dari kasus tersebut saya melihat masyarakat Nek Sawak sedang dalam kondisi yang pelik. Karena ternyata pohon durian digunakan sebagai alat perekam satu garis keturunan secara lurus. Satu sisi mereka paham betul akan pentingnya pohon durian sebagai pengikat kekerabatan. Mereka ingin mempertahankan dan mereproduksi ulang pohon durian tersebut agar tidak hilang dan bisa diwariskan ke anak cucu mereka kelak. Tetapi di satu sisi mereka dihadapkan pada sistem agroekonomi yang terus berubah hingga sekarang yang berorientasi dengan nilai ekonomi untuk mencari keuntungan secara individu. Ini menjadi suatu hal yang menarik menurut saya untuk dibahas dan diperdalam lagi. Pohon durian dapat digunakan untuk menelusur garis kekerabatan hingga beberapa generasi ke atas dalam suatu sistem kekerabatan yang ada. Hal tersebut ada hubungannya dengan sistem pewarisan pohon durian itu sendiri. Selain itu, pohon durian juga bisa digunakan untuk menelusur sebaran wilayah kampung. Dengan mengamati sebaran wilayah ‘kampung’ durian itu, masyarakat pedesaan Kalimantan dapat menceriterakan sejarah migrasi hingga akhirnya mereka memutuskan menetap di tempat mereka tinggal sekarang. Dulunya tidak ada kasus masyarakat Desa Nek Sawak menjual lahan milik leluhur mereka apalagi sampai menjual pohon durian yang ada di dalamnya. Akan tetapi, sekarang semakin maraknya pembukaan lahan guna perluasan kebun kelapa sawit secara tidak langsung telah mengubah pandangan masyarakat Desa Nek Sawak terhadap pohon durian.
4
Di tengah maraknya penebangan pohon durian untuk digantikan oleh kelapa sawit. Pada umumnya penanaman pohon durian dilakukan oleh generasigenerasi tua masyarakat Desa Nek Sawak yang masih merasa bahwa pohon durian penting untuk generasi yang akan datang. Tidak hanya orang tua saja, sebagian pemuda dan pemudi juga masih sadar akan pentingnya pohon durian bagi mereka dan ikut menanam pohon durian. Mereka tetap menanam pohon durian agar anak cucunya kelak masih bisa merasakan buah durian dan juga bisa mengetahui garis kekerabatan dalam keluarga mereka.
B. Studi Pustaka Menurut Koentjaraningrat (2010:96), secara garis besar prinsip totem merupakan prinsip yang menyebabkan terjadinya lambang dari suatu kesatuan sosial. Kesatuan sosial seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat sangat berkaitan dengan marga dan kekerabatan. Sementara menurut Keesing (1999), hubungan kekerabatan merupakan hubungan yang didasarkan pada darah suatu hal yang ilmiah dan abadi yang mengakibatkan munculnya kewajiban solidaritas. Keesing membedakan hubungan kekerabatan dengan sistem keturunan. Sistem keturunan lebih kepada sarana untuk menegaskan keseimbangan masa silam, dan juga menjelaskan hubungan di antara orang-orang yang masih hidup berdasarkan hubungan mereka dengan para leluhur yang sudah meninggal (1999:216). Di Indonesia banyak masyarakat yang memiliki totem, salah satunya adalah orang Menggala yang ada di Lampung. Sisa-sisa agama primitif menurut Barnouw (1982) dan Pritchard (1984) pada totem orang Manggala merupakan sisa
5
dari animisme yang berbentuk totem anjing. Pada zaman dahulu, binatang ini dipuja karena dianggap dapat melindungi manusia pada saat berburu. Oleh karena itu patung ukiran anjing merupakan benda yang disucikan. Setelah Islam datang, totemisme secara perlahan mulai menghilang, ukiran dan patung anjing yang semula berada di semua rumah sekarang sudah tidak ada lagi dan sekarang digunakan untuk hal yang bersifat profan seperti digunakan sebagai hiasan interior hotel. Pada masyarakat Sakai di Riau juga menghormati pohon sialang rimbun1. Pohon sialang rimbun merupakan salah satu pohon penghasil madu terbanyak bagi orang Sakai, mereka percaya pohon tersebut dijaga oleh “antu sialang rimbun”. Mereka percaya bahwa dalam pohon tersebut membawa kesejahteraan bagi mereka. Jika sedang musim panen madu tiba, mereka akan meminta ijin dengan penunggu pohon tersebut dengan memberikan sesajen berupa kemenyan yang dibakar, betih (beras ketan yang digoreng), dan telur rebus. Apabila mereka mengambil madu tanpa meminta ijin, maka tidak lama kemudian akan datang bencana bagi orang yang melakukannya. Ada beberapa ciri yang membuat tumbuhan atau hewan bisa menjadi sebuah totem yang juga menjadi sebuah gagasan kolektif menurut Durkheim, yaitu bersifat umum bagi semua anggota persekutuan, diwariskan dari angkatan ke angkatan, dan menekan terhadap individu dan menimbulkan rasa hormat, takut, pemujaan, dan seterusnya terhadap objeknya.
