Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Mendengar kata arisan bukanlah menjadi suatu hal yang asing buat saya. Sejak kecil, saya ingat Ibu saya seringkali mengajak untuk ikut datang ke arisan Rukun Warga (RW) yang secara rutin diadakan satu kali dalam satu bulan. Arisan biasanya diadakan pada hari Minggu sore, di sebuah bangunan kecil di perumahan tempat saya tinggal yang biasa disebut sebagai „gedung serbaguna‟. Anggota arisan ini adalah warga perumahan dimana keluarga saya tinggal. Kegiatan arisan RW yang berlangsung setiap bulan ini berlangsung kurang lebih sama: anggota arisan datang, langsung menuju ke meja bendahara untuk membayar iuran arisan dan mengisi buku tamu, setelah itu mengambil kotak kue yang disediakan untuk para anggota arisan dan langsung duduk di kursi-kursi yang telah disediakan, bergabung dengan anggota lain yang sudah datang terlebih dahulu. Ada juga warga yang sehabis membayar langsung pulang, tak jarang menitipkan uang iuran kepada orang lain dan tidak ikut hadir dalam pertemuan. Setelah itu barulah diadakan kocokan1 untuk menentukan siapa yang akan „memenangkan‟ uang arisan pada bulan tersebut. Kegiatan arisan RW tersebut masih rutin dilakukan hingga saat ini dengan struktur dan tata cara yang kurang lebih sama. Sebagian besar anggotanya pun masih sama, yaitu para penghuni lama yang sudah puluhan tahun tinggal di perumahan ini. Kocokan merupakan sebuah istilah yang kerap didengar dalam setiap arisan. Ini merujuk pada bagian dimana salah satu anggota – biasanya bendahara atau pengurus arisan – menulis nama para anggota arisan satu per-satu di kertas, lalu secara acak diundi untuk menentukan siapa yang akan mendapat uang arisan pada pertemuan saat itu. Apabila nama pemenang undian berhalangan untuk hadir, biasanya kocokan akan diulang. 1
1
Pada kesempatan lain, saya beberapa kali datang ke pertemuan kelompok arisan lain yang juga diikuti Ibu saya sejak hampir sepuluh tahun lalu, yaitu arisan Manado. Apabila arisan RW adalah arisan yang berbasis pada daerah tempat tinggal, arisan Manado ini merupakan arisan yang merujuk pada kesamaan etnis tertentu dari para anggotanya. Pada bulan Mei 2014 lalu saya turut hadir dalam arisan Manado. Arisan pada waktu itu diadakan di sebuah restoran di Senayan City, salah satu pusat perbelanjaan besar di bilangan Senayan, Jakarta Selatan. Arisan diadakan sekitar pukul 12.30 bertepatan dengan jam makan siang pada umumnya. Ketika saya datang bersama dengan Ibu saya, tampak beberapa anggota arisan sudah datang. Ada dua meja besar yang secara khusus dipesan oleh kelompok arisan. Salah satu anggota yang sudah datang terlebih dahulu adalah bendahara arisan, sehingga anggota lain yang baru datang – termasuk Ibu saya – langsung mendatangi dan membayar iuran arisan. Apabila membayar iuran lewat transfer ke bank, cukup menunjukkan bukti transfer ke bendahara dan setelah itu langsung duduk dan bergabung dengan anggota yang lain. Sekitar pukul 13.00 makanan yang sudah terlebih dahulu dipesan mulai disajikan diatas meja, dan langsung disantap oleh para anggota arisan. Sambil menikmati hidangan, mereka mulai bercakap-cakap satu dengan yang lainnya. Topik yang dibicarakan, sejauh yang saya dengar, mulai dari pengalaman liburan, rencana pergi berlibur, keluarga, hingga masalah kesehatan. Setelah selesai makan, barulah mereka melakukan kocokan untuk menentukan siapa yang akan mendapat arisan dan menjadi penanggung jawab pertemuan selanjutnya. Praktik arisan sendiri sudah begitu lama ada di Indonesia. Tidak ada bukti dan tulisan pasti yang mencatat kapan praktik tersebut dimulai dan siapa yang
2
