1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H. Soedarna T.M., wakil Gubernur Jawa Barat, di sela-sela kunjungannya ke Dusun Susuru pada tahun 2003 mengatakan “Dusun [Susuru] ini luar biasa, disini ada tiga kelompok yang memiliki keyakinan beragama yang berbeda. Namun mereka sangat toleran.”1 Di tengah-tengah meningkatnya kekerasan atas nama agama di berbagai tempat di Indonesia, Susuru sebagai salah satu dusun terpencil di Jawa Barat menjadi perhatian media massa terutama sejak Kompas menurunkan berita dengan judul “Damai di Dusun Susuru.”2 Daya tarik kerukunan masyarakat Dusun Susuru mencuat kembali ketika Kompas menulis kembali dengan judul “Keguyuban di Lembah Ciamis.”3 Pemberitaan tersebut menjadi sangat menarik ketika di banyak tempatterutama di Jawa Barat- fakta perbedaan kerap menjadi penyebab terjadinya tindakan intoleransi. Meski banyak faktor yang berperan, salah satu penyebab intoleransi adalah identitas agama. Laporan-laporan banyak pihak yang menaruh perhatian pada kehidupan beragama di Indonesia, seperti The Wahid Institute,4
1
Pikiran Rakyat, 06 Januari 2003. Kompas, 12 Desember 2001. 3 Kompas, 13 Agustus 2012. 4 “Lampu Merah Kebebasan Beragama, Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011.”http://www.wahidinstitute.org/Berita/Detail/?id=424/hl=id/Indonesia_Lampu_Merah_Pelan ggaran_Kebebasan_Beragama, diakses tanggal 20 Maret 2013. 2
2
Setara Institute,5 dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-Cultural Studies),6 menempatkan Jawa Barat sebagai provinsi yang paling banyak terjadi kekerasan atas nama agama dan keyakinan. Laporan-laporan tersebut seolah-olah menjustifikasi bahwa baik pemerintah pusat atau pemerintah daerah maupun elit-elit agama, khususnya di Jawa Barat, belum berhasil dalam membina kerukunan umat beragama. Namun, di tengah laporanlaporan “hitam” tentang Jawa Barat, masih ada daerah-daerah terpencil di Jawa Barat dengan beragam agama dan keyakinan yang sudah lama hidup rukun dan damai. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada “titik putih” di tengah “catatan hitam” Jawa Barat. Salah satunya adalah Dusun Susuru. Dusun Susuru adalah sebuah gambaran masyarakat yang multirelijius. Populasi penduduknya terdiri dari empat agama yang berbeda; yakni Islam 699 orang, Katolik 114 orang, Sunda Wiwitan 54 orang, dan Kristen Protestan 3 orang. 7 Pada awalnya semua penduduk Susuru beragama Islam, akan tetapi pada paruh pertama abad ke-20, salah seorang penduduk Susuru yaitu Ki Sumarta memutuskan untuk mencari ilmu kemanusiaan.8 Dalam usahanya itu dia pergi ke
5
Setara Institute, “Report on Freedom of Religion and Belief in 2011”. http://www.setarainstitute.org/en/content/report-freedom-religion-and-belief-2011, diakses tanggal 20 Maret 2013. 6 “Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012”. http://crcs.ugm.ac.id/downloads, diakses tanggal 20 Februari 2013. 7 Monografi Desa Kertajaya Kecamatan Panawangan Tahun 2012. 8 Menurut Pangeran Djatikusumah ilmu kemanusiaan adalah “ilmu manusia yang bertujuan untuk mencapai “sampurnaning hirup, sajatining mati” (kesempurnaan hidup dan kematian yang sejati) dengan mengamalkan dan memegang teguh tuntunan pikukuh tilu, yaitu, 1) ngaji badan, 2) mituhu kana taneuh, 3) madep ka ratu raja 3-2-4-5 lilima 6.” (untuk penjelasan pikukuh tilu lihat Bab 2 hal. 42). P. Djatikusumah, et.all., 2000, Adat Karuhun Urang : Pemaparan Budaya Spiritual, Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), Cigugur, hal. 33-34.