1
Sebutan pohon ketapang madu untuk orang Sakai.
6
Seperti yang terjadi pada orang Kaharingan ketika agama Kristen masuk, masyarakat ada yang meninggalkan kebiasaan ‘agama tua’nya, tetapi ada juga yang tidak. Kemudian muncul sebutan “Kristen Kaharingan” karena mereka tidak bisa meninggalkan ‘agama tua’ sepenuhnya dan mengkolaborasikannya dengan agama Kristen. Begitu juga dengan apa yang terjadi di masyarakat Desa Nek Sawak, secara resmi mereka telah meninggalkan ‘agama tua’ dan masuk ke agama Kristen. Akan tetapi hati dan kepercayaan mereka tidak sepenuhnya meninggalkan “agama tua”, masih ada hal yang terus dipertahankan dari warisan “agama tua” tersebut. Salah satu ciri mulai lunturnya totem yang paling mudah ditemukan dalam masyarakat adalah hilangnya ritual-ritual dan mulai kendurnya larangan terhadap totem tersebut. Pada dasarnya sebuah religi atau kepercayaan dapat semakin kuat dengan adanya larangan. Apabila sebuah larangan statusnya sudah mulai kendur atau bahkan hilang, hal tersebut juga mempengaruhi peran totem yang mereka pegang dan percaya (Durkheim, 2011:481). Faktor hilangnya totem tersebut bisa diakibatkan karena kepunahan simbol totem itu sendiri. Seperti yang terjadi di Nek Sawak sekarang, sudah semakin sedikit pohon durian sebagai simbol totem kekerabatan masyarakat Desa Nek Sawak. Semakin sedikit pohon durian yang masih bertahan semakin sulit juga untuk mempertahankan totem yang melekat dengan pohon durian. Dalam dunia religi terdapat pemisahan antara sakral dan profan dengan tujuan bukan sebagai nama, melainkan sebagai lambang. Bukan totemnya yang sakral melainkan lambangnya yang membuatnya menjadi sakral. Untuk
7
mempermudah, sakral (kultum positif) selalu diidentifikasikan dengan kolektifitas dan berkaitan dengan ritus-ritus. Sementara profan (kultum negatif) selalu diidentikan dengan kepentingan individu dan berkaitan dengan kegiatan ekonomi seperti kegiatan jual beli (Van Baal, 1987:210). Sekarang ini peran pohon durian sebagai totem kekerabatan semakin condong ke kultum negatif. Pohon durian sudah tidak lagi difungsikan sebagai hal yang sakral lagi tetapi lebih bersifat ke profan. Kelapa sawit diakui berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia karena berkontribusi dalam pendapatan negara dan menyediakan lapangan kerja di tingkat desa. Dalam sebuah studi di Kalimantan Barat, dinyatakan bahwa model PIR (Perkebunan Inti Rakyat) memberikan Gross Domestic Product yang cukup besar bagi provinsi maupun petani. Akan tetapi, pembudidayaan kelapa sawit ini memerlukan modal yang cukup besar dan pengalaman yang memadai dalam proses produksinya. Oleh karena itu, salah satu kelompok di Kalimantan Barat yang justru mendapatkan benefit terbesar dalam proyek ini adalah para transmigran dari luar daerah. Budidaya tanaman sawit juga berdampak terhadap lingkungan, karena di Indonesia budidaya sawit ini menggunakan area hutan hujan tropis yang biodiversitasnya sangat tinggi. Selain menggunakan lahan konversi dari hutan hujan tropis, tanaman sawit juga menggunakan lahan gambut yang merupakan wilayah yang menyimpan karbon (reservasi karbon). Meskipun dianggap sebagai penyebab utama deforestasi di Indonesia, hal ini masih menjadi perdebatan yang menarik. Lembaga riset mengenai kelapa sawit mengklaim bahwa tanaman
8