mempopulerkannya, namun dari berbagai literatur menuliskan bahwa arisan pada awalnya berkembang di masyarakat petani sebagai salah satu alternatif bagi para ibu rumah tangga untuk mengatur keuangan dalam rumah tangga, yang dilakukan secara berkelompok. Dede Oetomo 2 , seorang sosiolog, mengatakan bahwa praktek ini pada masa pemerintahan Soeharto dikembangkan sebagai kekuatan RT dan RW dan digunakan untuk mengumpulkan warga. “it developed under Soeharto as the powers of RT and RW (neighborhood administrative units) were consolidated, and used as a means of getting people to come together – kegiatan ini dikembangkan pada masa pemerintahan Soeharto sebagai kekuatan antara RT dan RW (unit administratif lingkungan) dikonsolidasikan, dan digunakan sebagai alat untuk mendatangkan orang-orang secara bersamaan” 3 Sedangkan sosiolog Universitas Indonesia, Otto Hernowohadi4 mengatakan, “Arisan is an effective medium for information exchanging as all the people gather in one place, at one time regularly […] When it comes to money, it is just a bonus for everyone”. Menurutnya, kegiatan digunakan sebagai sarana untuk berkumpul, dikarenakan setiap orang masih butuh berkomunikasi dan mendapat berita terbaru dari orang lain. Dua kelompok arisan yang saya hadiri diatas merupakan contoh dari begitu banyak bentuk arisan yang ada dan berkembang dimasa kini. Arisan pertama, yaitu arisan RW, merupakan contoh arisan yang paling umum dan dapat ditemui di hampir seluruh wilayah di Indonesia, yang merujuk ke satu kesamaan wilayah tempat tinggal. Sedangkan
2
Diambil dari artikel ‘Arisan’ Much More Than a Neighborhood Flutter (http://www.thejakartapost.com/news/2006/04/07/039arisan039-much-more-neighborhoodflutter.html) < diakses pada 21 Juli 2015, 20.50> 3 ibid 4 Dituliskan oleh Ika Krismantari dalam artikel The Resilience of ‘arisan’ in Changing Times (http://www.thejakartapost.com/news/2010/11/19/the-resilience-‘arisan’-changing-times.html)
3
arisan yang kedua, arisan Manado, merujuk pada satu kesamaan suku bangsa atau kelompok etnis tertentu yang berada di luar wilayah asal mereka. Bentuk arisan kedua ini merupakan contoh dari perkembangan arisan terutama di wilayah perkotaan. Keduanya sama-sama memiliki pertemuan sebanyak satu kali setiap bulannya, dimana setiap anggota membayar uang atau iuran yang telah ditentukan setiap bulannya dan diakhir pertemuan dilakukan kocokan atau undian untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan uang arisan. Uang bisa dikatakan sebagai instrumen yang membuat arisan berbeda dengan bentuk perkumpulan lainnya, mengingat pada awalnya arisan memiliki fungsi ekonomis sebagai alternatif untuk mendapatkan tambahan rumah tangga secara finansial. Meskipun tidak sepenuhnya menghilang, pada konteks masa kini fungsi ekonomis arisan mulai menipis. Karena pengalaman datang pada kegiatan arisan dirasa begitu dekat dalam kehidupan sehari-hari, muncul ketertarikan dalam diri saya untuk mengkaji persoalan arisan lebih dalam lagi. Ketertarikan saya untuk mengkaji arisan lebih dalam lagi dibarengi dengan keikutsertaan saya pada program penelitian kelompok (Team Research Project) bulan September 2014 lalu, bersama dengan mahasiswa dari Albert-Lüdwigs University of Freiburg dan Universitas Hasanuddin. Mengangkat tema besar “Budaya Kooperasi”, saya langsung bisa melihat arisan sebagai salah satu contoh yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dipilihlah tiga kelompok arisan di Yogyakarta dalam studi ini, yaitu arisan kampung, arisan profesi, dan arisan etnis. Ketiga kelompok ini dipilih sebagai contoh kecil dari begitu banyaknya kelompok (arisan) di Yogyakarta, perkembangannya di masa kini. Masing-masing dari ketiga kelompok arisan ini terbentuk atas latar belakang yang berbeda, namun ketiganya memiliki organisasi atau struktur didalamnya yang bertujuan
4
untuk mengatur kegiatan tersebut. Paling tidak, ada satu orang yang „berperan‟ sebagai ketua, yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan semua anggota, kemudian ada yang „berperan‟ sebagai pengumpul uang iuran. Kepengurusan atau struktur didalam kelompok arisan ini merupakan contoh konkrit dari Budaya Kooperasi, dimana interaksi antar anggota didalamnya menjadi bagian yang penting. Oleh karena itu, arisan – yang merupakan sebuah institusi ekonomi – bisa dilihat sebagai sebuah praktik sosial dari budaya kooperasi. Melihat arisan dari aspek ini, menjadi menarik untuk mengkaji fungsi arisan, terutama pada konteks masa kini.