3
Cigugur-Kuningan. Di sana ia bertemu dan berguru kepada Pangeran Madrais9 yang berasal dari Keraton Gebang. Setelah selesai, Ki Sumarta kembali ke Dusun Susuru dan menyebarkan ajaran Kyai Madrais yang dikenal dengan ADS (Agama Djawa Sunda). Tahun 1964 ADS membubarkan diri karena tekanan dari pemerintah. Pangeran Tejabuana Alibassa sebagai pimpinan ADS saat itu memerintahkan pengikutnya untuk memeluk salah satu agama yang diakui pemerintah, maka di antara pengikut-pengikutnya di Dusun Susuru ada yang pindah memeluk agama Katolik, Islam, dan Kristen Protestan.10 Mulai saat itulah Susuru menjadi sebuah Dusun multirelijius. “Dialog dimulai saat orang-orang bertemu,”11 demikian dikemukakan Martin Forward. Sejak awal abad 20 (sekitar tahun 1900-an) warga Susuru yang beragama Islam mulai bertemu, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan penganut Sunda Wiwitan. Pada 1964, penduduk Susuru yang menganut Islam dan Sunda Wiwitan mulai berinteraksi dengan penganut agama Katolik dan Kristen Protestan. Dalam kehidupan multirelijius, sejak awal abad 20, warga Susuru 9
Pangeran Madrais adalah pendiri dan penyebar ajaran Sunda Wiwitan di daerah Cigugur Kuningan dan sekitarnya. Pada awalnya ajaran Kyai Madrais dikenal dengan ADS (Agama Djawa Sunda) tetapi pada tahun 1964 ADS membubarkan diri karena tekanan pemerintah. Kemudian pada tahun 1981 berganti nama menjadi PACKU (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang). PACKU hanya berjalan satu tahun karena pada tahun 1982 dibubarkan oleh pemerintah melalui Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Sekarang di bawah kepemimpinan Pangeran Djatikusumah –cucu Pangeran Madrais- penganut Sunda Wiwitan menyebut ajarannya dengan sebutan Masyarakat AKUR (Adat Karuhun Urang). Lihat Didi Wiardi, 2012, “Bertahan Untuk Tidak Gugur, Religi (Adat) Cigugur” dalam Budi Susanto (ed.), Sisi Senyap Politik Bising, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal. 175-176. 10 A.M. Basuki Nursananingrat, 1977, Umat Katolik Cigugur: Sejarah Singkat Masuknya Ribuan Orang Penganut ADS menjadi Umat Katolik, Penerbitan Yayasan Kanisius, Yogyakarta, hal. 24. 11 Martin Forward, 2001, Interreligious Dialogue: a Short Introduction, Oxford: Oneworld, hal. 11 dan JB. Banawiratma., et. all., 2010, Dialog Antarumat Beragama: Gagasan dan Praktik di Indonesia, Jakarta, Penerbit Mizan Publika, hal. 7.
4
berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang yang berbeda agama. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang bahkan menjadi kekuatan yang menyatukan warga Susuru. Toleransi dipraktikkan dalam aktivitas sosial dan aktivitas keagamaan. Bagi masyarakat Susuru kebersamaan lebih penting daripada formalitas ritual. Dengan demikian, tidak aneh, jika ada orang Muslim mengikuti perayaan natal di Gereja. Sebaliknya, ketika umat Islam merayakan idul fitri atau idul adha, penganut agama Katolik dan Sunda Wiwitan ikut berbaur bersama untuk merayakannya dan mengucapkan selamat.12 Kerukunan masyarakat Dusun Susuru nampak paling tidak dalam dua hal: Pertama, dari pola relasi antar umat beragama dalam lingkungan keluarga. Setiap anggota keluarga menerima dan menghormati anggota keluarganya yang memeluk agama yang berbeda. Bahkan konversi agama karena keinginan sendiri atau akibat dari pernikahan antar-iman (interfaith marriage) tidak menjadi penghalang terhadap keharmonisan keluarga. Dalam hal ini, orang tua membebaskan anak-anaknya untuk memilih agama sesuai dengan keinginannya sendiri.13 Kedua, realitas kerukunan tercermin dalam lingkungan sosial masyarakat. Dalam pergaulan sosial dan kehidupan sehari-hari sikap rukun tampak lebih menonjol. Setiap warga masyarakat terlibat dalam aktivitas sosial maupun aktivitas keagamaan. Di antaranya dalam aktivitas sosial, mereka terlibat dalam pembangunan rumah-rumah ibadah, pesta pernikahan, dan bersih desa.
12 13
Pikiran Rakyat, 01 April 2003. Kompas, 12 Desember 2001.
5
Dalam aktivitas keagamaan mereka menghadiri hari-hari besar keagamaan dan mengikuti ritual tahlilan (mendoakan orang meninggal). Berdasarkan realitas di atas, Dusun Susuru bisa dilihat sebagai kasus penting yang bisa menunjukkan bahwa perbedaan agama tidak menjadi pemicu tindakan intoleransi bahkan menjadi energi yang menciptakan kerukunan antar umat beragama. Penelitian ini akan mengkaji kondisi-kondisi yang ada di Susuru yang memungkinkan terciptanya situasi damai. Secara khusus, penelitian ini akan mengamati beberapa aktivitas di mana tiga komunitas tersebut ikut terlibat. Aktivitas yang melibatkan tiga komunitas agama tersebut di antaranya; kehidupan sehari-hari, pesta pernikahan, pemakaman dan tahlilan, pembangunan mesjid, pesantren, gereja, dan rumah adat; perayaan hari-hari besar keagamaan; dan bersih desa. Aktivitas-aktivitas tersebut akan dijadikan objek penelitian untuk melihat lebih dalam faktor-faktor yang mendukung konstruksi perdamaian di Susuru.
1.2 Rumusan Masalah Kerukunan di Dusun Susuru seperti yang telah dijelaskan di atas adalah berdasarkan penilaian lahiriah saja. Sebagai contoh penilaian lahiriah tersebut bisa berupa tidak adanya konflik (latent) yang bereskalasi menjadi konflik besar (manifest) selama bertahun-tahun, meskipun ada konflik-konflik kecil yang terjadi. Untuk menilai kedamaian diperlukan pengamatan yang mendalam dengan melihat berbagai aspek dalam masyarakat tersebut termasuk wujud-wujud integrasi masyarakat. Di balik situasi damai tersebut tentu ada kondisi-kondisi
6
yang memungkinkan terciptanya situasi damai. Kondisi-kondisi tersebut direproduksi dari generasi ke generasi melalui kegiatan-kegitan bersama. Maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui: 1.
Apa saja wujud-wujud integrasi masyarakat Susuru?
2.
Faktor apa saja yang menjadi konstruksi perdamaian di Susuru?