tersebut hanya menggunakan 3% hutan primer (hutan alami), sedangkan sekitar 63% lainnya dibudidayakan di hutan sekunder, atau wilayah tidak berhutan. Studi Casson menunjukkan bahwa antara tahun 1982 hingga 1999, telah terjadi konversi sebesar 6,2 juta Ha lahan hutan ke lahan sawit (Obidzinski, 2011). Meskipun saat ini banyak pohon durian yang ditebang untuk dijual kayunya atau lahannya dijual dan dijadikan kebun kelapa sawit, pohon durian ternyata memiliki manfaat lain. Di mata masyarakat Nek Sawak, pohon durian tidak hanya sekedar pohon buah untuk kebutuhan konsumsi, ekonomi, dan ekologis saja. Pohon durian juga memiliki fungsi sebagai simbol hubungan kekerabatan diantara masyarakat Desa Nek Sawak. Dari pohon durian kita dapat melihat garis keturunan dari satu kelompok kekerabatan sampai beberapa generasi. Oleh karena itu pohon durian sampai sekarang masih dipertahankan di tengah gelombang industri kelapa sawit yang sedang sangat berkembang sampai sekarang.
C. Rumusan Masalah Perubahan sistem perladangan masyarakat Desa Nek Sawak yang bersifat subsisten menjadi sistem perkebunan yang berorientasi ke pasar telah membawa pengaruh bagi ekosistem tumbuhan yang ada di sekitarnya, salah satunya ekosistem pohon durian. Banyaknya hutan lahan yang dibuka untuk dijadikan perkebunan karet dan sawit berbanding lurus dengan banyaknya pohon durian dan pohon buah lainnya yang ditebang.
9
Jumlah pohon durian yang semakin lama semakin berkurang, ditambah masuknya agama baru yaitu Kristen telah membuat sistem kepercayaan ‘agama tua’ masyarakat Desa Nek Sawak yang lama juga perlahan mulai luntur. Mulai dari upacara-upacara untuk menghormati pohon durian sebagai totem, maupun upacara-upacara adat lainnya sekarang mulai digantikan ataupun dikolaborasikan dengan upacara secara keagamaan. Memang ada beberapa upacara yang masih tetap dilakukan tetapi dengan mencampur unsur-unsur keagamaan seperti gawai2, tetapi tidak sedikit juga tradisi-tradisi dari kepercayaan lama yang sudah tidak digunakan sama sekali seperti cempalek3. Penanaman kembali yang dilakukan oleh beberapa masyarakat Nek Sawak dibalik maraknya penebangan pohon durian menunjukkan bahwa ada proses reproduksi pohon durian yang mereka pertahankan. Selain itu, masuknya agama baru mengakibatkan perubahan cara pandang masyarakat Desa Nek Sawak terhadap ‘agama tua’ mereka dahulu. Berubahnya pandangan tersebut juga akan sedikit mempengaruhi perubahan peran durian dalam sistem kekerabatan masyarakat Desa Nek Sawak. Menurut Durkheim dalam Van Baal (1987:208), ritus dalam totem merupakan salah satu cara untuk mempertahankan dan memperkokoh kesatuan masyarakat atau klan, apabila sebuah ritus sudah mulai luntur bagaimana cara memperkokoh kesatuan masyarakat itu sendiri. Dari hal tersebut kemudian muncul pertanyaan dari saya : 2
Gawai merupakan sebuah upacara untuk menghaturkan rasa syukur terhadap Sang Pencipta (Nek Jubata) atas berkah yang diberikannya berupa hasil panen padi yang berlimpah. Upacara ini rutin dilaksanakan setiap tahun pada masa panen. Setiap daerah di Kalimantan memiliki nama yang berbeda untuk upacara ini. 3 Cempalek merupakan kebiasaan untuk selalu menerima pemberian dari orang rumah, mereka percaya jika tidak menerima atau memakan apapun yang diberikan oleh sang tuan rumah maka tamu yang menolak teresbut akan terkena sial atau celaka.