B. Tinjauan Pustaka Studi mengenai praktik arisan bukanlah sebuah hal baru dalam penelitian sosial, terutama terkait dengan permasalahan ekonomis. Clifford Geertz, seorang antropolog asal Amerika Serikat, mempublikasikan artikelnya yang berjudul The Rotating Credit Association: A “Middle Rung” in Development, dimana terdapat pembahasan mengenai praktik arisan. Geertz, yang melakukan studi lapangan di Mojokuto, Jawa Timur, pada Mei 1953 – September 1954, menjelaskan bahwa arisan merupakan sebuah bentuk institusi keuangan mikro yang merupakan formulasi dari cooperativeness atau kerjasama antar masyarakat yang tergabung sebagai anggota arisan. Kerjasama, ditekankan oleh Geertz, dalam masyarakat agraris berkaitan dengan berbagai kegiatan seperti Selametan – perayaan sebagai bentuk ucapan syukur – tak terkecuali arisan. Singkatnya, Geertz menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan sebuah bentuk institusi keuangan mikro, yang dilakukan secara komunal dengan bekerjasama.
5
Dua tahun setelah keluarnya tulisan Geertz tersebut, Shirley Ardener (1964) mempublikasikan artikelnya yang berjudul The Comparative Study of Rotating Credit Associations. Artikel ini merupakan tanggapannya atas tulisan Geertz mengenai arisan, yang kemudian dilengkapinya menjadi sebuah tulisan yang lebih komperehensif, dengan menambahkan lebih banyak contoh mekanisme serupa di negara lain, serta pentingnya kegiatan tersebut. Tidak jauh berbeda, Ardener juga menjelaskan bagaimana praktik arisan sebagai sebuah bentuk institusi ekonomi mikro. Ardener juga menekankan pentingnya kerja sama didalam mekanisme tersebut Beberapa penelitian selanjutnya banyak mengkaji fungsi ekonomis dari praktik arisan. Papanek dan Schwede (1988) dalam artikelnya, Women Are Good with Money: Earning and Managing in an Indonesian City menuliskan bahwa 75% wanita yang menjadi responden dalam penelitiannya tergabung kedalam lebih dari satu kelompok arisan, karena kegiatan tersebut dianggap sebagai salah satu cara alternatif untuk menabung. Hal serupa juga ditulis oleh Otto Hospes (1992) dalam artikelnya People That Count: The Forgotten Faces of Rotating Savings and Credits Associations in Indonesia. Hospes, menggunakan hasil survey Papanek dan Schwede di tahun 1988, menuliskan bahwa 106 dari 146 wanita di Jakarta mengikuti lebih dari satu kelompok arisan 5 . Dituliskan juga oleh Hospes bahwa secara umum praktik arisan di Indonesia adalah “mekanisme untuk memobilisasi tabungan pedesaan” (p. 372). Artikel dari The Jakarta Post berjudul “Urban Women Mine Gold Through „Arisan‟” berhasil meliput beberapa warga Jakarta yang ikut dalam kelompok arisan. Salah satunya mengaku bergabung kedalam enam kelompok arisan, dengan alasan menabung. Ini dikatakan oleh Diane Wolf
5
Survey dilakukan pada tahun 1972-1974 di Jakarta
6
(2000) dalam penelitiannya, bahwa untuk beberapa kalangan masyarakat – terutama kelompok buruh dan bertani – arisan berguna untuk mengontrol pendapatan, yang mana seseorang harus menyisihkan sejumlah uangnya untuk ditabung melalui iuran setiap bulannya. Adapun hasil studi lain tidak hanya membahas praktik arisan dari fungsi ekonomisnya saja, tapi juga fungsi sosial. Daniel M. T. Fessler (2002) dalam artikelnya Windfall and Socially Distributed Willpower: The Psychocultural Dynamics of Rotating Savings and Credit Associations in a Bengkulu Village. Studi Fessler di sebuah desa di Bengkulu, Sumatra, menemukan bahwa arisan tidak hanya menjadi sebuah mekanisme yang menguntungkan secara ekonomi saja, tapi juga kegiatan yang memiliki nilai-nilai sosial dan kultural. Kemudian, sebuah buku non-akademis karya Joy Roesma dan Nadya Mulya (2013) berjudul Kocok! The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialites menjabarkan mengenai praktik arisan urban, yang mana para anggotanya merupakan