1.3 Tinjauan Pustaka Kajian mengenai konstruksi perdamaian sudah banyak dilakukan. Secara umum ada dua aktor yang berperan dalam membangun konstruksi perdamaian; yaitu; negara (state) dan masyarakat (civil society). Namun demikian untuk kepentingan teoritis, tinjauan pustaka dalam penelitian ini hanya akan membahas konstruksi perdamaian yang dibangun masyarakat (civil society). Menurut Tadjoeddin, konstruksi perdamaian dalam masyarakat dibagi dua; pertama, yang menekankan pentingnya integrasi massa, dan; kedua, menekankan pentingnya integrasi elit (masyarakat).14 Maka tinjauan pustaka dalam penelitian ini hanya akan membahas dua kelompok pembahasan. Pembahasan pertama literatur yang berbicara tentang integrasi massa dan pembahasan kedua literatur yang membahas tentang integrasi elit. Pembahasan pertama mengenai integrasi massa menekankan pentingnya jaringan kewargaan lintas komunitas. Banyak penelitian yang membahas 14
Muhammad Zulfan Tadjoeddin, 2004, “Civil Society Engagement and Communal Violence: Reflection of Various Hypotheses in the Context of Indonesia”, dalam Politics Administration and Change, No. 42, July-December, hal. 3-7.
7
pentingnya integrasi massa untuk menciptakan situasi damai. Meskipun istilah yang digunakan ilmuwan tidak selalu dengan integrasi massa namun kajian mereka mengenai hubungan civil society dan kekerasan komunal membahas tentang pentingnya jaringan kewargaan atau yang disebut dengan istilah network of civic engagement atau civic networks yang menunjukkan integrasi massa. Di antara penelitian yang mengkaji pentingnya network of civic engagement adalah Robert Putnam dalam bukunya Making Democracy Work. Berdasarkan penelitiannya di Italia, Putnam berargumen bahwa semakin kuat jaringan kewargaan dalam sebuah masyarakat, semakin kecil kemungkinan terjadinya kekerasan komunal antar warga. Hal itu ditunjukkan oleh keberhasilan warga Italia utara meredam potensi kekerasan komunal dibandingkan dengan warga Italia selatan. Fakta menunjukkan bahwa civic engagement di Italia Utara lebih kuat dibandingkan di Italia selatan.15 Lebih jauh Putnam menyebut bahwa jaringan keterlibatan warga (civic engagement) yang menumbuhkan sikap saling percaya antar sesama warga (interpersonal trust) sebagai modal sosial (social capital). Dengan adanya modal sosial berupa sikap saling percaya, norma-norma, dan jaringan kewargaan (civic engagement) maka akan meningkatkan efisiensi masyarakat dalam melakukan tindakan-tindakan yang terkoordinasi dengan baik.16 Dengan kata lain, semakin kuat jaringan kewargaan dalam masyarakat, semakin besar kemungkinan bagi warganya untuk bekerja sama dalam mencapai 15
Robert D. Putnam, 1993, Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy, Princeton, Princeton University Press, hal. 174. 16 Ibid. hal, 167.
8
tujuan bersama termasuk koordinasi dalam meredam potensi konflik. Senada dengan Putnam, Dhavan D. Syah yang melakukan penilaian secara individual tentang social capital, menyimpulkan bahwa civic engagement mempunyai peran yang sangat signifikan dalam menumbuhkan tingkat kepercayaan antar personal dalam masyarakat. Lebih jauh, Syah berargumen bahwa partisipasi dalam berbagai aktivitas kemasyarakatan memungkinkan setiap individu mendapatkan pengalaman yang positif tentang komunitas lain.17 Jaringan kewargaan yang dimaksud Putnam mencakup jaringan kewargaan formal maupun informal. Jaringan kewargaan formal bisa dalam bentuk asosiasi (civic association) dan keterlibatan warga yang bersifat informal seperti makan malam bersama, saling mengunjungi, pertemuan di warung, jalan dan lain-lain. Namun demikian Putnam tidak menjelaskan pola relasi itu mencakup komunitas yang sama (intra-komunitas) atau lintas komunitas. Bagi Putnam, semakin banyak jaringan kewargaan dalam sebuah masyarakat semakin berpotensi menjadi modal sosial yang dapat membantu masyarakat dalam menciptakan situasi damai. Ashutosh Varshney dalam bukunya Ethinc Conflict and Civic Life: Hindus and Muslim in India mengkonfirmasi penelitian Putnam, Varshney mengatakan bahwa jaringan kewargaan antar komunitas berupa partisipasi warga dalam kegiatan bersama (civic engagement) dapat mencegah potensi konflik.18 Meski demikian
17
Dhavan Syah, 2002, “Civic Engagement, Interpersonal Trust and TV Use: an Individual-Level Assessment of Social Capital”, dalam Political Psychology 19, No. 3, hal. 469-496. 18 Ashutosh Varshney, 2002, Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslim in India, New York, Yale University Press, hal. 363.