10
1. Bagaimana masyarakat Desa Nek Sawak menafsirkan pohon durian ketika sebelum dan setelah sawit masuk? 2. Mengapa masyarakat Desa Nek Sawak menanam kembali pohon durian di tengah gelombang ekonomi industri kelapa sawit? 3. Apakah pohon durian yang ditanam kembali dapat meneruskan fungsi sosial sebagai pengikat kekerabatan?
D. Kerangka Pemikiran Pohon durian di Nek Sawak juga terkenal sebagai pohon kerabat karena pohon ini umumnya dimiliki tidak secara perseorangan melainkan secara kelompok berdasar keturunan keluarga tiap orang yang menanamnya. Dengan pohon durian, kita dapat melihat dan menelusuri riwayat kekerabatan di seluruh Dusun Nek Sawak, bahkan hampir seluruh masyarakat Dayak Desa. Sistem kekerabatan masyarakat Dusun Nek Sawak termasuk dalam golongan klen apabila dilihat dari bentuk dan fungsi keturunannya karena merupakan kelompok keturunan bukan badan resmi yang tiap anggotanya mengaku keturunan dari seorang leluhur bersama tanpa mengetahui sungguh-sungguh hubungan genealogis dengan leluhur tersebut (Haviland, 1999:117). Maraknya pembukaan lahan tidak hanya berdampak langsung pada kurangnya lahan terbuka dan hutan di daerah tersebut, melainkan juga terdapat dampak sosial yang didapatkan oleh masyarakat yang menjual lahan. Semakin banyak masyarakat yang mau menjual lahannya untuk perusahaan, secara tidak langsung ia juga menjual pohon duriannya. Dari sini kemudian terjadi pergeseran
11
makna pohon durian dari sebelum sawit masuk hingga saat ini di mata masyarakat Nek Sawak itu sendiri. Secara langsung orang tersebut akan sedikit atau banyak mengubah tradisi kekerabatan dalam keluarganya mengingat pohon durian dimiliki secara berkelompok. Hal tersebut tepat seperti yang dikatakan oleh Durkheim: “Modernisasi mempunyai implikasi berupa diversifikasi agama dan kepercayaan yang dapat merusak consensus moral masyarakat dan mengerahkan ke konflik sosial4.”
Emile Durkheim pernah membahas totem pada masyarakat pedalaman Australia, seperti masyarakat Warramunga, Wombya, Arunta, Lutritja, dan Urabunna di Australia dalam “The Elementary Forms of The Religious Life”. Menurut Durkheim, totemisme merupakan kepercayaan kepada suatu kekuatan yang tidak bernama dan impersonal, meskipun terdapat pada diri mahklukmahkluk
manusia,
hewan,
dan
benda
atau
tumbuhan,
tidak
dapat
dicampurbaurkan dengan mereka (Durkheim, 2011:9). Akan tetapi, Durkheim tidak menjeaskan dan menyatakan secara spesifik pengertian totem. Seperti yang diungkapkan oleh Durkheim juga bahwa : “Totem hanyalah lambang, suatu pernyataan material dari suatu yang lain. Ia mengungkapkan dan melamangkan dua hal, pertama, bentuk tampak, dan apa yang disebut asas totem (dewa); kedua, lambang suatu masyarakat tertentu, yaitu marga, sesuatu yang menandakan kepribadian dan membedakan marga yang satu dari yang lain, suatu tanda bagi apa saja yang termasuk dalam marga itu, baik manusia, tumbuh-tumbuhan, dan benda” (Durkheim, 2011:10).
4
Dalam Haryanto, Sindung. 2015. Sosiologi Agama dari Klasik Hingga Postmodern. Yogyakarata: Ar-Ruzz Media.