masyarakat kelas menengah keatas. Buku yang ditulis bedasarkan hasil survey terhadap kurang lebih 300 orang anggota arisan urban ini secara gamblang menuliskan fakta-fakta mengenai fenomena arisan di perkotaan yang bukan lagi sebagai kegiatan bernilai ekonomis. Lebih dari itu, buku ini menguak permasalahan gaya hidup yang memberikan warna baru terhadap praktik arisan, terutama pada kelompok kelas menengah keatas. Karya lain yang juga memberikan referensi mengenai arisan, yaitu skripsi (S1) karya Irene Tantri 6 (2014) dengan judul Diskursus Arisan: Analisis Diskursus Michel Foucault tentang Arisan di Desa Hargomulyo Kecamatan Gedangsari Kabupaten Gunung Kidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam skripsi ini Tantri mencoba 6
Skripsi ini merupakan syarat kelulusan tingkat Strata-1 Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
7
menjabarkan bagaimana relasi antara pengetahuan, kuasa, dan subyek yang membentuk diskursus arisan. Pengetahuan yang dimaksud adalah konsep kerukunan dan uang yang direfleksikan oleh masyarakat melalui praktik arisan, sementara kuasa bukan sesuatu yang – mengutip Tantri – „represif‟, melainkan yang mengakibatkan kegiatan tersebut “diamini” oleh masyarakat, sebagai subyek pembentuk diskursus arisan. Adapun dari beberapa literatur yang telah saya sebutkan diatas, belum ada yang secara khusus membahas bagaimana kaitannya dengan identitas para anggotanya. Oleh karena itu penelitian ini hadir untuk, menambah pengetahuan baru mengenai praktik arisan. Berangkat dari berkembangnya praktik arisan dimasa kini, penelitian ini akan berfokus pada tiga kelompok arisan dengan jenis yang berbeda; arisan kampung, arisan profesi, dan arisan etnis. Penelitian ini mengkaji bagaimana praktik arisan secara sosial, dan melihat bagaimana kegiatan ini merupakan sebuah wujud representasi identitas dari para anggotanya. Kehadiran penelitian ini diharapkan mampu memperkaya wawasan serta pustaka mengenai arisan dan kaitannya dengan identitas para anggotanya.
C. Rumusan Masalah Selama bertahun-tahun, arisan mengalami begitu banyak perubahan. Kegiatan yang semula dilakukan untuk kepentingan manajemen keuangan secara kelompok, sekarang lebih dilihat sebagai ajang saling berkumpul. Apabila arisan yang dilihat Clifford Geertz di Mojokuto pada tahun 50an diadakan dirumah warga dengan menyajikan sesuatu yang merupakan sumbangsih dari setiap warga, arisan masa kini telah jauh berubah. Dalam bentuk arisan yang lebih kontemporer, pertemuan tak jarang diadakan di restoran atau gedung pertemuan. Mekanisme arisan – yakni pengumpulan
8
sejumlah uang yang akan diundi untuk menentukan pemenang arisan – masih terjadi kurang lebih sama. Namun, intensi serta bagaimana para anggota memaknai arisan itu sendiri menjadi berubah. Ketiga kelompok arisan dalam studi ini dipilih sebagai contoh kecil dari perubahan dan perkembangan arisan di masa kini. Oleh karena itu, saya merumuskannya menjadi beberapa pertanyaan: 1. Bagaimana mekanisme arisan pada masa kini? 2. Apa arti penting arisan bagi para anggotanya? 3. Bagaimana kaitan arisan dengan identitas para anggotanya?
D. Kerangka Pemikiran Antropologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang mengkaji tentang manusia dan kebudayaannya. Kebudayaan, menurut Koentjaraningrat 7 , merupakan “keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karga manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. Kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu (1) Suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya, (2) kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 2009:150). Arisan merupakan salah satu wujud dari „aktivitas‟ dan „tindakan berpola‟ dalam masyarakat. Berangkat dari pemahaman mengenai arisan sebagai wujud dari tindakan dalam masyarakat inilah penelitian ini dilakukan.