9
terdapat perbedaan Putnam dan Varshney. Putnam tidak membedakan pola relasi intra dan inter komunitas sementara Ashutosh Varshney dalam artikelnya Ethnic Conflict and Civil Society: India and Beyond, membedakan pola relasi warga dalam komunitas (intra-community engagement) dan antar komunitas (intercommunity engagement). Varshney berargumen bahwa kedua pola relasi tersebut mempunyai fungsi yang berbeda dalam meredam konflik. Varshney menjelaskan bahwa dalam pola relasi intra-community hubungan dengan komunitas lain sangat lemah sehingga sangat rentan terjadinya konflik antar komunitas. Sebaliknya pada pola relasi inter-community hubungan dengan komunitas lain sangat intensif sehingga berkontribusi dalam meminimalisir terjadinya kekerasan komunal.19 Hal itu ditunjukkan berdasarkan penelitian Varshney di kota-kota India yang sering terjadi konflik antara Muslim dan Hindu. Selain pembagian inter dan intra komunitas, Varshney juga membagi civic engagement yang bersifat formal (intercommunal association) dan informal (quotidian interaction). Secara spesifik Varshney meyakini bahwa di kota-kota India, pola relasi antar warga dalam asosiasi (inter-communal association) dapat mengurangi kekerasan komunal. Berdasarkan penelitiannya, Varshney berargumen bahwa beberapa kota di India yang terdapat asosiasi antar komunitas banyak terbentuk „komisi-komisi perdamaian‟ ketika terjadi konflik antara Muslim dan Hindu sehingga konflik tidak bereskalasi.
19
Ashutosh Varshney, 2001, “Ethnic Conflict and Civil Society: India and Beyond”, dalam World Politics, Vol. 53, No. 3 (Apr), hal. 362-398.
10
Selain integrasi massa, James D. Fearon dan David D. Laitin dalam artikelnya Explaining Interethnic Cooperation menambahkan pentingnya mekanisme penyelesaian konflik di tingkat massa. Fearon menjelaskan dua mekanisme penyelesaian konflik di tingkat massa yaitu; spiral equilibria dan ingroup policing equilibria. Mekanisme spiral equilibria adalah pencegahan konflik dengan menekankan diri pada keseimbangan bersama, sehingga ketika ada konflik antara dua orang, maka mereka akan berusaha keras untuk mencegah menyebarnya konflik itu agar tidak menjadi konflik antar kelompok yang lebih besar. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga dan memelihara kestabilan hubungan antar kelompok tersebut. Sementara mekanisme in-group policing dapat mencegah tensi konflik tidak melebar menjadi konflik lintas komunitas karena penyelesaian dilakukan dalam internal komunitas. Secara sederhana in-group policing diartikan sebagai kemampuan komunitas untuk mengontrol dan memberi sangsi bagi anggota komunitasnya yang membuat masalah dengan komunitas lain. Aktor dalam mekanisme in-group policing adalah tokoh komunitas atau lembaga tertentu dalam komunitas yang memiliki pengaruh dalam komunitasnya. Terkait penyelesaian masalah yang melibatkan komunitas lain terkadang memperumit masalah dan berpotensi menjadikan konflik meluas. Mekanisme in-group policing dimaksudkan untuk menciptakan hubungan antar komunitas yang harmonis meskipun ada konflik di antara komunitas.20
20
James. D. Fearon dan David D. Laitin, 1996, “Explaining Interethnic Coopearation” dalam the American Political Science Review, Vol. 90, No. 4, hal. 715.
11
Berbeda dengan Putnam dan Varshney yang menekankan pentingnya integrasi di tingkat massa melalui civic engagement, Tadjoeddin menambahkan integrasi elit sebagai faktor yang mendukung situasi damai. Integrasi elit dibutuhkan ketika integrasi di tingkat massa sulit dilakukan. Bagi masyarakat Indonesia yang feodal maka integrasi elit bisa jadi faktor penting untuk mencegah konflik. Tadjoeddin meyakini bahwa segregasi antar elit hanya akan terjadi di tingkat elit dan tidak akan melebar ke tingkat massa. Sementara pertikaian di tingkat massa akan memudahkan konflik pecah.21 Tadjoeddin mengatakan bahwa konflik Poso di Sulawesi Tengah memberikan gambaran bahwa integrasi di tingkat massa tidak cukup kuat untuk memelihara perdamaian ketika elit tersegregasi. Penelitian Ahnaf dan Aziz di Lasem mengenai koeksistensi SantriCina mengkonfirmasi teori Tadjoeddin tentang integrasi elit. Ahnaf dan Aziz melihat bahwa integrasi di tingkat massa di Lasem tidak cukup kuat untuk meredam konflik. Lebih jauh Ahnaf dan Aziz menjelaskan kultur masyarakat Lasem yang relijius dan cendrung menempatkan Kyai sangat tinggi berpotensi merusak kultur integrasi di tingkat massa jika tokoh-tokoh Muslim yang berpengaruh tidak lagi mendukung koeksistensi Jawa-Cina. Keberadaan tokoh Muslim dan tokoh Cina yang mempunyai pengaruh cukup kuat dalam memperjuangkan pembauran antar Muslim dan etnis Cina mendukung integrasi massa. Tentu tidak semua tokoh-tokoh di Lasem pro-koeksistensi; beberapa 21
Muhammad Zulfan Tadjoeddin, 2004, “Civil Society Engagement and Communal Violence: Reflection of Various Hypotheses in the Context of Indonesia”, dalam Politics Administration and Change, No. 42, July-December, hal. 7-8.