12
Mengikuti pandangan Emile Durkheim (2011:9), pohon durian (Durio zibethinus) di kalangan masyarakat pedesaan Kalimantan dapat dilihat sebagai totem. Meskipun Durkheim tidak menjelaskan secara gamblang pengertian totem, tetapi Durkheim memiliki pikiran bahwa totem merupakan kepercayaan bahwa hewan atau tumbuhan memiliki roh dan sangat erat hubungannya dengan organisasi sosial, sistem klen, dan keyakinan sebagai lambang dari klen tersebut. Jadi totem sering dihubungkan dengan asal mula klen dalam mitologi dan merupakan salah satu sarana bagi anggota klen untuk memperkuat kesadaran akan keturunan mereka yang sama (Radcliffe-Brown:1931). Totem berasal dari kata ototeman yang bagi masyarakat Indian Amerika Ojibiwa berarti “ia saudara saya”; pada awalnya penggunaan totem pada suku Indian Creek memakai nama buaya, panah, burung, jagung, rusa, dan angin sebagai totem mereka (Van Baal, 1987:221). Melalui pohon durian dan pohon madu yang umumnya tumbuh di tembawang5, bekas kampung atau bawas6, di hutan bekas ladang, masyarakat pedesaan Kalimantan Barat dapat menjejaki alur kekerabatan hingga tujuh generasi ke atas. Dimulai dari leluhur yang menanam durian pertama, hingga akhirnya terus bercabang sampai ke generasi yang sekarang. Totem individu berperan sebagai pelindung bagi pemilik totemnya, sedangkan totem kelompok lebih sebagai pengikat antar kerabat, atau memperjelas siapa kerabat siapa bukan.
5
Tembawang merupakan sebuah sistem di Kalimantan Barat yang berwujud kebun hutan yang berasal dari sistem perladangan berpindah, tetapi masyarakat Desa Nek Sawak mengartikannya sebagai bekas kampung. 6 Hutan bekas ladang yang tumbuh atau ditanam dengan berbagai jenis tanaman seperti durian, kelapa, tengkawang dan karet.
13
Tabel 1 : Logika Moral, Politik, Ekonomi dan Kekerabatan dalam Sistem Ladang dan Sawit
LADANG
SAWIT
MORAL
SAKRAL
PROFAN
POLITIK
SOSIAL
INDIVIDUAL
EKONOMI
SUBSISTEN
KOMERSIAL
KEKERABATAN
EXTENDED FAMILY
NUCLEAR FAMILY
Perubahan mata pencaharian masyarakat Desa Nek Sawak dari petani ladang menjadi petani sawit berdampak pada perubahan pandangan mereka terhadap pohon durian yang dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu moral, politik, ekonomi, dan kekerabatan. Ketika masih berladang, masyarakat Desa Nek Sawak masih menganut “agama tua”, hidup secara subsisten dan hidup secara sosial dan semua kepentingan masih berdasar untuk pemenuhan kebutuhan pada keluarga luas. Sedangkan ketika sudah berganti mata pencaharian menjadi petani sawit, mereka mulai hidup secara individual dan sekarang kegiatan mereka berbasis ekonomi. Sekarang setelah Agama Kristen masuk, semua kegiatan masyarakat Desa Nek Sawak bertumpuan pada aturan Gereja, hal ini membuat perubahan pandangan masyarakat terhadap pohon durian dan “agama tua”. Dari perubahan pandangan tersebut muncul tafsir yang baru terhadap pohon durian hingga sekarang. Sebuah totem mulai luntur setelah adanya pengaruh dari agama baru yang masuk. Agama Kristen dinilai dapat meyakinkan para umatnya dengan
14