7 Koentjaraningrat, 2009, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta (cetakan ke Sembilan)
9
Sebagai sebuah kelompok, arisan terbentuk atas beberapa individu yang memiliki relasi, baik secara kultural maupun secara sosial. Relasi sosial, dipaparkan oleh Robert A. Nisbet (1970), “the mechanisms and processes through which human beings become members of the social order and by which they remain members” (mekanisme dan proses dimana manusia menjadi bagian dari tatanan sosial dan tetap menjadi bagian atau anggota didalamnya). Setiap anggota arisan, ketika berkumpul menjadi satu bagian atau satu kelompok, melakukan sebuah proses yang disebut dengan relasi sosial. Hal ini disebabkan karena adanya satu kesamaan antar anggota dalam satu kelompok yang terbagikan. Identitas merupakan salah satu unsur dari kesamaan antar anggota tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata „identitas‟ memiliki arti “ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang; jati diri”. Dari penjelasan ini, kata ini begitu erat kaitannya dengan menjelaskan tentang „diri‟ seseorang. Oleh karena itu, sering dipahami bahwa identitas merupakan suatu pemberian label untuk identifikasi. Namun dalam kajian budaya, identitas merupakan suatu hal yang tidak hanya berkaitan dengan diri, tapi juga orang lain. Erving Goffman 8 menuliskan dalam Stigma (1968), bahwa identitas merupakan suatu hal yang dikonstruksikan atau dibangun oleh others – orang lain. Identitas, dikatakan oleh Clarke (2008), menjadi semakin kuat ketika kita berhasil menemukan diri (selves) dalam orang lain. Stuart Hall (1995) mendefinisikan identitas sebagai “points of temporary attachment to the subject positions, which discursive practices construct for us” – sesuatu yang bersifat sementara dan dapat berganti, menyesuaikan lingkungan dimana kita berada. Arisan terdiri atas individu-individu yang berbeda. Namun, ketika individu ini tergabung menjadi satu, terdapat satu identitas baru 8
Dituliskan oleh Simone Clarke dalam Culture and Identity (Clarke, Simone, 2008, Culture and Identity dalam The SAGE Handbook of Cultural Analysis, SAGE Publications)
10
yang dibangun secara kolektif. Pengalaman saya mengikuti Arisan Manado, misalnya saja, dimana para anggota – ketika berkumpul – membangun identitas baru sebagai „orang Manado‟. Ketika para anggota kembali menjadi individu, terlepas dari kelompok tersebut, identitas yang lain akan terbangun, menyesuaikan lingkungannya. Hal ini juga dituliskan oleh Chris Barker (2014) dalam Kamus Kajian Budaya, bahwa “tidak ada identitas tunggal yang bertindak sebagai identitas yang total menyeluruh, melainkan pelbagai
identitas
yang
bergeser
seturut
bagaimana
subjek
dikenali
atau
direpresentasikan”. Representasi, oleh Stuart Hall, dikatakan sebagai sebuah proses menghubungkan makna dan bahasa kedalam budaya. Dalam hal ini, identitas sebagai sebuah makna, dihubungkan kedalam budaya, yang terwujud dalam praktik arisan. Penelitian ini berangkat dari bagaimana arisan, sebagai sebuah kelompok yang merupakan bagian dari wujud kebudayaan, mengalami perubahan bentuk. Arisan yang semula merupakan sebuah kegiatan ekonomis yang dilakukan di wilayah pedesaan, kemudian bergeser hingga ke wilayah perkotaan. Kegiatan yang semula dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, pada praktiknya di masa yang lebih kontemporer ini dilihat sebagai ajang untuk berkumpul dan bertemu sesamanya. Fungsi arisan inilah yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Fungsi, dijelaskan oleh Malinowski 9, sebagai needs atau kebutuhan. Kebutuhan selalu ada dalam kehidupan manusia dan merupakan suatu hal yang harus dipenuhi. Berangkat dari teori fungsionalisme Malinowski inilah, penelitian ini mencoba untuk melihat ulang bagaimana pemaknaan para anggota terhadap arisan itu sendiri; untuk menelaah bagaimana fungsi arisan dengan adanya perubahan bentuk tersebut, dengan menggunakan konsep identitas.
9
Seperti yang dipaparkan dalam van Baal, 1988, Sejarah Teori Antropologi jilid 2, Gramedia, Jakarta
11
E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana praktik arisan secara sosial bisa dilihat sebagai bentuk dari representasi identitas para anggotanya. Sebagai sebuah kelompok yang memiliki struktur didalamnya, arisan terdiri atas beberapa orang yang mana memiliki paling tidak satu kesamaan latar belakang yang menjadi identitas mereka. Hal ini dapat terlihat dalam studi terhadap ketiga kelompok arisan yang saya lakukan. Masing-masing kelompok arisan mewakili kesamaan identitas – kesamaan tempat tinggal, kesamaan profesi, dan kesamaan etnis – yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Identitas merupakan suatu hal yang dikonstruksikan dengan adanya kesamaankesamaan yang terbagikan oleh masing-masing individu didalam suatu kelompok tertentu. Arisan sebagai salah satu bentuk kelompok, terdiri atas individu-individu, merupakan representasi dari identitas para anggotanya.