12
bahkan membangun wacana yang mengancam integrasi. Namun demikian, tokohtokoh pro-integrasi Lasem masih mempunyai pengaruh yang lebih kuat dalam mempertahankan koeksistensi.22 Terkait kondisi-kondisi yang memungkinkan terciptanya situasi damai, Luc Reychler menjelaskan lima situasi yang memungkinkan terwujudnya situasi damai. Pertama, berfungsinya saluran komunikasi yang memungkinkan terjadinya diskusi dan koreksi terhadap penyebaran informasi yang berpotensi menjadi konflik antar komunitas. Kedua, adanya lembaga yang mendukung perdamaian (peace-enhancing institution). Ahnaf dan Aziz menyebut lembaga tersebut sebagai lembaga penyelesaian konflik baik yang formal atau informal.23 Ketiga, adanya lingkungan sosial yang integratif yang memungkinkan interaksi lintas komunitas dalam masyarakat. Dalam persepektif Putnam dan Varshney, inilah yang mereka sebut dengan civic network atau civic engagement. Keempat, lingkungan regional atau internasional yang mendukung perdamaian (supportive regional and international environment). Kelima, adanya tokoh masyarakat pendukung perdamaian dalam proporsi yang memadai (critical mass of peacebuilding leadership).24 Kelima kondisi di atas tidak bersifat mesti ada, sebagai contoh Ahnaf dan Aziz dalam penelitiannya di Lasem tidak memasukan kondisi keempat, yaitu; 22
M. Iqbal Ahnaf dan Munawir Aziz, 2012, Mengelola Keragaman dari Bawah, Koeksistensi Santri-Tionghoa di Lasem, Jawa Tengah, Laporan Penelitian, SPs Press, hal. 40. 23 Ibid., hal. 33. 24 Luc Reychler, 2006, “Challenges of Peace Research” dalam International Journal of Peace Studies, Vol. 11, No. 1, Spring/Summer, hal. 1- 16.
13
lingkungan regional dan internasional yang mendukung perdamaian; karena kondisi-kondisi yang dijelaskan Reychler adalah dalam konteks hubungan antar negara. Dengan kata lain, kondisi-kondisi tersebut bisa dimodifikasi disesuaikan dengan situasi dan kondisi objek studi. Namun demikian, Reychler meyakini dalam konteks negara dengan adanya kondisi-kondisi tersebut memungkinkan terjadinya situasi damai. Pritti M.K. Rana dalam Ethnic Peace in Malaysia menekankan pentingnya civic engagement untuk mencegah kekerasan etnis. Dalam penelitiannya Rana mencoba membahas interethnic civic engagement antara etnis Melayu dan Cina sebelum dan sesudah tahun 1980an. Pada Tahun 1967 dan 1969, ketika terjadi resesi ekonomi di Malaysia, aksi demonstrasi yang terjadi melebar menjadi kekerasan etnis dimana etnis Cina menjadi objek kekerasan. Sementara kekerasan etnis itu tidak muncul lagi sekitar tahun 1980-1990, meskipun situasinya sama yaitu ketika terjadi krisis ekonomi dan terjadi demonstrasi besar-besaran. Hal ini, menurut Rana, akibat dari meningkatnya interethnic civic engagement antara etnis Melayu dan Cina di sektor ekonomi dengan prinsip saling menguntungkan.25 Literatur tersebut di atas adalah literatur yang secara umum telah berbicara mengenai konstruksi perdamaian yang menekankan pentingnya integrasi di tingkat massa dan elit serta adanya mekanisme penyelesaian konflik dalam komunitas. Penelitian tersebut mencakup penelitian dalam konteks negara termasuk negara Indonesia yang akan sangat berguna bagi pengkayaan diskusi 25
Pritti M.K. Rana, 2012, Ethnic Peace in Malaysia, Thesis, Leiden University, hal. 58-60.
14
dalam penelitian mengenai kondisi-kondisi yang mendukung terciptanya situasi damai. Penelitian penulis akan sangat berbeda dengan penelitian-penelitian yang lain karena berangkat dari studi konteks sosial dalam lingkup kecil yaitu masyarakat Susuru. Kasus Susuru menarik untuk dicermati bukan hanya karena adanya heterogenitas penduduknya, namun juga karena pola interaksi warga dalam kegiatan keagamaan (interreligious engagement) dilakukan dengan menembus batas-batas teologis agama masing-masing. Penelitian ini juga lebih banyak melihat kegiatan-kegiatan informal (everyday civic engagement) yang terjadi di masyarakat Susuru daripada partisipasi masyarakat dalam kelembagaan (association of civic engagement). Secara khusus, penting juga dibahas dalam tinjauan pustaka ini penelitian yang pernah dilakukan di Susuru, yaitu penelitian Akhmad Satori dan Dedi Ahimsa Riyadi. Penelitian pertama membahas tentang masyarakat Susuru sebagai model masyarakat pancasila dan penelitian kedua mengenai masyarakat Susuru yang
mengalami
keberagamaannya.