“iman” dan kepercayaan, dengan bukti mujizat yang dilakukan oleh para pengkotbah dalam setiap ibadah (Durkheim, 2011:518). Seperti yang dikatakan Northcott (1999:279-280) upacara dalam setiap agama pada dasarnya difokuskan pada cara-cara untuk memperoleh keselamatan melalui penyembahan atau persembahyangan, doa, atau meditasi yang memungkinkan manusia dapat membangun keselarasan dengan dunia trans-empiris. Namun, disisi lain, upacara keagamaan juga membentuk perilaku etis yang membawa manusia pada harmoni. Ditengah maraknya penebangan pohon durian untuk digantikan oleh kelapa sawit, masih ada beberapa masyarakat Desa Nek Sawak yang masih menanam kembali pohon durian. Seperti yang dilakukan oleh Nek Fibi, setiap pergi ke kebun saat musim buah durian beliau selalu menanam satu atau dua lubang agar pohon durian tumbuh. Berdasarkan kasus yang ada pada masyarakat Desa Nek Sawak, dengan adanya beberapa masyarakat yang kembali menanam pohon durian menunjukkan bahwa ada semacam usaha untuk mereproduksi kembali pohon durian agar tidak hilang. Sayangnya kesadaran akan penanaman kembali pohon durian tidak dilakukan oleh semua masyarakat Desa Nek Sawak. Pada umumnya penanaman pohon durian dilakukan oleh generasi-generasi tua masyarakat Desa Nek Sawak yang masih merasa bahwa pohon durian penting untuk generasi yang akan datang. Tidak hanya orang tua saja, sebagian pemuda dan pemudi juga masih sadar akan pentingnya pohon durian bagi mereka dan ikut menanam pohon durian. Meskipun untuk tumbuh pohon durian membutuhkan waktu yang tidak sebentar, tetapi mereka tetap menanam pohon durian meskipun mereka tidak dapat merasakan
15
hasilnya, mereka berharap hasilnya dapat dinikmati oleh anak cucu mereka kelak. Pergeseran makna dari pohon durian sebagai totem kekerabatan juga menimbulkan perbedaan pandangan terhadap pohon durian itu sendiri di setiap generasi yang berbeda. Generasi yang dulu dengan generasi yang sekarang memiliki akses yang berbeda terhadap pohon durian tersebut. Karena belum ada pembukaan lahan dan modernisasi, generasi dulu masih mengenal dekat dan memiliki akses yang mudah terhadap pohon durian. Sedangkan generasi sekarang di mana pembukaan lahan sudah mulai meluas dan modernisasi sudah masuk, generasi sekarang menjadi sedikit asing dengan pohon durian sebagai totem kekerabatan. Ada cara tersendiri yang dilakukan oleh orang Dayak Desa Nek Sawak untuk tetap mempertahankan pohon durian di generasi-generasi selanjutnya. Pandangan para ahli dapat dibedakan menjadi tiga hal, yaitu perspektif konflik (Karl Marx) yang fokus pada peran agama dalam perubahan sosial, perspektif interaksionisme (G.Simmer) di mana agama sebagai penyedia kelompok referensi, dan yang terakhir adalah perspektif fungsionalis (Durkheim) di mana agama berfugsi sebagai perekat sosial yang meningkatkan solidaritas fungsional. Masyarakat Desa Nek Sawak sudah tidak lagi mengenal ritual atau upacara khusus untuk pohon durian, tetapi masih mempertahankan fungsi yang lain sebagai penanda hubungan kekerabatan, maka dalam tulisan ini saya berpacu pada perspektif fungsionalis menurut Durkheim. Sistem kekerabatan juga menentukan struktur kewajiban dan kepentingan para anggotanya dan menentukan pemerataan pekerjaan di bidang ekonomi dan
16
keagamaan serta memberi dukungan psikologis dan bantuan serta hukum bila diperlukan (Haviland, 1999:105). Namun demikian, sistem kekerabatan dalam tulisan ini dibatasi dengan kerabat dalam garis keturunan saja yang merupakan suatu kelompok seketurunan yang terdiri dari orang-orang yang secara patrilineal/matrilineal adalah keturunan dari leluhur yang sama, melalui serentetan hubungan yang bisa mereka lacak (Keesing, 1999:223).