F. Metode Penelitian F.1. Penentuan lokasi penelitian Penelitian ini merupakan hasil dari Team Research Project 2014 antara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Hasanuddin Makasar, dan AlbertLüdwigs University of Freiburg. Program yang telah berlangsung sejak tahun 2004 ini secara bergantian mengirimkan mahasiswanya ke Universitas yang menjadi tuan rumah setiap tahunnya. Universitas Gadjah Mada merupakan tuan rumah untuk tahun 2014, sehingga penelitian ini dilakukan di Yogyakarta.
12
Lokasi penelitian sendiri dilakukan di Yogyakarta pada tiga kelompok arisan yang berbeda, dimana masing-masing anggotanya tersebar di seluruh wilayah di Yogyakarta. Kegiatan arisan dilakukan di tempat yang berbeda-beda setiap bulannya, semua bergantung pada keputusan dari masing-masing kelompok. Ketika observasi partisipasi dilakukan pada September 2014 lalu, Arisan Kampung diadakan di salah satu rumah warga di Dusung Ngentak, Pondokrejo, Tempel, Sleman; Arisan Dosen diadakan di Ruang D106 Fakultas Ilmu Budaya UGM; dan Arisan Batak diadakan di rumah salah satu anggota di wilayah Janti. Tempat ini tentunya akan berubah pada pertemuanpertemuan berikutnya. Sedangkan wawancara dengan para informan beberapa dilakukan di waktu dan tempat yang berbeda dengan berlangsungnya kegiatan arisan di periode September 2014 tersebut. Namun ada juga yang dilakukan bersamaan dengan observasi partisipasi. Penelitian ini berlangsung selama empat minggu, tepatnya pada 1 – 26 September 2014, sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan untuk program penelitian ini.
F.2. Penentuan Informan H. Russell Bernard (2006) mengatakan bahwa ada dua macam informan, yaitu informan utama (key informant) dan informan khusus (specialized informant). Informan utama disini merupakan informan yang berhubungan langsung dengan arisan, meliputi anggota dan/atau pengurus arisan. Sedangkan informan khusus adalah mereka yang mengetahui dan memiliki pengetahuan mengenai arisan sebagai validitas informasi yang didapat.
13
Studi ini dilakukan terhadap tiga kelompok arisan yang di Yogyakarta. Masingmasing kelompok arisan memiliki bentuk yang berbeda, yang dapat menggambarkan perubahan dan perkembangan dari praktik ini di masa kini, yaitu: 1. Arisan Kampung (Arisan RT 04 Dusun Ngentak, Pondokrejo, Tempel, Sleman) 2. Arisan Profesi (Arisan Ibu-ibu Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM) 3. Arisan Etnis (Arisan Batak “Punguan Simatupang”) Ketiga kelompok arisan ini dipilih dengan pertimbangan waktu, lokasi, latar belakang kelompok serta koneksi terhadap salah satu anggotanya. Arisan pertama yaitu arisan kampung, merupakan kelompok arisan yang terbentuk atas kesamaan latar belakang wilayah tinggal. Arisan kedua, yaitu arisan profesi, terbentuk atas latar belakang kesamaan profesi dalam satu institusi yang sama, yaitu sebagai dosen di FIB UGM. Terakhir, arisan etnis, yaitu kelompok arisan yang terbentuk atas latar belakang etnis yang sama. Pemilihan ketiganya diharapkan dapat mewakili sebagian kecil dari beragamnya jenis kelompok arisan, untuk dapat melihat sejauh mana perubahan dan perkembangan dari mekanisme tersebut. Setelah bertemu dengan salah satu anggota dari masing-masing arisan, barulah saya bisa ikut dalam pertemuan bulanan arisan dan berkesempatan untuk berkenalan dengan anggota lain. Berikut ini para informan yang saya wawancarai selama penelitian ini berlangsung: 1. Ibu Sofi, bendahara Arisan RT 04 Dusun Ngentak, Pondokrejo, Tempel, Sleman. Beliau merupakan anggota sekaligus bendahara dari arisan RT 04, dan juga pengurus kooperasi RT 04.
14
2. Ibu Rika, salah satu anggota Arisan RT 04 Dusun Ngentak, Pondokrejo, Tempel, Sleman. Beliau yang sejak lahir tinggal di dusun tersebut telah aktif menjadi anggota sejak menikah, sampai sekarang. 3. Ibu Inah dari Arisan Ibu-ibu Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM. Beliau adalah salah satu dosen muda di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), dan juga merupakan salah satu dari tiga pengurus arisan. 4. Ibu Ndari dari Arisan Ibu-ibu Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM. Beliau merupakan salah satu dosen senior yang sudah pensiun, namun masih aktif ikut dalam kelompok arisan dosen. 5.