kegamangan Akhmad
dan
Satori,
situasi
liminal
berdasarkan
dalam
penelitian
kehidupan di
Susuru
menyimpulkan bahwa nilai-nilai kebangsaan dan nilai-nilai luhur pancasila pada prinsipnya sudah diterapkan dalam kehidupan masyarakat Susuru, seperti gotong royong, saling menghormati, dan menghargai. Salah satu nilai yang tertanam dalam masyarakat Susuru adalah “Bhineka Tunggal Ika”. Mereka merasa
15
walaupun mereka berbeda-beda agama dan keyakinan namun mereka merasa satu sama lain saudara se-bangsa dan se-tanah air.26 Sementara Dedi Ahimsa Riyadi menjelaskan bahwa masyarakat Susuru terutama umat Katolik dan pengikut Sunda Wiwitan mengalami kegamangan dan situasi liminal dalam beragama. Penyebab utamanya adalah masuknya mereka ke agama Katolik bukan didasari oleh keyakinan akan kebenaran agama Katolik tetapi keterpaksaan dan instruksi pimpinan mereka. Di sisi lain, situasi liminal penganut Sunda Wiwitan tampak dari pernyataan mereka bahwa ajaran-ajaran yang diajarkan Kyai Madrais belum mendarah daging dalam aktivitas sehari-hari mereka. Sementara kegamangan di kalangan umat Islam direpresentasikan oleh tidak adanya figur ideal bagi mereka dan minimnya aktivitas dan ekspresi keagamaan umat.27 Fenomena ini memposisikan penduduk Susuru dalam satu situasi ambang batas ketika mereka belum bisa menegaskan pilihan dan memantapkan sikap keberagamaan dengan jelas. Penelitian Akhmad Satori menjustifikasi tentang kerukunan yang terjadi di Susuru dilihat dari perspektif nilai-nilai Pancasila yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Sementara Penelitian Dedi Ahimsa Riyadi dengan menggunakan tinjauan psikologis, membantu menganalisis terjadinya kerukunan di Susuru, salah satunya adalah kegamangan dan situasi liminal keberagamaan 26
Akhmad Satori, 2012, “Kemajemukan Masyarakat Dusun Susuru Desa Kertajaya Kecamatan Panawangan Kabupaten Ciamis Sebagi Modal Masyarakat Pancasila”, Aliansi Jurnal Politik dan Perdamaian, Vol 4, Nomor 1, Januari 2012 27 Pikiran Rakyat, 2003, “Kebersamaan di Dusun Susuru: Tipologi Keberagaman Masyarakat Liminal”. 01 April 2003.
16
yang dirasakan masing-masing penganut keyakinan mendukung terpeliharanya kerukunan dan kebersamaan di Susuru. Namun demikian, penelitian Satori yang mebahas Pancasila sebagai value berbeda dengan penelitian penulis yang akan mengkaji kondisi-kondisi yang mendukung terciptanya situasi damai. Sementara penelitian Riyadi tidak relevan lagi dengan keadaan Susuru sekarang dimana masyarakatnya telah memiliki keyakinan yang mantap tentang agamanya. Hal itu juga ditunjukkan dengan ekpresi relijius berupa ritual-ritual keagamaan masing agama dan keberadaan tokoh-tokoh keagamaan masing yang memiliki peran dan pengaruh yang besar di mata komunitasnya masing-masing.
1.4 Landasan Teori Konsep kunci dalam penelitian ini adalah konstruksi perdamaian berupa kondisi-kondisi yang mendukung situasi damai. Secara sederhana pengertian konstruksi dalam penelitian ini adalah susunan rangka suatu bangunan.28 Dalam hal ini, perdamaian diibaratkan memiliki susunan rangka bangun berupa kondisikondisi yang tersusun sehingga membangun situasi damai. Berdasarkan kajian pustaka, kondisi-kondisi tersebut meliputi integrasi elit, jaringan kewargaan, dan mekanisme penyelesaian konflik. Teori yang akan digunakan adalah teori Tadjoeddin tentang integrasi elit, Varshney mengenai intercommunal civic engagement, dan teori Fearon mengenai mekanisme „in-group policing‟ atau „selfpolicing‟. 28
WJS. Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hal. 612.
17
Tadjoeddin menjelaskan integrasi elit sebagai salah satu kondisi yang memungkinkan terciptanya situasi damai. Berdasarkan kajiannya di Poso dan Ambon, integrasi elit berperan penting dalam meredam konflik. Tadjoeddin meyakini bahwa ketika elit bertikai maka akan dengan mudah diikuti oleh pengikutnya masing-masing. Dengan integrasi elit, ketika muncul isu negatif, elitelit agama akan dengan mudah berkomunikasi dan mengklarifikasi isu tersebut dan meluruskan informasi kepada pengikutnya masing. Dalam hal ini, integrasi elit berfungsi seperti early warning system yang mendeteksi potensi konflik sejak dini Tadjoeddin mengatakan: “The mechanism of elite integration is usually relevant for a highly segregated society. Elite integration is expected to bridge the gap between two or more community groups, when mass level integration is relatively more difficult to develop. Elite integration is also expected to play a significant role in building a common understanding and mutual trust among conflicting parties. As the elites address the issues among members of communities, a kind of horizontal bridge can be built among them, and at the same time information flows and communication processes can be developed vertically between the elites and their followers or masses. Such mechanisms would contribute considerably to the prevention of intercommunity violence.”29 Adapun mekanisme integrasi elit, menurut Tadjoeddin, bisa terwujud apabila ada dua hal; 1) adanya nilai bersama (value concensus) yang mendukung saling percaya antar elit, 2) adanya jejaring yang memungkinkan interaksi interpersonal antar elit dari kelompok yang berbeda.30 Lebih jauh Tadjoeddin
29
Muhammad Zulfan Tadjoeddin, 2004, “Civil Society Engagement and Communal Violence: Reflection of Various Hypotheses in the Context of Indonesia”, dalam Politics Administration and Change, No. 42, July-December, hal. 7. 30 Ibid., hal. 7-8.