E. Metode Penelitian Penelitian dilakukan di Dusun Nek Sawak, Desa Melawi Makmur, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Lokasi penelitian merupakan lokasi penelitian Tim Penelitian Lapangan (TPL) sejak tahun 2010 yang terus berlanjut hingga tahun 2014 ketika diadakan kerja sama dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan beberapa universitas lain seperti University of Toronto Kanada, University of Freiburg Jerman, dan Universitas Negeri Semarang. Pada TPL tahun 2013 saya ditempatkan di Dusun Nek Sawak dengan tema riset pendidikan selama kurang lebih 1 bulan, tetapi dalam proses penelitian sudah mendengar sedikit banyak mengenai mitos, ritual, dan totem yang ada di Dusun Nek Sawak. Kemudian pada awal Januari hingga akhir Febuari tahun 2016 saya datang lagi ke Nek Sawak untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pohon durian sebagai totem. Saya memilih lokasi penelitian di Nek Sawak karena saya sudah pernah berada di dusun tersebut sebelumnya sehingga dalam proses pendekatan ke masyarakat lebih mudah dilakukan dan kurang lebih sudah paham bagaimana
17
kondisi di lokasi penelitian. Selain itu, Dusun Nek Sawak berada di hulu Sungai Kapuas dan berada di kaki bukit, letak geografisnya memungkinkan bahwa lokasi penelitian berada di lokasi strategis yang dekat dengan hutan dan ladang, tetapi sekaligus juga dekat dengan kebun kelapa sawit (baik itu milik pribadi maupun milik perusahaan). Lokasi penelitian dinilai berada di tengah karena sudah ada pembukaan lahan yang dilakukan oleh perusahaan, tetapi masih banyak juga lahan masih berbentuk hutan dan ladang milik masyarakat. Dengan lokasi dekat dengan hutan dinilai lokasi penelitian masih memiliki akses yang mudah terhadap banyak pohon durian sebagai fokus penelitian saya. Dalam penelitian ini adalah fokus pada warga Dusun Nek Sawak sebagai narasumber utama, walaupun saya harus datang ke dusun lain seperti Tanjung Iman, Landau, dan Suak Kenyaok untuk mendapat informasi pendukung. Untuk mendapatkan berbagai sudut pandang, saya juga menggunakan narasumber dari warga Dusun Nek Sawak yang tidak memiliki durian. Informan inti yang diambil adalah orang yang berpengaruh dalam kehidupan baik secara agama dan adat di Nek Sawak, serta beberapa informan acak yang pernah memiliki pengalaman khusus yang berkaitan langsung dengan pohon durian, baik itu yang berdampak negatif maupun positif. Informan lain dalam tulisan ini merupakan mantan seorang pendeta yang sekarang merupakan orang tertua yang tinggal di Dusun Nek Sawak, dari informan tersebut diharapkan mendapat gambaran mengenai kondisi sosial masyarakat Nek Sawak. Secara keseluruhan penelitian berjalan sangat lancar, saya mendapatkan banyak data dengan mudah dari para informan karena masyarakat Desa Nek
18
Sawak sangat antusias menceritakan hal yang menyangkut dengan kerabat mereka. Wawancara juga dilakukan secara tidak sengaja misalnya ketika bertemu di sungai untuk mandi atau ketika panen padi dan data yang didapat terkadang lebih mendalam dibandingkan ketika saya memang sengaja datang ke rumah informan untuk wawancara. Terkadang dari obrolan santai atau bedabul dengan para tetangga saya mendapatkan data yang baru. Tetapi saya menemukan kesulitan ketika wawancara dengan orang yang sudah lanjut usia, kebanyakan mereka tidak fasih berbahasa Indonesia sehingga saya butuh orang lain untuk menterjemahkan apa yang mereka katakan. Selain itu karena faktor usia ingatan mereka sudah terbatas sehingga kadang informasi yang dibagikan kurang lengkap atau berhenti di tengah jalan. Rasanya kurang ketika saya membahas pohon durian tetapi tidak datang langsung ke lokasi pohon durian. Akan tetapi karena titik lokasi pohon durian yang menyebar membuat saya tidak dapat mendatangi semua pohon durian yang ada, ditambah lagi GPS yang digunakan harus bergantian dengan teman yang lain. Selain itu, saya harus menempuh waktu yang lama dan membutuhkan ekstra tenaga karena lokasi pohon durian ada yang sangat jauh dari pemukiman warga sehingga tidak terjangkau dengan waktu dan peralatan yang sangat terbatas. Saya dan ditemani oleh beberapa informan untuk mendatangi langsung ke lokasi untuk melihat langsung kondisi pohon durian dan juga untuk menentukan titik lokasi GPS. Pengambilan titik lokasi GPS bertujuan untuk mempermudah saya membaca persebaran pohon durian di dusun Nek Sawak juga untuk memilih informan inti pemilik pohon durian.
19