Ibu Sila dari Arisan Batak “Punguan Simatupang”. Beliau bergabung dalam kelompok arisan ini sejak tahun 1999, karena ikut suaminya yang bermarga Simatupang. Beliau cukup aktif ikut pertemuan setiap bulannya.
6. Bapak Tobing dari Arisan Batak “Punguan Simatupang”. Beliau sudah cukup lama bergabung dalam arisan ini, terutama setelah pensiun dan memiliki lebih banyak waktu luang. Adapun wawancara secara informal dalam bentuk obrolan juga saya lakukan, terhadap anggota-anggota lain dari masing-masing arisan. Obrolan dilakukan dengan beberapa anggota yang tidak terlibat sebagai pengurus, namun juga telah lama aktif dalam kegiatan arisan. Hasil dari obrolan ini turut menyumbang informasi seputar kelompok, yang dapat digunakan sebagai bahan analisis. Selain kelima informan diatas, saya juga mewawancarai Agus Suwignyo, Dosen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM dan Muhadi Sugiono, Dosen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Wawancara dengan kedua
15
dosen dilakukan untuk verifikasi sekaligus mendapatkan informasi tambahan serta pandangan mengenai arisan dari sisi akademis. Saya juga bertemu dan melakukan wawancara singkat dengan Ibu Ira, seorang pemilik homestay di Yogyakarta yang biasa digunakan oleh mahasiswa asing, yang juga aktif mengikuti tiga kelompok arisan. Wawancara dengan Ibu Ira ini menambah wawasan serta pandangan seseorang mengenai kelompok arisan secara umum, dan mekanisme arisan itu sendiri.
F.3 Teknik Pengumpulan Data Studi ini merupakan hasil dari penelitian lapangan selama satu bulan dengan menggunakan data kualitatif. Data kualitatif tersebut didapatkan dengan melakukan observasi partisipasi. Charlotte Aull Davies (1999) menuliskan, observasi partisipasi akan selalu menjadi bagian penting dari antropologi. Sedangkan H. Russell Brand (2006) menuliskan bahwa observasi partisipasi melibatkan kedekatan terhadap orang lain dan membuat mereka nyaman dengan kehadiran kita sebagai peneliti, sehingga peneliti bebas melakukan observasi dan merekam informasi mengenai kehidupan mereka. Wawancara juga saya lakukan dalam setiap kesempatan, dan dilakukan secara terstruktur dan tidak terstruktur. Untuk wawancara mendalam, disiapkan catatan serta pertanyaan acuan yang ditanyakan kepada seluruh informan. Sedangkan untuk beberapa informan lain yang berhasil saya temui dalam kegiatan arisan, pertanyaan bersifat lebih spontan dan tidak terstruktur. Sebelum melakukan observasi partisipasi saya terlebih dahulu menghubungi kontak yang telah saya dapatkan, untuk ditanya kesediaannya menjadi informan dalam penelitian ini. Pertemuan dengan informan-informan tersebut dilakukan secara informal
16
dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat general mengenai masing-masing kelompok arisan yang diikuti oleh para informan. Pertemuan pertama dengan informan-informan tersebut dilakukan di rumah, namun ada juga yang dilakukan di kantor ketika waktu istirahat. Kesempatan ini digunakan untuk memperkenalkan diri dan apa yang hendak dilakukan, serta menjelaskan secara singkat apa tujuan yang ingin dicapai. Biasanya pertemuan pertama ini berujung pada obrolan ringan dan santai untuk mengenal informan lebih dalam dan mendapat akses untuk bisa masuk kedalam kelompok arisan. Wawancara juga dilakukan kepada para informan untuk mendapatkan jawaban atas halhal yang tidak bisa didapatkan dari observasi. Informan pertama yang saya temui adalah Ibu Aminah dari Arisan Ibu-ibu Dosen FIB UGM. Ibu Aminah ditemui dikantornya, ketika beliau baru selesai mengajar di kelas. Setelah sebelumnya berkenalan dan menyatakan keinginan untuk wawancara, Ibu Aminah bersedia untuk menjadi salah satu informan. Setelah wawancara, Ibu Aminah mengundang saya untuk ikut hadir dalam arisan yang jatuh pada hari Jumat minggu kedua, tepatnya pada tanggal 12 September 2014. Kehadiran saya dalam arisan