18
menjelaskan bahwa integrasi elit bisa juga dipahami sebagai koordinasi elit dan pembagian kekuasaan (power-sharing). Tadjoeddin mengatakan “elite integration might also be understood by the following two interpretations: elite coordination and consociational (power-sharing) polity.31 Teori lain yang juga menunjukkan kondisi yang memungkinkan terciptanya situasi damai adalah inter-communal civic engagement yang digagas Ashutosh Varshney. Dalam kajiannya, Varshney membagi hubungan antar komunitas dalam masyarakat menjadi dua pola; intra-ethnic civic engagement dan inter-ethnic civic engagement. Pada pola relasi intra-ethnic hubungan dengan komunitas lain sangat lemah sehingga sangat rentan terjadinya kekerasan antar komunitas. Sebaliknya pada pola relasi inter-ethnic hubungan dengan komunitas lain sangat intensif sehingga berkontribusi dalam meredam potensi konflik antar komunitas. Varshney mengatakan: “Interethnic networks are agent of peace, but if communities are organized only along intraethnic lines and the interconnection with other communities are very weak or even nonexistent, then ethnic violence is quite likely.” 32 Selain itu Varshney membagi jaringan kewargaan antar komunitas (intercommunal civic engagement) menjadi dua; pertama, ikatan warga formal kelembagaan (association forms of engagement). Hal ini dapat dilihat dalam organisasi sosial dan professional yang mempertemukan anggota masyarakat beda
31
Ibid., hal. 8. Ashutosh Varshney, 2002, Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslim in India, New York, Yale University Press, hal. 363. 32
19
agama, seperti asosiasi buruh, asosiasi pedagang, dan perkumpulan dalam klubklub olahraga. Kedua, pola relasi informal yang terjadi dalam aktivitas seharisehari (everyday forms of engagement). Hal ini dapat dilihat dari aktivitas warga dalam kegiatan sehari-sehari, seperti saling mengunjungi, pertemuan di warung atau di jalan, kebersamaan warga dalam proyek-proyek sosial. Menurut Varshney, kedua model pola relasi tersebut (formal dan informal) berkontribusi dalam meredam konflik, dan ketiadaan pola relasi tersebut berpotensi menciptakan ruang terjadinya kekerasan antar komunitas. Secara spesifik, Varsney mengatakan bahwa pola relasi warga dalam kelembagaan (associational forms of engagement) lebih kuat daripada pola relasi keseharian terutama ketika ada upaya polarisasi oleh politisi berdasarkan etnis tertentu. Varshney mengatakan: “Both forms of engagement, if robust, promote peace: contrawise, their absence or weakness opens up space for ethnic violence. Of the two, however, the associational forms turn out to be sturdier than everyday engagement, especially when confronted with attempts by politicians to polarize people along ethnic lines.”33 James D. Fearon dan David D. Laitin menjelaskan mekanisme penyelesaian konflik yang disebut dengan istilah „self-policing‟. Self-policing adalah kemampuan satu komunitas dalam meredam potensi konflik terutama potensi konflik yang berawal dari perselisihan antar individu. Dalam pelaksanaan self-policing mensyaratkan adanya tokoh berpengaruh atau lembaga tertentu dalam komunitas untuk mengontrol dan memberi sangsi kepada anggota
33
Ashutosh Varshney, 2001, “Ethnic Conflict and Civil Society: India and Beyond”, dalam World Politics, Vol. 53, No. 3 (Apr), hal. 363.
20
komunitasnya yang membuat permasalahan (trouble maker). Terkait mekanisme self-policing Fearon dan Laitin mengatakan: “If a B exploits an A, members of group A continue cooperating with members group B as though nothing had happened, while members of group B identify and sanction the individual who acted badly. This leads to the containment of interethnic violence.”34 Menurut Tadjoeddin, mekanisme self-policing ini bisa diterapkan di Indonesia dengan dua alasan. Pertama, mekanisme self-policing ini cocok dipakai dalam masyarakat yang kondisinya plural seperti di Indonesia. Kedua, akar pertikaian berawal dari konflik antar individu yang kemudian membesar menjadi konflik antar kelompok.35 Mekanisme self-policing dapat mencegah terjadinya kekerasan melebar menjadi kekerasan lintas komunitas karena potensi konflik diselesaikan dalam komunitas. Ketiga kondisi atau konstruksi perdamaian tersebut dirangkum dalam istilah “Hipotesa diatas Hipotesa” (hypotheses on hypotheses) yang dipakai M. Zulfan Tadjoeddin untuk direfleksikan dengan konflik-konflik yang pernah terjadi di Indonesia. Tadjoeddin mengkombinasikan ketiga mekanisme ini dalam gambar berikut:36
34
James D. Fearon dan David D. Laitin, 1996, “Explaining Interethnic Cooperation” dalam the American Political Science Review, Vol. 90, No. 4, hal. 719. 35 Muhammad Zulfan Tadjoeddin, 2004, “Civil Society Engagement and Communal Violence: Reflection of Various Hypotheses in the Context of Indonesia”, dalam Politics Administration and Change, No. 42, July-December, hal. 5. 36 Ibid., hal. 11.
21
Elite Integration
[1]
Elite
[3]
[3]
[2]
Mass
A
B Self Policing
Inter-communal Engagement
Kondisi-kondisi tersebut bisa dianggap sebagai prasyarat untuk meredam potensi konflik dan mendukung terpeliharanya situasi damai yang ditawarkan M. Zulfan Tadjoeddin. Teori mengenai ketiga konsep tersebut akan digunakan sebagai landasan teori untuk melihat kondisi-kondisi dalam masyarakat Susuru. Kondisi-kondisi tersebut meliputi wujud-wujud integrasi elit dan integrasi massa (inter-communal civic engagement) dan mekanisme penyelesaian masalah dalam masyarakat Susuru. Analisis kondisi-kondisi masyarakat Susuru yang mendukung terpeliharanya situasi damai dimaksudkan untuk mengetahui konstruksi perdamaian di Susuru.