tersebut juga saya gunakan untuk melakukan wawancara informal terhadap anggota lain sekaligus melihat dan mengamati bagaimana arisan berlangsung dan menulis catatan reflektif dari arisan tersebut. Saya juga berhasil membuat janji dengan salah satu anggota arisan, Ibu Sundari, dosen jusrusan Sastra Indonesia yang sudah pensiun dan merupakan salah satu anggota tertua arisan, untuk melakukan wawancara. Wawancara dilakukan dirumahnya pada hari Kamis 18 September 2014. Informan kedua yang saya temui berbarengan arisan kedua yang saya hadiri yaitu Arisan RT 04 Dusun Ngentak, Pondokrejo, Tempel, Sleman, pada hari Minggu 14
17
September 2014. Informan saya adalah Ibu Sofi, yang menjabat sebagai bendahara arisan, sekaligus koperasi simpan pinjam yang juga merupakan bagian dari kegiatan warga RT 04. Ibu Sofi ini saya temui sebelum arisan dimulai, kemudian dilanjutkan setelah arisan selesai. Beliau menjelaskan bahwa ada dua kelompok penting dalam setiap RT, dan terutama di RT 04, yaitu arisan dan koperasi. Kedua kegiatan sama-sama melibatkan iuran dan kegiatan menabung, akan tetapi dalam koperasi jumlah uang lebih besar dan anggota tidak perlu menunggu undian untuk bisa mengambil uang. Menurut beliau, di RT lain kegiatan arisan masih berjalan namun tidak demikian dengan koperasi. Beberapa anggota lain juga turut menceritakan kesan serta pendapatnya mengenai kegiatan arisan RT. Selain dengan Ibu Sofi, saya juga melakukan wawancara dengan salah satu anggota arisan, Ibu Rika. Beliau cukup aktif dalam kelompok tersebut dan tidak segan untuk bercerita, itulah mengapa saya memilih untuk mewawancarai beliau. Selain itu, obrolan secara santai dengan beberapa anggota lain saat kegiatan arisan berlangsung juga saya lakukan. Dari hasil obrolan ini saya juga mendapat banyak informasi mengenai bagaimana kegiatan arisan di RT 04 ini berlangsung. Memasuki minggu ketiga penelitian, saya bertemu dengan informan dari kelompok arisan ketiga – Arisan Batak “Punguan Simatupang” – yaitu Ibu Asil. Pertemuan dengan Ibu Asil berlangsung dirumahnya, setelah sebelumnya menghubungi untuk memperkenalkan diri dan mengatur janji untuk melakukan wawancara. Ibu Asil banyak menceritakan pengalamannya mengikuti arisan khususnya arisan Batak. Arisan Batak ini diikutinya karena mengikuti keluarga suami. Setelah itu beliau mengundang saya untuk datang ke arisan pada hari Minggu 21 September 2014. Arisan berlangsung disalah satu rumah anggota, dan membuka kesempatan saya untuk bertemu dengan
18
anggota-anggota lain. Pada kesempatan itu pula saya bertemu dan mewawancarai salah satu anggota lain yang sudah lebih lama bergabung dalam arisan batak “Punguan Simatupang”, yaitu Bapak Tobing. Proses pengambilan data yang meliputi observasi partisipasi dan wawancara memakan waktu sekitar dua sampai tiga jam pada setiap pertemuannya. Mulai dari perkenalan diri, wawancara, hingga ikut hadir dalam kegiatan arisan, semuanya berjalan dengan lancar. Wawancara secara informal, atau obrolan, juga dilakukan ketika sedang melakukan observasi partisipasi di setiap kegiatan arisan, terutama pada Arisan RT. Kesulitan dialami pada satu minggu pertama berjalannya penelitian, yaitu ketika mencari kontak kelompok arisan. Namun setelah mendapat dan berhasil menghubungi informan, semua bisa berjalan dengan lancar.
F.4 Teknik Analisis Data Teknik yang digunakan untuk analisis data adalah secara deskriptif. Selama proses pengambilan data berlangsung, saya membuat catatan pribadi atas apa yang dilihat, dialami, dan dirasakan. Wawancara dengan para informan juga direkam, kemudian dibuat transkripsi sehingga hasil perbincangan tersebut bisa dibaca ulang dan dianalisis. Dari catatan serta rekaman tersebut kemudian dianalisis secara sistematis, untuk melihat pola kelompok arisan dan bagaimana arisan merupakan bentuk representasi identitas para anggotanya.
19