1.5 Metode Penelitian Penelitian studi kasus ini menggunakan pendekatan dan metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi partisipatif
22
(participant-observation), wawancara semi-terstruktur (semi-structured interview) dan dokumentasi pribadi. Penelitian difokuskan kepada kondisi-kondisi yang mendukung situasi damai antara tiga penganut agama yang berbeda di Susuru. Kondisi-kondisi tersebut meliputi wujud–wujud integrasi elit dan integrasi massa dan mekanisme penyelesaian masalah dalam masyarakat Susuru. Observasi partisipatif (participant-observation), menurut Miller dan Brewer, dilakukan dengan terlibat dalam kehidupan sehari-hari.37 Pengamatan tersebut dilakukan untuk mengetahui praktik-praktik kerukunan sekaligus mengamati interaksi di antara mereka dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga ataupun lingkungan masyarakat. Untuk melihat kerukunan maka peneliti ikut serta dalam aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh tiga komunitas tersebut. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup: kehidupan sehari-hari, pesta pernikahan, pemakaman dan tahlilan (mendoakan orang yang meninggal); pembangunan rumah ibadah; perayaan hari-hari besar keagamaan; dan bersih desa. Selain metode observasi partisipatif, peneliti melakukan wawancara semiterstruktur (semi-structured interview). Wawancara semi-terstruktur dilakukan karena memungkinkan peneliti untuk menentukan topik secara umum yang akan diteliti dan pertanyaan-pertanyaan kunci yang telah ditanyakan. Dalam wawancara semi-terstruktur waktu dan tempat pelaksanaan fleksibel tidak ditentukan serta
37
Robert L. Miller and John D. Brewer, 2003, “The A-Z of Social Research”, London: Sage Publication. hal. 213.
23
dalam menjawab pertanyaan responden diberi kebebasan yang seluas-luasnya.38 Adapun responden yang telah diwawancara terdiri dari: aparat pemerintah, tokohtokoh keagamaan/masyarakat, dan masyarakat umum. Untuk mengetahui aspeksosial kegamaan Susuru wawancara telah dilakukan kepada aparat pemerintahan dan tokoh keagamaan. Untuk mengetahui keterlibatan tokoh agama dan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan bersama wawancara telah dilakukan kepada tokoh-tokoh keagamaan dan masyarakat umum. Kunjungan lapangan dilakukan dalam periode bulan Januari sampai April 2013, namun riset awal sudah dilakukan peneliti sebelum penelitian dimulai. Dalam melakukan wawancara kepada masyarakat umum telah mempertimbangkan representasi dari tiga komunitas tersebut.39 Wawancara telah dilakukan dengan lebih 20 orang responden yang mewakili tokoh masyarakat dan masyarakat biasa dengan latar belakang agama yang beragam. Di samping dua metode di atas, untuk membantu dalam pengumpulan data maka telah digunakan juga metode dokumentasi. Dokumentasi bermanfaat untuk menjaga keakuratan data. Bentuk dokumentasi tersebut berupa: kamera, perekam suara (voice recorder), dan catatan-catatan penelitian (field-note). 1.6
Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis, maka pembahasan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima bagian. Berikut penjelasan masing-masing bab: 38
Ibid., hal. 167. Responden Muslim 7 orang, responden umat Katolik 7 orang dan responden penganut agama Sunda Wiwitan 6 orang. 39
24
Bab I : Pendahuan mebahas masalah-masalah seputar arah dan acuan penulisan tesis yang meliputi; Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan sebagai bagian yang terakhir. Bab II : Pembahasan mengenai aspek-sosial keagamaan sebagai gambaran awal untuk membahas diskusi selanjutnya mengenai pola interaksi warga Susuru (civic engagement). Pembahasan tersebut meliputi; Sejarah dan Gambaran Umum Susuru, Aspek Penduduk, Pendidikan, Struktur Ekonomi, Sejarah Agama-agama di Susuru, dan Struktur Sosial masyarakat Susuru. Bab III :
Pembahasan
mengenai
wujud-wujud
civic
engagement
masyarakat Susuru. Pembahasan tersebut membahas beberapa kegiatan yang dilakukan bersama, seperti, dalam acara selametan, ritual kematian, tahlilan, perayaan hari raya keagamaan, pembangunan rumah ibadah, bersih kampung, integrasi dalam organisasi sosial, dan interaksi di bidang ekonomi. Selain wujudwujud partisipasi warga Susuru tersebut, bab ini membahas juga dinamika kehidupan beragama warga Susuru berupa kasus-kasus yang muncul yang mengancam situasi damai di Susuru. Bab IV: Bab ini membahas beberapa faktor yang membentuk situasi damai di Susuru. Faktor-faktor tersebut berupa adanya nilai bersama, ruang bersama, dan mekanisme penyelesaian konflik. Dengan adanya nilai bersama berupa ikatan kekerabatan itu melahirkan adanya integrasi elit dan distribusi power yang merata. Ruang bersama berupa kegitan bersama menjadi jaringan kewargaan lintas
25
komunitas yang mendukung situasi damai. Mekanisme self-policing menjadi mekanisme penyelesaian konflik bagi warga Susuru yang efektif. Bab V: Menyimpulkan dari keseluruhan pembahasan yang sudah dijelaskan. Namun secara spesifik, menjelaskan wujud-wujud nyata partisipasi warga (civic engagement) dan konstruksi damai di Susuru.